The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by hanifiahzakiatunrohmah, 2021-09-14 23:46:11

Dari Dalam Rumah (Kelompok 5 9F)

Dari Dalam Rumah (Kelompok 5 9F)

Kata Pengantar

Alhamdulillah dengan memanjatkan puji syukur
kehadirat Allah SWT karena atas limpahan Rahmat dan
Karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas yang diberikan
oleh guru yang kemudian dilanjutkan oleh penyusunan
antologi cerpen dengan judul “Dari Dalam Rumah”.

“Dari Dalam Rumah” terdiri atas 5 cerita pendek.
Setiap cerpen merupakan karangan dibuat oleh gadis-gadis
kelas 9F di sekolah SMPIT Raudhatul Jannah Cilegon. Latar
cerita dalam buku ini memilih latar tempat, sosial, budaya,
bebas dengan tema yang cukup beragam, meliputi cinta orang
tua, penyesalan, tragedy, keluarga, dan kesedihan akibat
pandemi. Tema tersebut dipilih untuk meningkatkan minat
baca peserta didik.

Tak ada gading yang tak retak karenanya kami sebagai
tim penulis menyadari bahwa penulisan antologi cerpen ini
masih jauh dari kata sempurna, baik dari sisi layout maupun
penulisannya. Kami dengan rendah hati dan dengan tangan
terbuka menerima berbagai masukan maupun saran yang
bersifat membangun yang diharapkan berguna bagi seluruh
pembaca.

Daftar Isi 6
10
1. Berawal dari 2 Minggu 15
2. Aku dan Hujan 23
3. Tumpukan Amarah 32
4. Alia dan Kisahnya 41
5. Kisah dari Tepi Pantai
6. Biodata Penulis

Berawal dari 2 Minggu

Karya Alya Nur Novany

Pengumuman libur selama 2 minggu membuat aku
senang. Kapan lagi bisa libur selain hari Sabtu dan Minggu?
Walaupun libur, sekolah tetap memberikan tugas yang harus
dikerjakan. Sebut saja belajar dari rumah. Meskipun aku
mendapatkan tugas, setidaknya aku bisa bebas mengerjakan
apa yang aku mau di rumah.  

2 minggu sudah berlalu, namun libur diperpanjang
dikarenakan kasus covid yang bertambah banyak. Entah aku
mau senang atau sedih, aku senang karena libur diperpanjang,
namun aku juga sedih karena banyak orang yang terpapar
virus covid dan tidak bisa bertemu dengan teman secara
langsung. Sebulan pertama dirumah saja aku masih biasa saja
walaupun aku rindu bertemu dengan teman-teman. Namun
seiring berjalannya waktu ternyata kasus covid melonjak naik,
dan pemerintah memutuskan untuk melakukan

kegiatan dirumah saja, seperti sekolah dari rumah secara
daring, dan kerja dari rumah. 

Kegiatanku selama sekolah dari rumah hanya bangun
pagi, absen, belajar hingga siang. Kemudian dilanjut dengan
mengerjakan tugas. Ya, aku melakukan itu berulang kali setiap
hari. Aku bosan, aku rindu bermain bersama temanku, rindu
jajanan kantin. Selama dirumah saja waktuku banyak terbuang
sia-sia, setelah pekerjaan sekolah dan rumahku selesai, aku
bingung ingin melakukan apa? Padahal aku bisa melakukan
banyak kegiatan positif, tapi aku menolak untuk
melakukannya.  

Di akhir pekan, aku melakukan pekerjaan rumah seperti
biasa. Setelahnya, aku melakukan panggilan video bersama
sahabatku yaitu Kalia, Joy, dan Oliv. Kami membicarakan
banyak hal. Tak terasa waktu sudah sore, aku mengakhiri
panggilan video bersama sahabatku dan bergegas mandi.
Waktu malam tiba, kegiatanku saat malam hanya menonton
film kemudian tidur. Di tengah malam aku terbangun dan jalan
menuju dapur, aku merasa lapar, lalu aku memutuskan untuk

memasak telur dadar, dan memakannya. Lalu aku kembali
tidur. 

Besoknya, aku melakukan kegiatanku seperti biasa. Di
tengah aku mengerjakan pekerjaan rumah, aku mendapat
telepon dari saudaraku. Saat aku mengangkatnya, aku
mendengar suara seperti saudara ku sedang menangis, “Ada
apa?” Tanya ku sedikit panik karena mendengar saudaraku
menangis. “Nenek meninggal.” Ucapnya sambil menangis
tersedu-sedu. “Nenek meninggal karena terkena Covid-19.”
Aku terdiam, badanku lemas, tak lama kemudian air mataku
mulai membasahi pipi. Aku langsung berlari ke arah ibuku dan
memberitahu apa yang terjadi, Ibu terkejut dan langsung
menangis. Kami bingung harus bagaimana, di kondisi seperti
ini kami tidak bisa melihat nenek untuk terakhir kali nya. Aku
hanya bisa menangis, aku menyesal karena tidak begitu dekat
dengan nenek. 

Setelah nenek meninggal, saat sekolah aku menjadi
tidak konsentrasi, aku selalu memikirkan penyesalanku, kenapa
aku tidak dekat dengan nenek? Aku belum menjadi cucu yang
baik untuk nenek, kemudian aku menangis lagi. Aku menjadi

tidak bersemangat, tidak fokus dalam mengerjakan tugas-tugas
sekolah hingga aku menunda untuk mengerjakannya. Saat
malam aku hanya menangis karena rindu dengan nenek.
Karena itu, nilaiku menurun. 

Seminggu kemudian, aku belum mengalami
perubahan, aku masih sedih setelah kepergian nenek secara
tiba-tiba. Jujur saja aku lelah seperti ini. Hingga akhirnya aku
memutuskan untuk bercerita kepada Joy. Aku menceritakan
semua keresahanku selama ini.

“Aku mengerti apa yang kamu rasakan, rasanya pasti
sakit sekali kehilangan orang tersayang secara tiba-tiba. Tapi
kamu harus bisa menerima itu semua, kamu masih punya
kehidupan yang harus kamu jalani. Kamu harus sekolah,
mengerjakan tugas, dan melakukan kegiatan yang bermanfaat
lainnya. Kamu harus bisa melewati itu semua. Semangat
Daning, aku tau kamu bisa melakukannya!” jawaban Joy.

“Wah iya ya Joy, terima kasih ya Joy sudah
mendengarkan ceritaku, Insya Allah aku pasti bisa
melakukannya.” jawabku. 

Setelah aku bercerita kepada Joy, aku mulai mengalami
perubahan, aku mencoba untuk ikhlas atas kepergian nenek.

Akhirnya aku mulai kembali menjalani hari-hariku seperti
biasa. Dari kejadian itu aku belajar untuk mengikhlaskan,
memperhatikan dan menghabiskan waktu bersama orang-orang
yang kusayang, dan melakukan banyak kegiatan yang positif.
Semoga pandemi di Indonesiaku ini cepat berlalu agar aku bisa
kembali bersekolah seperti biasa dan bertemu dengan
teman-teman.

Aku dan Hujan

Karya Felisa Wigustama

Tangan kananku menari di secarik kertas dengan garis
yang teratur.  Aku menghembuskan nafas panjang sambil
meregangkan jari-jariku yang kaku. Menatap lekat
kertasku dengan perasaan yang bercampur aduk, lagi dan lagi
aku merobek kertas hasil tulisanku. Melepas kacamata yang
menemaniku malam ini, aku rebahkan badan yang lelah ini ke
atas kasur.  Memberi waktu pada pikiran sembari menatap
langit-langit kamar. 

“Nadya kamu sudah membuang sampah?!”

“Ahh” teriakan itu selalu saja

membuyarkan lamunanku, belum lama ini aku

selalu melamun memikirkan pentas yang sebentar lagi

dilaksanakan. 

Lagi-lagi aku menghembuskan nafas panjang.

“Mau cerita apa lagi yang harus aku buat” ucapanku
menggantung di udara karena ibu tiriku memanggil kembali.

“Ahh merepotkan saja”

Aku segera beranjak dari ranjang dan langsung menuju
ke dapur untuk membuang sampah. Ketika aku sampai di
dapur, aku melihat ibu tiriku sedang berdiri di depan tempat
sampah, wajahnya terlihat kesal.

 
“Kamu tidak mendengarkan panggilanku?!” tanya ibu
dengan raut muka nya yang kesal.

Aku menatap ibu tiriku dengan sekilas, kemudian
memutarkan kedua bola mataku dengan malas. Aku berjalan
mendekati tempat sampah rumah untuk dibuang, lalu beranjak
keluar rumah untuk membuang sampah.

Setelah membuang sampah dan mengabaikan ocehan
ibu tiriku, aku kembali ke kamar merebahkan diriku di atas
kasur empuk yang dibelikan ayah dua tahun lalu. Aku
memejamkan mataku, menarik nafas dan mencoba mengingat
sesuatu. Sepertinya ada yang kurang, ah ya, dua hari lagi lomba
akan dimulai. Aku harus apa? Aku belum melakukan persiapan
sama sekali. Dengan cepat aku beranjak dari kasur ku,
menduduki kursi dan membuka laptop serta memakai kaca
mata.  
 

1 hari berlalu aku masih belum bisa mendapatkan ide
untuk cerpen yang nanti akan aku kirim untuk pentas, aku
begitu frustasi aku melempar kaca mata yang aku pakai dan
menarik rambut dengan kencang. Berusaha untuk tenang aku
keluar kamar untuk meminum obat yang telah diberi dokter
untuk serangan panik yang aku punya. Setelah aku meminum
obat tersebut, aku kembali ke kamarku. Beristirahat sejenak

mungkin membuat pikiranku  fresh kembali, pikirku.  Aku
merebahkan badan dan memejamkan mata.  
 

Suara gemuruh hujan membangunkan aku dari
tidur, aku melihat jam yang ada di dinding. Pukul 10 malam,
aku bergegas bangun dari kasur mencuci muka dan duduk di
depan laptop. Seingaku masih jam 11 siang, kenapa waktu
sangat cepat berlalu. Aku mulai mengetik apa yang aku
pikirkan, tanpa mementingkan kesempurnaan, aku hanya ingin
cerpen ini cepat selesai dan besok akan aku kirim. 

Tepat pukul 2 pagi aku menyelesaikan cerpen yang aku
buat, setelah aku memeriksa kembali sampai pukul 3, aku rasa
semua sudah bagus. Aku meletakan kaca mata dan menghela
nafas sambil mendengar suara gemuruh hujan yang kencang,
berharap mata ini cepat menutup. Ah sial, sepertinya aku harus
meminum obat itu kembali. Aku bangunkan tubuh ini dengan
malas dan berjalan menuju dapur, meminum obat dan kembali
ke kamar.

Merebahkan badan dan mulai memejamkan mata.
Sepertinya aku tidak bisa tidur tenang malam ini, aku

mendengar pertengkaran yang terjadi lagi dan lagi yang
dilakukan oleh kedua orang tuaku. Aku memukul bantal yang
ada di sebelahku berkali-kali dengan kencang, cara itu yang
selalu aku lampiaskan ketika kedua orang tuaku bertengkar.  
 

‘Plak’ suara tamparan melewati gendang
telingaku begitu saja, aku tahu pasti ayah sedang menampar ibu
tiriku.

Aku bangun dari tidurku dan keluar menuju mereka
berdua.
 

“Bisakah kalian tidak bertengkar untuk malam ini saja?
Aku sedang mengembalikan energiku untuk besok” aku
menatap lekat kedua mata orang tuaku, aku hembuskan nafas
dan kembali berbicara.

“Ah percuma aku bilang begitu kalian tidak akan
mengerti” setelah berkata seperti itu, aku
mengambil hoodie dan bergegas keluar dari rumah, berharap
setelah aku kembali mereka berdua telah tertidur. 

Kujalankan kaki ini entah kemana tujuanku. Setelah
lama aku berjalan, aku memutuskan untuk pergi ke taman,
duduk di salah satu kursi yang mereka sediakan, melihat air
berjatuhan di sungai, berteriak sekencang mungkin
melepaskan kepenatan yang selama ini aku kubur sendiri. Air
mata mulai berjatuhan, padahal aku
tidak menginginkannya tapi mengapa mereka terus keluar dari
kelopak mataku.

Selama kurang lebih 1 jam aku berada di taman,
menangis dan berteriak sekencang mungkin. Aku balik ke
rumah, aku rasa mereka sudah tidur. Dan yap! Setelah aku
masuk, mereka sudah tidak ada di ruang tengah. 
Aku rebahkan tubuhku yang lelah ini dan melihat jam, ternyata
sudah pukul 5 lebih baik tidak tidur saja.

Aku mandi dan berjalan-jalan di taman, lagi. Hujan
sudah reda, begitu leluasa aku mengelilingi
taman tanpa takut kebasahan. Aku mengelilingi taman sampai
pukul 7 pagi, aku bergegas pulang dan akan mengirimkan hasil
cerpenku ke email panitia pentas.

Setelah membersihkan diri di rumah, aku menyalakan
laptopku dan segera mengirimkan cerpenku. Aku agak ragu
untuk mengklik tulisan kirim, ah sudahlah aku pasrah saja
kepada Tuhan semoga cerpenku diterima panitia. Setelah
beberapa lama aku memainkan mouse laptop, aku
akhirnya mengklik tanda kirim, aku begitu lega.

Tumpukan Amarah

Karya Haura Nur Hafizhah

Aku membencinya. Waktu belajar yang berkurang,
waktu istirahat yang bertambah, makanan yang banyak, kasur
yang nyenyak, dan rumah yang nyaman. Aku sangat
membencinya. Pandemi ini membunuhku secara perlahan.
Dunia yang terkena penyakit, kenapa aku yang lelah?

Aku mematikan laptopku dan bergegas ke dapur.
Akhir-akhir ini aku tidak mencari makanan seperti hari pertama
dikurung di rumah. Aku mencari ibuku agar bisa mengobrol,
agar tidak merasa dirampas secara sosial. Tidak banyak yang
dapat dibicarakan dengan ibuku. Tentu saja karena kita
mengetahui keberadaan masing-masing selama satu tahun ke
belakang, atau lebih? Aku tidak peduli, sudah terlalu lama
rasanya.

Berbaring di atas kasur, aku mencoba untuk tidur di
siang hari ini, untuk menenangkan amarah yang bertambah
seiring waktu. Ini semua membuatku bingung. Kenapa banyak
orang di luar sana yang senang terkena penyakit? Kenapa
banyak orang yang tidak sedih saat mengetahui ratusan, bahkan
ribuan, orang meninggal? Kenapa orang-orang sangat egois?

Pertanyaan-pertanyaan sebegitu banyaknya menyerang
pikiranku.

Aku ke dapur lagi. Aku ke ruang makan, lalu aku ke
ruang tamu. Aku putar lagi badanku dan kugerakkan kakiku
untuk ke ruang keluarga. Urutan itu aku ulangi, lagi, lagi, dan
lagi. Akhirnya aku lelah dan duduk di sofa. Aku lelah. Itu
pikiran terakhirku sebelum mataku tertutup, badanku rileks,
dan pernapasanku merata. 'Aku lelah'.

Aku mengerjakan tugas dengan keadaan perut kosong
yang merengek meminta agar diisi.

"Malam-malam bikin mie." Ibu berkata sambil
menggeleng kepala. "Berat badan kamu udah naik lho." Aku
diam dan menunggu ibuku pergi saja. Tetapi ibu tidak pergi.

Ibu mendekat dan melihat ke arah panci yang terisi
dengan air rebus dan mie. Mataku melirik ke ibu yang berjalan
kembali ke pintu masuknya dapur.

Sebelum pergi, "Bikin untuk ibu juga ya." Aku sedikit
tertawa mendengar kalimat tersebut.

"Berat badan ibu udah naik lho." Aku berkata dengan
suara yang sedikit kencang agar terdengar ibu yang sudah
kabur ke salah satu ruangan di rumah ini.

Tugas sekolah sudah, cuci piring sudah, sikat gigi dan
cuci muka sudah. Sudah waktunya untuk tidur lagi. Pikiranku
tidak berhenti mengingatkan betapa bosan dan muaknya diriku
dengan pandemi ini. Sepertinya akhir-akhir ini aku tidak
berfungsi seperti biasa. Aku jarang makan, susah tidur, bahkan
aku jadi kebiasaan berbicara sendiri. Aneh.

Aku mengambil ponsel genggam dan membuka grup
kelas. Kebiasaan saat bosan, mengingat masa lalu. Aku baca
pesan-pesan yang dikirim teman sekelas, guru mata pelajaran,
dan wali kelasku. Seperti sedang mengulas kembali hari ini.
Ada satu pesan yang menarik perhatianku.

"Selamat berlibur dan semangat melakukan hobimu.",
pesan wali kelas. Hobi. Apa hobi saya? Saya mengingat hari

pertama memasuki kelas 9. Setiap murid mengenalkan diri,
mengucap nama, alamat, dan hobi.

Aku mengingat jelas hari itu. Saat aku gemetaran,
berkeringat dingin, menunggu giliran untuk memperkenalkan
orang yang sangat kucintai, diriku sendiri.

'Membaca.' Saya mengatakan bahwa hobiku adalah
membaca. Apa aku berbohong? Tidak. Kenapa rasanya seperti
telah berbohong?

Perasaan buruk menyebar ke seluruh tubuhku.
Kemudian aku tersadar. Aku tidak pernah membaca karena
saya menyukainya. Aku membaca karena itulah satu-satunya
hal yang dapat saya lakukan tanpa menguras tenaga di saat-saat
yang mengerikan ini.

Aku membencinya. Pandemi yang kejam ini. Seperti
pembunuh berdarah dingin. Menghancurkan keinginanku untuk
melihat ke masa depan. Niatku untuk melanjutkan. Aku seakan
berhenti di tengah jalan. Seperti rusa yang bersinar karena
lampu depan. Aku membeku. Merasa terjebak.

Pandemi ini membuatku sangat khawatir akan masa
depanku. Membuatku merasa bahwa kehidupan telah menemui
jalan buntu. Membuatku secara alami berhenti melakukan
hal-hal yang membuatku tumbuh dan berkembang. Semua hal
tersebut menakutiku, membuatku merinding.

Aku menangis. Aku melampiaskan amarah dan
frustasiku. Yang dilakukan pandemi padaku sangat tidak adil.
Aku tidak meminta semua ini. Kenapa aku harus merasakan
semua ini?

Aku berbaring di tempat tidurku. Aku merasa kosong.
Untuk beberapa saat aku merasa kosong. Aku tidak bisa tidur.
Tidak bisa tidur setelah dihantam oleh kesadaran yang
menyakitkan.
Beberapa saat kemudian, aku menyerah dan memutuskan untuk
tidur. Tidak ada gunanya hanya menatap langit-langit selama
beberapa jam sebelum subuh. Aku sudah cukup menyakiti
diriku sendiri. Aku tidak perlu rasa sakit yang lebih.

Berdiam diri sambil menatap jendela kamarku jelas
bukan hal yang produktif. Kejadian tadi malam tercetak dalam
ingatanku. Kejadian itu menyeramkan. Kejadian itu
menyeramkan karena aku sudah melakukan hal buruk itu
begitu lama. Rasanya seperti kebiasaan itu telah dicabut dari
diriku.

Aku membutuhkan sesuatu. Sesuatu untuk
menggantikan kebiasaan buruk itu. Sesuatu yang lebih baik,
yang lebih bermanfaat, yang lebih sehat untuk tubuhku dan
juga pikiranku.

Pandanganku beralih pada gitar yang tergeletak di
samping tempat tidurku. Kado ulang tahun dari kakak. Aku
ingat rasa bahagia saat menerima kado yang spesial itu.
Senyuman lebar yang menempel di wajahku saat menerima
gitar dan uang untuk membayar les belajar bermainnya.
Pandemi yang tidak tahu henti menghancurkan kegiatan
menyenangkan orang-orang. Tentu saja kegiatan belajar
bermain gitarku adalah salah satunya.

Meneruskan kebiasaan baik. Bukan menggantikannya.
Aku cukup menghilangkan kebiasaan yang baru dan
meneruskan yang lama dengan semangat yang tumbuh bersama
rasa bahagia dari ingatanku.

Aku mengambil kembali telepon genggamku.

"Assalamu'alaikum Pak, saya ingin melanjutkan belajar
bermain gitar." Kuketik dan kirim kepada guru lesku.

Aku akhirnya kembali belajar bermain gitar. Tidak
hanya itu, aku juga belajar untuk membuat melodi dan menulis
lirik.

Walaupun kejadian di malam itu menakutkan dan aku
tidak ingin mengulanginya lagi, aku bersyukur itu terjadi. Di
satu sisi, kejadian itu membentuk masa depanku. Aku ingin
menjadi musisi. Seorang musisi yang menulis lagu untuk
orang-orang dengan perjuangan serupa.

Kehidupan tidak menemui jalan buntu. Kehidupan terus
berjalan. Kehidupan memberiku banyak kesempatan dan aku
dengan senang hati menerimanya.

Alia dan Kisahnya

Karya Kesya Amyra Firjani Ersanto

Sudah lebih dari tiga ratus enam puluh lima hari negara
ini carut-marut. Seakan dilanda badai berkepanjangan, negara
kami saat ini sedang dilanda tornado hebat dan mendung
kelabu yang mencengkeram. Situasi saat ini benar-benar
menyedihkan. Segalanya mendung, kelabu, temaram, dan
menakutkan. Dimana-mana berkeliaran malaikat maut. Banyak
sekali. Ia membawa sabit dan bersayap. Mendatangi
orang-orang satu persatu. Kematian. Dimana-mana ada
kematian.

Aku masih duduk di balkon rumahku. Melamun.
Balkon ini memang tempat favoritku di rumah. Aku merasa
tempat ini cukup privat karena langsung berhadapan dengan
kamarku di lantai atas, lagipula ini adalah tempat yang sangat
sering kujadikan sebagai markas untuk mengerjakan tugas,
membaca buku, bersantai, dan tentu saja melamun—seperti
yang saat ini sedang kulakukan.

Suasana sore ini teduh karena langit mendung. Angin
sesekali berhembus menggoyangkan daun-daun jambu batu
yang tumbuh subur di halaman rumahku. Angin itu juga
menggoyangkan pucuk-pucuk keladi rambat dan bunga petunia
yang tumbuh subur dalam pot gantung yang berputar-putar. Di
bawah sana, di halaman rumahku yang ditumbuhi rumput
jepang, Si Putih, kucingku sedang tertidur nyenyak.

“Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan, lucu sekali
kalau aku bisa melihat Si Putih terbangun kaget karena
kehujanan dan berlari pontang-panting masuk ke dalam rumah,
hihihi” aku tersenyum-senyum sendiri membayangkan Si
Putih, kucingku yang gendut berlarian kaget seperti dikejar

setan. Mari kujelaskan titik lucunya, jadi kawan, perlu kalian
ketahui bahwa Si Putih—kucingku—adalah ras kucing dari
planet kasur yang patut sekali dinobatkan sebagai kucing
termalas sedunia. Bagaimana tidak, selama tiga tahun hidupnya
dalam rumah ini hampir setiap hari kerjaannya hanya tidur dan
tidur saja. Memang sesekali ia bermain-main, tapi kalian harus
percaya bahwa makhluk berbulu putih itu jauh lebih senang
menghabiskan waktunya untuk tidur di atas bantal tempat
tidurnya daripada mengejar-ngejar tikus, atau cicak yang
berkeliaran.

Maka apabila kalian melihatnya berlari karena kaget
tubuhnya diguyur hujan tentu adalah suatu hal yang
menyenangkan. Makhluk berbulu putih yang biasanya lebih
lambat bergerak daripada kukang itu akan dengan terpaksa
menggunakan ototnya untuk melarikan diri, menyelamatkan
diri dari guyuran hujan seperti semut kecil yang berlari dari
intaian maut. Bulunya yang lebat itu pasti akan
tergoyang-goyang.

Saat aku sedang asyik melamun, tiba-tiba saja kilat
muncul dari arah utara. Kemudian disusul suara guntur yang

menggelegar. Langit yang mendung sore itu mengeluarkan
rintik-rintik air hujan yang semakin lama semakin deras. Aku
berlari ke dalam rumah karena kaget saat melihat kilat tadi.
Aku tidak sempat melihat putih yang berlari masuk ke dalam
rumah karena aku sendiri juga sibuk mencari tempat
berlindung.

“Sepertinya malam ini akan ada hujan badai Al” Mama
tiba-tiba masuk ke dalam kamarku. Ia berjalan menuju jendela
kamarku yang masih terbuka dan segera menutupnya. Sudah
hampir dua minggu ini aku hanya tinggal berdua dengan
Mama. Papaku harus menjalani isolasi di Rumah Sakit karena
terinfeksi Covid-19. Papa tertular virus itu dari rekan kerjanya
di kantor, oleh karena itu ia memilih untuk menjalani isolasi di
Rumah Sakit demi menjaga agar aku dan Mama, keluarga
kecilnya yang sangat ia cintai, tidak tertular virus itu.

Aku sedih tidak bisa berkumpul dengan Papa. Isolasi
membuatnya tidak dapat bertemu dengan aku dan Mama.
Papaku, yang biasanya selalu aku peluk dan aku cium
tangannya setiap pulang bekerja, sekarang bahkan tidak bisa
menyentuh sehelai saja rambutku. Aku rindu Papa, dan seperti

biasa, ketika aku merindukan Papaku, aku hanya bisa berdoa
semoga Papa, juga para pasien covid lainnya segera diberi
kesembuhan.

“Kalau hujan seperti ini Alya jadi ingat Papa” kataku
lirih.

Mama memelukku, mengusap rambutku. Aku tau,
seperti juga aku, Mamaku pasti juga sangat merindukan Papa.
“Ma, Papa kira-kira lagi apa ya di rumah sakit?” tanyaku mulai
ngelantur. Mama diam sebentar, kemudian berbicara “Papa
pasti juga sedang merindukan kamu, putri kecilnya” ucap
Mama. Ia memelukku semakin erat, nampaknya Mama
menginginkan kebersamaan denganku lebih lama. Aku juga
mengeratkan pelukanku, aku juga ingin.

Di luar, hujan turun semakin deras, sementara guntur
masih bersahut-sahutan. Mungkin, di luar sana juga banyak
orang yang sedang berada dalam posisiku, harus menahan
rindu karena berpisah dengan orang-orang yang dicintai. Aku
masih terhitung beruntung, karena Papa hanya sakit dan masih
mempunyai kemungkinan untuk sembuh. Tapi bagaimana

dengan orang-orang di luar sana yang keluarganya harus
meninggal karena terinfeksi virus covid-19. Tentu saja mereka
merasa sangat sedih. Bagaimana tidak, mereka hanya dapat
menyaksikan orang-orang yang dicintai untuk terakhir kalinya
dikubur hanya dari kejauhan. Sama Sekali tidak boleh
mendekat. Apalagi untuk memeluk dan menciumnya untuk
terakhir kali. Tidak bisa.

Aku tidak bisa membayangkan jika aku berada di posisi
mereka.

Hujan masih turun dengan derasnya. Aku dan Mama
kemudian turun ke bawah. Mama akan memasak untuk makan
malam. Sementara Mama memasak di dapur, aku
menunggunya sembari bermain dengan Si Putih di Sofa ruang
keluarga. Sebenarnya aku sangat ingin menelepon Papa, tapi
kalau hujan petir begini menggunakan jaringan internet, akan
berbahaya. Bisa tersambar petir. Oleh karena itu, dengan berat
hati aku mengurungkan niatku.

Dari ruang keluarga, aku bisa melihat keluar melalui
jendela. Hujan tampaknya mengguyur apapun yang ditemuinya

malam ini, ia kelaparan, atau mungkin sedang terlalu
bersemangat mengguyur apapun yang dilaluinya?

Kata Kakek, hujan itu berkat. Ia datang bersama
doa-doa kita. Maka kalau hujan turun, berdoalah. Nanti hujan
itu akan membawa doa-doa kita.

Aku segera berdoa, semoga pandemi ini segera berakhir
dan semuanya kembali normal.

Aku sendiri sudah capek menghadapi semua ini.
Banyak duka dimana-mana, banyak orang meninggal. Ada
sekian banyak yang kesakitan, termasuk Papa. Dan ada jauh
lebih banyak lagi yang berada dalam bayang-bayang ketakutan.
Takut terinfeksi virus, takut sakit, takut meninggal dunia, takut
tidak bisa bekerja, tidak bisa makan, dan ketakutan-ketakutan
lainnya.

Aku menginginkan semuanya kembali seperti semula.
Saat virus mematikan itu belum muncul dari Wuhan. Aku
merindukan hari dimana aku bisa bermain dengan teman-teman
sekolahku, Joseph, Yuan, Anita, dan Kali. Aku rindu hari itu.

Hari dimana aku masih bisa berkumpul bersama
teman-temanku, bermain sepeda, mengerjakan tugas kelompok,
mengejar-ngejar ayam Pak RT yang sering merusak pot-pot
bunga Mama, dan bermain layang-layang di lapangan. Aku
juga sangat merindukan suasana sekolahku, SD Mutiara Pelita.
Sekolahku merupakan tempat belajar yang sangat
menyenangkan bagiku, karena disitu terdapat guru-guru yang
menyenangkan seperti Miss Indri, Bu Aqila, Pak Farhan, dan
Pak Hermantio. Di sekolah, aku juga dapat bermain berbagai
macam permainan yang ada., seperti perosotan dan ayunan.
Wahhh... menyenangkan sekali.

“Andai saja aku bisa kembali berangkat ke sekolah
Putih, pasti aku akan sangat senang. Aku akan membeli cilor
Pak Mamang dan Es Campur yang banyak” kataku pada Si
Putih yang hanya memasang wajah tidak peduli. “Putih, kamu
mau kan aku ajak ke sekolah?” tanyaku. “Ayo jawab” ucapku
sekali lagi memaksa binatang naif itu untuk mengeong. Karena
terus aku desak, kucing itu akhirnya mengeong satu kali
dengan malas. Aku langsung melonjak kegirangan,
“Yeayyyy.... aku tau kamu pasti mau kuajak ke sekolah, nanti
kita bisa bermain dengan Si Geber, kucing jawa milik temanku,

Ronald. Kamu belum tau kan? Dia kucing jawa yang sangat
kuat dan lincah. Kamu harus banyak belajar dari Si Geber!”
ucapku senang, seenaknya mengasumsikan eongan makhluk
tidak berdosa itu sebagai ungkapan kesanggupan.

Beberapa saat kemudian, Mama sudah selesai
menyiapkan makan malam. Setelah memberikan semangkuk
makanan kucing untuk Si Putih, aku segera menempatkan diri
di ruang makan. Mama segera menuangkan semangkuk sup
jagung untukku yang segera kusambut dengan tatapan
kelaparan. Aku memang suka sekali sup jagung buatan Mama,
rasanya sangat manis dan hangat. Cocok sekali dinikmati saat
hujan begini. Setelah mengambilkan semangkuk sup jagung
untukku, Mama mulai mengambil makanannya sendiri. Ada
sebakul nasi putih hangat, ikan goreng, sambal terasi, dan
sekeranjang buah-buahan yang dapat kami nikmati malam ini.
Aku sangat bersyukur masih bisa merasakan masakan yang
enak seperti ini dan tentunya bergizi.

Demikianlah untuk hari-hari selanjutnya, hanya ada aku
dan Mama di rumah ini.

Kondisi Papa semakin memburuk dan akhirnya pada
tanggal 12 Juni 2021 Papa meninggal dunia. Aku sangat sedih
harus berpisah dengan Papa.

Aku sempat terpuruk. Tapi kemudian aku sadar, aku
tidak bisa terus-terusan bersedih. Aku ingin mengubah
kesedihanku menjadi sesuatu yang bermanfaat.

Aku melakukan penggalangan dana bersama Mama
dengan menjual beberapa lukisanku, kemudian aku salurkan
dana yang sudah terkumpul itu untuk membantu para pasien
yang terinfeksi virus covid-19 ini. Aku juga berinisiatif untuk
melelang seluruh mainan, buku-buku, dan pakaianku yang
masih bagus dan layak pakai untuk membantu orang-orang di
sekitarku. Dalam pandemi ini, aku ingin membantu banyak
orang di sekitarku.

Kisah dari Tepi Pantai

Karya Siti Hanifiah Zaqiyatun Rohmah

Serak parau suara, terdengar di dalam kamar sempit
ujung jalan gubuk kayu. Telapak tangan kasar membelai wajah
seorang remaja. Kedua pasang mata yang saling menatap.
Menggambarkan gejolak kasih sayang di antara keduanya. Dari
luar rumah, mereka terbiasa dengan nyanyian debur ombak.
Atau angin yang menembus sela-sela tirai rumah. “Janu, jika
Ibu sudah tiada tolong jaga dirimu baik-baik. Ibu akan tetap
ada di hatimu. Ibu akan selalu menyayangimu. Maafkan Ibu
yang membuatmu susah. Ibu mengerti keterbatasanmu. Tapi
kelemahan Ibu tak bisa menolongmu. Maafkan Ibu Nak, Ibu
belum bisa membuatmu bahagia. Maafkan Ibu, Nu." Janu
memandang wajah mulia itu, menyapu air mata yang keluar
dari kilau mata sang Ibu. Lalu ia bergegas keluar dari gubuk
kecil tempat tinggalnya. Menapakkan langkah untuk mencari
nafkah. Seorang remaja 17 tahun, pengidap Autisme. Seorang
remaja yang berusaha hidup dengan rasa sulit. Janu, remaja
yang diremehkan oleh orang-orang tempat tinggalnya. Tanpa
seorang ayah, bahkan keluarga besar yang siap membantu.

Pasar ikan tampak ramai. Janu menopang
barang-barang jualan di samping tubuhnya. Berjalan sesekali

berteriak untuk menarik pelanggan di pasar. Menoleh dan
menatap satu persatu orang di sana. Tak heran banyak yang
bersimpati dan membeli barang jualan Janu. Sebenarnya, ia
tak membutuhkan kasihani dari orang-orang. Karena pada
akhirnya, sebanyak apapun hasil jualan yang ia peroleh, upah
atas setoran jualan tidak pernah mencukupi kebutuhan makan
2 orang. Janu tak bisa berbuat apa-apa. Ia juga memerlukan
uang tersebut untuk membeli makan. Janu butuh untuk Ibu,
agar Ibu dapat pulih dari sakitnya.

Sore hari tampak menyapa daerah pesisir pantai. Janu
telah bersama sang Ibu kembali. Menyuapi sesuap makanan
untuk Ibu. Dan ia hanya memakan makanan sisa. Di Setiap
malam, Ibu selalu membacakan Al-Quran untuk Janu.
Walaupun hanya berbekal ingatan surah-surah pendek. Tapi
Janu tetap mengikuti gerak mulut Ibu. Ibu selalu merasa
bersalah terhadap dirinya. Ketika dulu, ia melarikan diri hanya
karena egonya. Ia terjerat oleh kejamnya orang-orang tak
bertanggung jawab. Mungkin, jika ia lebih dewasa. Harga
dirinya sebagai wanita akan tetap ada. Dan ia dikaruniai anak
dengan sosok ayah yang penuh kasih sayang. Namun keinginan

berbalik dengan kenyataan sekarang. Ia tidak mengetahui
siapa ayah dari Janu. Ia mencari dari berbagai sisi manapun.
Tapi semua yang Ibu cari, hanyalah kekosongan dan tangisan.
Itulah kesalahan terbesar Ibu. Meskipun kenyataan tersebut
tidak akan hilang. Tapi, Ibu bersyukur Janu datang dalam
kehidupannya. Janu adalah harta Ibu satu-satunya. Janu
adalah kesempurnaan yang tuhan ciptakan untuk dirinya.

***

Di gelapnya malam. Ia memejamkan mata, jatuh ke
alam tidurnya. Janu melihat seseorang laki-laki berjalan
menghampiri wanita tua. Wanita itu mengenakan pakaian
putih bersih dan hanya tampak bagian belakang. Dengan
bingung, Janu mengikuti lelaki tersebut. Namun langkahnya
sesaat berhenti, seperti ada yang mengendalikan dirinya. Janu
kembali melihat kedua orang itu. Lelaki tersebut memegang
tangan wanita tua. Membawanya ke dalam gelombang cahaya
yang sangat tajam. Hingga Janu menutup mata dengan telapak
tangannya. Ia terbangun dari mimpi singkat. Janu merasakan
gelisah menjalar di sekujur tubuh. Ketakutan seakan berlari ke
arahnya. Ia berjalan cepat menghampiri sang Ibu, memeluk

Ibu dengan erat dan melemaskan tubuhnya di dalam pelukan
ibu.

Matahari memantulkan cahaya dari ufuk timur.
Sinarnya memantulkan kehangatan seperti rangkulan ibu di
dinginnya malam. Janu membalikkan badan, menatap mata
yang terpejam di sampingnya. Seorang wanita dengan garis
halus di wajah. Wanita kuat yang melahirkannya. Setiap
melihat Ibu, ia bagaikan melihat keindahan surga. Seakan Janu
merasakan sejuknya di dalam sana. “Ibu sayang, Janu mau
jualan dulu ya. Ibu tunggu Janu sampai pulang. Jangan bosan
sendiri. Kan Janu ada di hati Ibu. Ibu juga ada di hati Janu.”
kata Janu dengan suara terpatah-patah. Tanpa jawaban, Janu
meninggalkan kamar dan pergi bekerja.

Hari ini hujan turun dari siang hingga petang. Suasana
sepi pasar sedikit memberi ketenangan untuk Janu. Ia
menyukai suara rintik-rintik hujan. Hujan yang jatuh ke laut
dan tanah. Membasahi daun serta ranting. Janu menyukai
setiap detail kejadian tersebut. Memperhatikan dan menyerap

rasa di balik hujan. Memejamkan mata, menggenggam
kenyamanan. Hingga waktu memberi tanda untuk pulang. Janu
selalu pulang membawa makanan. Memasuki rumah dan
berteriak gembira memanggil Ibu. “Bu.., Janu bawa makan,”
Panggil Janu sambil menghampiri Ibu. “Ibu masih ngantuk?
Kok Ibu gak bangun sih?” Sambil membangunkan Ibu. Janu
tampak heran karena Ibu tak bergerak. “Ibu, jangan tidur. Janu
bawa makan buat Ibu.” Tak ada gerakan dari sang Ibu, bahkan
kelopak mata Ibu masih menutup. “Ibu, bangun Ibu, bangun.”
Panggilan tersebut masih belum terjawab. Sampai beberapa
kali Janu memanggil Ibu. Namun, Ibu tidak bangun dari
tidurnya. Ia tidak ingin orang satu-satunya pergi
meninggalkannya. “Ibu jangan pergi dulu, nanti Janu sama
siapa?” Janu kesal karena tak mendengar jawaban Ibu.
Tangannya gemetar. Aliran merah didalam tubuh seakan
berhenti. Ia tak bisa berpikir. Kemarahan Janu meningkat, ia
menumpahkan makanan hingga berserakan. Memudarkan
senyum bahagianya. Teriakan dan tangisan mengisi penuh
gubuk itu. Ia memeluk Ibu. Pelukan terakhir untuk Ibu, hari
terakhir melihat Ibu, dan sentuhan terakhir untuk sang Ibu.

***

Lipatan ombak menciptakan pandangan kosong bagi
Janu. Angin menerpanya dan menciptakan rasa panas. Tak ada
yang ia harapkan lagi di hidupnya. Semua harapan hilang
seperti pasir pantai tersisir ombak. Ia merasa segalanya mati
dan berhenti. Di belakang itu semua. Seorang lelaki menyapa
indahnya pantai. Matanya tertarik pada pandangan seorang
remaja yang menyatu dengan keindahan. Lelaki tersebut
mengabadikan pemandangan indah pantai. Sesekali memotret
pemandangan yang akan ia tunjukan kepada saudara dan
teman. Tetapi, kecerobohan di dapati lelaki itu. Gawainya
mengeluarkan efek suara terlalu keras. Membuat pandangan
remaja di depannya menoleh padanya. Lelaki dengan gaya
kota yang menggenggam gawai. Membuat Janu merasa
bahaya datang jika tidak bergegas pergi. Dengan rasa takut, ia
pergi meninggalkan pemandangan pantai. Lelaki di
belakangnya mengikuti langkah Janu. Janu mempercepat
langkahnya hingga ia tersungkur karang yang setengahnya
terkubur pasir. Janu mengerang kesakitan. Kakinya terluka.
Lelaki tersebut lalu menjelaskan kepada Janu, “Hey jangan
takut! Aku hanya memotretmu. Tidak ada niat buruk. Aku

tidak ingin melukaimu atau menculikmu. Bahkan kau melukai
dirimu sendiri karena berlari,” Ucap lelaki itu. Janu tidak setuju
dengan kata-kata tersebut. Ia tidak berlari, hanya saja berjalan
lebih cepat. Benar, ia mengira lelaki ini akan menculiknya. Tapi,
mendengar penjelasan lelaki itu, ia menepis semua prasangka
buruk tentangnya. Lelaki tersebut lalu duduk di samping Janu.
Mengobati luka Janu dengan plester dari sakunya. Selepasnya,
ia menunjukkan gawai miliknya. Memperlihatkan beberapa
foto yang diunggah kepada khalayak. Penasaran di buat lelaki
tersebut, Janu menoleh untuk melihat apa yang ditunjukkan.
Janu mengetuk gawai dengan satu jarinya. Ia menunjuk
gambar lukisan dan berkata, “Aku mau membuatnya.” Lelaki
itu menjawab, “Apa kau bisa?” Dan Janu membalas dengan
anggukan kecil. Lelaki itu menatap Janu, seolah permintaan
tersebut harus ia kabulkan.

***

Ketukan pintu dan suara gaduh membangunkan Janu.
Ia membuka mata, dan membiarkan cahaya memasuki
kamarnya. Diam sejenak tanpa menatap sepasang mata indah.
Meregangkan tubuh dan bergegas membuka pintu. Di
hadapannya, berdiri lelaki dewasa yang tak asing bagi Janu.

Membawa barang-barang yang pernah ia lihat sekali di pasar.
Itu adalah kanvas besar dan cat warna. “Di mana kita akan
melakukan ini?” tanya lelaki itu. Tanpa menjawab, Janu
memandu jalan dan menunjukkan suatu pemandangan indah
dari tempat wilayahnya. Air laut dikelilingi oleh batuan keras
dan besar. Kicauan burung-burung yang mengepakkan
sayapnya. Dan ketenangan biru air tanpa ombak.
Kejernihannya memantulkan bayangan seorang remaja. Di
situlah ia melukis. Tanpa ilmu dasar, dan hanya mengikuti
naluri tubuhnya. Bergerak bebas menuangkan segala rasa.
Kenangan, kebencian, kebahagiaan, dan kerinduan, ia poles
halus di kanvas putih. Ia bagaikan menciptakan kehidupan
baru di dalamnya. Setiap insan yang menatap lukisan itu,
seakan masuk dan menjelajahi alur kehidupan seseorang
dengan keterbatasan mental. Jiwanya sangat kuat dan hebat.
Jiwanya ditanami tanaman indah dan langka. Subur tanpa
julur-julur inang.

Setelah goresan terakhir. Ia memanggil lelaki di
belakangnya. Bayang-bayang tubuh ramping terlihat dari atas
tubuh. Ia melihat Janu yang telah menyelesaikan lukisan. Pada

saat ia memandang lukisan Janu, benar saja ia seperti masuk
dan merasakan lukisan itu. Hatinya berdegup kencang. Di
dalam lukisan, ia melihat wanita menggendong bayi di tepi
pantai. Langitnya tidak biru tidak juga jingga. Tapi
memantulkan laut yang sunyi dan tenang. Ombaknya
menerjang ke arah wanita itu. Namun, wajah wanita hanya
menatap sang anak. Memberikan belaian hangat untuk
bayinya. Di depan wanita, seorang lelaki tua menjulurkan
tangannya. Memandang wanita dan anak itu. Tangannya
seolah memberikan harapan kepada wanita itu. “Bagaimana
bisa kau melukis seindah ini? Dari mana kau belajar cara
melukis?” tanya lelaki tersebut. Lagi-lagi, Janu tidak menjawab
pertanyaan, ia hanya memandang lukisan yang ia buat. Lelaki
itu memeluk Janu. Janu membalas pelukan itu. Tak lama, ia
melepaskan pelukan dan pergi meninggalkan lelaki dewasa
bersama dengan lukisannya.

***

Butiran kasar menyentuh kaki. Lelaki dewasa ini berada
di tempat 15 tahun lalu. Tempat lukisan itu tercipta. Ia mencari
kabar anak tersebut. Anak yang nama saja ia belum tahu. Ia
menghampiri gubuk kecil yang lama kosong. Tak ada seorang

pun di sana. Hanya serpihan debu dan puing-puing kayu. Lalu
ia mengingat waktu singkat bersama anak itu. Tatapan terakhir
bersamanya. Anak itu telah pergi. Lukisannya masih menjadi
misteri dari sebuah arti. Tapi ia tahu, lukisan tersebut akan
hidup abadi.

Biodata Penulis

Halo! Saya Alya Nur Novany bisa di
panggil Alya. Saya lahir pada

tanggal 22 November 2006. Hobi
saya memasak dan menonton
film. Motto hidup saya adalah

"Belajar dari kegagalan adalah hal
yang bijak." IG saya @alyanovany

Hai, nama saya Felisa Wigustama
bisa di panggil Felisa. Saya lahir
pada tanggal 28 Februari 2007.
Hobi saya membaca komik. Motto
hidup saya adalah “kesalahan dan
kegagalan adalah hal yang normal.”

IG saya @felisawigstt

Saya Haura Nur Hafizhah. Bisa
kalian panggil Haura. Saya lahir
pada tanggal 6 Mei 2006. Hobi saya
adalah membaca buku. Motto
hidup saya adalah “Be a voice not
an echo.” IG saya @hahahurr

Hello! Saya Kesya Amyra Firjani
Ersanto. Kalian bisa panggil saya
Kesya. Saya lahir pada tanggal 19
Agustus 2007. Hobi saya menonton
film dan motto hidup saya adalah

“Don’t ever give up.” IG saya
@ksmyr_

Hallo pembaca! Perkenalkan
nama saya Siti Hanifiah zaqiyatun

Rohmah, biasa dipanggil Hani.
Saya lahir pada tanggal 19

Desember 2006. Hobi saya adalah
membaca buku dan

mendengarkan musik, terutama
lagu beraliran indie-rock. Salah

satu motto saya adalah
“Bermimpi, merancang, dan
berpetualang.” Jika pembaca ingin memberikan saran dan
masukan, bisa melalui Instagram @hanzaqrh




Click to View FlipBook Version