RESENSI NOVEL LAUT BERCERITA
Oleh Salma Nadia Puspa/33/XII MIPA 3
Identitas Buku : Laut Bercerita
: Leila S. Chudori
Judul Buku : Endah Sulwesi
Nama Pengarang
Penyunting Christina M. Udiani
: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Penerbit : Cetakan Pertama, Oktober 2017
Tahun Terbit : 379 Halaman
Tebal Buku : Rp. 100.000,00 (Pulau Jawa)
Harga
Laut Bercerita merupakan novel bergenre fiksi sejarah karya Leila S. Chudori yang
menceritakan kembali mengenai masa era reformasi dengan adanya penghilangan secara
paksa 13 aktivis pada tahun 1998. Buku ini pun telah mendapatkan penghargaan dari S.E.A.
Write Award bahkan telah diangkat menjadi sebuah film pendek berdurasi 30 menit yang
dibintangi oleh Reza Rahardian.
Meski berlatar belakang cerita sejarah tetapi Leila S. Chudori mampu membuat para pembaca
dapat membacanya dengan mudah. Ia juga melakukan riset dan wawancara ke beberapa
sumber selama lima tahun. Yang pertama yaitu pada tahun 2008 Ia mewawancarai Nezar
Patria, salah satu dari sembilan orang yang dikembalikan dan ceritanya ditulis juga kedalam
sebuah artikel berujudul “Di Kuil Penyiksaan Orde Baru”.
Ulasan Buku
Bagian pertama buku ini berjudul “Biru Laut” yang emiliki sudut pandang Biru Laut, seorang
mahasiswa Fakultas Sastra Inggris Universitas Gajah Mada. Laut merupakan seorang
mahasiswa “kiri” yang gemar membaca buku buku terlarang, seperti buku buku karya
Pramoedya Ananta Toer. Ia biasa memfotokopi buku buku terlarang itu di kios Mas Yunus,
disana Ia juga bertemu dengan seorang senior bernama Kasih Kinanti atau Kinan yang
membawanya untuk mengenal Arifin Bramantyo, senior aktivis Wirasena yang menjadi
induk Winatra.
Setelah tergabung dalam organisasi Winatra, Laut mulai mengenal banyak teman baru seperti
Alex, Daniel, Sunu, Anjani, Naratama, Gusti, dan Narendra. Ia juga mengenal Mas Gala atau
yang lebih sering disebut dengan Sang Penyair yang memiliki kedekatan batin dengan Laut.
Dalam organisasi tersebut mereka banyak berdiskusi mengenai buku buku terlarang dan
gerakan – gerakan perlawanan terhadap pemerintahan. Dari organisasi ini pula Laut
menemukan sahabat, keluarga baru, bahkan seorang penghianat.
Karena Laut memiliki kesibukkan dengan organisasinya, orang tua Laut memilih hari minggu
menjadi hari berkumpul bersama keluarga. Ibu akan memasak masakan kesukaan Laut.
Dengan Asmara adik perempuan Laut yang akan membantu ibu, sedangkan ayah Laut yang
merupakan seorang reporter Harian Solo akan menyiapkan empat piring dimeja makan.
Salah satu gerakan perlawanan yang mereka lakukan adalah aksi Tanam Jagung di Blangguan
pada tahun 1993. Meski telah di ikuti oleh intel, mereka tetap melanjutkan aksi ini.
Sampainya di Blangguan mereka berkumpul di rumah Pak Subroto, tokoh yang di hormati di
Blangguan. Dengan Pak Subroto mereka merancang sebuah rencana, tetapi mereka harus
tetap berhati hati karena seperti apa yang Pak Subroto katakan bahwa ada beberapa mobil
patroli yang sudah mondar mandir dari kejauhan sejak tadi pagi. Kinan membagi 40 orang
menjadi lima kelompok yang akan tersebar di rumah rumah penduduk.
Tetapi aksi tanam jagung itu gagal hingga akhirnya mereka terpaksa menarik diri dari
Blangguan. Kinan memilih untuk mereka menyampaikan orasinya langsung ke gedung
DPRD Jawa Timur. Di terminal Bungurasih mereka berpisah – pisah, ada yang ke Pacet dan
ada yang ke Yogyakarta. Disana ternyata ada yang mengintai mereka, hingga akhirnya Laut,
Bram, dan Alex dibawa kesuatu markas tentara untuk diinterogasi dan disiksa selama kurang
lebih dua hari satu malam.
Setelah itu mereka dikembalikan ke terminal Bungurasih. Ternyata Mahesa dan Raka, kedua
kakak Anjani telah menunggu disana. Mereka pergi ke Pacet, ke sebuah safehouse dimana
Kinan dan teman teman yang lain sudah menunggu. Dari kejadian ini pun juga mulai terlihat
benih benih asmara antara Laut dan Anjani. Mereka jadi semakin dekat dan selalu
mengkhawatirkan satu sama lain. Tetapi karena kegiatan Winatra dan Wirasena ini semakin
membahayakan bagi beberapa golongan mereka akhirnya menjadi buron bagi para aparat
negara.
Selama menjadi buron mereka berpindah – pindah tempat dan mencari tempat terpencil
hingga kemungkinan besar para intel dan aparat tidak dapat menemukan mereka. Karena
menjadi buronan Laut hanya bisa mengirim surat untuk keluarga dan Anjani melalui orang ke
orang bahkan dengan nama samaran. Para keluarga anggota Winatra dan Wirasena juga
sering didatangi orang orang tidak dikenal untuk ditanya tanya mengenai keberadaan anak
anak mereka.
Hingga pada akhirnya satu persatu dari mereka tertangkap. Pada 13 Maret 1998 di Rumah
Susun Klender mereka meringkus Laut. Ia bersama Daniel dan Alex disekap dan disiksa di
ruangan yang sama. Salah satu dari para peringkus itu atau yang disebut Si Mata Merah
menginterogasi dan selalu menanyakan keberadaan Kasih Kinanti dan Gala Pranaya. Laut
dipindahkan kesebuah tempat seperti jeruji sel. Disana terdapat enam sel yang lima antaranya
berisikan Alex, Sunu, Daniel, Julius, dan Dana. Satu persatu dikeluarkan dan siksa untuk
berbaring dibalok es sambil diinterogasi. Hingga pada akhirnya sampailah waktu Laut untuk
diinterogasi. Hal yang paling menyakitkan bukan karena Ia harus berjam jam berbaring di
balok es tetapi mengetahui bahwa salah seorang teman yang Ia kenal di Winatra ternyata
adalah seorang penghianat.
Bagian kedua memiliki judul “Asmara Jati” dengan sudut pandang dari Asmara Jati, adik dari
Biru Laut. Dengan latar waktu awal tahun 2000-an tepat dua tahun sejak kejadian
menghilangnya 13 aktivis ini mengisahkan bagaimana para keluarga mencari anak mereka.
Meski Laut belum kunjung pulang ke rumah tetapi Bapak dan Ibu tetap melakukan ritual hari
minggu dimana Ibu menyiapkan masakan kesukaan Laut seperti tengkleng atau nasi liwet dan
Bapak seperti biasa menyiapkan empat buah piring dimeja makan. Sebelum makan Bapak
dan Ibu selalu menunggu sekitar 15 menit seolah olah Laut akan datang dengan keadaan
kelaparan meski pada akhirnya Laut tidak kunjung tiba dan Ibu atau Bapak pasti berkata “Ya
sudah kita makan duluan, nanti Mas Laut bisa menghangatkan makanannya sendiri”.
Semua hal itu juga terjadi pada keluarga anggota lain yang anaknya dipaksa untuk
dihilangkan. Mereka selalu mempunyai harapan agar anak anak mereka kembali. Meski
selama bertahun tahun tidak ada kepastian. Hingga akhirnya Asmara, Alex, Coki, dan teman
teman lainnya mebuat sebuah lembaga untuk mencari orang orang yang hilang. Dimulai dari
ditemukannya sejumlah tulang berulang yang entah milik siapa.
Keunggulan Buku
Dari awal telah saya katakan meski buku ini mengangkat cerita mengenai sejarah kejadian
tahun 1998 tetapi dapat dibaca dengan mudah dan tidak betele - tele. Setiap tokohnya pun
diceritakan dengan sangat detail hinggal para pembaca dapat memahami karakternya dengan
mudah. Latar suasana yang menegangkan hingga rasa kekosongan yang dialami oleh para
tokoh dapat tersalurkan dengan baik. Alurnya yang maju-mundur memberikan kesan unik
untuk buku ini.
Kelemahan Buku
Meski memiliki alur maju-mundur memberi kesan unik dan beda tetapi bisa saja menjadi
kelemahannya. Karena untuk pembaca yang tidak biasa membaca alur maju-mundur seperti
ini pasti akan merasa kesusahan dan dibuat bingung.
Amanat Buku Laut Bercerita
Setelah membaca buku ini para pembaca akan merasa lebih bersyukur untuk bisa hidup di
masa kini, di Indonesia yang lebih demokratis. Dengan hidup sebaik baiknya apalagi
sekarang kita bebas untuk mengutarakan pendapat. Karena mereka para aktivis dan pahlawan
yang berjuang tidak dapat merasakan Indonesia yang baru. Mereka rela untuk berkorban
dengan berbagai harapan yang mereka pegang teguh. Seperti pada kutipan di buku ini
“Matilah engkau mati, Kau akan lahir berkali – kali”.
Selain itu buku ini juga membuat kita sadar untuk tidak terus terjebak di masa lalu. Dan tetap
memiliki pemikiran untuk bangkit dan memiliki harapan meski kecil. Seperti apa yang selalu
disampaikan tokoh Sang Penyair dibuku ini bahwa “..kita jangan takut akan gelap karna pasti
ada terang meski secercah di ujung lorong”.
Penutup
Buku karya Leila S. Chudori ini memiliki tempat tersendiri di hati saya. Setelah membaca
buku ini rasa kehilangan itu masih ada. Setiap saya membaca buku ini saya merasa dibawa
kedalam cerita masa masa 98 yang menegangkan dan penuh dengan perjuangan. Belum lagi
rasa kekosongan dan kehilangan juga menyelimuti bagian akhir buku ini. Untuk para remaja
yang ingin membaca cerita fiksi sejarah yang memiliki bahasa yang mudah dimengerti
apalagi mengenai kejadian hilangnya para aktivis 98, saya sangat amat merekomendasikan
buku Laut Bercerita karya Leila S. Chudori ini.