ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI KOMUNIKASI Mini Book By Muvi Ayu Mazidah ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI KOMUNIKASI
2 Penulis Muvi Ayu Mazidah (04040522127) Editor Muvi Ayu Mazidah Dosen pengampu Abu Amar Bustomi M.Si. PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
3 2023 KATA PENGANTAR Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga Mini Book Komunikasi Sosial ini dapat terselesaikan. Buku ini merupakan rangkuman materi yang terdapat dalam mata kuliah yang penulis tempuh, yaitu Filsafat Komunikasi Program Studi Ilmu Komunikasi Semester 2 UIN Sunan Ampel Surabaya. Karya ini dibuat guna memudahkan pembaca dalam memahami mengenai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Komunikasi. Tak lupa juga saya ucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Abu Amar Bustomi M.Si, selaku dosen mata kuliah Filsafat Komunikasi atas segala arahan yang telah diberikan dalam pengerjaan Mini Book ini hingga terselesaikannya penyusunan Mini Book ini. Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam Mini Book ini, untuk itu kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan Mini Book ini sangat diharapkan. Dan semoga Mini Book ini memberikan manfaat dan ilmu yang berguna untuk masyarakat. Surabaya, 28 juni 2023 Muvi Ayu M
4 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.........................................................................................................................3 DAFTAR ISI.......................................................................................................................................4 A. ONTOLOGI ..................................................................................................................................5 1. PENGERTIAN ONTOLOGI .......................................................................................................5 2. PENGERTIAN KOMUNIKASI ..................................................................................................8 3. 5 DIMENSI DALAM PESAN KOMUNIKASI..........................................................................9 B. EPISTEMOLOGI ....................................................................................................................... 11 1. PENGERTIAN EPISTEMOLOGI............................................................................................. 11 2. ONTOLOGI DALAM EPISTEMOLOGI KOMUNIKASI.......................................................12 3. Pemikiran Epistemologi Filosof Muslim Paripetetik.................................................................14 4. Prinsip-Prinsip Epistemologi Islam............................................................................................16 C. AKSIOLOGI................................................................................................................................19 1. Pengertian Aksiologi Komunikasi..............................................................................................19 2. Etika ...........................................................................................................................................19 3. Estetika .......................................................................................................................................20 4. Pengertian Aksiologi Dalam Pandangan Islam ..........................................................................21 Aksiologis dalam Perspektif Filsafat Ilmu Dakwah .....................................................................23 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................24
5 A. ONTOLOGI 1. PENGERTIAN ONTOLOGI Kata ontologi berasal dari bahasa Yunani. Artinya, "ontos" berarti "ada" dan "logos" berarti "pengetahuan". Jadi ontologi adalah ilmu tentang apa yang ada. Ontologi sendiri adalah teori tentang keberadaan dan realitas. Ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari hakikat manusia dan fenomena yang perlu kita ketahui. Dalam ilmu sosial, ontologi berkaitan erat dengan hakikat eksistensi manusia. Objek ini bersifat empiris karena berada dalam batas-batas pengalaman manusia, yang mencakup semua aspek kehidupan yang dapat diamati dan dipastikan oleh indera manusia. Dengan demikian, ketentuan utama ontologi dalam kajian ilmu komunikasi berhubungan dengan hakikat interaksi sosial manusia. Ontologi menjadi sangat penting karena cara pandang para ahli teori mengkonseptualisasikan komunikasi bergantung pada bagaimana mereka memandang komunikator. Ontologi didasarkan pada kebenaran. Dalam ilmu komunikasi, kebenaran ini terletak pada ide atau simbol yang merupakan inti dari penelitian ilmu komunikasi. Ide atau simbol pada dasarnya tidak berwujud, tetapi efek dan dampaknya terhadap masyarakat dapat dieksplorasi. Ontologi komunikasi mencoba untuk menjawab pertanyaan tentang apa yang menjadi dasar komunikasi, apakah itu proses mental, tindakan fisik, atau entitas lainnya. Pada hakikatnya, komunikasi manusia adalah proses penyampaian pesan dari individu ke individu lain dengan menggunakan kode atau simbol yang telah disepakati. Ontologi bekerja untuk mengungkapkan pengetahuan mengenai ide-ide kita tentang realitas. Dalam ilmu sosial, ontologi adalah jangkauan keberadaan manusia (Stephen Little John). Pembahasan tentang ilmu ini tidak lepas dari pertanyaan apa sebenarnya ilmu komunikasi itu, apa yang ditelaahnya, objek apa saja yang termasuk dalam penelitian, dsb. Jawabanjawaban ini membantu
6 kita untuk memahami apa sebenarnya objek kajian dalam hakikat komunikasi. Dari perspektif ontologi, ilmu komunikasi khususnya dalam komunikasi massa seperti berita menitikberatkan pada keberadaan berita yang mempengaruhi rasa ingin tahu masyarakat. Pada abad ke-19, ada fenomena berita yang ingin mendapatkan audiens, wartawan fokus pada kejahatan, seks, berita menarik yang membuat sensasi. Dari sudut pandang ontologi, ilmu komunikasi ini dapat dipelajari dengan melihat dua objek yaitu objek material dan objek formal. Ilmu komunikasi sendiri dapat diartikan sebagai sesuatu yang monoteistik dalam 5 kesatuan dan keserupaannya dengan makhluk hidup atau benda pada tingkat yang paling abstrak dan paling tinggi. Alam ini dilihat sebagai objek material. Namun, melihat objek formal, ini adalah salah satu perspektif yang dapat menentukan ruang lingkup penelitian ini. Sejarah ilmu komunikasi, teori komunikasi, tradisi ilmu komunikasi, dan komunikasi manusia adalah contoh dari perspektif ontologis ini. Ditinjau dari aspek ontologi, ilmu komunikasi mengkaji tindakan manusia dalam konteks menyampaikan pesan. 1 Objek kajiannya adalah komunikasi penyampaian pesan kepada manusia. Dengan kata lain, penyampaian pesan kepada non-manusia bukan merupakan objek kajian ilmu komunikasi. Berkaitan dengan objek kajian ilmu komunikasi inilah lahirlah 3 paradigma dalam memandang kajian ilmu komunikasi dengan menitikberatkan pada kedua aspek berikut : a. Apakah isi pesan komunikasi harus memiliki tujuan? b. Apakah pesan komunikasi dapat diterima? Berdasarkan hal tersebut, solusinya adalah tergantung dari perspektif seseorang itu sendiri, berikut pemaparan 3 paradigma dalam konteks kajian ilmu komunikasi : 1) Paradigma -1 Dalam hubungan komunikasi selayaknya harus ada hubungan timbal balik. Komunikasi dapat dikatakan efektif apabila pesan yang 1 Dani Vardiansyah, “ONTOLOGI ILMU KOMUNIKASI: USAHA PENYAMPAIAN PESAN ANTARMANUSIA” 14 (2017).6
7 disampaikan oleh komunikator diterima dengan baik oleh komunikan. Analisis pada paradigma 1 menjelaskan bahwa manusia dalam berkomunikasi harus memiliki 3 aspek penting, yakni a) Pengirim pesan (komunikator), b) Isi pesan yang disampaikan, c) Penerima pesan (komunikan). Dengan demikian, implikasinya pada paradigma 1 adalah komunikasi yang tidak terjalin dengan baik, yakni pesan yang disampaikan oleh komunikator belum diterima oleh komunikan. Karena tidak ada komunikan yang menerima pesan, maka tidak ada komunikasi yang menjadi subjek kajian dalam ilmu komunikasi. 2) Paradigma -2 Dalam paradigma ini, setiap orang yang berkomunikasi disebut komunikator. Jadi, baik pengirim maupun penerima pesan adalah orang yang berkomunikasi Dengan kata lain, karena tidak diperlukan suatu tujuan, paradigma ini tidak menginterogasi pengirim dan penerima pesan. Hal yang paling penting adalah bahwa sudah ada orang yang menginterpretasikan pesan tersebut. Ini berarti pesan telah sampai (diterima). 3) Paradigma -3 Bagi Paradigma-3, komunikasi harus mencakup pesan yang disampaikan dan memiliki tujuan atas penyampaian pesannya. Oleh karena itu, persyaratan komunikasi dari paradigma-3 harus ada a) Pengirim pesan (komunikator), b) Pesan yang disampaikan, dan (c) Penerima pesan (komunikan). Ada banyak ontologi dalam ilmu komunikasi, tetapi Littlejohn (1989) mengklasifikasikannya dalam dua hal yang saling bertentangan: 1) Bersifat Tindakan (action). 2) Bukan Tindakan (non-action). Teori bersifat tindakan (action) menyatakan bahwa dalam penyampaian pesan komunikasi harus memiliki makna, tujuan, dan membuat pilihan-pilihan nyata. Di sisi lain, teori bukan tindakan (non-action) menyatakan bahwa perilaku komunikator dan komunikan sebagian besar ditentukan pada respon tekanan di masa lalu.
8 2. PENGERTIAN KOMUNIKASI Komunikasi adalah proses sosial dimana individu menggunakan simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam lingkungannya. Komunikasi juga merupakan transmisi informasi, ide, perasaan, keterampilan, dll. Melalui simbol atau kata-kata, gambar, angka, grafik, dll. Perbuatan atau proses penyampaian itu biasa disebut komunikasi, dalam kehidupan sehari-hari komunikasi sangat penting untuk mempererat tali silaturahmi. Komunikasi juga memungkinkan kita untuk memahami orang lain, dari sini dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah komunikasi yang saling mempengaruhi baik secara verbal maupun non verbal. Kata komunikasi berasal dari kata latin communicatio, yang berarti “pengumuman” atau “pertukaran ide”. Komunikasi dapat diartikan sebagai “komunikasi” atau pesan dari pengirim pesan sebagai media dan kepada penerima sebagai media. Tujuan dari proses komunikasi adalah untuk mencapai saling pengertian antara kedua pihak yang terlibat dalam proses komunikasi. Dalam proses komunikasi, medium mengirimkan pesan/informasi kepada medium sebagai objek komunikasi. Komunikasi terbagi menjadi dua bagian, yaitu: a. Komunikasi Internal Komunikasi internal organisasi adalah proses penyampaian pesan antar anggota organisasi untuk kepentingan organisasi, seperti komunikasi antara pimpinan dengan bawahan, antar bawahan lainnya, dll. Proses komunikasi internal ini dapat berupa komunikasi interpersonal atau kelompok. Komunikasi juga dapat berupa proses komunikasi primer atau sekunder. Komunikasi internal secara umum terbagi menjadi dua, yaitu komunikasi vertikal dan komunikasi horizontal. b. Komunikasi vertikal adalah komunikasi top-down dan top-down dari seorang pemimpin ke bawahan dan dari bawahan ke pemimpin. Dalam komunikasi vertikal, pemimpin memberikan instruksi, instruksi, informasi, dll kepada bawahan. Ketika bawahan mengirimkan laporan, saran, keluhan dan sebagainya kepada manajemen.
9 c. Dan konsep komunikasi horizontal atau lateral adalah komunikasi antar manusia, misalnya dari karyawan ke karyawan, manajer ke manajer. Pesan dalam komunikasi ini dapat mengalir di dalam departemen yang sama di dalam organisasi atau antar departemen. Interaksi lateral ini memfasilitasi pertukaran informasi, pengalaman, metode dan pertanyaan. Komunikasi eksternal Komunikasi eksternal organisasi adalah komunikasi antara pimpinan organisasi dengan publik di luar organisasi. Dalam organisasi besar, komunikasi ini sebagian besar ditangani oleh manajer PR, bukan manajer itu sendiri. Apa yang hanya dilakukan manajemen terbatas pada hal-hal yang dianggap sangat penting Komunikasi eksternal terdiri dari saluran timbal balik: 1) Komunikasi dari organisasi ke publik Komunikasi ini biasanya bersifat informatif, yang terjadi sedemikian rupa sehingga publik merasa terlibat, setidaknya ada hubungan internal. Komunikasi ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti majalah organisasi; siaran pers; artikel surat kabar atau majalah; radio bicara; film dokumenter; brosur; brosur; poster; konferensi pers. 2) Komunikasi dari publik ke organisasi Komunikasi publik ke organisasi merupakan umpan balik atas aktivitas organisasi dan efek komunikasi. 3. 5 DIMENSI DALAM PESAN KOMUNIKASI Menurut Effendi (2003:253), teori komunikasi yang pertama kali berkembang adalah teori Lasswell. Harold D. Lasswell (1948), dalam sebuah artikel berjudul "The Structure and Function of Communication in Society", "The Transmission of Ideas", berpendapat bahwa cara terbaik untuk menggambarkan proses komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan tentang siapa (who) mengatakan apa (what) kepada siapa (who) melalui saluran apa dan dengan efek apa. Jawaban dari pertanyaan paradigmatik Lasswell ini adalah elemen-elemen proses komunikasi yang terdiri atas komunikator, pesan,
10 media, penerima pesan (komunikan), dan efek.2 Berdasarkan hal tersebut, ada 5 dimensi yang diungkapkan oleh Lasswell, yakni : a. Dimensi Strategi Komunikator Strategi komunikator haruslah fleksibel sehingga dapat menghambat pengaruh komunikasi dapat muncul kapan saja, terutama ketika komunikasi terjadi melalui media. Hal ini merujuk pada pendekatan atau taktik yang digunakan oleh komunikator untuk mencapai tujuan komunikasi mereka. b. Dimensi Pesan Dimensi pesan dalam komunikasi mengacu pada elemen-elemen yang terkandung dalam pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. Pesan adalah sebuah wadah dengan makna.7 Pesan merupakan inti dari komunikasi dan berperan penting dalam menyampaikan informasi, gagasan, ide, atau instruksi dari satu pihak kepada pihak lainnya. c. Dimensi Media Dimensi media komunikasi melibatkan saluran atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan. Ini dapat mencakup komunikasi verbal, komunikasi non-verbal, komunikasi melalui media sosial dan teknologi digital lainnya. d. Dimensi Komunikan (Penerima Pesan) Komunikan adalah pihak yang menerima pesan dari komunikator. Dalam hal ini, merujuk pada karakteristik dan faktor yang terkait dengan penerima pesan (komunikan)dalam proses komunikasi. Ini mencakup berbagai aspek yang mempengaruhi bagaimana komunikan memahami, merespons, dan memproses pesan yang diterima. e. Dimensi Efek Dalam komunikasi hal ini merujuk pada hasil atau dampak yang terjadi akibat terjadinya komunikasi antara komunikator dan komunikan. 2 Ike Rachmawati, “STRATEGI KOMUNIKATOR DALAM MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PELANGGAN AIR MINUM PDAM KOTA SUKABUMI,” Kebijakan : Jurnal Ilmu Administrasi 10, no. 1 (February 11, 2019): 47.
11 Dengan mencakup perubahan perilaku, pemahaman, sikap, atau emosi yang terjadi pada komunikan sebagai akibat dari pesan yang diterima. B. EPISTEMOLOGI 1. PENGERTIAN EPISTEMOLOGI Epistemologi diambil dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu episteme yang berarti knowledge atau ilmu pengetahuan dan logos atau logy yang berarti theory. Dengan demikian secara etimologis, epistemologi dapat diartikan dengan theory of knowledge atau teori ilmu pengetahuan. Epistemologi disebut juga gnosiologi, logika material, kriteriologi, dan filsafat pengetahuan. Pada prinsipnya epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, teori kebenaran, metode-metode ilmiah dan aliran-aliran teori pengetahuan. Dengan demikian, epistemologi dimaksudkan sebagai usaha untuk menafsirkan, di mana mungkin, membuktikan keyakinan kita bahwa kita mengetahui kenyataan yang lain dari diri sendiri.3 Epistemologi merupakan Ilmu yang mempelajari hakikat pengetahuan. Dalam penelitian komunikasi, epistemologi mengacu pada asumsi tentang hubungan antara peneliti dan objek penelitian dalam proses memperoleh pengetahuan tentang fenomena komunikasi.Pada prinsipnya elemenepistemologis mempelajari ilmu komunikasi dari segi bagaimana cara ilmukomunikasi dalam memperoleh kebenaran ilmiahnya. Karena menyangkut cara, maka diasumsikan akan sangat banyak cara dalam upaya ilmuwan komunikasi memperoleh kebenaran ilmiahnya. Cara-cara yang dikenal dalam upaya memperoleh kebenaran ilmiah dalam ilmu komunikasi, jika direduksi diantaranya adalah menyangkut 4 paradigma teori dan paradigma penelitian. Paradigma teori terkait dengan penggambaran tentang asumsi yang melatarbelakangi bagaimana sutu teori itu dilahirkan. Sedangkan paradigma penelitian menggambarkan tentang bagaimana suatu proses penelitian secara ideal harus dilakukan. Paradigma teori itu biasanya cenderung akan berkaitan dengan paradigma penelitian. Selanjutnya, keterkaitan ini akan menentukan pula arah pelaksanaan penelitian, apakah
12 akan mengarah pada pendekatan penelitian kuantitatif atau pendekatan kualitatif. Epistemologi dan kompleksitas realitas komunikasi sangat erat kaitannya dengan penelitian komunikasi. Epistemologi mengacu pada asumsi tentang hubungan antara peneliti dan objek penelitian dalam proses memperoleh pengetahuan tentang fenomena komunikasi. Sementara itu, kompleksitas realitas komunikasi disebabkan karena komunikasi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti budaya, kekuasaan dan teknologi. Kajian epistemologi penting untuk memahami kompleksitas realitas komunikasi karena menyediakan kerangka kerja untuk memahami bagaimana informasi ditangkap dan asumsi apa yang dibuat dalam proses tersebut. Misalnya, asumsi yang dibuat tentang hubungan antara peneliti dan subjek penelitian dapat memengaruhi cara komunikasi dipelajari dan dipahami. Ringkasnya, kajian epistemologi sangat penting untuk memahami kompleksitas realitas komunikasi. Ini memberikan kerangka kerja untuk memahami bagaimana informasi dikumpulkan dan asumsi yang dibuat dalam proses yang dapat mempengaruhi cara komunikasi dipelajari dan dipahami. Teori dan konsep yang berbeda untuk mempelajari komunikasi seringkali didasarkan pada asumsi epistemologis yang berbeda, yang dapat menyebabkan persepsi yang berbeda tentang realitas komunikasi.3 2. ONTOLOGI DALAM EPISTEMOLOGI KOMUNIKASI Ontologi dalam epistemologi komunikasi merupakan konsep yang sangat penting untuk memahami bagaimana kita memperoleh pengetahuan tentang dunia melalui proses komunikasi. Ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari keberadaan, realitas, dan hakikat makhluk yang ada di dunia ini. Pada saat yang sama, epistemologi mengkaji hakikat pengetahuan, 3 Mohammad Zamroni, “EPISTEMOLOGI DAN RUMPUN KEILMUAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM,” Jurnal Ilmu Dakwah 34, no. 1 (January 19, 2014): 122–39, https://doi.org/10.21580/jid.v34.1.67.
13 bagaimana pengetahuan itu diperoleh, dan apa yang dianggap sebagai pengetahuan yang valid. Dalam konteks komunikasi, ontologi membahas pertanyaan mendasar tentang apa yang dapat diketahui melalui komunikasi, realitas apa yang dibahas dalam komunikasi, dan bagaimana faktor-faktor seperti bahasa, simbol, dan konteks sosial mempengaruhi pengetahuan tersebut. Dalam epistemologi komunikasi, tujuan ontologi adalah untuk memahami hubungan antara realitas dan komunikasi serta pengaruhnya terhadap informasi yang dihasilkan. Salah satu pendekatan ontologi komunikasi adalah konstruksionisme sosial, yang menegaskan bahwa realitas sosial dan pengetahuan dibangun melalui interaksi sosial dan proses komunikasi. Menurut konstruksionisme sosial, realitas tidak ada sebelumnya dan tidak bergantung pada entitas atau objek di luar pikiran individu. Sebaliknya, realitas dibangun melalui interpretasi kolektif dari individu yang berkomunikasi. Pandangan ontologis lainnya adalah realisme, yang menegaskan bahwa realitas ada secara objektif dan independen dari kesadaran manusia. Berdasarkan elemen epistemologis. Pada prinsipnya elemenepistemologis mempelajari ilmu komunikasi dari segi bagaimana cara ilmukomunikasi dalam memperoleh kebenaran ilmiahnya. Karena menyangkut cara, maka diasumsikan akan sangat banyak cara dalam upaya ilmuwan komunikasi memperoleh kebenaran ilmiahnya. Cara-cara yang dikenal dalam upaya memperoleh kebenaran ilmiah dalam ilmu komunikasi, jika direduksi diantaranya adalah menyangkut paradigma teori dan 6 paradigma penelitian. Paradigma teori terkait dengan penggambaran tentang asumsi yang melatarbelakangi bagaimana sutu teori itu dilahirkan. Sedangkan paradigma penelitian menggambarkan tentang bagaimana suatu proses penelitian secara ideal harus dilakukan. Paradigma teori itu biasanya cenderung akan berkaitan dengan paradigma penelitian. Selanjutnya, keterkaitan ini akan menentukan
14 pula arah pelaksanaan penelitian, apakah akan mengarah pada pendekatan penelitian kuantitatif atau pendekatan kualitatif. epistemologi dapat dilacak dari sejarah pemikiran para filosof Yunani kuno, yaitu Heraklitos (535-484 SM) yang berpendapat bahwa alam semesta ini selalu dalam keadaan berubah, sesuatu yang dingin berubah menjadi 6 Mirza Shahreza, “Perubahan Paradigma Penelitian Pada Ilmu Komunikasi,” 2018. panas, dan begitu sebaliknya. Dunia ini selalu bergerak, tidak ada yang tetap, panta rhei, semuanya mengalir. Implikasi pernyataan ini mengandung pengertian bahwa kebenaran selalu berubah, tidak tetap. Hari ini 2+2=4, besok dapat saja bukan empat. 3. Pemikiran Epistemologi Filosof Muslim Paripetetik Sejarah mencatat, bahwa di kalangan filosof Muslim Paripatetik memiliki perhatian yang sangat kuat dalam membahas epistemologi. Filsafat Paripatetik adalah gabungan Aristotelian-Neoplatonis, sebagai corak pertama filsafat Islam yang mencapai kematangannya di tangan Ibn Sina. Dalam tradisi pemikiran Islam dikenal dengan “massya’i”, yang berarti berjalan, karena Aristoteles dalam menyampaikan ajarannya berjalan-jalan di sekitar gedung olah raga di kota Athena yang bernama paripatos.4 Al-Kindi (801-860 M) menyebutkan ada tiga macam pengetahuan manusia, yaitu; pengetahuan inderawi, pengetahuan rasional, dan pengetahuan intuisi. Pertama, pengetahuan inderawi, yaitu pengetahuan yang diperoleh secara langsung ketika orang mengamati obyek-obyek material, kemudian dalam proses tanpa tenggang waktu dan tanpa berpindah ke imajinasi. Pengetahuan yang diperoleh dengan jalan ini bersifat tidak tetap, tetapi selalu berubah dan bergerak setiap waktu. Kedua, pengetahuan rasional, yakni pengetahuan yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal yang bersifat universal, tidak parsial dan bersifat immaterial. Pengetahuan ini menyelidiki sampai pada hakikatnya. Sebagai contoh adalah orang yang mengamati 4 Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat (Jakarta: Rajawali Press, 1986), 79.
15 manusia, menyelidikinya sampai pada hakikatnya dan sampai pada kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang berfikir. Ketiga, pengetahuan ishrāqi yang merupakan pengetahuan yang datang dan diperoleh langsung dari pancaran nur-Ilahi. Puncak pengetahuan ini adalah pengetahuan yang diperoleh para Nabi untuk membawakan ajaran yang berasal dari wahyu Tuhan. Menurutnya pengetahuan inilah yang mutlak dan benar. Pengetahuan ini hanya dimiliki oleh mereka yang berjiwa suci dan dekat dengan Allah.5 Al-Farabi (870-950 M), mengemukakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui 6 daya mengindera, menghayal, dan berfikir, di mana ketiga daya ini merujuk pada kedirian manusia, yaitu: jism, nafs, dan ‘aql. Pertama, daya mengindera yang memungkinkan manusia untuk menerima rangsangan seperti panas dan dingin, yang dengan daya ini manusia dapat mengecap, membau, mendengar suara, meraba, dan melihat. Kedua, daya menghayal yang memungkinkan manusia untuk memperoleh kesan dari halhal yang dirasakan setelah obyek tersebut lenyap dari jangkauan indera. Daya ini adalah menggabungkan atau memisahkan seluruh kesan-kesan yang ada sehingga menghasilkan potongan-potongan atau kombinasikombinasi yang beragam, dan hasilnya bisa jadi benar, bisa jadi salah. Ketiga, daya berfikir yang memungkinkan manusia memahami berbagai pengertian, sehingga dapat membedakan yang mulia dari yang hina serta menguasai seni dan ilmu. sebagaimana dipaparkan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan, pertama, paradigma pemikiran epistemologi para filosof Muslim Paripatetik menunjukkan, bahwa akal atau rasiolah yang paling dominan sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan yang benar dengan menggunakan metode demonstratif (burhāni). 5 Ahmad Musthofa, Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1997), 104. 6 Ahmad Zaenul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), 77-9.
16 4. Prinsip-Prinsip Epistemologi Islam Epistemologi Islam atau yang juga disebut filsafat pengetahuan Islam dilakukan dengan beberapa pendekatan, di antaranya: pendekatangenetivus subyektivus dan genetivus obyektivus. Pendekataangenetivus subyektivus menempatkan Islam sebagai subyek (artinya Islam dijadikan sebagai titik tolak berpikir). Pada pendekatan ini epistemologi diletakkan sebagai bahan kajian. Sementara itu, pendekatan genetivus obyektivus menem-patkan Islam sebagai obyek kajian (artinya Islam dijadikan sebagai bahan kajian dalam berpikir). Pada posisi ini epistemologi dijadikan sebagai titik tolak berpikir pada saat mengkaji Islam.7 Dari kedua pendekatan tersebut, pendekatan yang akan digunakan dalam pembahasan ini adalah pendekatan genetivus subyektivus. Beberapa alasan yang men-jadi pertimbangan, di antaranya: bahwa Islam sudah jelas sumbernya yaitu al-Qur an dan Hadis yang kebenarannya mutlak tidak diragukan lagi oleh setiap Muslim sehingga kalaupun epistemologi digunakan tujuannya adalah untuk bagaimana cara memperoleh pengetahuan, bagaimana metodologi pengetahuan, bagaimana hakikat pengetahuan, dan sebagainya, yang menyangkut pengetahuan. Apa yang dimaksud epistemologi Islam? Bagaimana posisi epistemologi Islam dalam epistemologi keilmuan umumnya? Miska Muhammad Amin mendefenisikan epistemologi sebagai usaha manusia untuk menelaah masalah-masalah obyektivitas, metodologi, sumber data validitas pengetahuan secara mendalam dengan menggunakan subyek Islam sebagai titik tolak berpikir. Berdasarkan rumusan itu dipahami bahwa pada hakikatnya masalahmasalah yang dibahas epistemologi Islam sama dengan epistemologi pada umumnya. Kendati demikian, secara khusus epistemologi juga membahas wahyu dan ilham sebagai sumber pengetahuan, yang pembahasan itu tidak ditemukan pada epistemologi umum. 7 Amin Miska Muhammad. Epistemologi Islam: Filsafat Pengetahuan Islam (Jakarta: UIPress, 1983), h. 10
17 Al-Ghazâlî merupakan salah seorang pemikir Muslim yang berupaya mengkaji epistemologi dalam perspektif Islam. Selama berbulan-bulan alGhazâlî merenungkan masalah ini, hingga akhirnya ia hampir putus asa. Di tengah keputusasaannya, al-Ghazâlî berakhir pada satu kesimpulan bahwa sekalipun kebenaran harus dicari, tetapi keterbatasan akal manusia harus diakuinya dan sentuhan cahaya Tuhanlah yang sebenarbenarnya paling riil. Ini menandakan bahwa pengetahuan manusia tentang kebenaran bergantung sekali pada sesuatu yang berada di luar nalar dan aturan-aturan penalaran. Sesuatu yang lebih tinggi daripada nalar sebagai alat penghubung dengan kenyataan, mesti ada pada manusia, dan meskipun akitivasinya bergantung pada bunga api ilahi , al-Ghazâlî sendiri mengakui pencari yang gigih akan tetap mampu mencapai pengetahuan tentang kenyataan dan tentang Tuhan.8 Paling tidak ada 5 (lima) prinsip utama epistemologi Islam, yaitu (1) Prinsip tauhid; (2) Ada realitas di luar pikiran manusia; (3) Berpikir atau tidak, realitas tetap ada; (4) Manusia dapat mengetahui realitas; dan (5) Fenomena di dalam alam berkaitan secara kausal. Keterkaitannya dengan Komunikasi Islam dapat disebutkan bahwa ia dibangun berasaskan prinsip-prinsip yang ada. Di dalam Komunikasi Islam, karena ia bersumber dari al-Quran dan Sunnah, maka ia berpegang pada prinsip ketauhidan. Bahwa berpikir bagi manusia hanyalah sebagai alat memahami sesuatu yang ada di luar pikiran itu sendiri. Artinya, sesuatu yang dipikirkan oleh manusia pastilah berada di luar pikiran manusia itu sendiri. Dipahami pula, bahwa sekalipun manusia berpikir atau tidak berpikir, realitas (kenyataan) tetap ada. Artinya, bukanlah karena manusia berpikir atau tidak berpikir penyebab sesuatu menjadi ada. Hal ini jelas bisa ditelusuri bahwa ketika Tuhan belum menciptakan Nabi Adam sebagai manusia pertama, Tuhan telah terlebih dahulu menciptakan surga, para malaikat, bahkan juga iblis. Artinya, jika pikiran hanyalah milik manusia, ternyata sebelum manusia ada, mahkluk lain 8 Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif: Ceramah-Ceramah di Kampus (Bandung: Mizan, 1999), h. 182.
18 juga sudah ada. Tetapi kemudian, dengan diajarkan-Nya nama-nama benda kepada Adam, maka manusia menjadi mengetahui dan berpikir untuk melestarikan atau bahkan merusaknya. Pengetahuan dalam Islam salah satu tinjauannya adalah aspek epistemologi. Walaupun pembahasan tersebut dalam literatur Islam tidak tersusun secara rapi dan tersendiri, kita dapat menemukan pembahasan itu dalam beberapa kajian filsafat seperti pembahasan yang berkaitan dengan nonmeterialnya ilmu, tingkatan-tingkatan ilmu, terbaginya ilmu ke dalam beberapa bagian, dan lain-lain. Dari sisi epistemologi, kita bisa membahas ilmu pada aspek representifnya setelah kita membuktikan secara ontologis tentang keberadaan ilmu tersebut. Jadi, bisa dikatakan bahwa kajian epistemologi sebenarnya adalah pembahasan derajat kedua. Meskipun demikian, secara subtansial pembahasannya sangat berbeda dengan pembahasan ontologi. Banyak filosof Islam mencurahkan segala kemampuan mereka untuk mengkaji pembahasan seputar epistemologi ini. Beberapa pandangan umum terhadap kajian epistemologi di dalam literatur Islam antara lain membahas tentang kategori, kesatuan antara subyek dengan obyek, wujuddzinnî, konsep benarsalah, dan batasan kemampuan akal budi manusia.9 Berikut penjelasan masing-masing bahasan. Sebelum dikemukakan epistemologi komunikasi Islam, terlebih dahulu dikemukakan beberapa gambaran konsep dasar tentang epistemologi secara umum dan dalam perspektif Islam. Pertama akan dikemukakan tentang caracara memperoleh ilmu pengetahuan. Di kalangan para pemikir, mulai dari masa Aristoteles hingga Freud atau dari zaman Yunani hingga zaman modern, telah terjadi perdebatan filosofis yang sengit di sekitar pengetahuan manusia. Salah satu perdebatan besar itu adalah diskusi yang mempersoalkan sumbersumber dan asal-usul pengetahuan dengan meneliti, mempelajari dan mencoba mengungkapkan prinsip-prinsip primer kekuatan struktur pikiran yang dianugerahkan kepada manusia. 9 Dikutip dari www.msn.com/http://www.hizbi.net//Senin, diunduh pada tanggal 3 September 2007
19 C. AKSIOLOGI 1. Pengertian Aksiologi Komunikasi Aksiologi berasal dari kata ‘axios’ yang dari bahasa Yunani memiliki arti nilai dan logos yang arti luasnya adalah teori. Maka demikian aksiologi adalah “Teori Tentang Nilai”(Amsal Bakhtiar, 2004: 162). Aksiologi merupakan cabang filsafat yang membahas tentang nilai, penyidikan kodrat, kriteria dan status dari nilai. Hal ini berkaitan dengan beberapa isu atau masalah ataupun pertanyaan penting mengenai ilmu komunikasi dengan melihat nilai manfaat dari ilmu komunikasi, apakah ilmu komunikasi sudah diarahkan mencapai kebenaran ilmunya, apakah manfaat ilmu ini dikembangan dan apakah ini dikembangkan untuk kepentingan sekelompok orang atau kemaslahatan bersama. Ada beberapa pengertian aksiologi yakni yang disebutkan di bawah ini: a. Aksiologi merupakan analisis nilai-nilai. Maksud dari analisi ini adalah membatasi arti, ciri-ciri, asal, tipe, kriteria, dan status epistimologi dari nilai-nilai itu. b. Aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau suatu studi yang menyangkut segala yang bernilai. c. Aksiologi adalah studi filosofi tentang hakikat-hakikat nilai. Dalam sejarahnya, aksiologi atau nilai bermula dari perdebatan Alexus Meinong dengan Christian von Ahrenfels pada tahun 1890 yang berkaitan dengan sumber yaitu feeling (perasaan), atau perkiraan, atau kemungkinan adanya kesenangan terhadap suatu objek. Ehrenfels juga melihat bahwa sumber nilai adalah hasrat atau keinginan. Aksiologi mempunyai beberapa aspek dalam pendefisian in : 2. Etika Etika dari bahasa Yunani Ethos yang berarti sikap, cara berpikir, watak kesesuaian atau adat. Etika identik dengan Moral, yaitu akhlak atau kesusilaan. Mengandung makna tata tertib batin hati nurani dan menjadi pengatur dalam tingkah laku batin dalam hidup.
20 Etika dibagi menjadi 3, yaitu: a. Etika deskriptif Etika deskriptif merupakan cara menggambarkan tingkah laku moral yang pada umumnya seperti kebiasaan, anggapan baik atau buruk, tindakan yang boleh dan tidak diperbolehkan. b. Etika normatif Etika normatif mendasarkan pendiriannya atas norma. Mempersoalkan norma yang diterima seseorang atau masyarakat secara lebih kritis. Membahas apakah norma itu benar atau tidak. Etika normatif dibagi menjadi dua, yaitu etika umum dan etika khusus. Etika umum mencakup etika individual, dan etika sosial. Sedangkan etika khusus merujuk pada etika terapan. c. Metaetika Metaetika adalah kajian etika yang ditujukan pada ungkapanungkapan etis. Metaetikan menganalisis logika perbuatan dalam kaitan dengan baik atau buruk. 3. Estetika Aspek kedua di dalam Aksiologi adalah estetika. Estetik disebut juga dengan keindahan, bahasa Yunani nya yaitu Aisthetica atau Aisthesis. Kata tersebut berarti hal-hal yang dapat diperhatikan dengan indera atau cerapan indera. Berhubungan dengan keindahan, rasa, dan segala hal yang menyangkut perasaan atau penilaian personal. Keindahan mengandung arti bahwa di dalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang menyeluruh. Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian. Dalam estetika penentuan nilai suatu hal melibatkan rasa atau perasaan. Sehingga dipengaruhi oleh banyak faktor. Misalnya dipengauhi oleh hati, saat suasana hati buruk maka segala hal dinilai buruk juga, begitu pun sebaliknya. Beberapa orang yang mencintai dan memahami dunia seni dan dekat dengan
21 keindahan. Maka akan melihat segala hal dari nilai keindahannya, bahkan segala hal bisa dinilai sebagai sesuatu yang indah. Estetika memilik dua aspek, diantaranya yaitu estetika filsafati dan estetika ilmiah. Estetika filsafati disebut juga dengan filsafat keindahan, filsafat cita rasa, filsafat seni, dan filsafat kritik. Dalam hal ini banyak membahas hakikat, akar dari ilmu seni, hasil perenungan bukan eksperimen, dan pengalaman-pengalaman. Sedangkan estetika ilmiah cenderung mengacu pada ilmu pengetahuan mengenai kesenian, keindahan, ataupun estetika. Estetika adalah suatu hal yang relatif bagi semua orang, karena penilaian dan pemikiran dari suatu keindahan tiap masing-masing individu pasti berbeda. Karena letak keindahan tidak hanya pad contoh seseorang yang berkulit putih, alis tebal, kurus atau gemuk, dan beralis tebal. Dikarenakan pemikiran dan pendapat dari estetika tiap individu merupakan hal yang berbeda. Contoh dari estetika adalah jika estetika kendahan bisa berupa audio, visual, ruang, dan waktu. Sedangkan contoh dari estetika jelek adalah tidak punya cipta, tidak punya rasa, dan tidak punya karsa. Dapat ditelaah bahwa terdapat estetika yang melekat pada benda dan ada juga estetika yang berada di luar benda tersebut. 4. Pengertian Aksiologi Dalam Pandangan Islam Istilah aksiologi dalam pandangan dunia Islam bukanlah konsep yang baru karena Nabi Muhammad SAW biasa meminta petunjuk Allah setiap hari dengan kalimat “Allahumma inni asaluka „ilman naafi‟an wa rizqan thoyyiban wa „amalan mutaqabbalan” (HR. Ibnu As -Sunni dan Ibnu Majah). Akibatnya, dapat ditarik hubungan antara aksiologi dan nilai pengetahuan tentang nilai atau nilai kehidupan tertentu. Axion yang berarti realitas dan logos yang berarti teori adalah dua komponen utama aksiologi berbasis bahasa Yunani. Dengan demikian, aksiologi dapat didefinisikan sebagai teori bilangan. Pembahasannya mencakup tiga hal berupa tindakan moral yang melahirkan etika, berupa kehidupan politik sosial yang melahirkan filsafat
22 sosial politik, ekspresi keindahan yang melahirkan estetika, dan tindakan moral yang melahirkan etika. Nilai adalah karakteristik atau kualitas yang mirip dengan satu objek tetapi bukan objek itu sendiri. Menurut penelitian etimologis, fokus utama aksiologi adalah pengetahuan tentang hakikat nilai yang sering muncul dari sudut pandang kefilsafatan. 10 Selanjutnya, aksiologis dalam wacana filsafat mengacu pada persoalan etika (moral) dan estetika (keindahan). Ada tiga teori nilai yang berbeda dalam literatur aksiologi: a. Teori objektivitas, Teori ini merupakan teori fundamental yang menegaskan bahwa suatu bilangan merupakan bilangan objektif dalam seni bilangan. Sebagai hasil dari menjadi yang terbaik, nila yang dipersoalkan secara konsisten dapat dibantah dengan argumentasi yang kuat dan rasional. Menurut Milton D. Hunnex (2004), nilai, norma, dan cita-cita adalah unsurunsur yang dapat ditemukan dalam suatu objek, ada dalam realitas objektif, atau diberikan kepada suatu objek melalui daya tarik. b. Menurut Lorens Bagus (2002), Teori nilai subyektif berpandangan bahwa nilai-nilai seperti kebaikan, kebenaran, dan keindahan tidak hadir dalam dunia nyata melainkan bersifat pribadi, subyektif, dan berfungsi sebagai alat penyangkalan kenyataan. Pandangan ini mereduksi nilai ke dalam pernyataan yang berhubungan dengan suikap mental terhadap suatu objek atau situs. Hanya sebagai satu bukti yang menentangnya, Nilai memiliki kenyataan. Objek ramah tamah. Asiologi subjektivisme cenderung mengabsahkan teori etika seperti naturalisme dan hedonisme. Hedonisme adalah teori yang menegaskan bahwa integritas ditentukan oleh perilaku. Sebaliknya, naturalisme menunjukkan bahwa pernyataan psikologis tentang suatu nilai dapat dibuat.Nilai tidak memiliki realitas yang berdiri sendiri karena bergantung dan terkait dengan pemahaman manusia terhadapnya (Milton D. Hunnex, 2004). 10 Dani Vardiansyah, Filsafat Ilmu Komunikasi: Pengantar Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, 2017.
23 c. Nilai relativistik. Relativisme adalah suatu teori yang mempunyai beberapa prinsip penuntun, beberapa di antaranya sebagai berikut:Nilai-nilai bersifat relatif karena berhubungan dengan preferensi (sikap, keinginan, ketidaksukaan, perasaan, selera, kecenderungan dan sebagainya), baik secara sosial maupun pribadi yang dikondisikan oleh lingkungan, adat istiadat, Dan bahwa tidak ada dan tidak mungkin ada universal, mencakup semua, dan objektif manapun yang berlaku untuk setiap orang setiap saat (Lorens Bagus, 2002: 718). Teori ini mendapatkan kritik tajam karena pandangan ini secara keliru menyamakan nilai objektif dengan penilaian pribadi subjek, sampai dengan perasaan-perasaan subjek. Karena itu, relativisme secara inheren bersifat subyektif. Menurut teori ini, setiap individu (subjek) memahami dirinya sendiri. Sebagai contoh, seorang filsuf tertentu menyatakan dengan keyakinan bahwa nilai adalah esensi yang tidak bersifat sementara dan esensinya bersifat abadi. Scheler menawarkan lima kriteria, yang tercantum di bawah ini, untuk memahami praktik perekrutan. Membuat nilai bertahan lama dan. 5. Aksiologis dalam Perspektif Filsafat Ilmu Dakwah Cabang filsafat yang mempelajari berbagai mode penalaran di mana situasi tertentu dapat positif atau negatif dan ketika ada hubungan antara data numerik dari satu organisasi dan data faktual dari organisasi lain. Aksiologi Ini adalah persyaratan etika cabange tradisional. Etika memperluas diri dengan memusatkan perhatiannya pada nilai-nilai moral, aksiologi memusatkan perhatiannya pada semua jenis nilai. Dalam etiket konvensional, nilai dicirikan dengan baik dan jahat; Namun dalam aksiologi, nilai memiliki arti yang lebih luas, yaitu baik dan buruk/jahat (dalam etiket), indah dan jelek (dalam estetika), dan benar at atau salah (dalam etiket logis). Teori di balik keberadaan nilai dalam berbagai makna dikenal dengan aksiologi.
24 DAFTAR PUSTAKA Sabila, Aulia Firdausi."ONTOlOGI,KONTRUKSI DAN DIMENSI PESAN KOMUNIKASi."(2023) Nofitriasari,Aliftia Ummi."ONTOLOGI,KONTRUKSI DAN DIMENSI PESAN KOMUNIKASI"(2023) Khafidah,Laila."KONSEP ELEMEN DASAR EPISTEMOLOGY KOMUNIKASI DAN KOMPLEKSITAS REALITA KOMUNIKASI ."(2023) Insyira,Vea Athala."AKSIOLOGI KOMUNIKASI DAN AKAR TINDAK KOMUNIKASI."(2023) Rahma,Nabila Layla."PENGERTIAN AKSIOLOGI KOMUNIKASI DAN TINDAK AKAR KOMUNIKASI."(2023) Ritonga, Hasnun Jauhari. "Landasan Epistemologi Komunikasi Islam." MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman 32 (2008) Kenneth T. Gallagher. Epistemologi Ilmu: Filsafat Pengetahuan, terj. P. Hardono Hadi (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 53. Mirza Shahreza, “Perubahan Paradigma Penelitian Pada Ilmu Komunikasi,” 2018.
25