The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by permadhi, 2020-01-05 11:04:59

Mahabarata - Nyoman S. Pendit

Mahabarata - Nyoman S. Pendit

Keywords: mahabarata,nyoman S. Pendit

24. Sumpah Setia Krishna

Salwa sangat marah ketika mendengar berita terbunuh-Snya Sisupala oleh
Krishna pada waktu upacara besar rajasuya yang diadakan Yudhistira di
Indraprastha. Salwa, sahabat Sisupala, tahu benar bahwa Krishna dan Sisupala
memang bermusuhan walaupun mereka saudara sepupu karena Basudewa, ayah
Krishna, kakak-beradik dengan Srutadewi, ibu Sisupala. Pangkal permusuhan itu
adalah Dewi Rukmini, kekasih Sisupala yang dilarikan dan diper-istri oleh Krishna.

Sebagai teman sejati yang ingin membalas dendam atas kematian Sisupala,
Salwa dan pasukannya menyerang Dwaraka, ibukota kerajaan Krishna. Ketika itu
Krishna masih berada di Indraprastha dan semua urusan sehari-hari kerajaan
dilaksanakan oleh Ugrasena. Walaupun sudah lanjut usia, dengan sekuat tenaga
Ugrasena mem-pertahankan ibukota Dwaraka dari serangan Salwa.

Ibukota Dwaraka dikelilingi benteng yang sangat kuat dan didirikan di sebuah
pulau yang dilengkapi persenja-taan luar biasa. Di dalam benteng didirikan kemah-
kemah untuk menyimpan persenjataan dan persediaan makanan dalam jumlah
sangat besar. Balatentara Dwaraka yang sangat banyak jumlahnya dipimpin oleh
perwira-perwira yang cakap. Ugrasena mengumumkan keadaan perang. Pada
malam hari rakyat dianjurkan untuk tidak pergi ke tempat-tempat hiburan. Semua
jembatan dan pantai dijaga ketat. Kapal-kapal dilarang berlabuh. Semua jalan
keluar-masuk ibukota dipasangi rintangan berupa batang-batang pohon berduri.
Penjagaan diperketat. Setiap orang yang keluar atau masuk ibukota diperiksa, tanpa
kecuali. Sing-katnya, segala sesuatu diterapkan dengan keras dan tegas agar
ibukota bisa dipertahankan. Balatentara Dwaraka diperbanyak dengan memanggil
pemuda-pemuda yang sudah teruji kebugaran dan ketangkasannya berolah senjata.

Tetapi... pertahanan sekokoh itu tak mampu menahan serangan balatentara
Salwa yang perkasa dan bersenjata lengkap. Serangan mereka begitu hebat
sehingga ibukota Dwaraka rusak berat. Ketika kembali, Krishna sangat kaget dan
marah melihat ibukota Dwaraka telah dihan-curkan balatentara Salwa. Ia lalu
mengerahkan kekuatan yang ada untuk membalas serangan Salwa.

Setelah bertempur dengan sengit, balatentara Dwaraka berhasil mengalahkan
balatentara Salwa. Ketika itulah Krishna mendengar berita tentang kekalahan
Pandawa dalam permainan dadu di Hastinapura. Segera ia bersiap untuk menemui
Pandawa di hutan tempat pengasingan mereka. Banyak yang ikut bersamanya,
antara lain orang-orang terkemuka dari Bhoja, Wrishni dan Kekaya, dan Raja
Dristaketu dari Kerajaan Chedi. Dristaketu adalah anak Sisupala, tetapi ia sangat
kecewa mendengar tentang kebu-sukan hati Duryodhona. Ia meramalkan bahwa
bumi ini akan menghisap darah manusia-manusia jahat seperti putra Dritarastra itu.

Draupadi mendekati Krishna dan menceritakan penghi-naan yang dialaminya
dengan suara terputus-putus dan air mata berlinang-linang. “Aku diseret ke depan
persi-dangan. Anak-anak Dritarastra menghinaku dengan sa-ngat keji. Mereka
menelanjangi aku dan mengira aku akan sudi menjadi budak mereka. Mereka
perlakukan aku seperti perlakuan mereka terhadap dayang-dayang di Hastinapura.
Lebih menyakitkan hati adalah sikap Bhisma dan Dritarastra yang seolah-olah lupa
akan asal kela-hiranku dan hubunganku dengan mereka.

“Wahai, Janardana*, suami-suamiku pun tidak melindu-ngi aku dari penghinaan
manusia-manusia bejat itu. Keku-atan raga Bhima yang perkasa dan senjata

Gandiwa Arjuna yang sakti tak ada artinya. Orang yang paling lemah sekali pun, jika
mendapat penghinaan sekeji itu pasti akan bangkit melawan. Tetapi ... Pandawa
yang terkenal sebagai pahlawan-pahlawan masyhur malah tidak melakukan
apa-apa. Aku, putri raja dan menantu Raja Pandu, diseret ke depan persidangan
dengan rambut dicengkeram. Aku, istri lima pahlawan besar merasa terhina sehina-
hinanya. Wa­hai Madhusudana*, engkau pun telah meninggalkan aku.” Sambil
berkata-kata demikian, sekujur tubuh Draupadi bergetar karena marah dan sakit hati
yang tak tertang-gungkan.

* Krishna juga dipanggil Janardana, artinya ‘kesayangan manusia’ dan
Madhusudana, artinya ‘pembunuh raksasa bernama Madhu’.

Krishna sangat terharu dan mencoba menghibur Drau-padi yang menangis
tersedu-sedu. Katanya, “Mereka yang telah menghinamu kelak akan binasa dalam
perang besar yang penuh pertumpahan darah. Hapuslah air matamu! Aku berjanji,
segala penghinaan yang menimpamu akan dibalas setimpal. Aku akan menolong
Pandawa dalam segala hal. Engkau pasti akan menjadi permaisuri Raja-diraja Yang
Agung. Langit boleh runtuh, Gunung Himalaya boleh terbelah, bumi boleh retak,
lautan boleh kering, teta-pi kata-kataku ini akan kupegang teguh! Aku bersumpah di
hadapanmu.”

Demikianlah Krishna bersumpah di hadapan Draupadi, seperti dinyatakan
dalam kitab-kitab suci, “Demi melindu­ngi kebenaran, dimusnahkanlah kejahatan.
Demi meme­gang teguh dharma, aku dilahirkan ke dunia dari abad ke abad.”

Dristadyumna menghibur Draupadi dengan berkata, “Hapuslah air matamu,
adikku. Aku akan membunuh Drona, Srikandi akan menewaskan Bhisma, Bhima
akan melenyapkan nyawa Duryodhona dan saudara-sauda-ranya, sedangkan
Arjuna akan menamatkan Karna, anak sais kereta kuda itu.”

Krishna berkata lagi, “Ketika peristiwa sedih itu menim­pa dirimu, aku sedang
berada di Dwaraka. Andaikata aku ada di Hastinapura, aku pasti takkan membiarkan
kecura-ngan itu terjadi. Walaupun tidak diundang, kalau tahu aku pasti akan datang
untuk mengingatkan Drona, Kripa, dan para kesatria tua lainnya akan tugas
kewajiban mereka yang suci. Aku pasti akan mencegah permainan curang itu
dengan jalan apa pun. Ketika Syakuni menipumu, aku sedang bertempur melawan
Raja Salwa yang menyerang Dwaraka. Aku baru mendengar tentang ini setelah
menga-lahkannya. Aku sangat sedih mendengarnya, lebih-lebih karena aku tak
kuasa segera menghapus dukamu. Ibarat membetulkan bendungan rusak, tidak bisa
langsung sele­sai dan untuk sementara air tetap merembes.” Setelah ber­kata
demikian, Krishna minta diri untuk kembali ke Dwa-raka bersama Subadra, adiknya
yang diperistri Arjuna dan Abimanyu, keponakannya.

Dristadyumna kembali ke Panchala, membawa anak-anak Draupadi dari kelima
suaminya, yaitu: Pratiwindhya anak Yudhistira, Srutasoma anak Bhima, Srutakritti
anak Arjuna, Satanika anak Nakula, dan Srutakarman anak Sahadewa.

25. Arjuna dan Pasupata

Di tempat pengasingan di dalam hutan, Bhima dan Draupadi sering bercakap-
cakap dengan Yudhistira. Mereka berkata bahwa amarah yang didasari kebenaran

adalah benar sedangkan bersikap sabar menerima penghi-naan dan pasrah
menerima penderitaan bukanlah sifat kesatria sejati. Mereka berdebat sengit sambil
mengutip pendapat para arif bijaksana untuk membenarkan penda-pat masing-
masing. Tetapi, dengan mantap Yudhistira ber-kata bahwa seorang kesatria
haruslah teguh memegang janjinya, bahwa tahan uji adalah kebajikan paling mulia
dari segala sifat manusia.

Bhima sudah tidak sabar ingin segera menyerang Dur-yodhana dan merebut
kembali kerajaan mereka. Baginya tidak ada gunanya menjadi kesatria perkasa jika
harus hidup mengembara di hutan, tanpa berperang, hanya ber-tapa bersama para
resi dan pendita.

Bhima berkata kepada Yudhistira, “Engkau seperti mereka yang berulang-
ulang melantunkan kidung suci Weda dengan suara merdu dan puas mendengar
suaramu sendiri walaupun engkau tak mengerti artinya. Otakmu jadi kacau. Engkau
dilahirkan sebagai kesatria, tetapi tidak berpikir dan bertindak seperti kesatria.
Tingkah laku-mu seperti brahmana. Seharusnya kau tahu, dalam kitab-kitab suci
tertulis bahwa teguh dalam kemauan dan ulet berusaha adalah ciri-ciri kaum
kesatria. Kita tidak boleh membiarkan anak-anak Dritarastra berbuat curang
se-enaknya. Sia-sialah kelahiran seseorang sebagai kesatria jika ia tak dapat
menundukkan musuh yang licik. Inilah pendapatku.

“Bagiku, masuk neraka karena memusnahkan musuh yang jahat dan licik sama
artinya dengan masuk surga. Hatimu yang lemah membuat kami panas hati. Aku
dan Arjuna tidak terima. Hati kami bergejolak. Siang dan malam kami tak bisa tidur.”

Ia berhenti sebentar, menghela napas, lalu melanjutkan, “Mereka orang-orang
laknat yang merampas kerajaan kita dengan licik. Kini mereka hidup bergelimang
kekayaan dan pesta pora. Tapi... engkau? Lihatlah dirimu! Engkau tergo-lek pulas
seperti ular kobra kekenyangan, tak bisa berge-rak. Katamu, kita harus setia pada
janji kita. Bagaimana mungkin Arjuna yang masyhur bisa hidup dengan menya-mar?
Mungkinkah Gunung Himalaya disembunyikan dalam segenggam rumput?
Bagaimana bisa Arjuna, Nakula dan Sahadewa yang berhati singa hidup dengan
sembunyi-sembunyi? Apa mungkin Draupadi yang termasyhur lewat tanpa dikenali
orang? Apa pun usaha kita untuk menya-mar, Kurawa pasti bisa menemukan kita
melalui mata-mata mereka. Jadi, tidak mungkin kita bisa memenuhi janji ini. Semua
ini hanya alasan untuk mengusir kita sela-ma tiga belas tahun. Kitab suci Sastra
membenarkan kata-kataku, yaitu: janji berdasarkan kecurangan bukanlah janji.
Engkau harus putuskan untuk menggempur musuh-musuh kita sekarang juga! Bagi
kesatria, tak ada kewa­jiban yang lebih mulia daripada itu.”

Tak jemu-jemunya Bhima mendesak-desakkan penda-patnya. Draupadi juga
sering mengingatkan Yudhistira betapa ia telah dijamah oleh tangan-tangan kotor
Duryo-dhana, Karna dan Duhsasana. Ia juga sering mencoba memanas-manasi
Yudhistira dengan mengutip nukilan-nukilan kitab-kitab suci.

Yudhistira menjawab dengan sabar bahwa ia harus memperhitungkan semua
kekuatan lawan dengan cermat. Ia menambahkan, “Musuh-musuh kita mempunyai
sekutu terpercaya seperti Bhurisrawa, Bhisma, Drona, Karna dan Aswatthama.
Mereka semua ahli perang dan olah senjata. Banyak raja yang kuat, besar atau
kecil, kini ada di pihak mereka. Memang Bhisma dan Drona tidak senang pada
watak Duryodhona, tetapi mereka tidak akan meninggal-kan dia. Mereka bersedia
mengorbankan jiwa raga demi kemenangan Kurawa.

“Perang tak dapat diramalkan, kemenangan tak dapat ditentukan. Tak ada
gunanya tergesa-gesa!” Demikianlah, Yudhistira terus-menerus berusaha
menenangkan sauda-ra-saudaranya yang lebih muda.

Atas nasihat Bhagawan Wyasa, Arjuna pergi ke Gunung Himalaya untuk
bertapa, memohon agar dikaruniai senja-ta-senjata baru oleh para dewata. Ia minta
diri kepada saudara-saudaranya dan Panchali.

Panchali berkata, “Wahai Dananjaya, semoga engkau berhasil menjalankan
tugasmu. Semoga Dewata memberi-mu semua yang diidam-idamkan ibumu, Dewi
Kunti, sejak dulu. Hidup, kebahagiaan, kehormatan dan kemakmuran kami semua
tergantung padamu. Kembalilah engkau sete-lah memperoleh senjata-senjata baru.”

Setelah mendapat restu dari saudara-saudaranya, Arjuna memulai
perjalanannya. Ia menuruni jurang yang dalam, menembus hutan belantara,
mendaki tebing-tebing terjal, hingga sampai di puncak Gunung Indrakila.

Di sana ia bersua dengan seorang brahmana tua. Brah-mana itu tersenyum
dan berkata kepadanya, “Wahai anak­ku, engkau mengenakan pakaian prajurit dan
membawa senjata. Siapakah engkau? Di sini, senjata tidak pernah digunakan.
Sebagai kesatria, apa yang kaucari di tempat ini, tempat pertapaan orang-orang suci
dan para pendita yang telah menaklukkan amarah dan nafsu?” Sesungguh­nya
brahmana tua itu adalah Batara Indra, raja semua dewata dan ayah Arjuna sendiri,
yang sedang menyamar. Lega menemukan putranya dalam keadaan baik, ia
mele-paskan samarannya dan menjelma kembali menjadi Batara Indra.

Arjuna menjawab, “Aku datang dengan maksud mencari senjata. Berilah aku
senjata.”

Batara Indra berkata, “Oh, Dananjaya, apa gunanya senjata? Mintalah
kesenangan atau carilah tempat yang lebih tinggi di dunia ini untuk bersenang-
senang.”

Arjuna menjawab, “Wahai Raja segala dewata, aku tidak menginginkan
kesenangan, atau dunia yang lebih tinggi. Aku datang ke sini meninggalkan Panchali
dan saudara­saudaraku di hutan. Aku hanya menginginkan senjata.”

Kemudian Batara Indra menyarankan, “Pergilah berta­pa, memohon karunia
Batara Shiwa, sang Dewata Bermata Tiga. Semoga engkau dikaruniai senjata
mahasakti.”

Setelah berkata demikian, Batara Indra menghilang dan Arjuna meneruskan
perjalanannya ke Gunung Himalaya. Ia bertapa di punggung gunung itu, memohon
anugerah senjata sakti dari Batara Shiwa.

Ketika Arjuna sedang bertapa, datanglah Batara Shiwa dan Dewi Uma, sakti-
nya, ke dalam hutan itu dengan me-nyamar sebagai pemburu. Mereka berburu
dengan ribut. Seekor babi hutan lari kalang kabut menuju tempat Arjuna bertapa.
Melihat babi liar itu lari mendekat, Arjuna mengangkat busurnya, membidikkan anak
panahnya. Bersamaan dengan lepasnya anak panah dari busur Arju-na, meluncur
pulalah panah Pinaka milik Batara Shiwa. Dua-duanya tepat mengenai sasaran.

Arjuna berteriak lantang, “Siapakah engkau? Mengapa engkau pergi berburu
bersama istrimu? Kenapa engkau lancang memanah babi hutan yang kupanah?”

Pemburu itu menjawab dengan tenang, “Hutan ini kepu­nyaan kami yang hidup
di sini dan sejak dulu ini memang hutan perburuan. Engkau kelihatan tak sesigap

pemburu pada umumnya. Keseluruhan dirimu menunjukkan bahwa engkau biasa
hidup nyaman di kota. Sesungguhnya, aku-lah yang lebih pantas bertanya, apa yang
kaucari di sini. Lagi pula, akulah yang membunuh babi hutan itu.”

Mendengar itu Arjuna tersinggung. Ia menantang pemburu itu untuk bertarung.
Si pemburu menerima tantangannya.

Dengan tangkas Arjuna melompat, mengangkat busur lalu melepaskan anak-
anak panah dengan cepat, susul-menyusul seperti ular menjulur mematuk pemburu
itu. Tetapi alangkah kagetnya Arjuna, pemburu itu bisa mengelak dengan mudah.
Ibarat air hujan jatuh di pasir, semua anak panahnya lenyap tak berbekas. Ketika
anak panahnya habis, Arjuna menggunakan busurnya untuk menyerang, tetapi
pemburu itu menepisnya sambil tertawa. Kini Arjuna tak punya panah dan busur lagi.
Ia heran melihat pemburu sederhana yang sakti luar biasa itu. Arjuna menghunus
pedangnya lalu menikam pemburu itu beberapa kali. Bukannya pemburu itu terluka,
malahan pedang Arjuna yang patah berkeping-keping. Arjuna tak punya senjata lagi.
Tetapi ia terus melawan. Tiba-tiba pemburu itu menyambarnya, memegangnya erat-
erat dan mengikatnya dengan rantai besi hingga Arjuna lemas tak bisa berkutik lagi.

Dalam keadaan tak berdaya, Arjuna mengheningkan cipta dan memohon
kepada Batara Shiwa. Seketika itu, muncul seleret cahaya berkilat dalam jiwanya
dan ... tampak olehnya sosok Batara Shiwa. Arjuna tersadar, pemburu itu adalah
Batara Shiwa yang menyamar. Maka ia segera bersimpuh dan menyembahnya,
memohon am-pun atas kesalahannya yang tak disengaja. Batara Shiwa
mengampuninya dan mengembalikan Gandiwa dan pedang Arjuna.

Dalam perkelahian dengan Batara Shiwa, badan Arjuna berulang-ulang
bersentuhan dengan Batara mahasakti bermata tiga itu. Karena itu, tanpa
setahunya, ia menjadi lebih kuat dan cekatan seratus kali lipat.

Sebelum kembali ke kahyangan, Batara Shiwa mengha-diahkan Pasupata,
senjata yang sangat ampuh, sambil ber­kata, “Pergilah ke kahyangan dan temui
ayahmu, Batara Indra, untuk menyampaikan hormat dan baktimu kepa­danya.”

Setelah berkata demikian Batara Shiwa pun lenyap dari pandangan. Sesaat
kemudian Matali, pengemudi kereta Batara Indra, menjemput Arjuna untuk dibawa
ke kerajaan para dewata.

26. Penderitaan adalah Karunia Dharma

Balarama dan Krishna mengunjungi tempat penga-singan Pandawa di hutan
rimba. Melihat penderitaan Rajadiraja Yudhistira dan saudara-saudaranya, Balarama
berkata kepada Krishna, “Wahai Krishna, agaknya keba­jikan dan kejahatan
membuahkan hasil berlawanan dalam hidup ini. Sebab, Duryodhona yang jahat dan
durhaka kini memerintah kerajaan dan selalu mengenakan pakaian kebesaran
bersulam emas; sementara Yudhistira yang suci dan bijaksana mengembara di
tengah hutan, mengenakan pakaian dari kulit kayu. Melihat lenyapnya kekayaan dan
kemakmuran seorang suci dan berbudi luhur bisa mem-buat manusia kehilangan
kepercayaan kepada Dewata. Pujaan-pujaan di hadapan kita berasal dari kejahatan
dan kebajikan di dunia.

“Bagaimana kelak Dritarastra mempertanggungjawab-kan perbuatannya dan
bagaimana ia bisa membela diri waktu berhadapan dengan Dewa Kematian?

Padahal, seluruh lembah, gunung dan bumi menangis menyaksikan nasib Pandawa
yang tidak berdosa, sementara Draupadi, dengan karunia Dewa Agni, sang Dewa
Api, ditakdirkan untuk hidup terlunta-lunta di dalam hutan!”

Satyaki yang ada di situ berkata, “Wahai Balarama, kini bukan saatnya untuk
bersedih hati. Apa kita harus me-nunggu sampai Yudhistira meminta kita untuk
membantu Pandawa? Semasa engkau, Krishna dan para kerabat lain, masih
menikmati kejayaan seperti sekarang, kenapa kita biarkan Pandawa hidup tersia-sia
di hutan? Mari kita kerahkan prajurit kita dan kita gempur Duryodhona. Dengan
bantuan balatentara Wrisni, kita pasti bisa meng-hancurkan Kurawa. Kalau tidak,
apa gunanya ada tentara? Krishna dan engkau pasti bisa melakukan ini dengan
mudah. Aku ingin sekali melumpuhkan senjata Karna dan memancung lehernya.
Mari kita hancurkan Duryodhona dan sekutu-sekutunya.

“Jika Pandawa ingin memegang teguh janji mereka, kita serahkan kerajaan
kepada Abhimanyu dan mereka boleh tinggal dalam hutan. Hal itu baik bagi mereka
dan pantas bagi kita sebagai kaum kesatria.”

Dengan saksama Krishna mendengarkan kata-kata Satyaki. Kemudian ia
berkata, “Apa yang kaukatakan itu benar. Tetapi Pandawa takkan sudi menerima
uluran tangan orang lain. Mereka lebih suka berusaha sendiri. Draupadi, yang
terlahir berdarah pahlawan, pasti tak mau mendengarkan ini. Yudhistira pasti takkan
mau mening-galkan jalan kebenaran hanya demi rasa cinta atau takut. Setelah masa
pengasingan yang ditetapkan habis, para raja dari Panchala, Kekaya, Chedi dan kita
semua bisa menya-tukan semua balatentara kita untuk membantu Pandawa
menaklukkan musuh.”

Mendengar kata-kata Krishna, Yudhistira tersenyum tanda mengerti lalu
berkata, “Krishna tahu pikiran dan perasaanku. Kebenaran lebih besar daripada
kekuatan atau kemakmuran, dan harus dipertahankan dengan apa pun juga, bukan
dengan harta benda atau kerajaan. Bila Krishna menghendaki kita bertempur, kita
siap! Wahai para kesatria keturunan Wrisni, kiranya kalian boleh pulang dulu. Kelak,
jika waktunya sudah matang, kita pasti akan bertemu lagi.” Demikianlah, mereka
kemudian berpisah.

Sementara itu, Arjuna belum juga kembali dari Gunung Himalaya. Dengan
harap-harap cemas, Bhima menantikan kedatangan Arjuna. Ia tidak mendapat
dukungan untuk menggunakan jalan kekerasan. Karena itu ia berkata kepada
Yudhistira, “Engkau tahu bahwa kita tergantung kepada Arjuna. Ia telah lama pergi,
dan kita tidak men-dengar apa-apa tentang dia. Andaikata kita kehilangan dia, tidak
seorang pun, tidak juga Raja dari Panchala, atau Satyaki atau Krishna, dapat
menolong kita. Aku tak sang-gup membayangkan bagaimana kalau kita kehilangan
dia. Akibat permainan dadu gila itu, kesedihan dan penderitaan menimpa kita...
sebaliknya, kekuatan justru tumbuh dan berkembang subur di pihak lawan!”

Bhima melanjutkan kata-katanya, “Tinggal dan me­ngembara di dalam hutan
seperti ini bukanlah jalan kaum kesatria. Kita harus segera memanggil Arjuna. Lalu...
dengan bantuan Krishna kita umumkan perang terhadap anak-anak Dritarastra. Aku
akan puas, jika Syakuni, Karna dan Duryodhona yang jahat mati. Kalau tugas ini
sudah selesai dan kalau engkau memang menghendaki, engkau bisa kembali ke
hutan dan hidup sebagai pertapa. Membu-nuh musuh dengan menggunakan siasat
bukanlah dosa. Lebih-lebih jika musuh juga menggunakan siasat.

“Aku mendengar bahwa Atharwa Weda memuat mantra gaib yang dapat
mengurangi dan mempersingkat waktu. Kalau bisa, dengan mantra itu kita peras tiga
belas tahun menjadi tiga belas bulan. Cara ini pasti tidak dilarang dan engkau pasti
mengijinkan aku membunuh Duryodhona pada bulan keempat belas.”

Mendengar kata-kata Bhima, Dharmaputra memeluk-nya dengan kasih sayang
seorang saudara. Lalu..., untuk menahan ketidaksabaran Bhima, ia berkata,
“Saudaraku tercinta, segera sesudah tiga belas tahun itu terlampaui, Arjuna dengan
senjata Gandiwa dan engkau dengan gada-mu akan bertempur dan membunuh
Duryodhona. Bersa-barlah sampai waktu itu tiba. Duryodhona dan
pengikut-pengikutnya tidak mungkin akan terlepas dari semua ini, sebab mereka
sudah terlanjur tenggelam dalam lumpur dosa dan khianat. Yakinlah engkau!”

Ketika mereka sedang bercakap-cakap demikian, mun-cullah seorang resi tua
bernama Resi Brihadaswa. Sesuai tradisi, para kesatria itu menyambut sang Resi
dengan penuh hormat. Setelah mempersilakan sang Resi duduk, Yudhistira
bertanya, “Resi yang kuhormati, musuh kami berbuat curang dengan mengajak kami
bermain dadu. Mereka membuat kami kalah dan menipu kami hingga kami
kehilangan kerajaan dan kekayaan. Mereka mengusir saudara-saudaraku yang
berjiwa kesatria. Panchali dan aku mengembara di hutan ini, sementara Arjuna
mening-galkan kami untuk memohon karunia senjata sakti dari dewata. Tetapi,
sampai kini Arjuna belum kembali dan itu membuat kami sangat khawatir. Apakah ia
akan kembali dengan senjata sakti? Dan kapan kiranya saat itu tiba? Belum pernah
rasanya ada kesedihan yang begitu menda-lam seperti kesedihan yang menimpa
kami ini.”

Resi suci itu menjawab, “Jangan biarkan pikiranmu dili­puti kedukaan. Arjuna
pasti kembali dengan membawa senjata sakti dan engkau akan menaklukkan
musuh-musuhmu pada waktu yang tepat. Engkau pikir, di dunia ini tak ada orang
yang semalang engkau. Tidak, itu tidak benar! Memang, setiap orang dengan cara
dan perasa-annya sendiri menganggap kesedihannya yang paling berat di dunia,
sebab segala sesuatu dirasakan lebih pahit daripada apa yang didengar dan dilihat.
Apakah engkau pernah mendengar kisah Raja Nala dari Kerajaan Nishada? Ia ditipu
oleh Pushkara dalam permainan dadu. Ia kehi-langan kerajaan, kekayaan, dan
semua miliknya. Ia juga harus mengembara di hutan seperti engkau. Tetapi ia lebih
menderita karena dalam pengembaraannya ia tidak disertai saudara-saudaranya. Ia
bahkan tak boleh bertemu, apalagi bercakap-cakap, dengan kaum brahmana.
Karena penga-ruh Batari Kali, Dewi Kegelapan, pikirannya terguncang dan ia
tendang istrinya, Dewi Damayanti. Kemudian, dalam keadaan setengah gila, ia
mengembara di hutan.

“Dan sekarang, bandingkan dengan keadaanmu. Eng-kau punya saudara-
saudara yang gagah berani, istri yang setia dan dukungan dari kaum brahmana
yang suci. Mereka semua setia menemanimu. Pikiranmu baik dan teguh. Memang,
kasihan kepada diri sendiri adalah wajar, tetapi keadaanmu tidak seburuk
penderitaan orang lain.”

Resi itu bercerita panjang lebar tentang nasib Raja Nala. Sebelum pergi, ia
menutup ceritanya, “Wahai Pandawa, Nala telah menjalani cobaan yang jauh lebih
berat dari apa yang kalian hadapi. Tetapi, akhirnya ia berhasil mengatasi cobaan itu
dan kemudian hidup bahagia.

“Engkau memiliki kecerdasan yang kuat. Engkau selalu berada di lingkungan
yang baik dan penuh limpahan kasih sayang dari kawan-kawanmu. Engkau telah
menggunakan waktumu dengan sebaik-baiknya, untuk mempersembah-kan jiwa dan
pikiranmu kepada Dharma. Jalan untuk itu adalah bercakap-cakap dan bertukar
pikiran dengan kaum brahmana ahli kitab-kitab suci Weda dan Wedanta. Pikul-lah
segala cobaan dan derita dengan sabar dan tabah, sebab itu adalah karunia bagi
manusia, dan itu bukan hanya demi kami saja.”

27. Pengembaraan di Rimba Raya

Kaum brahmana yang dulu bersama-sama Yudhistira diKIndraprastha setia
menyertainya dalam pengasingan di hutan. Tidak mudah mengatur dan membiayai
rombongan yang sangat besar itu. Resi Lomasa menasihati Yudhistira agar
memperkecil rombongannya supaya pengembaraan lebih lancar, terutama ketika
berziarah ke tempat-tempat suci di hutan. Atas saran tersebut, Yudhistira memberi
tahu pengikut-pengikutnya bahwa mereka yang tidak biasa menghadapi kesulitan
dan mengikutinya hanya karena berbela rasa, sebaiknya kembali ke Negeri Astina
yang diperintah Raja Dritarastra atau ke Negeri Panchala yang diperintah Raja
Drupada. Selanjutnya, Yudhistira me-nyerahkan sepenuhnya kepada para
pengikutnya cara apa yang mereka anggap paling baik dan sesuai dengan
ke-sanggupan mereka.

Dalam pengembaraan dari satu tempat suci ke tempat suci lainnya di dalam
hutan, Pandawa mendengar, melihat, dan mengalami berbagai keadaan dan situasi
yang mem-buat mereka yakin bahwa masa depan mereka akan baik.

Sebagai suri teladan, Resi Lomasa menceritakan kisah Resi Agastya kepada
mereka,

“Pada suatu hari, Agastya melihat roh manusia berdiri terbalik, kepalanya di
bawah dan kakinya di atas. Karena anehnya, ia bertanya kepada makhluk itu dan
dijawab bahwa makhluk itu adalah nenek moyangnya sendiri yang telah meninggal
dunia. Ia mengalami nasib demikian kare-na keturunannya tidak mau kawin dan
tidak punya anak yang wajib mengadakan upacara-upacara persembah-yangan
untuk roh nenek moyang. Mendengar hal itu, Agastya langsung memutuskan untuk
kawin.

“Terkisahlah bahwa raja Widarbha tidak punya anak. Raja itu kemudian
memohon restu kepada Resi Agastya agar ia dikaruniai anak. Pada waktu
memberikan restu, Agastya mengucapkan kutuk-pastu, yaitu: jika anak yang lahir
perempuan, anak itu harus diserahkan kepadanya untuk dikawini.

“Ketika tiba waktunya, lahirlah seorang putri jelita yang kemudian diberi nama
Dewi Lopamudra. Semakin dewasa semakin sempurnalah kecantikannya. Dewi
Lopamudra termasyhur di kalangan para kesatria, tapi tidak seorang pun berani
mendekatinya karena takut pada Resi Agastya.

“Pada suatu hari, Resi Agastya datang ke istana Raja Widarbha untuk menagih
janjinya. Tetapi Raja Widarbha keberatan. Dia tak mau menyerahkan putrinya yang
cantik itu kepada resi tua yang hidup menyendiri di dalam hutan. Raja cemas kalau-
kalau kutuk-pastu sang Resi akan menjadi kenyataan. Mengetahui kecemasan dan

kesedihan orangtuanya, Dewi Lopamudra justru menyatakan keingi-nannya untuk
kawin dengan resi itu.

“Setelah disepakati, perkawinan dilangsungkan sebagai­mana mestinya.
Sebelum memboyong istrinya ke hutan, Resi Agastya menyuruh Dewi Lopamudra
melepas semua perhiasannya dan mengganti pakaiannya yang mewah dan mahal.
Istrinya harus bersedia hidup sederhana sesuai kebiasaan para resi yang tinggal
dalam asrama di hutan. Dewi Lopamudra membagi-bagikan semua perhiasan dan
pakaiannya kepada teman-teman dan para pelayannya, kemudian mengenakan
pakaian dari kulit kayu.

“Demikianlah, Resi Agastya dan Dewi Lopamudra hidup bahagia di pertapaan
di hutan Ganggadwara. Mereka saling mengasihi dan selalu tampak mesra.

“Pada suatu hari, karena perasaan cintanya yang melu­ap-luap, Dewi
Lopamudra tak bisa menahan perasaannya.

Ia meminta kepada Resi Agastya agar sekali-sekali mereka menikmati
kemewahan.

“‘Aku ingin sekali kita tidur di tilam kerajaan yang empuk, mengenakan jubah
indah dan memakai perhiasan seperti waktu aku di rumah orangtuaku.’

“Agastya menjawab, ‘Aku tidak punya kekayaan apa­apa, karena sekarang kita
hidup di hutan sebagai peminta­minta.’

“Lopamudra menyarankan agar Agastya menggunakan kekuatan gaib yogi-nya
untuk memperoleh apa yang di-inginkannya. Tetapi Agastya tidak setuju, karena
kekayaan yang diperoleh dengan jalan demikian tidak akan kekal. Setelah berdebat
lama, mereka sepakat untuk pergi me-minta-minta kepada raja-raja kaya dengan
harapan kelak mereka bisa hidup enak.

“Mereka menghadap seorang raja yang terkenal kaya raya.

“Agastya berkata, ‘Tuanku Raja, aku datang untuk memohon harta. Berilah aku
yang dapat diberikan, tanpa menyebabkan kekurangan atau kehilangan bagi orang
lain.’

“Raja itu memperlihatkan catatan pendapatan kerajaan kepada Agastya dan
mempersilakan sang Resi mengambil apa yang diperlukannya dan kelebihan yang
ada. Ternyata Resi Agastya tahu bahwa antara pendapatan dan pengelu-aran
kerajaan itu tidak ada sisanya. Ia kemudian pergi meminta-minta ke negeri lain.
Ternyata negeri itu menga-lami kekurangan karena rajanya mengeluarkan lebih
banyak uang daripada jumlah pendapatan dari upeti yang dipungut atas rakyat.

“Tanpa putus harapan, Agastya pergi ke negeri-negeri lain. Di sana ia
menjumpai keadaan yang tidak banyak berbeda. Ia berkata pada dirinya sendiri,
‘Untuk mendapat sedekah dari seorang raja saja aku membuat rakyat harus
memikul beban berat. Karena itu, aku akan meminta di tempat lain dengan cara lain.’

“Demikianlah Agastya banyak mengetahui keadaan ke­uangan suatu kerajaan.
Ia menyimpulkan bahwa menurut pekerti luhur, seorang raja tidak boleh menarik
upeti dari rakyatnya secara sewenang-wenang, melebihi kebutuhan pengeluaran
untuk kepentingan umum yang sebenarnya. Dan siapa pun yang menerima
pemberian hadiah atau sebangsanya dari hasil pungutan upeti rakyat, itu berarti dia
telah menambah beban rakyat. Sungguh tidak adil. Itu sebabnya Agastya

memutuskan untuk menemui raksasa Ilwala yang terkenal jahat dan kaya raya,
untuk mencoba meminta-minta.

“Mula-mula Ilwala dan Watapi, saudaranya, berniat membunuh Agastya karena
mereka membenci kaum brahmana. Selama ini, mereka selalu membunuh setiap
brahmana yang datang menemui mereka. Tetapi Agastya adalah seorang brahmana
yang sakti. Ketika tahu itu, Ilwala sangat takut dan segera memenuhi
permintaannya. Agastya mendapatkan apa yang diinginkan istrinya dan keduanya
hidup bahagia.”

Demikianlah cerita Resi Lomasa kepada Yudhistira yang intinya merupakan
pelajaran tentang bagaimana seharus-nya mengurus harta kerajaan yang
merupakan hasil pungutan upeti dari rakyat. Harta kerajaan harus diguna-kan
dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi.

Selanjutnya Resi Lomasa berkata, “Di lain pihak, sung­guh salah jika kita
berpikir bahwa seseorang dapat dengan mudah hidup suci sebagai brahmacharin
jika ia dibesarkan dalam lingkungan yang sama sekali tidak mengajarkan
pengetahuan akan kenikmatan duniawi dan kenikmatan olah asmara.”

Ia melanjutkan, “Kebajikan yang dituntun oleh ketidak­tahuan tidaklah
meyakinkan.”

Resi Lomasa lalu bercerita tentang Negeri Angga yang pernah mengalami
bahaya kelaparan yang mengerikan.

“Romapada, raja negeri Angga, sangat cemas karena negerinya dilanda
bencana alam. Panen gagal, tumbuh-tumbuhan kering, hujan tidak turun-turun,
ternak mati dan di mana-mana rakyat menderita kelaparan. Sungguh sengsara.
Romapada memanggil semua brahmana di nege-rinya untuk dimintai nasihat
tentang cara mengatasi bencana yang mengerikan itu. Para brahmana
menyaran-kan agar Raja memanggil Resi Risyasringga yang masih muda, putra
Resi Wibhandaka yang masyhur. Resi Risya-sringga telah menjalani kehidupan
yang suci sempurna dan karena tapanya yang lama tanpa putus, ia sanggup
memanggil hujan yang akan menyuburkan tanah. Sepanjang hidupnya, resi muda itu
selalu bertapa di samping ayahnya dan sama sekali belum pernah melihat manusia
lain, laki-laki atau perempuan, selain ayahnya.

“Bersama para penasihatnya, Romapada merundingkan cara untuk memanggil
Risyasringga. Atas nasihat mereka, Romapada mengumpulkan beberapa
perempuan penggoda dan menugaskan mereka untuk membawa resi itu ke ibu-kota
Angga.

“Mula-mula perempuan-perempuan penggoda itu takut kepada raja yang
berkuasa itu dan kepada Resi Wibhan-daka yang sakti. Tetapi setelah diberi
penjelasan, mereka menerima tugas itu dengan senang hati karena keberha-silan
mereka adalah demi keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Kemudian mereka
membangun taman indah yang ditanami pohon-pohon rindang dan dilengkapi
dengan pertapaan di tengahnya. Taman buatan itu dibangun di tepi sebuah sungai
besar yang jernih airnya, yang di hulunya mengalir melewati pertapaan Resi
Wibhandaka. Sebuah perahu mereka labuhkan di tepi sungai, dekat pertapaan itu.

“Pada suatu hari, ketika Resi Wibhandaka sedang pergi, salah seorang
perempuan yang cantik itu mengayuh pera-hu dan melabuhkannya di tepian

pertapaan. Ia menemui Risyasringga sambil memberi salam sesuai adat seorang
resi bila bertemu resi lainnya.

“Seumur hidup Risyasringga belum pernah melihat perempuan cantik dan
bersuara merdu. Ia mengira perem-puan itu seorang brahmacharin. Ia bertanya,
‘Rupanya engkau seorang brahmacharin yang halus dan cemerlang. Siapakah
engkau, di mana pertapaanmu, dan ajaran suci apa yang engkau pelajari? Aku
menyembah kepadamu.’ Kemudian, sesuai adat, ia menyerahkan buah-buahan
sebagai persembahan kepada seorang resi yang bertamu.

“Perempuan itu berkata bahwa pertapaannya tak jauh dari situ, di pinggir
sungai yang sama. Karena kuatir kalau-kalau Resi Wibhandaka cepat kembali,
perempuan itu segera mempersembahkan buah-buahan yang ranum, minum-
minuman yang manis dan kalung bunga yang harum kepada Risyasringga. Sambil
membelai dan meme-luk resi itu, perempuan itu berkata bahwa begitulah yang
ditradisikan bila seorang resi bertemu dengan resi lain yang seajaran.

“Risyasringga tidak keberatan. Ia justru berpendapat bahwa cara itu
memberinya kenikmatan yang belum pernah dirasakannya. Kesucian pikirannya
ternoda. Ia tak kuasa menahan gejolak nafsunya menghadapi perempuan itu. Tanpa
berpikir panjang, ia mengundang brahmacharin cantik itu untuk datang lagi
mengunjunginya.

“Ketika kembali, Resi Wibhandaka sangat kaget melihat suasana pertapaan
yang tidak seperti biasanya. Rumput dan semak-semak bunga terlihat habis diinjak-
injak, sisa-sisa makanan berserakan, wangi kalung bunga menyusupi hidungnya,
dan wajah putranya tampak aneh. Ia bertanya, apa yang telah terjadi. Risyasringga
bercerita bahwa ia dikunjungi seorang brahmacharin yang wujud tubuhnya luar biasa
indah. Brahmacharin itu memberi salam dengan cara memeluk dan membelainya,
membuat sekujur tubuh-nya merasakan kenikmatan tak terkira. Dengan lugu
Risyasringga berkata bahwa ia ingin sekali bertemu lagi dengan brahmacharin itu
dan merasakan kembali kelem-butan belaiannya.

“Mendengar cerita anaknya, Resi Wibhandaka langsung mengerti apa yang
telah terjadi. Dalam hati ia sangat marah, tetapi kepada putranya ia berkata,
‘Anakku, yang datang mengunjungimu bukanlah brahmacharin melainkan makhluk
jahat yang sangat berbahaya. Ia sengaja menipu-mu dan berniat menodai pertapaan
kita. Jangan biarkan ia datang lagi.’

“Tiga hari tiga malam Wibhandaka berusaha mencari perempuan yang telah
menggoda anaknya, tetapi sia-sia belaka.

“Pada kesempatan lain, ketika Resi Wibhandaka sedang mengadakan
perjalanan, perempuan itu datang lagi. Meli-hat Risyasringga hanya sendirian, ia
berlari mendekati dan tanpa menunggu-nunggu lagi mengajak resi itu pergi
sebe-lum ayahnya kembali. Inilah kesempatan yang ditunggu-tunggu oleh
perempuan-perempuan penggoda yang meng-emban tugas dari Raja Romapada.
Segera setelah resi muda itu masuk ke dalam perahu, sauh diangkat dan perahu
dikayuh ke hilir, menuju ibukota Negeri Angga. Di sana, resi itu diterima dengan
upacara kehormatan oleh Raja Romapada dan dipersilakan beristirahat di tempat
yang sudah disediakan di dalam lingkungan istana.

“Berkat kehadiran Risyasringga, hujan mulai turun di wilayah Kerajaan Angga.
Danau dan telaga mulai berisi air, sungai mengalir deras menyuburkan tanah,
binatang mendapat makanan cukup dan pepohonan mulai bersemi kembali. Sebagai

ungkapan terima kasih, Raja Romapada menyerahkan Dewi Santa, putrinya, untuk
diperistri oleh Risyasringga.

“Untuk menghindari kemurkaan Resi Wibhandaka, Raja Romapada
mengerahkan berpuluh-puluh gembala sapi. Mereka disebar ke mana-mana,
terutama di sekitar jalan-jalan yang mungkin akan dilalui Resi Wibhandaka. Jika
bertemu dengan resi itu, mereka harus berkata bahwa mereka adalah gembala yang
menggembalakan ratusan sapi milik Risyasringga.

“Sementara itu, dengan perasaan cemas dan geram Resi Wibhandaka
meninggalkan pertapaan untuk mencari putranya. Ia menjelajahi segala penjuru
hutan, tetapi tidak juga menemukan putranya. Kemudian ia keluar dari hutan,
menjelajahi ladang-ladang dan pedesaan. Ia heran melihat puluhan gembala sedang
menggembalakan sapi-sapi yang tambun dan sehat. Para gembala itu berkata
bahwa sapi-sapi itu milik Risyasringga. Karena berkali-kali mendengar jawaban yang
sama di mana-mana, lambat laun amarah Wibhandaka berkurang.

“Akhirnya ia sampai ke ibukota Negeri Angga. Timbul rasa ingin tahunya,
apakah anaknya ada di ibukota itu. Di depan istana, tanpa disangka-sangka, ia
disambut dengan upacara kebesaran, bahkan Raja Romapada sendiri yang
mengantarkannya ke puri tempat tinggal putranya. Akhirnya ia dapat bertemu
dengan Risyasringga yang telah menyunting Dewi Santa yang cantik. Sang Resi
lega dan senang setelah mengetahui bahwa putranya hidup bahagia sebagai
menantu Raja dan dengan kesaktiannya telah menghindarkan rakyat Negeri Angga
dari bencana kelaparan.

“Ia merestui anaknya dan berkata, ‘Teruslah berbuat kebajikan untuk
menyenangkan hati Raja Romapada yang mencintai rakyatnya. Setelah engkau
punya anak laki-laki, kembalilah ke dalam hutan dan temani ayahmu.’

“Resi muda itu menaati perintah ayahnya.”

Resi Lomasa mengakhiri ceritanya dengan kata-kata demikian, “Seperti halnya
Damayanti dan Nala, Sita dan Rama, Arundhati dan Wasistha, Lopamudra dan
Agastya, Santa dan Risyasringga, engkau dan Draupadi pun ditak-dirkan untuk
hidup mengembara di dalam hutan selama waktu yang telah ditentukan. Hiduplah
dengan penuh cin-ta kasih, saling menyayangi, dan selalu menjalankan dharma.
Tempat ini adalah bekas pertapaan Risyasringga. Mandilah dalam kolam ini dan
sucikan dirimu.”

Mengikuti anjuran Resi Lomasa, Pandawa mandi dan menyucikan diri dalam
kolam itu. Setelah membersihkan dan merapikan diri, mereka bersembahyang
memuja dewata.

***

Dalam pengembaraannya, Pandawa sampai ke pertapaan Resi Raibhya di tepi
Sungai Gangga. Mereka berhenti, membersihkan diri dan melakukan upacara
pemujaan, lalu beristirahat. Resi Lomasa bercerita tentang riwayat perta-paan itu.

“Yawakrida, anak seorang resi, menemui ajalnya di sini. Beginilah kisah
hidupnya....

“Resi Raibhya dan Resi Bharadwaja adalah dua brah­mana yang bersahabat
dan pertapaannya berdampingan.

“Raibhya punya dua anak laki-laki, namanya Parawasu dan Arwawasu,
sedangkan Bharadwaja punya satu anak laki-laki, namanya Yawakrida.

“Kedua anak Raibhya mempelajari kitab-kitab suci Weda dengan sungguh-
sungguh hingga mereka menjadi orang suci yang termasyhur. Melihat itu, Yawakrida
iri dan benci kepada mereka. Ia tidak mematuhi nasihat ayahnya. Untuk
melampiaskan rasa iri dan kebencian hatinya, ia menyiksa diri dengan bersamadi
dan bertapa berbulan-bulan, tanpa makan tanpa minum. Ia ingin mendapat karunia
kesaktian. Mengetahui itu, Batara Indra merasa iba. Ia mendatangi Yawakrida.
Batara Indra menasihati Yawakrida agar tidak menyiksa diri seperti itu.

“Yawakrida menjawab, ‘Aku ingin menguasai kitab-kitab suci Weda, melebihi
mereka yang telah mempelajarinya. Aku ingin menjadi mahaguru tentang kitab-kitab
suci itu. Sebab itu, aku lakukan semua ini agar cita-citaku lekas tercapai. Bagiku,
belajar dari seorang guru membutuhkan waktu lama. Aku rajin berpuasa dan
bersamadi, agar pengetahuan itu langsung kuterima, tanpa perlu berguru. Restuilah
aku!’

“Batara Indra tersenyum seraya berkata, ‘Wahai Brah­mana, engkau berada di
jalan yang salah. Pulanglah engkau! Carilah seorang guru yang baik dan pelajarilah
kitab-kitab Weda darinya. Menyiksa diri bukan cara benar untuk belajar. Cara belajar
yang benar adalah dengan bertekun mempelajari sesuatu.’ Setelah berkata
demikian, Batara Indra menghilang.

“Yawakrida tidak mengindahkan nasihat itu. Ia terus menyiksa diri. Batara Indra
muncul lagi, memberinya peringatan. ‘Engkau memilih jalan salah untuk
memperoleh ilmu. Untuk memperoleh ilmu, satu-satunya jalan adalah belajar.
Ayahmu mempelajari kitab-kitab suci Weda de-ngan sabar dan berhasil. Yakinlah,
kau pun pasti bisa. Berhentilah menyiksa dirimu.’

“Yawakrida tetap tidak mengindahkan nasihat Batara Indra. Malahan ia
berkata, jika puasa dan semadinya tidak dikabulkan, ia akan memotong kaki dan
tangannya untuk dijadikan sesaji dalam upacara persembahyangan.

“Pada suatu hari, ketika hendak menyucikan diri di Sungai Gangga sebelum
mulai bersemadi, ia melihat seorang lelaki tua sedang bekerja keras melemparkan
pasir ke dalam sungai dengan kedua tangannya. Yawakrida bertanya, ‘Wahai Pak
Tua, apa yang sedang kaukerjakan?’ Lelaki tua itu menjawab, ‘Aku hendak
membendung sungai ini. Jika aku bisa membangun bendungan dengan cara ini,
orang akan bisa menyeberangi sungai ini dengan mudah. Tahukah engkau bahwa
tidak mudah menyeberangi Sungai Gangga. Bukankah membuat bendungan suatu
pekerjaan yang mulia?’

“Yawakrida tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Ia berkata, ‘Rupanya
engkau sudah gila! Engkau pikir, de-ngan melempar-lemparkan pasir —dengan
kedua tangan-mu yang rapuh— engkau akan bisa membendung arus sungai yang
perkasa ini? Bangkitlah dan carilah pekerjaan yang lebih berguna!’

“Orang tua itu menjawab, ‘Apakah pekerjaanku ini lebih gila daripada
perbuatanmu menyiksa diri karena ingin me-nguasai kitab-kitab suci Weda tanpa
berguru? Bukankah engkau enggan belajar dengan sabar dan tekun?’

“Maka, tahulah Yawakrida bahwa orang tua itu tak lain adalah Batara Indra. Ia
segera menjatuhkan diri, bersujud dan memohon agar Batara Indra berkenan
menganugerah-kan pastu kepadanya. Batara Indra mengabulkan permin-taannya

dengan syarat Yawakrida harus mempelajari kitab-kitab suci Weda sebagaimana
mestinya.

“Sejak itu, Yawakrida mempelajari kitab-kitab suci Weda dengan sungguh-
sungguh dan berhasil mengua-sainya dalam waktu singkat. Sayangnya, ia berjiwa
lemah. Ia mengira, kemampuannya mempelajari kitab-kitab Weda dengan cepat itu
bukan karena pertolongan gurunya, mela-inkan karena anugerah pastu Batara Indra.
Ia menjadi sombong.

“Resi Bharadwaja, ayahnya, yang mengetahui hal itu segera menasihatinya,
‘Jangan biarkan dirimu terjebak dalam perangkap iri dan tinggi hati. Usahakan
membatasi diri, jangan melampaui batas-batas kesopanan. Jangan bersikap
congkak terhadap orang yang lebih tua seperti Resi Raibhya.’

“Musim semi tiba. Pohon-pohon bertunas, bunga-bunga mekar semerbak
mewangi, hamparan padang rumput terli-hat hijau segar. Ke mana mata
memandang, yang tampak adalah keindahan. Binatang-binatang di hutan,
burung-burung di angkasa, ikan di sungai dan telaga, semua gem-bira menyambut
datangnya musim semi yang gemilang.

“Dalam suasana yang indah itu, istri Parawasu yang cantik dan muda belia
berjalan-jalan di luar pertapaan sambil memetik bunga-bunga dan bersenandung
merdu. Di tengah keindahan alam, kecantikannya semakin tampak cemerlang.
Yawakrida yang kebetulan lewat di situ, melihatnya dan terpikat oleh kecantikannya.
Ia berhenti dan memandangi wanita itu dengan penuh gairah. Lama-lama ia tak
dapat menahan gejolak berahinya. Disambar-nya putri itu lalu diseretnya ke balik
semak-semak. Di sana, dengan kasar ia melampiaskan nafsunya sepuas-puasnya.

“Resi Raibhya yang baru kembali ke pertapaan melihat menantunya menangis
tersedu-sedu. Setelah mengetahui apa yang terjadi, resi tua itu marah. Dicabutnya
sehelai rambut dari kepalanya lalu dibakarnya dalam api pemuja-an sambil
mengucapkan mantra. Seketika itu juga, dari rambut yang terbakar itu muncul
makhluk halus berwujud seorang gadis cantik. Kemudian ia mencabut dan
mem-bakar sehelai rambut lagi. Setelah mengucapkan mantra, muncullah makhluk
halus berwujud raksasa perkasa bersenjata lembing. Resi Raibhya memerintahkan
kedua makhluk halus itu untuk membunuh Yawakrida.

“Keesokan paginya, ketika sedang mengisi kendinya dengan air, Yawakrida
melihat seorang gadis cantik tiba-tiba muncul di hadapannya. Gerak-geriknya
sungguh menawan hati. Ia terlengah sesaat dan secepat kilat makh-luk cantik itu
merampas kendinya yang sudah diisi air untuk menyucikan diri. Yawakrida beranjak,
hendak me-ngejarnya, tetapi dihalangi oleh raksasa perkasa bersenjata lembing.
Yawakrida sangat ketakutan. Sadar bahwa ia tak bisa mengucapkan mantra
sebelum menyucikan diri, Yawakrida lari ke tepi telaga. Tetapi telaga itu kering. Ia
lari ke tepi sungai, tetapi sungai itu juga kering. Ia terus berlari mencari air. Ke mana
pun ia lari, raksasa itu terus menge-jarnya. Akhirnya ia tidak bisa berlari lagi.
Tubuhnya yang letih jatuh terguling di tanah. Raksasa itu mendekat dan
menancapkan lembingnya. Tamatlah riwayat Yawakrida.

“Bharadwaja mengetahui hal itu. Ia sedih dan marah karena kematian
putranya. Dalam keadaan marah, ia melancarkan kutuk-pastu ke arah Resi Raibhya:
kelak resi itu akan mati di tangan salah satu anaknya. Tetapi setelah
mengucapkannya, Resi Bharadwaja menyesal. Ia sadar, putranya memang
bersalah. Akhirnya, dalam upacara pembakaran mayat putranya, Bharadwaja terjun

ke dalam api dan musnah bersama anaknya. Demikianlah, roh Yawakrida dan
Bharadwaja bersama-sama kembali ke alam baka yang tenang dan damai.”

Resi Lomasa berkata, “Inilah bekas pertapaan Resi Raibhya yang kuceritakan
tadi. Wahai Yudhistira, dari sini naiklah ke gunung. Bila engkau telah sampai ke
pun-caknya, segala mendung yang menutupi hidupmu akan lenyap. Gunung itu
adalah gunung suci! Amarah dan nafsumu akan tercuci bersih jika engkau mandi di
sungai ini. Mandilah dan sucikan dirimu.”

Demikianlah Resi Lomasa menutup kisahnya tentang puasa dan samadi yang
tidak berguna karena didasari niat untuk mencapai tujuan yang tidak pantas.

Kemudian Resi Lomasa melanjutkan ceritanya.

“Dalam soal keagamaan, Raja Brihadyumna adalah pengikut setia Resi
Raibhya. Pada suatu hari ia ingin mengadakan upacara persembahyangan untuk
memohon kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Ia memin-ta Resi
Raibhya agar mengirimkan Parawasu dan Arwawa-su ke istana untuk memimpin
upacara tersebut. Permin-taan itu dikabulkan dan Resi Raibhya memberi petunjuk
seperlunya kepada kedua putranya. Ketika persiapan sedang dikerjakan, malam
harinya Parawasu kembali ke pertapaan hendak menemani istrinya yang menginap
di rumah ayahnya.

“Saat itu tengah malam. Suasana gelap. Tiba-tiba ia melihat satu sosok
berjalan membungkuk-bungkuk di tepi mata air, seakan-akan sedang mengintai
mangsa. Tanpa berpikir panjang atau melihat lebih jelas, ia membidikkan
lembingnya dan melemparkannya ke arah sosok itu. Crap! Tepat mengenai sasaran.
Sesaat kemudian terdengar teria-kan mengaduh. Ia mendekat. Dan ... alangkah
terkejutnya Parawasu ketika sosok yang diserangnya ternyata ayahnya sendiri.
Ketika itu ayahnya mengenakan pakaian dari kulit menjangan. Ia pergi ke mata air
malam-malam untuk menimba air. Sebelum meninggal, Resi Raibhya sempat
menceritakan kutuk-pastu yang dilancarkan Resi Bharad-waja kepadanya.

“Parawasu segera menemui Arwawasu dan mencerita-kan peristiwa sedih itu.
Ia berkata, ‘Kejadian ini hendaknya jangan sampai menghalangi upacara
persembahyangan. Lakukan upacara pembakaran jenazah atas namaku, seba-gai
pengganti dosa yang telah kuperbuat tanpa sengaja. Pengampunan bagi dosa-dosa
yang dilakukan tanpa sengaja adalah dibenarkan. Sementara engkau
menggan-tikan aku dan memohonkan ampun untuk dosaku kepada Ayah, aku akan
memimpin upacara permohonan kemak-muran dan kesejahteraan bagi rakyat negeri
ini tanpa perlu kau bantu. Tapi... engkau takkan bisa memimpin upacara itu sendiri
tanpa bantuanku.’

“Arwawasu yang suci dan berbudi luhur menuruti kata saudaranya. Ia
melakukan upacara pembakaran jenazah ayahnya, bersembahyang atas nama
saudaranya dan mela-kukan tapa untuk menyucikan diri atas namanya sendiri dan
saudaranya, Parawasu. Setelah upacara selesai, ia me-nyusul saudaranya ke istana
Raja Brihadyumna.

“Tetapi Parawasu terkutuk oleh dosanya sendiri. Ternyata ia mempunyai
maksud jahat dan pertimbangan lain. Ia lupa bahwa dosa tidak bisa ditebus orang
lain. Mewakilkan penebusan dosa kepada orang lain sama dengan menyuruh orang
lain memikulkan dosa kita dan itu berarti menambah dosanya sendiri. Melihat
saudaranya yang lebih suci, bijaksana, dan berbudi luhur memasuki ruangan
upacara, Parawasu mengucapkan penghinaan dan menuduh saudaranya telah

membunuh seorang brah­mana. Katanya lantang, ‘Seorang pembunuh tidak boleh
dibiarkan masuk agar tidak mengotori ruangan suci ini.’ Kepada para pengawal
kerajaan Parawasu meminta agar saudaranya diusir keluar istana dengan alasan
istana tak boleh dikotori oleh orang yang membawa dosa sebagai pembunuh
seorang brahmana.

“Arwawasu menolak tuduhan itu dan berkata bahwa sesungguhnya Parawasu
yang melakukan dosa itu tanpa sengaja. Ia juga berkata bahwa dirinya telah
melakukan upacara penebusan atas nama saudaranya. Tetapi, tidak seorang pun
mempercayai kata-katanya. Penyangkalannya itu justru memperburuk kesan orang
akan dirinya. Atas perintah raja, ia diusir dengan kasar.

“Arwawasu yang dituduh membunuh ayahnya dan memberikan keterangan
palsu, kembali ke dalam hutan dengan perasaan putus asa. Tidak adakah keadilan
di dunia ini? Kemudian, dengan tekad yang bulat, ia mela-kukan tapa brata yang
seberat-beratnya. Dalam tapa brata ia berusaha menyucikan pikirannya dari segala
macam kejahatan dan memohon kepada Yang Maha Kuasa agar jalan ayahnya
dilapangkan di alam baka, terbebas dari belenggu karma dan pada gilirannya
kembali manunggal dengan Hyang Widhi Yang Maha Kuasa. Kecuali itu dia mohon
agar Parawasu, saudaranya, dibebaskan dari keja-hatan dan dosa yang telah
dilakukannya.”

Resi Lomasa menutup kisah itu dengan berkata kepada Yudhistira, “Arwawasu
dan Parawasu adalah dua brah-mana muda yang pandai dan terpelajar. Tetapi,
untuk bisa berbuat kebajikan dan mempunyai budi luhur, orang harus berusaha
selalu berbuat baik dan menghindari perbuatan buruk. Pengetahuan tentang baik-
buruk harus benar-benar meresap dalam jiwa seseorang dan tercermin dalam
perbuatannya sehari-hari. Hanya dengan jalan demikian seseorang dapat disebut
bijaksana dan berbudi luhur. Pengetahuan yang kita peroleh hanya merupakan
keterangan yang akan menimbuni pikiran kita dan membuat kita tidak bijaksana.
Semua itu ibarat pakaian luar yang diperlihatkan kepada orang lain tetapi
sesung-guhnya bukan bagian dari diri kita.”

***

Pandawa terus mengembara di dalam hutan, mengunjungi tempat-tempat suci,
pertapaan dan bekas pertapaan. Pada suatu hari, mereka sampai di pertapaan Resi
Uddalaka.

Menurut Resi Lomasa, Resi Uddalaka adalah seorang mahaguru ahli kitab-
kitab Weda dan mendalami falsafah Wedanta. Pengikut dan muridnya banyak sekali.
Salah satu di antara mereka bernama Kagola. Kagola adalah orang yang suci dan
teguh imannya, tetapi kurang cerdas. Ia sering ditertawakan dan dipermainkan
teman-temannya. Walaupun agak bodoh, mahagurunya tidak pernah putus asa
dalam mendidiknya. Resi Uddalaka tertarik pada kelu-huran budi dan tabiat Kogala
yang baik dan jujur. Ia ber-harap bisa menikahkan Sujata, putrinya, dengan Kagola
jika putrinya itu sudah dewasa.

Resi Lomasa melanjutkan, “Sujata dan Kagola dianuge­rahi seorang anak laki-
laki yang cerdas seperti kakeknya, Resi Uddalaka. Sejak kecil anak itu telah
menunjukkan tanda-tanda kecerdasan yang luar biasa. Sayangnya, anak itu
bongkok dan badannya benjol-benjol. Ada delapan benjolan di tubuhnya.

“Konon, benjolan itu muncul karena Kagola salah meng­ucapkan mantra ketika
anaknya masih dalam kandungan. Mendengar mantra yang salah, anak itu meronta-

ronta. Kesalahan itu diulang sampai delapan kali. Akibatnya, bayi itu terlahir
bongkok. Bayi itu kemudian dinamai Asta­wakra, artinya ‘delapan benjolan’.

“Pada suatu hari, Kagola mengikuti lomba penafsiran Wedanta. Dalam
perlombaaan itu ia berhadapan dengan Wandi, seorang ahli tafsir dari Negeri
Mithila. Dalam acara perdebatan, ternyata Kagola tidak dapat menandingi Wandi.
Karena malu, ia bunuh diri dengan menceburkan diri ke laut. Kelak, kekalahan
Kagola akan ditebus oleh anaknya.

“Astawakra tumbuh makin besar. Tubuhnya cacat, tetapi pikirannya cerdas luar
biasa. Dia diasuh oleh Resi Uddalaka, kakeknya. Waktu umurnya dua belas tahun,
ia sudah tamat mempelajari kitab-kitab suci Weda dan tafsir Wedanta.

“Pada suatu hari ia mendengar berita bahwa Janaka, raja Negeri Mithila, akan
mengadakan upacara besar. Dalam rangkaian upacara itu akan diadakan acara
mabebasan, yaitu lomba membaca dan menafsirkan kitab-kitab Sastra. Para
mahaguru, ahli-ahli pikir, dan ahli-ahli tafsir terkenal akan datang dari mana-mana.
Astawakra ingin sekali ikut berlomba. Maka pergilah ia ke Negeri Mithila diantarkan
pamannya, Swetaketu, yang sedikit lebih tua darinya.

“Dalam perjalanan menuju Negeri Mithila, mereka ber­papasan dengan
rombongan Raja. Pengawal-pengawal raja memerintahkan agar orang-orang
minggir, tetapi Astawa-kra malah berkata dengan berani, ‘Wahai pengawal kerajaan
yang budiman, seorang raja yang adil dan bijak-sana akan memberi jalan kepada
orang buta, orang cacat, para wanita, pembawa beban berat dan para brahmana,
seperti diajarkan dalam kitab-kitab suci Weda.’

“Ketika mendengar kata-kata luhur itu, Raja menasihati para pengawalnya,
‘Apa kata brahmana itu benar. Api adalah api; kecil atau besar tetap punya kekuatan
untuk membakar.’

“Tatkala Astawakra dan Swetaketu hendak memasuki ruangan upacara,
mereka ditahan oleh penjaga pintu, karena anak-anak yang belum cukup umur
dilarang masuk. Hanya mereka yang benar-benar ahli kitab-kitab suci Weda
diperbolehkan masuk.

“Astawakra berkata, ‘Kami bukan anak-anak lagi. Kami telah bersumpah
menjadi brahmana dan telah mempelajari kitab-kitab suci Weda. Mereka yang telah
mendalami tafsir Wedanta tidak akan menilai seseorang dari umur dan wajahnya.’

“Penjaga pintu itu membentak karena menganggap Astawakra masih bocah
dan omong besar. Tetapi si bongkok Astawakra melawan, ‘Maksudmu, badanku ini
bogel seperti labu tua yang tak ada isinya? Tinggi badan bukan ukuran untuk menilai
dalamnya pengetahuan sese-orang, begitu pula usia. Biarkan aku masuk!’

“Tetapi penjaga pintu itu tetap melarang Astawakra untuk masuk. Mereka
berbantah sengit.

“Rambut beruban bukan cerminan kematangan jiwa seseorang. Orang yang
betul-betul matang jiwanya adalah orang yang telah mempelajari dan memahami
Weda dan tafsir Wedanta, menguasai seluruh isinya dan meresapi inti ajarannya.
Aku datang untuk menantang Wandi, sang ahli tafsir,” kata Astawakra.

“Kebetulan, saat itu Raja Janaka lewat dan mendengar perdebatan itu. Raja
mengenali si bongkok dan bertanya, ‘Tahukah engkau bahwa Wandi, sang ahli pikir
dan ahli tafsir, telah mengalahkan banyak ahli dan mahaguru di masa lampau. Di

akhir perdebatan, mereka yang kalah menanggung malu. Ada yang menerjunkan diri
ke laut karena tak tahan menanggung malu. Apakah itu tidak mengecutkan hatimu?
Masih beranikah engkau mengikuti lomba ini?’

“Astawakra menjawab, ‘Wandi, si ahli tafsir, belum pernah menghadapi orang
seperti aku. Ia menjadi sombong karena dapat dengan mudah mengalahkan orang-
orang lain. Aku datang ke sini untuk membayar kekalahan ayah-ku. Riwayatnya
kudengar dari ibuku. Aku yakin, Wandi pasti dapat kukalahkan. Ijinkan kami masuk
dan mene­muinya.’

“Kemudian Astawakra menghadapi Wandi yang menjadi kebanggaan Negeri
Mithila. Perlombaan dimulai. Mereka berdebat tentang hal yang paling muskil yang
sudah diten-tukan sebelumnya. Perdebatan berlangsung seru, masing-masing
mempertahankan pandangannya.

“Di akhir lomba, para ahli tafsir memutuskan bahwa kemenangan ada di tangan
Astawakra. Wandi menderita kekalahan. Wandi menyembah Astawakra, kemudian
pergi ke laut untuk menyerahkan diri kepada Baruna, sang Dewa Laut, yang
menguasai seluruh perairan di dunia.”

Resi Lomasa berkata kepada Yudhistira, “Seorang anak tidak perlu sama
dengan ayahnya. Seorang ayah yang lemah raganya bisa saja mempunyai anak
yang kuat dan perkasa. Seorang ayah yang dungu bisa saja mempunyai anak yang
sangat cerdas. Sungguh keliru menilai kebe-saran seseorang dari tinggi badan dan
lanjut umurnya. Kenyataan luar dapat menipu, seperti halnya Kagola dan
Astawakra.”

***

Dalam perjalanan berikutnya, Resi Lomasa bercerita ten-tang kisah cinta dan
kesetiaan Sawitri kepada suaminya.

“Terkisahlah bahwa Raja Aswapati punya seorang putri yang cantik dan baik
hati bernama Sawitri. Nama itu sesuai dengan nama satu nyanyian suci untuk
upacara pemujaan. Setelah Sawitri cukup dewasa, Raja Aswapati membebaskan
putrinya untuk memilih sendiri calon sua-minya. Sawitri senang karena maksud baik
ayahnya. Sete-lah mendapat restu ayahnya, ia melakukan perjalanan ke negeri-
negeri jauh, naik kereta emas, didampingi seorang panasihat tua kepercayaan
ayahnya dan sejumlah pengawal.

“Dalam perjalanan itu ia singgah di berbagai negeri dan kerajaan. Sayangnya,
setelah melihat banyak pangeran dan pemuda bangsawan, hati Sawitri tetap dingin.
Tidak seorang pun membuatnya terpikat.

“Pada suatu hari, rombongan Sawitri sampai ke sebuah pertapaan di tepi
hutan. Pertapaan itu milik Raja Dyumat-sena yang telah ditaklukkan musuh dan
kehilangan kerajaannya. Kekalahan berat itu menyebabkan ia lekas menjadi tua dan
buta. Ia mengundurkan diri dari kera-maian hidup di ibukota, pergi ke hutan, lalu
menjalankan tapa brata ditemani istrinya dan putranya yang bernama Satyawan. Ia
sendiri yang membangun pertapaan itu.

“Sawitri bertemu dengan Satyawan di dalam hutan. Hatinya langsung terpikat
melihat pemuda itu, anak raja yang menjadi pertapa. Beberapa waktu kemudian,
setelah kembali ke istana, Sawitri menghadap ayahnya untuk menceritakan
pengalamannya.

“Raja Aswapati bertanya, ‘Anakku Sawitri, ceritakanlah. Siapa pemuda yang
telah menawan hatimu?’

“Sawitri menjawab dengan tersipu-sipu, ‘Baiklah, Aya­handa. Ia putra Raja
Dyumatsena yang telah kehilangan kekuasaan dan kerajaannya dan kini hidup
sebagai per-tapa di hutan. Pemuda itu rajin membantu ayah-ibunya mengumpulkan
umbi-umbian, daun-daunan dan buah­buahan untuk dimakan.’

“Setelah mendengar cerita putrinya, Raja Aswapati me-minta nasihat kepada
Resi Narada. Resi itu berkata bahwa pilihan Sawitri membawa firasat yang
menyedihkan. Kata­nya, ‘Dua belas bulan dari sekarang anak muda itu akan
meninggal dunia.’

“Mendengar firasat buruk yang disampaikan Resi Narada, Aswapati segera
menemui anaknya dan berkata, ‘Anakku Sawitri, anak muda itu akan menemui
ajalnya dua belas bulan dari sekarang. Jika kau menikah dengan-nya, engkau akan
segera menjadi janda. Pikirlah masak-masak! Batalkan pilihanmu, anakku sayang.
Aku tidak tega melihat engkau menjadi janda dalam waktu begitu singkat.’

“Dengan hati mantap Sawitri menjawab, ‘Jangan Aya­handa risaukan hal itu.
Jangan pula Ayahanda berharap aku mau kawin dengan orang lain dan
mengorbankan pengabdian serta cintaku yang telah kuserahkan kepada Satyawan.
Dialah pemuda pilihanku. Dalam hidup ini, se-orang perempuan hanya dipilih dan
memilih sekali. Aku sudah menentukan pilihanku. Aku tidak akan mengingka­rinya.’

“Melihat kemantapan putrinya, sebagai ayah Raja Aswa­pati tak dapat berbuat
apa-apa kecuali menikahkannya dengan pemuda pilihannya. Setelah upacara
perkawinan usai, Sawitri mengikuti Satyawan masuk ke hutan untuk mengabdi pada
mertuanya yang buta dan sudah tua.

“Sawitri tahu bahwa malapetaka akan menimpa suami-nya. Tetapi ia tidak
berkata apa-apa kepada Satyawan. Dengan tulus, ikhlas, dan rajin setiap hari
Sawitri ikut suaminya menjelajahi hutan untuk mengumpulkan umbi-umbian, daun-
daunan, dan buah-buahan untuk orangtua mereka. Demikianlah kehidupan mereka
setiap hari.

“Menjelang hari yang telah diramalkan itu, Sawitri tekun berpuasa dan
bersamadi. Ia melewatkan malam tanpa tidur. Sambil berurai air mata ia bersujud,
memohon karunia kekuatan dari dewata. Pada hari terakhir hidup suaminya, sedikit
pun Sawitri tidak bisa mengalihkan pandangannya dari suaminya.

“Hari itu, seperti biasa mereka pergi mengumpulkan umbi-umbian, daun-
daunan, dan buah-buahan. Tiba-tiba Satyawan mengeluh dan berkata kepada
Sawitri, ‘Kepalaku pening, panca indraku serasa berpusing, pandanganku kabur.
Wahai Sawitri, kantuk yang luar biasa memberat-kan langkahku. Biarlah aku
berhenti dan beristirahat sesaat.’

“Sawitri cemas, karena tahu apa yang akan terjadi. Tetapi, ia terus berusaha
menenangkan suaminya. Kata­nya, ‘Suamiku, jantung hatiku, baringkanlah
kepalamu di pangkuanku.’

“Sesaat setelah Satyawan membaringkan kepalanya di pangkuan Sawitri, ia
tertidur. Mula-mula badan dan kepa-lanya terasa bagai terbakar api, kemudian rasa
panas itu berangsur reda dan berubah menjadi dingin. Sawitri me-meluk suaminya
yang tak sadarkan diri sambil menangis tersedu-sedu.

“Di tengah hutan yang sunyi, Sawitri memeluk Satya­wan. Roh-roh kematian
berdatangan, hendak mencabut nyawa Satyawan. Tetapi, berkat lingkaran api gaib
yang mengelilingi Satyawan dan Sawitri, makhluk-makhluk pen-cabut nyawa itu tidak
berani mendekat. Mereka berbalik dan pergi menghadap Batara Yama, Dewa
Kematian, untuk melaporkan bahwa mereka gagal mencabut nyawa Satyawan.

“Batara Yama, Dewa Kematian, datang sendiri untuk mencabut nyawa
Satyawan. Kepada Sawitri ia berkata, ‘Anakku, lepaskan raga yang telah mati itu.
Ketahuilah, kematian pasti dialami semua makhluk hidup. Aku ini makhluk hidup
yang mati pertama kali di dunia ini. Sejak itu setiap makhluk hidup harus mati. Mati
adalah batas akhir hidup makhluk hidup.’

“Mendengar sabda sang Dewa Kematian, Sawitri rela melepaskan tubuh
Satyawan yang sudah tidak bernyawa. Setelah mengambil nyawa Satyawan, Batara
Yama pergi meninggalkan tempat itu. Tetapi setiap kali melangkah maju, ia
mendengar langkah orang mengikutinya dari bela-kang. Ia menoleh, dilihatnya
Sawitri mengikutinya. Ia berkata, ‘Wahai anakku Sawitri, kenapa engkau mengikuti
aku? Sudah ditakdirkan, setiap manusia pasti mati.’

“‘Aku tidak mengikuti engkau, Dewata,’ jawab Sawitri.

“Memang sudah suratan bagi kaum wanita; ia akan ikut ke mana pun cintanya
membawanya. Dan hukum alam yang abadi tidak akan memisahkan laki-laki dari
istrinya yang mencintainya dengan setia.

“Batara Yama berkata lagi, ‘Anakku, mintalah anugerah apa saja, kecuali jiwa
suamimu.’

“Sawitri menjawab, ‘Kalau demikian, aku mohon agar mertuaku yang buta
dapat melihat lagi dan hidup bahagia.’

“‘Permohonanmu kukabulkan, Anakku yang patuh dan setia,’ kata Batara Yama
lalu meneruskan perjalanan mem-bawa nyawa Satyawan. Tetapi, kembali ia
mendengar lang-kah-langkah kaki mengikutinya. Ia menoleh dan melihat Sawitri.
‘Anakku Sawitri, mengapa engkau masih juga mengikuti aku?’ tanyanya.

“‘Ya Dewata, aku tidak bisa berbuat lain selain ini. Aku sudah mencoba untuk
pulang, tetapi jiwa dan ragaku selalu mengikuti suamiku. Jiwa suamiku telah
kauambil, tetapi jiwaku selalu mengikutinya. Oh, Batara Yama, cabutlah juga jiwa
dari ragaku ini. Bawalah jiwaku bersama jiwa suamiku,’ demikian jawab Sawitri.

“‘Sawitri yang setia dan berbudi, peganglah kata-kataku. Mintalah anugerah
lagi, tetapi jangan jiwa suamimu,’ kata Dewa Kematian.

“‘Kalau begitu, aku mohon agar kekayaan dan kerajaan mertuaku dikembalikan
kepadanya,’ jawab Sawitri.

“‘Anakku yang penuh kasih dan cinta, permintaanmu kukabulkan. Pulanglah,
sebab manusia yang hidup tidak mungkin terus mengikuti Dewa Kematian,’ kata
Batara Yama lalu meneruskan perjalanannya.

“Tetapi Sawitri yang setia tetap mengikuti suaminya yang telah mati. Batara
Yama menoleh lagi, dan berkata, ‘Sawitri yang berhati luhur, jangan ikuti cintamu
yang sia­sia.’

“Sawitri menjawab, ‘Aku tidak dapat memilih jalan lain kecuali mengikuti
Engkau yang telah mengambil jiwa sua­miku tercinta.’

“‘Baiklah, Sawitri! Andaikata suamimu orang terkutuk penuh dosa dan harus
masuk neraka, apakah engkau akan mengikutinya ke neraka?’ tanya Dewa
Kematian.

“‘Dengan senang hati akan kuikuti dia, hidup atau mati, ke surga atau ke
neraka,’ demikian jawab Sawitri.

“‘Anakku, engkau kurestui. Peganglah kata-kataku ini. Mintalah anugerah sekali
lagi, tetapi ingat, yang sudah mati tak bisa dihidupkan lagi,’ kata Batara Yama.

“‘Kalau demikian, aku mohon berilah mertuaku seorang putra yang akan
meneruskan kelangsungan kerajaannya. Ijinkan kerajaannya diwarisi oleh anak
Satyawan,’ kata Sawitri.

“Batara Yama tersenyum mendengar permintaan Sawi­tri. Ia berkata, ‘Anakku,
engkau akan memperoleh segala keinginanmu. Terimalah jiwa suamimu, ia akan
bidup kembali. Ia akan menjadi ayah dan anak-anakmu kelak akan memerintah
kerajaan kakeknya. Telah terbukti, cinta dapat mengalahkan kematian. Tak ada
perempuan yang mencintai suaminya seperti engkau mencintai suamimu. Cintamu
yang tulus dan sangat besar telah mengalahkan maut. Bahkan aku, sang Dewa
Kematian, tidak berdaya melawan kekuatan cinta sejati yang bertakhta dalam
jiwamu.’”

Demikianlah, Resi Lomasa menceritakan riwayat Sawitri kepada Yudhistira
dalam salah satu perjalanan ziarahnya di dalam hutan. Sang Resi menekankan
bahwa cinta dan kesetiaan seorang istri adalah harta paling berharga yang bisa
dimiliki seorang lelaki.

28. Pertemuan Dua Kesatria Perkasa

Ketidakhadiran Arjuna di samping mereka, menyebab-Kkan Draupadi, Bhima
dan Sahadewa sering mengeluh. Draupadi merasa bahwa hutan Kamyaka tidak
menarik lagi tanpa kehadiran Arjuna, Bhima merasa tidak tenang dan Sahadewa
mengusulkan agar mereka pindah ke hutan lain karena di hutan itu terlalu banyak
kenangan akan Arjuna yang saat itu pergi jauh.

Yudhistira berkata kepada Dhaumnya, pendita dan penasihatnya, “Aku utus
Arjuna mendaki Gunung Hima-laya, mencari senjata pamungkas yang sakti untuk
menak-lukkan Bhisma, Drona, Kripa dan Aswatthama. Kita tahu, para mahaguru itu
pasti memihak putra-putra Dritarastra. Karna tahu rahasia semua senjata sakti dan
keinginannya yang terutama adalah bertanding melawan Arjuna dan
mengalahkannya. Karena itu, aku utus Arjuna menghadap Batara Indra untuk
memohon senjata pamungkas darinya. Kita tahu, kesatria-kesatria Kurawa tidak bisa
ditunduk-kan dengan senjata biasa.

“Arjuna telah lama pergi dan kini hutan ini terasa men-jemukan. Kami ingin
pergi ke hutan lain untuk menenang-kan pikiran dan meredakan kegelisahan kami
karena Arju-na tak kunjung pulang. Apakah Pendita dapat menyaran-kan, ke mana
sebaiknya kita pergi?”

Resi Dhaumnya memberi gambaran tentang hutan-hutan dan tempat-tempat
suci lainnya. Setelah mempersi-apkan diri, Pandawa pergi ke hutan lain untuk
melewatkan hari-hari yang harus mereka jalani selama masa penga-singan. Mereka
mengembara, keluar-masuk hutan, menje-lajahi padang-padang rumput, dan

akhirnya sampai ke kaki Gunung Himalaya yang tertutup hutan lebat dengan jurang-
jurang dalam dan lembah-lembah sempit.

Pada suatu hari, Draupadi terlalu letih setelah berjalan berhari-hari. Ia tak
sanggup melangkahkan kaki lagi. Yu-dhistira yang melihatnya menyuruh Bhima,
Sahadewa dan Gatotkaca, putra Bhima, untuk menemani Draupadi beristirahat di
Ganggadwara. Dia sendiri akan meneruskan perjalanan bersama Resi Lomasa dan
Nakula. Bhima tidak setuju dengan usul itu karena ia sangat merindukan Arjuna.
Kecuali itu, tidak dapat membiarkan Yudhistira pergi hanya bertiga, menembus
hutan lebat yang dihuni raksasa, binatang buas dan makhluk-makhluk jahat lainnya.
Meskipun perjalanan mereka akan semakin berat, Bhima berkata bahwa ia dan
Gatotkaca masih sanggup memikul Draupadi, Nakula dan Sahadewa. Akhirnya
dipu-tuskan untuk menjelajahi hutan itu bersama-sama, apa pun yang terjadi.

Demikianlah Pandawa meneruskan perjalanan menem-bus hutan sampai tiba
di Kulinda, di wilayah Kerajaan Subahu, di kaki Gunung Himalaya. Pandawa
disambut dengan penuh penghormatan oleh Raja Subahu dan ber-istirahat
beberapa hari di negeri itu. Kemudian mereka meneruskan perjalanan masuk ke
hutan Narayansrama. Di dalam hutan itu mereka berhenti untuk beristirahat
bebe-rapa hari.

Pada suatu hari, angin bertiup kencang dari timur laut, membawa bunga-
bunga, daun-daunan dan ranting-ranting kering. Tiba-tiba sekuntum kembang yang
terbawa angin jatuh di pangkuan Draupadi. Bunga itu menebarkan keha-ruman yang
lembut menawan hati. Draupadi memanggil Bhima dan berkata, “Kemarilah,
mendekatlah padaku dan lihatlah! Alangkah harumnya bunga ini! Alangkah
indah-nya! Kelak kalau kita kembali ke Kamyaka, akan kutanam bunga ini di sana.
Maukah engkau mencarikan pohon­nya?”

Bhima menyanggupi lalu pergi mencari pohon yang kembangnya membuat
Draupadi terpesona. Ia berjalan ke arah datangnya angin. Setelah berjalan cukup
jauh, ia sampai di kaki sebuah bukit. Di hadapannya ia melihat semak-semak dan
pepohonan rebah. Bhima mendekat dan melihat seekor kera besar berbulu indah
bercahaya sedang berbaring tak bergerak. Demikian besarnya kera itu hingga
Bhima tak bisa melangkah maju.

Ia mencoba mengusir binatang itu dengan berteriak-teriak, tetapi kera itu tetap
saja berbaring. Sambil mem-buka sebelah mata, kera itu berkata, “Aku sedang sakit,
karena itu aku berbaring di sini. Mengapa engkau memba-ngunkan aku? Engkau
manusia bijaksana, aku hanya binatang. Sebagai manusia yang berakal budi,
seharusnya engkau berbelaskasihan pada binatang, makhluk yang lebih rendah
derajatnya daripadamu. Jangan-jangan kau tidak tahu mana yang benar mana yang
salah. Siapakah engkau dan hendak ke manakah engkau? Kau tak bisa meneruskan
perjalanan lewat bukit ini, karena ini jalan khusus untuk para dewata. Tak ada
manusia di sini. Kalau engkau memang pandai dan berakal budi, kau pasti memilih
kembali.”

Bhima merasa diremehkan. Ia marah dan berteriak, “Siapa sebenarnya
engkau, hai kera?! Mengapa omong besar seperti itu? Aku ini kesatria keturunan
bangsa Kuru dan anak Dewi Kunti. Ketahuilah, aku ini putra Dewa Angin. Enyahlah
kau dari sini; kalau tidak, engkau akan kubinasakan.”

Mendengar bentakan Bhima, kera itu tersenyum dan berkata, “Memang benar
katamu, aku hanya seekor kera. Tetapi, percayalah, kau akan menemui kehancuran
jika tetap memaksa lewat.”

Bhima menjawab, “Aku tak sudi mendengarkan kata­katamu. Apa pedulimu?
Aku siap mati melawanmu. Bangun dan minggirlah. Jika kau bersikeras, aku akan
memaksamu.”

Kera itu berkata lagi, “Aku tak punya kekuatan lagi untuk bangun. Aku sudah
tua. Kalau kau memang mau lewat, langkahi saja aku.”

Bhima menjawab, “Tidak ada jalan yang lebih mudah dari itu. Tetapi kitab-kitab
suci melarang orang berbuat demikian. Kalau tidak, pasti aku sudah loncati engkau
dan bukit itu sekaligus dalam satu loncatan, seperti Hanuman melompati lautan.”

Kera itu tampak kaget, lalu bertanya, “Wahai kesatria budiman, siapakah
Hanuman yang mampu melompati lautan? Ceritakan padaku!’

“Apakah engkau tak pernah mendengar bahwa Hanu­man adalah kakakku
yang berhasil melompati lautan dan menempuh seratus yojana untuk mencari Dewi
Sita, istri Sri Rama? Aku sama dengan dia, baik dalam kekuatan maupun
keperwiraan. Ah, mengapa aku jadi lama berbin-cang denganmu? Sekarang,
bergeserlah jangan menghala-ngiku. Jangan membuat aku marah dan terpaksa
berkela­hi denganmu,” kata Bhima.

“Sabarlah, hai kesatria perkasa! Lembut hatilah sedikit. Tak ada salahnya
bersikap lembut meskipun engkau kuat dan perkasa. Kasihanilah yang lemah dan
yang tua. Aku sungguh tak mampu bangun sebab badanku telah tua dan rapuh.
Kalau engkau tidak mau meloncati aku, tolong singkirkan ekorku ke samping dan
carilah jalan untuk lewat,” kata kera itu dengan tenang.

Bangga akan kekuatannya sendiri, Bhima bermaksud menarik ekor kera itu
keras-keras dan menyingkirkannya. Tetapi, sungguh ia tak mengira. Walaupun telah
mengerah-kan seluruh tenaganya, sampai otot-ototnya terasa ngilu, sedikit pun ia
tak mampu menggeser ekor kera itu. Bhima menjadi sadar. Ia merasa malu. Sambil
menundukkan kepala ia memberi hormat dan bertanya, “Siapakah engkau? Apakah
engkau ini siddha, dewa, atau raksasa?”

Kera itu menjawab, “Wahai Pandawa perkasa, ketahui­lah aku ini saudaramu,
Hanuman, anak Batara Bayu, sang Dewa Angin. Jika tidak kuhalangi, engkau pasti
telah meneruskan perjalanan dan sampai ke dunia gaib yang dihuni raksasa dan
yaksha. Engkau pasti menemui mala-petaka di sana. Karena itulah aku
menghalangimu. Tak ada manusia yang bisa selamat melewati batas ini. Seka-rang,
pergilah ke lembah di bawah sana. Di tepi sungai yang membelah lembah itu
tumbuh pohon Saugandhika yang kaucari.”

Mendengar itu, Bhima sangat bahagia. Jantungnya berdegup kencang, sekujur
tubuhnya terasa hangat. Hanuman bangkit lalu menarik napas panjang. Tiba-tiba,
badannya membesar bagaikan gunung, seakan-akan memenuhi hutan itu. Bhima
silau memandang Hanuman yang menjadi luar biasa besar dan bulunya bercahaya
gemilang.

Hanuman berkata, “Bhima, di hadapan musuh badanku bisa bertambah besar
lagi.”

Kemudian ia mengembuskan napas dan berdiri di depan Bhima. Badannya
kembali mengecil, kembali ke ukuran biasa. Hanuman kemudian memeluk
Bhimasena. Ketika berpelukan, dua bersaudara itu masing-masing merasa
mendapat kekuatan berlipat ganda.

Hanuman berkata, “Wahai kesatria, kembalilah kepada keluargamu. Pikirkan
aku jika kau memerlukan pertolo-nganku. Aku sangat bahagia bisa bertemu
denganmu, Saudaraku. Aku merasa seperti bertemu Sri Rama yang suci raganya.”

Bhima menjawab, “Berbahagialah Pandawa sebab aku telah mendapat
kesempatan untuk bertemu denganmu. Berkat pengaruh kekuatanmu, aku yakin
kami pasti bisa mengalahkan musuh-musuh kami.”

“Kelak dalam pertempuran besar, jika kau meraung seperti singa jantan,
suaraku akan berpadu dengan suara-mu, menggelegar di angkasa dan
menyebabkan musuh-musuhmu gemetar ketakutan. Aku akan hadir di dekat
bendera kereta Arjuna. Engkau pasti menang!” kata Hanuman seraya menunjukkan
jalan ke tempat tumbuh-nya pohon kembang Saugandhika.

Setelah berpamitan, Bhima melanjutkan perjalanan mencari pohon
Saugandhika yang diinginkan Draupadi.

Sementara Bhima pergi mencari pohon kembang yang diinginkan Draupadi,
Pandawa dikunjungi Resi Markan-deya. Resi itu bertemu dan bercakap-cakap
dengan Yudhistira. Hal yang mereka bicarakan adalah wanita.

“Adakah yang lebih mengagumkan daripada kesabaran dan kesucian hati
wanita? Ia yang melahirkan anak, sete-lah sembilan bulan menunggu dengan penuh
kasih sayang dan kecemasan. Sebagai ibu, ia mengasuh dan membesar-kan
anaknya dengan cinta yang melebihi cintanya pada hidupnya sendiri? Ia serahkan
anaknya kepada dunia dengan penuh penderitaan dan kecemasan. Ia selalu
me-mikirkan dan berusaha menjaga kesehatan serta kebaha-giaan anaknya.
Dengan jiwa besar dan penuh pengampu-nan wanita tetap mencintai suaminya,
meskipun suaminya jahat, menyia-nyiakannya, memarahinya dan menyiksa-nya.
Alangkah anehnya dunia ini!”

Demikianlah percakapan itu dimulai. Kemudian Resi Markandeya bercerita.

“Ada seorang brahmana bernama Kausika. Ia sangat taat pada sumpahnya
sebagai brahmacharin. Setiap hari ia tekun bekerja, belajar, dan menyiapkan
upacara persem-bahyangan.

“Pada suatu hari, ketika ia sedang membaca Weda di bawah sebatang pohon,
seekor burung hinggap di dahan pohon itu. Burung itu membuang kotoran, jatuh
tepat di kepala Kausika. Brahmana itu marah karena kepalanya kena kotoran
burung. Dengan kekuatan sorot matanya yang merah didorong amarah, ia
memandang burung itu hingga burung itu jatuh dan mati. Kausika menyesal. Hatinya
sedih karena terlanjur membunuh burung yang tidak berdosa itu dengan
melampiaskan pikiran jahat dan kemarahannya.

“Sesuai tradisi, sebagai brahmacharin, Kausika harus hidup dari meminta-
minta. Pada suatu hari ia pergi meminta-minta ke sebuah rumah. Dia duduk di
ambang pintu rumah itu, menunggu diberi sedekah. Lelaki kepala keluarga itu
sedang bepergian dan istrinya sedang sibuk membersihkan perabot dan alat-alat
dapur. Ia meminta sang brahmana menunggu sebentar. Ketika itu tahu-tahu
suaminya datang. Karena lelah dan lapar, ia langsung minta makan kepada istrinya.

Sudah sewajarnya, perem-puan itu melayani suaminya yang baru pulang. Karena
kesibukannya, ia seperti lupa pada sang brahmana. Tetapi rupanya tidak demikian.
Setelah suaminya selesai makan, ia menemui Kausika yang sudah lama menunggu.
Ia meminta maaf karena kesibukannya tadi dan kini siap melayani brahmana itu.

“Kausika marah karena dibiarkan menunggu lama. Ia berkata, ‘Ibu, engkau
telah membiarkan aku menunggu terlalu lama. Sikapmu itu tidak adil.’

“Sekali lagi perempuan itu minta maaf, tetapi rupanya Kausika belum puas
marah-marah. Katanya menyindir, ‘Benar, tugas seorang istri adalah melayani
suaminya. Tetapi, tidak berarti ia boleh menyia-nyiakan seorang brah-mana. Dasar
perempuan sombong!’

“‘Jangan marah-marah, wahai Bapa Brahmana. Aku sudah meminta Bapa
menunggu karena aku sedang me-nyelesaikan tugas utamaku, yaitu mengurus
rumahku dan melayani suamiku. Aku bukan burung yang dapat dibunuh dengan
sorot mata penuh amarah. Kemarahan seorang brahmana tidak akan
mengakibatkan apa-apa bagi perempuan yang mengabdi dan melayani suaminya
dengan baik,’ kata perempuan itu.

“Kausika terdiam. Ia berkata dalam hati, ‘Bagaimana mungkin perempuan ini
bisa tahu tentang burung yang tak sengaja kubunuh itu?’

“Perempuan itu meneruskan kata-katanya, ‘Wahai Brahmana terhormat,
engkau tidak memahami rahasia kewajiban. Engkau juga tidak sadar bahwa amarah
adalah musuh terbesar yang bersarang di dalam diri manusia. Maafkan
keterlambatanku dalam memberimu sedekah. Sekarang pergilah ke Mithila untuk
mendapatkan petunjuk tentang hidup baik dari Dharmawyadha yang tinggal di sana.’

“Kausika pergi ke Mithila dan berusaha mencari orang yang bernama
Dharmawyadha. Ia mengira orang yang dicarinya itu tinggal di pondok yang sunyi,
bebas dari kesibukan dan hiruk-pikuk kehidupan kota besar. Ia berjalan menyusuri
jalanan yang ramai, sambil bertanya kepada orang-orang apakah mereka tahu
tempat tinggal orang yang sedang dicarinya. Atas petunjuk orang-orang itu, akhirnya
Kausika sampai ke sebuah kedai yang men-jual daging. Ia melihat penjual daging itu
sibuk melayani pelanggannya. Setelah pertanyaannya dijawab, Kausika kaget
sekali. Ia tidak mengira bahwa orang yang sedang dicarinya ternyata seorang jagal
dan penjual daging. Ia marah dan muak melihat keadaan di warung itu.

“Melihat Kausika datang, penjual daging itu berdiri dan memberi hormat sambil
berkata, “Wahai Brahmana yang kuhormati, bagaimana kabarmu? Sehat-sehat
sajakah? Apakah engkau disuruh istri yang bijak itu datang ke tempatku?’

“Kausika terdiam karena heran. Dharmawyadha melan­jutkan, ‘Aku tahu ada
seorang brahmana yang akan datang menemuiku. Datanglah ke rumahku untuk
ber­istirahat, sebab perjalananmu masih jauh.’

“Kausika sadar setelah melihat ketekunon Dharmawya-dha mengerjakan
tugasnya sehari-hari; dari melayani para pembeli daging di kedainya hingga
melayani orangtua dan anggota keluarganya di rumah. Semua itu ia lakukan dengan
baik, hingga ia merasakan hidup yang tenang dan bahagia di tengah keluarga dan
lingkungannya.”

Setelah mengakhiri ceritanya, Resi Markandeya berkata, “Inti kisah ini adalah
bahwa manusia dapat mencapai kesempurnaan jika ia selalu tekun dan ikhlas
mengerjakan setiap tugas yang dipikulkan kepadanya. Itulah inti sujud kita kepada

Yang Maha Kuasa. Pekerjaan seseorang mungkin telah digariskan sejak ia
dilahirkan, atau mung-kin dipengaruhi oleh lingkungannya, atau mungkin karena
pilihannya sendiri. Apa pun pekerjaan seseorang, yang penting ia menjalankannya
dengan semangat ketaatan dan kejujuran. Inilah dharma yang sesungguhnya.
Tanpa disa-darinya, Kausika telah belajar tetang hidup sederhana, jujur, setia, tekun
dan taat pada pengabdian dari Dharma­wyadha, si penjual daging.”

29. Duryodhona yang Haus Kekuasaan

Dritarastra tampaknya hidup tenang dan bahagia di istana Hastinapura. Tetapi,
sebenarnya ia selalu memikirkan akibat dari pertentangan antara anak-anaknya dan
Pandawa. Apakah Yudhistira akan selalu bisa mere-dakan amarah Bhima yang
mudah menggelegak dengan alasan-alasan yang bisa diterimanya? Dritarastra juga
cemas memikirkan kebencian Pandawa yang dipendam bagai air dalam bendungan,
sewaktu-waktu bisa bobol dan mengamuk seperti air bah, menghanyutkan segala
dan semua.

Kelak, jika Pandawa kembali dari pengasingan, mereka pasti telah semakin
kuat dan sakti. Mereka telah menem-puh bermacam-macam cobaan hidup selama
tiga belas tahun mengembara. Waktu yang cukup lama untuk mem-buat manusia
matang pengalaman. Sementara itu, Syakuni, Karna, Duhsasana dan Duryodhona
hidup bergelimang kekuasaan dan menjadi lupa daratan.

Itulah yang selalu membuat hati Dritarastra risau.

Pada suatu hari, Karna dan Syakuni berkata kepada Duryodhona, “Kerajaan
yang tadinya ada di tangan Yudhistira kini menjadi milik kita. Kita tidak perlu lagi iri
kepadanya.”

Duryodhona menjawab, “Oh Karna, itu betul. Tetapi alangkah nikmatnya kalau
aku dapat melihat penderitaan Pandawa dengan mata kepalaku sendiri. Kita hina
mereka dengan memperlihatkan kesenangan dan kebahagiaan kita kepada mereka.
Kita harus pergi ke hutan untuk melihat bagaimana kehidupan mereka di
pembuangan.”

Sebelum menjalankan rencananya, Duryodhona sudah kesal karena yakin
ayahnya pasti takkan mengijinkannya. Ia berkata lagi, “Tapi Ayahanda pasti tidak
akan mengijin-kan. Ayahanda takut pada Pandawa, sebab mereka dianugerahi
kesaktian oleh para dewata selama dalam pertapaan dan penyucian diri. Ayahanda
pasti melarang kita pergi ke hutan untuk melihat dan mengolok-olok mereka. Ah,
kesenangan ini kurang memuaskan kalau kita tak bisa melihat penderitaan
Draupadi, Bhima dan Arjuna. Bukankah hidup tanpa kepuasan berarti hidup dalam
siksaan? Syakuni dan engkau, Karna, harus berusaha agar Ayahanda mengijinkan
kita pergi.”

Keesokan harinya Karna datang menemui Duryodhona dengan wajah berseri-
seri. Katanya, “Bagaimana pendapat­mu kalau kita minta ijin pergi ke Dwaitawana,
ke ladang dan padang penggembalaan ternak kita? Baginda pasti tidak keberatan.
Dari sana, sambil berburu, kita bisa meneruskan rencana kita.”

Duryodhona dan Syakuni langsung setuju. Mereka lalu menyuruh penjaga
Dwaitawana untuk mempersiapkan segala sesuatunya.

Dritarastra tidak menyetujui rencana itu. Katanya, “Berburu memang baik untuk
putra-putra raja. Aku pun berniat memeriksa ternak kita di sana. Tetapi karena
Pandawa sedang berada dalam hutan dekat situ, aku tidak mengijinkan kalian pergi
ke sana. Jika kuijinkan kalian pergi, sementara Bhima dan Arjuna ada di dekat
Dwai­tawana, itu sama artinya dengan membangunkan singa dari tidurnya.”

Duryodhona menjawab, “Kami tidak akan pergi dekat­dekat situ. Kami akan
berhati-hati dan menghindari mereka.”

Dritarastra berkata lagi, “Betapapun hati-hatinya eng-kau, dekat-dekat saja
sudah berbahaya. Siapa tahu, salah satu pengawalmu tersesat dan bertemu dengan
Pandawa.

Itu dapat menimbulkan perselisihan. Akan kukirim orang lain untuk memeriksa
ternak kita. Kalian tidak boleh pergi.”

Syakuni menyela, “Tuanku, kami tahu, Yudhistira itu bijaksana dan patuh akan
dharma. Ia telah bersumpah di depan para tetua dan banyak orang. Pandawa pasti
patuh padanya. Putra-putra Kunti tidak akan memperlihatkan permusuhan kepada
kita. Sebaliknya, jangan menghalangi keinginan Duryodhona untuk berburu setelah
memeriksa ternak. Aku akan menemani dan menjaganya agar dia tidak pergi ke
dekat tempat Pandawa.”

Seperti biasa, karena didesak-desak Dritarastra menye­rah. Katanya, “Jika
demikian, pergilah. Puaskan hatimu.”

Demikianlah Kurawa pergi ke Dwaitawana diiringkan sepasukan pengawal.
Duryodhona dan Karna sangat senang. Dengan pongah mereka berniat untuk
menertawa-kan kesengsaraan Pandawa. Setelah memeriksa ternak, antara lain,
sapi, banteng, biri-biri, dan kambing, Duryo-dhana dan rombongannya mengadakan
pesta. Mereka ber-senang-senang, menyanyi, menari, berteriak-teriak, dan
bersorak-sorai. Setelah puas berpesta dan cukup ber-istirahat, mereka pergi berburu
ke dekat hutan tempat Pandawa menjalani pengasingan. Duryodhona menyuruh
para pengawal mencari tempat yang baik untuk berkemah.

Mereka menemukan sebuah tempat yang lapang di tepi telaga. Tetapi
Chitrasena, raja raksasa yang perkasa, su-dah beberapa hari berkemah di situ
bersama para penga-walnya. Balatentara Chitrasena menyuruh para pengawal
Duryodhona mencari tempat lain. Para pengawal itu melapor kepada Duryodhona
yang merasa ditantang. Ia memerintahkan balatentaranya mengusir Chitrasena dan
memasang kemah Kurawa di tempat itu. Balatentara Duryodhona kembali ke tepi
telaga dan mencoba melak-sanakan perintah itu. Tetapi balatentara Chitrasena telah
siap melawan. Para pengawal Duryodhona kalah dan terpaksa lari terbirit-birit.

Duryodhona sangat marah mendengar kekalahan pengawalnya. Ia
memerintahkan balatentaranya menyerbu. Maka terjadilah pertempuran sengit
antara pengawal Dur-yodhana dan pengawal Chitrasena. Raja raksasa itu tidak
membiarkan pertempuran itu berlangsung lama, karena ia sangat mengenal dan
menguasai wilayah itu. Segera ia memerintahkan balatentaranya menggunakan
senjata-senjata sakti. Banyak pengawal Duryodhona yang tewas, sisanya lari
meninggalkan kereta, kuda, dan senjata mere-ka. Karena lebih kuat dan
berpengalaman, dalam waktu yang tidak lama pengawal Chitrasena berhasil
memenang-kan pertempuran; sementara Duryodhona mendapati dirinya ditawan
lawan dan ditinggalkan pengawalnya. Dengan tangan dan kaki terikat ia dimasukkan

ke dalam kereta Chitrasena. Sangkakala, terompet dari kerang besar, ditiup
mengalun keras menandai kemenangan pihak Chi-trasena.

Beberapa pengawal Duryodhona yang melarikan diri sampai ke tempat
pengasingan Pandawa. Bhima senang mendengar Duryodhona kalah. Ia segera
menyampaikan berita itu kepada Yudhistira. Katanya, “Pasukan raksasa telah
mengalahkan Duryodhona. Aku yakin, dia sengaja datang ke sini untuk menghina
dan mengejek kita. Aku pikir, ada baiknya kita bersahabat dengan Chitrasena.”

Tetapi Yudhistira menjawab, “Saudaraku tercinta, ini bukan saat yang tepat
bagi kita untuk bergembira. Kau-rawa adalah kerabat kita, keturunan mereka adalah
ketu-runan kita juga. Sekarang mereka sedang mendapat malu, dan itu berarti
tamparan bagi kita juga. Kita tidak boleh membiarkan penghinaan ini. Kita harus
membantu sau-dara-saudara kita.”

Bhima tidak setuju. Ia berkata, “Mengapa kita mesti melindungi manusia
durhaka dan penuh dosa yang pernah mencoba membakar kita hidup-hidup di
dalam istana kayu waktu itu? Mengapa kita harus kasihan kepada orang yang
pernah mencoba membunuhku dengan racun dan meneng-gelamkan aku di sungai?
Rasa persaudaraan seperti apa yang dimiliki manusia durhaka yang telah menghina
Draupadi, menyeret rambutnya dan berusaha menelanja-nginya di depan orang
banyak?”

Sementara mereka berdebat, terdengarlah rintihan Dur-yodhana. Yudhistira
kasihan dan menasihati Bhima agar melupakan semua pengalaman buruk itu. Ia
meminta Bhima menolong Kurawa. Meskipun tak bisa memahami keputusan
Yudhistira, Bhima dan Arjuna patuh pada perintah kakaknya. Mereka
mengumpulkan para pengawal Duryodhona yang melarikan diri ke tempat
pengasingan mereka lalu memimpin penyerbuan ke perkemahan bala-tentara
raksasa itu.

Chitrasena mendengar hal itu, tetapi ia tidak ingin ber-tempur melawan
Pandawa. Ia menawarkan perundingan. Setelah berunding akhirnya ia mau
membebaskan Duryo-dhana dan tawanan lainnya. Chitrasena berkata bahwa ia
hanya ingin memberi pelajaran pada Duryodhona yang congkak.

Kurawa kembali ke Hastinapura. Di tengah jalan, Karna menggabungkan diri.
Duryodhona sangat malu dan terhina. Ia mencurahkan perasaannya kepada
saudara-saudaranya. Baginya lebih baik mati di tangan Chitrasena daripada
dipermalukan seperti itu. Ingin rasanya ia berpuasa seumur hidup, sampai mati.
Katanya kepada Duhsasana, “Engkau kuangkat menjadi raja sebagai peng­gantiku.
Pimpinlah kerajaan ini. Aku tidak sanggup hidup lebih lama dan menjadi tertawaan
musuh-musuh kita.”

Duhsasana terharu mendengar kata-kata kakaknya. Karna menghibur, “Tidak
pantas seorang kesatria keturu-nan Kuru berputus asa. Apa gunanya berputus asa
karena perasaan sedih dan duka? Itu hanya akan membuat mu-suh-musuh kita
semakin senang. Lihatlah Pandawa. Mereka tidak berpuasa sampai mati, meskipun
menang­gung malu yang amat besar.”

Syakuni menambahkan, “Dengarkan kata-kata Karna. Mengapa engkau
berpikir untuk bunuh diri padahal seluruh kerajaan, termasuk yang kita rampas dari
tangan Pandawa, adalah milikmu? Berpuasa dengan niat seperti itu sama sekali
tidak ada gunanya. Kalau engkau memang menyesal, lebih baik kau berdamai
dengan Pandawa dan mengembalikan hak mereka atas kerajaan ini.”

Mendengar nasihat Syakuni, bukannya berterima kasih, Duryodhona justru
menjadi marah. Dengan berang ia ber­kata, “Daripada mengembalikan kerajaan
kepada Pandawa, lebih baik aku mati. Itu jauh lebih buruk daripada keka-lahan dan
penghinaan. Tidak, aku akan hancurkan Pan­dawa!”

“Kau sungguh jantan. Begitulah seharusnya sikap seorang kesatria,” kata
Karna menyetujui. Kemudian ia menambahkan, “Apa masuk akal memilih mati
dengan cara yang memalukan? Kau hanya dapat berbuat sesuatu jika kau masih
hidup.”

Dalam perjalanan pulang, Karna menambahkan, “Aku bersumpah kepadamu,
di hadapan para dewata dan roh para suci, bila tahun ketiga belas yang telah
disepakati itu habis, aku akan membunuh Arjuna dalam perang besar!” Karna
mengolesi pedangnya dengan ludahnya, kemudian mengacungkan pedang itu
sebagai tanda ia telah ber-sumpah.

Demikianlah, rasa benci semakin bertakhta di lubuk hati Kurawa yang tak
pernah merasa puas. Ibarat api dalam sekam, tak terlihat sebelumnya tahu-tahu
sudah membesar, berkobar-kobar.

Ketika Duryodhona berniat melangsungkan upacara Rajasuya, para brahmana
menasihatinya. Kata mereka, Duryodhona belum patut melaksanakan niatnya
karena Dritarastra dan Yudhistira sebagai pewaris kerajaan Astina dan keturunan
sah Kuru masih hidup. Saat itu, yang boleh dilaksanakannya adalah upacara
Waishnawa.

Dengan penuh kemegahan, Duryodhona melaksanakan upacara Waishnawa.
Setelah upacara selesai, banyak yang membicarakan upacara itu, yaitu yang tidak
lebih dari seperenambelasnya upacara Rajasuya yang diselenggara-kan Yudhistira
dulu. Namun kawan-kawan Duryodhona mengatakan bahwa upacara itu menyamai
kebesaran upacara-upacara yang pernah dilaksanakan oleh Yayati, Mandhata,
Bharata dan lainnya.

Ya, kawan-kawan Duryodhona adalah para penjilat yang suka mencari muka,
tukang puji dan tukang gunjing. Kesempatan seperti itu pasti mereka gunakan untuk
me-nyanjung, meninabobokan, bahkan menghasut Duryodha-na. Karna, misalnya,
mengatakan kepada para pendukung Duryodhona bahwa upacara Rajasuya yang
akan diadakan Duryodhona ditunda karena Pandawa belum dimusnahkan dan ia
belum membunuh Arjuna.

Seperti biasa, Karna berkata dengan congkak, “Sebelum aku dapat membunuh
Arjuna, aku bersumpah tidak akan makan daging dan minum minuman yang
memabukkan; aku juga tidak akan menolak permintaan kawanku, siapa pun dia.
Inilah sumpahku.”

Demikian Karna bersumpah dalam pertemuan keluarga Kurawa. Anak-anak
Dritarasta merasa beruntung karena Karna memihak mereka.

Mata-mata Pandawa melapor tentang sumpah Karna ke-pada Pandawa.
Yudhistira menanggapi itu sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh berbahaya,
karena ia tahu Karna adalah kesatria sakti yang mahir menggunakan segala macam
senjata.

Pada suatu malam, Yudhistira bermimpi, semua bina-tang di hutan itu datang
kepadanya dan memohon agar mereka dilindungi dan jika mungkin Pandawa pindah
dari hutan itu. Pagi harinya, ketika terjaga, Yudhistira merasa bahwa mimpinya itu

adalah firasat buruk, pertanda akan adanya bahaya. Rasa kasihnya kepada
binatang-binatang hutan mendorongnya mengambil keputusan untuk me-ninggalkan
hutan itu.

Pada suatu hari, Resi Durwasa dan seribu pengikutnya menemui Duryodhona.
Duryodhona sudah mengetahui sifat Resi Durwasa yang suka menguji dan mencari-
cari kesalahan orang. Duryodhona menerima rombongan tamu itu dengan sangat
hati-hati. Ia sendiri yang melayani Resi Durwasa dengan ramah tamah. Puas atas
sambutan Dur-yodhana, Resi Durwasa mengijinkan Duryodhona meminta satu
anugerah. Duryodhona tidak melewatkan kesempatan itu. Dengan pikiran agar resi
itu mencari-cari kesalahan Pandawa, ia berkata, “Bapa Resi yang kami hormati,
kami merasa mendapat restu luar biasa karena kedatangan Bapa ke sini. Sambutan
dan jamuan yang kami hidangkan hanya sederhana. Saudara-saudara kami,
Pandawa, kini sedang mengembara di hutan. Mohon Bapa Resi meluang-kan waktu
untuk mengunjungi mereka dan membuat mereka senang karena merasa direstui.”

Kemudian Duryodhona mengusulkan hari untuk ber-kunjung ke hutan. Hari itu
ditentukan setelah memper-hitungkan kapan persediaan makanan Pandawa habis
dan karenanya mereka pasti tak bisa menjamu Resi Durwasa dan seribu
pengikutnya. Dalam keadaan demikian Pan-dawa akan mendapat kutuk-pastu dari
sang Resi.

Resi Durwasa menjawab, “Baiklah kalau itu perminta­anmu. Aku akan
mengunjungi Pandawa di hutan pada hari yang telah engkau tentukan.”

Bukan main senangnya hati Duryodhona mendengar jawaban sang Resi.
Pandawa pasti takkan sanggup meneri-ma tamu sebanyak itu dengan sambutan
penuh kehorma-tan dan hidangan mewah melimpah. Dan jika Resi Durwa-sa marah,
ia pasti melancarkan kutuk-pastu yang mengeri-kan terhadap Pandawa.
Demikianlah yang dibayangkan oleh Duryodhona.

Seperti diharapkan oleh Duryodhona, Resi Durwasa ber-sama pengikutnya
pergi ke tempat Yudhistira. Sampai di sana kira-kira pada saat makan siang. Waktu
itu Pandawa baru saja selesai makan. Mereka mengucapkan selamat datang
kepada rombongan Resi Durwasa dengan penghor-matan sepatutnya. Resi itu
berkata, “Kami ingin member­sihkan badan dulu di sungai. Kami akan kembali ke
sini kira-kira waktu makanan telah siap. Kami sudah lapar.” Setelah berkata
demikian, Resi Durwasa pergi mandi ke sungai bersama pengikutnya.

Selama mengembara di pengasingan, secara teratur Yudhistira selalu
bersamadi dan bertapa brata. Dalam samadinya, Batara Surya mengunjunginya dan
menganu-gerahkan tempurung berisi bahan makanan sambil bersab­da, “Bahan
makanan dalam tempurung ini akan cukup untuk kebutuhan kalian sehari-hari dan
akan memberi kekuatan kepada kalian selama dua belas tahun dalam pengasingan.
Isi tempurung ini takkan habis sebelum semua orang dan Draupadi makan.”

Dalam tradisi, tamu harus dipersilakan makan lebih dulu, lebih-lebih jika dia
brahmana. Sesudah tamu, giliran tuan rumah dan yang terakhir adalah istri atau ibu
anak-anak. Tetapi, ketika Resi Durwasa tiba di tempat pengasi-ngan Pandawa,
semua orang sudah selesai makan dan makanan sudah habis. Draupadi menjadi
bingung sebab pengikut Resi Durwasa berjumlah seribu. Dalam keadaan demikian,
Draupadi berharap Krishna datang menolong-nya. Berkat kebesaran dharma,
Krishna tiba-tiba muncul dan langsung berkata, “Aku sangat lapar. Bawakan

maka-nan untukku. Sedikit tidak apa, asal ada yang bisa dima-kan. Setelah itu baru
kita bicara.”

Draupadi kaget, tak tahu harus berbuat apa kecuali berterus-terang bahwa
makanan telah habis sama sekali. Ia mengaku sangat mengharap kedatangan
Krishna untuk menolongnya menjamu Resi Durwasa dan seribu pengikut-nya. Saat
ini mereka sedang mandi-mandi di sungai.

Krishna tetap berkata bahwa ia lapar dan ingin makan sekadarnya. Untuk
membuktikan bahwa memang sudah tidak ada makanan, Draupadi mengajak
Krishna ke dapur untuk melihat sendiri. Krishna melihat ada kerak nasi dan sisa
sayur lekat di dasar tempurung. Setelah Krishna makan kerak nasi dan sisa sayur
itu, Draupadi berkata, “Aku malu, belum sempat membersihkan alat-alat dapur.”

Kemudian Krishna menyuruh Bhima menjemput Resi Durwasa dan
mengatakan bahwa makanan telah siap. Tetapi Bhima bingung, sebab ia tahu tak
ada lagi makanan untuk Resi Durwasa dan pengikutnya. Mungkin resi itu akan
marah dan merasa dihina. Tetapi, Bhima selalu patuh kepada Krishna. Meskipun
hatinya cemas, ia tetap pergi menjemput Resi Durwasa untuk menyampaikan pesan
Krishna. Mendengar bahwa Krishna ada di situ, Resi Durwasa dan pengikutnya
merasa bersyukur dan senang. Tiba-tiba saja rasa lapar mereka hilang. Selesai
member-sihkan badan, mereka berduyun-duyun menemui Krishna dan bersujud
menyembahnya.

Berkatalah Resi Durwasa, “Kami datang kemari untuk meminta makan kepada
Yudhistira. Tetapi Engkau, Yang Kami Muliakan, ada di sini dan itu menyebabkan
kami tidak lapar lagi. Kami bahagia. Restui dan berkatilah kami, oh putra
Basudewa!”

Mereka lalu mohon diri untuk pulang. Resi Durwasa dan pengikutnya
menganggap Krishna sebagai Sang Pem-bimbing Yang Maha Bijaksana. Mereka
bersyukur bisa bertemu denganNya dan karena itu tidak merasa lapar lagi. Itulah
makna sabda Batara Surya kepada Dharmaputra, bahwa dalam keadaan apa pun
dharma akan selalu bersa-ma Yudhistira, memberi petunjuk dan menguatkan
iman-nya dalam menghadapi penderitaan dan kesengsaraan.

30. Telaga Ajaib

Tahun pengasingan yang kedua belas sudah hampir ber-Takhir. Pandawa
berunding, mencari cara untuk mele-watkan tahun ketiga belas tanpa dikenali siapa
pun. Ketika itu, datanglah seorang brahmana meminta bantuan mere-ka untuk
menangkap seekor menjangan yang melarikan pedupaannya.

Demikianlah kisahnya.

Seekor menjangan datang mendekati pedupaan milik sang brahmana. Mungkin
karena gatal atau mungkin kare-na kedinginan, ia menggosok-gosokkan badannya
pada pedupaan itu. Brahmana yang melihat itu, segera mengha-launya. Menjangan
itu terlonjak kaget, lalu berlari menja-uh. Pedupaan itu tersangkut pada tanduknya
dan terbawa lari.

“Wahai Pandawa, menjangan itu membawa lari pedupa­anku. Tolonglah aku,
aku tidak mampu mengejar menja­ngan itu,” kata brahmana itu kepada Yudhistira.

Pandawa kemudian memburu menjangan itu beramai-ramai dan
mengepungnya dari berbagai arah. Tetapi, rupa-nya itu bukan sembarang
menjangan. Ia terus berlari men-jauh dan selalu berhasil lolos dari kepungan. Tanpa
sadar Pandawa telah jauh masuk ke dalam hutan dan men-jangan itu seakan hilang
ditelan rimba raya. Pandawa yang lelah menghentikan pengejaran dan beristirahat di
bawah sebatang pohon beringin hutan yang rindang.

Nakula mengeluh, “Alangkah merosotnya kekuatan kita sekarang. Menolong
seorang brahmana dalam kesulitan sekecil ini saja kita tidak bisa. Bagaimana
dengan kesu­litan yang lebih besar?”

“Engkau benar. Ketika Draupadi dipermalukan di depan orang banyak
seharusnya kita bunuh saja manusia-manu-sia kurang ajar itu! Tetapi... kita tidak
berbuat apa-apa. Dan sekarang inilah akibatnya,” kata Bhima sambil me­mandang
Arjuna.

Dengan sikap membenarkan, Arjuna berkata, “Ya benar, aku juga tidak berbuat
apa-apa ketika dihina oleh anak sais kereta itu. Inilah upahnya sekarang!”

Yudhistira merasakan kesedihan hati saudara-saudara-nya. Mereka kehilangan
semangat juang mereka. Untuk melengahkan pikiran, ia berkata kepada Nakula,
“Adikku, panjatlah pohon itu. Lihatlah baik-baik, barangkali di dekat-dekat sini ada
sungai atau telaga. Aku haus sekali.”

Nakula naik ke pohon yang tinggi. Setelah melihat seke-lilingnya, ia berteriak,
“Di kejauhan kulihat ada air terge­nang dan burung-burung bangau. Mungkin itu
telaga!”

Yudhistira menyuruhnya turun dan pergi mengambil air. Nakula pergi dan
memang menemukan sebuah telaga. Karena sangat haus, ia berpikir untuk minum
dulu sebe-lum membawakan air untuk saudara-saudaranya. Baru saja ia hendak
mencelupkan tangannya ke dalam air, tiba­tiba terdengar suara, “Janganlah engkau
tergesa-gesa. Telaga ini milikku, hai anak Dewi Madri! Jawablah dulu pertanyaanku!
Jika kau bisa menjawab, barulah kau boleh minum.” Nakula terkejut mendengar
suara itu, tetapi karena sangat haus, ia tidak mempedulikan suara itu. Ia langsung
mencedokkan tangannya, mengambil air dan meminumnya. Seketika itu juga ia
jatuh tidak sadarkan diri.

Setelah lama menunggu dan Nakula tak juga kembali, Yudhistira menyuruh
Sahadewa mencarinya. Setelah men-cari-cari beberapa lama, Sahadewa terkejut
melihat Nakula terbaring tak sadarkan diri di tepi telaga. Tetapi karena merasa haus,
ia memutuskan untuk minum dulu. Tiba­tiba suara tadi terdengar lagi, “Wahai
Sahadewa, telaga ini telagaku. Jawab dulu pertanyaanku, baru engkau boleh
menghilangkan dahagamu.” Sahadewa tidak peduli. Ia mencedokkan tangannya
mengambil air yang jernih segar itu. Begitu minum seteguk, ia jatuh tersungkur tak
sadar-kan diri.

Bingung memikirkan kedua saudaranya yang belum kembali, Yudhistira
menyuruh Arjuna mencari Nakula dan Sahadewa. “Tetapi jangan lupa untuk kembali
membawa air,” katanya kepada Arjuna.

Arjuna pergi berlari dan menemukan kedua saudaranya terbaring tak sadarkan
diri. Ia sangat terkejut, mengira mereka tewas dianiaya musuh. Ia marah dan ingin
meng-hancurkan yang telah membunuh saudara-saudaranya. Tetapi, karena haus,
Arjuna memutuskan untuk minum dulu. Tiba-tiba suara itu terdengar lagi, “Jawab

dulu pertanyaanku sebelum engkau minum air telaga ini. Telaga ini milikku. Kalau
engkau tidak menurutiku, nasibmu akan sama dengan nasib saudara-saudaramu.”

Arjuna sangat marah mendengar suara itu dan ber­teriak, “Hai, siapa engkau?!
Tunjukkan dirimu! Jangan pengecut! Kubunuh kau!”

Sambil berkata demikian, Arjuna membidikkan panah-nya ke arah datangnya
suara itu. Suara itu tertawa meng­ejek, “Panahmu hanya akan melukai angin. Jawab
perta-nyaanku dulu, baru kau boleh memuaskan dahagamu. Bila engkau minum air
tanpa menjawab pertanyaanku, engkau akan mati!”

Arjuna senang bisa berhadapan dengan pembunuh adik-adiknya. Tetapi, ia tak
kuasa menahan rasa hausnya. Apa hendak dikata, setelah minum seteguk ia
langsung rebah tak sadarkan diri.

Setelah lama menunggu dan Arjuna tak juga kembali, Yudhistira berkata
kepada Bhima, “Bhimasena saudaraku, Arjuna belum juga datang. Sesuatu yang
aneh mungkin terjadi. Bintang-bintang kita hari ini memang tampak buruk. Carilah
mereka. Dan bawakan air untukku. Aku haus sekali.”

Begitu mendapat perintah Yudhistira, Bhima segera berangkat. Sampai di tepi
telaga, ia sedih melihat ketiga saudaranya terbaring tak bergerak. “Ini pasti
perbuatan para jin dan raksasa jahat,” pikirnya. “Akan kumusnahkan mereka! Tapi
aku sangat haus. Setelah minum, akan kutamatkan pembunuh itu.” Lalu ia turun ke
tepi telaga.

Suara gaib itu terdengar lagi, “Hati-hatilah, hai Bhima-sena. Engkau boleh
minum, setelah menjawab pertanya-anku. Kamu akan mati jika tidak mau
mendengarkan kata-kataku.”

Mendengar itu Bhima berteriak, “Siapa engkau? Berani benar memerintah
aku!” Lalu ia minum air telaga itu. Seketika itu otot dan tulang Bhima yang liat bagai
kawat baja dan keras bagai besi menjadi lemas. Seperti saudara-saudaranya, ia
jatuh tak sadarkan diri.

Yudhistira menunggu dan menunggu dengan cemas. Dahaganya serasa tak
tertahankan. Terbayang dalam pikirannya, “Apakah mereka terkena kutuk-pastu?
Apakah mereka lenyap ditelan rimba dan tak tahu jalan kembali? Apakah mereka
mati karena kehausan?” Kemudian Yudhistira bangkit dan berjalan mengikuti jejak-
jejak kaki saudara-saudaranya. Ia memperhatikan setiap semak yang dilaluinya
dengan teliti. Ia melihat jejak menjangan dan babi hutan, semuanya menuju arah
yang sama. Ia mene-ngadah melihat burung-burung bangau beterbangan, per-tanda
ada bentang air di dekat situ.

Setelah berjalan beberapa lama, ia sampai ke tanah terbuka. Di depannya

terbentang telaga. Airnya berkilau jernih bagaikan cermin cemerlang. Dan ... di

pinggir telaga ia melihat keempat saudaranya tergeletak tak bergerak. Dihampirinya

satu per satu, dirabanya kaki,

tangan, dahi, dan denyut jantung

mereka. Yudhistira berkata dalam
hati, “Apakah ini berarti akhir dari

sumpah yang harus kita jalani?

Hanya beberapa hari sebelum

berakhirnya masa pengasingan

kita, kalian mati mendahului aku.

Rupanya para dewata hendak

membebaskan kita dari
keseng­saraan.”

Menatap wajah Nakula dan

Sahadewa, pemuda-pemuda yang di masa hidupnya periang dan perkasa tapi kini
ter­bujur dingin tak bergerak, hati Yudhistira sedih. “Harus­kah hatiku terbuat dari

baja agar aku tidak menangisi kematian saudara-saudaraku? Apakah hidupku masih

ada gunanya setelah keempat saudaraku mati? Untuk apa aku hidup? Aku yakin, ini
bukan peristiwa biasa,” gumam Yudhistira. Ia tahu, tak seorang kesatria pun akan

mampu membunuh Bhima dan Arjuna tanpa melewati pertarungan hebat.

“Tak ada luka di badan mereka. Wajah mereka tidak seperti wajah orang yang
kesakitan. Mereka kelihatan tenang, seperti sedang tidur dalam damai.” Hatinya
terus bertanya-tanya. “Sama sekali tak ada jejak kaki, apalagi bekas-bekas tanah

atau rumput yang terinjak-injak dalam perkelahian. Ini pasti peristiwa gaib!

Mungkinkah ini tipu muslihat Duryodhona? Mungkinkah Duryodhona telah meracuni
air telaga ini?”

Dengan berbagai pikiran di kepalanya, perlahan-lahan ia turun ke tepi telaga. Ia

ingin melepaskan dahaganya yang sudah tak tertahankan lagi. Tiba-tiba suara gaib
itu terdengar lagi, “Saudara-saudaramu telah mati karena tak menghiraukan kata-

kataku. Jangan engkau ikuti mereka. Jawab dulu pertanyaanku, setelah itu baru
puaskan haus­mu. Telaga ini milikku.”

Yudhistira yakin, suara itulah yang menyebabkan sau-dara-saudaranya mati.
Pikirnya, ini pasti suara yaksa. Ia berpikir, mencari cara untuk mengatasi situasi itu.
Kemu-dian Yudhistira berkata kepada suara yang tidak berwujud itu.

Yudhistira : “Silakan ajukan pertanyaanmu.” Suara gaib : “Apa yang
menyebabkan matahari bersinar

setiap hari?” Yudhistira : “Kekuatan Brahman.” Suara gaib : “Apa yang dapat
menolong manusia dari

semua marabahaya?”

Yudhistira : “Keberanian adalah pembebas manusia dari marabahaya.”

Suara gaib : “Mempelajari ilmu apakah yang bisa membuat manusia jadi
bijaksana?”

Yudhistira :”Orang tidak menjadi bijaksana hanya karena mempelajari kitab-
kitab suci. Orang menjadi bijaksana karena bergaul dan berkumpul dengan para
cendekiawan besar.”

Suara gaib : “Apa yang lebih mulia dan lebih menghidupi manusia daripada
bumi ini?”

Yudhistira : “Ibu, yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, lebih
mulia dan lebih menghi­dupi daripada bumi ini.”

Suara gaib : “Apa yang lebih tinggi dari langit?”

Yudhistira : “Bapa.”

Suara gaib : “Apa yang lebih kencang dari angin?”

Yudhistira : “Pikiran.”

Suara gaib : “Apa yang lebih berbahaya dari jerami kering di musim panas?”

Yudhistira : “Hati yang menderita duka nestapa.”

Suara gaib : “Apa yang menjadi teman seorang pengem­bara?”

Yudhistira : “Kemauan belajar.”

Suara gaib : “Siapakah teman seorang lelaki yang tinggal di rumah?”

Yudhistira : “Istri.”

Suara gaib : “Siapakah yang menemani manusia dalam kematian?”

Yudhistira : “Dharma. Hanya Dialah yang menemani jiwa dalam kesunyian
perjalanan setelah kema­tian.”

Suara gaib : “Perahu apakah yang terbesar?”

Yudhistira : “Bumi dan segala isinya adalah perahu terbesar di jagad ini.”

Suara gaib : “Apakah kebahagiaan itu?”

Yudhistira : “Kebahagiaan adalah buah dari tingkah laku

dan perbuatan baik.”

Suara gaib : “Apakah itu, jika orang meninggalkannya ia dicintai oleh
sesamanya?”

Yudhistira : “Keangkuhan. Dengan meninggalkan keang­kuhan orang akan
dicintai sesamanya.”

Suara gaib : “Kehilangan apakah yang menyebabkan orang bahagia dan tidak
sedih?”

Yudhistira : “Amarah. Kehilangan amarah membuat kita tidak lagi diburu oleh
kesedihan.”

Suara gaib : “Apakah itu, jika orang membuangnya jauh­jauh, ia menjadi
kaya?”

Yudhistira : “Hawa nafsu. Dengan membuang hawa nafsu orang menjadi kaya.”

Suara gaib : “Apakah yang membuat orang benar-benar menjadi brahmana?
Apakah kelahiran, kela­kuan baik atau pendidikan sempurna? Jawab dengan tegas!”

Yudhistira : “Kelahiran dan pendidikan tidak membuat orang menjadi
brahmana; hanya kelakuan baik yang membuatnya demikian. Betapapun pandainya
seseorang, ia tidak akan menjadi brahmana jika ia menjadi budak kebiasaan

jeleknya. Betapapun dalamnya penguasaan-nya akan kitab-kitab suci, tapi jika
kelakuan­nya buruk, ia akan jatuh ke kasta yang lebih rendah.”

Suara gaib : “Keajaiban apakah yang terbesar di dunia ini?”

Yudhistira : “Setiap orang mampu melihat orang lain pergi menghadap Batara
Yama, namun mereka yang masih hidup terus berusaha untuk hidup lebih lama lagi.
Itulah keajaiban terbesar.”

Demikianlah yaksa itu menanyakan berbagai masalah

dan Yudhistira menjawab semuanya tanpa ragu. Pertanya-

an terakhir yang diajukan yaksa itu langsung berkaitan dengan saudara-
saudaranya.

Suara gaib : “Wahai Raja, seandainya salah satu saudara­mu boleh tinggal
denganmu sekarang, siapa­kah yang engkau pilih? Dia akan hidup kem­bali.”

Yudhistira : (Berpikir sesaat, kemudian menjawab.) “Kupilih Nakula, saudaraku
yang kulitnya bersih bagai awan berarak, matanya indah bagai bunga teratai,
dadanya bidang dan lengannya ramping. Tetapi kini ia terbujur kaku bagai sebatang
kayu jati.”

Suara gaib : (Belum puas akan jawaban Yudhistira, yaksa itu bertanya lagi.)
“Kenapa engkau memilih Nakula, bukan Bhima yang kekuatan raganya enam belas
ribu kali kekuatan gajah? Lagi pula, kudengar engkau sangat mengasihi Bhima.
Atau, mengapa bukan Arjuna yang mahir menggunakan segala macam senjata,
terampil olah bela diri dan jelas dapat melindungimu? Jelaskan, mengapa engkau
memilih Nakula!”

Yudhistira : “Wahai Yaksa, dharma adalah satu-satunya pelindung manusia,
bukan Bhima bukan Arjuna. Apabila dharma tidak diindahkan, manusia akan
menemui kehancuran. Dewi Kunti dan Dewi Madri adalah istri ayahku dan mereka

adalah ibuku. Aku, anak Kunti, masih
hidup. Jadi Dewi Kunti tidak
kehilangan ketu-runan. Dengan
pertimbangan yang sama dan demi
keadilan, biarkan Nakula, putra Dewi
Madri, hidup bersamaku.”

Yaksa itu puas sekali
mendengar jawaban Yudhistira yang
membuktikan bahwa ia adil dan
berjiwa besar. Akhir-nya, yaksa itu
menghidupkan kembali semua
saudara Yudhistira.

Ternyata, menjangan dan yaksa itu adalah penjelmaan Batara Yama, Dewa
Kematian, yang ingin menguji kekua-tan batin dan dharma Yudhistira.

Batara Yama berdiri di depan Yudhistira lalu memeluk-nya sambil berkata,
“Beberapa hari lagi masa pengasingan­mu di hutan rimba akan selesai. Di tahun
ketiga belas, kalian harus hidup dengan menyamar. Yakinlah, masa itu pun akan
dapat kalian lewati dengan baik. Tidak seorang musuh pun akan mengetahui
keberadaan kalian. Kalian pasti lulus dalam ujian yang berat ini. Dharma akan selalu
menyertaimu, Yudhistira.” Setelah berkata demikian, Bata-ra Yama menghilang.

Pengalaman Arjuna dalam perjalanan mencari senjata pamungkas yang sakti,
pengalaman Bhima bertemu de-ngan Hanuman dan Dewa Ruci, dan pengalaman
Yudhis-tira bertemu dengan Batara Yama, menambah kekuatan jasmani, keyakinan
batin serta kemuliaan rohani Pandawa. Secara sendiri-sendiri maupun bersama-
sama mereka semakin tekun menjalani dan mengagungkan dharma.

31. Hidup dalam Penyamaran

Wahai Brahmana yang budiman, tahun ketiga belas“Wmasa pengasingan kami
telah tiba. Kini tiba waktu-nya untuk berpisah. Selama dua belas bulan mendatang
kami harus hidup tanpa diketahui dan dikenali oleh mata-mata Duryodhona. Kami
tidak tahu, kapan kita bisa berte-mu lagi tanpa sembunyi-sembunyi dan dalam
keadaan bebas dan damai. Sekarang, sebelum berpisah, kami mo-hon restumu.
Doakan kami, semoga kami terhindar dari pengkhianatan orang-orang pengecut
yang menginginkan hadiah dari Duryodhona,” kata Yudhistira kepada Resi Dhaumya
yang setia menyertai Pandawa dalam penga-singan. Pangeran itu tak dapat
menahan rasa harunya. Suaranya bergetar dan wajahnya sedih.

Resi Dhaumya menghibur, “Berpisah memang berat. Bahaya dan malapetaka
akan bertambah banyak dan bertambah besar. Tetapi, engkau orang yang bijaksana
dan terlatih, tak dapat digoyahkan atau digertak musuh. Menyamarlah! Setelah
dikalahkan raksasa, Batara Indra hidup menyamar sebagai brahmana dan tinggal di
Negeri Nishada tanpa diketahui atau dikenali oleh siapa pun. Setelah menjalani
penyamaran dengan baik, Batara Indra dikaruniai kemampuan untuk
menghancurkan musuh-musuhnya. Demikian pula Batara Wishnu yang menyamar
menjadi bayi Aditi untuk merampas kembali kerajaannya dari Maharaja Bali. Batara
Narayana menyamar masuk ke dalam senjata Indra untuk menghancurkan Writa,
raja raksasa yang kejam. Batara Wishnu pernah menyamar menjadi anak Dasaratha
agar dapat memusnahkan Rah­wana. “Demikianlah, banyak dewa dan kesatria
agung di jaman dulu yang menyamar demi tujuan yang baik dan luhur. Engkau pun
hendaknya demikian, menyamar, menghancurkan musuh-musuhmu dan
memenangkan kemakmuran bagi saudara-saudara dan rakyatmu.”

Akhirnya Yudhistira berpisah dengan Resi Dhaumya. Semua pengikut
Pandawa diminta kembali ke negeri masing-masing. Kemudian ia mengumpulkan
saudara-sau-daranya di suatu tempat tersembunyi untuk membicara-kan langkah-
langkah yang akan mereka tempuh. Perte-muan itu sangat rahasia, sebab jika
sampai ketahuan oleh Kurawa, mereka harus menjalani pengasingan selama dua
belas tahun lagi.

Yudhistira berkata kepada Arjuna, “Dua belas tahun sudah kita jalani dengan
selamat. Di tahun ketiga belas ini, kita harus hidup menyamar. Di antara kita, engkau
yang punya pengalaman paling banyak dan engkau pula yang mengetahui keadaan
dunia. Menurut pendapatmu, negeri manakah yang paling cocok untuk tempat
tinggal kita?”

“Kakanda Raja, engkau telah direstui Batara Yama. Menurutku, tak sulit bagi
kita untuk mencari tempat persembunyian. Banyak negeri yang baik untuk tempat
bersembunyi, misalnya Panchala, Matsya, Salwa, Wideha, Bhalika, Dashrana,
Surasena, Kalingga dan Magadha. Terserah padamu, mana yang akan dipilih.

Tetapi, jika kau minta pendapatku, Matsya, negeri Raja Wirata, adalah pilihanku,”
jawab Arjuna.

“Wirata adalah raja yang berpendirian kuat dan bersim­pati kepada kita. Ia
berpandangan luas, ahli tata kerajaan, taat kepada dharma dan selalu
melaksanakan kebajikan dalam perbuatan nyata. Ia tidak akan dapat dipengaruhi
atau ditakut-takuti dengan gertakan Duryodhona. Ya, aku setuju kita hidup
menyamar di negeri itu,” Yudhistira menanggapi.

“Jika demikian, pekerjaan apakah yang akan engkau pilih dalam penyamaran
ini?” tanya Arjuna.

Yudhistira tampak sedih karena kini ia harus bekerja untuk orang lain. Katanya,
“Aku akan memohon kepada Raja Wirata untuk menjadi pelayan pribadinya. Aku
ber-sedia menjadi temannya bercakap-cakap, misalnya ketika ia punya waktu
senggang. Aku akan menyamar sebagai sanyasin dan menghiburnya dengan
membacakan rama-lan, membicarakan wasiat, membacakan tafsir Weda dan
Wedanga, atau menemaninya mendalami falsafah, budi pekerti, ilmu tata kerajaan
dan hal-hal lain. Tentu aku harus hati-hati, tetapi jangan kuatirkan diriku. Dalam
suatu kesempatan akan kuceritakan kepadanya bahwa aku kenal Yudhistira dan
pernah belajar banyak darinya sewaktu mendapat kesempatan melayaninya.

“Hai, Bhima, pekerjaan apakah yang akan kaucari di negeri Raja Wirata?
Carilah pekerjaan yang seimbang dengan kekuatanmu. Kau telah membunuh naga
Antaboga dan Nawatnawa, memusnahkan Rukmukha, Rukmakhala, Bakasura,
Hidimba dan Jatasura—semua raksasa perkasa yang kejam. Engkau begitu hebat
dan mudah dikenali. Bagaimana engkau bisa menyamar untuk menyembunyi-kan
badanmu yang begitu besar?” kata Yudhistira dengan murung dan tak dapat
menahan air matanya.

Bhima menjawab tanpa ragu dan dengan wajah berseri­seri, “Aku akan
menyamar menjadi juru masak di istana. Kalian tahu, aku doyan makan dan pandai
memasak. Aku terampil memasak untuk orang banyak, misalnya untuk pesta-pesta.
Aku bisa mencari kayu api dan kuat memikul-nya sendiri dari hutan. Jika ada acara
adu kekuatan otot, aku akan ikut bertarung. Kemenangan pasti ada di tangan wakil
Negeri Matsya dan Raja Wirata pasti akan senang.”

Meskipun Bhima menjawab dengan riang dan mantap, Yudhistira tetap kuatir.
Jangan-jangan, jika Bhimasena ikut adu kekuatan otot, lawannya akan mati dia
banting. Jika itu terjadi, penyamaran mereka bisa terbongkar. Mengetahui
kekhawatiran Yudhistira, Bhima berjanji akan berhati-hati jika ikut adu kekuatan otot.

“Aku juga bisa menolong rakyat yang hidup di pinggir hutan jika mereka
diserang binatang buas,” sambung Bhima.

Kemudian Yudhistira bertanya kepada Arjuna, “Peker­jaan apa yang hendak
kauambil, hai kesatria sakti?”

“Kakanda yang kuhormati, aku akan menyamar menjadi perempuan pelayan
dan guru tari. Bekas-bekas tali busur di tanganku akan kututupi dengan baju wanita
lengan panjang. Dulu waktu aku menolak tawaran asmara Urwasi dengan alasan dia
kuanggap sebagai ibuku, ia mengutuk pastu aku menjadi banci. Untunglah, berkat
restu Batara Indra dan karena kutuk-pastu itu, kapan saja aku mau, aku bisa
bertingkah laku seperti perempuan. Aku akan mengenakan gelang, kalung, dan

anting-anting. Aku akan merias wajahku seperti perempuan. Selain mengajar
mena­ri, aku juga akan mengajar menyanyi,” jawab Arjuna.

Terbayang oleh Yudhistira, betapa merosotnya keadaan mereka sekarang.
Padahal, mereka adalah keturunan Bharata yang seharusnya tak terkalahkan oleh
siapa pun. Keturunan Bharata seharusnya perkasa seperti Gunung Mahameru yang
kokoh tinggi menjulang. Tetapi nyatanya, mereka terpaksa hidup di pengasingan
dan kini harus menyamar seperti penjahat yang dikejar-kejar.

Kemudian Yudhistira bertanya kepada Sahadewa, “Eng­kau ahli kitab-kitab
suci dan ilmu pendidikan, apa yang akan engkau kerjakan di Negeri Matsya?”

Sahadewa menjawab singkat, “Biarlah Nakula menjadi tukang kuda dan aku
menjadi gembala sapi. Aku gemar dan punya pengalaman memelihara ternak.”

Memandang Draupadi, Yudhistira tak mampu bertanya. Ia tertunduk. Ia tak
sanggup membayangkan permaisuri-nya hidup menyamar. Ia malu dan putus asa
karena tidak mampu menempatkan Draupadi pada kedudukannya se-bagai ratu.

Tetapi Draupadi yang bijaksana berkata tanpa ditanya, “Wahai Rajaku,
janganlah sedih dan mencemaskan aku. Aku akan menyamar menjadi Sairandri,
pelayan permai-suri Raja Wirata. Kalau ditanya, akan kukatakan bahwa aku pernah
menjadi juru rias dan pelayan permaisuri di Kerajaan Indraprastha.”

Sesuai nasihat Resi Dhaumya, Pandawa membuat pedo-man tentang apa saja
yang harus mereka pegang teguh selama dalam penyamaran.

Yudhistira berkata, “Kita harus selalu waspada dan bekerja tanpa banyak
cakap; hanya memberi pandangan atau pendapat jika diminta, tidak boleh
memaksakan pen-dapat kita sendiri, dan harus bisa memuji raja di saat-saat yang
tepat. Segala sesuatu, sekecil apa pun, hanya boleh dilakukan setelah disetujui raja,
karena kita ini ibarat api yang mudah terbakar. Api tidak boleh terlalu dekat dengan
raja, tetapi tidak boleh terkesan menjauhi atau menghin-darinya. Betapapun
besarnya kepercayaan yang diberikan raja, kita harus pandai menjaga diri karena
sewaktu-waktu raja bisa memecat kita.

“Sungguh bodoh jika kita terlalu bergantung pada kepercayaan raja. Jangan
gegabah jika duduk di dekat raja dan beranggapan bahwa raja sangat senang dan
sayang kepada kita. Kita tidak boleh sedih atau kesal jika dimarahi dan tidak boleh
terlalu senang atau takabur jika dipuji.

“Kita harus pandai menjaga rahasia. Jangan mau disuap oleh siapa pun. Kita
tak boleh iri pada pekerja lain, karena raja mungkin menempatkan orang tolol
sebagai orang kepercayaannya dan menggeser orang-orang yang pandai dan
berbudi baik. Hal-hal semacam itu tak perlu kita hiraukan. Kita tidak boleh terlalu
dekat dengan wani-ta-wanita yang ada hubungannya dengan raja. Sikap kita
terhadap wanita-wanita istana harus samar dan bebas dari segala keruwetan.

“Kita harus bisa bertahan hidup menyamar selama satu tahun. Segala kesulitan
akan teratasi dengan kerendahan hati dan kebesaran jiwa.”

Demikian petunjuk yang digariskan Yudhistira untuk dirinya sendiri dan
saudara-saudaranya, termasuk untuk Dewi Draupadi.

***

Yudhistira lalu mengenakan pakaian sanyasin, Arjuna ber-dandan seperti
perempuan dan memilih nama Brihannala, sementara Bhima, Nakula dan Sahadewa
mempersiapkan diri masing-masing sesuai dengan pekerjaan yang mereka pilih
selama satu tahun masa penyamaran. Mereka berla-tih cara berjalan, berbicara,
bertingkah laku dan berbagai kebiasaan lain yang sesuai dengan penyamaran yang
mereka pilih. Setelah dirasa cukup mempersiapkan diri, mereka memasuki Negeri
Matsya dengan penuh keyakinan.

Pandawa berpencar, berusaha melamar pekerjaan sen-diri-sendiri. Tapi
alangkah sulitnya mendapat pekerjaan. Meski sudah berusaha menyamar sebaik-
baiknya, jika diperhatikan dengan saksama, sifat, wibawa dan gerak-gerik mereka
sebagai putra-putra raja masih bisa terlihat.

Yudhistira, Bhima dan Draupadi akhirnya berhasil masuk ke lingkungan istana
dan diterima bekerja di sana. Yudhistira menjadi pengawal pribadi raja, Bhima
menjadi juru masak istana, dan Draupadi menjadi pelayan pribadi Ratu Sudesha,
permaisuri Raja Wirata.

Sementara itu, Arjuna diterima sebagai guru tari dan seni suara di sanggar
tempat putra-putri bangsawan belajar. Sahadewa menemui pengawas gembala
yang bertu-gas mengawasi ribuan ternak raja. Setelah diuji, Sahadewa diterima
menjadi pembantunya. Pengawas gembala itu senang karena Sahadewa rajin,
cekatan dan cepat mengua-sai pekerjaannya. Nakula menemui panglima prajurit
ber-kuda dan diterima sebagai tukang kuda.

Kedudukan panglima tertinggi Negeri Matsya dipegang oleh Kicaka yang
gagah perkasa. Ia adik Ratu Sudesha. Di tangannya terletak keamanan Raja Wirata
dan pertahanan Negeri Matsya. Sehari-hari ia sangat berkuasa. Begitu
ber-kuasanya dia hingga rakyat berpendapat bahwa penguasa negeri itu
sesungguhnya adalah Kicaka, bukan Wirata.

Setelah beberapa bulan Sairandri bekerja melayani Ratu Sudesha, Panglima
Kicaka tampak sering muncul di istana tanpa diketahui Sairandri. Diam-diam
panglima itu tertarik melihat kecantikan pelayan kakaknya.

Lama kelamaan Sairandri tahu bahwa Kicaka menyukai dirinya. Ia berusaha
untuk tidak memberi kesempatan, tetapi panglima tampan itu sudah jatuh cinta
kepadanya dan tak dapat menyembunyikan perasaannya. Ia sering mencari-cari
alasan untuk menemui Ratu Sudesha agar bisa bertemu dengan Sairandri. Kicaka
lupa, sebagai Mahasenapati Negeri Matsya ia tak pantas menjalin cinta dengan
seorang pelayan.

Sairandri takut dan malu, tak berani mengatakan hal itu kepada Ratu Sudesha
atau kepada pelayan lain. Ia sadar, siapa dirinya dan bagaimana keadaannya
sekarang. Tetapi Kicaka terus berusaha menemui dan merayunya, meskipun
Sairandri selalu menghindari, menjauhi dan menolaknya. Untuk mengelabui,
Sairandri berkata kepada Kicaka bahwa dia sudah bersuami dan suaminya raksasa
yang sakti dan perkasa. Ia takut suaminya yang sakti itu secara gaib akan
membunuh siapa pun yang berani meng-gangunya. Tetapi Kicaka tidak peduli.

Tingkah laku Kicaka yang semakin kurang ajar membu-at Sairandri terpaksa
mengadukannya kepada Ratu Sude-sha dan memohon pertolongannya. Mengetahui
itu, tanpa malu-malu Kicaka menggunakan pengaruh kakaknya dan berkata kepada
Ratu Sudesha bahwa ia menaruh hati pada pelayannya. Ia berharap Ratu
menolongnya dengan meme-rintahkan pelayannya untuk menuruti perintah Kicaka.

Kicaka berkata, “Kakakku, aku tertarik pada pelayanmu yang ayu. Semakin hari
aku semakin terpikat padanya. Makan tak enak, tidur tak nyenyak. Engkau harus
meno-longku dengan meyakinkan pelayanmu bahwa aku sungguh mencintainya dan
tidak akan mempermainkan-nya. Tolonglah aku. Aku tak sanggup lagi menahan
gejolak asmaraku.”

Mula-mula Ratu Sudesha menasihati saudaranya agar tidak menuruti
perasaannya, karena Sairandri sudah ber-suami dan suaminya raksasa. Tetapi
Kicaka tak bisa dina-sihati dan malah akan nekat. Akhirnya Ratu Sudesha
menemukan gagasan untuk menolong adiknya. Mereka lalu menyiapkan perangkap.

Pada suatu malam, Kicaka mengadakan pesta di kedia-mannya. Berbagai
makanan hangat dan minuman keras disediakan untuk tamu-tamunya. Ratu
Sudesha menyuruh Sairandri mengantar kendi emas berisi minuman istimewa ke
kamar Kicaka. Mula-mula Sairandri menolak dengan alasan malu dan takut.

Sampai di kamar Kicaka, rupanya panglima itu sudah siap menjebaknya. Ia
meminta Sairandri menginap di rumahnya. Dengan kesal Sairandri berkata,
“Mengapa Panglima yang bangsawan menghiraukan aku, pelayan keturunan kasta
terendah? Janganlah Panglima menem-puh jalan yang salah. Mengapa Panglima
menghendaki perempuan yang sudah kawin seperti aku? Suamiku raksasa, ia pasti
tahu kalau istrinya diganggu orang dan ia pasti akan membunuh pengganggu
istrinya.”

Meskipun dibujuk-bujuk dan dijanjikan akan diberi hadiah-hadiah, Sairandri
tetap menolak. Dengan kesal Kicaka mencoba memegang tangan Sairandri waktu
pela-yan itu meletakkan kendi emas yang dibawanya. Dengan cepat Sairandri
mengelak, lalu lari. Kicaka mengejarnya. Berkali-kali ia hampir berhasil menangkap
pelayan itu, tetapi Sairandri selalu lolos. Akhirnya Kicaka marah dan menendang
Sairandri sampai jatuh. Banyak yang melihat kejadian itu, tapi tidak seorang pun
berani berbuat sesu-atu karena Kicaka adalah Mahasenapati Negeri Matsya. Tidak
seorang pun memikirkan peristiwa itu sebagai keja-dian serius.

Sairandri marah dan sedih diperlakukan seperti itu. Dendam hatinya
membuatnya lupa akan bahaya yang dapat menimpa Pandawa jika mereka dikenali
sebelum masa penyamaran selesai. Malam itu juga ia pergi mene-mui Bhima, si juru
masak, dan menceritakan apa yang dialaminya. Katanya, “Aku tidak tahan lagi
menghadapi Kicaka. Bunuhlah manusia terkutuk itu. Demi kepen-tingan kita, aku
relakan diriku menjadi pelayan Ratu Sudesha. Semua tugas pelayan kujalani
dengan ikhlas. Aku sudah relakan diriku menyiapkan segala sesuatu untuk Raja dan
Ratu Sudesha. Tapi aku tak sudi melayani manusia bejat itu. Jika dibiarkan, dia akan
semakin kurang ajar. Jika aku tak dapat menahan diri lagi, bisa-bisa kita semua
binasa!” Sambil berkata demikian ia mem­perlihatkan tangannya yang kini kasar
karena banyak bekerja.

Bhima kaget dan geram mendengar cerita Sairandri. Ia perhatikan tangan
Sairandri yang dulu halus lembut dan kini menjadi kasar dan tergores-gores, penuh
bekas parut. Sambil menghapus air mata Sairandri, ia berkata dengan geram, “Aku
tak peduli nasihat Yudhistira dan janji Arjuna. Aku tidak peduli apa pun yang akan
terjadi. Aku akan bunuh Kicaka malam ini juga!” Setelah berkata begitu, Bhima
bangkit dan siap pergi.

Sairandri menahannya dan menasihatinya agar jangan tergesa-gesa.
Kemudian mereka menyusun rencana untuk menghabisi Kicaka. Bhima akan

menunggu di kegelapan, dekat sanggar tempat berlatih menabuh gamelan, pada
malam yang sudah ditentukan. Ia akan menyamar sebagai perempuan. Jadi, bukan
Sairandri yang akan menemui Kicaka, melainkan Bhima.

Beberapa hari kemudian lagi-lagi Kicaka mencoba me-rayu Sairandri dan
mengatakan bahwa ia tidak bisa lagi menahan perasaannya. Katanya dengan wajah
memerah penuh nafsu, “Wahai Sairandri, aku terpaksa menendang­mu malam itu
karena engkau selalu menghindariku. Aku bisa berbuat lebih kasar dari itu. Adakah
yang akan menolongmu? Ketahuilah, Wirata hanya raja dalam sebutan. Kekuasaan
yang sebenarnya ada di tanganku, Mahasenapati Negeri Matsya. Sekarang, jangan
berpura-pura atau bersikap keras kepala. Mari puaskan dahaga asmara kita dan
engkau akan menikmati kebesaran sebagai Ratu Negeri Matsya.”

Sairandri pura-pura menerima tawaran itu dengan berkata, “Mahasenapati
Kicaka, sebenarnya aku tidak dapat menolak permintaanmu. Tetapi, jangan sampai
ada orang tahu mengenai hubungan kita. Kalau engkau mau bersumpah untuk
merahasiakan hubungan kita, aku akan menuruti kemauanmu.”

Mendengar jawaban itu, bukan main senangnya hati Kicaka. Ia segera berjanji
akan memenuhi semua syarat yang diajukan Sairandri.

Sairandri berkata lagi, “Setiap sore, biasanya para putri belajar menari di ruang
gamelan. Malam hari mereka pulang dan tempat itu menjadi kosong, sepi, dan
gelap. Datanglah sendirian ke sana nanti malam. Aku menung­gumu di sana.”

Kicaka senang sekali. Malam itu ia mandi sebersih-ber-sihnya, mengenakan
pakaian terbaiknya, dan memerciki tubuhnya dengan air wangi. Setelah hari gelap,
ia pergi ke sanggar tempat putri-putri bangsawan berlatih menari. Tempat itu kosong
dan gelap. Dengan berjingkat-jingkat ia masuk ke ruangan, melangkah maju sampai
ke sudut gelap tempat Sairandri berjanji menunggu. Dalam kege-lapan ia
mengulurkan tangannya, meraba-raba. Benarlah, di sudut ia melihat sosok wanita
berdiri menunggu. Ia mempercepat langkahnya, tak sabar ingin memeluk
perempuan pujaan hatinya. Tapi... alangkah kagetnya ia ketika menyentuh tubuh itu!
Bukan kulit halus lembut yang tersentuh tetapi kulit kasar dan tubuh berotot. Begitu
disentuh, sosok itu menyergapnya bagaikan singa galak menyergap mangsa.

Kicaka bukan pengecut. “Ini pasti raksasa suami Sairandri yang akan
membunuhku,” pikirnya. Ia tak tahu bahwa orang itu adalah Bhima. Dia melawan
mati-matian. Terjadilah perkelahian hebat di malam yang gelap. Kicaka memang
perkasa. Kekuatannya setara dengan kekuatan Balarama atau Bhima. Meskipun
sakti dan perkasa, malam itu Kicaka tidak siap berkelahi. Sebaliknya, Bhima
me-mang sudah berniat membunuh Kicaka. Dalam waktu singkat Bhima bisa
menundukkan Kicaka. Dibantingnya tubuh panglima itu beberapa kali, dicekiknya,
kaki dan tangannya dipatahkan hingga tubuhnya hancur tak ber-bentuk.

Demikianlah, Kicaka menemui ajalnya di tangan Bhima.

Bhima segera pergi menemui Sairandri untuk memberi-tahu bahwa Kicaka
telah tewas. Setelah itu ia kembali lagi ke dapur, mandi membersihkan badannya
lalu tidur nyenyak.

Sementara itu, Sairandri berlari-lari ke balai penjagaan hendak melaporkan
bahwa Kicaka mati dibunuh suaminya karena mahasenapati itu sering
mengganggunya. Dengan suara bergetar pura-pura ketakutan ia berkata,
“Maha­senapati Kicaka sering menggangguku. Padahal sudah berkali-kali kukatakan

bahwa aku sudah bersuami dan suamiku raksasa sakti. Tetapi Mahasenapati terus
saja menggangguku. Akhirnya ia mati di tangan suamiku. Oh, penjaga, lihatlah
Panglima di ruang gamelan yang gelap.”

Para penjaga beramai-ramai pergi ke ruang gamelan. Ada yang membawa
obor, ada yang membawa golok, parang, tombak atau senjata lainnya. Mereka
mendapati Mahasenapati Negeri Matsya tidak bernyawa lagi, tubuh-nya hancur tak
berbentuk. Mereka membicarakan kema-tian itu sambil berbisik-bisik.

Peristiwa itu segera tersebar ke seluruh negeri. Orang mulai lebih
memperhatikan Sairandri. Di mana-mana orang membicarakan dan mengutuk
Sairandri sebagai perempuan yang berbahaya. Kaum wanita berbisik-bisik,
“Perempuan itu memang cantik, pandai dan menarik di mata laki-laki, tetapi ia
berbahaya. Apalagi dia bersuami-kan raksasa. Sungguh perempuan yang bisa
membahaya-kan negeri ini, Ratu Sudesha dan Raja Wirata. Aku yakin, para raksasa
akan dengan mudah membunuhi orang-orang yang dilaporkan mengganggu
perempuan itu. Yang terbaik saat ini adalah mengusir perempuan jahat itu.”

Pada suatu hari seorang utusan menghadap Ratu Sudesha dan memohon
agar Ratu mengusir Sairandri yang membawa malapetaka.

“Perempuan setan,” kata mereka.

Sudesha memanggil Sairandri dan berkata, “Tingkah lakumu dan kerjamu baik,
kebaikanmu tak perlu diragu-kan, tetapi kuharap engkau segera meninggalkan
istana dan negeri ini. Kami sudah cukup menerima kebaikanmu.”

Masa penyamaran hanya tinggal satu bulan. Sairandri memohon kepada Ratu
Sudesha agar diijinkan tinggal kira-kira sebulan lagi. Dalam kurun waktu itu, para
raksasa kawan suaminya akan mengambilnya dari Negeri Matsya. Mereka akan
berterima kasih kepada Wirata dan menawar-kan persahabatan untuk menghadapi
musuh Negeri Mat-sya. Jika sekarang Sairandri diusir, raksasa-raksasa itu pasti
mengamuk, mengobrak-abrik dan menghancurkan Negeri Matsya.

Mendengar penuturan Sairandri, Ratu Sudesha tak berani memaksa. Pikirnya,
apa jadinya jika raksasa-raksa-sa itu benar-benar datang menghancurkan istananya.
Karena tidak mempunyai pilihan yang lebih baik, Ratu Sudesha mengijinkan
Sairandri tinggal lebih lama lagi.

***

Sesungguhnya, sejak tahun ketiga belas tiba, Duryodhona telah menyebar
mata-matanya ke mana-mana. Mereka ber-usaha melacak dan memasang
perangkap rahasia untuk menangkap Pandawa dalam penyamaran mereka. Enam
bulan berlalu... tujuh bulan, delapan bulan, sembilan bulan, sepuluh bulan ... hingga
bulan kesebelas mereka terus berusaha, tetapi sia-sia. Para mata-mata itu terpaksa
kembali ke Hastinapura dan melaporkan bahwa mereka tidak bisa menemukan jejak
Pandawa. Mungkin Pandawa tersesat di rimba raya lalu mati dimakan binatang buas
atau mati kelaparan, mereka menyimpulkan.

Pada suatu hari, tersiar kabar sampai ke Hastinapura bahwa Kicaka,
Mahasenapati Negeri Matsya, tewas dalam perkelahian melawan raksasa... gara-
gara seorang perem-puan. Semua orang tahu, Kicaka panglima yang gagah perkasa
dan hanya ada dua orang yang mungkin bisa menandinginya. Salah satunya adalah
Bhima dari Panda-wa. Siapa tahu pembunuh Kicaka ternyata adalah Bhima yang
dikira raksasa. Duryodhona menebak-nebak, perem-puan yang menjadi gara-gara

itu pasti Draupadi. Kemu-dian Duryodhona mengundang raja-raja sahabatnya untuk
membicarakan Pandawa yang hidup menyamar di persem-bunyian.

Dalam pertemuan itu Duryodhona berkata, “Menurutku sekarang Pandawa
tinggal di ibukota Negeri Matsya. Kalian tahu, Wirata tidak sudi bersahabat dengan
kita. Jadi, baik kalau kita serang negerinya dan kita rampas ternaknya. Jika benar
Pandawa ada di sana, mereka pasti akan mun-cul membantu pasukan Wirata
karena merasa berhutang budi. Dengan begitu, mungkin kita bisa membongkar
penyamaran Pandawa sebelum tahun ketiga belas habis dan memaksa mereka
hidup di pengasingan selama dua belas tahun lagi. Tetapi, seandainya Pandawa
tidak ada di sana, tak apa-apa.”

Susarma, raja Negeri Trigata, yang hadir di pertemuan itu menyetujui usul
Duryodhona dengan sepenuh hati. Katanya, “Raja Negeri Matsya adalah musuhku.
Kicaka, mahasenapati negeri itu, selalu mengganggu dan mengo-brak-abrik
kerajaanku dengan sombong. Kematiannya pasti melumpuhkan kekuatan Wirata.
Sekarang juga kita serang dia,” katanya.

Karna mendukung usul Susarma. Demikianlah, perte-muan itu menyetujui
rencana penyerbuan ke Negeri Matsya.

“Susarma menyerang Wirata dari selatan. Jadi, prajurit Negeri Matsya pasti
akan dikerahkan ke selatan untuk menghadapi balatentara Susarma. Kemudian, jika
pertem-puran di selatan semakin menghebat, Duryodhona dan pasukan Kurawa
akan melancarkan serangan tiba-tiba dari utara. Wilayah utara pasti kurang dijaga
karena perhatian terpusat pada pasukan Matsya yang sedang bertempur di selatan,”
demikian kesepakatan mereka.

Demikianlah, Susarma dan balatentaranya menyerang Negeri Matsya dari
selatan. Mereka merampas ternak, merusak dan menghancurkan tanaman di sawah
dan ladang penduduk. Para gembala dan petani lari tunggang langgang mencari
perlindungan. Laporan disampaikan kepada Wirata bahwa wilayah selatan kerajaan
telah diduduki balatentara Susarma. Wirata bingung karena Kicaka sudah mati. Jika
Kicaka masih hidup, Susarma pasti tak berani menyerang Negeri Matsya.

Mengetahui situasi buruk itu, Kangka, sanyasin, yang sehari-hari melayani
Wirata, berkata kepada raja, “Tuanku tak perlu khawatir. Walaupun aku ini pertapa
atau san-yasin, sesungguhnya aku juga ahli pertempuran. Aku akan bertempur
untuk Tuanku. Aku akan mengendarai kereta bersenjata lengkap dan mengusir
musuh-musuh Tuanku. Sudilah Tuanku memerintahkan Walala, juru masak ista-na,
Dharmagranti, si tukang kuda, dan Tantripala, si gembala sapi, untuk membantu
menghadapi musuh. Kudengar mereka pernah menjadi kesatria perang. Kalau
mereka bisa dikumpulkan dan dipersenjatai, musuh-musuh Tuanku pasti akan
hancur.”

Raja Wirata menyetujui usul Kangka dan memerintah-kan orang-orang itu
dipanggil dan dipersenjatai. Demi-kianlah, Kangka, Walala, Dharmagranti, dan
Tantripala yang tiada lain adalah Yudhistira, Bhima, Nakula dan Sahadewa masuk
ke barisan tentara Negeri Matsya untuk bertempur menghadapi pasukan Susarma.

Pertempuran hebat tak terhindarkan. Korban berjatu-han di kedua pihak.
Susarma mencari sasarannya, yaitu Wirata. Ia mengepung kereta Wirata,
memaksanya turun dan menangkapnya. Balatentara Negeri Matsya mundur, kucar-
kacir, dan takut bertempur karena raja mereka ditawan musuh. Tetapi Kangka

memerintahkan Walala untuk langsung menggempur Susarma, membebaskan
Wirata, dan mengumpulkan kembali balatentaranya.

Mendengar perintah itu, Walala segera bersiap hendak mencabut sebatang
pohon besar untuk dijadikan senjata.

Begitulah memang kebiasaan Bhima jika bertempur. Tetapi Kangka
melarangnya, “Jangan berbuat demikian! Ingat, kau jangan berteriak-teriak dalam
pertempuran ini! Penya-maranmu akan terbongkar jika orang mengenalimu dari
kebiasaan-kebiasaanmu. Bertempurlah sebagai orang biasa, sebagai prajurit biasa
yang naik kereta dan bersen­jata panah dan tombak.”

Patuh akan perintah kakaknya, Walala naik kereta dan maju bertempur. Ia
berhasil membebaskan Wirata, menangkap Susarma dan menyatukan kembali
pasukan Matsya. Pertempuran di daerah selatan makan waktu berhari-hari,
membuat penduduk ibu kota Negeri Matsya prihatin. Begitu berita kemenangan
sampai ke ibu kota, rakyat lega dan gembira. Mereka turun ke jalan-jalan,
bergembira dan menghias ibu kota seindah-indahnya.

Ketika penduduk ibu kota Negeri Matsya sedang sibuk mempersiapkan
penyambutan untuk Raja Wirata yang kembali dari medan pertempuran di daerah
selatan, datang berita bahwa dari utara mereka diserang oleh Duryodhona dan
pasukannya. Mereka menyerang, merampas harta benda, ternak, dan mengobrak-
abrik beberapa desa di per-batasan. Akhirnya mereka menduduki wilayah kerajaan
di utara!

Para gembala dan petani berlarian ke ibu kota. Mereka melaporkan kepada
Pangeran Uttara, putra mahkota Nege-ri Matsya, bahwa balatentara Kurawa
menyerbu dari utara. Mereka memohon, “Wahai Pangeran Uttara, balaten-tara
Kurawa menyerbu dari utara, merampas sapi, biri-biri, kambing dan harta-benda
kami, sementara Paduka Raja Wirata bertempur di selatan, mengusir balatentara
Negeri Trigata. Kami tak punya tempat mengadu kecuali Pangeran. Kami mohon,
lindungilah kami dan usirlah mereka! Pulihkan kedaulatan Negeri Matsya demi
kehor­matan keluarga Tuanku!”

Mendengar itu, Pangeran Uttara berkata dengan som-bong di depan
permaisuri dan putri-putri istana, “Kalau saja aku bisa mendapat seorang sais
handal, aku akan usir semua musuh itu sendirian. Akan aku kembalikan semua
ternak dan harta-benda yang mereka rampas. Kalian harus tahu, aku ahli
menggunakan senjata. Di dunia ini, hanya Arjuna yang mungkin dapat menandingi
aku, Uttara. Sayangnya, aku tidak punya sais kereta.”

Waktu itu Sairandri sedang berada di kamar Ratu Sudesha. Mendengar
Pangeran Uttara berkata demikian, ia keluar menemui Uttari dan berkata, “Tuanku
Putri Uttari, negeri kita ditimpa malapetaka besar. Jika saudaramu tidak bisa
mendapat sais kereta, panggil saja Brihannala si guru tari. Aku dengar, ia pernah
menjadi pengemudi kereta di Negeri Indraprastha dan pernah melayani Arjuna. Ia
banyak belajar dari Arjuna tentang siasat perang dan pertarungan.”

Uttari menemui saudaranya dan berkata, “Aku dengar dari Sairandri bahwa
dulu Brihannala adalah sais kereta yang cekatan. Ia bahkan pernah menjadi sais
kereta Arju-na di Indraprastha. Panggillah dia dan majulah bersama dia. Usir musuh
kita! Kalau tidak, Negeri Matsya akan punah.”

Pangeran Uttara menyetujui usul Uttari. Ia segera menyuruh orang memanggil
Brihannala.

Uttari berkata kepada guru tari itu, “Pasukan Kurawa memasuki wilayah negeri
kita dari utara, merampas kekayaan dan harta benda milik rakyat di perbatasan.
Kata Sairandri engkau pernah menjadi sais kereta Arjuna. Pergilah bersama
saudaraku untuk mengusir musuh. Uttara akan melindungimu dari hantaman
musuh.”

Brihannala pura-pura lupa bagaimana caranya menggu-nakan senjata dan
memegang kendali kuda. Tetapi ia ber-kata bahwa dirinya akan senang jika diijinkan
ikut berpe-rang. Sambil mengemudikan kereta, ia berkata kepada para wanita yang
mengantar Pangeran Uttara berangkat ke medan perang, “Putra Mahkota pasti
menang. Kami akan hancurkan musuh. Jubah mereka yang bersulam benang emas
akan kami rampas dan kami persembahkan kepada kalian.” Setelah berkata
demikian, ia melecut kudanya dan melarikan kereta dengan kencang. Para wanita
itu terheran-heran. Siapa sebenarnya guru tari yang menjadi sais kereta itu?

32. Kedaulatan Negeri Matsya Dipertaruhkan

ttara meninggalkan ibukota Negeri Matsya dengan ke-Ureta yang dikemudikan
Brihannala. Ia memerintahkan sais itu memacu kuda sekencang-kencangnya ke
arah balatentara Kurawa. Jauh di kaki langit tampak sebaris titik, memanjang,
melingkar-lingkar, diselimuti debu yang mengepul ke angkasa. Itu pasti pasukan
Kurawa dalam jumlah besar.

Makin dekat makin jelas sosok mereka. Mula-mula tam-pak kereta-kereta yang
dinaiki Bhisma, Drona, Mahaguru Kripa, Duryodhona dan Karna. Melihat rombongan
Kau-rawa, hati Uttara tiba-tiba menjadi kecut. Dia menyuruh Brihannala
melambatkan keretanya. Uttara sangat ketaku-tan. Mulutnya terasa kering, bulu
romanya berdiri, dan keringat dingin mengucur dari dahinya. Tangan dan kaki-nya
gemetar. Ia menutupi matanya dengan kedua tangan-nya dan berkata lirih kepada
Brihannala, “Bagaimana mungkin aku sendirian melawan musuh sebanyak itu? Aku
tidak membawa pasukan. Semua prajurit dibawa ayahku ke selatan. Tidak mungkin
aku melawan kesatria-kesatria yang termasyhur ahli berperang itu. Brihannala,
berbaliklah! Kita pulang.”

Brihannala menjawab, “Tuanku, engkau berangkat de­ngan semangat berapi-
api hendak menghancurkan musuh. Permaisuri, penghuni istana dan rakyat
mempercayakan nasib mereka kepadamu. Sairandri memuji-muji aku dan membuat
engkau mengangkatku menjadi saismu. Kalau kita kembali sekarang, tanpa merebut
ternak kita yang dirampas musuh, kita akan ditertawakan. Aku tidak akan
membelokkan kereta ini. Mari kita maju terus dan bertempur! Jangan gentar!”

Uttara berkata dengan gugup, “Aku tidak mau, aku tidak mau! Biarlah Kurawa
merampas ternak kita, biarlah perempuan-perempuan menertawakan aku, aku tidak
peduli. Apa gunanya melawan musuh yang jauh lebih kuat dan lebih besar
jumlahnya? Itu namanya tolol! Belokkan kereta! Kalau tidak, aku akan meloncat
turun dan pulang dengan berjalan kaki.”

Setelah mengucapkan kata-kata itu, Uttara membuang senjata-senjatanya
sambil meloncat turun dari kereta. Rasa takut melihat kekuatan musuh mencekam
jiwanya dan membuatnya panik. Ia lari kalang kabut, kembali ke ibu kota.

Brihannala mengejar Uttara sambil memanggil-manggil agar pangeran itu
berbuat sebagai kesatria. Rambut pan-jang dan pakaian Brihannala melambai-
lambai ditiup angin kencang. Uttara makin mempercepat larinya. Akhir-nya pangeran
itu terkejar juga. Uttara meminta agar Brihannala membiarkannya pulang.

Uttara berkata dengan suara mengiba, “Aku satu­satunya anak lelaki ibuku.
Aku dibesarkan di pangkuan ibuku. Aku tak mau meninggalkan ibuku. Aku takut, aku
takut sekali! Aku takut mati bertempur melawan musuh!”

Brihannala berusaha melepaskan Uttara dari ketaku-tannya dan
membangkitkan keberaniannya. Ia menggeng-gam tangan Uttara dan memaksanya
naik lagi ke kereta.

Uttara menangis dan berkata terbata-bata, “Alangkah malunya aku, terlanjur
omong besar. Apa jadinya aku nanti?”

Brihannala menghiburnya, “Jangan takut! Aku yang akan menghadapi Kurawa.
Bantu aku, pegang tali kekang ini, selebihnya serahkan padaku. Percayalah padaku,
tidak ada gunanya lari dari pertempuran. Akan kita enyahkan musuhmu dan kita
dapatkan kembali semua ternak yang mereka rampas. Kemenangan pasti di pihak
kita. Perca­yalah!”

Setelah berkata demikian, Brihannala meminta Uttara agar menghela kereta itu
ke arah sebatang pohon besar di dekat kuburan. Sampai di dekat kuburan,
Brihannala meminta Uttara naik ke pohon besar itu dan mengambil senjata-
senjatanya yang disembunyikannya di sana. Uttara memejamkan mata, tak berani
memanjat pohon itu.

“Kata orang di pohon ini pernah tergantung mayat nenek tua yang berubah
menjadi setan. Aku tak berani memegang mayat itu. Mengapa kau menyuruhku
mela­kukan ini?” kata Uttara.

“Dengar, Pangeran, itu tidak benar! Itu bukan mayat. Itu kantong kulit. Di sana
tersimpan senjata-senjata sakti milik Pandawa. Naiklah dan bawa turun senjata-
senjata itu. Cepat! Jangan buang-buang waktu,” kata Brihannala tegas.

Karena Brihannala terus mendesak, Uttara terpaksa menurut. Ia memanjat
pohon itu lalu mengambil kantong kulit besar yang disembunyikan di balik daun-
daunan. Alangkah kagetnya dia ketika melihat isi kantong itu: senjata-senjata yang
gemilang! Cepat-cepat dibawanya kantong itu turun dan diserahkannya kepada
saisnya. Brihannala menyuruh Uttara meraba senjata-senjata itu. Begitu menyentuh
senjata-senjata itu, Uttara merasa ada arus kekuatan gaib merasuki tubuhnya dan
menguatkan jiwanya. Matanya sekarang berbinar memancarkan sema-ngat baru.

Ia bertanya kepada Brihannala, “Alangkah anehnya! Katamu senjata-senjata ini
milik Pandawa. Bukankah kerajaan mereka dirampas Kurawa dan mereka diusir ke
hutan oleh Kurawa? Bagaimana mungkin engkau bisa tahu tentang senjata-senjata
ini?”

Secara ringkas Brihannala berkata bahwa sebenarnya sudah hampir satu
tahun Pandawa tinggal di ibu kota Negeri Matsya dan bekerja mengabdi Raja
Wirata. Mereka adalah Kangka, Walala, Dharmagranti, Tantripala, dan Sairandri.

Brihannala juga bercerita tentang kematian Mahasenapati Kicaka yang berani
menghina Draupadi.

“Aku ini Arjuna. Putra Mahkota, jangan takut. Engkau akan melihat bagaimana
aku menaklukkan Kurawa. Biar-pun di pihak Kurawa ada Bhisma, Drona,
Duryodhona dan Aswatthama, kita harus rebut kembali ternak dan harta yang
mereka rampas. Dan engkau akan menjadi masyhur. Semua ini akan menjadi
pelajaran berharga bagimu,” kata Arjuna meyakinkan Uttara.

Uttara segera mengatupkan kedua telapak tangannya, memberi hormat kepada
Arjuna, dan berkata, “Tak ku­sangka engkau adalah Arjuna. Alangkah beruntungnya
aku dapat bertemu denganmu. Arjuna, kau kesatria per-kasa. Engkau telah
menanamkan keberanian dalam jiwa-ku. Maafkan kesalahanku karena
kedunguanku.”

Di kereta yang dikemudikan Uttara, Arjuna bercerita tentang kisah-kisah
kepahlawanan untuk membangkitkan keberanian Uttara.

Kini kereta semakin mendekati pertahanan pasukan Kurawa. Arjuna minta agar
kereta dihentikan. Kemudian mereka turun. Perhiasan wanita ditanggalkannya,
rambut-nya yang panjang diikat, pakaian perempuan ditukarnya dengan pakaian
perang, dan senjata-senjatanya disiapkan. Dengan menghadap Batara Surya di arah
timur, Arjuna bersila dan bersembahyang, memuja dan berdoa. Setelah selesai, ia
berdiri tegak penuh keagungan, membuat Uttara terkagum-kagum. Pangeran itu
bangkit semangatnya. Ia naik ke kereta. Arjuna mengangkat busur Gandiwa,
mema-sang anak panah, membidik ke angkasa, menarik tali busur, dan ...
meluncurlah anak panah itu membelah ang-kasa dengan bunyi mendesing-desing.
Kemudian Arjuna meniup terompet kerangnya yang bernama Dewadatta. Suaranya
menderu menggema ke seluruh penjuru!

Mendengar bunyi itu, pasukan Kurawa terkejut. Mereka saling berpandangan.
Dengan telinganya yang tajam, Drona memastikan bahwa suara itu berasal dari
desingan anak panah Gandiwa dan gema terompet kerang Dewadatta milik Arjuna.
Drona membisikkan hal itu kepada Karna yang menanggapi, “Mana mungkin itu
Arju-na? Apa peduli kita kalaupun ia ada di sini? Apa yang bisa ia lakukan sendirian
menghadapi kita, jika Pandawa lainnya bersama Wirata pergi ke selatan melawan
Susar-ma? Paling-paling ia hanya bersama Uttara, Putra Mahkota yang pengecut
itu!”

Duryodhona menyambung, “Kenapa kita mesti pusing-pusing? Walaupun itu
Arjuna, paling-paling ia hanya akan menyerahkan diri ke tangan kita untuk
ditemukan sebe-lum waktunya. Dan, karena itu kita bisa mengirim Pan-dawa ke
hutan selama dua belas tahun lagi.”

Dari kejauhan tampak sesuatu bergerak kencang. Debu mengepul bagaikan
ekor binatang. Sekali lagi terdengar desing Gandiwa dan gema Dewadatta.

“Pasukan kita diserbu. Itu Arjuna datang menyerbu mereka,” kata Drona
dengan prihatin.

Duryodhona kesal melihat sikap Drona seperti itu. Ia berkata kepada Karna,
“Sumpah Pandawa adalah meneri­ma pengasingan di hutan selama dua belas tahun
dan setahun bersembunyi tanpa dikenali. Tahun ketiga belas belum habis, tetapi
Arjuna sudah berani muncul. Kenapa kita mesti prihatin? Mereka harus
mengembara di hutan selama dua belas tahun lagi. Drona terlalu banyak

mempe-lajari falsafah hingga jadi penakut. Biarlah ia bersembunyi di belakang, kita
maju terus!”

Karna mengangguk setuju dan berkata, “Memang, jika tidak biasa bertempur
pasti gemetar. Kalaupun yang datang memang Arjuna, kenapa kita mesti takut?
Para-surama sekalipun, aku tidak gentar. Aku akan hadang ia kalau ia berani maju.
Balatentara Matsya mungkin bisa merebut kembali ternak mereka, tetapi Arjuna
harus berhadapan dengan aku.” Kemudian Karna membunyikan terompetnya sendiri
dan meledakkan senjatanya tanda ia siap bertempur.

Mahaguru Kripa yang mendengar kata-kata Karna menasihati, “Jangan berbuat
tolol. Kita harus menyerang Arjuna bersama-sama dan serentak. Hanya dengan
cara itu kita akan berhasil. Jangan omong besar dan berperang tanding sendirian.”

Karna naik pitam. Ia berkata lantang, “Oh, Mahaguru Kripa ternyata sudah
mulai menyanyikan lagu pujian untuk Arjuna. Apakah karena takut atau karena
sayang kepada Pandawa? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, para tetua semua takut
dan menasihatkan agar kita tak usah bertempur. Kalau begitu, sebaiknya kalian
tinggal di bela-kang dan menonton saja. Seharusnya, mereka yang telah makan
garam di Hastinapura berani maju bertempur.

“Aku hanya mengenal cinta kepada kawan dan benci kepada musuh. Aku
takkan mundur! Apa guna mereka mempelajari kitab-kitab suci, jika sampai di sini
hanya memuji-muji musuh?”

Aswatthama, putra Drona dan kemenakan Mahaguru Kripa, tak tahan
mendengar sindiran tajam Karna. Ia menyahut, “Kita belum membawa pulang ternak
ke Hasti-napura. Kita belum memenangkan pertempuran. Omong besarmu tidak ada
gunanya. Mungkin kami bukan golo-ngan kesatria; mungkin kami tergolong orang
yang hanya membaca-baca mantra, Weda dan kitab-kitab Sastra. Meski demikian,
kami belum pernah menemukan ajaran yang menyatakan bahwa seorang raja
dikatakan kesatria jika bisa merampas kerajaan lain dengan tipu daya dalam
permainan dadu.

“Dengarlah, Karna. Mereka yang telah bertempur mati­matian dan
menaklukkan banyak kerajaan tidak pernah menyombongkan kemenangan mereka.
Tapi... engkau? Aku belum pernah melihat hasil perbuatanmu yang pantas engkau
banggakan.

“Api tidak ribut tetapi membakar. Matahari bersinar bu­kan untuk dirinya. Bumi
memeluk segala yang ada di ba-hunya tanpa berisik. Pujian apakah yang pantas
diberikan kepada kesatria yang merampas kerajaan lain dengan tipu daya dalam
permainan dadu? Keberhasilan menipu Pan-dawa tidak pantas dibanggakan, ibarat
menangkap burung piaraan sendiri dengan perangkap yang hebat.

“Duryodhona dan Karna, pertempuran apakah yang telah kalian menangkan
melawan Pandawa? Pantaskah ka-lian merasa bangga karena telah
mempermalukan Drau-padi? Kalian hampir saja menghancurkan bangsa Kuru,
seperti si pandir menebang pohon cendana karena mabuk oleh keharumannya.

“Melemparkan dadu untuk mendapat angka 4 atau 2 tidak sesulit menghadapi
desing Gandiwa Arjuna. Apa kalian kira Syakuni bisa menyulap jalannya
pertempuran agar kita menang? Mungkin kita semua sudah gila.”

Para pemimpin pasukan Kurawa mulai berperang mulut, saling mencaci dan
memaki. Bhisma sedih melihat itu dan berkata dengan sabar, “Orang yang berbudi

luhur tidak akan mencaci-maki mahagurunya. Orang yang pergi berperang pasti
sudah memperhitungkan segala kemung-kinan, yaitu tempat, waktu, dan situasi.

“Memang, orang pandai bisa juga kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Karena marah, Duryodhona lupa bahwa kita berhadapan dengan Arjuna yang
sekarang, bukan Arjuna yang dulu. Pikiranmu gelap terselubung amarah dan
dendam kesumat, Duryodhona.

“Aswatthama, jangan kaumasukkan kata-kata Karna yang tajam itu ke dalam
hatimu. Jadikan itu sebagai peringatan agar kau mawas diri dan lebih cermat dalam
bertindak.

“Sekarang bukan waktunya untuk berkelahi atau membesar-besarkan
perbedaan. Drona, Mahaguru Kripa dan Aswatthama harus memaafkan Karna.
Kurawa tak mungkin menemukan mahaguru yang hebat seperti Kripa dan Drona
serta Aswatthama, putra Drona, yang sakti dan perkasa. Mereka adalah kesatria-
kesatria sakti yang mum-puni dalam ilmu kitab suci.

“Kita tahu, kecuali Parasurama, tak seorang pun bisa menandingi Drona. Kita
hanya bisa menaklukkan Arjuna jika kita serang dia bersama-sama. Mari kita hadapi
tugas berat ini bersama-sama. Kalau kita terus bertengkar, kita tidak akan bisa
menundukkan Arjuna.” Demikianlah nasihat Bhisma, sesepuh yang dimuliakan dan
disegani seluruh bangsa Kuru. Semua terdiam dan tertunduk mendengar kata-kata
Bhisma!

Bhisma menoleh kepada Duryodhona, lalu melanjutkan, “Wahai Raja para
Kurawa, Arjuna sudah datang. Waktu tiga belas tahun yang ditetapkan sebagai
masa penga-singan dan persembunyian Pandawa telah habis kemarin.
Perhitunganmu salah. Tanyakan kepada pendita yang tahu tentang pergantian hari,
bulan dan peredaran bintang-bin-tang. Aku tahu masa pengasingan mereka sudah
selesai ketika kita mendengar deru terompet Arjuna. Sekarang Pandawa telah
bebas. Pikirkan baik-baik sebelum memu-tuskan untuk bertempur. Jika engkau mau
berdamai dengan Pandawa, sekaranglah waktunya. Apa yang engkau kehendaki?
Perdamaian yang adil dan terhormat, atau ... kehancuran bersama dalam
peperangan? Pertimbangkan baik-baik dan tentukan pilihanmu.”

Duryodhona menjawab, “Kakek Yang Mulia, aku tidak ingin berdamai. Aku
tidak sudi menyerahkan satu desa pun kepada Pandawa. Mari bersiap untuk
perang.”

Drona berkata, “Kalau demikian, biarlah Baginda Dur­yodhana kembali ke
Hastinapura dikawal seperempat bala-tentara kita. Separo dari balatentara yang ada
akan me-ngawal ternak dan barang rampasan yang dibawa ke Hastinapura sebagai
bukti bahwa kita menang perang. Dengan kata lain, tanpa ternak-ternak itu berarti
kita menerima kekalahan. Lalu, balatentara yang tersisa akan mengawal kita
berlima, Bhisma, Kripa, Karna, Aswatthama dan aku sendiri, untuk menghadapi
Arjuna.”

Kemudian, balatentara Kurawa diatur menurut pemba-gian itu. Arjuna tidak
melihat Duryodhona dalam pasukan Kurawa yang dihadapinya. Ia berkata kepada
Uttara, “Aku tidak melihat Duryodhona dan keretanya. Aku hanya meli-hat Bhisma.
Mungkin Duryodhona sedang merebut ternak kita. Ayo kita kejar dia dan kita rebut
kembali ternak kita.”


Click to View FlipBook Version