The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Buku yang memeberikan gambaran secara keseluruhan keadaan di Pesantren

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Gubuk Pena Sang Gembala, 2023-08-13 23:32:36

Bilik Bilik Pesantren

Buku yang memeberikan gambaran secara keseluruhan keadaan di Pesantren

Keywords: Bilik Bilik Pesantren

100 melakukan pendalaman lebih jauh terhadap ilmu-ilmu agama. Ini membuat pesantren kaya diversifikasi orang dan kelembagaan. Contoh diversifikasi ini tampak misalnya pada Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang. Di sana Madrasah Tsanawiyah dan Aliyahnya telah memakai kurikulum negeri dengan konsekuensi muatan agamanya dikurangi, dan lebih mempersiapkan orang-orang terdidik di berbagai bidang. Aliyah pendidikan agama dimasukkan dalam Aliyah PK (Pendidikan Khusus). Tetapi, di Pondok itu diselenggarakan Mualimin, yang memang mencetak kiai. Mengenai perlunya diversifikasi ini, Abdurrahman Wahid pernah berkata, "Apa pun yang terjadi fungsi penciptaan sikap dasar dalam kehidupan harus tetap ada. Selain juga menyiapkan tenaga terdidik dalam arti memiliki keahlian." Harus ada kesadaran pada para pengasuh pesantren bahwa tidak semua santri bisa diarahkan menjadi ahli agama. Selain karena tidak semua manusia bisa menjalaninya, juga kebutuhan akan ahli agama tersebut. Selain terjadi pengembangan orientasi, pesantren pun mengalami perubahan sistem pengajaran. Pendidikan Islam tradisional akrab dengan sistem sorogan (individual) dan bandongan atau juga lebih sering disebut sistem weton, yang dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil. Sorogan, dalam kajian Zamaksyari Dhofier (Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai - LP3ES), adalah bagian paling sulit dalam sistem pendidikan Islam tradisional. Sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan disiplin pribadi murid. Karena, murid diharuskan menguasai pembacaan dan terjemahan persis seperti yang dibacakan oleh ustadz. Dari terjemahan itu santri mengetahui fungsi dan arti kata dalam suatu kalimat bahasa Arab. Dengan sistem ini jumlah murid yang "dipegang" oleh seorang ustadz tidak lebih dari 3-4 orang dalam suatu waktu. Dari sorogan baru santri dapat masuk ke bandongan. Secara kualitatif mungkin kedua sistem tersebut punya kelebihan, karena santri dapat dibimbing secara personal dan intensif oleh ustadz. Namun, jika jumlah murid sedemikian banyak, sistem tersebut sulit untuk diterapkan. Oleh karena itu, hampir semua pesantren memakai sistem klasikal dalam pengajarannya. Pondok Pesantren Pabelan misalnya, menggunakan model klasikal, hanya pada kasus-kasus tertentu memakai sorogan dan bandongan. Begitu pula dengan Luhur Dondong dan Hidayatullah. Perubahan-perubahan, serta berbagai adaptasi yang dilakukan tidak terlepas dari peran kiai (pemimpin pondok). Sebagai seorang arsitek kemasyarakatan, para kiai harus memperhatikan "selera" masyarakat. Kiat inilah yang membuat kiai mampu


101 bertahan mengembangkan lembaga-lembaga pesantren dari waktu ke waktu, disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dari Kiai ke Yayasan Kelangsungan hidup dan perkembangan pesantren sangat tergantung pada kemampuan pribadi sang kiai. Kebesaran kiai akan mengimbas pada pesantrennya. Oleh karena itu, mempersiapkan kiai pengganti yang memiliki kebesaran dan kemampuan setara dengan pendalulunya menjadi sebuah "proyek" suksesi yang dirancang dengan matang oleh setiap pesantren. Kegagalan menyiapkan pengganti akan menjadi "bencana" buat pesantren tersebut. Seorang kiai selalu memikirkan kelangsungan hidup pesantrennya setelah dia meninggal, dan bagaimana agar tradisi yang dibangunnya tidak punah hanya karena dia telah tiada. Untuk menjaga tradisi pesantren itu, biasanya kiai menggalang solidaritas dan kerja sama di antara mereka. Ini dilakukan dengan membangun tradisi bahwa calon kuat pengganti seorang kiai adalah keluarga terdekat, biasanya adalah putra tertua. Ini misalnya tampak pada pewarisan kepemimpinan di Pondok Pesantren Pabelan Yogyakarta. Pengganti KH Hamam Dja'far adalah putranya Nadjib Dja'far, meski di pesantren itu ada yang lebih senior dari Nadjib, yaitu H Ahmad Mustofa dan Muhammad Balya adik KH Hamam Dja'far, atau paman dari Nadjib. Cara lain yang juga lazim ditempuh adalah mengembangkan jaringan tradisi pesantren lewat perkawinan antara keluarga kiai. Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari pendiri NU mengawinkan putranya KH Wahid Hasyim dengan Solechah—nama gadisnya Munawarah—putri KH Bisri Syamsuri pendiri Pesantren Denanyar, Jombang. Dari perkawinan ini lahir Abdurrahman Wahid. Selain itu, untuk mencari pengganti yang dapat menjaga tradisi yang dibangunnya, sang kiai biasanya juga mengawinkan putrinya dengan muridnya yang terpandai. KH Fatah Hasyim mengawinkan putrinya dengan seorang muridnya yang pandai, Kiai Muhammad Sahal Mahfudh—yang kemudian menggantikan ayahnya KH Mahfudh menjadi pemimpin Pesantren Maslakul Huda Kajen, Pati. Atau dengan menjalin ikatan ke"alumni"an—Zamaksyari Dhofier menyebutnya rantai transmisi intelektual antara sesama kiai dan keluarganya. KH Cholil Bisri, pemimpin Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Rembang, dikirim ayahnya mengaji di Lirboyo Kediri dan Krapyak Yogyakarta. Tradisi ini diikutinya dengan mengirimkan putranya, Yahya Bisri, mengaji di Krapyak. KH Sahal Machfudz adalah


102 alumni Pondok Pesantren Maslakul Huda Rembang, sebelum dia memimpin pesantrennya sendiri. Dengan cara-cara tersebut para kiai saling terjalin dalam ikatan kekerabatan yang kuat. Semakin terkenal seorang kiai semakin luas jaringan kekerabatannya dengan kiai-kiai lain. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kepemimpinan pesantren—khususaya di Jawa—terbatas hanya ada di kelompok-kelompok kerabat tertentu, yaitu kiai. Namun, lambat laun tumpuan hidup pesantren pada kiai ini mulai bergeser. Kesadaran baru memasuki dunia pesantren, bahwa tidak selamanya putra tertua, atau kerabat dekat kiai dapat membawa tongkat estafet kepemimpinan pesantren dengan baik. Contoh untuk itu telah banyak, seperti pondok pesantren yang didirikan oleh milik Mbah Saren di Solo. Untuk kondisi pesantren ini, Abdurrahman Wahid pernah berkomentar, "Dulu pondok itu sangat terkenal, tapi sekarang hanya jadi asramanya tukang jahit. Kalau malam mereka di pesantren mengaji, wiridan, dan sebagainya paginya menjahit di Pasar Klewer." Namun, ada juga pewaris yang dengan cemerlang mengembangkan pesantren yang "diwariskan" kepadanya. KH Abdurrahman Chudori misalnya, dia dapat mengembangkan Pondok Pesantren Tegdengan baik setelah ayahnya wafat. Mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan itu, banyak pesantren yang kemudian menata manajemen kelembagaannya. Tidak lagi bertumpu pada perseorangan, tetapi dikelola dalam bentuk yayasan. Pesantren Mambaul Ma'arif Denanyar Jombang misalnya, membentuk yayasan untuk mengelola pesantren. Bentuk pengelolaan lewat yayasan dengan kepemimpinan kolektif ini juga dilakukan oleh Pesantren Hidayatullah Balikpapan, Luhur Dondong Semarang, Suryalaya Tasikmalaya, dan lain-lainnya. Model manajemen lain yang diambil adalah, figur pimpinan tetap pada keturunan langsung dari pendiri, namun untuk menjaga kualitas pendidikan di pondok diundang kiai-kiai dan ulama-ulama dari luar untuk mengajar. Model ini diterapkan di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Dalam istilah Gus Dur, cara ini adalah cara meminjam kualitas. Dan masih banyak cara lain yang ditempuh untuk mengantisipasi setiap keadaan agar pondok tetap survive. Dengan mengembangkan berbagai model pengelolaan, kalangan pesantren berupaya mengembangkan pesantren dalam dimensi-dimensi baru, untuk menghadapi perubahan zaman yang juga berdimensi majemuk. *** *Artikel ini diambil dari Laporan Tim Kompas, 14 Oktober 1996 hal. 20 dan 21, yang ditulis oleh SN Wargatjie, M Syaifullah, Thomas Pudjo Widiyanto, dan Elly Roosita, dalam Peringatan 70 tahun usia Pondok Modern Gontor Ponorogo.


Click to View FlipBook Version