Tentang Seni dan Pasar | 469
cil. Pengarangnya, Wid N.S. untuk Godam dan Hasmi un-
tuk Gundala, tinggal di Yogya, dan bekerja dari “studio”
mereka di sana. Mereka mengirimkan karya mereka ke
Jakarta — tidak selalu sekaligus selesai. Bahkan seperti
agaknya terlihat dalam cerita Gundala Sampai Ajal, sang
pengarang seakan-akan dengan sengaja mengulur-ulur ce-
rita — mungkin karena alasan pembayaran — yang meng-
akibatkan petualangan yang panjang itu bertele-tele (dan
ternyata, dalam Pangkalan Pemunah Bumi, lanjutan Sam-
pai Ajal, cerita yang sepanjang tujuh jilid itu disebut seba-
gai karangan sekelompok penjahat!). Wid N.S. dan Hasmi
mengirimkan karya mereka ke Jakarta sebagian demi seba-
gian, yang tentu saja menyebabkan tidak mudah untuk
menjaga keutuhan dan suspens dari alur cerita. Penerbit
mereka juga bisa berganti-ganti. “Prasidha” adalah pener-
bit mereka yang mutakhir. Dan dengan sendirinya belum
jelas benar, siapa pemegang hak cipta.
Dalam kondisi seperti itu, sulit bagi cerita komik Indo-
nesia untuk melanjutkan dirinya melalui estafet beberapa
penggambar — apalagi beberapa generasi penggambar,
seperti yang biasa terjadi pada tokoh-tokoh komik
Amerika. Pelbagai masalah teknis produksi serta hukum
belum memberi dasar yang kokoh untuk itu. Dan siapa pu-
la yang akan menganggap serius dunia pembuatan dan
penjualan komik, yang dikerjakan oleh sejumput anak mu-
da dan penerbit yang secara terbatas mempromosikan pro-
duksi mereka?
Cerita komik Indonesia, dengan demikian bukan saja
tidak berniat, tapi juga mustahil untuk meninggalkan jejak
dalam perbendaharaan kebudayaan Indonesia di masa ki-
470 | Setelah Revolusi Tak Ada Lagi
ni dan kelak. Tokoh-tokoh datang dan hilang, dalam jarak
waktu yang ringkas. Mereka tak pernah jadi referensi
bersama dalam perbincangan sehari-hari pelbagai gen-
erasi. Bahkan mungkin mereka asing bagi sebagian besar
dari generasi yang ada kini. Itu tidak berarti mereka tak
meninggalkan pengaruh sama sekali. Gambar Gundala,
Godam, Maza dan Pangeran Mlaar pernah dicetak bersa-
ma Superman, Batman & Robin, Green Lantern dan lain-
lain superhero Amerika dalam satu seri kartu kwartet, seje-
nis kartu permainan mirip remi untuk anak-anak. Tapi
mereka pada umumnya —seperti halnya para penggambar
komik Amerika waktu mereka memulai jenis kesenian ini
— tidak acuh dengan kehadiran dan sumbangan mereka
bagi kesadaran suatu bangsa. Dan meskipun tidak dapat
dikatakan secara persis bahwa mereka termasuk dalam
suatu ‰adversary culture‰,4 mereka berada dalam ketidak-
jelasan legitimasi. Berbeda dengan buku lain, penerbitan
buku komik memerlukan izin kepolisian untuk setiap
judul (suatu prosedur yang kemudian dikenakan juga pa-
da komik berdasarkan karya Shakespeare atau H.C.
Andersen). Dengan demikian mereka nampaknya selalu
berada dalam keadaan dapat dianggap mengurangi “ke-
bersihan” kebudayaan yang hendak diatur oleh para orang
tua, para guru dan penguasa.
Terlebih-lebih lagi mereka tak pernah berada di dalam
garis ritual kehidupan kita sehari-hari. Mereka tidak per-
nah melalui proses menjadi comic strip, yang menye-
babkan — seperti yang terjadi pada tokoh-tokoh komik
Amerika — mereka tampil sebagai unsur permanen dalam
perjalanan riwayat seorang pembaca koran. Seperti ditulis
Tentang Seni dan Pasar | 471
oleh Couperie, orang Amerika menjalani hidupnya dengan
tokoh-tokoh yang sama. Ia dapat menandai tonggak-tong-
gak perjalanan hidupnya dengan kaitan kepada tokoh-to-
koh itu. Mereka ini berhubungan dengan kenangannya
yang paling awal. Sering, melalui masa perang, krisis, per-
pindahan tempat tinggal atau perceraian, tokoh-tokoh ko-
mik itu merupakan “elemen yang paling stabil” dalam
khazanah ingatannya. Segi ritual inilah yang menyebabkan
seorang pembaca Amerika bisa bersikap bermusuhan ter-
hadap seri baru yang muncul — yang seakan-akan menim-
bulkan perubahan dan mengusik kelanggengan lingkaran
“kenalan lama” yang berwujud para tokoh cerita gambar
itu.5
Berbeda dengan itu, Godam dan Gundala diproduk-
sikan langsung untuk serial yang terbit dalam bentuk buku
— dengan jarak waktu yang tidak selalu sama antara ba-
gian yang satu dengan bagian yang lain. Karena tidak cu-
kup kokoh dalam status sosial dan ekonomi, atau mungkin
juga karena perbedaan latar-belakang kebudayaan dengan
para penerbit serta redaksi media yang ada kini, cerita
gambar ini nyaris tidak pernah bersentuhan dengan estab-
lishment pers kita. Para penerbit koran dan majalah lebih
cenderung untuk memuat komik terjemahan. Harian
Indonesia Raya dulu terbit tiap hari dengan Tarzan dan
Flash Gordon, dan edisi minggunya dengan Phantom serta
Mandrake. Harian Kompas dengan Garth, Berita Buana
dengan Rip Kirby, Johny Hazzard dan kemudian juga
Flash Gordon. Majalah untuk remaja, Hai, terbit dengan
Pendekar Trigan serta Arad & Maya. Bobo dengan Oki,
Bobo dan Paman Kikuk — semuanya terjemahan atau
472 | Setelah Revolusi Tak Ada Lagi
saduran. Atau, kalau bukan terjemahan, pilihan pers
penerbit lazimnya adalah cerita yang lebih nampak latar
“Indonesia”-nya, berupa silat atau cerita rakyat. Para
penerbit harian serta majalah biasanya tidak mengenal
adanya superhero made in Indonesia yang hinggap di
toko-toko buku. Atau, kalau tahu, mereka agaknya akan
cenderung untuk memandang tokoh-tokoh itu sebagai
hasil blasteran yang kurang layak untuk dimanfaatkan.
Dan para superhero itu, yang lahir dari kelanjutan
pengaruh “kebudayaan massa” Amerika Serikat, di dalam
negerinya sendiri mungkin tidak dapat menjangkau apa
yang terjangkau oleh medium seni populer yang lain: film.
Barangkali itulah sebabnya para superhero, para pen-
cipta dan penggemarnya merupakan suatu komunitas
yang intim — suatu dunia kecil tersendiri dengan sema-
ngat remaja yang satu sama lain rajin berkorespondensi.
Dengan mudah dan sering sekali kita temukan di antara
gambar kalimat-kalimat mengucapkan salam kepada re-
kan, kepada pembaca, tertentu dengan alamat tertentu
yang jelas, atau mungkin pula kepada pacar. Di pojok satu
gambar dalam buku Godam vs. Bocah Atlantis, misalnya,
tertulis: “Dik Waryono Sudah Krasan, Ya?”. Dalam Gunda-
la Djatuh Tjinta, di antara dua bagian halaman digores-
kan: “Salam buat: YETTY di SMEA I Jogya dari Endang”.
Dalam sebuah lakon serial Labah-labah Merah (seorang su-
perhero lain, yang seperti halnya Laba-Laba Maut dan
Kawa Hijau merupakan adaptasi dari Spider Man ciptaan
Steve Ditko dan Stan Lee), yang berjudul Memburu Iblis
Peminum Darah, Labah-Labah Merah berhantam dengan
seorang bandit bertopeng. Ternyata sang bandit itu melon-
Tentang Seni dan Pasar | 473
cat ke atap sebuah toko buku, yang berpapan nama “Toko
Buku Parahyangan Karanggesat 14 A Cirebon”. Di bawah
adegan itu pengarangnya menulis: “Sorry deh Oom ‘Pa-
rahyangan’ ... Banditnya rasa celutak!”. Lalu: “Salam buat
Oom sekeluarga”.
Lebih jelas lagi, tapi mungkin bisa lebih membingung-
kan bagi mereka yang pertama kali masuk ke dunia su-
perhero ini, ialah rasa komunitas yang terdapat antara para
pengarang komik. Dalam karya- karya mereka tak jarang
mereka saling berkiriman salam. Tapi lebih penting lagi
ialah bahwa superhero ciptaan Hasmi bisa muncul dalam
kisah superhero ciptaan Ricky N.S. atau Johny Andreas.
Demikianlah Gundala pada suatu ketika tiba-tiba bersama
Godam muncul membantu Laba-Laba Maut dalam suatu
pertempuran, atau seperti dalam cerita Panik, Godam be-
kerjasama dengan jagoan wanita Tira — yang dalam buku
lain merupakan jagoan karya Nono. Tentu saja yang meng-
gambar Godam dalam cerita superhero Rado adalah Ricky
N.S., bukan pengarang Godam yang semula yakni Wid
N.S. Begitu pula yang menggambar Gundala dalam cerita
superhero Labah-labah Merah adalah Kus Bramiana,
bukan Hasmi. Dengan kata lain, para superhero itu saling
bersahabat, dan seorang superhero dari serial yang satu da-
pat dipinjam oleh pengarang superhero yang lain.
Yang paling banyak dipinjam agaknya adalah Godam
dan Gundala. Ini menunjukkan bahwa Wid N.S. dan
Hasmi cukup berpengaruh dalam dunia buku komik, dan
terkadang terasa (seperti dalam kisah superhero Vantana
dan Kapten Meteor) Godam dan Gundala dipergunakan
untuk mengangkat “derajat” seorang jagoan baru yang
474 | Setelah Revolusi Tak Ada Lagi
belum dikenal para pembaca. Karena tidak adanya keten-
tuan mengenai hak cipta dan tiadanya perjanjian antara
para pengarang komik, para pencipta Godam dan Gundala
tentulah tidak dapat berbuat apa-apa bila hal semacam itu
terjadi. Apalagi pada akhirnya mereka tidak dirugikan.
Peminjaman seperti itu justru lebih memperkenalkan su-
perhero yang mereka ciptakan, dan peminjaman itu toh
semacam pengakuan atas supremasi mereka.
Bahwa supremasi itu kini berada di tangan Wid N.S.
dan Hasmi, hal ini agaknya tidak mengherankan. Dengan
mudah dapat disimpulkan bahwa mereka berdua lebih
mampu ketimbang para pengarang lain dalam menyusun
plot cerita. Wid N.S., terutama, mengesankan kelebihan
teknis menggambar yang makin berkembang, dan juga
kepandaian menjaga dinamik cerita serta suspens — juga
dalam plot yang cukup rumit seperti Bocah Atlantis.
Dalam cerita yang panjang ini seorang anak dari benua
Atlantis yang hilang secara sistematis menguasai hampir
seluruh penduduk sebuah kota, melalui tahap demi tahap,
sedikit demi sedikit — suatu proses yang menyebabkan
pembaca selalu tergerak untuk ingin tahu buat apa. Anak
itu, bernama Ztulos, dari peradaban teknologi yang lebih
tinggi, berhasil menciptakan para pengikutnya dari anak-
anak yang telah dikontrol fikirannya dan juga dengan cara
membuat duplikat para warga kota. Duplikat-duplikat ini
pada gilirannya menjadi agen Ztulos yang sulit diketahui.
Tentu saja pada akhirnya Godam dan kawan-kawannya
(termasuk Sun Go Kong, siluman kera yang ajaib itu) ber-
hasil mengalahkan mereka, tapi setelah melalui perbentur-
an pelbagai taktik baru dengan kontra-taktik yang baru pu-
Tentang Seni dan Pasar | 475
la. Berbeda dengan serial Labah-labah Merah atau lainnya
yang sering terlalu mengandalkan perkelahian — terma-
suk adegan darah muncrat seperti dalam komik silat yang
terpengaruh film Hongkong — kisah Godam lebih bersih,
bahkan agak halus.6
Setaraf dengan itu adalah tokoh Gundala dari Hasmi.
Di sini, apa yang kurang pada Wid N.S. —yakni humor,
yang padanya terasa agak kaku — pada Hasmi justru me-
rupakan kelebihan. Barangkali bagi para pembaca yang le-
bih dewasa, daya tarik serial Gundala adalah humornya.
Dalam Gundala Sampai Ajal, misalnya, ia nampak dirayu
seorang puteri dari planet Srabigonk, Ratu Kin Clink dari
kerajaan Beng Kong. Gundala tak mau. Dia mengaku su-
dah punya isteri dan 4 anak. Sri Ratu tahu, bahwa Gundala
punya pacar saja belum (baca saja Gundala Djatuh Tjinta).
Maka ia tetap membujuk: “Lihatlah, Gundala ...kulitku
lembut karena selalu memakai sabun cap Gunung Mele-
tus...”. Gundala menggrundel dalam hati: “Wah, ngomong-
nya sudah seperti iklan sabun”.
Keintiman antara peserta dunia mereka pula agaknya
yang menyebabkan dalam petualangan fantastis para su-
perhero itu toh terdapat banyak sekali unsur main-main,
termasuk senyum yang mengejek diri sendiri.7 Tapi ejekan
pada diri sendiri ini juga mempunyai fungsi lain — yang
mungkin dengan tegas membedakan karya Wid N.S. dan
Hasmi dari kisah superhero Amerika yang asli. Fungsi itu
agaknya mirip dengan fungsi “efek pengambilan jarak”
yang dipergunakan dalam teater: bagaimana menarik kita
dalam permainan fantasi sementara sekaligus menyadari
bahwa semua itu sama sekali nyaris sebuah gurauan. Ce-
476 | Setelah Revolusi Tak Ada Lagi
rita superhero itu jelas membutuhkan hal sedemikian. Me-
reka diciptakan oleh orang Indonesia, dengan tokoh-tokoh
Indonesia, dan dengan latar Indonesia — sementara si pe-
ngarang dan kita tahu bahwa para superhero pada da-
sarnya adalah benda asing di latar itu.
Sebab latar utama superhero Amerika biasanya sebuah
metropolis: kota besar dengan gedung-gedung pencakar
langit, yang mengaksentuasikan suasana luas dan miste-
rius, di mana penjahat-penjahat menjadi bisa meyakinkan
dalam ukuran besar, dan di mana sang superhero — yang
keajaibannya biasanya adalah keajaiban “ilmiah” — bisa
diterima tanpa banyak dipertanyakan, walaupun ia ke
sana ke mari dengan kostum yang aneh. Dalam semangat-
nya, kisah superhero Indonesia seperti Godam dan Gun-
dala juga ingin berada dalam latar itu. Kejar-mengejar mo-
bil di jalan yang licin dan halus di malam buta, di antara
rumah-rumah gedung serta pencakar langit, adanya tem-
pat-tempat yang menyimpan laboratorium yang hebat dan
pasukan polisi yang rapi — semua itu memang ditam-
pilkan oleh Wid N.S. dan Hasmi ataupun pengarang yang
lain. Namun Hasmi dan Wid N.S. — yang bekerja di Yogya
— tentulah tidak dapat meyakinkan untuk terus-menerus
mempergunakan latar metropolis yang tipikal amat mo-
dern itu, sementara mereka berkata bahwa kota tempat
Gundala dan Godam berpangkal adalah sebuah kota di
Indonesia (kadang disebut jelas: Yogya). Dan dalam kesa-
daran akan kontras antara kota yang ideal buat seorang su-
perhero dengan kota Yogya itulah Hasmi mempermainkan
humornya. Dalam Gundala Cuci Nama, tampak potret
Gundala yang dituduh jadi penjahat dipasang sebagai
Tentang Seni dan Pasar | 477
poster di mana-mana di kota itu; di antara penduduk kota
yang lewat adalah laki-laki pakai blangkon dan surjan. Dan
ketika Gundala harus mengejar si penjahat yang sebe-
narnya, ia terpaksa masuk ke tempat... pertunjukan wa-
yang orang. Maka di antara barisan kursi penonton tam-
paklah Gundala, berpakaian hitam-hitam ketat dengan dua
bulu di kepalanya, sedang berjalan menuju pentas. Seorang
penonton nyeletuk: “Gundala kok sempat-sempatnya non-
ton wayang orang!”
Unsur main-main seperti itu dengan agak tersamar
terdapat juga dalam memilih nama, terutama nama-nama
dari dunia asing. Seorang tokoh bertubuh raksasa dalam
Sampai Ajal oleh Hasmi disebut “Rhapecus” — berasal
dari bahasa jawa (o)ra pecus yang berarti “tidak pandai”
atau “tolol”. Tokoh lain dalam Pangkalan Pemunah Bumi
bernama “Wahkiatestu” — yang asalnya pasti adalah wah,
kiat estu, (wah, betul-betul kuat). Sebuah pulau dengan
enak saja disebutnya sebagai “Timphe Gembuz”, suatu
permainan bunyi dari tempe gembus, sementara seorang
Jepang dalam Seribu Pendekar diberinya nama “Sarune”
(kurang-lebih: “porno-nya”), dan seorang Muangthai dise-
but bernama “Sweng Wang”. Dalam serial Godam, Wid
N.S. juga mempergunakan teknik lelucon yang sama da-
lam memilih nama. Sebuah planet dalam Sang Kolektor di-
sebut “Gijamzoe” (rokok “Dji Sam Soe”) dan dua tokoh
planet lain bernama “Prof. Kaea Nuqu” (kae anuku atau
“itu anu saya”) dan “Jenderal Quia Numu” (kuwi anumu
atau “itu anu kamu”). Dan mau tahu bagaimana pasukan
robot dari planet Karista berbicara? Sebuah robot berseru:
“Hublug! Blekubleg! Hublug!”. Robot yang lain menjawab:
“Bleg!”
478 | Setelah Revolusi Tak Ada Lagi
Mungkin olok-olok semacam itulah yang menye-
babkan kita bisa menyukai Godam, Gundala dan kawan-
kawannya. Sebab mereka superhero gaya Yogya, yang tak
usah meyakinkan tapi menghibur, yang dengan berkostum
aneh untuk dunia perwayangan, tapi — seperti sekali ter-
tulis pada logo Godam dalam cerita Black Magic — berka-
ta: ‰Kulo nuwun!‰
Catatan:
* Tulisan ini adalah sebuah sketsa dari dunia kecil buku komik
Indonesia. Saya amat banyak dibantu dalam mengumpulkan dan
mengingat-ingat bahan oleh Hidayat Jati, yang bacaan komiknya
melebihi yang disangka oleh ayahnya sendiri — yakni saya.
1 Marcel Bonneff, ‰Deux Images pour un Rêve: La Bande dess-
inèe et le cinèma Indonèsiens‰, Archipel, 5, 1973, hlm. 199.
2 Majalah Femina, 11 Mei 1976, umpamanya, memuat pilihan
redaksi tentang buku komik mana yang dianjurkan dan yang tidak
dianjurkan untuk anak-anak. Dalam daftar terlihat, bahwa satu ceri-
ta dalam seri Gundala, Dr. Djaka dan Ki Wilawuk, “tidak dianjur-
kan”. Itu adalah satu-satunya judul dari serial Godam atau Gundala
yang disebut. Dr. Djaka — paduan cerita horor dengan kepahla-
wanan superhero dan cerita silat Jawa — memang dengan jelas
menggambarkan potongan kepala manusia yang berdarah dan
sedang membutuhkan darah, supaya tetap hidup. Tapi orang bisa
membela, bahwa Dr. Djaka jauh lebih merangsang imajinasi anak
dibanding dengan cerita semacam Woody Woodpecker yang mung-
kin mempertumpul imajinasi. Bandingkan dengan Robert Warshow,
‰Paul, the Horror Comics, and Dr. Wertham‰, Commentary, Vol. 17
(1954); hlm. 596-604. Dimuat kembali dalam Mass Culture: The
Popular Arts in America (editor: Bernard Rosenberg & David
Manning White), New York: The Free Press, 1957, hlm. 199-210.
3 Lihat Pierre Couperie dan kawan-kawan: A History of the
Comic Strip (terjemahan Inggris atas Bande Dessinee et Figuration
Ketib Anom & Pintu Menuju Tuhan | 479
Narrative), Crown Publishers, Inc., 1973), hlm. 129-145; lihat juga
Les Daniels, Comix: A History of Comic Books in America,
New York: Bonanza Books, 1971, hlm. 9-17.
4 Dalam menyerang Comics Code (1954) di Amerika yang
merupakan pembatasan sukarela para penerbit komik terhadap diri
mereka sendiri, Prof. Leslie A. Fielder menyatakan: “...it is clear that
the comic books finally benefited by being thus reminded of their dis-
reputable origins and their obligation to remain at all costs part of an
adversary culture, colloquial, irreverent, and unredeemably subver-
sive‰. Dalam The New York Times Book Review, 5 September 1976.
5 Tokoh komik agaknya di sana bisa berperan sebagaimana
tokoh wayang bagi orang Jawa dan Sunda, “a ready-made satirical
imagery, immediately applicable to real people and problems‰. Lihat A
History of the Comic Strip, hlm. 151.
6 Umumnya kisah superhero juga bersih dari unsur erotis. Ten-
tu saja ada perkecualian. Serial Rado oleh Ricky N.S., misalnya, me-
ngesankan “adegan ranjang” dalam cerita Ditunggu Pengadilan.
Dalam Jarum Maut dan Misteri Emas Berdarah adegan sejenis ditu-
tup dengan huruf-huruf “SENSOR”. Dalam hal itu Rado mungkin
tak jauh berbeda dengan serial Garth, yang tiap hari muncul di
Kompas.
7 Humor dengan unsur ejekan pada diri sendiri sebagai cerita
fantasi, dalam komik Amerika agaknya secara menonjol hanya ter-
dapat dalam tokoh superhero Spider Man. Spider Man dalam hidup
sehari-hari adalah Peter Parker, anak muda yang selalu berdompet
kosong. Salah satu adegan dari cerita menunjukkan Spider Man
berkata sendirian: ‰Some superhero I am! Too broke to buy a ticket to
meet a new enemy!‰
479
Sumber Tulisan
1. “Dari Kisah Ketib Anom”, Horison.
2. “Sebuah Catatan Lain”, Pengantar pada Peluncuran
Buku Hoakiau di Indonesia, Jakarta, 2000.
3. “Surat Terbuka untuk Pramoedya Ananta Toer”,
TEMPO, Edisi05/XXIX/3-9 April 2000.
4. “Pram”, TIM ISAI. (1997) Polemik Hadiah Magsaysay,
Jakarta: ISAI.
5. “Sjahrir di Pantai”, Mrázek, Rudolf. (1994) Sjahrir: Po-
litics and Exile in Indonesia, Southeast Asia Program,
Cornell University, Ithaca, New York.
6. “Heteropia untuk Mister Rigen”, Makalah Seminar
Seni, Budaya, Ilmu Pengetahuan: Menyambut Purna
Bakti Prof Umar Kayam, Yogyakarta: Universitas Ga-
djah Mada, 11-12 Juli 1997.
7. “Mangan Ora Mangan Kumpul”, Pengantar untuk
Kayam, Umar. (1995) Mangan Ora Mangan Kumpul,
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
480 | Setelah Revolusi Tak Ada Lagi
8. “Setelah Komunisme”, Pengantar untuk Dahrendorf,
Ralf. (1992) Refleksi atas Revolusi di Eropa, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama dan SPES.
9. “Sekadarnya tentang Putu Wijaya”, sumber tak terla-
cak.
10. “Mencoba Berbicara tentang Iman”, Ulumul Quran
No. 5 Vol. IV Th. 1993.
11. “Pada Suatu Hari Ikarus”, ...........................................
12. “Desember, Desember”, ..............................................
13. “Pintu-Pintu Menuju Tuhan: Sebuah Pengantar”,
Madjid, Nurcolish. (1995) Pintu-pintu Menuju Tuhan,
Jakarta: Yayasan Paramadina.
14. “Camus dan Orang Indonesia; Sebuah Pengantar”,
Camus, Albert. (1988) Krisis Kebebasan, Penerjemah
Edhi Martono, Penyunting A. Sonny Keraf, Jakarta: Ya-
yasan Obor Indonesia.
15. “Nietsczhe, Arung dan Ekstasi”, Pengantar untuk St.
Sunardi (1996), Nietsczhe, Yogyakarta: LKIS.
16. “Brecht: Montase dan Marxisme”, versi awalnya per-
nah dimuat Kompas, Maret 2001.
17. “Zarathustra di Tengah Pasar”, Jurnal Kebudayaan
Kalam, No. 7, Tahun 1996.
18. “Dari Rodrigo de Villa ke Jacques Derrida”, sumber
tak terlacak.
19. “Kartini, Sebuah Pesona”, ...........................................
20. “Kemajuan dan Kebebasan: Tentang Modernitas,
Takdir dan Habermas”, sumber tak terlacak.
Sumber Tulisan | 481
21. “Memilih Alternatif Kemajuan Indonesia (Berhu-
bungan dengan Gagasan Soedjatmoko) “, Prisma, No.
4 Juni 1972.
22. “Saini dan Puisi Platonis”, Budaya Jaya (1968).
23. “Nyanyi Sunyi Kedua; Sajak-sajak Sapardi Djoko
Damono 1967-1968”, Horison (1968)
24. “Sebuah Sajak yang Menjadi...”, Pengantar untuk
Dahana, Radhar Panca. (1994) Lalu Waktu: Sajak dalam
Tiga Kumpulan, Jakarta: Pustaka Firdaus.
25. “Subagio Sastrowardojo; Sebuah Interpretasi”, sum-
ber tak terlacak.
26. “Trisno Sumardjo; Puisi Modern dan Horatio”, sum-
ber tak terlacak.
27. “Amir Hamzah dan Masanya”, sumber tak terlacak.
28. “Dari Sunyi ke Bunyi: Sebuah Pengantar”, Andang-
djaja, Hartojo. (1991) Dari Sunyi ke Bunyi: Kumpulan
Esai tentang Puisi, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
29. “Tentang Seni dan Pasar”, Dari Galeri Lontar No.
01/Mei 1996
30. “Tentang Seni Rupa, Rakyat dan Celeng”, Berburu Ce-
leng: Katalog Pameran Tunggal Djoko Pekik, Jakarta:
Galeri Nasional, 5-12 November 1999
31. “Sebuah Torpis, sederet ‘nama’”, .................................
32. “Dari Dunia Superhero: Sebuah Laporan”, Prisma No.
6 Thn.VI,Juni 1977