The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

ASUHAN KEPERAWATAN KEHILANGAN DAN BERDUKA

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by bramskm2, 2021-04-18 02:13:25

ASUHAN KEPERAWATAN KEHILANGAN DAN BERDUKA

ASUHAN KEPERAWATAN KEHILANGAN DAN BERDUKA

ASUHAN KEPERAWATAN KEHILANGAN DAN BERDUKA

I. DESKRIPSI SINGKAT

Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan asuhan
keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga yang mengalami
kehilangan dan berduka. Penting bagi perawat memahami kehilangan dan berduka. Ketika
merawat klien dan keluarga, parawat juga mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan
klien-kelurga-perawat berakhir karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau
kematian. Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman pribadi mempengaruhi seberapa jauh
perawat dapat mendukung klien dan keluarganya selama kehilangan dan kematian (Potter &
Perry, 2005).

Modul ini membahas asuhan keperawatan kehilangan dan berduka agar perawat dapat
mengenali tanda dan gejala serta memberikan penatalaksanaan yang tepat kepada pasien dan
keluarga dalam mengatasi masalah kehilangan dan berduka.

Asuhan keperawatan kehilangan dan berduka terdiri dari pengkajian, diagnosis keperawatan,
tindakan keperawatan pada pasien dan keluarga (pelaku rawat), evaluasi kemampuan pasien
dan keluarga (pelaku rawat) dan dokumentasi keperawatan.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu melakukan asuham keperawatan
kehilangan dan berduka

B. Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK)
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu:

1. Menjelaskan konsep kehilangan dan berduka
2. Menguraikan langkah-langkah proses keperawatan kehilangan dan berduka:

a. Melakukan pengkajian kehilangan dan berduka
b. Menetapkan diagnosis keperawatan kehilangan dan berduka
c. Melakukan tindakan keperawatan pada pasien kehilangan dan berduka
d. Melakukan tindakan keperawatan pada keluarga pasien kehilangan dan berduka
e. Mengevaluasi kemampuan pasien dan keluarga dalam merawat pasien kehilangan

dan berduka
f. Mendokumentasikan hasil asuhan keperawatan pasien kehilangan dan berduka

Mempraktekkan asuhan keperawatan kehilangan dan berduka

III. POKOK BAHASAN

Dalam modul ini akan dibahas pokok bahasan-pokok bahasan sebagai berikut yaitu:
Pokok bahasan 1. Konsep kehilangan dan berduka
Pokok bahasan 2. Proses keperawatan kehilangan dan berduka

IV. METODE

Metode yang digunakan dalam proses pembelajaran adalah:
A. Brain storming (curah pendapat)
B. Ceramah, tanya jawab
C. Exercise/Latihan
D. Demonstrasi

V. MEDIA DAN ALAT BANTU

Media dan alat bantu yang digunakan selama proses pembelajaran adalah:
A. Liquid Crystal Display (LCD) Projector dan Laptop

B. Laser pointer
C. Spidol
D. slide presentasi
E. Lembar diskusi (Flip chart)
F. Form latihan, panduan latihan dan demonstrasi
VI. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN

Agar proses pembelajaran dapat berhasil secara efektif, maka perlu disusun langkah-langkah
sebagai berikut:
A. Langkah 1 : Penyiapan Proses pembelajaran di kelas

1. Kegiatan Fasilitator
a. Fasilitator memulai kegiatan dengan melakukan bina suasana di kelas
b. Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat.
c. Apabila belum pernah menyampaikan sesi di kelas mulailah dengan
memperkenalkan diri. Perkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, instansi
tempat bekerja, dan materi yang akan disampaikan.
d. Menggali pendapat pembelajar (apersepsi) tentang apa yang dimaksud dengan
asuhan keperawatan kehilangan dan berduka dengan metode brainstorming.
e. Menyampaikan ruang lingkup bahasan dan tujuan pembelajaran tentang askep
kehilangan dan berduka dengan menggunakan bahan tayang.

2. Kegiatan Peserta
a. Mempersiapkan diri dan alat tulis yang diperlukan
b. Mengemukakan pendapat atas pertanyaan fasilitator
c. Mendengar dan mencatat hal-hal yang dianggap penting
d. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator bila ada hal-hal yang belum jelas dan
perlu diklarifikasi.

B. Langkah 2 : Penjelasan Konsep dan proses Keperawatan Ansietas
Penjelasan tentang proses keperawatan ansietas selama 1 JPL (45 menit) sebagai berikut :

1. Kegiatan Fasilitator
a. Menyampaikan pokok bahasan dan sub pokok bahasan: konsep dan proses
keperawatan kehilangan dan berduka. Saat penyampaian materi proses
keperawatan kehilangan dan berduka, peserta juga melakukan latihan atau bermain
peran dalam merawat kehilangan dan berduka.
b. Memberikan kesempatan kepada peserta untuk menanyakan hal-hal yang kurang
jelas
c. Memberikan jawaban jika ada pertanyaan yang diajukan peserta

2. Kegiatan Peserta
a. Mendengar, mencatat dan menyimpulkan hal-hal yang dianggap penting.
b. Melakukan latihan atau bermain peran dalam merawat pasien ansietas.
c. Mengajukan pertanyaan kepada fasilitator sesuai dengan kesempatan yang
diberikan
d. Memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan fasilitator.

VII. URAIAN MATERI

POKOK BAHASAN 1.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN KEHILANGAN DAN BERDUKA

1.1 PENGERTIAN
Kehilangan adalah:
1. Perubahan dari sesuatu yang ada menjadi tidak ada atau situasi yang diharapkan
terjadi tidak tercapai.
2. Suatu keadaan terpisahnya individu dengan sesuatu yang sebelumnya dimiliki/ada.
3. Suatu kondisi dimana seseorang mengalami kekurangan akan sesuatu yang
sebelumnya ada.

Ada beberapa bentuk kehilangan:

1. Kehilangan orang yang berarti (orang atau hewan peliharaan) melalui kematian,
perceraian, atau perpisahan.

2. Penyakit atau kondisi yang melemahkan. Contohnya termasuk (tetapi tidak terbatas
pada) diabetes, stroke, kanker, rheumatoid arthritis, multiple sclerosis, penyakit
Alzheimer, gangguan pendengaran atau penglihatan, dan cedera tulang belakang atau
kepala. Beberapa kondisi ini tidak hanya menyebabkan hilangnya kesehatan fisik dan /
atau emosional tetapi juga dapat mengakibatkan hilangnya kemandirian pribadi.

3. Perubahan perkembangan atau maturasi atau situasi, seperti menopause,
andropause, infertilitas, penuaan, impotensi, atau histerektomi.

4. Penurunan harga diri karena ketidakmampuan untuk memenuhi ekspektasi diri atau
harapan orang lain (bahkan jika harapan ini hanya dirasakan oleh individu sebagai
tidak terpenuhi). Ini termasuk hilangnya potensi harapan dan impian.

5. Barang pribadi yang melambangkan keakraban dan keamanan dalam kehidupan
seseorang. Pemisahan dari objek-objek eksternal yang dikenal dan dihargai secara
pribadi ini mewakili hilangnya ekstensi material dari diri.

Berduka adalah respons individu terhadap kehilangan. Respons tersebut merupakan reaksi
normal terhadap kehilangan. Berduka dimanifestasikan dalam pikiran, perasaan, dan
perilaku yang terkait dengan kesusahan atau kesedihan yang luar biasa.

Ada dua jenis respon berduka:
1. Berduka antisipatif dialami sebelum acara seperti istri yang berduka sebelum suaminya

yang sakit meninggal. Orang Ayoung mungkin berduka sebelum operasi yang akan
meninggalkan bekas luka. Karena banyak gejala kesedihan yang normal akan telah
dinyatakan dalam antisipasi, reaksi ketika kehilangan benar-benar terjadi kadang-
kadang cukup disingkat.
Berduka yang kehilangan hak
terjadi ketika seseorang tidak dapat mengakui kehilangan kepada orang lain. Situasi di
mana hal ini dapat terjadi sering berhubungan dengan kerugian yang tidak dapat diterima
secara sosial yang tidak dapat dibicarakan, seperti bunuh diri, aborsi, atau memberikan

anak untuk diadopsi. Contoh lain termasuk kehilangan hubungan yang secara sosial tidak
disetujui dan mungkin tidak diketahui oleh orang lain (seperti homoseksualitas atau
hubungan di luar nikah).

Berduka yang tidak sehat — yaitu berduka yang patologis atau komplek — muncul ketika
strategi untuk mengatasi kehilangan itu maladaptif. Gangguan ini dapat dikatakan ada jika
terus berlangsung selama lebih dari 6 bulan dan menyebabkan berkurangnya kemampuan
untuk berfungsi secara formal (Prigerson, Vanderwerker, & Maciejewski, 2008). Banyak
faktor dapat menyebabkan berduka kompleks, termasuk kehilangan traumatis
sebelumnya, hambatan keluarga atau budaya terhadap ekspresi emosional kesedihan,
kematian mendadak, hubungan yang tegang antara orang yang selamat dan yang
meninggal, dan kurangnya dukungan yang memadai bagi mereka yang selamat.

Berduka kompleks setelah kematian dapat disimpulkan dari data atau pengamatan berikut:
1. Klien gagal berduka; misalnya, seorang suami tidak menangis, atau absen dari
pemakaman istrinya.
2. Klien menghindari kunjungan kuburan dan menolak untuk berpartisipasi dalam
upacara pemakaman, meskipun praktik ini merupakan bagian dari budaya klien.
3. Munculnya gejala yang kambuh setiap hari peringatan kehilangan.
4. Berkembangnya rasa bersalah dan harga diri rendah yang menetap.
5. Setelah periode yang lama, klien terus mencari orang yang hilang. Kadang berpikir
untuk bunuh diri agar bisa bertemu.
6. Peristiwa kecil mudah memicu gejala kesedihan.
7. Bahkan setelah jangka waktu tertentu, klien tidak dapat mendiskusikan almarhum
dengan tenang; misalnya, celah suara dan getaran suara klien, dan mata menjadi
berair.
8. Setelah periode normal kesedihan, klien mengalami gejala fisik yang mirip dengan
orang yang meninggal.
9. Hubungan klien dengan teman dan kerabat semakin buruk setelah kematian.

Banyak faktor yang berkontribusi terhadap kesedihan yang belum terselesaikan setelah
kematian:
1. Ambivalensi (perasaan yang kuat, baik positif maupun negatif) terhadap orang yang

hilang
2. Kebutuhan yang dirasakan untuk berani dan memegang kendali; takut kehilangan

kendali di depan orang lain
3. Ketahanan dari banyak kehilangan, seperti kehilangan seluruh keluarga
4. Nilai emosional yang sangat tinggi pada orang yang sudah mati; Kegagalan untuk

berduka dalam hal ini membantu orang yang terhindar menghindari realitas kehilangan
5. Ketidakpastian tentang kehilangan — misalnya, ketika orang yang dicintai “menurunkan

semangat”
6. Kurangnya sistem pendukung.

1.2 PROSES TERJADINYA KEHILANGAN DAN BERDUKA
Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu fase awal,
pertengahan, dan pemulihan.
1. Fase awal
Pada fase awal seseorang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak percaya,
perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan tersebut berlangsung selama
beberapa hari, kemudian individu kembali pada perasaan berduka berlebihan.
Selanjutnya, individu merasakan konflik dan mengekspresikannya dengan menangis
dan ketakutan. Fase ini akan berlangsung selama beberapa minggu.
2. Fase pertengahan
Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya perilaku obsesif.
Sebuah perilaku yang terus mengulang-ulang peristiwa kehilangan yang terjadi.
3. Fase pemulihan

Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu memutuskan untuk
tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk melanjutkan kehidupan. Pada fase ini
individu sudah mulai berpartisipasi kembali dalam kegiatan sosial.

Tahapan Pola Perilaku berduka sebagai respon dari kehilangan bervariasi setiap orang.
Namun, ada kesamaan karakterisasi berduka sebagai sindrom yang digunakan dalam
memprediksi proses ini. Berikut ini akan dijelaskan tahapan proses kehilangan menurut
Elisabeth Kübler-Ross (1969), John Bowlby (1961), dan George Engel (1964).
1. Tahapan proses kehilangan pada pasien terminal (Elisabeth Kübler-Ross. 1969)

Menurut Kubler-Ross, ada lima tahapan dari proses kehilangan, yakni penyangkalan
(denial), marah (anger), penawaran (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan
(acceptance):
Tahap I: Penyangkalan (Denial)
Pada tahapan ini Individu tidak mengakui bahwa telah terjadi kehilangan. Dia mungkin
berkata, “Tidak, itu tidak mungkin benar!” Atau “Itu tidak mungkin.” Tahap ini dapat
melindungi individu terhadap rasa sakit psikologis dari kenyataan.
Tahap II: Kemarahan (Anger).
Ini adalah tahap ketika realitas terjadi. Perasaan yang terkait dengan tahap ini
termasuk kesedihan, rasa bersalah, malu, tidak berdaya, dan putus asa. Menyalahkan
diri sendiri atau menyalahkan orang lain dapat menyebabkan perasaan marah terhadap
diri sendiri dan orang lain. Tingkat kecemasan dapat meningkat, dan individu dapat
mengalami kebingungan dan kemampuan menurun untuk berfungsi secara
independen. Dia mungkin disibukkan dengan gambaran ideal tentang apa yang telah
hilang. Biasanya pada tahap ini banyak terjadi keluhan somatik.
Tahap III: Tawar-menawar (bargaining)
Individu berusaha untuk melakukan tawar-menawar dengan Tuhan untuk kesempatan
kedua atau untuk lebih banyak waktu. Orang tersebut mengakui kehilangan, atau
kehilangan yang akan terjadi, tetapi mengulurkan harapan untuk alternatif tambahan,

sebagaimana dibuktikan oleh pernyataan seperti, "Kalau saja aku bisa. . . "Atau" Kalau
saja saya punya. . . . ”
Tahap IV: Depresi.
Individu berduka untuk apa yang telah atau akan hilang. Ini adalah tahap yang sangat
menyakitkan, di mana individu harus menghadapi perasaan yang terkait dengan
kehilangan seseorang atau sesuatu yang berharga (disebut depresi reaktif). Contohnya
mungkin adalah individu yang berduka atas perubahan citra tubuh. Perasaan yang
terkait dengan kehilangan yang akan datang (disebut preparatory depression) juga
dihadapkan. Contohnya termasuk perubahan gaya hidup permanen yang berkaitan
dengan citra tubuh yang diubah atau bahkan kehilangan nyawa yang akan datang itu
sendiri. Regresi, penarikan, dan isolasi sosial dapat diamati perilaku pada tahap ini.
Intervensi terapeutik harus tersedia, tetapi tidak memaksa, dan implementasi
berdasarkan kesiapan klien.
Tahap V: Penerimaan.
Individu telah bekerja melalui perilaku yang terkait dengan tahapan lain dan menerima
atau mengundurkan diri dari kehilangan. Kecemasan menurun, dan metode untuk
mengatasi kerugian telah ditetapkan. Klien kurang disibukkan dengan apa yang hilang
dan semakin tertarik pada aspek lingkungan lainnya. Jika ini adalah kematian diri yang
akan datang, individu tersebut siap untuk mati. Orang itu mungkin menjadi sangat
pendiam dan menarik diri, tampaknya tanpa perasaan. Perilaku ini merupakan upaya
untuk memfasilitasi perjalanan dengan perlahan-lahan melepaskan diri dari lingkungan.

2. Tahapan proses kehilangan menurut George Engel:
Tahap I: Kejutan dan ketidakpercayaan.
Reaksi awal terhadap suatu kehilangan adalah perasaan tertegun, mati rasa dan
penolakan oleh individu untuk mengakui realitas kehilangan. Tahap ini merupakan
upaya individu untuk melindungi diri "melawan efek dari stres yang luar biasa dengan
meningkatkan ambang batas terhadap pengakuannya atau melawan perasaan
menyakitkan yang ditimbulkan karena kehilangan”

Tahap II: Mengembangkan Kesadaran.
Tahap ini dimulai dalam menit ke jam dari kehilangan. Perilaku yang terkait dengan
tahap ini termasuk menangis berlebihan dan regresi ke keadaan tidak berdaya dan
perilaku seperti anak kecil. Kesadaran akan kehilangan menciptakan perasaan hampa,
frustrasi, kesedihan, dan putus asa. Kemarahan dapat diarahkan ke arah diri sendiri
atau terhadap orang lain di lingkungan yang bertanggung jawab atas kehilangan itu.
Tahap III: Restitusi.
Berbagai ritual yang terkait dengan kehilangan dalam budaya dilakukan. Contohnya
termasuk pemakaman, bangun tidur, pakaian khusus, pertemuan teman dan keluarga,
dan praktik keagamaan yang biasa bagi keyakinan spiritual orang yang berduka.
Partisipasi dalam ritual ini dianggap membantu individu untuk menerima kenyataan
kehilangan dan memfasilitasi proses pemulihan.
Tahap IV: Resolusi kehilangan
Tahap ini ditandai dengan keasyikan dengan kehilangan. Konsep kehilangan sangat
diidealkan, dan individu bahkan dapat meniru kualitas yang dikagumi dari entitas yang
hilang. Keasyikan dengan kehilangan secara bertahap berkurang selama satu tahun
atau lebih, dan individu akhirnya mulai menginvestasikan kembali perasaan pada orang
lain.
Tahap V: Pemulihan.
Obsesi dengan kehilanganan telah berakhir, dan individu dapat melanjutkan hidupnya.

3. Empat tugas berduka Worden meliputi:
Tugas I: Menerima Realitas Kehilangan.
Ketika sesuatu yang bernilai hilang, adalah umum bagi individu untuk menolak percaya
bahwa kehilangan telah terjadi. Perilaku termasuk salah mengidentifikasi individu di
lingkungan untuk orang yang mereka cintai yang hilang, mempertahankan barang dari
orang yang dicintai yang hilang seolah-olah dia belum meninggal, dan menghapus
semua pengingat dari orang yang dicintai yang hilang agar tidak harus menghadapi
kenyataan kehilangan . Worden (2009) menyatakan: penerimaan realitas kehilangan

membutuhkan waktu karena tidak hanya melibatkan penerimaan intelektual tetapi
juga Orang yang berduka mungkin secara intelektual sadar akan finalitas kehilangan
jauh sebelum emosi memungkinkan penerimaan penuh atas informasi sebagai benar.
Keyakinan dan penolakan adalah intermiten ketika bergulat dengan tugas ini.
Diperkirakan bahwa ritual tradisional seperti pemakaman membantu beberapa
individu bergerak menuju penerimaan kehilangan.
Tugas II: Memproses Rasa Kesedihan.
Nyeri yang terkait dengan kehilangan mencakup baik rasa sakit fisik dan rasa sakit
emosional. Rasa sakit ini harus diakui dan diatasi. Untuk menghindari atau menekannya
hanya berfungsi untuk menunda atau memperpanjang proses berduka. Orang-orang
mencapai hal ini dengan menolak untuk membiarkan diri mereka memikirkan pikiran
yang menyakitkan, dengan mengidealkan atau menghindari pengingat dari entitas yang
hilang, dan dengan menggunakan alkohol atau obat-obatan. Intensitas rasa sakit dan
cara yang dialami berbeda untuk semua individu. Tetapi kesamaannya adalah itu harus
dialami. Kegagalan untuk melakukannya umumnya menghasilkan beberapa bentuk
depresi yang biasanya membutuhkan terapi, yang kemudian berfokus pada bekerja
melalui rasa sakit duka yang gagal dialami oleh individu pada saat kehilangan. Pada
tahap ini, yang sangat sulit ini, individu harus “membiarkan diri mereka memproses
rasa sakitnya — untuk merasakannya dan mengetahui bahwa suatu hari akan berlalu”
(Worden, 2009, hlm. 45).
Tugas III: Menyesuaikan dengan Dunia tanpa Entitas Yang Hilang.
Biasanya dibutuhkan beberapa bulan bagi orang yang berduka untuk menyadari seperti
apa dunia mereka tanpa entitas yang hilang. Dalam kasus orang yang dicintai yang
hilang, bagaimana perubahan lingkungan akan tergantung pada jenis peran yang orang
itu dipenuhi dalam hidup. Dalam kasus gaya hidup yang berubah, individu akan diminta
untuk membuat adaptasi dengan lingkungannya dalam hal perubahan sebagaimana
yang disajikan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, orang-orang yang telah
mendefinisikan identitas mereka melalui entitas yang hilang akan membutuhkan
penyesuaian untuk diri mereka sendiri. Worden (2009) menyatakan: Strategi

penanggulangan mendefinisikan ulang kehilangan sedemikian rupa sehingga dapat
mereduksikan manfaat dari survivor sering menjadi bagian dari keberhasilan
penyelesaian.
Jika orang yang berduka mengalami kegagalan dalam usahanya untuk menyesuaikan
diri dalam lingkungan tanpa entitas yang hilang, perasaan rendah diri dapat terjadi.
Perilaku yang tertekan dan perasaan tidak berdaya dan ketidakmampuan tidak jarang
terjadi. Worden (2009) menyatakan: area penyesuaian mungkin untuk merasakan
dunia. Kehilangan melalui kematian dapat menantang nilai-nilai kehidupan
fundamental seseorang dan keyakinan filosofis — keyakinan yang dipengaruhi oleh
keluarga, teman sebaya, pendidikan, dan agama serta pengalaman hidup. Orang yang
berduka mencari arti dalam kehilangan dan perubahan kehidupan yang menyertainya
untuk membuatnya masuk akal dan untuk mendapatkan kembali kendali atas
hidupnya.
Agar berhasil dalam Tugas ini individu yang ditinggalkan harus mengembangkan
keterampilan baru untuk mengatasi dan beradaptasi dengan lingkungan baru mereka
tanpa entitas yang hilang. Keberhasilan pencapaian tugas ini menentukan hasil dari
proses berkabung - yaitu pertumbuhan yang berkelanjutan atau keadaan
perkembangan yang diterima.
Tugas IV: Menemukan Koneksi Abadi dengan Entitas Yang Hilang di Tengah-tengah
Memulai Kehidupan Baru.
Tugas ini memungkinkan orang yang berduka untuk mengidentifikasi tempat khusus
untuk entitas yang hilang. Individu tidak perlu membersihkan dari riwayat mereka atau
mencari pengganti yang telah hilang. Sebaliknya, ada semacam keberlangsungan
kehadiran entitas yang hilang yang hanya menjadi relokasi dalam kehidupan orang
yang berduka. Keberhasilan menyelesaikan Tugas IV melibatkan melepaskan
keterikatan masa lalu dan membentuk yang baru. Namun, ada juga pengakuan bahwa
meskipun hubungan antara yang ditinggalkan dan yang telah hilang diubah, itu tetap
merupakan sebuah hubungan. Worden (2009) menyatakan bahwa seseorang tidak
pernah kehilangan ingatan tentang hubungan yang signifikan. Dia menyatakan: Bagi

banyak orang, Tugas IV adalah yang paling sulit untuk diselesaikan. Mereka terjebak
pada titik ini dalam kesedihan mereka dan kemudian menyadari bahwa hidup mereka
dalam beberapa cara berhenti pada titik kehilangan terjadi. Worden (2009)
menceritakan kisah seorang gadis remaja yang mengalami kesulitan menyesuaikan diri
dengan kematian ayahnya. Setelah dua tahun, ketika ia akhirnya memenuhi beberapa
tugas yang terkait dengan kesedihan yang berhasil, ia menulis kata-kata ini yang
mengungkapkan dengan jelas apa yang membuat orang berduka dalam Tugas IV
berjuang dengan: "Ada orang lain yang dicintai, dan itu tidak berhasil." berarti bahwa
saya sangat mencintai Ayah ”.

Durasi dari proses berduka tergantung pada individu dan dapat berlangsung selama
beberapa tahun tanpa maladaptif. Fase akut perkabungan normal biasanya berlangsung
selama 6 hingga 8 minggu — lebih lama pada orang dewasa yang lebih tua — tetapi
resolusi lengkap dari respons kesedihan mungkin membutuhkan waktu lebih lama.
Kehilangan atau berduka secara menyeluruh memerlukan waktu 1 bulan sampai 3 tahun.

Sejumlah faktor mempengaruhi hasil akhir dari respons berduka. Respon berduka bisa
lebih sulit jika:
a. Orang yang berduka sangat bergantung pada atau menganggap entitas yang hilang

sebagai sarana penting pendukung fisik dan / atau emosional.
b. Hubungan dengan entitas yang hilang sangat ambivalen. Hubungan cinta-benci dapat

menanamkan perasaan bersalah yang dapat mengganggu proses berduka.
c. Individu telah mengalami banyak kehilangan baru-baru ini. Kesedihan cenderung

bersifat kumulatif, dan jika kehilangan sebelumnya belum teratasi, setiap respons
berduka yang berhasil menjadi lebih sulit.
d. Kehilangan usia muda. Kesedihan karena kehilangan anak seringkali lebih intens
daripada kehilangan orang yang sudah lanjut usia.
e. Keadaan kesehatan fisik atau psikologis seseorang tidak stabil pada saat kehilangan.

f. Orang yang berkabung merasakan (nyata atau khayalan) sebagian tanggung jawab
atas kehilangan itu.

Respon berduka kronis atau berkepanjangan sebagai jenis respon berduka maladaptif

Panjangnya respon berduka tergantung pada individu.Respon berduka yang tidak

tertangani dengan baik berisiko terjadinya depresi. Berikut ini gambaran tentang respon

berduka yang normal dan respon berduka yang mengalami depresi.

Normal Gejala depresi

1. Harga diri utuh 1. Harga diri terganggu

2. Dapat secara terbuka mengungkapkan 2. Biasanya tidak secara langsung

kemarahan mengekspresikan kemarahan

3. Pengalaman campuran "hari-hari baik 3. Kondisi persisten dari dysphoria

dan buruk"

4. Mampu mengalami momen-momen 4. Anhedonia

kesenangan

5. Menerima penghiburan dan dukungan 5. Tidak menanggapi interaksi sosial dan

dari orang lain dukungan dari orang lain

6. Mempertahankan rasa harapan 6. Perasaan tidak ada harapan

7. Mungkin mengungkapkan rasa 7. Memiliki perasaan bersalah secara

bersalah atas beberapa aspek dari umum

kehilangan 8. Tidak berhubungan perasaan dengan

8. Mengaitkan perasaan depresi dengan pengalaman tertentu

spesifik Kehilangan yang dialami 9. Mengekspresikan keluhan fisik kronis

9. mengalami gejala fisik sementara

1.3 TANDA DAN GEJALA KEHILANGAN DAN BERDUKA
Tanda dan gejala kehilangan dan berduka dapat dinilai dari ungkapan pasien dan didukung
dengan data hasil wawancara dan observasi.

a. Data subjektif:
Pasien mengungkapkan tentang:
1. Ungkapan kehilangan
2. Gangguan tidur
3. Kehilangan nafsu makan
4. Susah konsentrasi
5. Putus asa

a. Data Objektif:
1. Menangis
2. Marah-marah

Karakteristik berduka yang berkepanjangan
1. Waktu mengingkari kenyataan kehilangan yang lama
2. Sedih berkepanjangan
3. Adanya gejala fisik yang berat
4. Keinginan untuk bunuh diri

POKOK BAHASAN 2.
PROSES KEPERAWATAN KEHILANGAN DAN BERDUKA

2.1 PENGKAJIAN
Data yang dapat dikumpulkan adalah:
a. Perasaan sedih, menangis.
b. Perasaan putus asa, kesepian
c. Mengingkari kehilangan
d. Kesulitan mengekspresikan perasaan
e. Konsentrasi menurun
f. Kemarahan yang berlebihan

g. Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain.
h. Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan.
i. Reaksi emosional yang lambat
j. Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas

2.2 DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Setelah melakukan pengkajian, perawat dapat merumuskan diagnosa keperawatan.
Berdasarkan data yang didapat ditetapkan diagnosis keperawatan
1. Berduka: Suatu proses kompleks yang normal yang meliputi respons dan perilaku
emosional, fisik, spiritual, sosial, dan intelektual yang dengannya individu, keluarga, dan
masyarakat memasukkan kehilangan yang sebenarnya, diantisipasi, atau dirasakan ke
dalam kehidupan sehari-hari mereka
2. Berduka Kompleks : Gangguan yang terjadi setelah kematian orang berarti, di mana
pengalaman kesusahan yang mendampingi kehilangan gagal mengikuti ekspektasi
normatif dan bermanifestasi dalam gangguan fungsional (yang sebelumnya disebut
berduka disfungsional).

2.3 TINDAKAN KEPERAWATAN
Tindakan keperawatan untuk mencegah terjadinya berduka yang berkepanjangan maka
pada pasien yang kehilangan dilakukan intervensi dengan adekuat. Apabila individu dapat
melalui tahapan berduka dan akhirnya masuk pada tahap penerimaan juga akan dapat
mengakhiri proses berduka.

Tujuan umum:
Pasien mampu melalui proses berduka dan menerima kehilangan

Tujuan khusus:
1. Pasien mampu mengungkapkan perasaan berduka
2. Pasien mampu menjelaskan makna kehilangan

3. Pasien mampu membagi rasa dengan orang berarti
4. Pasien mampu menerima kenyataan kehilangan dengan damai
5. Pasien mampu membina hubungan baru yang bermakna dengan hal yang baru.

Tindakan keperawatan

a. Tindakan keperawatan pada berduka

1. Menjelaskan proses berduka

2. Melakukan tindakan keperawatan sesuai tahapan proses berduka

Tindakan keperawatan pada tahapan berduka

Tahapan Tindakan keperawatan

Mengingkari Prinsip :

Memberi kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan

perasaannya.
 Memberi dorongan pada pasien untuk mengekspresikan

perasaannya.
 Mendengarkan dengan penuh perhatian.
 Secara verbal mendukung pasien tetapi tidak mendukung

denial
 Tidak membantah denial pasien, tetapi menyampaikan

fakta-fakta, contoh: pemakaman dilakukan jam 15.00 sore

ini.
 Duduk disamping pasien
 Tehnik komunikasi diam dan sentuhan
 Menjawab pertanyaan klien dengan jelas
 Perhatikan kebutuhan dasar pasien
 Tingkatkan kesadaran klien akan kenyataan secara

bertahap

Marah Prinsip:

Tawar menawar Mendorong dan memberi waktu pada pasien untuk
mengungkapkan kemarahan secara verbal tapa melawan dengan
kemarahan.

 Bantu pasien atau keluarga untuk mengerti bahwa marah
adalah suatu respons yang normal untuk merasakan
kehilangan atau ketidakberdayaan

 Menerima semua tingkah laku pasien/ keluarga karena
kesedihannya, misalnya: marah, menangis

 Fasilitasi ungkapan kemarahan pasien dan keluarga
 Mendengarkan dengan empati, dan jangan mencela
 Hindari menarik diri dan dendam, karena pasien/ keluarga

bukan sedang marah pada perawat.
 Tangani kebutuhannya pada segala reaksi kemarahannya.
 Bantu klien memanfaatkan sistem pendukung.
Prinsip:
Membantu pasien mengidentifikasi rasa bersalah dan perasaan
takutnya.
 Dengarkan dengan penuh perhatian
 Amati perilaku pasien
 Ajak pasien bicara untuk mengurangi rasa bersalah dan

ketakutan yang tidak rasional
 Berikan dukungan spiritual

Depresi Prinsip:
Mengidentifikasi tingkat depresi, resiko merusak diri dan
membantu mengurangi rasa bersalah

 Memberikan kesempatan pasien untuk mengekspresikan
kesedihannya.

 Amati perilaku pasien dan cegah tindakan merusak diri

Penerimaan  Memberi dukungan non verbal dengan cara duduk di
samping pasien dan memegang tangan pasien.

 Hargai perasaan pasien.
 Bersama pasien membahas pikiran negatif yang sering

timbul.
 Latih mengidentifikasi hal positif yang masih dimiliki.
Prinsip:
Membantu klien untuk menerima kehilangan yang tidak bisa di
elakan
 Membantu pasien mengidentifikasi rencana kegiatan yang

akan dilakukan
 Bantu keluarga dan rekan pasien untuk bisa mengerti

penyebab kematian.
 Jika keluarga mengikuti proses penguburan maka dapat

dilakukan:
 Ziarah (menerima kenyataan)
 Melihat foto-foto proses pemakaman

 Mengurus surat-surat yang diperlukan:
 Pensiun
 Menutup buku bank

b. Tindakan keperawatan pada berduka kompleks
1) Bina hubungan saling percaya dengan pasien : Perkenalkan diri, buat kontrak
asuhan dengan pasien, jelaskan bahwa perawat akan membantu pasien, jelaskan
bahwa perawat akan menjaga kerahasiaan informasi tentang pasien, dengarkan
dengan penuh empati ungkapan perasaan pasien
2) Diskusikan dengan pasien kehilangan yang dialaminya :Kondisi fikiran, perasaan,
fisik, sosial dan spiritual.
3) Diskusikan dengan pasien keadaan saat ini :

a. Kondisi pikiran, perasaan, fisik, sosial, dan spiritual pasien sebelum mengalami
kehilangan terjadi

b. Kondisi pikiran, perasaan, fisik, sosial dan spiritual pasien sesudah peristiwa
kehilangan terjadi

c. Hubungan antara kondisi saat ini dengan peristiwa kehilangan yang terjadi
4) Diskusikan cara – cara pengatasi berduka yang dialaminya

a. Cara verbal (ventilasi perasaan)
b. Cara fisik (beri kesempatan aktifitas fisik)
c. Cara sosial (sharing dengan rekan senasib melalui ”self help group”)
d. Cara spiritual (berdo’a, berserah)
5) Diskusikan kegiatan yang biasa dilakukan
6) Diskusikan kegiatan baru yang akan dimulai.
7) Diskusi tentang sumber bantuan yang ada dimasyarakat yang dapat dimanfaatkan
oleh pasien:
a. Bantu mengidentifikasi potensi yang dimiliki dan sumber yang dimiliki
b. Eksplorasi sistem pendukung yang tersedia
c. Bantu berhubungan dengan sistem pendukung
d. Bantu membuat rangkuman aktivitas lama dan memulai aktivitas yang baru
8) Bantu dan latih melakukan kegiatan dan memasukkan dalam jadual kegiatan.
9) Kolaborasi dengan tim kesehatan jiwa

Tindakan keperawatan pada keluarga
a. Tujuan tindakan keperawatan keluarga :

Tujuan :
1) Keluarga mengenal masalah kehilangan dan berduka
2) Keluarga memahami cara merawat pasien berduka berkepanjangan
3) Keluarga dapat mempraktekkan cara merawat pasien berduka berkepanjangan
4) Keluarga dapat memanfaatkan sumber yang tersedia dimasyarakat

b. Tindakan keperawatan keluarga
1) Diskusikan dengan keluarga tentang masalah kehilangan dan berduka dan
dampaknya pada pasien
2) Diskusikan dengan keluarga cara-cara mengatasi berduka yang dialami oleh
pasien
3) Latih keluarga mempraktekkan cara merawat keluarga
4) Diskusikan dengan keluarga sumber – sumber bantuan yang bisa dimanfaatkan
oleh keluarga untuk mengatasi kehilangan yang dialami oleh pasien

2.4 EVALUASI KEPERAWATAN
a. Apakah pasien sudah dapat mengungkapkan perasaannya secara spontan?
b. Apakah pasien dapat menjelaskan makna kehilangan tersebut terhadap kehdupannya?
c. Apakah pasien mempunyai sistem pendukung untuk mengungkapkan perasaannya
(keluarga, teman, lembaga, dll)?
d. Apakah pasien menunjukan tanda-tanda penerimaan?
e. Apakah klien sudah dapat menilai hubungan baru dengan orang atau objek lain?

3. REFERENSI

Fortinash, K.M. (2004). Psychiatric Mental Health Nursing. 3th ed. St. Louis: Mosby
Herdman, T.H. (2012). NANDA International Nursing Diagnoses Definition and Classification,

2012-2014. Oxford: Wiley-Blackwell.
Keliat. B.A . dkk (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas CMHN (basic Course). EGC:

Jakarta
Stuart,G.W.& Sundeen, M.T. (2005). Principles and practice of psychiatric nursing. 8th ed.

Missouri: Mosby.


Click to View FlipBook Version