The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

cover, kata pengantar Chapter 3

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Tomy Oky, 2020-12-16 07:25:57

e book kita

cover, kata pengantar Chapter 3

kata lain surveilans dilakukan untuk melihat hubungan antara upaya pencegahan,
pengendalian dan pengawasan suatu kejadian. Adapun langkah-langkah yang dapat
dilakukan yaitu30,31

1. Analisis data, dengan cara observasi personal individu yg ada di lingkungan
terjadinya penyakit/ wabah, lingkungan kerja dan hidup, faktor risiko, agen
penyebab dan melihat dose relationship suatu kejadian.

2. Melakukan evaluasi.
3. Membangun komunikasi yang baik.
4. Membentuk sistem informasi yang memadai.
5. Membentuk manajemen yang baik, termasuk membentuk team-building dan

human relations. Melaksanakan fungsi manajemen dengan baik, meliputi
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi.
6. Melakukan kroscek dengan teori-teori yang sudah ada.
7. Presentation skill
Surveilans Epidemiologi merupakan kegiatan yang sangat penting dalam
manajemen kesehatan untuk memberikan dukungan data dan informasi epidemiologi
agar pengelolaan program kesehatan dapat berdaya guna secara optimal.30 Pelaksanaan
surveilans epidemiologi merupakan salah satu upaya untuk mengatasi masalah penyakit
menular maupun penyakit tidak menular, mengurangi kesakitan, mencegah kematian,
penyembuhan penderita, dan mencegah terjadinya peningkatan penyakit.30 Selama ini
pengertian konsep surveilans epidemiologi sering dipahami adalah sebagai kegiatan
pengumpulan data dan penanggulangan kejadian luar biasa. 30 Melaksanakan surveilans
epidemiologi penyakit dan masalah kesehatan yang ada di rumah sakit merupakan
kegiatan yang sangat penting namun belum mendapat perhatian sebagaimana
mestinya.30 Dapat diambil beberapa hal yaitu perhatian terhadap keselamatan pasien
beserta keluarganya, petugas kesehatan yang menangani serta faktor-faktor lain yang
mempengaruhi pelaksanaan surveilans epidemiologi.30 Adapun faktor-faktor yang harus
dimiliki oleh sistem surveilans yang baik yaitu:30,31
1. Simplicity, yaitu kemudahan dan kesederhanaan data.
2. Acceptability, yaitu mudah dipahami dan dimengerti.
3. Sensitivity, memiliki keakuratan data yang tinggi.
4. Timeliness, ketepatan waktu yang tinggi.

5. High predictive value positive (PVP).
6. Flexibility.
7. Representativeness, data yang diperoleh dapat mewakili populasi.

Dapat dilihat dari data yang ada, bahwa surveilans epidemiologi yang dilakukan
Indonesia belum optimal. Dengan terus meningkatnya kasus yang terjadi tujuan
epidemiologi dilakukan belum tercapai. Hal ini mungkin dipengaruhi salah satunya oleh
tidak ada atau minimnya anggaran yang dimiliki pemerintah pusat maupun daerah untuk
melakukan proses surevilans epidemiologi. Dalam menunjang surveilans epidemiologi
yang optimal dibutuhkan sinergi yang baik antara pemerintah dan pelayanan kesehatan
salah satunya rumah sakit. Dinas kesehatan daerah membutuhkan pelaporan yang baik
dari tiap rumah sakit yang ada di masing-masing daerah guna menunjang pencatatan
dan pelaporan yang akan diberikan kepada pemerintah. Adapun faktor-faktor yang
mungkin mempengaruhi buruknya surveilans epidemiologi terkait COVID-19 yang
terjadi di Indonesia yaitu:

1. Kurangnya pemahaman mengenai proses surveilans epidemiologi di tempat
pelayanan kesehatan mulai dari klinik hingga Rumah Sakit.

2. Kurangnya tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dibidang surveilans
epidemiologi.

3. Persebaran tenaga kesehatan tidak merata.
4. Fasilitas pelayanan kesehatan tidak merata.
5. Kurangnya promosi kesehatan yang dilakukan oleh pelayanan kesehatan.
6. Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai COVID-19.
7. Perilaku masyarakat terhadap protokol kesehatan rendah.
8. Kepadatan penduduk tinggi.
9. Belum berjalannya sistem kesehatan secara optimal yang sudah dibentuk oleh

pemerintah pusat sehingga sistem tidak berjalan di daerah-daerah apalagi di
daerah pelosok.
10. Persebaran tenaga kesehatan dan fasilitas layanan kesehatan yang tidak merata.
11. Tidak berjalannya monitoring dan evaluasi secara berkala yang dilakukan
pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
12. Tingginya populasi yang berisiko yaitu populasi dengan sebaran penyakit
menular dan degeneratif yang tinggi.

13. Kuatnya mitos yang berkembang di masyarakat mengenai COVID-19.
14. Tingginya kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap berita-berita yang tidak

valid dan tidak reliable terkait COVID-19.
15. Tingginya tingkat kecemasan masyarakat akan COVID-19.
16. Implementasi dan ketegasan pemerintah pusat dan pemerintah daerah rendah.

Dengan peran yang begitu besar dan luas, maka rumah sakit harus mampu
mengatur pola keuangan untuk menentukan program prioritas yang harus dijalankan
selama pandemi dan setelah pandemi. Dengan begitu sebuah rumah sakit harus mampu
melakukan review dan perencanaan ulang selama pandemi ini berjalan dan juga setelah
pandemi ini berakhir.

Dengan merujuk pada angka morbiditas maupun mortalitas yang terus bertambah
akan mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat Indonesia serta pandemi pun akan
semakin lama reda. Jika pandemi tidak segera teratasi, maka banyak aspek dan kejadian
ikutan yang akan terkena imbasnya. Dampak yang paling dirasakan ketika pandemi ini
terus ada yaitu dampak di bidang kesehatan, pendidikan, dan perekenomian. Pendidikan
dan kesehatan akan menurun serta diduga Indonesia lama-kelamaan akan mengalami
resesi ekonomi.

Maka dari itu dibutuhkannya analisis secara terpadu dari ketiga bidang tersebut.
Dalam bidang kesehatan perlu dilakukannya analisis epidemiologi dan bidang
perekonomian yaitu Indonesia harus mampu melakukan pengaturan ulang terkait
anggaran dengan tujuan mendapatkan solusi yang terbaik yang dapat dilakukan bagi
bangsa dan Negara Indonesia agar terbebas dari pandemi.

Rancangan Solusi dan Analisis Stakeholder25
Sebuah rumah sakit harus mampu melakukan analisis interrelationship antar

pemangku kebijakan dan kepentingan dalam penyusunan sebuah kebijakan. Pemangku
kepentingan dibagi menjadi 2 bagian yaitu pemerintah dan non pemerintah, dimana
masing-masing memiliki sub elemen guna menunjang pembuatan kebijakan. Dalam hal
ini rumah sakit yang akan saya teliti adalah tipe rumah sakit pemerintah. Maka dari itu
pemangku kepentingan dibagi menjadi 3 yaitu Pemangku kepentingan utama (primary
stakeholder) yaitu pasien dan seluruh staf rumah sakit; Pemangku kepentingan kunci
(key stakeholder), yaitu manajerial rumah Sakit, direksi hingga dinas kesehatan kota dan

dinas kesehatan provinsi setempat; Pemangku kepentingan pendukung (secondary
stakeholder), yaitu lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi masyarakat
(ORMAS), tokoh masyarakat lintas sektoral mulai dari RT dan RW dan tokoh agama
setempat. Pada analisis ini untuk menentukan pengaruh pemangku kepentingan dilihat
berdasarkan peran pemangku kepentingan dalam perumusan kebijakan seperti pada
tabel di bawah:

Tabel 19. Rancangan Solusi dan Analisis Stakeholder

No. Masalah Potensi Solusi Stakeholder

1. Pengetahuan staf - Peningkatan kualitas - Bag. Diklat
- Manajemen RS
rendah SDM RS untuk - Direksi RS
- Pemilik RS/ Dinas
meningkatkan kreatifitas,
Kesehatan
inisiatif dan motivasi
- Bag. Diklat
2. Pendidikan staf - Review penerimaan - Manajemen RS
tidak sesuai pekerja - Direksi RS

- Rolling staf Pemilik RS/ Dinas
Kesehatan
3. Kurang tenaga - Review anggaran dan
pendapatan RS - Bag. Diklat
- Manajemen RS
- Rolling staf - Direksi RS

4. Pencacatan dan - Pelatihan pencatatan dan Pemilik RS/ Dinas
pelaporan pelaporan keuangan Kesehatan
keuangan tidak
optimal - Penerapan reward and - Bagian keuangan
punishment - Manajemen RS
- Direksi RS
- Pemilik RS/ Dinkes

5. SIM RS tidak - Review SIM RS - IT RS
- Manajemen RS
berjalan dengan - Pemilihan SIM RS yang - Direksi RS
- Pemilik/ Dinkes
baik sesuai

6. Rendahnya Membuat jadwal monitoring - Manajemen RS

pengawasan dan evaluasi setiap 1 bulan, 3 - Direksi RS

pengelolaan bulan, 6 bulan dan tahunan - Satuan Pengawas Internal

keuangan dari - Pemilik RS/ Dinkes

internal maupun

eksternal

7. Monitoring dan Membuat jadwal monitoring - Manajemen RS
evaluasi tidak dan evaluasi setiap 1 bulan, 3 - Direksi RS
berjalan baik bulan, 6 bulan dan tahunan - Satuan Pengawas Internal

Pemilik RS/ dinkes

Kesimpulan
Berdasarkan data dunia didapatkan bahwa jumlah pasien COVID-19

terkonfirmasi sebesar 55.940.130 dengan kematian sebesar 1.343.153 jiwa.2 Dari hasil
data tim gugus cepat COVID-19 diketahui bahwa di Indonesia per tanggal 17 november
2020 penambahan jumlah kasus aktif per tanggal 17 November 2020 sebesar 60.426
(12,7%), penambahan kasus positif sebesar 3.807 jiwa, jumlah kasus sembuh 398.636
(84%) dan jumlah kasus meninggal 15.393 (3,2%).2 Dari data dunia didapatkan bahwa
jumlah kasus aktif sebesar 28%, kasus sembuh 69,5% dan kasus meninggal 2,4%. Dari
data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa selisih Indonesia dengan dunia pada
jumlah kasus aktif sebesar -15,3%, kasus sembuh +14,5% dan kasus meninggal +0,8%.2

Dari data di atas disimpulkan bahwa COVID-19 masih tinggi di Indonesia. Maka
dari itu, dibutuhkannya seluruh peran serta dari pemerintah hingga masyarakat guna
memerangi COVID-19. Koordinasi Nasional yang sudah dibentuk adalah berupa satu
komando yang seperti tertera dalam Peraturan Presiden Nomor 108 Tahun 2020 tentang
Satuan Tugas yang dibentuk di dalam KPCPEN, koordinasi lintas kementerian/ lembaga

dan TNI dan Polri, Koordinasi satuan tugas daerah dan Koordinasi Lintas Organisasi,
Fasilitas Pelayanan Masyarakat, Laboratorium, Media, dan Swasta (yang biasa disebut
pentahelix).2

Penanganan COVID-19 tidak lepas dari peranan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Adapun seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit bahwa salah satu tanggung jawab pemerintah daerah adalah untuk
menjamin pembiayaan pelayanan kegawatdaruratan di Rumah Sakit akibat bencana dan
kejadian luar biasa.7 COVID-19 merupakan suatu kejadian luar biasa yang terjadi di
dunia.

Peranan rumah sakit dalam penanggulangan pandemi sangatlah besar. Rumah
sakit tidak hanya dituntut untuk memberikan pengobatan kepada pasien COVID-19,
namun juga dituntut harus mampu memberikan edukasi dan pencegahan agar jumlah
penderita COVID-19 tidak semakin meningkat. Beban pembiayaan rumah sakit tidak
hanya sebatas tindakan kuratif dan rehabilitatif bagi pasien, namun tindakan promotif
dan preventif, sehingga beban pembiayaan yang digunakan oleh rumah sakit lebih besar
dibandingkan pelayanan kesehatan lainnya.

Beban pembiayaan tambahan yang dirasakan oleh seluruh rumah sakit di
Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya yaitu mengenai kesiapan rumah sakit
dalam memerangi pandemi. Seluruh rumah sakit dihimbau untuk mampu merawat
pasien COVID-19. Diketahui bersama bahwa, perawatan pasien COVID-19
membutuhkan ruang rawat inap khusus (isolasi), jasa dokter khusus ruang isolasi
COVID-19, pelayanan rawat jalan pasca rawatan, pemeriksaan penunjang diagnostik,
obat-obatan serta alat pelindung diri (APD) bagi nakes dan non nakes yang bertugas di
ruang isolasi.21,22

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, telah mengeluarkan surat kepada
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, perihal satuan biaya penggantian atas biaya
perawatan pasien penyakit infeksi emerging tertentu bagi rumah sakit yang
menyelenggarakan pelayanan Coronavirus Disease (COVID-19).23,24 Menteri keuangan
sebelumnya memang telah memastikan bahwa seluruh biaya mengobatan untuk pasien
yang positif terinfeksi COVID-19 akan ditanggung oleh pemerintah.24 Adapun anggaran
untuk perawatan pasien akan desentralisasi melalui Kementerian Keuangan.24

Berdasarkan data-data sejumlah rumah sakit rujukan COVID-19 di Indonesia,
dapat diketahui bahwa besarnya dana APBN yang telah digelontorkan oleh Presiden
sebagai upaya penanggulangan dalam mengatasi masalah COVID-19 di Indonesia
nyatanya dalam proses penyerapannya masih ditemukan banyak kendala dan tidak
merata.24 Oleh karena itu, pemerintah diharapkan dapat lebih baik lagi dalam
menyalurkan dana APBN yang dikhususkan untuk menangani masalah COVID-19 di
Indonesia, sehingga dana APBN dapat terdistribusi merata di sejumlah RS rujukan
COVID-19 di Indonesia.24 Hal ini akan meningkatkan kualitas layanan dalam proses
penanganan pasien COVID-19, tenaga kesehatan selalu mendapatkan perlindungan
yang prima dengan disediakannya APD yang memadai serta rumah sakit dapat
memperbaiki cashflow sehingga tidak terjadi defisit keuangan dan pelayanan terhadap
seluruh pasien optimal sehingga terciptanya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Rencana Tindak Lanjut
1. Perlu dilakukan penelaahan, penyesuaian dan pelatihan lebih lanjut dalam hal

penyusunan anggaran berbasis kinerja di rumah sakit guna meningkatkan program
yang ada di rumah sakit serta terwujudnya visi dan misi rumah sakit yang telah
dibentuk.
2. Monitoring dan evaluasi secara berkala guna memantau kinerja dalam menyusun
anggaran berbasis kinerja.
3. Pemerintah menyediakan forum atau pelatihan dalam hal anggaran berbasis kinerja.

DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. What is the WHO definition of health?. Available

at: https://www.who.int/about/who-we-are/frequently-asked-questions. Accessed

on November 4th, 2020.
2. Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Available at:

https://COVID19.go.id/. Accessed on Oktober 2th,2020.
3. Keputusan Presiden Nomor 7 tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan

Penanganan Corona. Diakses pada

https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/134544/keppres-no-7-tahun-2020

4. Undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, pasal 43. Diakses

pada https://kesmas.kemkes.go.id/perpu/konten/uu/uu-nomor-44-tahun-2009-ttg-rs.

Oktober 2020.
5. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Diakses

pada https://infeksiemerging.kemkes.go.id/download/UU_36_2009

Kesehatan.pdf.
6. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.

HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian

Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Diakses pada

https://COVID19.go.id/storage/app/media/Regulasi/KMK%20No.%20HK.01.07-

MENKES-413-

2020%20ttg%20Pedoman%20Pencegahan%20dan%20Pengendalian%20COVID-

19.pdf. November 10 th. 2020.
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2018 Tentang

Penyelenggaraan Promosi Kesehatan Rumah Sakit. Diakses pada

https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/PMK-No.-

44-Th-2018-ttg-Penyelenggaraan-Promosi-Kesehatan-Rumah-Sakit_1181.pdf.

Oktober 4 th. 2020.
8. Profil Rsud Embung Fatimah Kota Batam. https://rsud.batam.go.id/. Diakses pada

Oktober 01 th. 2020.
9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2017 Tentang

Pedoman Perencanaan Dan Penganggaran Bidang Kesehatan. Diakses Pada

http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK_No._48_ttg_Pedoman_Per

encanaan_dan_Penganggaran_Bidang_Kesehatan_.pdf. Oktober 4 th. 2020.
10. Munandar, M. 2000. Budgeting: Perencanaan Kerja, Pengkoordinasian Kerja,

Pengawasan Kerja. Cetakan Ketigabelas. Yogyakarta: BPFE.
11. Sulistiadi, Wahyu. Administrasi Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Indonesia. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Indonesia.
12. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Direktorat Alokasi

Pendanaan Pembangunan. MODUL 1 “KERANGKA PEMIKIRAN REFORMASI

PERENCANAAN DAN ANGGARAN”. Diakses pada

https://www.bappenas.go.id/files/3713/6508/2376/modul-

i__20090814165601__0.pdf 0kt.2020. 20.00. 2010
13. Kementerian Keuangan Direktorat Jenderal Anggaran. Rencana Strategis Direktorat

Jenderal Anggaran 2010-2014. Diakses pada

http://www.anggaran.kemenkeu.go.id/api/Medias/a4b6a212-cc81-4db9-951c-

046afbbf1312 24 nov 2020
14. Modul Perencanaan Anggaran. Kementerian Keuangan Republik Indonesia

Direktoral Jenderal Perbendaharaan. Diakses pada

https://www.kejaksaan.go.id/upldoc/produkhkm/Lampiran%20PMK%20No.%2019

3_PMK_02_2010_Modul%20Perencanaan%20dan%20Penganggaran.pdf 24 nov

2020
15. Indrayati, Putu Ayu dan I Ketut Sudiana. Bahan Ajar PSKM UNUD

“Penganggaran Berbasis Kinerja Dalam Pelayanan Kesehatan”. Diakses pada

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/412cefe1319620d983538e5e

c0b2037b.pdf. Denpasar. 2018
16. Yogivaria, Doni Wirshandono dan Alfinur. KAJIAN FENOMOLOGIS

ANGGARAN BERBASIS KINERJA PADA RUMAH SAKIT BAPTIS BATU.

Jurnal Ekonomi Modernisasi. Diakses pada

http://ejournal.unikama.ac.id/index.php/JEKO JEM 12,3 (2016) 117-130.
17. Hamidi, Mohamad Fauji. Implementasi Anggaran Berbasis Kinerja Terhadap

Akuntabilitas Pada RSUD dr. R. Koesma Kabupaten Tuban. DIA, Jurnal
Administrasi Publik ISSN: 0216-6496 Juni 2014, Vol. 12, No. 1, hal 39 – 62.
18. Wibiseno, Seto dan Ikhsan Budi Raharjo. PENGARUH PENERAPAN

ANGGARAN BERBASIS KINERJA TERHADAP AKUNTABILITAS KINERJA

INSTANSI PEMERINTAH. Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi: Volume 5, Nomor 9,

September 2016. ISSN:2460-0585.
19. Kurrohman, Taufik. EVALUASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA

MELALUI KINERJA KEUANGAN YANG BERBASIS VALUE FOR MONEY DI

KABUPATEN/KOTA DI JAWA TIMUR. Jurnal Dinamika Akuntansi Vol. 5, No.

1, Maret 2013, pp. 1-11 ISSN 2085-4277. Diakses pada:

http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jda.

20. Khandelwal, Sudir K. Debating the Process, Impact, and Handling of Social and

Health Determinants of the COVID-19 Pandemic. Diakses pada

http://www.indjsp.org on Wednesday, November 25, 2020, IP: 36.76.244.240]
21. Gagliano, Annalisa, dkk. COVID-19 Epidemic in the Middle Province of Northern

Italy: Impact, Logistics, and Strategy in the First Line Hospital. Diakses pada

https://www.cambridge.org/core/services/aop-cambridge-

core/content/view/AAEA381A70676F0A4505A23C2D006C62/S19357893200005

18a.pdf/COVID19_epidemic_in_the_middle_province_of_northern_italy_impact_l

ogistics_and_strategy_in_the_first_line_hospital.pdf. 22 November 2020

22. Muhyiddin. COVID-19, New Normal dan Perencanaan Pembangunan di Indonesia.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Republik Indonesia.

Diakses pada

https://journal.bappenas.go.id/index.php/jpp/article/download/118/89/. 22

November 2020.
23. Olivia Sandra dan Dumilah Ayuningtyas. Analisis Politikdan Kebijakan

Pembiayaan Rumah Sakit Pemerintah DKI Jakarta. Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Indonesia, **Departemen Administrasi Kebijakan dan Kesehatan

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Diakses pada

http://journal.fkm.ui.ac.id/kesmas/article/download/144/145. 22 November 2020
24. Wicaksono Haryo. Analisis Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja Badan Layanan

Umum Pada Unit Pelaksana Teknis (UPT) RSUP Dr. Kariadi Semarang Tahun

2006-2012. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Juni 2013

25. Schmeer K. Stakeholder Analysis Guidelines. 2nd section. Available

at: https://www.who.int/workforcealliance/knowledge/toolkit/33.pdf. Accessed

on November 5th, 2020.
26. Kemenkeu.go.id. Langkah Kemenkeu Atasi COVID-19. Diakses Pada 11

November 2020, dari http://www.djpk.kemenkeu.go.id/

27. Kemenkeu.go.id. Pemerintah Menanggung Seluruh Biaya Pasien

COVID19.Diakses 11 November 2020. dari

https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/pemerintah-menanggung-

seluruhbiaya-pasien-COVID-19/

28. Celentano, David. D dan Moyses Szklo. Gordis Epidemiology. Sixth Edition.
Philadelphia. Elsevier: 2019

29. Rom. William, N. Environmental Policy And Public Health. First edition. United
States of America. Josey-Bass. 2012.

30. Diclemente, Ralph J, dkk. Health Behavior Theory Of Public Health. Jones and
Bartlett Learning. United States of America. 2013

31. Wallace, Robert B. Public Health and Preventive Medicine. McGraw Hill. United
States Of America. 2008.

ANALISIS KERUGIAN RUMAH SAKIT AKIBAT SELISIH TARIF INA-CBGs
DENGAN TARIF RUMAH SAKIT DI RUMAH SAKIT KANKER DHARMAIS

PADA MASA PANDEMI COVID-19
Oleh:

dr. Yudi Febriadi

Latar Belakang
Kesehatan merupakan salah satu hak asasi manusia yang diakui di seluruh dunia.

Dalam Undang-Undang Nomor 36 ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang
sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan memperoleh
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Dalam situasi ekonomi yang
serba sulit dimana biaya kesehatan cenderung meningkat yang disebabkan oleh berbagai
faktor diantaranya pembayaran out of pocket (fee for service) secara individual, service
yang ditentukan oleh provider1, sementara di sisi lain kemampuan masyarakat untuk
mengakses pelayanan kesehatan sedemikian sulit, maka diperlukan suatu sistem sebagai
gerakan reformasi dalam hal pendanaan kesehatan. Salah satunya adalah dengan
menjadi peserta asuransi pada Jaminan Kesehatan Nasional.2

Menurut WHO (2010), rata-rata orang menghabiskan 5% hingga 10 % dari
pendapatan mereka untuk pembiayaan pelayanan kesehatan sedangkan orang yang
paling miskin dapat membelanjakan sepertiga pendapatannya. Bahkan WHO juga
mensinyalir 100 juta orang dapat menjadi miskin akibat membiayai pelayanan
kesehatannya dan 150 juta orang menghadapi kesulitan untuk membayar pelayanan
kesehatan. Belanja kesehatan seperti ini merupakan belanja kesehatan katastropik
karena melebihi kapasitas membayar (capacity to pay) rumah tangga.3 Di negara maju
seperti Jerman dengan rata-rata Gross Domestic Product (GDP) sebesar US$ 32.680,
pembiayaan kesehatan 10% menggunakan out of pocket. Di Indonesia menganggarkan
sekitar 2,5% GDP untuk kesehatan, 70% menggunakan out of pocket. Dibandingkan
dengan negara negara lain seperti India, Thailand, Vietnam, Brazil, Korea, dan lain lain,
Indonesia masih menempati urutan terbawah dalam belanja kesehatan.4

Untuk mengatasi hal itu, World Health Assembly (WHA) ke-58 tahun 2005 di
Jenewa mendorong setiap negara mengembangkan Universal Health Coverage (UHC)
atau cakupan kesehatan semesta bagi seluruh penduduknya. Maka pemerintah Indonesia

melaksanakannya melalui program Jaminan Kesehatan atau Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN). Program JKN dimulai dengan diberlakukannya Undang Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(UU BPJS).3

Asuransi kesehatan dalam UU SJSN dan UU BPJS memiliki prinsip kegotong-
royongan yang merupakan karakter agung bangsa Indonesia, dimana dalam konsep
barat hal ini disebut sebagai social responsibility atau merupakan tanggung jawab
bersama (share responsibility).3 Pada JKN, keterjangkauan akses pelayanan kesehatan
salah satunya dengan pelayanan kesehatan yang berjenjang, puskesmas atau dokter
praktek sebagai fasilitas pelayanan kesehatan primer, dan rumah sakit (RS) sebagai
fasilitas pelayanan kesehatan lanjutan ; sekunder atau tertier tergantung dari tipe RS
tersebut.5 Rumah sakit sebagai fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan merupakan
salah satu komponen penting bagi penyedia dan pemberi pelayanan kesehatan pada
pelaksanaan program JKN. Program JKN merupakan bagian dari kebijakan publik
sebagai hasil dari good will Pemerintah. Keberhasilan program Pemerintah dalam JKN
antara lain bergantung pada sejauh mana kebijakan ini terimplementasi di rumah sakit.3
Seperti pengalaman di Iran, bahwa sejak 1990 Iran telah berhasil mencapai cakupan
pelayanan kesehatan semesta pada fasilitas pelayanan primer, namun hingga kini masih
memiliki kendala pada fasilitas kesehatan tingkat lanjut.6

Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69 Tahun 2013 tentang Standar Tarif
Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan
Tingkat Lanjutan, untuk pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta oleh
fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan, BPJS Kesehatan melakukan pembayaran
berdasarkan cara Indonesian Case Based Groups (INA-CBGs). Maksud dari Tarif INA-
CBGs adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada fasilitas
kesehatan tingkat lanjutan atas paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokan
diagnosis penyakit. Pengelompokan diagnosis penyakit ini penting sesuai dengan
paparan Cooper dan Craig yang menunjukkan adanya variasi pembiayaan kesehatan
meskipun dengan diagnosis yang sama.

Namun penggunaan sistem INA-CBGs ini dilihat belum efektif, hal tersebut
diperoleh dari hasil penelitian yang menunjukkan kecenderungan besaran biaya INA-

CBGs lebih besar dibanding Fee For Service terutama untuk kasus-kasus non bedah.
Sebaliknya untuk kasus-kasus bedah kecenderungan biaya INA-CBGs jauh lebih rendah
dibanding Fee For Service. Selain itu, faktor–faktor yang berkaitan dengan pembiayaan
pelayanan kesehatan diantaranya adalah: biaya obat, lama dirawat, penggunaan
Intensive Care Unit (ICU), dan lokasi RS. Penelitian yang ada juga menunjukkan bahwa
kelas perawatan dan tingkat keparahan juga berkaitan dengan pembiayaan pelayanan
kesehatan dan biaya penyakit katastropik mencapai 32% dari total biaya pelayanan
kesehatan. Penelitian yang dilakukan Yuniarti et al (2015) menunjukkan bahwa terdapat
selisih biaya terapi penyakit diabetes mellitus pasien JKN antara tarif RS dan tarif INA-
CBGs yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi RS.

Penerapan tarif INA-CBGs sejak berlakunya sistem Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) pada 1 Januari 2014, berpengaruh besar pada metode pembayaran yang
diterapkan pada sebagian besar rumah sakit. Pihak rumah sakit harus memahami pola
pembayaran casemix tersebut agar penetapan tarif dapat disesuaikan dengan unit cost
yang lebih efektif dan efisien.3

Sejak pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), masyarakat banyak
menghadapi permasalahan. Masyarakat mengeluhkan sulitnya mendapatkan pelayanan
yang memadai. Pada saat akan melakukan pemeriksaan penunjang baik pemeriksaan
laboratorium maupun radiologi kadang harus datang beberapa kali dikarenakan jatah
biaya sudah melampaui paket INA-CBGs. Tidak jarang terlihat pasien komplain pada
saat mengambil obat di apotik yang disebabkan oleh obat yang tidak tersedia (kosong)
ataupun jumlah obat yang diterima dirasakan pasien kurang. Di pihak lain, banyak
rumah sakit yang mengeluh dengan besaran tarif pembiayaan yang diatur dalam
Permenkes No 59 tahun 2014. Besaran tarif dalam peraturan tersebut dianggap terlalu
kecil dan tidak sesuai dengan jasa medis, harga obat dan reagen atau bahan habis pakai
terkini. Akibatnya dari sudut pandang pasien, timbul kesan bahwa pihak rumah sakit
hanya memberikan pelayanan seadanya yang disertai ketidakramahan dari petugas
kesehatan.

Pada Desember 2019, Tiongkok mengumumkan terdeteksi “New Emerging
Disease” di Wuhan dengan klinis pneumonia viral. Kemudian dalam waktu singkat
virus tersebut menyebar ke seluruh dunia. Januari 2020, WHO menetapkan nama virus
tersebut sebagai Novel Corona Virus 2019 (nCoV 2019) lalu diubah menjadi

Coronavirus Disease 19 (COVID-19). Pemerintah Indonesia pertama kali
mengumumkan kasus infeksi COVID-19 pada Maret 2020 yang mengenai warga
Depok, Jawa Barat. Kemudian dalam waktu singkat COVID-19 menyebar ke 34
Provinsi di Indonesia.

Desember ini di Indonesia sendiri angka terkonfirmasi positif COVID-19
sebanyak 623.309 kasus dengan rasio meninggal sebanyak 3% atau 18.956 kasus. Dari
kasus meninggal tersebut, kanker menjadi urutan komorbid ke 7 dengan rasio 0,5%.7

Dari data di atas disimpulkan bahwa COVID-19 masih tinggi di Indonesia. Maka
dari itu, dibutuhkannya seluruh peran serta dari pemerintah hingga masyarakat guna
memerangi COVID-19. Koordinasi nasional yang sudah dibentuk adalah berupa satu
komando yang seperti tertera dalam Peraturan Presiden Nomor 108 Tahun 2020 tentang
Satuan Tugas yang dibentuk di dalam Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan
Ekonomi Nasional (KPCPEN), koordinasi lintas kementerian/ lembaga dan TNI dan
Polri, Koordinasi satuan tugas daerah dan Koordinasi Lintas Organisasi, Fasilitas
Pelayanan Masyarakat, Laboratorium, Media, dan Swasta (yang biasa disebut
pentahelix).

Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan di atas menunjukkan bahwa pembiayaan kesehatan

merupakan masalah penting dan masih ada kontroversi dari berbagai penelitian tersebut.
Maka penulis ingin lebih mengetahui dan tertarik untuk meneliti mengenai apakah tarif
RS lebih tinggi dari tarif INA CBGs dan apakah ada hubungan antara tarif RS dengan
jenis RS, tarif RS dengan kelas perawatan, tarif RS dengan tingkat keparahan penyakit,
tarif RS dengan penggunaan ICU, dan tarif RS dengan lama perawatan?

Gambar 21. Problem Tree

Pembahasan Problem Tree
Seperti kita tahu banyak RS yang mengeluhkan bahwa pembayaran klaim layanan

JKN atau BPJS Kesehatan tidak sesuai dengan tarif RS. Hal ini mengakibatkan RS
mengalami kerugian bila memberikan layanan pada pasien BPJS Kesehatan/ JKN.

Kerugian ini dapat berakibat pada terganggunya operasional RS karena tidak dapat
membayar tagihan dan biaya-biaya lainnya. Program JKN/ BPJS Kesehatan sendiri
telah berjalan sejak tahun 2014 sesuai Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional. Lalu pada 2011 dibentuklah BPJS Kesehatan sesuai
dengan Undang-undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial. Sedangkan untuk pembayaran klaim layanan JKN/ BPJS Kesehatan pada tahun
2016 dikeluarkanlah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 76 tahun 2016 tentang
Pedoman INA-CBG dalam Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional.

Dalam pembayaran klaim layanan RS, BPJS Kesehatan menggunakan sistem
INA-CBG (Indonesia Case Based Group). Dalam sistem tersebut menggunakan
pengelompokan (grouping) berdasarkan jenis penyakit dan tindakan yang sesuai ICD-
10 dan ICD-9 CM. Grouping ini tidak memperhitungkan lama rawat, harga obat, dan
tarif tindakan yang berbeda di setiap RS. Sedangkan penentuan tarif RS sendiri
berdasarkan unit cost yang dihitung sendiri oleh RS. Maka akan timbul beberapa
penyebab masalah yang mengakibatkan kerugian RS, diantaranya:

a. Tarif BPJS lebih rendah
b. Tarif RS terlalu tinggi
c. RS tidak melakukan efisiensi
d. Perekrutan staf tidak sesuai kebutuhan RS
e. Terjadi spesialisasi kompetensi staf
f. Staf terlalu lama bekerja di unit tertentu
g. RS tidak melakukan rotasi staf
h. Pembelian alat medis tidak sesuai kebutuhan
i. Pembelian alat medis tidak sesuai RBA
j. RBA dibuat tidak sesuai analisis keuangan
k. RS tidak mengembangkan layanan non JKN

Rancangan Solusi dan Analisis Stakeholder
Sesuai problem tree yang telah dibuat maka penulis mencoba mencari solusi dari

masalah kerugian RS bila memberikan layanan JKN/ BPJS Kesehatan, diantaranya
adalah:

Tabel 20. Rancangan Solusi dan Analisis Stakeholder

No. Masalah Potensi Solusi Stakeholder & Grading
- Perhimpunan atau
1. Tarif BPJS Kesehatan - Mengajukan PPK
kolegium profesi
lebih rendah dan nilai unit cost ke (Q1)
- Bagian Tarif dan
P2JK Kemenkes Kasir
- Bagian Pemasaran
2. Tarif RS terlalu tinggi - Evaluasi tarif dan RS
(Q2)
unit cost
- Direksi, unit
- Revisi tarif yang layanan, pemasaran,
bagian SDM, komite
tidak sesuai mutu, komite medik,
bidang keperawatan,
- Studi banding IPSRS, SPI, bagian
umum, bidang
dengan tarif RS yang layanan medik,
bidang penunjang
setipe medik.(Q2)

3. RS tidak melakukan - Dilakukan efisiensi - Bagian pemasaran,
hukum, humas, IT,
efisiensi di bidang SDM dan setiap staf RS. (Q2)

sarana

4. RS tidak - Melakukan kerja

mengembangkan sama dengan

layanan pasien non JKN asuransi swasta

untuk pembiayaan

pasien

- Melakukan promosi

kepada masyarakat

dan komunitas

- Mengembangkan

layanan dan unit

kegiatan non layanan

medis

5. Perekrutan staf tidak - Rekrutmen staf - Direksi, Bagian

sesuai kebutuhan sesuai kebutuhan SDM, SMF,

- Menjaga rasio staf keperawatan,

non medis dan medis farmasi, nakes lain.

sesuai kebutuhan (Q2)

6. Terjadi spesialisasi - Membuat inhouse - Bagian Diklat dan

kompetensi staf training untuk SDM (Q2)

penambahan skill

yang berbeda

- Melakukan studi

banding dengan

perusahaan lain di

bidang berbeda

7. RS tidak melakukan - Membuat rotasi staf - Bagian SDM,

rotasi staf ke unit lain Bidang

- Membuat kebijakan Keperawatan,

batas lama kerja Bagian umum (Q2)

seorang staf di unit

tertentu

8. Pembelian alat medis - Membuat survei - Bagian keuangan,

tidak sesuai kebutuhan kebutuhan alat medis unit layanan, SMF,

di layanan farmasi,

- Membuat prioritas keperawatan, K3,

kebutuhan alat medis bidang penunjang

- Memilih vendor alat medis (Q2)

medis yang

terpercaya dan

bersertifikasi

9. Pembelian alat medis - Melakukan cek ulang - Bidang penunjang

tidak sesuai RBA kebutuhan alat medis medis, unit layanan,

dengan unit layanan farmasi,
- Membuat RBA keperawatan, K3,
bagian keuangan
sesuai Renstra RS (Q2)

Kesimpulan
Pada Desember 2019, Tiongkok mengumumkan terdeteksi New Emerging

Disease di Wuhan dengan klinis pneumonia viral. Kemudian dalam waktu singkat virus
tersebut menyebar ke seluruh dunia. Januari 2020, WHO menetapkan nama virus
tersebut sebagai Novel Corona Virus 2019 (nCoV 2019) lalu diubah menjadi
Coronavirus Disease 19 (COVID-19). Desember ini di Indonesia sendiri angka
terkonfirmasi positif COVID-19 sebanyak 623.309 kasus dengan rasio meninggal
sebanyak 3% atau 18.956 kasus. Dari kasus meninggal tersebut, kanker menjadi urutan
komorbid ke 7 dengan rasio 0,5%.7

Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69 Tahun 2013 tentang Standar
Tarif Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas
Kesehatan Tingkat Lanjutan, untuk pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta
oleh fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan, BPJS Kesehatan melakukan
pembayaran berdasarkan cara Indonesian Case Based Groups (INA-CBGs).

Namun penggunaan sistem INA-CBGs ini dilihat belum efektif, hal tersebut
diperoleh dari hasil penelitian yang menunjukkan kecenderungan besaran biaya INA-
CBGs lebih besar dibanding Fee For Service terutama untuk kasus-kasus non bedah.
Sebaliknya untuk kasus-kasus bedah kecenderungan biaya INA-CBGs jauh lebih rendah
dibanding Fee For Service. Faktor-faktor yang berkaitan dengan pembiayaan pelayanan
kesehatan di antaranya adalah: biaya obat, lama dirawat, penggunaan Intensive Care
Unit (ICU), dan lokasi RS menjadi momok dalam penentuan tarif RS.

Dalam kondisi pandemi COVID-19, kemampuan RS dinilai semakin menurun
dalam hal cost. Rumah sakit semakin terbebani dengan tingginya angka mortalitas
COVID-19. Dapat disimpulkan bahwa, rumah sakit mengalami kerugian besar jika tarif
INA-CBGs dan tarif RS terus menerus mengalami selisih ditambah dengan adanya
pandemi COVID-19.

Rencana Tindak Lanjut
1. RS harus melakukan evaluasi RBA dan revisi target tahun berjalan dalam masa
Pandemi COVID-19 tahun 2020
2. RS harus membuat prioritas pembelian alat medis sesuai kebutuhan layanan di
masa Pandemi COVID-19 tahun 2020
3. Dalam kondisi keuangan dan pendapatan yang menurun RS harus bisa membuat
inhouse training dan program rotasi agar semua staf memiliki multi kompetensi
untuk mencegah kekurangan SDM di suatu unit layanan.
4. Advokasi dengan kolegium profesi, P2JK Kemenkes, dan Rumah Sakit untuk
pengajuan tarif layanan RS
5. Advokasi dengan kepala rumah sakit dan kepala bidang terkait efisiensi
termasuk pengadaan alat medis dan pengembangan pelayanan non-JKN
6. Koordinasi dengan Kepala bidang SDM untuk monitoring evaluasi pemetaan
SDM yang ada.

DAFTAR PUSTAKA
1. Hosizah. Case Mix Upaya Pengendalian Biaya Pelayanan Rumah Sakit di

Indonesia. Diunduh pada http://www.esaunggul.ac.id/article/case-mix-upaya-
pengendalian-biaya-rumah-sakit-di-indonesia
2. Fitri, D. Analisis Perbedaan Rata-Rata Biaya Dan Mutu Pelayanan Tindakan
Section Caesaria Dengan Pola Pembayaran FFS dan INA-CBG’s. Tesis. Depok.
2014.
3. Thabrany, H . Jaminan Kesehatan Nasional. Jakarta. RajaGrafindo Persada.
Penetapan dan simulasi tarif rumah sakit. Pelatihan RSPAD 2-5 November 1998.
4. Li, H., Hilsenrath, P. Organization And Finance Of China’s Health Sector :
Historical Antecedants For Macroeconomic Structural Adjustment. The Journal of
Health Care Organization, Provision and Financing. 1(8):223-234.
DOI10.1177/0046958015620175
5. Ambarriani, AS. Hospital Financial Performance In The Indonesian National
Health Insurance Era. Review of Integrative Business and Economics Research.
2014. 4(1):121-133

6. Bazyar, M., Rashidian, A. Policy Options To Reduce Fragmentation In The Pooling
Of Health Insurance Funds In Iran. International Journal Health Policy
Management.2016. 5(4) :253–258 133

7. Putra, PRS., Indar., Jafar, N. Ability To Pay Dan Catastrophic Payment Pada
Peserta Pembayar Mandiri BPJS Kesehatan Kota Makassar. Jurnal Kesehatan.
2014. 4 (3 ): 283 – 290

8. Puspandari, DA., Mukti, AG., Kusnanto, H. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi
Biaya Obat Pasien Kanker Payudara Di Rumah Sakit Di Indonesia. Jurnal
Kebijakan Kesehatan Indonesia. 2015. 4(3):24-35

9. Yuniarti, E., Amalia, Handayani, TM. Analisis Biaya Terapi Penyakit Diabetes
Melitus Pasien JKN Di RS Pku Muhammadiyah Yogyakarta : Perbandingan
Terhadap Tarif INA-CBGS. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia. 2015. 04(3):43-
56

10. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 69 tahun 2013 tentang
Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Dan
Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan
Kesehatan

11. Mathauer, I., Wittenbecher, F. Hospital Payment Systems Based On Diagnosis –
Related Groups : Experiences In Low- And Middle- Income Countries. Bulletin
World Health Organization. 2013. 91(2) :746-756

12. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 76 Tahun 2016,
13. Undang –Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem

Jaminan Sosial Nasional.
14. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 tentang Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial


Click to View FlipBook Version