SYAHADAT CINTA
telah terjadi tragedi yang memalukan sekaligus me-
milukan di hari ini, di pesantren ini. Marilah kita
mengucapkan istighfar kepada Allah, memohon
ampunan-Nya, dan memohon petunjuk-Nya agar kita
mampu menyelesaikan tragedi yang kita hadapi ini....”
Semua yang hadir pun mengucapkan istighfar. Tiga
kali.
Kiai Subadar melanjutkan perkataannya, “Sesung-
guhnya tragedi apa yang tengah terjadi di hari ini?
Aku ingin mendengar kesaksian kalian tentang Iqbal
sehingga kalian membuat forum seperti ini, sebuah
forum yang sebelumnya tidak pernah kita adakan.
Dalam kesempatan ini, Iqbal juga memiliki hak untuk
membela diri. Lalu, kita baru akan memutuskan siapa
yang benar dan siapa yang salah.”
“Kiai...” berkatalah kang Rakhmat, “ijinkan saya,
atas nama santri putra dan santri putri di Pesantren
Tegal Jadin ini, untuk berbicara....”
Kiai Subadar mengangguk.
Kiai sepuh hanya memandangku saja. Tangan
kanannya memegang tasbih.
Kang Rakhmat berkata, “Akhi Iqbal ini telah
melakukan kesalahan yang sangat parah. Pertama, ia
telah berkhalwat dengan—maaf—‘Aisyah, selama
tiga kali. Telah jelas dalam pemahaman Islam dalam
manhaj kita—salafus shalih—bahwa khalwat itu
hukumnya haram. Dengan demikian, akhi Iqbal ini
u 501 U
TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY
telah menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh
Islam. Kedua, telah dua kali dia pergi ke asrama putri.
Kali pertama, dia ingin bertemu dengan Zaenab dengan
alasan bahwa ia ingin mengambil rincian anggaran.
Kami tidak menyalahkan rincian anggaran tersebut.
Dan sebelumnya, saya telah memperingatkannya agar
dia tidak pergi ke tempat yang bukan mahramnya.
Tetapi dia tetap saja nekat pergi juga. Yang kedua kali
—dan ini yang sungguh amat disayangkan—dia
menemui Zaenab lagi tadi, dengan tanpa alasan yang
jelas. Ketiga, dengan mata kepala sendiri, akhi Iqbal
ini telah memeluk seorang gadis yang, pada akhirnya,
kami tahu bahwa dia bukan mahramnya juga. Dia
telah menyentuh gadis itu. kami prihatin, memang,
dengan keadaan dan kondisi yang kami lihat pada
diri gadis itu, tetapi kami lebih prihatin lagi tatkala
akhi Iqbal benar-benar telah melanggar batas-batas
hubungan antara laki-laki dan perempuan.
“Saya menjadi teringat kepada sabda Rasulullah
SAW yang mengatakan, “Tidak sekali-kali aku
tinggalkan suatu fitnah yang paling membahayakan diri
kalian, selain fitnah perempuan.* Saya menyaksikan
sendiri betapa akhi Iqbal ini telah termakan fitnah
yang disebut perempuan. Itulah kenapa kami mem-
bawa akhi Iqbal itu ke sini; agar kita semua tahu
perbuatan maksiatnya itu, dan agar semua menjadi
* HR. Bukhari.
u 502 U
SYAHADAT CINTA
peringatan bagi kita ummat Islam, dari fitnah pe-
rempuan...!”
“Apa pembelaanmu, Iqbal...?”
“Apa yang harus saya bela, kiai? Jikalau menurut
para sahabat saya ini telah salah, tentu saya tetap
dianggap salah oleh mereka. Tetapi jika saya memiliki
hak untuk menjelaskan pemahaman saya terhadap apa
yang tadi dituduhkan oleh kang Rakhmat, maka saya
tidak mau disebut membela diri. Saya hanya ingin
mengatakan kebenaran yang saya pegangi...”
“Katakanlah,” perintah kiai. “Aku tidak mungkin
akan memutus salah dan benar pada dirimu tanpa
memberikan kesempatan kepadamu untuk menyata-
kan hujjah-hujjah-mu.”
“Jika hujjah naqliyyah* yang kiai maksud, saya
meminta maaf sebesar-besarnya sebab saya tidak bisa.
Tentu hujjah yang demikian ini begitu banyak dimiliki
oleh para sahabat di pesantren ini....”
“Hujjah naqliyyah adalah setinggi-tingginya
hujjah,” kata kiai Subadar. “Allah menciptakan akal
pada diri manusia bukan untuk mengakal-akali hujjah
naqliyyah, tetapi untuk memahami hujjah naqliyyah
tersebut.”
“Beri saja dia kesempatan untuk memakai hujjah
yang bisa ia pakai,” kata kiai sepuh kepada kiai
Subadar.
* Alasan-alasan dengan menggunakan dalil berupa al-Qur’an dan asu-
Sunnah.
u 503 U
TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY
“Baiklah. Kuberi kamu kesempatan untuk meng-
ajukan hujjah-hujjahmu.”
“Kiai, tentang saya dan ‘Aisyah yang tiga kali
bertemu berdua-duaan di belakang pesantren ini, itu
merupakan kenyataan yang tidak bisa saya pungkiri.
Kalau dikatakan hal tersebut sebagai khalwat, saya
bertanya kepada kiai dan para sahabat semua yang
hadir di sini: apa sesungguhnya yang disebut khalwat
itu? Apakah ia hanya berarti berdua-duaan saja, di
tempat sepi, tanpa dipahami terlebih dahulu maksud
dan tujuan serta aktifitas yang dilakukan selama ber-
dua-duaan tersebut? Kalau ya, lalu apa bedanya dua
orang yang sedang bermesraan dan berpacaran dengan
dua orang pegawai kantor yang berada pada ruang
yang sama? Apa bedanya antara orang yang bernafsu
dengan orang yang tidak bernafsu, dimana dua orang
yang sedang bermesraan itu adalah dua orang yang
saling terpikat, tertarik, dan terjerat oleh nafsu,
sedangkan dua orang yang bekerja di kantor yang
sama dipertemukan untuk bekerja, bukan untuk
saling terpikat, tertarik, dan terjerat oleh nafsu?”
“Nah, demikian itulah, kiai, hujjah yang sering
dikatakan akhi Iqbal itu kepada saya; kepada kami.
Bukankah itu merupakan hujjah yang mengada-ada?!”
seru kang Rakhmat.
“Nggak, itu nggak mengada-ada,” kata kiai
sepuh.
u 504 U
SYAHADAT CINTA
“Bolehkah saya melanjutkan, kiai?” tanyaku.
Kiai Subadar mengangguk.
“Beberapa sahabat mengatakan kepada saya
bahwa yang disebut khalwat itu tetaplah khalwat tanpa
harus dimengerti maksud, tujuan, dan aktifitas selama
berkhalwat. Saya tidak sependapat dengan pendapat
mereka dalam masalah ini. Seorang pecundang yang
melanggar hukum positif* saja baru bisa dijatuhi
hukum ketika ditemukan alasan yang kuat kenapa dia
sampai dijatuhi hukum, lalu bagaimana bisa khalwat
disebut khalwat tanpa dimengerti alasan-alasannya.
Syariat Allah itu ada untuk kemaslahatan ummat
manusia, tetapi bagaimana dia akan bisa kita rasakan
maslahatnya tatkala kita tidak memahami, dengan
akal kita, syariat Allah itu sendiri? Di sinilah saya
berbeda dengan kang Rakhmat dan para sahabat. Bagi
saya, Islam itu tidak hanya untuk dipraktikkan, tetapi
juga dipikirkan. Saya tidak bisa mempraktikkan
ajaran-ajaran Islam tanpa saya mengerti dan memahami
ajaran-ajaran Islam tersebut. Saya menolak bahwa saya
dikatakan telah berkhalwat dengan ‘Aisyah, sedang-
kan antara saya dan dia tidak ada saling ketertarikan,
keterpikatan, keterjeratan dalam nafsu syahwatiah...
“Tetapi bagaimana dengan menundukkan
pandangan, akhi Iqbal? Belumkah kamu baca ayat
al-Qur’an yang mengatakan: Katakanlah kepada orang
* Hukum negara
u 505 U
TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY
laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”?*
“Maaf, kiai. Kalau tidak salah, tadi kiai mengata-
kan bahwa ayat tersebut berbunyi ‘menahan pandangan’.
Menurut saya, menahan pandangan itu bukan berarti
tidak boleh melihat perempuan asing. Tidak pula
berarti memalingkan muka–untuk tidak memandang–
perempuan asing. Jadi saya menolak pengertian
‘menahan pandangan’ itu sebagai memejamkan mata,
memalingkan wajah, dan menghindari pandangan
terhadap perempuan asing. Menahan pandangan
dalam pengertian saya adalah menahan diri dari
dorongan syahwat terhadap perempuan asing.”
“Ah, itukan hanya perkataan mulut antum,”
menyeru salah seorang sahabat, saya tidak sempat
memperhatikan siapa dia. “Mulut bisa berkata demi-
kian, tetapi hati berkata lain. Banyak orang berbusa-
busa mulutnya berkata tidak, sedangkan hatinya
berkata ya...!”
“Maaf, kiai, saya tidak bisa menerima argumentasi
seperti itu. mulut bisa berkata tidak, dan hati memang
bisa berkata ya. Tetapi, mulut dan hati siapakah yang
sekarang ini sedang diadili? Bukankah mulut dan hati
tersebut adalah mulut dan hati saya? Bagaimana
mungkin sahabat bisa menuduh mulut saya berbeda
* QS. an-Nuur: 30
u 506 U
SYAHADAT CINTA
dengan hati saya, sedangkan para sahabat tidak me-
ngetahui isi hati saya dan hanya saya dan Allah yang
tahu apa yang ada di hati saya?! Boleh-lah para sahabat
menganggap perkataan saya berbeda dengan isi hati
saya, tetapi Demi Allah—yang jiwa saya ada di
tangan-Nya—mulut saya mewakili isi hati saya.”
Para sahabat diam.
Kiai sepuh mengangguk-angguk. Butiran-butiran
tasbih masih beliau putar.
“Lalu apa yang kamu jadikan hujjah sehingga
kamu mendatangi asrama putri?” tanya kiai Subadar.
“Saya mencintainya, kiai...” jawabku. Aku menjadi
ingat dengan permintaan Zaenab, lalu aku berkata
kepada kiai sepuh, “kiai, ijinkan saya menciumnya
sekali saja...”
“Masyaallah...” pekik para sahabat.
“Astaghfirullah...!” seru sahabat yang lain
“Laknatullah ‘alaika...” teriak sahabat yang lain.
Usir saja dia dari pesantren ini....
“Ya, adili saja...”
“Bunuh saja...”
“Ya, darahnya halal untuk dibunuh. Otaknya lebih
kejam daripada otak Salman Rusydi.”
“Ya, akalnya lebih rendah dari akal pembuat kartun
yang menghujat baginda nabi...!”
“Akhi Iqbal, ada kontradiksi dari apa yang antum
katakan itu,” kata kang Rakhmat. “Tadi antum berkata
u 507 U
TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY
bahwa antum tidak mau disebut berkhalwat sebab hati
antum tidak tertarik, terpikat, dan terjerat nafsu.
Sekarang, kamu mengatakan bahwa kamu mencintai
Zaenab. Bahkan, masyaallah, meminta ijin kepada kiai
sepuh untuk menciumnya sekali saja. Kemunafikan
macam apa yang tengah saya hadapi ini?! Dengan
mengatakan bahwa antum mencintai Zaenab, itu ber-
arti antum telah terpikat, terjerat, dan tergoda oleh
hawa nafsu. Antum seorang munafik. Antum melebihi
orang kafir. Keinginanmu untuk meminta ijin men-
cium Zaenab lebih menunjukkan bahwa dirimu hanya
mengada-ada saja dalam berkata-kata. Antum telah
menghina Islam dengan perkataanmu; telah meng-
hina pemahaman salafush shalih dengan otakmu!”
“Ya, benar.” seru para sahabat
“Betul, betul...!” seru yang lain.
“Usir saja, kiai. Enyahkan saja munafiq ini dari
pesantren kita....!” pekik yang lain.
“Sabar, sabar,” kata kiai sepuh. “Lanjutkan dulu
perkataanmu, Bal!”
“Baiklah, kiai. Saya sekaligus ingin mengatakan
alasan saya menyandarkan kepala Priscillia ke dada
saya, sebab alasan saya sama dengan alasan yang lain
terhadap apa yang dituduhkan kepada saya. Menyentuh
perempuan asing itu, menurut para sahabat di sini,
adalah perbuatan yang haram. Saya hormati pendapat
para sahabat ini...”
u 508 U
SYAHADAT CINTA
Lalu, kuceritakan secara serba singkat, siapa
Priscillia itu dan mengapa dia sampai datang ke
pesantren ini. kukatakan bahwa dia tengah mencariku.
Dia mencari keselamatan, mencari perlindungan. Dia
adalah korban kekerasan atas nama agama. dia memilih
Islam, dan pilihannya itu menjadikan dia diusir dari
rumahnya, disiksa oleh orang tuanya, dan dikeluarkan
dari kampusnya. Dia tidak memiliki sanak-saudara.
Paman-pamannya tidak sudi menampungnya. Dia
hanya mengenalku saja, mengenalku sebagai sahabat-
nya, sebagai sahabat muslimnya. Dia masuk Islam
sesaat setelah aku keluar dari penjara. Dia terharu
terhadap perjalanan hidupku. Aku memiliki andil
yang besar akan keislamannya.
Lalu, kukatakan kepada semua yang hadir bahwa
hatiku tidak kuat menyaksikan petaka yang me-
nimpanya. Cinta telah melembutkan hatiku.
“Oleh karena itu, kiai, dalam keadaan yang seperti
itu, salahkah saya apabila saya menyentuh Priscillia.
Sungguh, saya tahu bahwa para sahabat akan meng-
hakimi saya dengan illat yang sama, yakni saya ter-
jebak hawa nafsu. Sungguh, ini perkataan yang tidak
benar. Saya mencintai Zaenab dengan hati saya. Saya
menyentuh Priscillia dengan jiwa saya. saya meminta
ijin untuk mencium Zaenab sebagaimana saya men-
cium mushaf al-Qur’an al-Karim; sebagaimana para
tamu Allah yang mencium ka’bah. Lalu di mana letak
u 509 U
TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY
kesalahan saya? jika saya disalahkan, harusnya para
sahabat juga menyalahkan perbuatannya sendiri yang
suka mencium mushaf al-Qur’an ketika mereka selesai
membacanya. Para sahabat juga harus menyalahkan
para tamu Allah yang tengah mencium Ka’bah demi
kemuliaannya.”
Keadaan menjadi ricuh. Suara gemuruh gumam
terdengar di mana-mana.
Kulihat kang Rakhmat hanya menggeleng-
gelengkan kepada saja. beberapa sahabat yang lain
juga seperti itu.
Kudengar kata-kata para sahabat yang menyata-
kan bahwa aku telah mengada-ada. Aku telah men-
cabik-cabik pemahaman Islam yang benar. Aku telah
menzalimi al-Qur’an dan as-Sunnah. Aku telah me-
nyelewengkan pemahaman al-Qur’an dan as-Sunnah
dari seharusnya menjadi pemikiranku sendiri. Aku
telah sewenang-wenang dalam memahami Islam.
Bahkan, tidak sedikit ungkapan yang kudengar
dari para sahabat bahwa aku telah bermain-main
dengan otakku terhadap Islam yang lurus. Aku dikata-
kan sebagai manusia tak tahu diri, sebab baru saja
belajar agama sudah memiliki pikiran yang mengada-
ada. Aku harus mengaca diri terlebih dahulu, sedang
berbicara apa dan di hadapan siapa.
Mendengar semua itu, aku hanya diam saja. Aku
hanya tahu bahwa Allah selalu menyaksikanku,
u 510 U
SYAHADAT CINTA
dimana-mana, kapan saja, dalam situasi yang bagai-
manapun juga.
Kulihat kiai Subadar demikian gelisah. Kusaksi-
kan kiai sepuh hanya mengangguk-angguk saja sejak
tadi. Sering kiai sepuh hanya memejamkan mata dan
mendengar perkataanku. Aku tidak tahu isi hati
beliau.
Dan aku tidak tahu apa yang ada di dalam isi hati
kiai Subadar.
Aku hanya tahu bahwa para sahabat meminta kiai
agar aku diusir dari pesantren tercinta ini.
Maka, demikianlah...
Tatkala jam menunjuk angka 11.15, kiai Subadar
mengambil kesimpulan. Beliau berkata:
“Telah aku dengarkan semua yang kamu katakan.
Telah kudengarkan pula apa yang dikatakan oleh
kalian dalam kesempatan ini. Kukatakan bahwa
Iqbal—santriku yang baru beberapa bulan di sini,
yang baru mulai mengaji al-Qur’an, menghafal ayat-
ayat al-Qur’an, menghafal hadis-hadis nabi, dan mulai
mengaji kitab kuning—ternyata memiliki pemahaman
yang berbeda dari pemahaman yang ada di pesantren
ini. santri-santriku tidak berkenan untuk menerima
lagi kehadiran Iqbal di sini. Ini pilihan yang sulit
bagiku. Satu sisi, aku hormati perbedaan pandangan
yang saudara Iqbal paparkan. Di sisi lain, tak ada satu
pun santri di sini yang berkenan dengan perbedaan
u 511 U
TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY
itu. Aku sendiri meyakini bahwa kamu berhak
memiliki perbedaan pendapat. Tetapi, pendapatmu
yang demikian itu tidak sesuai dengan pemahamanku
selama ini terhadap Islam dan ajaran-ajarannya.
“Untuk itu, Iqbal, bukan berarti aku mengusirmu
dari pesantren ini. aku tidak mengusirmu oleh sebab
pandanganmu yang berbeda dengan pandangan kami.
Aku menghendaki kamu meninggalkan pesantren ini
demi kemaslahatan kita semua: kemaslahatan sahabat-
sahabatmu di sini, juga kemaslahatanmu sendiri....”
Aku menangis mendengar keputusan kiai Subadar.
Aku menangis bukan karena aku sedih sebab beliau
menyuruhku untuk pergi dari sini. Aku menangis
karena telah menyaksikan dan mendengarkan
kebijaksanaan hati beliau yang telah mengakui per-
bedaan pendapat antara aku dengan beliau dan para
sahabat di sini.
—oOo—
u 512 U
SYAHADAT CINTA
26
Jemput Mereka
Tiga Tahun Lagi
Telah sia-siakah waktu yang telah aku jalani di
pesantren ini?
Dulu aku datang ke sini untuk belajar agama. Lalu
kiai sepuh mengajarkan kesabaran dan keikhlasan
pada diriku melalui perintahnya untuk mengambil
air. Berlalunya waktu sedikit demi sedikit menunjuk-
kan kepadaku betapa belajar ikhlas dan sabar itu
memerlukan hari.
Pesantren ini juga telah mengajariku akan Islam
dan perbedaan. Di sini, kemarin, aku bertemu dan
terus bersua dengan para sahabat yang baik-baik. Dan
aku yakin, sampai hari ini pun mereka sesungguhnya
memiliki hati yang baik. Bahwa mereka begitu keras
dan begitu kasar terhadap diriku, ini semua merupa-
kan bukti kecintaan mereka kepada Islam, agama
mereka dan agamaku juga.
u 513 U
TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY
Hari ini, kiai sudah mengeluarkan keputusannya.
Kuhirup udara di pesantren ini untuk terakhir kalinya.
Aku tidak tahu, aku ingin menuju ke mana. Akankah
aku pulang ke Jakarta, kembali kepada ayah dan
bundaku? Bagaimana nanti apabila mereka bertanya-
tanya kepada diriku, dan aku tidak bisa berkata
bohong kepada mereka tentang dikeluarkannya aku
dari pesantren ini?
Hendak ke mana kaki ini akan melangkah?.
Bagaimana dengan nasib cintaku?
***
Mulialah, kiai Subadar, sebab beliau masih meng-
ijinkan aku untuk melakukan shalat Jum’at terakhir
kalinya, padahal banyak santri yang ingin melihatku
segera enyah dari pesantren ini, tanpa perlu shalat
Jum’at bersama mereka.
Usai shalat Jum’at, aku segera bergegas ke kamar-
ku. Siang ini juga, aku diminta untuk meninggalkan
pesantren ini.
Aku kumpulkan seluruh pakaianku. Satu demi
satu kumasukkan pakaian-pakaian itu ke dalam tasku.
Bagaimana dengan buku-buku itu? Lebih baik aku
tinggal saja. Barangkali akan bermanfaat bagi para
sahabat di sini. Aku bisa membeli buku lagi. Ku-
masukkan peci ke dalam tasku pula.
Di saat aku sedang berbenah, para sahabat kamar-
ku masuk satu per satu, dimulai dari kang Rakhmat,
u 514 U
SYAHADAT CINTA
lalu kang Rusli, Dawam, dan terakhir Amin. Sesaat
aku benar-benar merasa asing terhadap mereka, dan
mereka pun merasa aneh terhadap diriku. Beberapa
saat, kami saling diam. Diam. Dan diam.
Dan aku tidak bisa terus-menerus untuk diam
begini. Barangkali, benih-benih permusuhan mulai
muncul dalam hati para sahabat terhadapku. Tidak
mengapa. Aku tidak akan pernah memusuhinya. Kata
apa yang harus kuucapkan kepada mereka untuk
memecah kebekuan ini?
Oh ya, aku menjadi ingat! Aku ingat dengan
tugasku, dengan tanggung jawabku. Lalu aku pun
berkata kepada kang Rakhmat, “Kang...maaf. saya
tidak bisa lagi di sini, padahal masih ada tanggung
jawab yang harus saya kerjakan. Untuk itu, saya
mohon kang Rakhmat bersedia untuk meneruskan
rencana yang telah kita susun. Kang Rakhmat bisa
mengajak sahabat yang lain untuk pergi ke kabupaten
besok. Semoga acara nanti sukses.”
“Dan...saya bermaksud meninggalkan buku-buku
saya di sini. Mungkin buku-buku tersebut bisa men-
jadi koleksi...”
Kang Rakhmat diam.
Para sahabat pun diam.
Aku segera mengangkat tasku.
“Sudah saatnya saya harus meninggalkan
pesantren ini...”
u 515 U
TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY
Tiba-tiba, kang Rakhmat menubrukku, memeluk-
ku. Ia meneteskan air mata.
“Akhi, kita bertemu untuk dipisahkan. Alangkah
sayangnya, kita harus berpisah dalam perbedaan yang
seperti ini. tetapi, akhi, antum tetap saudaraku, tetap
sahabat sejatiku...”
Air mataku pun mengalir. Tak kusangka bahwa
hatinya masih baik kepada diriku.
Dan para sahabat yang lain pun sama.
Kami saling berpelukan.
“Maafkan segala kesalahan saya selama ini,” kata-
ku. “Semoga Allah selalu bersama para sahabat
semua...”
“Semoga Allah juga menunjukkan jalan yang lurus
kepadamu, akhi..”
Aku keluar dari kamar dengan berkaca-kaca.
***
Para santri masih tampak di sana-sini. Mereka
tampak pula memandangiku, menatapi kepergianku.
Mereka enggan untuk mendekatiku, padahal aku
ingin menyapa mereka.
Kuputuskan saja untuk bertemu dengan kiai. Aku
ingin mohon diri.
“Semoga Allah selalu bersamamu,” doa kiai
Subadar untukku.
“Maafkan saya, kiai. Maafkan atas segala kesalahan
saya. kiai sepuh mana?”
u 516 U
SYAHADAT CINTA
“Aku di sini...!” teriak kiai sepuh dari dalam kamar.
Sejurus kemudian, beliau keluar.
“Kamu mau pergi sekarang?” tanya kiai sepuh.
“Ya, kiai...”
“Bolehkah aku mengantarkanmu sampai di luar
sana?”
“Aduh, sebuah keberkahan, kiai...”
“Aku ikut...!” teriak ‘Aisyah dengan tiba-tiba.
“Bah, ijinkan aku untuk mengantar mas Iqbal juga...”
Kiai Subadar menatapku.
“Saya berangkat, kiai.” Kucium tangan kiai.
“Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikum salam...”
Kami berjalan.
Aku berjalan di sebelah kanan kiai sepuh agak ke
belakang. ‘Aisyah berjalan di belakang eyangnya.
“Kang, tunggu...!” tiba-tiba suara Ihsan memang-
gilku dari belakang. Aku menoleh. Aku berhenti. Dia
berlari ke arahku.
Sejurus kemudian, Ihsan berjalan mensejajariku.
Katanya, “Hendak ke mana kamu, kang?”
“Wallahu a’lam, aku belum tahu.”
“Kang Iqbal harus tahu hendak ke mana pergi.
Aku mau ikut...”
Aku berhenti. “Ikut, kau mau ikut aku?”
“Ya.”
“Kenapa?”
u 517 U
TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY
“Pokoknya aku mau ikut. Hatiku yang mendorong
aku untuk ikut denganmu. Aku mau belajar agama
padamu.”
Aku tertawa.
“Jangan tertawa. Aku serius.”
“Aku ini belum tahu mau ke mana. Begini saja,
nanti kalau aku sudah tahu di mana mau tinggal,
kamu akan kukirimi surat. Tempatmu bukan di sisiku,
San. Kamu akan menuju Allah melalui pesantren ini.”
“Tetapi, aku tetap mau bersamu. Tidak bisa
sekarang, mungkin besok. Tidak bisa besok, mungkin
lusa. Kirimi aku surat, maka aku akan berangkat!”
“Ya, insyaallah...”
“Bal, bagaimana dengan Zaenab?” tiba-tiba kiai
sepuh bertanya begitu.
Pertanyaan beliau sungguh menghentikan
langkah-langkah kakiku.
”Bagaimana? Cinta kok dibuang begitu saja!” kata
kiai sepuh sekali lagi.
Wajahku menjadi cerah. “Apakah kiai sepuh
mengijinkan cintaku kepada Zaenab?”
“Ya—lah, lha wong aku juga pernah muda seperti
kamu!”
“Dan apakah kiai sepuh mengijinkanku untuk
menciumnya sekali saja.”
“Tunggu dulu, jawab dulu pertanyaanku. Apakah
kamu benar-benar mencintainya?’
u 518 U
SYAHADAT CINTA
“Ya, kiai. Aku mencintainya.”
“Lalu bagaimana dengan gadis itu—siapa, Syah,
namanya?”
“Priscillia, eyang,” jawab ‘Aisyah.
“Ya, bagus sekali namanya. Kau akan mening-
galkan Lia juga?”
Aku menjadi bingung.
“Jika kamu berikan cintamu kepada Zaenab, maka
kepada siapa Priscillia akan memberikan cintanya.
Ngawur saja kamu ini, ngger, ngger....”
“Saya bingung, kiai... sekarang saya harus pergi.
Saya tidak bisa menemui Zaenab. Saya tidak bisa
menemui Priscillia pula. Saya takut jika saya bertemu
dengan Zaenab, maka cintaku akan menahan saya.
bagaimana ini, kiai?”
“Loh, bagaimana? Kok malah tanya aku?!”
“Saya cintai Zaenab dengan cinta saya. Saya
mengasihi Priscillia dengan hati saya karena Allah....”
“Priscillia membutuhkanmu—aku tahu itu, ndak
usah bertanya darimana aku tahu. Zaenab juga
mencintaimu. Jadikan keduanya sebagai istrimu saja.”
“Saya, kiai?”
“Siapa lagi!”
“Tapi saya belum siap menikah, kiai.”
“Kapan kamu akan siap?”
“Kapan ya? Umur saya baru 22. Mungkin, yaaach...
mungkin tiga tahun lagi, kiai.”
u 519 U
TAUFIQURRAHMAN AL-AZIZY
“Nah, beres kan?!”
“Tapi, bisakah dalam tiga tahun ini cinta saya tetap
tumbuh dan bersemi?”
“Loh...mana aku tahu?!”
“Apa saya layak bersanding dengan mereka?”
“Makanya, jemput mereka di sini tiga tahun lagi.”
“Bolehkah aku menjemput mereka.”
“Dengan hatimu, jangan dengan nafsumu.”
“Bagaimana jika seandainya Zaenab dan Priscillia
tidak mencintai saya?”
“Oh, tidak. Mereka mencintaimu.”
Angin bersemilir. Kurasakan udara siang demikian
segar. Telah muncul kembali harapanku terhadap
cintaku. Kiai sepuh mendukungku. Semoga aku tidak
menyia-nyiakan dukungan beliau itu.
Aduh, masih ada nama yang mengganjal di hati-
ku: Khaura. Bagaimana dengan dia? Apa kabarnya
hari ini
Ah, walluhu a’lam. Kuserahkan semuanya saja
kepada kehendak-Nya. Kehendak-Nya adalah sebaik-
baik kehendak. Semoga Allah akan menyatukan
cintaku dengan orang-orang yang kukasihi.
***
— TAMAT —
u 520 U
SYAHADAT CINTA
u 521 U