Ashadi
KONTROVERSI
WALISONGO
Tanggapan Kritis atas Tulisan
Mangaradja Onggang Parlindungan :
TUANKU RAO
Melalui Bukti-Bukti ARSITEKTURAL
Arsitektur UMJ Press
KONTROVERSI
WALISONGO
Tanggapan Kritis atas Tulisan
Mangaradja Onggang Parlindungan :
TUANKU RAO
Melalui Bukti-Bukti ARSITEKTURAL
Ashadi
Penerbit Arsitektur UMJ Press
2017
KONTROVERSI WALISONGO. Tanggapan Kritis atas Tulisan
Mangaradja Onggang Parlindungan : TUANKU RAO
Melalui Bukti-Bukti ARSITEKTURAL
|arsitekturUMJpress|
|
Penulis: ASHADI
CETAKAN PERTAMA, NOPEMBER 2017
Hak Cipta Pada Penulis
Hak Cipta Penulis dilindungi Undang-Undang Hak Cipta 2002
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara
apapun tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Desain Sampul : Abu Ghozi
Tata Letak : Abu Ghozi
Perpustakaan Nasional – Katalog Dalam Terbitan (KDT)
ASHADI
KONTROVERSI WALISONGO. Tanggapan Kritis atas Tulisan
Mangaradja Onggang Parlindungan : TUANKU RAO
Melalui Bukti-Bukti ARSITEKTURAL
Jumlah Halaman 94
ISBN 978-602-5428-05-0
Diterbitkan Oleh Arsitektur UMJ Press
Jln. Cempaka Putih Tengah 27 Jakarta Pusat 10510
Tetp. 021-4256024, Fax. 021-4256023
E-mail: [email protected]
Dicetak dan dijilid di Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan
__________________________________________________________
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Sanksi Pelanggaran Pasal 72 :
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau
pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara
masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/ atau denda
paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling
banyak Rp. 500.000.000,00 (limaratus juta rupiah).
ABSTRAK
Sejarah Walisongo di Indonesia, khususnya di pulau Jawa, dapat
ditelusuri melalui pemahaman terhadap artefak-artefak yang
ditinggalkannya. Salah satu peninggalannya yang fenomenal adalah
bangunan masjid. Tulisannya ini bertujuan memberikan alternatif
tanggapan terhadap tulisan Parlindungan yang berjudul TUANKU
RAO, khususnya pada Lampiran XXXI dari buku tersebut, yaitu tentang
Peranan Orang-Orang Tionghoa di dalam Perkembangan Agama Islam
di Pulau Jawa, 1411-1564, melalui pemahaman terhadap artefak
tinggalan Walisongo berupa bangunan masjid. Metode yang digunakan
adalah historis deskriptif arsitektural dengan cara observasi mendalam.
Observasi mendalam dilakukan untuk memahami kondisi fisik lokasi,
bentuk dan elemen arsitektur masjid. Hasil penelusuran sejarah para
tokoh Walisongo, yang digabungkan dengan deskriptif arsitektural
masjid sebagai artefak tinggalannya, menunjukkan bahwa keterangan
dalam buku TUANKU RAO yang menyatakan para penyebar agama
Islam di Jawa adalah Tionghoa, sebagian besar tidak memiliki
kesesuaian dengan keterangan-keterangan fisik artefak tinggalannya.
Kata Kunci: Islam, Jawa, Masjid, Tionghoa, Walisongo.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillaah, akhirnya buku KONTROVERSI WALISONGO.
Tanggapan Kritis atas Tulisan Mangaradja Onggang
Parlindungan : TUANKU RAO Melalui Bukti-Bukti Arsitektural
ini dapat diselesaikan dan kemudian diterbitkan. Buku ini
merupakan tanggapan tidak langsung atas terbitnya kembali
buku Tuanku Rao (Maret, 2007), terutama bagian
Lampiran/XXXI: “Peranan Orang-Orang Tionghoa/Islam/Hanafi
Didalam Perkembangan Agama Islam di Pulau Jawa, 1411-1564.”
Lampiran/XXXI dalam buku Tuanku Rao adalah
merupakan Catatan Tahunan Melayu yang, menurut
Parlindungan, ditemukan oleh Residen Poortman di Klenteng
Sam Po Kong di Gedung Batu, Semarang dan di Klenteng Sam
Tjai Kong di Talang, Cirebon, sekitar akhir dasa warsa kedua
abad ke-20. Catatan Tahunan Melayu Semarang dan Cirebon
telah dipakai rujukan utama oleh Slametmuljana, seorang murid
dari Parlindungan, dalam bukunya tentang munculnya negara-
negara Islam di Indonesia yang berbahasa Indonesia pada tahun
1968, dan diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul A Story
of Majapahit.
Tidak seperti penerbitannya yang pertama (1964), yang
ditarik dari peredaran tidak lama kemudian oleh penyusunnya
sendiri, karena menimbulkan polemik yang berkepanjangan,
penerbitannya yang kedua terkesan adem ayem saja, tidak
menimbulkan kontroversi.
Buku ini, secara tidak langsung, memberikan alternatif
tanggapan terhadap buku Parlindungan tersebut, yakni melalui
pendekatan-pendekatan arsitektural. Pengalaman-pengalaman di
i
lapangan, khususnya observasi pada bangunan masjid Agung
Demak banyak membantu didalam pembahasan buku ini.
Untuk mengetahui secara lengkap isi dari Catatan
Tahunan Melayu teks Parlindungan yang dijadikannya lampiran
dalam buku Tuanku Rao, maka dalam bagian pertama buku ini,
sengaja, meskipun tidak seratus persen persis sama, memaparkan
lampiran tersebut dengan sedikit gaya tulisan naratif.
Isi buku ini terbagi kedalam enam sub bahasan, yakni: (1)
Peranan Orang-Orang Tionghoa Didalam Perkembangan Agama
Islam di Pulau Jawa, 1411-1564; (2) Dewan Dakwah Walisongo;
(3) Sunan Ampel Sang Arsitek; (4) Masjid Menara Menjadi Saksi
Sunan Kudus; (5) Perpindahan Masjid Besar Semarang; (6) Soko
Tatal Masjid Demak : Antara Fakta dan Khayalan ?
Buku ini masih banyak kekurangan, tetapi paling tidak
kehadirannya bisa dijadikan alternatif bacaan, terutama bagi para
pencinta ilmu pengetahuan sejarah dan arsitektur Jawa.
Jakarta, Nopember 2017
Penulis
ii
PENGANTAR PENERBIT
Alhamdulillaah, akhirnya buku Ashadi yang berjudul
KONTROVERSI WALISONGO. Tanggapan Kritis atas Tulisan
Mangaradja Onggang Parlindungan : TUANKU RAO Melalui
Bukti-Bukti Arsitektural ini dapat diterbitkan. Buku ini
merupakan tanggapan tidak langsung atas terbitnya kembali
buku TUANKU RAO (Maret, 2007), terutama pada bagian
Lampiran/XXXI, yang bercerita tentang peranan orang-orang
Tionghoa/Islam/Hanafi dalam perkembangan agama Islam di
Jawa pada dasawarsa pertama abad ke-15 hingga dasawarsa
keenam abad ke-16 Masehi.
Pada tahun 1964, terbit sebuah buku berjudul TUANKU
RAO, karangan Mangaradja Onggang Parlindungan, tentang
cerita peperangan yang mengorbankan para pahlawan di Sumatra
Tengah pada masa lampau. Maksud buku itu untuk menghormati
Tuanko Rao, seorang Juru Dakwah yang mengembangkan Islam
di Sumatra Tengah pada pertengahan abad ke-19, dan untuk
merangsang nasionalisme orang Indonesia serta merangsang
patriotisme orang Batak Muslim. Catatan Tahunan Melayu
Semarang dan Cirebon yang dijadikan Lampiran dengan judul :
‘Peranan Orang Tionghoa/Islam/Hanafi Didalam Perkembangan
Islam di Pulau Jawa, 1411-1564’ merupakan bagian yang paling
menarik dari bukunya. Karena menimbulkan kontroversi dan
polemik, maka oleh penyusunnya sendiri, buku itu ditarik dari
peredaran.
Kemudian pada 1968, terbitlah buku berjudul ‘Runtuhnya
Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di
Nusantara’ karangan Slametmuljana (dialih-bahasakan ke dalam
bahasa Inggris dengan judul ‘A Story of Majapahit’). Dalam buku
iii
yang sebagian besar sumbernya merujuk pada tulisan
Parlindungan, TUANKU RAO, Slametmuljana menyatakan
bahwa para penyebar Islam di Jawa adalah orang-orang Cina
yang sengaja dikirim oleh Kaisar Cina untuk meruntuhkan
kekuasaan Majapahit. Karena menimbulkan banyak kesalah-
pahaman, akhirnya pada tahun 1971, buku itupun dilarang oleh
pihak Kejaksaan Agung RI. Pada Maret 2007, buku TUANKU
RAO diterbitkan kembali.
Buku karya Ashadi ini, memberikan alternatif tanggapan
terhadap karya Parlindungan tersebut, yakni melalui pendekatan
arsitektural. Tema-tema menarik yang disajikan dan kelengkapan
gambar-gambar yang disertakan dalam buku ini sangat
membantu memahami isinya.
Kesimpang-siuran sejarah Walisongo dapat dipahami
melalui sisi yang lain, yakni melalui penelusuran artefak-artefak
yang ditinggalkannya, salah satunya adalah bangunan masjid.
Masjid adalah bangunan pertama kali yang didirikan dalam setiap
kegiatan dakwah para Walisongo di tanah Jawa. Buku ini sedikit
banyak membicarakan tentang jatidiri dan kegiatan dakwah para
Walisongo kaitannya dengan arsitektur bangunan masjid.
Kehadiran buku ini semoga bisa dijadikan alternatif
bacaan, terutama bagi para pencinta ilmu pengetahuan sejarah
dan arsitektur Jawa.
Jakarta, Nopember 2017
Penerbit
iv
DAFTAR ISI
BAGIAN PERTAMA Hal.
PERANAN ORANG-ORANG TIONGHOA DIDALAM 1
PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM DI PULAU JAWA,
1411-1564 (SUMBER : CATATAN TAHUNAN MELAYU
SEMARANG DAN CIREBON TEKS PARLINDUNGAN
- LAMPIRAN XXXI BUKU “TUANKU RAO”
BAGIAN KEDUA 17
DEWAN DAKWAH WALISONGO
BAGIAN KETIGA 29
SUNAN AMPEL SANG ARSITEK
BAGIAN KEEMPAT 37
MASJID MENARA MENJADI SAKSI SUNAN KUDUS
BAGIAN KELIMA 53
PERPINDAHAN MASJID BESAR SEMARANG
BAGIAN KEENAM 67
SOKO TATAL MASJID DEMAK : ANTARA FAKTA DAN
KHAYALAN
DAFTAR PUSTAKA 91
v
BAGIAN PERTAMA
PERANAN ORANG-ORANG TIONGHOA
DIDALAM PERKEMBANGAN
AGAMA ISLAM
DI PULAU JAWA, 1411 – 1564
( SUMBER : CATATAN TAHUNAN
MELAYU SEMARANG DAN CIREBON
TEKS PARLINDUNGAN –
LAMPIRAN XXXI BUKU
“TUANKU RAO” )
1
2
Pada tahun 1405-1425, armada Tiongkok/Dinasti Ming, di bawah
Laksamana Haji Sam Po Bo, menguasai perairan dan pantai-
pantai Nan Yang (Asia Tenggara). Pada tahun 1407, armada
Tiongkok/Dinasti Ming merebut Kukang (Palembang), yang
sudah turun-temurun menjadi sarang perampok dari orang-orang
Tionghoa non-Muslim dari Hokkian. Cen Tsu Ji, kepala perampok
di Kukang, ditawan, dirantai, dan dibawa ke Peking. Di situ dia
mati dipancung di depan umum.
Lalu, di Kukang dibentuklah Komunitas Cina Muslim
Hanafi (Mazhab Imam Hanafi), dan ini yang pertama di
Kepulauan Indonesia. Tahun itu juga, didirikan satu lagi di
Sambas, Kalimantan. Dan pada 1411-1416, Komunitas Cina
Muslim Hanafi dibentuk pula di Semenanjung Malaya, Pulau
Jawa, dan Filipina. Di Pulau Jawa didirikan masjid-masjid di
Ancol/Jakarta, Sembung/Cirebon, Lasem, Tuban, Tse
Tsun/Gresik, Jiaotung Joratan, Cangki/Mojokerto, dan lain-lain
lagi.
Pada tahun 1413, armada Tiongkok/Dinasti Ming, selama
satu bulan singgah di Semarang untuk perbaikan kapal-kapal.
Laksamana Haji Sam Po Bo, Haji Mah Hwang, dan Haji Feh Tsin,
sangat sering datang sembahyang di masjid Tionghoa di
Semarang.
Pada tahun 1419, Laksamana Haji Sam Po Bo
menempatkan Haji Bong Ta Keng di Campa, untuk mengatasi
flourishing Komunitas Cina Muslim Hanafi yang tersebar di
pantai-pantai seluruh Nan Yang. Haji Bong Ta Keng
menempatkan Haji Gan Eng Cu di Manila, Filipina, untuk
mengatasi Komunitas Cina Muslim Hanafi di situ dan di Matan,
Filipina. Pada 1423, Haji Gan Eng Cu dipindahkan oleh Haji Bong
Ta Keng dari Manila, Filipina ke Tuban, Jawa Timur, untuk
mengatasi flourishing Komunitas Cina Muslim Hanafi di Pulau
Jawa, Kukang, dan Sambas.
Tuban pada saat itu adalah Java’s main port, dengan
Kerajaan Majapahit selaku Hinterland. Terhadap Pemerintah
Tiongkok/Dinasti Ming, Haji Gan Eng Cu menjadi semacam
3
Consul General untuk mengatasi semua Komunitas Cina Muslim
Hanafi di Nan Yang Selatan, termasuk Pulau Jawa, Kukang, dan
Sambas. Terhadap still existing but degenerated Kerajaan
Majapahit, Haji Gan Eng Cu menjadi semacam ‘Kapten Cina
Islam’ di Tuban. Akan tetapi, karena armada Tiongkok/Dinasti
Ming menguasai seluruh pelayaran di perairan Nan Yang, maka
Haji Gan Eng Cu, secara de-facto, menjadi Kepala Pelabuhan pula
di Tuban. Untuk jasa-jasanya meladeni keraton Majapahit dari
Pelabuhan Tuban, Haji Gan Eng Cu diberikan gelar “A Lu Ya”
oleh Kerajaan Majapahit, yang diberikan oleh Raja Su King Ta,
Raja Majapahit tahun 1427-1447. (Supposition : Haji Gan Eng Cu
adalah Ario Tejo, dan adalah ayah dari Nyi Ageng Manila yang
lahir di Manila, Filipina).
Pada 1424-1449, Yang Mulia Haji Ma Hong Fu
ditempatkan menjadi Duta Besar Tiongkok/Dinasti Ming di
keraton Majapahit. Haji Ma Hong Fu adalah putra dari War Lord
Yunnan, dan adalah menantu dari Haji Bong Ta Keng. Di dalam
perjalanan ke keraton Majapahit, keluarga Haji Ma Hong Fu
diantar oleh Haji Feh Tsin, yang sudah tiga kali pernah
berkunjung ke keraton Majapahit selaku Roving Ambassador.
(Supposition : Putri Campa adalah istri dari Haji Ma Hong Fu).
Sementara pada 1425-1431, Laksamana Haji Sam Po Bo
menjadi gubernur di Nanking, dan secara de-facto menjadi Vice
Roy Tiongkok Selatan berikut Nan Yang. Di masjid Tionghoa
Hanafi di Semarang diadakan sembahyang hajat, disambung
dengan doa selamat untuk Laksamana Haji Sam Po Bo. Pada
tahun 1430, Laksamana Haji Sam Po Bo sendiri merebut daerah
Tu Ma Pan di Jawa Timur, dan memberikan daerah itu kepada
Raja Su King Ta. Gan Eng Wan, saudara dari Haji Gan Eng Cu,
menjadi Gubernur Tu Ma Pan, bawahan Kerajaan Majapahit.
Dialah bupati yang pertama beragama Islam di Kerajaan
Majapahit. Pada tahun 1431, Laksamana Haji Sam Po Bo wafat.
Komunitas Cina Muslim Hanafi di Semarang mendirikan
sembahyang ghaib.
4
Pada tahun 1436, Haji Gan Eng Cu pergi ke Tiongkok,
menghadap Kaisar Yang Yu. Sementara, Tuban yang bertugas
mengatasi Kukang, Tse Tsun, dan Sambas, dilepaskan dari
Campa, dan menjadi Chinese Crown Colony yang berdiri langsung
di bawah Gubernur Nanking. Kaisar Yang Yu memberikan
kepada Haji Gan Eng Cu, tingkatan atau pakaian Mandarin
Besar, lengkap dengan tanda pangkat berupa ikat pinggang emas.
Pada tahun 1443, Swan Liong (artinya Naga Berlian),
Kepala Pabrik Mesiu di Semarang, ditempatkan oleh Haji Gan
Eng Cu menjadi Kapten Cina Islam di Kukang, yang sering
diserang oleh bajak-bajak laut orang-orang Tionghoa yang bukan
Islam. Swan Liong, seorang Perwira Artillery yang maha jitu,
adalah seorang peranakan Tionghoa yang di Cangki/Mojokerto,
dilahirkan oleh seorang wanita Tionghoa dayang-dayang. Swan
Liong, katanya sebenarnya adalah putra dari Yang Wi Si Sa, Raja
Majapahit. Catatan : Orang-orang peranakan Tionghoa yang
ayahnya bukan Tionghoa, biasanya diberikan nama yang terdiri
atas cuma dua syllables. Tanpa hereditary first name, yang untuk
orang-orang Tionghoa adalah family names. Orang-orang
Tionghoa yang ayahnya Tionghoa, lengkap diberikan nama yang
terdiri atas tiga syllables. (Supposition : Swan Liong adalah Ario
Damar. Yang Wi Si Sa adalah Prabu Wisesa, Raja Majapahit).
Pada tahun 1445, Bong Swi Hoo diperbantukan kepada
Swan Liong di Kukang untuk on the job training. Bong Swi Hoo
adalah seorang cucu dari Haji Bong Ta Keng di Campa. Tahun itu
juga, Bong Swi Hoo sudah dipercayakan oleh Swan Liong, pergi
menghadap Haji Gan Eng Cu supaya somewhere ditempatkan
menjadi Kapten Cina Islam. Pada 1446, Bong Swi Hoo singgah di
Komunitas Cina Muslim Hanafi di Semarang. Tahun 1447, Bong
Swi Hoo tiba di Tuban dan menikah dengan seorang putri dari
Haji Gan Eng Cu. Pada tahun 1447-1451, Bong Swi Hoo
ditempatkan oleh Haji Gan Eng Cu menjadi Kapten Cina Islam di
Jiaotung/Bangil, yang terletak di muara Sungai Brantas Kiri (Kali
Porong). (Supposition : Bong Swi Hoo adalah Raden Rahmat,
5
bergelar Sunan Ngampel. Istri Bong Swi Hoo adalah Nyi Ageng
Manila).
Pada tahun 1448, Bupati Gan Eng Wan (alias Ario
Sugondo) mati dibunuh. Daerah Tu Ma Pan lepas dari Kerajaan
Majapahit. Orang-orang Tionghoa yang beragama Islam Hanafi,
kemudian setelah setengah abad, banyak yang mati dibunuh oleh
orang-orang Tu Ma Pan, yang tetap beragama Hindu Jawa.
Pada tahun 1449, Yang Mulia Haji Ma Hong Fu singgah di
Semarang, didalam perjalanan kembali ke Tiongkok. Istri Haji Ma
Hong Fu sudah wafat, dan dimakamkan secara Islam di
Majapahit.
Pada 1450-1475, karena armada Tiongkok/Dinasti Ming
sudah merosot, maka armada Tiongkok/Dinasti Ming tidak
datang-datang lagi ke Komunitas Cina Muslim Hanafi di Nan
Yang. Komunitas Cina Muslim Hanafi itu pun turut degenerated.
Sangat banyak masjid-masjid Tionghoa Muslim Hanafi yang
berubah menjadi klenteng-klenteng Sam Po Kong, lengkap
dengan patung Demi God Sam Po Kong di tempat mimbar;
seperti di Semarang, Ancol, Lasem, dll.
Setelah wafatnya Laksamana Haji Sam Po Bo, Haji Bong
Ta Keng, dan Haji Gan Eng Cu, maka Bong Swi Hoo terpaksa
mengambil inisiatif mengepalai deteriorating Komunitas Cina
Muslim Hanafi di Pulau Jawa, Kukang, dan Sambas; tanpa
hubungan dengan Tiongkok. Bong Swi Hoo mengambil inisiatif
pula : to switch-over ke Bahasa Jawa, dan memperkuat his
deteriorating Komunitas Cina Muslim Hanafi dengan orang-orang
Jawa; akibatnya menentukan untuk sejarah Pulau Jawa. Ketika
pada tahun 1451, Campa yang beragama Islam Hanafi direbut
oleh orang-orang beragama Budha, penduduk asli dari pedalaman
dari Sing Fun An (Pnom Penh), Bong Swi Hoo segera bertindak.
Bong Swi Hoo meninggalkan deteriorating Komunitas Cina
Muslim Hanafi di Jiaotung di muara Sungai Brantas Kiri. Dengan
sedikit pengikut orang-orang Jawa yang baru saja dia Islamkan,
Bong Swi Hoo mendirikan sesuatu Komunitas Muslim Jawa di
Ngampel di dekat muara Sungai Brantas Kanan (Kali Mas).
6
(Supposition : Maulana Ishak yang bukan orang Tionghoa, dari
semula mendampingi Bong Swi Hoo alias Raden Rahmat didalam
usaha membentuk Komunitas Muslim Jawa di Ngampel).
Selama 1451-1477, Bong swi Hoo di Ngampel dengan
leadership yang maha besar, memimpin pembentukan Komunitas
Muslim Jawa di pantai Utara Pulau Jawa, dan di Pulau Madura.
Selama dia di Ngampel, Komunitas Cina Muslim Hanafi yang
masih ada di Tuban, Kukang, dan Sambas, tetap tunduk kepada
Bong Swi Hoo. Di Jiaotung, masjid-masjid sepeninggal Bong Swi
Hoo berubah pula menjadi klenteng Sam Po Kong. Pada tahun
1455, Kota Jiaotung lenyap ditelan banjir. Tanpa orang-orang
Tionghoa Muslim Hanafi, muara Kali Porong menjadi sepi
pelayaran. Catatan : setengah abad kemudian, orang-orang
Ternate membangun kembali Pelabuhan Jiaotung dengan nama
Joratan.
Pada 1456-1474, Swan Liong di Kukang membesarkan dua
orang peranakan Tionghoa, yang juga dilahirkan oleh wanita
Tionghoa dayang-dayang, yakni Jin Bun (artinya Orang Kuat)
dan Kin San (artinya Gunung Emas). Jin Bun, katanya adalah
putra dari Kung Ta Bu Mi, Raja Majapahit. (Supposition : Jin Bun
adalah Raden Fatah/Sultan Demak Yang Pertama. Kin San
adalah Raden Husein, teman sebaya dari Raden Fatah. Kung Ta
Bu Mi adalah Kertabumi, Raja Majapahit Yang Terakhir).
Pada tahun 1474, didalam perjalanan pergi menghadap
Bong Swi Hoo, Jin Bun dan Kin San singgah di Semarang. Jin
Bun yang sangat iman teguh didalam Agama Islam, menangis
melihat patung Sam Po Kong di dalam masjid. Jin Bun
mendoakan bantuan Ilahi supaya dia kelak dapat mendirikan
masjid yang baru di Semarang, yang sepanjang zaman akan tetap
masjid.
Pada 1475, atas permintaan dia sendiri, Jin Bun
ditempatkan oleh Bong Swi Hoo di daerah tidak bertuan di
sebelah Timur Semarang. Selain dekat dengan Semarang, tempat
itu geopolitic dan economic memang benar dapat menjadi penting.
Daerah kosong itu sangat subur pula, karena merupakan rawa-
7
rawa di kaki Gunung Muria. Jin Bun menerima tugas dari Bong
Swi Hoo, akan membentuk sesuatu Komunitas Muslim Jawa
menggantikan Komunitas Cina Muslim Hanafi yang sudah
murtad di Semarang.
Sementara Kin San diperintahkan oleh Bong Swi Hoo
menjadi Fifth Column di keraton Majapahit, dimana sejak Haji
Ma Hong Fu tidak ada lagi sumber inside information untuk
pihak Tionghoa. Kin San pernah belajar pyrotechniques dari Swan
Liong. Dengan mercon-mercon bikinan dia sendiri, Kin San lewat
Cangki/Mojokerto, pergi ke keraton Majapahit. Kin San segera
diterima menjadi tukang bikin mercon di keraton Majapahit.
Kung Ta Bu Mi menjadi bergembira ria memasang mercon-
mercon.
Dalam periode 1475-1518, selama lebih 40 tahun, Jin Bun
dengan tangan besi memerintah di new emerging Kerajaan Islam
Demak, sebelah Timur dari Semarang. Pada 1477, Jin Bun
merebut Kota Semarang dengan Tentara Islam Demak yang
hanya sekuat 1000 orang, akan tetapi bersemangat perang jihad
yang tidak gentar mati syahid. Jin Bun mendahului ke Klenteng
Sam Po Kong, dan menghindarkan segala gangguan atas klenteng
itu. Jin Bun very wise tidak menyembelih orang-orang Tionghoa
bekas Islam yang murtad di Semarang. Dia membutuhkan
mereka punya technical skill, terutama di bidang shipbuilding.
Sebaliknya, orang-orang Tionghoa bukan Islam di Semarang
berjanji akan menjadi warga negara yang patuh kepada Kerajaan
Demak. Tentara Islam Demak di bawah komando Jin Bun sendiri
membumi-hanguskan sesuatu kampung Islam yang sejak
setengah abad sudah ada di Candi, sebelah Selatan Semarang.
Atas permintaan Bong Swi Hoo, Raja Kung Ta Bu Mi, Raja
Majapahit, mengangkat Jin Bun dengan nama Pangeran Jin Bun,
menjadi bupati di daerah Bing To Lo, berkedudukan di Demak.
Jin Bun menghadap ke keraton Majapahit, dimana dia benar
diakui sebagai putra oleh Raja Kung Ta Bu Mi. (Supposition :
sekitar 1420-1477, di Candi Semarang terjadi sesuatu Komunitas
Muslim orang-orang Koja – orang-orang Persia dan Gujarat, yang
8
beragama Islam bermazhab Syiah. Memang benar bahwa orang-
orang Tionghoa Muslim Hanafi sama saja seperti orang-orang
Turki Muslim Hanafi, sangat fanatik membasmi agama Islam
mazhab Syiah).
Pada tahun 1478, Bong Swi Hoo wafat di Ngampel. Jin
Bun merasa tidak perlu buang-buang waktu pergi ke Ngampel,
akan tetapi dengan Tentara Islam Demak, dia malah pergi
merebut pedalaman Pulau Jawa. Sedangkan Bong Swi Hoo
sendiri seumur-umurnya tidak pernah mengizinkan penggunaan
senjata terhadap orang-orang Jawa yang masih beragama Hindu.
Kembali dari Majapahit, Jin Bun membawa serta Kin San.
Harta pusaka tanda kebesaran Kerajaan Majapahit, sebanyak
muatan tujuh kuda diangkut ke Demak. Kung Ta Bu Mi ditawan
di Demak, dan oleh Jin Bun dengan sangat hormat diperlakukan
selaku ayahnya. Majapahit tidak dibumi-hanguskan, dan karena
itu diduduki kembali oleh orang-orang Jawa yang bukan Islam.
Sementara, atas perintah Jin Bun, di Semarang didirikan masjid
yang baru (di tempat dimana hingga ini hari masih saja berdiri
Masjid Besar Semarang, di samping alun-alun lama).
Pada 1478-1529, Kin San, selama setengah abad, menjadi
Bupati Semarang. Sangat toleran menjadi bapak rakyat,
melindungi segala bangsa dan segala agama. Gan Si Cang,
seorang putra yang murtad dari mendiang Haji Gan Eng Cu,
ditunjuk oleh Kin San menjadi Kapten Cina bukan Islam di
Semarang. Kin San dan Gan Si Cang segera membangun kembali
penggergajian kayu jati dan galangan kapal, yang tiga generasi
sebelumnya didirikan oleh Laksamana Haji Sam Po Bo.
(Supposition : galangan kapal peninggalan Laksamana Haji Sam
Po Bo itu berdiri di tempat S.P.V – Semarang Prauwen Veer, yang
pada 1942-1945 dibangun kembali oleh orang-orang Jepang
menjadi galangan kapal kayu. Kapal-kapal niaga dan kapal-kapal
perang Kesultanan Demak adalah kapal-kapal jung model
Tiongkok/Dinasti Ming, yang dapat memuat 400 orang prajurit
maupun 100 ton muatan. Dengan dukungan dari orang-orang
Tionghoa bukan Islam di Semarang, Kesultanan Demak, pada
9
1500-an sudah menjadi saingan maritim dari Kesultanan
Malaka).
Pada tahun 1479, seorang putra dan seorang bekas murid
Bong Swi Hoo, datang melihat-lihat di galangan kapal dan di
Klenteng Sam Po Kong Semarang. Berdua mereka tidak pandai
Bahasa Tionghoa. (Supposition : Sunan Bonang dan Sunan Giri
singgah di Semarang, didalam perjalanan ke Mekah atau
sepulangnya).
Pada tahun 1481, atas permintaan tukang-tukang di
galangan kapal, Gan Si Cang memohonkan kepada Kin San,
supaya masyarakat Tionghoa bukan Islam di Semarang boleh
turut kerja bakti mendirikan Masjid Besar Demak, dan Jin Bun
pun mengabulkannya. (Supposition : Wood constructions dari
Masjid Besar Demak dibuat oleh tukang-tukang kayu orang-orang
Tionghoa, yang sudah selama sepuluh abad sangat ahli turun-
temurun membuat kapal-kapal jung. Tiang besar ‘Soko Tatal’
memang benar dibuat menurut construction dari sesuatu ships
mast di zaman Tiongkok/Dinasti Ming. Yakni in utmost precision
dibuat dari kepingan-kepingan kayu. Very flexible dan maha kuat
tahan segala angin taifun di lautan).
Pada tahun 1509, Yat Sun, seorang putra dari Jin Bun,
mendampingi Kin San di galangan kapal Semarang. Production
dilipat-gandakan karena Yat Sun, katanya hendak merebut Moa
Lok Sa dengan armada Demak. Pada 1512, Yat Sun sangat
tergesa-gesa menyerang Moa Lok Sa, yang sudah direbut oleh
orang-orang biadab berambut merah, dan yang mempunyai
senjata-senjata api jarak jauh – orang-orang Portugis.
(Supposition : Yat Sun adalah Sultan Yunus, Sultan Demak Yang
Kedua. Moa Lok Sa adalah Kesultanan Malaka).
Pada tahun 1513, seorang Bangsa Ta Cih bernama Ja Tik
Su, kapalnya rusak dan diperbaiki di galangan kapal Semarang.
Ja Tik Su diantar oleh Kin San dan Yat Sun ke Demak, dan dari
situ Ja Tik Su tidak kembali lagi. Kapal model Ta Cih milik Ja
Tik Su ditiru oleh Kin San untuk memperbesar velocitas dari
kapal-kapal model jung Tiongkok, yang benar besar akan tetapi
10
very cumbersome. (Supposition : Ja Tik Su adalah Ja’far Shadiq
bergelar Sunan Kudus, yang 1513-1546 sangat besar berjasa
retooling Agama Islam di Kesultanan Demak, dari Mazhab Hanafi
ke Mazhab Syafii. Gelar Sultan untuk Sultan Demak Yang
Pertama, bukannya diberikan oleh Sunan Ngampel yang sudah
wafat pada tahun 1478, akan tetapi pada tahun 1513 diberikan
oleh Sunan Kudus, yang sempat mengenal dan menobatkan
ketiga-tiganya sultan-sultan Demak. Bagaimana Laksamana
Ismail As Siddik pada tahun 1285 menobatkan Marah Silu
menjadi Sultan Malik Al Saleh di Sumatra, begitullah Mubaligh
Ja’far Shadiq pada tahun 1513 menobatkan Jin Bun menjadi
Sultan Al Fatah. Berdua Ismail As Siddik dan Ja’far Shadiq
adalah Ambassador Plenipotentiary dari Kesultanan
Mesir/Dinasti Mamaluk dan dari titulary Chalifatullah Dinasti
Abbasiyah).
Pada tahun 1517, atas undangan dari Pa Bu Ta La, orang-
orang biadab dari Moa Lok Sa datang berdagang dengan orang-
orang Majapahit. Jin Bun dengan Tentara Demak untuk kedua
kalinya menyerang Majapahit. Karena istri Pa Bu Ta La adalah
adik bungsu dari Jin Bun sendiri, maka Pa Bu Ta La boleh tetap
menjadi bupati di Majapahit. Akan tetapi kota dan keraton
Majapahit habis dirampas oleh Tentara Demak, tanpa dilarang
oleh Jin Bun. Dalam usia 63 tahun, pada 1518, Jin Bun wafat,
dan digantikan oleh Yat Sun. Dia memerintah selaku Raja Islam
Demak selama tiga tahun ( 1518-1521).
Pada tahun 1521, dengan membawa meriam-meriam besar
bikinan Kin San serta kapal-kapal model Ta Cih, Yat Sun
menyerang Moa Lok Sa. Namun pada tahun itu juga Yat Sun
wafat. Maka terjadilah huru-hara succession di Demak. Pa Bu Ta
La di Majapahit mempergunakan kesempatan, selaku Raja
Majapahit mengadakan hubungan dengan Moa Lok Sa serta
dengan Kaisar Tiongkok. Yat Sun digantikan oleh Tung Ka Lo,
saudara laki-laki Yat Sun. Dia menjadi Raja Islam Demak pada
1521-1546. (Supposition : Tung Ka Lo adalah Sultan Trenggono).
11
Pada tahun 1527, Pa Bu Ta La wafat. Panglima Toh A Bo,
seorang putra dari Tung Ka Lo, dengan Tentara Demak
menduduki keraton Majapahit. Putra-putra dari Pa Bu Ta La
tidak mau masuk Islam, dan melarikan diri ke Pasuruan serta ke
Panarukan. (Supposition : Panglima Toh A Bo adalah Pangeran
Timur, putra dari Sultan Trenggono yang very mysteriously
hilang dari penulisan sejarah).
Pada tahun 1529, Kin San wafat dalam usia 74 tahun.
Jenazahnya diantarkan ke Demak, ikut serta seluruh penduduk
Semarang, baik yang Muslim maupun non-Muslim. Dia
digantikan oleh Muk Ming, seorang putra dari Tung Ka Lo (
1529-1546 ).
Pada tahun 1546, Tung Ka Lo dengan armada Demak
menyerang ke jurusan Timur, Tung Ka Lo wafat. Muk Ming naik
takhta di Demak. Tentara Ji Pang Kang merebut Demak. Ji Pang
Kang adalah juga seorang cucu dari Jin Bun. Pecah perang
saudara di Demak. Terkecuali klenteng dan masjid, seluruh kota
dan keraton Demak musnah. Tentara Muk Ming terdesak
mundur dan bertahan di galangan kapal di Semarang. Tentara Ji
Pang Kang mengepung. Terkecuali klenteng dan masjid, seluruh
Kota Semarang termasuk galangan kapal habis dibakar oleh
tentara Ji Pang Kang yang sangat biadab. Muk Ming wafat.
Orang-orang Tionghoa bukan Islam sangat banyak yang dibunuh.
Ja Tik Su menobatkan putra dari Muk Ming menjadi Sultan
Demak, dan ikut pula mati dibunuh. Tentara Ji Pang Kang
diserang pula oleh tentara Peng King Kang. Ji Pang Kang wafat,
Peng King Kang mendirikan Kerajaan Islam di pedalaman, jauh
dari laut, dan tidak membutuhkan kapal-kapal. (Supposition : Ji
Pang Kang adalah Ario Penangsang, yang ayahnya mati dibunuh
oleh Sunan Prawoto. Peng King Kang adalah Joko Tingkir
Adiwijoyo, putra dari Ki Ageng Kebo Kenongo, yang dihukum
mati oleh Sultan Trenggono ).
Habis sudah riwayat dari raja-raja Islam turunan
Tionghoa di Demak, yang sejak Jin Bun memerintah selama 71
tahun, selama tiga keturunan. Tanpa Kin San, tanpa Yat Sun,
12
tanpa Muk Ming, galangan kapal di Semarang tidak dibangun
kembali.
Sementara di bagian Barat Pulau Jawa, ceritanya dimulai
pada 1415. Laksamana Haji Kung Wu Ping, keturunan dari Kung
Hu Cu (Confusius), mendirikan menara mercusuar (lighthouse) di
atas bukit Gunung Jati. Dekat-dekat kesitu dibentuk pula
Komunitas Cina Muslim Hanafi, yakni di Sembung, Sarindil, dan
Talang; masing-masing lengkap dengan masjidnya. Kampung
Sarindil ditugaskan delivery of teak, untuk perbaikan kapal-kapal.
Kampung Talang ditugaskan maintenance pelabuhan. Dan
Kampung Sembung ditugaskan maintenance lighthouse. Bertiga
kampung-kampung Tionghoa Islam Hanafi itu, ditugaskan pula
harus supply bahan-bahan makanan untuk kapal-kapal
Tiongkok/Dinasti Ming. Di waktu itu, daerah Cirebon masih
kosong penduduk, akan tetapi sangat subur karena terletak di
kaki Gunung Ceremai.
Pada 1450-1475, sama saja seperti di pantai Utara Jawa
Timur dan Jawa Tengah, di daerah Cirebon pun Komunitas Cina
Muslim Hanafi sudah sangat merosot, karena putus hubungan
dengan main-land Tiongkok. Masjid di Sarindil sudah menjadi
pertapaan, karena masyarakat Tionghoa Islam Hanafi disitu
sudah tidak ada lagi, dan masjid di Talang sudah menjadi
klenteng. Sebaliknya, masyarakat Tionghoa Islam Hanafi di
Sembung sangat berkembang biak, dan sangat beriman teguh di
dalam Agama Islam. (Supposition : Di waktu itu perkembangan di
Sembung sama seperti di Bagansiapiapi, Patani, dan Sambas.
Yakni in splended isolation, masyarakat Tionghoa tetap beragama
Islam Hanafi, dan tetap menggunakan Bahasa Tionghoa untuk
mengerjakan ibadah fardu).
Pada 1526, armada serta tentara Islam dari Demak,
singgah di Pelabuhan Talang. Ikut serta seorang Tionghoa
peranakan yang Islam dan pandai Bahasa Tiongoa, bernama Kin
San. Panglima Tentara Demak (Syarif Hidayat Fatahillah) serta
Kin San, dari Talang pergi ke Sarindil dimana Haji Tan Eng
Hoat, Imam Sembung, sedang bertapa. Bersama Haji Tan Eng
13
Hoat, Tentara Islam Demak secara damai masuk di Sembung.
Atas nama Raja Islam di Demak, Panglima Tentara Demak
memberikan gelar kepada Haji Tan Eng Hoat/Imam Sembung,
bunyinya : ‘Mu La Na Fu Di Li Ha Na Fi’. Tentara Demak
kembali ke kapal-kapal dan berlayar ke Barat. Kin San selama
satu bulan mertamu pada Haji Tan Eng Hoat. (Supposition :
Sultan Trenggono memberikan gelar ‘Maulana Ifdil Hanafi’
kepada Haji Tan Eng Hoat. Dengan demikian Ja’far Shadiq yang
bergelar Sunan Kudus mengijinkan Haji Tan Eng Hoat c.s. di
daerah Cirebon tetap beragama Islam Mazhab Hanafi dengan
terus menggunakan Bahasa Tionghoa didalam fardu. Tidak
dipaksakan harus switch ke Agama Islam Mazhab Syafii, dimana
fardu harus didalam Bahasa Arab. Pandai Sunan Kudus !).
Pada 1552, Panglima Tentara Demak, setelah seperempat
abad, datang lagi di Sembung seorang sendiri tanpa tentara. Haji
Tan Eng Hoat sangat heran. Katanya, Panglima Tentara Demak
itu sudah bekas Raja Islam di Banten. Dia sangat kecewa
mendengar pembunuhan-pembunuhan di kalangan para
keturunan Jin Bun di Demak. Dia tidak pula mau tunduk kepada
Sultan Pajang karena di Kesultanan Pajang, Agama Islam
Mazhab Syiah sangat berpengaruh. Bekas Panglima Tentara
Demak, katanya, seterusnya seumur hidup hendak bertapa di
Sarindil.
Haji Tan Eng Hoat menceritakan bahwa masyarakat
Tionghoa Islam di Sembung pun sudah sejak empat generations
putus hubungan dengan Yunnan yang Islam. Sebaliknya, orang-
orang Tionghoa keturunan Hokkian yang bukan Islam sudah
sangat kuat di daerah Cirebon. Haji Tan Eng Hoat sendiri adalah
keturunan orang-orang Hokkian yang Cuma sangat sedikit mau
masuk Islam. Haji Tan Eng Hoat meminta kepada bekas
Panglima Demak supaya membimbing masyarakat Islam
Tionghoa di Sembung, mendirikan sesuatu kesultanan seperti Jin
Bun dahulu di Demak. Tidak ada jalan lain, untuk menjamin
bahwa masyarakat Tionghoa di Sembung tetap tinggal Islam,
walaupun Bahasa Tionghoa dan Mazhab Hanafi terpaksa
14
dilepaskan seperti di Demak. Walaupun dia sudah tua, akan
tetapi, bekas Panglima Tentara Demak oke.
Pada 1552-1570, dengan backing dari masyarakat
Tionghoa Islam di Sembung, bekas Panglima Tentara Demak
mendirikan Kesultanan Cirebon, berpusat di tempat keraton
Kasepuhan yang sekarang. Sembung ditinggalkan, dan menjadi
pekuburan Islam. Penduduk Sembung boyong sadesa, dan dengan
nama-nama Islam serta nama-nama Indonesia asli, settled di new
emerging Kota Cirebon. Sultan Cirebon yang pertama tentulah
bekas Panglima Tentara Demak sendiri. Dia segera membentuk
Tentara Islam dari bekas penduduk Sembung. Orang-orang
Tionghoa yang bukan Islam terpaksa tunduk kepada Tentara
Tionghoa Islam Cirebon bentukan baru itu.
Pada 1553, supaya ada first lady di new emerging
Kesultanan Cirebon, maka Sultan Cirebon Yang Pertama (yang
sudah lanjut usianya) menikah dengan seorang putri dari Haji
Tan Eng Hoat alias Maulana Ifdil Hanafi. Dari Sembung ke
keraton Cirebon, ‘Putri Cina’ itu diberangkatkan dengan upacara
kebesaran. Seolah-olah dari istana-istana Kaisar Tiongkok
/Dinasti Ming di zaman Laksamana Haji Sam Po Bo, dikawal oleh
her young cousin Tan Sam Cai. Itu dia ! Sam Cai, The Wanted
Person didalam penyelidikan Residen Poortman. Catatan :
Didalam hal make-believe memberangkatkan seorang pengantin
wanita, orang-orang Batak jauh lebih parah lagi daripada
siapapun di Indonesia. Dari rumah ke rumah di Menteng Pulo,
katanya, dari sesuatu kerajaan di Mandailing ke sesuatu kerajaan
di Sipirok, Horas Horas Horas. Semua orang very happy
menunggukan rendang daging kerbau yang jauh lebih enak
daripada rendang daging sapi.
Pada 1553-1564, Haji Tan Eng Hoat alias Maulana Ifdil
Hanafi dengan gelar Pangeran Adipati Wirasenjaya, menjadi Vice-
Roy bawahan Kesultanan Cirebon, de-jure berkuasa sampai ke
Samudera India, de-facto berkedudukan nearby di Kadipaten. Dari
situ, dia sangat besar berjasa mengembangkan Agama Islam
Mazhab Syafii didalam Bahasa Sunda di pedalaman Priangan
15
Timur sampai ke Garut. Pada 1564, Haji Tan Eng Hoat wafat
didalam military expedition merebut Kerajaan Galuh yang
beragama Hindu. Jenazah dari Haji Tan Eng Hoat dikuburkan di
daerah Galuh, di atas sesuatu pulau, didalam sesuatu danau.
Catatan : Nama dari danau itu tidak disebutkan didalam Annals
Klenteng Talang. Oleh Residen Poortman diduga salah satu
danau-danau kecil yang jumlahnya sangat banyak di daerah
Garut dan Ciamis. Residen Poortman tidak sempat
menyelidikinya karena dia sedang kalah bertengkar dengan
Residen Gobee perihal putra-putra dari Singa-mangaradja XII,
Pahlawan Nasional Indonesia.
Pada 1569-1585, Tan Sam Cai yang tidak pernah suka
memakai namanya Muhammad Syafii, dengan gelar Tumenggung
Aria Dipa Wiracula, menjadi Menteri Keuangan Kesultanan
Cirebon. Tan Sam Cai telah murtad ! Dia sangat setia
mengunjungi Klenteng Talang dan membakar hiu. Walaupun
demikian, Tan Sam Cai sangat besar berjasa financially
memperkuat Kesultanan Cirebon, sehingga dia tetap maintained.
Lagipula, Tan Sam Cai, seperti Sultan Turki, mendirikan harem,
tempat simpanan ratusan ‘gula-gula kaki dua’, yakni Istana
Sunyaragi.
Pada 1570, Sultan Cirebon Yang Pertama wafat, dan
digantikan oleh putranya yang dilahirkan oleh Putri Cina. Karena
Sultan Cirebon Yang Kedua masih muda/remaja, maka Tan Sam
Cai de-facto menguasai Kesultanan Cirebon. Yang berani
menentang powerful Tan Sam Cai hanyalah Haji Kung Sem Pak
alias Muhammad Murjani, yakni seorang keturunan dari
Laksamana Haji Kung Fu Ping, yang menjadi Pakuncen (penjaga
kuburan Sultan) bertempat tinggal di Sembung.
Pada 1585, Tan Sam Cai wafat, termakan racun di harem
Sunyaragi. Jenazahnya ditolak oleh Haji Kung Sem Pak dari
pekuburan pembesar-pembesar Kesultanan Cirebon di Sembung.
Didalam hujan lebat, terpaksa kembali ke Cirebon. Atas
permintaan istrinya, Nurleila binti Abdullah Nazip Loa Sek Cong,
maka jenazah dari Tan Sam Cai secara Islam dimakamkan di
16
pekarangan rumahnya sendiri. Walaupun dia dikuburkan secara
Islam, akan tetapi, atas permintaan penduduk Tionghoa yang
bukan Islam, di Klenteng Talang diadakan pula Upacara Naik
Arwah untuk mendiang Tan Sam Cai. Namanya dituliskan
dengan Tulisan Tionghoa di atas kertas merah supaya disimpan
di Klenteng Talang untuk disimpan selama-lamanya. Tan Sam
Cai menjadi Demi God dengan nama Sam Cai Kong; menjadi saint
yang mengabulkan doa-doa jika dia cukup dipuja dengan bakar-
bakar hiu.
BAGIAN KEDUA
DEWAN DAKWAH WALISONGO
Mengapa harus menggunakan istilah Walisongo ? Perkataan Wali
dalam Bahasa Arab bisa berarti orang yang mencintai atau orang
yang dicintai. Wali dalam konteks ini sebenarnya kependekan
dari Waliyullah artinya orang yang mencintai dan dicintai Allah .
Ada pula yang mengartikan Wali dengan kedekatan. Sehingga
Waliyullah berarti pula orang yang kedudukannya dekat dengan
Allah. Sanga adalah Bahasa Jawa yang berarti Sembilan. Tetapi
ada pendapat bahwa kata Sanga merupakan kerancuan dari
pengucapan kata Sana yang dalam Bahasa Jawa berhubungan
dengan tempat tertentu. Untuk yang pertama, Walisongo berarti
Wali yang jumlahnya sembilan orang. Dan yang kedua, Walisongo
(Walisana), berarti Wali bagi suatu tempat tertentu. Kata Sana
sendiri ada yang menduga berasal dari Bahasa Arab Tsana yang
berarti terpuji. Sehingga Walisongo berarti Wali yang terpuji.
Dalam buku Mengislamkan Tanah Jawa karangan Widji
Saksono (1995:22-23), Penyunting telah memberikan catatan kaki
tentang istilah Walisongo yang bersumber pada Asnan Wahyudi
dan Abu Khalid MA, dalam Kisah Walisongo Para Penyebar
Agama Islam di Tanah Jawa. Disebutkan bahwa Walisongo
merupakan nama suatu lembaga bagi Dewan Dakwah, dan kata
sembilan diidentifikasikan dengan sembilan fungsi koordinatif
dalam lembaga dakwah itu. Dan Lembaga Dakwah Walisongo
paling tidak telah mengalami empat kali periode sidang
pergantian pengurus. Pendapat ini, menurut Penyunting buku
tersebut, selaras dengan gagasan Widji Saksono. Pada bahasan
17
18
tentang Alat dan Fasilitas Dakwah ia mencoba membuktikan
bahwa Walisongo (kecuali Syeh Siti Jenar) merupakan kesatuan
dan memenuhi kualifikasi keorganisasian yang utuh.
Walisongo periode pertama (tahun 1404) beranggotakan :
1. Maulana Malik Ibrahim, seorang ahli mengatur negara,
yang berasal dari Turki. Ia berdakwah di Gresik, Jawa Timur,
dan meninggal pada tahun 1419.
2. Maulana Ishak, seorang ahli pengobatan, yang berasal dari
Samarkand. Ia berdakwah di wilayah Blambangan, Jawa Timur,
tapi kemudian pindah ke Pasai, dan meninggal di sana.
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubra, seorang juru dakwah
keliling, yang berasal dari Mesir. Ia meninggal dan makamnya
ada di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, seorang juru dakwah
keliling, yang berasal dari Maghrib (Maroko). Ia meninggal pada
tahun 1465 di Klaten, Jawa Tengah.
5. Maulana Malik Isra’il, seorang ahli mengatur negara, yang
berasal dari Turki. Ia meninggal pada 1435 dan dimakamkan di
Cilegon, Banten.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, seorang ahli pengobatan,
yang berasal dari Persia (Iran). Ia meninggal tahun 1435 dan
dimakamkan di Gunung Satri.
7. Maulana Hasanuddin, seorang juru dakwah keliling, yang
berasal dari Palestina. Ia meninggal tahun 1462 dan dimakamkan
di samping masjid Banten lama.
8. Maulana Aliyuddin, seorang juru dakwah keliling, yang
berasal dari Palestina. Ia meninggal tahun 1462 dan dimakamkan
di samping masjid Banten lama.
9. Syeh Subakir, seorang yang menumbali tanah angker yang
dihuni jin-jin jahat. Ia berasal dari Persia. Setelah berhasil
menumbali banyak tanah di Jawa, ia pulang kembali ke Persia
dan meninggal di sana pada tahun 1462.
19
Walisongo periode kedua (tahun 1421) beranggotakan :
1. Raden Rahmat Ali Rahmatullah, berasal dari Campa, yang
datang ke Jawa tahun 1421, menggantikan Maulana Malik
Ibrahim, yang meninggal tahun 1919. Ia berdakwah di wilayah
Ampel Denta, Surabaya, Jawa Timur, hingga meninggalnya,
sehingga dikenal sebagai Sunan Ampel.
2. Maulana Ishak.
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubra.
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi.
5. Maulana Malik Isra’il.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar.
7. Maulana Hasanuddin.
8. Maulana Aliyuddin.
9. Syeh Subakir.
Walisongo periode ketiga (tahun 1436) beranggotakan :
1. Sayyid Ja’far Shadiq, berasal dari Palestina, yang datang ke
Jawa tahun 1436, menggantikan Maulana Malik Isra’il, yang
meninggal tahun 1435. Ia tinggal di Kudus hingga meninggalnya,
sehingga dikenal sebagai Sunan Kudus.
2. Syarif Hidayatullah atau dikenal dengan Sunan Gunung
Jati, berasal dari Palestina, yang datang ke Jawa pada tahun
1436, menggantikan Maulana Muhammad Ali Akbar, yang
meninggal tahun 1435.
3. Raden Rahmat Ali Rahmatullah.
4. Maulana Ishak.
5. Maulana Ahmad Jumadil Kubra.
6. Maulana Muhammad Al-Maghrabi.
7. Maulana Hasanuddin.
8. Maulana Aliyuddin.
9. Syeh Subakir.
Walisongo periode keempat (tahun 1463) beranggotakan :
1. Syeh Maulana A’inul Yaqin atau dikenal dengan Raden
Paku, putra Maulana Ishak, menggantikan bapaknya yang telah
20
pergi ke Pasai. Raden Paku tinggal dan meninggal di bukit Giri,
Gresik, Jawa Timur, sehingga dikenal dengan Sunan Giri.
2. Raden Syahid atau dikenal dengan Sunan Kalijaga, berasal
dari Tuban, Jawa Timur, menggantikan Syeh Subakir yang telah
kembali ke Persia.
3. Raden Makdum Ibrahim atau dikenal dengan Sunan
Bonang. Raden Makdum Ibrahim adalah putra dari Raden
Rahmat Ali Rahmatullah, menggantikan Maulana Hasanuddin
yang meninggal tahun 1462.
4. Raden Qasim atau dikenal dengan Sunan Drajat, putra dari
Raden Rahmat Ali Rahmatullah, menggantikan Maulana
Aliyuddin yang meninggal tahun 1462.
5. Raden Rahmat Ali Rahmatullah.
6. Sayyid Ja’far Shadiq.
7. Syarif Hidayatullah.
8. Maulana Ahmad Jumadil Kubra.
9. Maulana Muhammad Al-Maghrabi.
Walisongo periode kelima (tahun 1466) beranggotakan :
1. Raden Hasan atau dikenal dengan Raden Patah, raja pertama
di kerajaan Islam Demak, seorang murid dari Raden Rahmat Ali
Rahmatullah. Raden Hasan menggantikan Maulana Ahmad
Jumadil Kubra yang telah meninggal.
2. Fathullah Khan, putra Syarif Hidayatullah, menggantikan
bapaknya yang telah meninggal.
3. Syeh Maulana A’inul Yaqin.
4. Raden Syahid.
5. Raden Makdum Ibrahim.
6. Raden Qasim.
7. Raden Rahmat Ali Rahmatullah.
8. Sayyid Ja’far Shadiq.
9. Maulana Muhammad Al-Maghrabi.
Walisongo periode keenam (tahun 1478) beranggotakan :
1. Raden Umar Said, putra Raden Syahid, menggantikan Raden
Hasan yang menjadi raja/sultan di Demak. Raden Umar Said
21
berdakwah di lereng gunung Muria, sehinga ia dikenal dengan
Sunan Muria.
2. Fathullah Khan.
3. Syeh Maulana A’inul Yaqin.
4. Raden Syahid.
5. Raden Makdum Ibrahim.
6. Raden Qasim.
7. Raden Rahmat Ali Rahmatullah.
8. Sayyid Ja’far Shadiq.
9. Maulana Muhammad Al-Maghrabi.
Tokoh-tokoh Walisongo yang dikenal luas oleh masyarakat
Jawa, yaitu : Maulana Malik Ibrahim (dimakamkan di Gresik),
Raden Rahmat Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) (dimakamkan di
Ampel, Surabaya), Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)
(dimakamkan di Tuban), Raden A’inul Yaqin (Sunan Giri)
(dimakamkan di Gresik), Raden Qasim (Sunan Drajat)
(dimakamkan di Lamongan), Raden Syahid (Sunan Kalijaga)
(dimakamkan di Kadilangu, Demak), Raden Umar Said (Sunan
Muria) (dimakamkan di Colo, Kudus), Sayyid Ja'far Shadiq
(Sunan Kudus) (dimakamkan di Kudus), dan Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati) (dimakamkan di Cirebon).
Istilah Walisongo lebih hidup dan dihidupkan oleh
kalangan keraton (Kerajaan Mataram Islam) terutama oleh para
pujangga keraton, bertujuan agar masyarakat (baca rakyat) lebih
peduli kepada keberadaan penguasa, dalam hal ini seorang raja.
Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat lebih percaya pada
mubaligh-mubaligh Islam yang punya kekuatan ghaib (menurut
mereka berdasarkan cerita-cerita yang turun temurun) dibanding
rajanya, sehingga sangat mengkhawatirkan pihak keraton. Segala
upaya dilakukan agar masyarakat kembali berorientasi kepada
pusat istana, diantaranya menyuruh para pujangga keraton
untuk menulis tentang ‘sejarah’ Walisongo. Keraton tidak hanya
sebagai pusat politik, sosio-kultural, tapi juga sebagai pusat
kekeramatan kerajaan. Di zaman sebelum Islam raja dipandang
sebagai penjelmaan dewa. Dan raja-raja biasa digambarkan
22
sebagai Dewa Wisnu, Siwa , dan Brahma dalam bentuk patung
bila mereka telah meninggal.
Menurut Koentjaraningrat, pada abad 19, para Raja
Mataram dalam usahanya menyatukan kembali alur kanan
(silsilah Raja Mataram yang dihubungkan dengan para wali; raja
sebagai keturunan wali) dan alur kiri (silsilah Raja Mataram yang
dihubungkan dengan para dewa ; raja sebagai keturunan para
dewa) telah memerintahkan para pujangga keraton menulis
riwayat hidup para wali. Arti Sanga mengacu pada konsep Hindu
Budha, yaitu delapan dewa yang menjaga kedelapan sudut alam
semesta dengan satu lagi berada di pusatnya (Koentjaraningrat,
1984:326).
Raja-raja Jawa sangat perlu memelihara dan memupuk
para pujangga dalam keraton, yaitu orang-orang ahli pikir, filosof,
penyair yang diberi tugas menggali perbendaharaan lama dalam
alam fikiran dan budi, termasuk juga dongeng dan mitos untuk
memupuk kewibawaan raja, menyuburkan rasa taat dan setia
rakyat kepada rajanya. Salah seorang pujangga keraton yang
terkenal ialah Raden Ngabehi Ronggowarsito (1803-1875), cucu
seorang yang juga pujangga keraton bernama Yosodipura II. Oleh
Hamka, dia digelari Bapak Kebatinan (Hamka,1971:37). Dia telah
menulis salah satu buku berjudul Serat Wali Sanga pada awal
abad 19.
Apabila dikaji lebih jauh, keyakinan terhadap Wali yang
jumlahnya sembilan dengan segala kesucian dan kekeramatannya
muncul beberapa abad setelah zaman Kuwalen. Hal ini terjadi
karena latar belakang ‘anutan’ masyarakat terutama di tanah
Jawa mengalami perkembangan kearah sinkritisme. Dari zaman
nenek moyang telah menganut faham Animisme dan Dinamisme
yang sangat merasuk kedalam jiwa. Kemudian datang faham
Hindu (dan Budha) yang menurut mereka bisa diterima sebagai
perkembangan faham yang lama. Dan selanjutnya adalah faham
Islam. Faham inipun diterima dengan tangan terbuka karena
memang tidak terlalu merusak tatanan yang sudah mereka anut
sebelumnya. Sehingga tidak aneh jika ada orang yang mengaku
23
menganut Agama Islam, namun masih melakukan hal-hal yang
berhubungan dengan faham sebelumnya dalam kehidupan sehari
hari, terutama dalam hal-hal yang dianggap sakral. Dengan
demikian pergantian agama tidaklah banyak berkesan. Lantaran
itu tidaklah terlalu berlebihan bila ada anggapan bahwa
kepercayaan kepada kesaktian Walisongo lebih bersifat mendewa-
dewakan daripada sebagai ulama-ulama penyebar agama Islam.
Ketika Islam datang dan mulai berkembang hingga mempunyai
pengaruh yang cukup besar dikalangan masyarakat (abad 15 – 17)
telah berusaha menyingkirkan jauh-jauh faham raja-dewa,
namun kenyataannya faham itu tetap bertahan sampai sekarang.
Periodisasi keberadaan Walisongo dan kegiatan
dakwahnya di tanah Jawa sebagaimana diuraikan sebelumnya
bersumber pada kitab Kanzul ‘Ulum karya Ibnu Batutah.
Diceritakan bahwa Sultan Muhammad I dari Kesultanan Turki,
yang memerintah tahun 1394-1421, membentuk tim yang
berisikan sembilan tenaga ahli untuk dikirim ke tanah Jawa.
Mereka diberangkat ke tanah Jawa pada tahun 1404, yang
diketuai oleh Maulana Malik Ibrahim. (Simon, 2004; Wahyudi, tt).
Dari perspektif ini terlihat jelas adanya ketidaksamaan cerita
para Walisongo dengan cerita tentang para wali Islam di Jawa
dalam buku “Tuanku Rao” yang ditulis oleh Mangaradja Onggang
Parlindungan, khususnya yang berkaitan dengan nama dan asal-
usul para wali tersebut.
Umar Hasyim dalam buku Sunan Kalijaga (tanpa tahun)
ikut menanggapi polemik tentang nama dan asal usul para wali,
penyebar agama Islam di Jawa, yang oleh Parlindungan
diceritakan bahwa mereka kebanyakan adalah Tionghoa.
Ceritanya berawal dari Residen Poortman yang saat itu
sebagai pejabat penasehat urusan pemerintahan dalam negeri di
Batavia. Pada tahun 1928, Poortman ditugasi oleh Pemerintah
Hindia Belanda untuk mencari-tahu apakah Raden Patah yang di
kalangan orang-orang pribumi dikenal sebagai Pangeran Jin Bun
itu adalah seorang Tionghoa ? Pada tahun itu juga, Poortman
melakukan penggeledahan pada klenteng Sam Po Kong di
24
Gedung Batu, Semarang, dan berhasil mengangkut dokumen-
dokumen bertuliskan huruf Tionghoa sebanyak tiga cikar
(kendaraan yang ditarik oleh binatang sapi). Tidak hanya
berhenti di situ, Poortman melanjutkan penggeledahan pada
klenteng Sam Tjai Kong di Talang, Cirebon. Dari sumber-sumber
inilah, Poortman membuat kesimpulan bahwa tidak sedikit
tokoh-tokoh kenegaraan Demak dan para wali serta penyiar
agama Islam di Jawa adalah orang-orang Tionghoa. Residen
Poortman tidak menghendaki hasil-hasil penyelidikannya
dipublikasikan. Tetapi anehnya, dokumen yang katanya dicetak
terbatas jumlahnya itu, dan disimpan di ruang arsip istana
Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, ternyata tidak ada.
Dengan demikian maka hipotesa yang mengatakan bahwa tokoh-
tokoh kerajaan Islam Demak beserta para Walisongo itu
dikatakan sebagai orang-orang Tionghoa atau Tionghoa
peranakan, adalah diragukan kebenarannya.
Dalam proses penyebaran Islam di Jawa rupanya di antara
anggota Wali Songo muncul dua kubu, yakni kubu yang
menerapkan metode pendekatan non kompromis dan kubu yang
menerapkan metode pendekatan kompromis. Pada awalnya,
dipelopori Maulana Malik Ibrahim, kemudian Sunan Ampel dan
diteruskan Sunan Giri, metode yang diterapkan adalah non
kompromis, artinya bahwa ajaran Islam yang didakwahkan
kepada masyarakat Jawa benar-benar sesuai dengan ajaran Islam
yang telah didakwahkan Nabi Muhammad SAW kepada
masyarakat Arab. Kemudian, sejak Sunan Kalijogo tampil sebagai
tokoh menentukan, metode yang digunakan adalah kompromis.
Warna Islam yang diajarkan Sunan Kalijogo lebih banyak berbau
sinkretisme.
Sumber untuk telaah ajaran Wali Songo yang dianggap
sebagai dokumen asli ada dua, yakni pertama Het Book van
Mbonang, yang berisi wejangan Sunan Bonang, dan kedua Kropak
Ferrara, yang merekam sarasehan Wali Songo di Giri Kedaton
Gresik. Naskah asli sumber pertama tersimpan di museum
25
Leiden, Belanda, sementara naskah asli sumber kedua tersimpan
di perpustakaan umum Ariostea di Ferrara, Italia.
Dalam Het Book van Mbonang, inti ajaran Sunan Bonang
adalah perlunya setia dengan syari'at, ibadah harus bebas dari
bid'ah, meningkatkan iman dan taqwa melalui thoriqot sesuai
dengan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, dan berbuat
baik sesama manusia.
Sementara dalam Kropak Ferrara, ditekankan pentingnya
untuk meninggalkan tradisi menyembah berhala, membuat sesaji
dan sebagainya. Kropak Ferrara juga mengingatkan kepada para
mu'alaf untuk tidak jatuh kembali ke dalam kepercayaan lama,
menghindari bid,ah, harus mantap, teguh dan tenang jiwanya,
jangan kacau dengan godaan iblis dan setan. Perbuatan yang
harus dilaksanakan orang Islam adalah menunaikan rukun Islam
(bersyahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji) secara benar dan
sungguh-sungguh. Orang Islam dilarang berdagang alat-alat
musik karena itu hukumnya haram. Orang Islam dianjurkan
untuk berderma, sedekah, perang sabil, mandi jinabat, membaca
Al-Qur'an, menjauhi perbuatan mesum, pergi ke mesjid dan
berkumpul dengan orang banyak untuk melaksanakan shalat
Jum'at.
Selain itu, dalam Kropak Ferrara juga dijelaskan tentang
shalat, rukun gerak dan arti kata-kata yang diucapkan, mulai dari
takbiratul ikram sampai salam. Juga dijelaskan makna filosofis
empat gerak utama, yaitu berdiri, ruku, sujud dan duduk
attakhiyat. Berdiri adalah lambang api yang bersifat qohar (maha
mandiri), ruku lambang angin yang bersifat jalal (maha kuasa),
sujud merupakan lambang air yang bersifat jamal (maha indah),
dan duduk adalah lambang bumi yang bersifat kamal (maha
sempurna). Amalan yang harus dilaksanakan, yakni memperbaiki
niat, tidak serakah, tidak membunuh orang tanpa dasar hukum
agama, tidak membunuh (sebagai balasan) dengan kelewat batas,
tidak memancing amarah sesama muslim. Juga dianjurkan untuk
berbuat baik terhadap sesama muslim, saling menolong dalam
kesusahan bersama, berbakti kepada ayah dan bunda, berbakti
26
kepada guru, berbakti dan mau datang kepada ulama, penulisng
kepada anak yatim, membaca istighfar waktu menghadapi
kesusahan, dan mau membantu tetangga. Perbuatan yang harus
dihindari adalah makan barang haram, minum minuman keras,
berjudi, merampas hak orang lain, menyakiti orang lain, menipu,
menghasut, dan mengingkari janji.
Untuk hakekat iman dan ilmu pengetahuan, rujukan
Kropak Ferrara adalah kitab Ihya' Ulumuddin karangan Al-
Ghazali. Dalam masalah iman dan ilmu pengetahuan, Wali Songo
menerangkan bahwa setelah hati terbuka kepada Allah SWT,
maka dalam penghayatan iman, seorang muslim akan mendapat
petunjuk sinar Al-Qur'an. Juga ditekankan bahwa seorang
muslim yang beramal tanpa disertai ilmu, maka ia tidak akan
menemui kebahagiaan, dan seluruh perbuatannya akan rusak.
Dalam sarasehan di Giri Kedaton sempat terekam pula
adanya perdebatan pembahasan tentang ma'rifat. Hal ini dipicu
oleh pandangan Syeh Siti Jenar. Sebenarnya tokoh ini sangat
kontroversial tetapi banyak menghiasi tulisan-tulisan yang
berkenaan dengan penyebaran Islam awal di tanah Jawa.
Sebagian ahli memasukkan tokoh ini ke dalam keanggotaan Wali
Songo. Dalam sarasehan di Giri Kedaton, ia mengatakan : 'Aku
inilah Tuhan. Mana yang lain; memang tidak ada lagi selain aku
ini.' (Simon, 2008:96-118; Saksono, 1995:154-180). Karena
pandangan-pandangannya yang ekstrim dan berbeda dengan para
Wali Songo lainnya, akhirnya tokoh ini dihukum mati.
Setelah peran Sunan Giri dan Sunan Bonang tidak lagi
menonjol, kemudian tampillah Sunan Kalijogo. Sunan kalijogo
menerapakn pendekatan yang memadukan tasauf mistik dengan
fikih syara'. Alasannya, kalau langsung belajar tasauf tidak
didasari dengan fikih, kemungkinan seseorang akan menjadi
zindiq karena mendekati Allah SWT dengan meninggalkan
syari'at. Sebaliknya, mempelajari syari'at tanpa tasauf, otak
hanya dipenuhi dengan kajian halal-haram, sedangkan jiwa tetap
kosong dan kasar. Dan ternyata, pendekatan inilah yang menjadi
kunci keberhasilan para wali generasi awal dalam meningkatkan
27
jumlah pemeluk Islam di Jawa. Ajaran Wali Songo paska Sunan
Giri dan Sunan Bonang, cenderung menjauhi kemurnian ajaran
Islam, dan lebih bersifat kompromistis dengan nilai agama-agama
terdahulu.
Tidak seperti Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel,
Sunan Giri dan Sunan Bonang, dalam berdakwah. Sunan Kalijogo
tidak membangun sebuah perguruan di tempat tinggalnya. Sunan
Kalijogo adalah seorang darwis yang selalu mengembara ke
segala penjuru tanah Jawa. Sehingga tidak mengherankan nama
Sunan Kalijogo lebih terkenal dibanding dengan wali yang lain.
Sunan Kalijogo adalah pimpinan golongan abangan, yaitu
orang Islam yang tidak meragukan pernyataan bahwa tidak ada
ilah yang harus diibadahi selain melaksanakan syari'at secara
murni. Sementara wali yang dianggap mewakili golongan
putihan, artinya mereka yang tetap setia melaksanakan syari'at
secara murni, yakni Sunan Ampel dan Sunan Giri. Golongan
putihan dalam mendakwahkan Islam tidak perlu menggunakan
kesenian, sementara golongan abangan mengoptimalkan
kesenian. Golongan abangan menggunakan sarana tembang-
tembang dan wayang untuk menarik masyarakat Jawa supaya
masuk ke dalam agama Islam.
Penganut golongan abangan beranggapan bahwa Sunan
Kalijogo menempuh strategi kompromi untuk meniadakan sikap
apriori orang Jawa yang masih terikat kuat dengan agama Hindu,
Budha atau Animisme. Sunan Kalijogo ingin membuat agar orang
yang masih beragama lama itu mau mendekat, mau bergaul
dengan para wali, dan setelah itu sedikit demi sedikit ajaran
Islam disampaikan. Sementara penganut golongan putihan
beranggapan bahwa akibat sikap yang kompromistis itu maka
Islam di Jawa sampai sekarang masih tercampur dengan nilai-
nilai lama. Misalnya kegiatan acara kenduri yang menampilkan
tumpeng dalam bentuk kerucut. Juga tradisi peringatan kematian
seseorang setelah 3, 7, 40, 100, dan 1000 hari. Kegiatan
membakar kemenyan setiap malam Jum'at ada yang merubahnya
dengan kegiatan membaca Surat Yasin dengan persyaratan dan
28
aturan tertentu yang juga tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad
SAW.
Terbelahnya umat Islam Jawa khususnya dan Indonesia
pada umumnya menjadi dua golongan : mereka yang menganut
Islam murni dan mereka yang menganut Islam kompromistis,
telah membuat upaya untuk mempersatukan ummat Islam
menjadi sangat berat. Bahkan sampai sekarang pertikaian antara
dua golongan itu masih sering muncul ke permukaan. Barang kali
Sunan Kalijogo sangat berharap suatu saat pemurnian umat
Islam di Jawa bisa terwujud oleh dakwah-dakwah Islam
selanjutnya, tetapi harapan itu tinggal harapan. Hal ini salah
satunya disebabkan oleh kehadiran Kolonialisme Belanda di
Indonesia. Dan baru pada tahun 1912, dimotori oleh K.H. Ahmad
Dahlan melalui gerakan Muhammadiyah, upaya pemurnian
agama Islam di kalangan pemeluknya di Jawa mulai
dilaksanakan. Namun hingga sekarang usaha-usaha pemurnian
agama Islam itu masih menghadapi batu karang yang amat kuat.
Tahayul, bid'ah dan khurafat masih merajalela di kalangan umat
Islam di Jawa.
Pada akhirnya, adanya berbagai polemik tentang
Walisongo menunjukkan betapa pentingnya keberadaan
mubaligh-mubaligh Islam itu pada awal penyebaran Islam di
tanah Jawa, terutama bagi masyarakat Jawa.
BAGIAN KETIGA
SUNAN AMPEL SANG ARSITEK
Salah seorang mubaligh Islam yang populer dan paling
berpengaruh di antara para wali di tanah Jawa - dicatat dalam
banyak hikayat orang saleh - ialah Raden Rahmat dari Ampel
Denta, sebuah kampung di Kota Surabaya, tempat dimana
“Islamic Center” miliknya berada. Menurut beberapa sumber,
Raden Rahmat yang lebih dikenal Sunan Ampel, berasal dari
Campa (Kamboja); diperkirakan lahir pada tahun 1401, putra
seorang penguasa di Campa (Salam, 1960:30).
Dalam rangka pengembangan dakwah Islam dan sekaligus
menemui bibinya, yang menjadi istri dari seorang pembesar di
Jawa, Raden Rahmat pergi meninggalkan tanah airnya menuju
tanah Jawa bersama saudaranya, Raden Santri dan sepupunya,
Raden Burereh. Mereka sempat mampir di Palembang sebelum
sampai di Tuban, Jawa Timur. Agus Sunyoto dalam Sunan
Ampel, membenarkan tahun-tahun kedatangan mereka yang
ditunjuk oleh Tome Pires dan De Hollander. Tomes Pires
menduga bahwa kehadiran Raden Rahmat di Jawa sekitar tahun
1443, sedangkan De Hollander menunjuk tahun 1440 adalah saat
Raden Rahmat singgah di Palembang, Sumatra Selatan (Sunyoto,
tt, hal. 40). Setibanya di Jawa, Raden Rahmat diangkat oleh Pecat
Tandha di Terung, yang bernama Aria Sena, sebagai imam di
Surabaya; dan Raden Santri diangkat menjadi imam di masjid
yang terletak di tanah milik Tandes, seorang tua di Gresik (de
Graaf, 1985:20).
29
30
Mengenai putri Campa, bibi Raden Rahmat, yang menjadi
istri pembesar di Jawa, de Graaf memberikan hipotesa sebagai
berikut : seorang Raja Majapahit, atau seorang anggota raja,
menjelang pertengahan abad 15 telah membawa gadis Islam dari
keluarga baik-baik yang berasal dari Campa ke istananya. Hal ini
dimungkinkan sebab sejak dahulu kala Majapahit selalu
mempunyai hubungan dengan Campa. Wanita Islam itu
meninggal pada tahun 1448 dan dimakamkan secara Islam (di
kompleks makam Trowulan) (de Graaf, 1985:23). Tetapi
kesaksian-kesaksian terakhir epigrafi Cam yang masih
seluruhnya bersifat Hindu jelas tidak mendukung hipotesa ini.
Menurut George Coedes, sesungguhnya tidak ada satupun bukti
yang tegas bahwa Islam telah masuk Campa sebelum bangsa Cam
diusir dari Vijaya pada tahun 1471 (dalam Francaise, 1981:60).
Belum lama berselang sebuah artikel yang berdasarkan dokumen
lengkap berusaha membuktikan bahwa ‘pengislaman’ pembesar-
pembesar negeri Campa baru terjadi pada abad 17 (Lombard
dalam Francaise, 1981:290).
Slametmuljana dalam A Story of Majapahit (1976),
memaparkan kiprah orang-orang Cina di tanah Jawa, termasuk
kegiatan penyebaran Islam di Jawa. Buku itu sebagian besar
sumbernya memakai Catatan Tahunan Melayu (Kronik Cina
Semarang dan Kronik Cina Talang) dan merujuk pada tulisan
Mangaradja Onggang Parlindungan yang berjudul Tuanku Rao.
H.J. de Graaf menganggap bahwa tulisan Slametmuljana tersebut
tidak memiliki dasar yang kuat. Sebab buku yang dijadikan
rujukan, yaitu Tuanku Rao karangan Parlindungan, menurut
pengarangnya sendiri, mengutip data dari laporan Residen
Poortman yang pada tahun 1928 mengaku telah merampas tiga
cikar penuh kronik Cina dari Klenteng Sam Po Kong (Sam Po Bo
- Cheng Ho) di Gedung Batu, Simongan, Semarang; padahal
banyak pihak yang meragukan keberadaan kronik-kronik Cina
tersebut (de Graaf, 1998: xxi-xxxii; lihat pula Hasyim, Sunan
Kalijaga, tt, hal. 4-6; Hamka, Antara Fakta dan Khayal Tuanku
Rao, 1974).
31
Menurut Catatan Tahunan Melayu : Teks Parlindungan,
nama asli Sunan Ampel ialah Bong Swi Hoo, cucu dari Haji Bong
Ta Keng yang diberi kuasa atas Campa (Vietnam) oleh Haji Sam
Po Bo (Cheng Ho). Haji Muhammad Cheng Ho adalah seorang
admiral Kekaisaran Tiongkok. Menurut Komentar H.J. de Graaf
(dkk) terhadap Catatan Tahunan Melayu : Teks Parlindungan
tersebut, bahwa Haji Bong Ta Keng dari Campa dan seorang
ulama yang bernama Makdum Ibrahim Asmoro, suami seorang
putri Campa dan ayah Raden Rahmat (menurut legenda Jawa)
bisa jadi adalah ayah dan anak (1998:74). Jadi, ibu Raden Rahmat
dan seorang putri (Campa) yang pernah tinggal di lingkungan
Kerajaan Majapahit pada masa-masa terakhir kerajaan tersebut
adalah putri-putri Haji Bong Ta Keng. Kemungkinan, ayah Raden
Rahmat, yaitu Ibrahim Asmoro kemudian menggantikan
kedudukan mertuanya sebagai penguasa di Campa.
Tokoh legenda Putri Campa yang dalam cerita tutur Jawa
bernama Ratu Dwarawati, menurut Kronik Cina Semarang,
adalah putri seorang pengawas Komunitas Muslim Cina di Campa
bernama Bong Ta Keng. Putri ini menemani suaminya, Ma Hong
Fu, yang menjadi Duta Cina di Kerajaan Majapahit. Pada tahun
1448, Ma Hong Fu meninggalkan Majapahit setelah istrinya
meninggal dunia.
Menurut Serat Kandha dan Sedjarah Dalem, Raden
Rahmat memiliki banyak keturunan dan masih punya hubungan
keluarga dengan para pemimpin duniawi dan rohani di Jawa
Timur dan Jawa Tengah melalui perkawinan - perkawinan.
Ulama Giri Yang Pertama dan Raja Demak Yang Pertama adalah
menantunya (de Graaf,1985:200). Menurut Sejarah Banten,
Raden Rahmat menikahi Nyai Nilan (dalam cerita Jawa disebut
Nyai Ageng Manila), putri Tumenggung Wilatikta di Tuban
(Djajadiningrat,1983:24).
Menurut dugaan Parlindungan dalam Teks Catatan
Tahunan Melayu nya, Nyai Ageng Manila adalah putri Gan Eng
Cu seorang Tionghoa, yang sebelumnya pernah tinggal menetap
di Manila, Filipina. Putri Gan Eng Cu diidentifikasikan oleh
32
Slametmuljana sebagai Nyai Ageng Manila. Kota Manila di
Filipina menjadi sandaran bagi nama putri ini sebab dia lahir di
sana. Parlindungan menyamakan Gan Eng Cu dengan Ario Tejo,
penguasa di Tuban (Parlindungan, 2007:650, lampiran XXXI;
periksa pula Graaf, 1998:5). Hal ini juga dilakukan oleh
Slametmuljana dalam A Story of majapahit. Slametmuljana
mencampur-adukkan tokoh kapten Cina di Tuban dengan
seorang penguasa di Tuban.; Gan Eng Cu disamakan dengan Ario
Tejo. Penyamaan ini, oleh Graaf tidak bisa diterima; menurutnya
Gan Eng Cu dan Ario Tejo adalah dua pribadi yang berbeda. Gan
Eng Cu adalah syah bandar dan Ario Tejo adalah penguasa di
Tuban (1998:59).
Menurut Legenda-legenda tentang orang suci Islam di
Jawa, Adipati Wilatikta (Ario Tejo) di Tuban telah memberikan
seorang putrinya sebagai istri kedua kepada Raden Rahmat. Dari
perkawinan ini lahirlah orang suci yang sungguh luar biasa yang
bernama Sunan Wadat (hidup membujang) dari Bonang atau
Sunan Bonang. Yang menjadi pertanyaan adalah siapakah bapak
dari Nyai Ageng Manila ? Dalam hal ini, rupanya de Graaf
bersikap mendua. Dalam buku Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama
di Jawa, dia lebih condong kepada penguasa Tuban (Ario Tejo)
sebagai bapak dari Nyai Ageng Manila, dengan menyebutkan
bahwa Sunan Bonang kemungkinan masih ada hubungan
kekerabatan dengan Sunan Kalijogo yang memang dipandang
sebagai keturunan dari penguasa Tuban (1985:168). Sedangkan
dalam buku Cina Muslim, dia menilai adalah hal yang pantas
pernikahan Raden Rahmat dengan putri seorang syah bandar di
Tuban (1998:60).
Pada tahun 1447, Bong Swi Hoo ditunjuk menjadi kapten
Cina di Jortan, sekitar 20 km sebelah Utara Bangil, hingga tahun
1451; kemudian dia pindah ke Ampel, Surabaya (Slametmuljana,
1976:235-238). Dalam Catatan Tahunan Melayu, tidak disebutkan
nama ayah dari Bong Swi Hoo; namun nama yang diberikan oleh
cerita tutur Jawa, yaitu Ibrahim Asmarakandi dari Samarkand,
33
Asia Tengah, layak dipercaya. Berarti, Bong Swi Hoo adalah
peranakan Cina - Arab.
Dalam usaha menyebarluaskan ajaran Islam di tanah
Jawa, Raden Rahmat yang kelak berjuluk Sunan Ampel
meneruskan usaha yang pernah dilakukan oleh pendahulunya
Maulana Malik Ibrahim dengan mendirikan pesantren sebagai
pusat kegiatan dakwah. Pada kenyataannya banyak sekali santri
dari berbagai daerah dan aliran yang belajar di pesantren Ampel.
Salah satu santrinya adalah orang yang kelak bergelar Al-Fatah
(Pembebas) atau lebih dikenal sebagai Raden Patah.
Raden Patah dipercaya mendirikan kerajaan Islam Demak
yang berpusat di Bintoro, dengan sebuah masjid besar yang
menjadi pusat kegiatan penyebaran agama Islam di tanah Jawa.
Menurut keterangan H.J. de Graaf, yang merujuk pada
Hikayat Hasanuddin, imam-imam masjid besar Demak semuanya
masih keturunan langsung Raden Rahmat dan kerabatnya, yaitu
berasal dari putrinya yang bernama Nyai Gede Pancuran. Imam
pertama adalah keturunan langsung, dan imam-imam berikutnya
berasal dari kerabat Raden Rahmat melalui putrinya tersebut.
Imam pertama ialah Pangeran Bonang (dari sesudah tahun 1490
hingga 1506 atau 1512), atau dikenal dengan Sunan Bonang,
putra Raden Rahmat. Imam kedua ialah Makdum Sampang (dari
tahun 1506 atau 1512 hingga 1515), suami cucu Nyai Gede
Pancuran. Imam ketiga ialah Kyai Pambayun (dari tahun 1515
hingga 1521), putra Makdum Sampang. Imam keempat ialah
Pengulu Rahmatullah, atau dikenal dengan Sunan Ngudung (dari
tahun 1524), seorang saudara sepupu dari pihak ibu imam
pendahulunya. Imam kelima ialah Pangeran Kudus, atau dikenal
dengan Sunan Kudus, putra Pengulu Rahmatullah. (de Graaf,
1985:53-55).
Pengulu Rahmatullah atau Sunan Ngudung menjadi imam
masjid besar Demak, kemungkinan dari tahun 1524 hingga
meninggalnya dalam sebuah pertempuran hebat melawan
pasukan kerajaan Majaphit di Wirasaba (Majagung sekarang)
pada tahun 1527. Selanjutnya, Pangeran Kudus, menjadi imam
34
masjid menggantikan ayahnya, kemungkinan dari tahun 1527
hingga tahun kepindahannya ke Kudus yang diperkirakan pada
tahun 1543. Tahun ini adalah waktu kedatangan Raden Syahid ke
Demak, yang mungkin hal ini sebagai sebab pindahnya Pangeran
Kudus dari Demak ke Kudus.
Raden Rahmat termasuk salah satu Wali tertua di tanah
Jawa dan dianggap sebagai pemimpin para Wali. Dia juga disebut
- sebut sebagai arsitek berdirinya Kerajaan Islam Demak. Dan
semasa hidupnya ikut mendirikan Masjid Demak
(Salam,1960:28). Tentang kapan wafatnya Raden Rahmat ,
minimal ada tiga keterangan yang masing-masing memiliki dasar
pijakan yang kuat. Pertama, dia wafat sembilan belas tahun
kemudian dari wafat bibinya (yang menetap di lingkungan
Kerajaan Majapahit) pada tahun 1448; berarti Raden Rahmat
wafat pada tahun 1467. Kedua, menurut sumber Sejarah Gresik,
Raden Rahmat diperkirakan wafat pada tahun Jawa 1397 atau
Masehi 1481 sesuai dengan Candra Sengkala “ Ngulama Ampel
Lena Masjid ”. Ketiga, berdasarkan Catatan Tahunan Melayu,
Raden Rahmat wafat pada tahun 1478, bersamaan dengan
terjadinya huru hara di Kerajaan Majapahit. Menurut hemat
penulis tahun 1467 terlalu awal, sebab Raden Rahmat diduga juga
ikut berpartisipasi dalam pembangunan Masjid Demak. Tahun
1478 dan 1481 memiliki derajat kemungkinan yang hampir sama.
Raden Rahmat adalah seorang mubaligh ternama yang
merintis dakwah Islam secara sistematik dan terorganisir di
tanah Jawa. Di Ampel Denta, Surabaya, Jawa Timur, sebagai
sarana dakwahnya setelah mendirikan pesantren yang makin
lama santrinya semakin banyak, dia membangun sebuah masjid
besar dengan atap tumpang.
Masjid Ampel Denta yang dibangun oleh Sunan Ampel
bersama murid-muridnya sejak berdirinya tahun 1450 hingga
sekarang masih bisa kita saksikan, dan beberapa kali telah
mengalami perluasan. Perluasan pertama dilakukan oleh Adipati
Aryo Cokronegoro dengan menambah bangunan di sebelah utara
bangunan lama. Perluasan kedua dilakukan oleh Adipati Regent
35
Raden Aryo Niti Adiningrat pada tahun 1926, yakni dengan
menambah atau memperluas ke bagian utara lagi. Perluasan
ketiga dilakukan setelah masa kemerdekaan yang
diselenggarakan oleh Panitia Khusus Perluasan Masjid Agung
Sunan Ampel tahun 1954 - 1958, yakni perluasan di sebelah utara
lagi dan di sebelah barat. Perluasan keempat dilakukan tahun
1974 dengan memperluas lagi bagian barat. (Wiryoprawiro,
1986:182). Pada tahun 1993 – 1998 dilakukan penambahan
bangunan baru di sebelah barat lagi. Kondisi kompleks masjid
Sunan Ampel masa sekarang merupakan hasil perluasan dan
renovasi hingga tahun 1998.
Sekarang ini, kompleks masjid Sunan Ampel terdiri atas :
bangunan selatan, bangunan tengah, bangunan barat, dan area
makam. Secara keseluruhan, kompleks masjid Sunan Ampel
menempati area seluas sekitar setengah hektar. (Gambar 01;
Gambar 02).
Bangunan Area Bangunan Bangunan
Selatan Makam Tengah Barat
Gambar 01. Kompleks Masjid Sunan Ampel (Digambar ulang
berdasarkan observasi, 2015).
Bangunan selatan, masjid Sunan Ampel, adalah bangunan
yang paling awal, kemudian diikuti perkembangan dengan
36
penambahan bangunan tengah, dan berikutnya bangunan barat.
Bangunan selatan luasnya 38 m x 40 m, yaitu 1.520 m2, terdiri
dari ruang dalam, serambi depan (timur), serambi kanan
(selatan), dan serambi kiri (utara). Bentuk awal bangunan selatan
tidak diketahui secara pasti karena perbaikan-perbaikan yang
terjadi telah menghilangkan bentuk aslinya.
Gambar 02. Soko Guru Bangunan Selatan, Masjid Sunan Ampel
(Dokumentasi penulis, 2015).
BAGIAN KEEMPAT
MASJID MENARA MENJADI SAKSI
SUNAN KUDUS
Nama Ja’far Shadiq jelas disebut di dalam inskripsi yang terdapat
di atas mihrab Masjid Menara Kudus. Asal-usul dan silsilah tokoh
yang satu ini hingga sekarang masih simpang siur, namun ada
dugaan kuat bahwa dia keturunan Arab (Persia ?). Tentang tahun
kelahirannya masih misteri, tidak ada keterangan atau berita
lesan maupun tulisan yang bisa dijadikan sandaran. Sedangkan
wafatnya diperkirakan pada tahun Saka 1550 atau Masehi 1628
(Djajadiningrat, 1983:146; Salam, 1967:28). Tahun inipun masih
diragukan. Tahun-tahun sekitar 1587 atau 1588 hingga sebelum
tahun 1605 bisa diajukan sebagai tahun-tahun terakhir
kehidupan Ja’far Shadiq. Sedangkan tahun 1628 sebagaimana
disebutkan di atas agaknya terlalu ke belakang. Tahun ini adalah
saat genting-gentingnya Kerajaan Mataram karena Raja Sultan
Agung sedang mengadakan pengepungan terhadap Kota Batavia.
Menurut cerita-cerita Jawa, nama asli Sunan Kudus
adalah Ja’far Shadiq bin Raden Usman Haji (Sunan Ngudung) bin
Raja Pandita bin Ibrahim Asmoro bin Muhammad Jumadilkubra
bin Zaini Al-Husein bin Zaini Al-Kubra bin Zainul Alim bin Zainal
Abidin bin Husein bin Ali bin Abu Thalib. Silsilah yang bisa
sampai kepada Ali bin Abu Thalib, mantu dan keponakan
Rasulullah SAW sungguh sulit untuk ditelusuri kebenarannya
dan hal ini tidak harus diterima bulat-bulat. Tidak sedikit silsilah
orang-orang suci atau Wali disandarkan kepada Ali bin Abu
37
38
Thalib. Yang jelas bapak Sunan Kudus adalah Sunan Ngudung.
Penulisng, tempat yang bernama Ngudung hingga sekarang
letaknya belum diketahui; ada yang menghubungkannya dengan
Kudus.
Menurut dugaan Parlindungan dalam Teks Catatan
Tahunan Melayu nya, Ja’far Shadiq identik dengan Ja Tik Su,
seorang kapten kapal Ta Cih yang mengalami kerusakan kapal
dan diperbaiki di galangan kapal Semarang (Parlindungan,
2007:650, lampiran XXXI). Dalam Komentar nya, de Graaf tidak
bisa menerima persangkaan Parlindungan, bahwa Ja Tik Su dan
Sunan Kudus adalah sama orangnya (1998:109). Menurut cerita,
Sunan Kudus pernah mengislamkan seorang Cina bernama
Wintang, nakoda kapal dagang yang terdampar di tepi Pantai
Jepara. Tak lama kemudian dia mendirikan pedukuhan di tepi
jalan antara Kudus dan Jepara. Bahkan kemudian orang Cina
yang baru masuk Islam ini dinikahkan dengan salah seorang
putri Sultan Trenggono. Daerah tersebut berkembang dengan
pesat dan terkenal dengan nama Kalinyamat. Kemungkinan, Ja
Tik Su dan Wintang berada dalam satu kapal yang terdampar,
dengan tanggung jawab yang berbeda, yang satu sebagai kapten
dan lainnya sebagai nakoda kapal; satu hal yang menambah nilai
penolakan terhadap pendapat Parlindungan.
Sunan Kudus, oleh Prof. Dr. Soetjipto Wirjosuparto dan
Prof. Poerbatjaraka, yang kemudian diamini oleh Solichin Salam,
adalah sama orangnya dengan Adipati Unus, Pangeran Sabrang
Lor. Nama Adipati Unus itu adalah ucapan keliru dari orang-
orang Portugis untuk menyebut Adipati Kudus. Jadi, Unus itu
adalah sinonim dengan Kudus (Salam,1977:26). Sebenarnya hal
ini sulit dipahami dan bertolak belakang dengan apa yang telah
ditulis oleh Solichin Salam sendiri dalam buku Dja’far Shadiq
Sunan Kudus, yang menceritakan panjang lebar tentang tokoh
ini. Tentang tahun meninggalnya saja sudah tidak saling
mendukung. Ja’far Shadiq alias Sunan Kudus, menurut Solichin
Salam, wafat diperkirakan pada tahun 1628, sedangkan Adipati