The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by permadhi, 2023-07-18 07:18:37

Balada Gathak Gathuk

Sujiwo Tejo

Keywords: balada,gathak,gathuk,sujiwo,tejo

J Mas Cabo, Mas Cabo ... Manuk podang mencok nang omah Jangan begadang kata Bang Rhoma Oalah ... Oalah ... oko Lodang mampir rumahku. Keluhnya panjang berulangulang. “Oalah, oalah,” keluhnya mengalun bagaikan tembang. “Kenapa, kok, cuma Pakde Togog satu-satunya tokoh wayang yang masuk dalam soal-soal ujian nasional? Tokoh-tokoh lain kenapa tak ada yang disenggol oleh para pembuat persoalan?” “Persoalannya, siapa itu pemuda gondrong tak tahu waktu? Pagi, siang, sore, dan malam membuat gaduh rukun tetangga,” Pak RT datang tergopoh-gopoh. “Wahai pemuda jangkung kurang terurus. Siapa kamu, mana asalmu? Penampakanmu persis Cebolang. Kamukah itu, pemuda berandal dari Serat Centhini karangan Raden Ngabehi Yasadipura II dan kawan-kawan?” “Aduhai Bapak yang mirip caleg stres. Aku bukan Mas Cebolang dari Dusun Sokayasa. Aku pun bukan geng montor. Geng kampak merah pun bukan. Aku anak muda dari Serat Joko Lodang karangan Ronggowarsito. Aku datang untuk bertanya begini: “O, sudah datang Bill Gates. Dia bawa Rp450-an miliar. Dibantunya para penderita demam berdarah Nusantara. Maklum, dia salah satu orang terkaya dunia, Pak RT. Padahal, orang Amerika ini drop out dari bangku sekolah, Pak RT. Tapi, Pak RT, kenapa sekolah ~193~


di sini masih dianggap penting? Kenapa pula harus ada ujian nasional?” Joko Lodang mencok di hati Jangan begadang kata Bang Haji Oalah ... Oalah ... Joko Lodang tak terus terang kata-katanya. Orang-orang se-rukuntetangga cuma menganga. “Oalah .... Oalah ....” Bunyi mereka bertubi-tubi. Tetapi, sebagian sudah mulai mudeng. “Terang saja Jokolo protes,” seru ponokawan Gathak. “Masak ada ujian soalnya begini: Thomas Mattulessy adalah nama alias dari Pattimura atawa Togog?” Gathuk, kembaran Gathak, balik bertanya, “Jokolo marah-marah karena tidak mungkin orang yang namanya Togog berasal dari Saparua? Masak Togog alias Tejo Mantri berasal dari pulau di timur Ambon itu, di antara Pulau Haruku dan Nusalaut? Tidak mungkin! Kalau Tejo ‘Glenn Fredly’ Mantri, masih mungkinlah.” “Atau Tejo Sahuleka, Thuk?” “O pekok kamu, Thak, bawa-bawa nama Daniel Sahuleka. Terus kalau Ki Tejo Sahuleka ndalang, nanti bukan Bumi Gonjang Ganjing lagi. Tapi, don’t sleep awaaaaaay this night my baaaaaabyyyyyy ....” “Heuheuheu. Tapi, maksudku tadi gini lho, Thuk. Jokolo marah, kenapa yang disebut dalam ujian nasional, kok, cuma Togog? Kenapa yang disandingkan dengan pemberontak pertama di Nusantara pada ~194~


1817 itu Tejo Mantri? Kenapa yang didampingkan dengan Sang Nasionalis ini cuma Tejo Mantri alias Caturoga? Lha Mas Prabowo, Pak ARB, Pak Wiranto, dan capres-capres lain dikemanakno? Menjelang pilpres ini masyarakat lebih sensitif daripada burung prenjak.” Yuyu Kangkang dilebokno toples Jangan begadang kata sang capres Oalah ... Oalah ... Joko Lodang digelandang. Sepekan ditanggap kemudian lenyap. Pak RT dan penduduk telah menggelandangnya keluar RT, bahkan keluar pulau. Tibalah Kartini-Kartini dusun mulai bertanya-tanya. “Jangan-jangan dia yang kini hilang itu bukan Joko Lodang. Joko Lodang itu meramal, seperti Joyoboyo. Pemuda itu tak meramal. Dia cuma ngritik tentang kahanan saat ini. Dia pasti Mas Cebolang, jejaka yang diimpi-impikan oleh Niken Rancangkapti,” bisik seorang gadis mengawali kasak-kusuk saat Paskah. Rancangkapti adalah putri Sunan Giri Perapen yang sedang luntang-lantung mencari kakaknya, Syekh Amongraga, sejak Giri diruntuhkan oleh Mataram. Tak pernah ia bermimpi semembekas impiannya tentang lelaki jangkung ini. Sebangun tidur sampai berbulan-bulan, wajah lelaki yang dalam mimpinya bernama Cebolang itu masih terngiang-ngiang. Anehnya, setiap perempuan yang dicurhati oleh Niken Rancangkapti tentang Mas Cebolang tak bisa kasih solusi. Mereka, gadis yang ayu-ayu itu, malah ingin bersaing dengan Rancangkapti. ~195~


Persis tabiat partai-partai politik. “Cebolang itu bukan cuma ada dalam impianmu. Dia betul-betul hidup,” nasihat Ponokawan Gareng kepada Rancangkapti. “Tapi, hidupnya sangat hitam. Mabuk, judi, perempuan, dan semuanya sudah dilakoni Cebolang. Saking hitamnya sampai dia malu karena ayahnya Syekh Akhadiat yang kondang dijuluki Ki Ageng Sokayasa adalah rohaniwan besar. Cebolang minggat, malam-malam menyelinap ke arah barat daya. Ke arah Purbalingga.” Iwak pindang cangkeme nyosor Jangan begadang kata profesor Oalah ... Oalah ... Niken Rancangkapti tak peduli sekelam apa pun kehidupan idolanya. Asuhan Santri Buras ini sangat yakin bahwa manusia bisa berubah. Syaidina Ali dulu juga ngamukan. Sunan Kalijaga dulunya malah perampok. “Tapi. milih suami beda dari milih presiden, Nduk,” Gareng menambahkan. “Percaya bahwa orang bisa berubah, itu untuk milih presiden. Milih suami lebih susah. Kita harus percaya bahwa watuk gampang diobati, tapi watak ndak ada obatnya. Tak pantas perawan ting ting seayu dan sesaleha kamu bersuami Cebolang, seorang majenun.” “Tapi, Pakde Gareng, semajenun-majenunnya Cebolang, aku yakin dia tak pernah esek-esek bocah cilik.” Kempul kendang bertalu-talu ~196~


Jangan begadang jangan ter ... la ... lu Olala ... Olala ... Hati Kartini terlalu riang. Siang dan malam berbunga-bunga. Muridnya girang berhari-hari. Oalah. Oalah. Mereka tak diuji oleh ujian nasional. Mereka diuji oleh gurunya sendiri: Niken Kartini si Rancangkapti. Siapa paling tahu kualitas murid selain gurunya sendiri? Siapa paling berwenang mendadar siswa selain gurunya sendiri? “Anak-anak, ada yang tahu, kenapa akhirnya saya memilih Mas Cebolang?” uji Bu Niken. “Beta, Bu Karti!” Mattulessy ngacung. Inilah murid yang sembuhnya dari demam berdarah saat Paskah tidak ditolong oleh serangan fajar, tetapi oleh Bill Gates. “Beta tahu kenapa tak Bu Karti pilih itu si Joko Lodang,” Beta punya bicara. “Karena Opa Bill Gates tak tamat sekolah. Opa Bill Gates orang kaya sejagad. Om Cebolang orang tak baik. Jebolan orang tak baik bisa jadi suami yang baik.” Horeeeeee .... Seluruh kelas tepuk pramuka. Oalah .... Oalah ....(*) ~197~


~198~


S Ni Malarsih dan Serdadu ebatalion serdadu mengelu-elukan aksi panggung tentara yang satu ini. Ayo .... Bukak sithik. Joooooosss .... Suit suiiiiiiiiittt .... Walau dielu-elukan, dia bukan panglima TNI. Tetapi, dia garda terdepan bela negara, yaitu seorang prajurit pangkat rendahan, prajurit dua alias Prada. Namanya Sudirman. Kesukaan Prada Sudirman ke Mus Mulyadi dan Bob Marley, waduh, balapan. Itu lebih ampuh dari kesukaan arek-arek Surabaya ke lontong balap. Bahkan, prajurit kekar asal Nganjuk ini bisa persis menirukan vokal langgam Waldjinah lengkap sevibrasi dan sekemayu-kemayunya: Walang kekek, menclok ning tembok Mabur maneh, menclok ning pari Ojo ngenyek, karo wong wedok Yen ditinggal lungo, setengah mati ... E ya eyoooooo .... Ya eyooo .... Spontan para prajurit sampai perwira menengah dan perwira tinggi koor membahana, menimpali lagu “Walang Kekek” itu. Semua memang suka Sudirman. Panglima kesengsem setengah mati. “Prajurit Sapta Marga mestinya merakyat ~199~


begini ini,” tegas sang Jenderal. Cuma satu orang yang tak legowo Sudirman berulah begini. Perempuan ini mojang priangan kelahiran Cianjur. Ayahnya seorang dalang wayang kulit Jawa. Ibunya asli orang Sukabumi dan ia juru kawih, yaitu pesindennya wayang golek Sunda. Nama mojang ini Ni Malarsih. Kulit Malarsih bersih. Ya, namanya mojang priangan pastilah ratarata kuning langsat ndak mbluwek. Singkat cerita, syarat Ni Malarsih berkenan dinikahi Sudirman satu saja: Prajurit balok merah satu setrip ini harus total hijrah dari dunia kesenian. Sudahlah, ndak usah kakehan polah pamer badan dan suara, megal-megol di atas panggung. Sudah kapok Ni Malarsih mengalami kehidupan sehari-hari seniman rakyat yang tecermin dari bapakibunya. Jadi tentara, asal temenanan, jauh lebih baik. “Amit-amiiiiiit, jangan sampai suami dan anak-anakku nanti orang seni,” sumpah Malarsih sembari mengetuk-ngetukkan ruas jarinya ke meja. Karena hatinya sudah terkiul-kiul72 mbarek Malarsih, Pak Dirman tak punya pilihan lain. Lelaki kekar berwajah mirip Mas Cebolang dari Sokayasa di kaki Gunung Bisma ini cuma bisa manut. Pada suatu Minggu, menikahlah mereka ke kota. Itu pun tanpa organ tunggal. Lha wong nyetel musik saja bagian soundsystem-nya pun dimarah-marahi oleh mempelai putri. Sejak Ahad itu, mempelai pria juga cuma full berdinas ketentaraan. Apel pagi. Membersihkan senjata. Membantu masyarakat yang tanahnya longsor, kebanjiran, dan lain-lain. Ketika kesatuannya ikut joget-joget di acara TV Tukul Arwana, ~200~


Sudirman trimo cuma mengantar teman-temannya syuting. Ia ndepipis di luar, takut pas goyang-goyang kesorot kamera, takut kalau Malarsih nonton TV. Waktu terus bergulir seiring perputaran roda-roda truk sayur. Tak terasa sudah satu dasawarsa pernikahan Sudirman-Ni Malarsih. Mereka dikaruniai tiga orang anak yang cakep-cakep, yang lucu-lucu, yang makin gede, makin gede, makin sering menjadi saksi sejarah bapak-ibunya dilanda eyel-eyelan. Biang keroknya, apalagi kalau bukan perkara dapur. Puncak cekcok mereka pas Ni Malarsih ingin menyekolahkan si bungsu ke taman kanak-kanak di suatu sekolah internasional. “Kenapa, Mas? Takut, Mas? Takut anak kita di- esek-esek di toilet sama tukang kebun? Prajurit Sapta Marga, kok, penakut.” “Aduh, Dik. Bukan itu maksudku. Lagian kasus di sekolah internasional itu, kan, belum tentu terbukti. Hmmm. Aku ini, kan, tentara. Nggak punya ceperan, nggak punya sabetan kiri kanan kayak ....” “Kayak polisi? Gitu? Halah, Maaas, Mas, jangan main tuduh kamu ya, Mas. Polisi yang lurus juga banyak.” “Lho, yang bilang polisi itu ya kamu sendiri, bukan aku.” “Ah, sudah, sudah, sudahlah, Mas. Dalam polisi dapat diduga, dalam tentara siapa tahu. Sekarang kamu niat atau ndak ngasih anakanak kita pendidikan yang bagus? Lurus-lurus saja tentara juga bisa punya duit, kok. Asal ada perang. Lha mbok sana cari perang. Lha sampeyan ini siang malam suka dan duka bertahun-tahun, kok, ya ~201~


cuma latihan peraaaaaang terus. Perang sungguhannya kapan?” “Lho, rasamu kalau perang pecah itu terus duitku mowol-mowol kayak gumoh bayi, gitu? Aduh, Dik. Perang itu bukan proyek. Bukan kayak pengadaan e-KTP, raskin, atau dana bansos.” “Halaaaaaah.” “Lho, sumprit.” “Halaaaaaaaaahhhhhh.” Selanjutnya, anak-anak yang mengungsi ke rumah tetangga mendengar perang Bharatayuda dari rumah mereka. Gedubrak!!! Gedabruk!!! Brakkk!!! Pyur pyur pyur. Ternyata suara suami yang jujur adalah suara Tuhan. Semingguan setelah Bharatayuda itu, Sudirman dapat tawaran menjadi bintang tamu ketoprak yang melakonkan Serat Centhini. Ia muncul bareng Mas Cebolang, keturunan ningrat pasangan Syekh Anggungrimang dan Siti Wuryan di tanah Kedu, yang sedang menyamar sebagai rakyat jelata. Bayarannya lumayan. Janjinya bisa untuk menyekolahkan anak ke sekolah internasional. Proyek ini akan dirahasiakan oleh Sudirman dari istrinya. Ia penginnya pulang-pulang sudah bawa duit. Rencananya Sudirman akan didapuk sebagai orang yang sakit paruparu dan ditandu dalam revolusi. Tetapi, sutradara berubah pikiran. Sudirman didandani jadi rakyat, yaitu Bagong. Tanpa sepengetahuan Sudirman, istrinya tahu. Malarsih datang ke tempat pertunjukan hendak melabrak. Kembar Gathak-Gathuk yang ~202~


menjaga pintu masuk tak kuasa mencegahnya. Tetapi, kok, Malarsih masuk pas Bagong sedang menyanyi “Rek Ayo Rek” dicampur “No Woman No Cry”. Nyaris seperti mukjizat, Malarsih jatuh cintrong. Malah sehabis pertunjukan hingga berhari-hari, Malarsih ndak mau suaminya ganti kostum dan rias wajah Bagong. Bagai mukjizat pula, Malarsih bisa nembang seperti dulu orangtuanya. Ia merengek dan merajuk di dalam tembang sehingga panglima mengizinkan Sudirman berdinas militer tetap dalam kostum dan tata rias Bagong. Malarsih juga tidak peduli bahwa bayaran yang dijanjikan kepada suaminya tak pernah dibayar. Sore-sore sepulang dari dua pekan liburan ke kampung kakeknya yang pensiunan polisi, anak-anak kaget. Mereka mendapati ayahibunya ketiduran mesra di amben ruang tamu. Malarsih tengkurap memeluk Bagong. Pipinya berbantal dada bungsu ponokawan itu. Wajahnya sangat ayem. Tenteram. Duh! Aura mojang priangan Malarsih lebih mencorong dari warna partai mana pun.(*) 72 Terpesona, suka.—peny. ~203~


~204~


I Daerah Itu Maerah, Jaendral bu-ibu panik, kok, badan mereka beratnya sak hoha. Untuk mengurangi angka beban, beralihlah mereka berduyun-duyun menala berat badan di jembatan timbang. Hanya Maerah, seorang ibu yang tak ikut-ikutan panik. Buat apa ia ngamplopi oknum-oknum jembatan timbang agar beratnya dianggap tak merusak aspalan, wong lengannya belum segede paha. Perawakannya masih langsing merak ati. Andai beratnya lebih dari sekuintal kedelai pun, rasanya Maerah juga tak akan panik. Perempuan ini penenang. Kok, perempuan tak kompak sedunia dalam menghadapi berat badan? Kini tak ada yang kompak di dunia dan Nusantara? Hanya harga emas di pasar global dan domestik yang turunnya kompak? Maerah tenang. Tak hanya mahasiswa yang aktif lantaran sedang giat-giatnya mencari jodoh, pernah suatu periode Gunung Slamet, Ijen, Semeru, dan Merapi pun sudah ikut-ikutan jadi aktivis? Itu pun Maerah tetap tenang-tenang saja. Perempuan dengan pembawaan kalem ini ayahnya seorang raja di Kerajaan Widarba. Namanya Prabu Kurandapati. Ngganteng. Pantaslah anake ayu, lebih ayu dari aktris Catherine Zeta-Jones yang main film Zorro bareng Antonio Banderas. Tetapi, mungkin Prabu Kurandapati termasuk raja pemalas. Minimal aras-arasen mencari variasi nama buat anak-anaknya. Adik Maerah, misalnya, udah aja cuma dikasih nama yang hampir sama: Maekah. “Halah-halah. Cuma beda satu huruf, Truk?” tanya Santri Buras ~205~


kepada ponokawan Petruk. Ingat, kan? Buras adalah senior GathakGathuk, abdi yang mengawal Niken Rancangkapti berkelana mencari kakaknya, yaitu juragannya Gathak-Gathuk, Syekh Amongraga. Di sela-sela makan tempe menjes khas Batu, Petruk woles menjawab Buras, “Iya, sih. Eh, tapi kamu jangan anggap enteng huruf walau cuma satu. Huruf R-nya Maerah diganti K sudah jadi Maekah, lho. Dampak satu huruf itu gede banget. Coba kalau ARB diganti AKB? Sudah bukan Aburizal Bakrie lagi, kan?” “Iya, ya. Jauh. Jadi Ajun Komisaris Besar. Itu pangkat Pak Polisi.” “Prabowo jadi Pkabowo.” “Betul, Truk. Ndak ada artinya. Kalau jadi Pkubowo masih mending, dikira kita niatnya mau nulis Pakubuwono.” “Iya, sih. Heuheuheu. Maka, jangan meremehkan huruf walau cuma satu. Nanti Jokowi bisa jadi Jorowi alias Joro, hayo. Pakai topeng hitam, topi koboi, naik kuda. Kita manggilnya Zorro.” Sambil bertempe menjes-ria, Buras ngobrol sama Petruk sebenarnya cuma untuk nylimur-nylimur menghibur diri. Ia diam-diam waswas kalau-kalau kelak juragannya putri dari Giri Perapen ini senasib Dewi Maerah. Dewi Maerah yang penenang dan Maekah yang panikan dipersunting oleh Prabu Basudewa, Raja Mandura. Suatu malam, ada raja raksasa dari Goa Barong. Prabu Gorawangsa namanya. Ia menyamar selaku suami Maerah. Persis. Naiklah Maerah dan lelaki yang disangka suaminya itu ke atas ranjang hingga hamil. Hukuman telah dijatuhkan oleh Prabu Basudewa yang juga ayah ~206~


Kakrasana (Baladewa muda) dan Narayana (Kresna muda) ini. Maerah harus dibunuh. Herannya, Maerah tetap tenang. Tak ada juga tokoh-tokoh Nusantara yang menggalang saweran untuk membayar diyat agar Maerah terbebas dari hukuman mati, tak seperti yang mereka lakukan kalau ada TKI akan dipancung di Arab Saudi. Saking tenangnya Maerah, hulubalang kerajaan Arya Prabu Rukma yang ditugasi untuk membunuhnya akhirnya tak sampai hati. Maerah disembunyikannya di Goa Barong. Arya Prabu menitipkannya kepada adik Prabu Gorawangsa, Ditya Suratimantra. Lahirlah bayi itu kemudian. Seorang lelaki yang diberi nama Kangsa. Wujudnya raksasa! Herannya, walau jauh lebih cantik dari Catherine Zeta-Jones, tetapi punya anak raksasa, lagi-lagi Maerah tetap tenang. Tak tampak sedikit pun raut-raut kekagetan pada parasnya. Yang panik malah Maekah. “Mungkin karena Maerah sudah terbiasa dengan soto gebrak,” komentar Petruk. “Iya, sih,” sahut Buras. “Para leluhur sering wanti-wanti kepada kita, ojo gumunan, ojo kagetan. Tapi, rakyat sampai petinggi negeri ini masih saja banyak yang kagetan, Truk. Bangsamu yang tidak kagetan cuma bakul soto gebrak alias soto dok.” “Ho’o.” “Hmmm. Nasib Dewi Maerah. Hmmm. Aku ini sebenarnya ketarketir. Juraganku Niken Rancangkapti pengin nikah dengan pemuda bernama Mas Cebolang. Bagaimana kelak kalau suatu malam ada pemuda lain menyamar Mas Cebolang dan menyusup ke ranjangnya?” ~207~


Ketika Kangsa sudah meningkat dewasa, dalam koalisi yang didukung oleh Ditya Suratimantra yang sakti, ia mengancam akan menyulut Republik Mandura jadi karang abang73 kalau tidak diangkat menjadi presiden republik tersebut. Zorro yang datang dari Amerika hendak menolong Mandura pun ditaklukkan oleh Kangsa. Untungnya, seorang ahli hukum tata negara yang juga pakar survei politik berhasil membujuk Kangsa. “Eh, Kang, Kangsa.” Sang ahli menjawil-nya. “Kamu sangka jadi presiden di Mandura itu sudah tertinggi? No! Masih lebih mulia jadi adipati di Sengkapura walau Sengkapura itu masih dalam wilayah Mandura.” Kangsa terbuai. Kangsa percaya. Apalagi pakar politik itu memberinya pangkat jenderal. Bunda Maerah pun diboyongnya dari Goa Barong ke Sengkapura. Tetapi, hanya sampai 9 Juli 2014 saat orang-orang Nusantara memilih presiden, Kangsa memberontak lagi hingga berhasil dibunuh oleh koalisi Kakrasana dan Narayana. Eh, lagi-lagi, Dewi Maerah tetap tenang. Luar biasa. Masyarakat semakin mengagumi keantengan Dewi Maerah. Hanya saja, tujuh tahun kemudian, koran-koran memuat berita yang lebih gempar dari gedokan soto gebrak: “Dewi Maerah Bunuh Diri!” Seorang ARB polisi sedang menyelidiki TKP (mungkin maksudnya AKB). Pada ujung malam, Buras berkata kepada Petruk, “Aku kuatir, Truk, Niken Rancangkapti kelak kalau dapat musibah dalam rumah tangga, ya, seperti Dewi Maerah. Tenang. Tenang dan tenang. Terlalu panik itu gawat. Tapi, terlalu tenang juga tak kalah gawatnya. Panik yang tersembunyi lama-lama tumpuk-menumpuk menjadi beban untuk terjun berdarah-darah di dasar jurang.” ~208~


Petruk melihat pipi Buras basah ....(*) 73 Lautan Api. Tempat yang dirusak total dengan cara dibakar.—peny. ~209~


~210~


C Happy Saltum dan Kiai Munyuk inta kepada ayahnya sangatlah besar. Ini yang membuat Happy Saltum tetap mengajar di sekolah dasar yang jaraknya lebih jauh dari rakyat dan anggota dewan setelah terpilih. Setiap hari ia seberangi kali yang jembatan bambunya sudah ambrol. Sudah lama jembatan “Indiana Jones” itu mangkrak, bahkan hingga Hari Pendidikan Nasional pekan lalu. Fungsinya cuma jadi pegangan para penyeberang yang turun ke kali agar tak terseret derasnya arus. Happy tak ngontrak lagi di dekat kandang kambing belakang sekolah tak beratap itu. Sehabis mengajar, Happy, perawan semampai dengan arsiran rambut yang lembut, harus kembali ke dusun lain menunggui sang ayah. Ayahnya sudah sakit-sakitan jauh sebelum ada isu bakso berdaging celeng. “Sudahlah, Hep, ndak usah kamu sering-sering pulang, Hep. Cepat atau lambat Bapakmu ini akan mati juga to? Bapak akan menyusul ibumu.” Ayahnya sambil terbaring menyeruput sari buah mengkudu dan temulawak sodoran Happy. Bau asap lentera berkemelut di kamar rumah berdinding bambu itu. “Hep, kalau kamu pergi-pulang jauh begini, sampai di sekolah sudah loyo. Kasihan murid-muridmu. Jangan mereka cuma dapat sisa tenagamu. Cukup masyarakat saja yang mendapat sisa tenaga dari pejabat karena sudah capek kampanye.” “Sssttt. Sudah. Bapak tidur saja. Sini aku pijiti.” Happy meniupniup ubun-ubun bapaknya sebelum tengkurap untuk dipijat. Di luar ~211~


jendela, di ranting cempaka, burung pungguk merindukan kiai-kiai seperti para capres merindukan kaum ulama. “Tadi Bapak serius, lho, Hep. Sekolah dasar itu penting. Kalau ketela mukibat, dia akar rimpangnya. Kamu gagal mengukir watak manusia sejak dini, hancur bangsa ini.” Happy pura-pura tidak mendengar. Sembari memijat punggung ayahnya, ia menembang. Sekali-sekali disibaknya arsiran lembut rambutnya yang menutupi wajah lantaran tertunduk memijat ayahnya. Tembangnya oplosan antara lagu Judika, “Aku yang Tersakiti”, dan macapat Pangkur: Mingkar mingkur ing angkoro Akarono karenan mardi siwi Oh Tuhan tolonglah aku Hapuskan rasa cintaku Aku pun ingin bahagia Walau tak bersama dia Cuplikan tembang macapat dari Serat Wedhatama karangan Mangkunegara IV itu seolah ditujukan Happy kepada sang mantan. Mantannya, yang ketampanan wajah dan perawakannya mirip pemuda berandal Mas Cebolang dari Sokayasa, Kedu, di kaki Gunung Bisma. Tak setuju Happy menjadi guru, tak setuju Happy mingkar-mingkur ing angkoro, akarono karenan mardi siwi , yaitu mencegah datangnya angkara murka melalui mengajar manusia sejak usia dini. Sementara perawan ayunya terus menembang dan burung pungguk sudah beralih merindukan bakso non-celeng, lelaki uzur itu terus ~212~


nyerocos hingga akhirnya ketiduran dalam pijatan: “Kamu, Hep, harus menanamkan sejak usia dini kepada anak-anak manusia bahwa semua cita-cita bisa menghancurkan. Menjadi perampok dan menjadi agamawan maupun pemimpin bisa sama buruknya. Jangan pernah lupa kisah Syekh Amongraga, ipar Mas Cebolang dalam Serat Centhini itu. Cita-citanya memimpin tanah Jawa melalui cara manunggal dengan Tuhan. Pertapaannya sangat tekun, tabah, dan kuat. Tapi, nafsu keakuannya juga sangat besar, hingga, akhirnya dia dihukum, dibuang ke teluk. Zzzzzzzzzzzz.” Happy Saltum rela ditinggalkan “Mas Cebolang”. Toh, ia bukan Cebolang asli yang digandrungi oleh Niken Rancangkapti, adik Syekh Amongraga. Tetapi, ia tak rela hendak ditinggalkan oleh ayahnya. Maka, subuh itu ketika ayahnya sekarat, Happy berlarian ke tempat yang sebelumnya muncul dalam mimpinya. Dalam mimpinya, ia bertemu pandita bernama Resi Manumayasa dari Kahyangan Daksinageni, yaitu kahyangannya Batara Brama. Dialah rohaniwan yang berhasil menghentikan kecamuk Nusantara atas ulah Prabu Kalimantara, dan berhasil mengubah pemberontak ini menjadi Jimat Kalimasada. Yang ditemui Happy Saltum di daerah Jumprit sekitar Borobudur itu persis Manumayasa dalam mimpinya, tetapi pak tua ini mengaku bernama Kentol Gupita yang ditemani seekor monyet sakti bisa bertutur kata bernama Ki Dipa. “Dulu,” kata Ki Kentol melalui penerjemah monyetnya, “ada lelaki tua bernama Ki Jumprit. Ia sakit seperti bapakmu. Dia mandi di sungai ini yang airnya bagai Tirta Amerta. Setiap Waisak, juga ~213~


Waisak yang sekarang, air ini diarak dari Candi Mendut ke Candi Borobudur. Kontan ia sembuh, jadi Pera Raga yaitu sehat raga. Maka, kali ini diberi nama Kali Praga.” “Yang Mulia, kalau begitu aku akan mengambil air sungai ini untuk ayahku?” “Sia-sia, Cucuku, setiap manusia punya jalannya sendiri,” kata Ki Kentol Gupita masih melalui penerjemah munyuknya. “Minumi saja ayahmu itu dengan buah mengkudu dan temulawak dari kampung yang belum pernah dikibari bendera.” Dengan semangat yang tinggi dan berseri-seri Happy Saltum mencari apa yang dinasihatkan Ki Kentol “Manumayasa” Gupita. Pikirnya, bendera Merah Putih pasti belum pernah dikibarkan di wilayahwilayah yang diperkirakan pernah dikunjungi Mas Cebolang asli, terutama di kawasan Banyumas dan sekitarnya. Happy Saltum ke Desa Makam, tempat Mahdum Cayana, putra Syekh Jambukarang, dikubur. Ia pun ke Pulau Karangbandung di timur Nusakambangan, tempat bunga wijayakusuma pusaka Kresna tumbuh. Masih banyak tempat-tempat lain yang dikunjunginya. Pada zaman itu bendera Merah Putih belum berkibar. Tetapi, sudah sering berkibar bendera kematian, baik yang warnanya kuning seperti di Jawa Barat sekarang, putih seperti di Jogja dan Surabaya saat ini, maupun merah seperti kini di Solo walau dulunya pernah hijau. O, dari es krim ke bakso non-celeng, kini burung pungguk merindukan maut. Suatu parak malam, ayah Happy meninggal. Paginya ia dilayati murid-murid dari balik gunung, juga oleh munyuk yang mewakili Ki Kentol Gupita. ~214~


“Sebelum 3000 tahun lebih riwayat Sang Saka Merah Putih, jauh sebelum itu, Happy, sudah ada kematian. Bapakmu itu orang yang tak punya keakuan, ikhlaskan,” tutur Ki Dipa. Munyuk itu sambil menepuk-nepuk rambut berarsir lembut di punggung Happy Saltum, punggung yang dibalut kostum batik Madrim berwarna tanah.(*) ~215~


~216~


P Bung Han dan Bung Kul etruk keluyuran ke Taman Bungkul. Sore-sore. Di Kota Pahlawan itu ponokawan ini memang ke sananya mesti sore, mbarengi pas bakul-bakul semanggi sudah mbuka dasar di trotoar kiri-kanannya. Jujur dia sendiri masih ambigu: ke salah satu taman terbaik dunia itu apa dia betul-betul suka semanggi, suka potongan bakul-bakulnya yang semi-kebayaan mirip penjual jamu gendongan, atau suka kerupuk ketelanya yang bundar dan besar-besar. Karena berjalan sambil terus mikir-mikir, hampir saja Petruk yang jangkung ini keseruduk minibus mewah warna hitam. Bakul pecel yang lehernya sejenjang presenter masakan, Farah Quinn, menjerit sekuat-kuatnya. Di sampingnya, sopir taksi yang sedang andok di pecel kaki lima itu menimpal, “Salahe sampeyan badannya ce’ tingginya seh, mungkin dikiro menara nduk Bandara Juanda.” Sehari sebelumnya memang ada minibus mewah nyelonong hingga ke lobi bandara internasional itu. Maka, Petruk ndak mau lagi berjalan sambil mikir-mikir. Perjalanan ke Taman Bungkul itu sekadar dia jalani saja. Kenapa? Pertama, mengindahkan pesan adiknya, Bagong, hidup mbok dijalani saja, ndak usah dipikir-pikir. Kedua, seperti petuah bapaknya, Semar, kesenangan yang tulus tak perlu dipilah-pilah ke dalam senang dari segi apanya saja. Senang, ya, senang saja. Ndak usah dipikir kenapa, kok, bisa senang. ~217~


Petruk ke Taman Bungkul itu apa lantaran senang dari segi sayuran berbentuk empat hati tanaman jenis paku air ini, dari segi senang bakulnya yang mirip Marshanda, atau senang dari segi kerupuknya. Lain kalau soal politik. Bisa dipilah-pilah. Orang bisa memilih Mas Prabowo karena suka calon wapresnya. Orang bisa memilih Mas Jokowi lantaran suka calon wapresnya. Atau entah karena sebab-sebab dari sudut yang mana lagi. Lain politik lain Taman Bungkul yang sudah lama dirawat Wali Kota Bu Risma. Lho, tetapi, sesampai Petruk di sana, kok, ndak ada semanggi yang kandungan estrogennya konon bisa menyembuhkan osteoporosis. Mana taman sudah rusak. Kabarnya semua ini garagara diinjaki orang-orang yang berebut es krim gratisan. Suwung. Yang ada malah cuma Bagong. Bungsu ponokawan ini sudah berkacak pinggang di dekat pohon tumbang dan rumput yang nyenyek. Matanya mendola-mendolo. Poster dari kain mori dia bentangkan lebar-lebar: “Perempuan suka es krim dan taman, tetapi taman tak suka es krim!” Abdi kembar Ki Amongraga, Gathak-Gathuk, tak setuju bahwa taman rusak akibat amukan massa. Masyarakat bukanlah aktor Harrison Ford yang kabarnya ngamuk-ngamuk sampai menginjak-injak meja di kementerian kehutanan 2013 gara-gara banyak taman alam dan hutan Nusantara rusak parah. “Masyarakat itu cuma orang-orang yang suka gratisan, rebutan es krim gratis, lalu ndak sengaja menginjak-injak taman,” kata Gathak. ~218~


Gathuk sambil nglamuti es krim gratisan menyetujuinya. “Jadi, yang salah yang bagi-bagi makanan gratisan?” Petruk penasaran. Gathuk mewakili Gathak, “Aduh, Truk. Siapa yang salah, siapa yang benar, itu urusan aparat hukum. Orang-orang seperti kita ini menerawang semua tampak ada benar dan salahnya. Sudah tidak bisa memilah-milah lagi mana buah dan mana getah.” “Seperti aku ndak bisa milah-milah suka semanggi ini lantaran suka bakulnya apa suka tamannnya, Kang Gathuk?” “Wah, kalau soal itu tanya Semar, Bapakmu,” ujar Gathuk. Petruk bingung. Gathak tersenyum. Ia tahu, pada saat seseorang kebingungan begini, pesan-pesan dari suatu dongeng lebih mudah ditempelkan. Maka, mulai mendongenglah abdi dari Serat Centhini itu tentang Prabu Batara Kresna. Raja Ndwarawati, Kresna, tak terpilih sebagai pemeran utama Star Wars VII yang akan tayang di bioskop-bioskop Desember 2015. Koboi antariksa masih tetap diperankan oleh Harrison ‘’Indiana Jones’’ Ford. Maka, Kresna lebih banyak punya waktu. Ia habiskan waktunya dengan menonton video-video yang di-share di Vimeo74 . Sayangnya, situs tempat segala manusia saling berbagi video itu sempat diblokir oleh Kementerian Kominfo dan menimbulkan geger. Kresna ganti mengisi waktunya dengan menonton televisi. Nah, di situlah. Di situlah. Di situ dia melihat Bu Risma ngamuk-ngamuk gara-gara Taman Bungkul rusak. Raja berwujud hitam seperti minibus yang nyelonong di Bandara ~219~


Juanda ini segera mengheningkan cipta. Dalam hening timbullah kebeningan. Lambangnya warna putih. Muncullah warna putih yang diwakili oleh Hanuman. Monyet putih kapas ini sudah bercokol di hadapan junjungannya. Bahkan, masker yang menutup hidungnya pun putih warnanya. “Maaf, Sinuwun Kresna, bukan tidak sopan saya memakai masker di depan Sinuwun. Tapi, saya mendengar, di sini ada penyakit bawaan dari Timur Tengah MERS-CoV, kabarnya menular dari unta,” kata Hanuman. “Apa kamu kira aku ini sudah jadi unta, Hanuman?” “Belum, sih.” “Heuheuheu. Apa kamu sangka napasku sesak dan badanku demam seperti tanda-tanda orang kena MERS-CoV?” “Demam sih tidak, Sinuwun. Tapi, napas Paduka tampak sesak.” “Aku ini nyesek gara-gara mikirin Taman Bungkul. Kabeh orang tanya aku, siapa yang bersalah. Kalau ada orang bagi-bagi zakat dan banyak calon penerima yang pingsan dan meninggal, itu yang salah siapa?” “Wah, Sinuwun, itu persis pertanyaan orang-orang ketika dulu saya dianggap merusak Taman Asoka dalam lakon Hanuman Obong di Alengka. Hmmm. Waktu itu saya memang salah, sombong, punya niat unjuk gigi kepada Rahwana penguasa Alengka. Tapi, ponakan Rahwana yang ditugaskan menjaga Sinta, mungkin saya juga tidak akan unjuk gigi. Siapa yang salah? “Lagi pula, Sinuwun, saya sudah memasang janur kuning di Taman Asoka, seperti yang dipasang ponokawan Togog di rumahnya ~220~


sendiri.” “Agar selamat dari apimu, Bung Han?” “Betul. Tumben Sinuwun cerdas? Tapi, kenapa rumah Togog selamat sedangkan Taman Asoka tidak? Siapa yang salah? Dan, kalau orang-orang Alengka tidak membakar ekor saya, tidak akan ada kebakaran di seantero kota ketika saya melompat-lompat ke sanakemari membawa ekor saya yang berkobar-kobar. Siapa yang salah, hayo?”(*) 74 Pada 12 Mei 2014, Menteri Kominfo Tifatul Sembiring memblokir situs vimeo.com karena dianggap memiliki muatan negatif dan mengandung unsur pornografi. Terkait pemblokiran ini, muncul banyak protes dari masyarakat yang menganggap pemblokiran ini serampangan karena vimeo.com justru banyak membantu pekerjaan khususnya para seniman dan pekerja kreatif. Sampai saat ini, pemblokiran belum dicabut. ~221~


~222~


T “Gareng Gurung Garing” es kesehatan ponokawan Gareng jeblok. Gagallah dia nyapres. Suami Dewi Sariwati ini bukan lantaran ndak jantan. Kejantanan toh ndak turut diuji dalam tes sepanjang tujuh jam itu. Tujuh puluh profesor doktor juga ndak masalah Gareng kakinya pincang, tangannya cekot75, dan matanya juling. Bagi tim dokter, cacat raga ndak mesti cacat rohani. Pandita Durna pincang, tetapi rohani dan kesaktian mahaguru di Sokalima ini ngedap-edapi76. Raja Dewata Batara Guru pun cacat. Lehernya ungu. Matanya tiga. Tetapi, kesaktiannya? Mbooooookkkkkk. Sukasrana, adik Raden Sumantri, juga buruk rupa. Wujudnya raksasa bajang. Mengerikan. Namun, kelakuannya luar biasa luhur. “Lho, bukankah mens sana in corpore sano?” tanya Gathuk kepada kakak kembarannya, Gathak. “Ah, Thuk, itu kalau tim dokter gurung (belum) menyimak pemikiran Jaya Suprana dari Semarang Kaline Banjir ....” “Bahwa sesungguhnya, Thak?” “Bahwa sesungguhnya, Thuk, di dalam tubuh yang sehat belum tentu terdapat jiwa yang kuat. Buktinya Mike Tyson badannya sehat, tapi jiwanya sakit. Ia pernah ngrepoti di RSJ, kan?” Sambil makan Juku Palumara, makanan khas Makassar, Gathuk mengangguk-angguk. Apalagi, ia pernah mendengar bahwa bahasa Latin mens sana in corpore sano yang aslinya baris pertama puisi ~223~


penyair Romawi, Juneval, dulunya dipakai hanya untuk iklan. Pembelian alat-alat olahraga lagi jeblok di Eropa. Dibikinlah reklame Mens Sana in Corpore Sano untuk menggairahkan lagi industri alat-alat sport. “Halah, lha wong fisikawan Inggris, Stephen Hawking, itu jauh lebih cacat dibanding Resi Durna. Durna masih untung bisa jalan. Hawking cuma nglentruk nduk kursi roda, ngomong pun pakai alat bantu suara. Tapi, sumbangsih pikirannya tentang waktu dan penciptaan semesta, luar biasa.” Gathak menggebu-gebu. Kalau bukan di cacat fisik, terus masalahe Gareng opo? Masalah Gareng cuma nduk tes psikologi. Pas rombongan psikolog dan psikiater bergantian tanya, apa Gareng suka Jaya Murcita, Gareng geleng-geleng kayak wong India. Bagi sulung ponokawan ini, Jaya Murcita terlalu asam dan terlalu pedas. Dan, dia ndak terlalu suka ikan tongkol pada Jaya Murcita. Baru tadi malam, pas ada pengumuman korupsi dana haji, Gareng ngeh. Yang dimaksud tim dokter Jaya Murcita bukanlah Juku Palumara, makanan khas Makassar yang disantapnya sehari sebelum tes kesehatan. Sehari sebelum tes itu, adik-adiknya, Petruk dan Bagong, salah membawa Gareng makan Juku Palumara. Kakak tidak mereka bawa ke Juku Palumara yang tepat. Mereka mentraktirnya di warung Juku Palumara yang didirikan oleh orang stres, yang jadi stres gara-gara sinting pileg-nya gagal. Ikan tongkolnya ikan tongkol basi. Bawang merah, cabai merah, ~224~


dan cabai hijaunya sudah garing. Kunyitnya pun sisa kunyit Lebaran lalu. Tumisan dari bumbu-bumbu itu jadi ndak keruan rasanya. Sehari-semalaman Gareng tak putus membencinya sembari mualmual seperti mualnya orang-orang yang kebanyakan nonton berita pilpres. Nah, pas esoknya tim dokter tanya, apakah Gareng suka Jaya Murcita, Gareng kontan menggeleng karena bayangannya adalah Juku Palumara. Jaya Murcita dan Juku Palumara keduanya menjadi sama di benak Gareng mungkin lantaran sama-sama berinisial “J”. Ya, baru semalam Gareng alias Cakrawangsa ini ngeh. Pantesan ia tidak lulus tes. Ia ndak suka Jaya Murcita. Padahal, negeri ini sedang memerlukan pemimpin yang tak mudah menyerah bagai Jaya Murcita. Ia seorang jin yang masih berada di bawah kekuasaan jin Yudistira di hutan Mertani. Ketika keluarga Pandawa yang dipimpin Puntadewa menaklukkan jin Prabu Yudistira dalam lakon Babad Wanamarta alias Babad Alas Mertani, Jaya Murcita harusnya takluk juga. Ingat, dia berada di bawah kekuasaan jin Yudistira. Mestinya, begitu Yudistira takluk dan manunggal jiwa dengan Puntadewa, takluk pulalah Jaya Murcita yang memimpin kerajaan kecil Palangkawati. Nyatanya tidak. Bertahun-tahun lamanya Jaya Murcita masih bersikukuh memimpin Palangkawati tanpa harus setor upeti kepada Pandawa. Negerinya cuma seupil dibanding luasnya negeri Pandawa dan jajahannya, tetapi Sang Jaya Murcita tetap tegak berdiri sebagai raja dari bangsa yang berdaulat. “Itulah Ratu Adil yang kini sedang kita cari-cari,” tandas Gathak. ~225~


“Tapi, Gareng malah tidak menyukai Jaya Murcita,” ujar Gathuk. “Karena Gareng menganggap Jaya Murcita adalah Juku Palumara dari Makassar, Thuk.” “Tapi, tim dokter sudah melihat bahwa Gareng geleng-geleng tak suka Jaya Murcita.” Kembar abdi Syekh Amongraga dari Serat Centhini itu akhirnya tafakur dalam diamnya masing-masing. Gagal nyapres ndak masalah. Cakrawangsa tahu diri. Mungkin, pikirnya, maqom-nya memang bukan jadi pemimpin, melainkan penasihat pemimpin. Cakrawangsa melanjutkan pekerjaannya selama ini, yaitu memberi bimbingan belajar filosofi Gareng. Ia berkeliling mengajar di banyak tempat. Murid-muridnya banyak. Cowok-cewek. Mereka terutama anak-anak muda yang diramal tak akan bisa menjadi bupati, wali kota, gubernur, maupun presiden. Mereka diprediksi oleh juru nujum bahwa hidupnya kelak lebih tepat menjadi penasihat para kepala daerah dan negara seperti Gareng jadi penasihat Pandawa. Tes ke-Gareng-an menjadi tes utama bagi anak muda mana pun yang ingin kariernya kelak berpuncak menjadi penasihat eksekutif. Sayangnya, di tengah semangat-semangatnya mengajar anak orang lain menjadi Gareng, anak Gareng sendiri tak lulus tes ke-Gareng-an. Cakrawangsa sangat terpukul, lebih terpukul ketimbang saat Nusantara digagalkan ke final Piala Thomas oleh negeri pesawat MH370 yang hilang. “Sudahlah,” hibur Gathak-Gathuk, “tak sedikit guru Matematika, ~226~


mengajar Matematika di banyak papan, banyak anak yang dipintarkan Matematika-nya, tapi, eh, Ujian Nasional anaknya sendiri malah gagal di Matematika. Kementerian agama yang semestinya menjadi contoh gerakan anti-korupsi, malah biangnya korupsi dana haji.” “Sudahlah, Kang Gareng, seperti nasihatmu sendiri, Kang, hidup mbok jangan kagetan. Katamu Durna pandai mengajar Arjuna memanah, tapi ndak becus ngajar anaknya sendiri, Aswatama,” sambung Bagong dan Petruk sembari menggaet lengan kakaknya yang cekot ke warung Juku Palumara ori di bawah fly-over.(*) 75 Cacat tangan.—peny. 76 Mengagumkan.—peny. ~227~


~228~


~229~


E Pon versus Pon ntah kapan persisnya, tetapi belum lama. PDI-Perjuangan pernah bikin spanduk Kartinian: “Selamat Hari Kartini 20 April”. Hah? Kalendernya maju? Kecepetan sehari? Banyak yang menertawai keteledoran itu. Tetapi, tidak bagi Gathak, abdi Ki Amongraga dalam Serat Centhini. Semangat serbacepat dalam spanduk itu ia nilai cocok dengan semboyan Pak Jusuf Kalla pas Pilpres 2009: lebih cepat lebih baik. “Ini pertanda PDI-P cocoknya menggandeng Pak JK,” tandas Gathak. Beberapa tahun kemudian ramalannya terbukti. Adik kembar Gathak, Gathuk, pernah berkata bahwa Pak Hatta Radjasa cocoknya dengan Gerindra. Lambang partai ini garuda. “Pak HR semboyannya ‘Nyata’. Garuda, kan, nyata walau selama ini dibilang khayalan? Tunggangan Dewa Wisnu ini, kan, elang Jawa, walau sekarang tinggal beberapa ekor di Taman Nasional Merapi?” Gathuk ngeyel ketika yang lain-lain menyanggah. Konco-konconya ngotot bahwa garuda bukan elang Jawa. Di Jerman dan Amrik tak ada Pulau Jawa, tetapi mengapa lambang kedua negara itu sama-sama mirip garuda? Lagi pula, perancang garuda adalah Sultan Hamid II yang bukan dari Jawa, melainkan dari Kalimantan. Apa pun perdebatan soal garuda, ramalan Gathuk jitu. Seperti ramalan Gathak saat Rabu Pon di sudut pasar dekat bakul labu siam, ramalan Gathuk pada arisan burung perkutut yang juga saat Rabu Pon ~230~


itu pun terbukti. “Hah? Gathak dan Gathuk bikin nubuat sama-sama pas Rabu pasaran Pon? Rabu Pon itu, kan, weton-nya Pak Prabowo dan Pak Jokowi?” “Tidak usah kaget, Mbuk,” tukas ponokawan Cangik kepada anaknya, Limbuk. “Berkali-kali aku bilang, hidup mbok jangan kagetan. Orang-orang juga tidak kaget, kok, bahwa astronaut itu pas mudik mendarat di bumi seluruh badannya molor sekitar 5 cm. Ndak usah kaget. Biasa saja. Para pengantin baru laki-lakinya nggak ada yang buru-buru jadi astronaut dulu supaya pas balik bumi malam pertamanya melar dan jossssss.” Cangik juga meminta Limbuk agar tak kaget ketika kini GathakGathuk berkembang menjadi tabib sekaligus peramal kondang. Ngomong dan kampanye sama saja. Keduanya selalu gampang. Praktiknya yang amit-amit. Sudah sering bilang bahwa hidup jangan kagetan, Cangik toh masih kejet-kejet77 ketika diramal ajalnya bakal tiba Rabu Pon pekan depan. Tepatnya sebelum pasar pagi buka. Berita gawat ini di-tablig-kan oleh asisten Gathak-Gathuk via telepon. “Halo, ini betul telepon rumah Ibu Cangik? Halo, saya Chelsea Islantiah, asisten Ki Gathak-Gathuk. Pertama, salam dari beliau berdua. Terima kasih atas kunjungan Bu Cangik bulan lalu. Tapi, hmmm, begini, Bu, setelah penyakit Ibu kami terawang, ternyata tim kami angkat tangan. Hmmm. Banyak-banyak berdoa saja ya, Bu. Usia ibu tinggal se ... anu. Maksud saya, Bu Cangik hanya akan hidup sampai hari ....” ~231~


Cangik pingsan. Berdatanganlah sanak-saudara Cangik. Herannya, pas siuman dari semaput seharian itu, Cangik malah ceria seperti PNS pada tanggal muda. Seluruh handai tolannya yang bermuram durja dan sesenggukan tak habis pikir, “Mengapa Cangik yang hidupnya cuma sampai Rabu Pon pekan depan kini malah semringah?” Setelah kembali sepi berdua dengan anaknya, Limbuk, Cangik merayunya untuk menghapus air mata. Ia menawari putri tunggalnya, perawan tua dan gembrot itu, jalan-jalan mulai besok. Hari itu juga Cangik mengundurkan diri sebagai abdi dalem Kerajaan Astina. Seluruh tabungannya sejak berpuluh tahun lalu ia bongkar. Celengan keramik Semar-nya ia pecahkan. Koin-koin gemerencing di lantai. Esoknya Cangik mengajak Limbuk nonton wayang kancil. Inilah saat yang sebenarnya sudah sejak kecil ditunggu-tunggu oleh Limbuk. Nonton berbagai jenis wayang seperti wayang kancil, wayang klitik, wayang gedok, dan lain-lain adalah impiannya yang lama terpendam, tak kunjung kesampaian. Emaknya selama ini tak pernah cuti sebagai pelayan Prabu Duryudana dan permaisuri Dewi Banuwati di Keraton Astina. Mas Jokowi cuti sebagai gubernur untuk nyapres (dan kemudian terpilih), tak membuat Cangik iri dan ikut-ikutan cuti. Mas Hatta Radjasa mengundurkan diri sebagai menko untuk nyawapres, tak membuat Cangik ikut-ikutan mengundurkan diri sebagai babu. Ajal akan tiba pekan depan membuat hidup Cangik berubah. Wah, girangnya hati Limbuk diajak Cangik nonton wayang, seperti ~232~


girangnya para gadis ketika diajak Bang Rhoma ke Binaria, nonton dangdut yang sulingnya suling bambu, kendangnya kulit lembu. Terajanaaaaaa .... Berbeda dari wayang gedok yang lakonnya tentang raja-raja Kediri, atau wayang klitik yang kisahnya tentang raja-raja Majapahit, wayang kancil bertutur tentang hewan-hewan. Syahdan, di hadapan Limbuk dan Cangik ada seekor buaya. Lambang di kepalanya mirip garuda. Ia sangat ditakuti di berbagai dusun. Dusun yang dihuni oleh orang-orang Afganistan takut. Dusun hunian orang-orang Libia pun ngeper. Di dusun mana pun, orangorang miris pada Crocodile Dundee ini. Pada suatu hari hujan dan badai, pohon beringin tumbang menerpa tubuhnya yang sedang berjemur di darat. Berbulan-bulan sampai menjelang Pilpres 9 Juli tak ada yang menolong buaya itu. Ia sudah kelaparan dan kehausan. Untung pas 19 Juni, bareng dengan penutupan lokalisasi Dolly di Surabaya, lewatlah banteng dan burung garuda. Setelah beringin purba disingkirkan oleh garuda dan banteng dari tubuh buaya yang terhimpit, buaya lega. Tetapi, karena haus dan lapar, buaya mengaku tak punya tenaga untuk kembali masuk ke muara sungai. Ia minta tolong banteng dan garuda membawanya ke muara. Alamak, sesampai di lokalisasi buaya, setelah buaya segar kembali berkat kena air, banteng dan garuda dicaploknya. Sekembali ke rumah, Cangik ingin menjelasi Limbuk tentang moral cerita buaya tadi, mumpung belum mati. Tetapi, telepon berdering, dari Chelsea Islantiah, “Maaf, Bu Cangik, waktu itu saya salah ~233~


sambung. Ini Bu Cangik yang di Astina, kan? Lahirnya 20 April? Ternyata yang ajalnya Rabu Pon pekan depan Bu Cangik yang abdi dalem Alengka. Maap. Maap.”(*) 77 Kejang-kejang. ~234~


~235~


D Di Dusun Hongwilaheng i museum Madame Tussauds, Hongkong, kini sudah berdiri patung lilin Soekarno. Mulai pekan lalu, pengunjung sudah bisa foto-foto bareng lelaki gingsul, pecian, dan pakaiannya semimiliter serba-putih lengkap dengan pating cemantel tanda-tanda jasanya itu. Patung si Bung melengkapi museum, bersama patung-patung pemimpin dunia lainnya. Membanggakan. Lain Hongkong lain Hongwilaheng. Di dusun yang kerap disingkat Dusun Hong ini juga banyak orang mematung. Bedanya, mereka mematung bukan mengukir, menakik, menatah, ataupun mencetak bahan-bahan dari kayu, kue, pasir, logam, maupun lilin. Sejak tengah musim kemarau pekan lalu, Dusun Hong dilanda banyaknya warga mematung dalam arti diam mematung atau berdiam diri. Gara-garanya perbedaan pilihan capres. Lagi asyik-asyiknya pacaran, lalu ndak sengaja nyenggol obrolan soal pilpres. Lakinya keprucut bilang senang Mas Jokowi. Ceweknya keceplosan bilang suka Mas Prabowo. Pasangan yang sebelumnya rangkulan ke mana pun pergi itu lantas berantem. Capek bersitegang, mereka kemudian saling mematung. O, Dusun Hong .... O, dusun para arca .... Masih mujur. Sejoli itu masih tak terlalu malang. Mereka cuma saling bungkam seribu bahasa. Tak sedikit pasangan yang malah ~236~


saling wassalam. Mereka pisahan. Satu sama lain saling memantankan, saling meng-alumnikan tanpa kemungkinan bisa reuni. Masing-masing saling merasa, “Masih enak zamanku, to?” Heuheuheu. Kalaupun tak mematung, tak ada lain yang mereka bincangkan kecuali sindir-menyindir. Satunya bilang, soal kesehatan nomor 1, soal capres nomor 2. Maksudnya pilihlah yang nomor 2. Yang lain mbales, capres memang nomor 2, tetapi presiden nomor 1 dan itu menyehatkan. Baku sindir model begini biasanya berlanjut dengan jotos-jotosan dan ending-nya di UGD. Gambaran Dusun Hong segawat itulah yang tersebar ke berbagai belahan dunia, ke Kerajaan Ndwarawati, ke Amarta, dan ke kerajaan-kerajaan lainnya. Raja Ndwarawati sendiri, Prabu Sri Kresna, tak bisa tahu persis apakah situasi Dusun Hong memang segawat yang diberitakan. Padahal, pada galibnya, biasanya ia ngerti sakdurunge winarah78, ngerti sebelum kejadian, bahkan segala wolak-waliking peristiwa di tempat nun ribuan mil. Kresna punya rencana, nanti setelah nyambangi sebentar kaum Pandawa di Amarta, ia akan terus bablas ke dusun penghasil marmer dan ikan lele itu. Apa betul silaturahmi sudah benar-benar putus di Dusun Hong? Itulah yang ingin dibuktikan oleh langkah Sri Kresna. Akan tetapi, setiap langkah, pasti ada yang ngrasani. Utamanya bila yang melangkah itu tokoh sekaliber Kresna alias Prabu Harimurti. “Buat apa Om Hari buang-buang anggaran meninjau Dusun Hong, wong di koran dan televisi sudah terang benderang. Jelas-jelas dibilang bahwa Dusun Hong sudah seperti pulau mati, ~237~


semua diam mematung gara-gara perbedaan pilihan capres,” protes ponokawan Mbilung. Senior Mbilung, Togog, mengadem-ademkan Mbilung. Katanya, “Gini, Lung, ada pepatah bilang seeing is believing. Mendatangi suatu tempat dan mengalaminya sendiri jauh lebih bikin kita yakin ketimbang cuma membaca atau mendengarnya lewat media massa.” “Gitu ya, Gog?” “Iya. Dan, siapa tahu, Lung, setelah Om Murti menyaksikan dan mengalami sendiri Dusun Hong, ternyata orang-orang di sana justru akur bersemboyan: Satu-satu aku sayang ibu, dua-dua juga sayang ayah, soal calon presiden aku sayang semuanya.” “Heuheuheu.” Abdi kembar Ki Amongraga dari Serat Centhini, Gathak-Gathuk, menyimak obrolan ponokawan kaum hitam tersebut. Keduanya bisa mafhum. Saban hari melihat polah-tingkah bos-bosnya keliling dunia hanya untuk menghabiskan anggaran belanja negara, akibatnya tak heran bila Mbilung mengkritisi rencana Kresna yang tubuhnya serbahitam, walau konon watak manusia ini masuk dalam golongan putih. Manusia punya rencana, bandar yang menentukan. Kresna tak bisa langsung bablas ke Dusun Hong setelah beranjangsana ke tempat adik-adiknya Pandawa di Amarta. Di kejauhan ia sudah tahu bahwa yang melesat dari antariksa itu bukan bintang berekor. Itu bukan meteor walau besarnya masih sepersejuta biji ketumbar. Itu Batara Guru, rajanya para dewa. “Adinda Yudistira, bersiap-siaplah Adinda menerima tamu ~238~


agung,” bisik Kresna kepada pemimpin Pandawa, Yudistira. Kresna lantas mengendap-endap ke halaman Keraton Amarta. Benar. Tamu itu Batara Guru yang langsung dari antariksa menukik ke pendapa Keraton Amarta. Di halaman keraton, tak berselang lama muncullah pemuda sederhana, tetapi matanya memancarkan kecerdasan. “Jangan kamu halangi aku, aku mau mencari Batara Guru yang lari terbirit-birit aku kejar. Dia barusan sembunyi di sini. Minggir!” “Perlumu? Dan, siapakah kamu, Kisanak?” “Halah, mustahil kamu tak tahu apa perluku. Dan, omong kosong kamu tidak kenal aku. Kamu Kresna, kan? Titisan Wisnu, kan? Yang ngerti sakdurunge winarah, kan?” “Hehehe, iya, oke, Wisanggeni, kamu anak Dewi Dersanala, cucunya Batara Brahma. Ketika bayi, sedianya kamu akan dibunuh oleh Batara Guru dengan membuangmu ke kawah Candradimuka.” “Terus?” “Terus, kamu masih hidup karena di dalam kawah itu kamu dilindungi oleh Semar. Semar sekarang juga sedang menyertaimu. Dia masuk menyatu dalam pohon sukun di sebelahmu.” Wisanggeni tertawa, langsung menggamit tangan Kresna terbang ke Dusun Hong. “Agar kamu ndak usah terbang dengan keretamu, Kiai Jaladara, jadi ndak usah pakai APBN Ndwarawati,” kata Wisanggeni. Betullah. Sesampai di Dusun Hong, keadaan jungkir balik dari apa yang diberitakan pers. Kresna melihat banyak anak-anak muda berbaju ala Jokowi pacaran dengan sebayanya yang berlencana ~239~


garuda mirip Prabowo. Kalau ada pendukung Joko ingin memasang baliho, janur dan penjor-penjor, pendukung Bowo membantunya, dan sebaliknya. Bubur merah putih di sana juga diberi logo gambar Bowo dan Joko. Warga tak saling mematung. Siang malam mereka malah asyik bersenda-gurau. Setelah diterbangkan pulang-pergi oleh Wisanggeni, Kresna memberi tahu di mana persembunyian Guru. “Tebak yang ingin aku tanyakan kepada Guru, kok, sampai dia lari-lari ndak mau njawab?” tanya Wisanggeni. “Kamu bertanya, betulkah bapakmu itu Arjuna?” “Salah! Itu, kan, kalau lakon di pakem-pakem pedalangan. Aku ingin bertanya, siapa di antara Jokowi dan Prabowo yang pikirannya paling mirip patung lilin baru di Hongkong!”(*) 78 Mengetahui sebuah peristiwa sebelum peristiwa tersebut terjadi.—peny. ~240~


~241~


K Sasaji Salam Samba a l a u ndak ingin ada yang cecer, jangan pernah mengumpulkan sesuatu. Semakin mengumpulkan, semakin ada saja yang akan tercecer. Dunia ini luas pol. Konon untuk saban hari menjajal seluruh rasa jenis apel di muka bumi saja butuh dua dasawarsa lamanya. Berapa orang pun yang akan diseleksi dan dikumpulkan untuk menjadi moderator debat capres, pasti masih saja akan ada calon moderator yang tercecer, misalnya Syahrini. Lakon Ramayana juga gitu. Rasanya sudah terangkum berbagai versi hikayat cinta Rama-Sinta ini. Seluruhnya! Eh, ternyata masih saja ada yang tercecer: Yang versi Cirebon! Dalam Serat Batara Rama, munyuk Hanuman adalah anak kandung Rama-Sinta. Hanuman bukan anak penguasa kahyangan, Batara Guru, yang kemudian diangkat oleh Rama sebagai anaknya. Rama bukannya papa angkat yang memberi Hanuman julukan Ramandayapati, yang kiro-kiro berarti ‘anak angkat Rama pembasmi angkara murka’. Versi Cirebon ndak bilang demikian, Saudara-saudara. Begini versi kota udang itu, kota asal Gathak-Gathuk, abdi kembar dalam Serat Centhini: Atas petunjuk dukun yang tak terpakai sebagai penasihat pilpres di kedua kubu, Sri Rama pergi ke Trengganasari. Ia disertai istri dan adiknya, Sinta dan Lesmana. Sesampai di hutan yang bisa membawa ~242~


Click to View FlipBook Version