The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by zeifulsmeser, 2021-04-21 01:06:48

Bidadari bersayap biru

Bidadari bersayap biru

http://pustaka-indo.blogspot.com Bidadari

Bersayap

Biru

AGNES

JESSICA

http://pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014

tentang Hak Cipta

1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagai­
mana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak
cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam
pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h, untuk penggunaan secara
komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

3. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak
melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal
9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g, untuk penggunaan secara ko­
mersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

4. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah).

http://pustaka-indo.blogspot.com AGNES

JESSICA

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta

http://pustaka-indo.blogspot.com BIDADARI BERSAYAP BIRU
oleh Agnes Jessica

617172009
© Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Gedung Kompas Gramedia Blok 1, Lt.5
Jl. Palmerah Barat 29–37, Jakarta 10270

Sampul oleh Orkha Creative
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
anggota IKAPI, Jakarta, September 2017

www.gpu.id
Hak cipta dilindungi oleh undang­undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

ISBN 9786020375946
224 hlm.; 20 cm

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab Percetakan

http://pustaka-indo.blogspot.com

Untuk Pak Leo Sutanto

http://pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com Satu

TING TONG! Ting tong! Bel berdentang tak sabar. Vina yang
sedang membaca komik sambil menumpangkan kaki di
sofa ruang tamu, menggerutu dan berteriak, ”May! Buka pintu!”

Ketika Maya lewat tergopoh­gopoh, Vina mendesis kesal, ”Da­
sar budek! Kamu nggak denger tuh, bel bunyi? Mesti dipanggil
dulu baru nyadar kamu ya!”

Sambil memegang sodet, Maya bergegas ke depan dan mem­
buka pintu pagar. Di depan pagar dilihatnya seorang pemuda
tampan menyandang ransel besar di punggung. Pemuda itu
memakai topi wol—seperti penyanyi rap—dan kausnya yang ketat
melekat di badannya yang kerempeng.

”Ini rumah Bu Rini?” tanyanya dingin.
Maya membuka pintu. ”Mas Yoga, ya? Bu Rini sudah pesan
pada saya Mas Yoga akan datang.”
”Panggil Yoga saja.” Pemuda cuek itu pun masuk ke rumah
tanpa melihat kiri­kanan.

7

http://pustaka-indo.blogspot.com Maya memperhatikan postur Yoga dari belakang. Katanya
pemuda ini masih kuliah di universitas yang jaraknya cuma se­
puluh menit berjalan kaki dari sini. Yoga penghuni kos kedua
setelah Lintang, yang ditemukan Rini—ibu angkat Maya—dengan
susah payah. Zaman sekarang jarang orang yang mau kos di
rumah yang benar­benar sebuah rumah. Kebanyakan mencari
tempat yang punya pintu pribadi dan tak perlu menghadapi
penghuni lain yang tak dikenal.

Sebenarnya keluarga mereka pun tak leluasa jika harus tinggal
bersama orang asing, tapi apa boleh buat, mereka tak punya
pilihan lain. Keuangan keluarga mereka sedang sulit.

Maya berlari kecil untuk mendahului Yoga yang masuk ke
rumah dengan pinggul berlenggok­lenggok santai bak coverboy.
Di ruang tamu, Vina serentak berdiri malu­malu melihat seorang
pemuda tampan masuk. Vina pasti tak mengira bahwa yang
namanya Yoga orangnya setampan ini, pikir Maya.

”Eh, baru datang, ya?” ujar Vina salah tingkah. Diulurkannya
tangannya pada Yoga yang disambut dengan jabatan enggan.
”Nama saya Vina.”

”Kamar saya di mana?” balas Yoga datar.
Vina langsung cemberut. Ditunjuknya Maya.
”Kalau soal kamar, tanya dia aja. Saya nggak ngurusin gitu­
gituan.”
Maya langsung mengambil alih. ”Ikuti saya saja, Mas. Lewat
sini.”
Mereka melewati ruang tamu yang cukup besar dan masuk
ke lorong samping. Rumah besar peninggalan kakek Vina ini

8

http://pustaka-indo.blogspot.com punya empat kamar tidur. Dulu Maya tidur di kamar sendiri dan
sisa satu kamar kosong. Tapi belakangan ini ia disuruh tidur
bersama Vina dan dua kamar yang tersisa disewakan.

Kamar pertama disewa seorang karyawati berusia 24 tahun
bernama Lintang, dan kamar kedua disewa oleh Yoga.

Di lorong samping, mereka melewati sebuah kamar yang di
depannya ditempelkan kertas bertuliskan: LINTANG’S ROOM—
ENTER AT YOUR OWN RISK. Kamar sebelahnya adalah kamar
untuk Yoga.

Maya membuka kamar itu. Ini bekas kamarnya, dan ia rindu
pemandangan kebun yang bisa dilihat dari jendelanya. Tapi apa
boleh buat, sekarang kamar ini jadi kamar orang lain.

Kamar itu tampak rapi dan bau kamper dari seprai bersih
menyeruak ke hidung Maya. Tadi pagi kamar ini sudah ia bersih­
kan.

”Ini kamarnya, Mas. Makan pagi akan saya antarkan ke sini,
sekalian mengambil baju kotor. Nanti baju bersihnya saya
antarkan sore. Kalau kamarnya dikunci, baju Mas saya letakkan
di sana.” Maya menunjuk ke arah rak di depan kamar. ”Oh ya,
baju kotornya juga bisa ditaruh di sana kalau Mas nggak mau
dibangunkan terlalu pagi.”

”Ya sudah,” jawab Yoga cepat. Ia memandang ke luar jendela
dan termenung, tampaknya tak menganggap penting semua
petunjuk Maya.

”Kalau begitu, sarapannya juga saya tinggalkan saja di rak.
Ehm... kalau ada perlu apa­apa, panggil saya saja.”

9

http://pustaka-indo.blogspot.com Maya meninggalkan ruangan itu. Tapi tampaknya Yoga ter­
sadar.

”Eh, nama kamu siapa?” panggilnya.
Maya membalikkan tubuhnya, lalu mengulurkan tangan.
”Nama saya Maya.”
Yoga menyambut uluran tangan Maya, menggenggam tangan
Maya yang langsing.
Saat menjabat tangan Yoga, sekelebat bayangan menerpa
benak Maya.
Brak! Sebuah benda terpental dan menimpa dahi pemuda itu
hingga berdarah.
”Pergi kamu dari sini! Mami tak mau mengurusmu lagi!”
Suara tangisan.
”Jangan menangis! Laki-laki tidak boleh cengeng!”
Lamunan itu buyar ketika Yoga menarik tangannya kembali.
Maya tersentak. Tubuhnya pun terasa lunglai.
”Kamu kenapa?” tanya Yoga.
Siapa pemuda itu? Apa pemuda itu Yoga? Apa perempuan itu
ibunya? Kenapa ibunya begitu kejam? batin Maya. Jangan­jangan
sikap apatis pemuda ini diakibatkan oleh sikap ibunya.
”Maya...! Maya...?!”
Maya tersentak lagi. ”Eh... oh, Mas Yoga...”
”Sudah kubilang, panggil Yoga saja.”
”Yoga, ehm... saya... saya ke belakang dulu.”
”Ya sudah. Pokoknya kalau ada yang nggak saya mengerti,
saya cari kamu.”

10

http://pustaka-indo.blogspot.com Maya pun cepat­cepat keluar dari kamar itu. Yoga cuma bisa
bengong.

”Cewek aneh,” dengusnya.

Matahari pagi bersinar cerah. Rumah suami­istri Setiawan dan
Rini menghadap ke timur, ke arah matahari terbit. Walaupun
silau, kata orang sinar matahari pagi sangat baik dan bisa
mengaktifkan vitamin D dalam tulang manusia. Maya bukannya
peduli pada sinar matahari pagi makanya ia sibuk di kebun. Mau
tak mau ia melakukannya, soalnya ia mesti menjemur pakaian
yang ia cuci subuh tadi.

”Maya...!”
Maya tersenyum mendengar suara alto yang sangat dikenal­
nya itu. Ia menoleh. ”Berangkat, Mbak Lintang?”
Wanita cantik ber­makeup rapi itu tersenyum manis. Matanya
tersenyum ramah dari balik kacamata minus tipis yang
dipakainya. ”Udah tahu nanya!”
Maya tertawa mendengar gurauan Lintang.
Lintang mendekatinya. ”Kok kamu nggak sekalian nyuciin
baju aku, May?”
”Nggak, Mbak. Ini baju Mama, Papa, sama Vina. Bajuku, baju
Mbak Lintang, sama baju penghuni baru itu nanti sore aja. Nggak
apa­apa ya, Mbak?”
”Ya nggak apa­apa. Aku kan cuma tanya. Oh ya, penghuni

11

http://pustaka-indo.blogspot.com baru itu umurnya berapa sih? Aku lihat sekilas waktu dia mau
ke kamar mandi tadi. Ganteng juga lho!”

”Kalau nggak salah baru tingkat satu gitu, Mbak. Berarti sem­
bilan belasan tahunan deh.”

”Yaaah, daun muda,” keluh Lintang. ”Beda lima tahun, bisa
nggak ya?”

”Tapi orangnya pendiam, Mbak. Mana cocok sama Mbak yang
bawel?”

”Aku baru mau ngasih tau kamu. Bener! Sama aku aja nggak
nyapa, padahal sesama penghuni rumah lebih baik saling kenal,
kan? Iya nggak?”

”Yah... orang kan beda­beda pemikirannya, Mbak. Tapi tinggal
di sini enak kan, Mbak?”

”Iya, aku senang tinggal di sini. Baju dicuciin. Teman­temanku
kos di tempat lain harganya sama, tapi nggak pake dicuciin baju.
Terus di sini dapat sarapan, lagi.”

”Bagus deh kalau Mbak senang. Berarti Mbak betah di sini,”
kata Maya sambil mengibas keras­keras baju yang akan dijemur­
nya. Lintang sampai mundur takut kena.

”Heh, bajuku bisa basah nih!”
”Sori, Mbak.”
Lintang memandang gadis di hadapannya yang bekerja tanpa
henti sejak ia memasuki rumah ini. ”Eh, kamu nggak capek, May,
kerja terus? Aku lihat si Vina nggak pernah kerja.”
”Kan udah dari dulu begitu, Mbak. Dia kan sibuk sekolah.”
”Sibuk sekolah apanya? Setiap hari kalo nggak nonton tivi,
baca majalah atau komik. Kapan belajarnya? Setelah dua bulan

12

http://pustaka-indo.blogspot.com tinggal di sini, aku tahu kamu cuma anak angkat di keluarga ini,
tapi... kok kayaknya mereka tega banget ya, ngejadiin kamu
pembantu. Lebih baik kan kamu sekolah...”

”Aku kan udah bilang sama Mbak, duit Mama­Papa cuma
cukup buat nyekolahin Vina. Sejak Papa di­PHK, kami kesulitan
uang, Mbak. Makanya dua kamar di rumah ini disewakan,” jelas
Maya dengan sabar. Walau hatinya sedikit pedih, ia tak mau
menunjukkannya. Itu akan membuat hatinya tambah sedih lagi,
dan sama sekali nggak bakal mengubah keadaan.

”Tapi mereka...” Lintang masih penasaran.
”Eh, Mbak. Udah siang tuh,” potong Maya, sambil menunjuk
matahari dengan dagunya. ”Nggak takut telat?”
Lintang buru­buru melihat jam tangannya dan setengah me­
lompat bergegas ke luar rumah. ”Astaga, iya! Aku berangkat dulu
ya, May!” lambainya.
Maya cuma senyum­senyum sambil menggelengkan kepala­
nya. ”Hati­hati, Mbak!”
”Oh ya, nanti ada kejutan buat kamu kalau ngambil baju
kotorku!” teriak Lintang lagi, dan ia berlari menghilang di jalan
besar.
”Mayaaa!!!” terdengar suara lagi.
Kali ini Maya tidak usah menoleh. Ia sudah sangat kenal suara
itu. Itu suara Vina. Entah apa lagi maunya anak itu. Lebih baik
pura­pura tidak dengar saja.
Maya masuk ke rumah lewat pintu samping. Dari situ ia me­
lewati kamar Lintang dan Yoga. Di depan kamar mereka ada
piring bekas sarapan. Juga baju kotor milik Lintang dan Yoga.

13

http://pustaka-indo.blogspot.com Diangkatnya dan ditaruhnya baju­baju itu ke keranjang kosong
yang dibawanya.

Ketika ia meraih kemeja kotor Lintang, ditemukannya seba­
tang cokelat. Maya tersenyum, Lintang baik sekali.

Pintu kamar Yoga terbuka. Kepala pemuda itu menyembul
keluar.

”Maya, kamu punya gunting kuku?”
”Punya. Mau pinjam?”
”Iya.”
Yoga lalu mengikuti Maya ke dapur. Setelah menaruh cucian
dan piring kotor di dapur, Maya mencari gunting kuku di laci
meja dapur dan memberikannya pada Yoga.
”Terima kasih,” ucap Yoga.
Maya ternganga. Ketika Yoga mengambil gunting kuku itu,
dilihatnya kuku Yoga terawat rapi dan berlapis kuteks bening.
Kukunya saja kalah bersih. Wow.
Saat itu Vina masuk dapur. ”Astaga, kamu budek ya, May.
Dari tadi aku panggilin nggak nyahut?” Tapi begitu melihat Yoga,
Vina tersipu malu. ”Eh... Mas Yoga.”
”Kelihatannya ia bukan budek, tapi sibuk,” kata Yoga dingin,
lalu berlalu dari situ.
Wajah Vina langsung ditekuk. Maya berusaha menahan se­
nyum.
”Dasar sok! Udah lagak kayak bencong gitu, sok cakep!” ge­
rutunya.
”Ada apa, Vin?” tanya Maya.
”Tuh, Papa mau berangkat. Kok sarapannya belum disiapin?”

14

http://pustaka-indo.blogspot.com Maya langsung buru­buru mengambil piring. ”Oh iya, lupa.”
”Tuh, kan? Bukan aku yang mengada­ada? Emang kamu yang
pelupa!” sembur Vina sambil berlalu.

Di meja makan, sudah ada Setiawan, Rini, dan Vina. Ketika Maya
masuk sambil membawa tiga piring berisi nasi goreng, Setiawan
berkata, ”Kok cuma tiga? Kamu nggak ikut makan?”

”Nanti saja di dapur, Pa,” jawab Maya.
”Lho? Makan aja sama­sama. Ayo, ambil satu piring lagi buat
kamu.”
Maya mengangguk dan bergegas ke dapur untuk mengambil
sepiring nasi goreng untuknya. Ia pun bergabung bersama ketiga
orang itu di meja makan.
Rini masih memakai daster dan rol rambut. Wajahnya yang
tak acuh dan tampak bosan sedang menatap koran yang baru
datang. Kelihatannya ia tak ingin berhandai­handai dengan ke­
luarganya.
Vina juga ikut­ikutan. Diambilnya komik dan dibacanya sam­
bil makan.
”Vin, sudah berapa kali Papa bilang, jangan baca sambil ma­
kan!” tegur Setiawan.
”Mama kok boleh?” protes gadis itu, tapi diletakkannya juga
komik itu di meja.
”Hari ini libur apa sih?” tanya Setiawan pada Vina.
”Biasa, rapat guru.”

15

http://pustaka-indo.blogspot.com ”Bagaimana sekolahmu?” tanya Setiawan lagi.
”Baik­baik saja. Kenapa sih Papa tanya­tanya? Takut ya, kalau
nilaiku jelek?”
”Kamu itu! Ngebantah terus! Papa kan cuma ingin bilang,
belajar yang rajin. Sekolah sudah mahal­mahal, sayang, kan?
Makanya sejak awal Papa juga nggak setuju kamu sekolah di
tempat itu! Kalau cari sekolah yang standar, Maya kan bisa Papa
sekolahkan juga?”
Brak! Rini menaruh koran yang sedang dibacanya ke meja.
”Itu lagi, itu lagi! Kenapa sih Papa selalu mempersoalkan hal itu?”
Suara Setiawan melemah. ”Bukan begitu, Ma. Aku kan cuma
menasihati Vina. Aku lihat setiap hari pekerjaannya kalau nggak
nonton tivi, baca komik. Dia kan sudah dewasa?”
”Jadi Papa mau mempersoalkan caraku mendidik anak, gitu?
Aku nggak bisa mendidik anak, gitu?” ujar Rini dengan suara
tinggi.
Maya menunduk. Inilah yang tak disukainya bila makan
sama­sama. Lagi­lagi pertengkaran.
”Bukan begitu, Ma. Cuma kasihan Maya, nggak bisa sekolah...”
”Kasihan sama anak harammu?”
”Mama!” Setiawan bangkit berdiri. Makanannya tidak di­
habiskan. Kelihatannya ia sudah hilang kesabaran. ”Lebih baik
aku berangkat saja.”
”Ya, berangkat sana! Keluyuran nggak keruan. Mending kalau
pulangnya bawa duit!” gerutu Rini.
Setiawan tak menjawab. Dia meninggalkan ruang makan lalu
keluar rumah.

16

http://pustaka-indo.blogspot.com Sepeninggal Setiawan, Rini dan Vina melanjutkan bacaan
mereka. Maya berusaha menghabiskan makanannya secepat
mungkin agar bisa meninggalkan meja.

Mendadak Vina meletakkan komiknya. ”Oh ya, Ma. Tahu
nggak kalau pemilik rumah sebelah ditangkap polisi?”

Rini meletakkan korannya. ”Oh, pengusaha yang mantan
pejabat itu? Dimas Gunawan?”

”Iya!”
”Kamu dengar dari mana?”
”Dari Maya. Dia dengar dari tukang koran. Iya kan, May?”
tanya Vina.
Maya menjawab, ”Iya. Kabarnya kemarin sore sudah dibawa
dan statusnya sudah tersangka. Kasus korupsi. Tinggal tunggu
pengadilan aja.”
Memang, penghuni rumah di sebelah rumah mereka adalah
Dimas Gunawan. Pagar rumah itu tinggi sekali dan penghuninya
tak pernah bergaul dengan penduduk sekitar. Dimas Gunawan
adalah konglomerat yang mempunyai banyak bidang usaha. Dan
kabarnya, modal besar yang ia miliki diperoleh dari hasil korupsi
sewaktu ia masih menjabat kepala Badan Urusan Logistik be­
berapa tahun silam.
”Nah, biar tahu rasa tuh, makan duit rakyat!” cetus Rini. ”Oh
ya, May. Kamu sudah selesai bungkusin kacangnya?”
Maya mengangguk. ”Sudah, Ma. Mau dibawakan ke depan?”
”Ya. Kamu taruh saja dekat sofa. Nanti mau kubawa ke
distributornya, sekalian berangkat arisan.”
Sejak Setiawan di­PHK, sumber keuangan keluarga ini sudah

17

http://pustaka-indo.blogspot.com hilang. Untuk melanjutkan hidup, mereka bergantung dari hasil
sewa kamar, hasil Rini berjualan pakaian di arisan yang di­
ikutinya, serta penjualan makanan kecil yang dikemas secara
sederhana dan pengerjaannya dilakukan oleh Maya. Karena itu,
Maya memang sangat sibuk.

Pengemasannya memang sederhana, hanya memakai plastik
dan ujungnya dibakar dengan lilin. Tapi sangat menyita waktu.
Mungkin itu sebabnya Rini menyuruh Maya berhenti sekolah
tahun ajaran ini, yaitu tiga bulan yang lalu. Semestinya sekarang
Maya duduk di kelas dua SMA, sama dengan Vina.

Maya maklum, ia tahu diri. Ia cuma anak angkat di keluarga
ini. Saat ia berusia lima tahun, rumahnya tertimpa tanah longsor
di daerah Sukabumi. Orangtua serta adiknya tewas. Saat itu,
Setiawan yang sedang mengoperasikan alat berat yang mengeduk
tanah longsoran sedang mencari korban. Ia melihat Maya kecil
yang baru pulang sekolah diantar tetangganya menangis karena
rumahnya sudah tertimbun tanah. Setiawan tergerak untuk
membawa Maya pulang. Dan karena tidak ada sanak saudara
maupun pihak lain yang menginginkan anak itu, Maya pun di­
angkat anak oleh keluarga Setiawan.

Ternyata Setiawan tidak membicarakan hal ini dengan istri­
nya lebih dulu. Rini tak setuju dan marah besar.

”Bukannya kau bilang ingin punya anak lagi?” tanya
Setiawan. ”Lagi pula, biar Vina ada temannya...”

”Ya, tapi bukannya anak orang! Aku mau anak kandungku
sendiri, darah dagingku sendiri.”

”Sudahlah, Ma. Kan sama saja. Anak itu pemberian Tuhan.

18

http://pustaka-indo.blogspot.com Kalau kau tak kunjung hamil, siapa tahu sudah nasib kita punya
anak tunggal. Dengan adanya Maya, kita jadi punya dua anak,
kan?”

”Otakmu di mana sih, Pa? Dua anak kan jadi tambah pe­
ngeluaran?”

”Sudahlah, aku yakin dia pasti membawa rezekinya sendiri.
Pokoknya kau tak perlu pusing masalah biaya. Selama aku masih
bekerja, aku akan berusaha keras menghidupi keluarga kita.”

”Huh, aku jadi curiga dia anak harammu dengan perempuan
lain, Pa.”

”Astaga, Mama! Kau cek sendiri saja. Dia punya orangtua kok.
Mana mungkin dia anak haram Papa?”

Saat itu mereka mungkin lupa bahwa Maya dan Vina kecil
sedang di ruangan yang sama dengan mereka, dan serius men­
dengarkan argumentasi dua orang dewasa di hadapan mereka.
Sejak itulah, kalau Vina sedang kesal, ia selalu mengatai Maya
dengan panggilan ”anak haram”, persis seperti Rini.

Sebenarnya kehidupan Maya di rumah itu cukup baik. Sampai
usianya tujuh belas tahun seperti sekarang, semua kebutuhannya
terpenuhi. Kalau tentang ia harus putus sekolah, ia sudah me­
nerimanya dengan lapang dada. Ia sadar keluarga ini sedang
kesulitan keuangan sejak perusahaan tempat Setiawan bekerja
bangkrut.

Walau Rini sering mengomel dan menyuruhnya bekerja se­
panjang waktu, tak pernah sekali pun Rini memukulnya. Tidak
seperti para ibu tiri di sinetron televisi.

Rini cukup bijak dan lama­kelamaan sadar bahwa ia mem­

19

http://pustaka-indo.blogspot.com butuhkan tenaga Maya untuk membantunya. Dan bagi Maya,
hardikan dan omelan Rini sudah dianggapnya makanan sehari­
hari.

Namun, ada satu hal yang membuat Maya sedih: Rini jelas­
jelas tidak menyayanginya. Rini memberikan yang terbaik hanya
untuk Vina, anak kandungnya. Ia seolah tak menganggap Maya
sebagai anaknya, bahkan tak menganggap Maya ada. Ia bicara
seperlunya dengan Maya, dan Maya pun tak berani mengajak
Rini bicara bila tidak ada keperluan.

Berbeda dengan Rini, Setiawan sangat baik untuk ukuran se­
orang ayah angkat. Ia memperlakukan Maya dengan baik, seakan
Maya anak kandungnya sendiri. Bahkan kadang saat ia memarahi
Vina, ia membuat Maya tersanjung dengan memuji gadis itu.
Sayang, Setiawan jarang di rumah. Dulu ia selalu sibuk bekerja
dan baru pulang saat makan malam. Kini setelah ia tak bekerja,
Setiawan tetap berangkat seolah ia masih bekerja. Katanya sih
mencari­cari pekerjaan, tapi seperti yang dikatakan Rini, Setiawan
tak lagi membawa uang ke rumah. Maya menduga, ayah angkat­
nya mencari pelarian di luar rumah karena merasa tak dihargai
lagi oleh anak istrinya. Ia merasa kasihan, tapi tak bisa membantu.
Tak ada lagi yang bisa dilakukannya selain bekerja lebih giat,
supaya Rini tak lagi marah bila mereka kehabisan uang.

”Berarti rumahnya kosong dong sekarang?” tanya Rini, me­
mecah lamunan Maya.

Vina menjawab, ”Ya. Katanya sih mau dijual. Semua pembantu
sudah diberhentikan oleh istrinya.”

”Mantan istrinya,” Maya mengoreksi.

20

http://pustaka-indo.blogspot.com ”Iya, mantan istrinya,” tukas Vina. Ia sudah tahu bahwa ru­
mah sebelah hanya dihuni Dimas Gunawan karena anak­anak­
nya tinggal bersama istrinya di Jakarta, setelah mereka bercerai.
”Eh, Ma, berarti nanti rumah itu disita pemerintah dong?”

”Tergantung. Kalau dia pintar, sertifikat rumah itu atas nama
istri atau salah satu keluarganya, ya nggak bisa disita.”

”Wah, kalau gitu, lebih baik kita korupsi aja ya. Nanti kalau
sudah dapat duitnya, semua diatasnamakan orang lain. Dan kalau
kita tertangkap, uangnya kan selamat.”

”Jangan mikir macam­macam, Vina! Belajar dulu yang benar!”
hardik Rini. Vina tertawa.

Maya bangkit berdiri dan mengangkat piringnya serta bekas
piring Setiawan tadi. Tapi Rini memanggilnya.

”Mau ke mana, May?”
”Dapur, Ma. Aku sekalian mau mencuci piring bekas masak
tadi.”
”Tumpukan baju yang kemarin, sudah selesai disetrika?”
”Belum. Kemarin aku menguras bak mandi dan membersihkan
kompor, jadi nggak sempat.”
”Bagaimana sih kamu?!” hardik Rini. ”Aku kan mau pakai baju
yang warna hitam itu? Kerjanya melamun saja sih. Makanya
lama!”
Vina tak dapat menahan senyum melihat Maya dimarahi.
”Ka... kalau begitu, aku setrika sekarang, Ma.”
”Kamu setrika dulu baju hitamku itu, baru cuci piring. Taruh
bajunya di kamarku, ya?”

21

http://pustaka-indo.blogspot.com Maya cepat­cepat ke dapur. Masih sempat didengarnya kata­
kata Vina.

”Makin lama makin bego saja dia ya, Ma?”
”Bukannya bego, tapi malas!”
Hati Maya sangat pedih. Dia bukannya bermalas­malasan.
Tapi pekerjaan rumah memang sangat banyak. Rasanya dua ta­
ngan tak cukup untuk merawat rumah sebesar ini. Ia mesti me­
masak, mencuci, menyapu, mengepel, menyetrika, membersih­
kan kamar mandi, merawat kebun, mengelap barang­barang dan
kaca jendela, memasak air minum dan menuangkannya ke botol,
belum lagi tambahan pekerjaan lain yang serasa tidak ada habis­
habisnya. Itu mungkin tidak seberapa kalau ibu angkatnya tidak
banyak tuntutan dan selalu mengomel. Sepertinya Rini tak per­
nah puas melihat hasil pekerjaan Maya. Ada saja kekurangannya.
Maya buru­buru menyetrika baju hitam milik Rini. Saking
buru­burunya, tangannya menyenggol bagian bawah setrika
hingga ia mengaduh kesakitan. Setelah selesai menyetrika, buru­
buru dicucinya piring di dapur, karena Rini tak suka melihat
piring kotor bertumpuk di tempat cuci piring.
Pranggg!!! Piring beling yang sedang dipegangnya jatuh ke
lantai karena licinnya sabun. Terdengar derap kaki memasuki
dapur.
”Ya ampun! Pecah lagi? Kamu benar­benar keterlaluan, Maya.
Itu piring peninggalan nenek Vina, tahu?” Rini memungut pe­
cahan piring itu dengan wajah merah. ”Sekarang mau cari di
mana lagi piring begini?”
Vina masuk. ”Ada apa, Ma? Piring pecah, ya?”

22

http://pustaka-indo.blogspot.com ”Lihat, piring peninggalan Nenek pecah lagi. Kalau begini
terus, habislah barang kita.”

”Memang nggak tahu diuntung dia. Mentang­mentang Papa
terus belain dia, jadi belagu. Usir saja, Ma!”

”Huh, kalau saja aku tidak memandang papamu, sudah kuusir
dia dari dulu.”

Maya tak tahan lagi. Ia berlari keluar.
”Maya! Maya! Mau ke mana kamu?”
Maya keluar rumah. Ia memandang nanar pada jalanan di
depan rumahnya. Ia tak punya keberanian untuk keluar dari
rumah ini. Sebenarnya ia cuma ingin menghindar dari Rini dan
Vina. Ia tak ingin menghadapi mereka saat ini, di saat hatinya
benar­benar rapuh. Tapi tak ada tempat baginya untuk pergi. Di
rumah ini gudang pun penuh, tak bisa dipakai bersembunyi. Ia
pun tak punya kamar lagi.
Maya menoleh ke samping. Dilihatnya sebatang pohon
nangka tinggi menjulang. Ia pernah memanjatnya sekali, dan
dari atasnya ia dapat melihat rumah sebelah.
Entah pikiran apa yang merasuk di benaknya. Kakinya mulai
memanjat pohon itu.
”Maya! Maya! Ke mana anak itu?” terdengar suara Rini. Tapi
Maya tidak peduli.
Ia memanjat makin tinggi, masuk ke kerimbunan daun. Dari
atas bisa dilihatnya Rini dan Vina mencari­carinya, tapi mereka
tak melihatnya. Setelah capek mencari, akhirnya ibu dan anak
itu masuk ke rumah.
”Kalau pulang nanti, hajar saja dia, Ma!” kata Vina.

23

http://pustaka-indo.blogspot.com Maya menoleh ke rumah sebelah. Rumah itu tidak ada peng­
huninya. Air mancur yang biasanya menyala di kolam ikan juga
dimatikan. Rumah itu tampak gelap, mungkin listriknya juga
mati.

Maya melihat, tembok pemisah antara rumah ayah angkatnya
dan rumah sebelah bisa dilewati dari pohon nangka ini. Ia pun
mulai memanjat tembok tersebut dan duduk di atasnya, lalu
melihat apakah ada benda yang bisa ia pijak. Dilihatnya bebatuan
hias di atas kolam ikan. Ia mulai turun dengan berpegangan pada
bebatuan hias tersebut. Terakhir, ia melompat. Ia sudah berada
di halaman rumah sebelah.

Maya memutuskan untuk melihat­lihat keadaan rumah ko­
song ini. Ia tak mau pulang dulu. Biar sekali­sekali Rini dan Vina
kehilangan dirinya, mungkin ada bagusnya juga, batinnya.

Ia mencoba membuka pintu depan, dikunci. Ia pergi ke sam­
ping. Pintunya juga dikunci. Ia melihat berkeliling dengan ke­
cewa, mungkin tak bisa masuk ke rumah karena semuanya
terkunci rapat. Pandangannya tertumbuk pada jendela samping
yang terbuat dari kaca nako. Dicobanya untuk melepas kaca
tersebut, sebab kaca nako di rumahnya mudah dilepas. Ternyata
bisa. Dengan gembira dijulurkannya tangannya untuk membuka
selot pintu samping. Bisa! pikirnya gembira. Ia pun masuk.

”Halooo...” Tidak ada sahutan. Tentu saja, karena rumah ini
kosong.

Maya melangkah semakin ke dalam. Rumah itu berbau apak,
seperti campuran antara pakaian kotor dan bau busuk sampah.
Dilihatnya sebuah bungkusan hitam yang dikerubungi lalat.

24

http://pustaka-indo.blogspot.com Rupanya itu penyebabnya. Secara refleks Maya mengangkat
bungkusan itu dan menaruhnya di luar.

”Untuk apa melakukan itu, nona sok rapi?” gumamnya. Lalu
ia tertawa sendiri. Kebiasaannya berbenah jadi terbawa ke sini.
Dan setidaknya bau busuk di luar rumah lebih baik daripada di
dalam rumah.

Listrik rumah itu dimatikan, jadi bagian dalam rumah gelap.
Maya membuka tirai sehingga sinar matahari dapat masuk. Ia
tersenyum. Kalau pemilik rumah ini datang lagi, dia pasti bi­
ngung karena semuanya berubah. Mungkin akan sangat lama
hal itu terjadi sebab bukankah pemiliknya sedang meringkuk di
penjara?

Maya melangkah menuju dapur. Ternyata perabotan dapur­
nya masih lengkap. Di lemari dapur pun bumbu­bumbu dan mi
instan masih banyak. Saat Maya menyalakan kompor, kompor
gasnya masih menyala.

Selanjutnya Maya menuju ruang tamu, ruang keluarga, ruang
makan, dan kamar tidur. Tapi kamar tidur itu terkunci.

Maya naik ke lantai dua. Terdapat empat kamar tidur di sana.
Dua di antaranya terkunci. Satu yang terbuka ternyata kamar
tamu, karena tak ada barang­barang pribadi di sana. Cuma lemari
kosong dan sebuah tempat tidur untuk dua orang.

Maya memasuki kamar terakhir. Kamar itu tampak rapi dan
bernuansa feminin. Pasti penghuninya perempuan, pikir Maya.
Ia duduk di ranjang single. Merasakan keempukannya, ia pun
mengempaskan tubuhnya berulang­ulang. Maya tersenyum. Ke­
gundahannya hilang.

25

http://pustaka-indo.blogspot.com Mubazir sekali, kamar yang berisi perabotan lengkap itu di­
tinggal begitu saja oleh pemiliknya. Maya heran, setahunya tidak
ada wanita yang tinggal di rumah ini. Cuma ada beberapa pem­
bantu yang jarang keluar rumah, dan sekarang mereka semua
sudah berhenti kerja sejak pemiliknya dipenjara.

Maya lalu membuka lemari pakaian. Lemari itu besar dan
isinya sangat padat. Baju di dalamnya bagus­bagus, walau model­
nya bukan model terbaru. Diambilnya sebuah gaun biru muda
dengan corak bunga­bunga besar warna putih dan dipaskannya
di depan tubuhnya sambil becermin. Kelihatannya pemiliknya
masih belia. Rasanya ia ingin tinggal di sini.

Seorang gadis berputar-putar dengan baju itu.
”Baju ini bagus sekali. Di mana belinya, Ma?”
”Itu pemberian pria yang kemarin datang itu. Dia ingin menikah
dengan kamu.”
Sang gadis berhenti menari. Baju itu jatuh ke lantai. ”Tapi aku
akan menikah dengan Mas To, Ma. Aku tak mungkin menikah de-
ngan orang lain.”
Plak! Sebuah tamparan hinggap di pipi gadis itu dan ia tersungkur
ke lantai.
Maya tersentak dan merasa tubuhnya lemas. Digantungkannya
baju itu kembali ke lemari. Sudah lama ia tahu bahwa ia punya
kelebihan. Ia bisa menangkap bayang­bayang kehidupan orang
lain melalui genggaman tangan atau menyentuh benda­benda
yang punya arti khusus. Tapi tak pernah ia mendapatkan ba­
yangan tentang orang yang tak dikenalnya, apalagi lewat benda
mati.

26

http://pustaka-indo.blogspot.com Pernah ia berpikir untuk berbicara pada orang lain tentang
keanehannya ini, tapi setelah ditertawakan, ia tak pernah me­
lakukannya lagi. Lama­kelamaan ia jadi terbiasa. Toh keanehan
ini kadang ada gunanya, walau setiap kali sehabis melakukannya
ia pasti merasa lemas seperti habis bekerja berat. Mungkin energi
batinnya banyak terkuras.

Dulu ia pernah memegang tangan Setiawan pada suatu pagi,
saat ayah angkatnya itu mau berangkat ke kantor. Ia melihat
bayangan Setiawan jatuh dari kereta api. Ia pun bilang agar
Setiawan jangan naik kereta hari itu, naik kendaraan lain saja.
Setiawan rupanya menurut, dan sore harinya mereka mendengar
berita di televisi bahwa kereta yang biasa dinaiki Setiawan meng­
alami kecelakaan dan banyak penumpang yang luka­luka.

Pernah pula saat Rini masih berbisnis kue di SMP tempat Vina
sekolah, ia mendapatkan sebuah kiriman cokelat yang tak ada
alamat pengirimnya. Ketika Maya memegang kotak itu, ia me­
lihat bayangan tangan membuka kotak yang disegel itu. Jadi ia
melarang Rini memakannya. Rini memberikannya pada kucing
dan kucing itu mati setelah menjilatnya. Ternyata cokelat itu
dari saingan bisnis Rini yang marah karena Rini merebut banyak
pelanggannya.

Beberapa bulan yang lalu seorang pemuda teman Vina main
ke rumah dan Maya berkenalan dengannya. Saat bersalaman
dengan pemuda itu, Maya melihat bayangan pemuda itu me­
nyuntik diri sendiri. Maya pun melaporkan hal itu pada Setiawan,
dan Setiawan melarang Vina berhubungan lagi dengan pemuda
tersebut. Vina ngambek dan marah­marah. Tapi beberapa hari

27

http://pustaka-indo.blogspot.com kemudian, terdengar kabar bahwa pemuda itu ditangkap polisi
karena membawa narkoba. Jadi jelas, keanehan bayang­bayang
yang ditangkap Maya merupakan suatu kelebihan yang ada
gunanya. Maya pun menerimanya sebagai anugerah Tuhan.

Maya bergerak ke meja rias. Di sana ada beberapa botol
makeup yang sudah berdebu. Lalu matanya tertumbuk pada se­
buah benda yang sangat indah. Sebuah bros kecil, paling hanya
sebesar capung. Bros itu berbentuk bidadari bersayap seperti
kupu­kupu, terbuat dari kain flanel dan tule. Bidadari itu me­
noleh ke samping dan memejamkan mata. Wajahnya digambar
dengan teliti dan halus. Indah sekali. Maya tak dapat menahan
keinginannya untuk memegang bros itu.

Gadis yang sama. Ia memakai bros ini di dadanya sambil duduk
di meja rias. Air mata membasahi wajahnya dan melunturkan
makeup-nya.

”Jangan menangis! Lihat riasanmu jadi luntur!”
Gadis itu menghapus cepat-cepat air mata di pipinya dengan
saputangan. Ia memakai baju pengantin.
Rupanya gadis itu akan menikah.
Bayangan itu kabur lagi. Maya menghela napas. Siapa gadis
itu? Mengapa bayang­bayangnya begitu jelas? Padahal gaun pe­
ngantinnya yang sudah kuno menunjukkan bahwa kejadian ini
berlangsung belasan tahun lalu.
Maya meletakkan kembali bros itu di meja. Ia membuka laci
meja rias. Dikeluarkannya selembar KTP yang sudah kusam.
Nama yang tertera adalah Anggun Karina. Mengapa nama ini
terdengar familier di telinganya?

28

http://pustaka-indo.blogspot.com Di laci itu masih ada sebuah benda lagi yang menarik per­
hatian Maya. Sebuah buku tulis bersampul kertas kopi. Di depan
buku itu tertulis nama Anggun Karina. Maya mengambil buku
itu dan membukanya. Di halaman pertama tertulis ”Bidadari
Bersayap Biru”. Maya menarik kesimpulan bahwa buku itu berisi
kumpulan puisi atau tulisan wanita yang bernama Anggun
Karina ini. Ditulis tangan, dengan pena hitam yang sudah
menguning dimakan waktu. Maya membaca melompat­lompat
beberapa baris untuk mengetahui isinya.

Alam semesta adalah suatu sistem daur ulang... Aku percaya
bahwa roh yang menghuni tubuh manusia juga mengalami daur
ulang, dalam proses reinkarnasi.

Namaku Maiya. Pada kedatanganku yang pertama di dunia ini,
aku adalah seekor anjing...

”Mayaaa!!!”
Maya tersentak. Ternyata teriakan Vina terdengar jelas dari
rumah ini. Atau bisa juga karena... Ya, benar, ternyata jendela
kamar ini menghadap ke rumah mereka.
Maya buru­buru menaruh KTP itu kembali ke dalam laci, tapi
ia memutuskan untuk membawa buku itu. Ia pun turun dari
lantai dua, menutup kembali semua tirai, dan keluar dari rumah
tanpa lupa menyelot pintu dan memasang kembali kaca nako­
nya.
Hatinya tak lagi sedih. Ia malah gembira, seperti anak kecil
yang mendapatkan mainan baru.

29

http://pustaka-indo.blogspot.com Dua

SELESAI melakukan pekerjaan rutinnya hari itu, Maya buru­
buru mandi dan naik ke tempat tidur. Ia tak sabar ingin
membaca buku yang tadi dibawanya. Ia pun membuka halaman
pertama.

Bab Satu

Alam semesta adalah suatu sistem daur ulang. Oksigen, yang dibutuhkan
setiap makhluk hidup untuk tetap hidup, membentuk sistem yang me­
mungkinkan mereka berubah bentuk menjadi karbondioksida untuk
kemudian didaur ulang menjadi oksigen kembali. Karena sistem itulah
mereka akan tetap ada dan tak akan habis. Air, sebagai kebutuhan kedua
setelah bernapas, juga membentuk sistem daur ulang. Demikian pula
tumbuhan, hidup kembali setelah layu dan mati. Juga segala macam
hewan.

Dan hewan yang paling tinggi tingkatannya adalah manusia. Aku
30

http://pustaka-indo.blogspot.com percaya bahwa roh yang menghuni tubuh manusia juga mengalami daur
ulang, dalam proses reinkarnasi.

Namaku Maiya. Pada kedatanganku yang pertama di dunia ini, aku
adalah seekor anjing. Buluku berwarna hitam dan kakiku berbelang putih.
Ada yang bilang, anjing hitam membawa sial, ada juga yang bilang bahwa
anjing hitam bisa menolak hawa jahat. Maka, saat pemilikku yang per­
tama tidak menginginkanku dan menaruhku di depan sebuah rumah,
pemilikku yang baru langsung mengambilku tanpa pikir­pikir. Ia meng­
hadiahkan aku pada Arya, anak laki­lakinya yang berusia sepuluh tahun.

”Mau kaunamakan apa dia, Arya?”
”Dia betina, bagaimana kalau kunamakan Maiya saja?”
”Baiklah, namanya Maiya. Kau harus bertanggung jawab pada hi­
dupnya. Kauberi dia makan setiap hari, dan jangan lupa, berilah kasih
sayang padanya.”
”Kenapa? Dia cuma seekor anjing.”
Pria besar itu berjongkok dan menjajarkan matanya dengan mata
anaknya. ”Arya, anjing juga makhluk hidup. Siapa tahu dia reinkarnasi
dari roh manusia yang menjadi seekor anjing?” Ia memegang dagu anak­
nya dan mengarahkannya padaku. ”Lihat, dia bisa memandangmu balik.
Kelihatannya dia mengerti apa yang kita bicarakan. Jadi... sayangi dia,
ya?”
Arya mengangguk, dan mengambilku dengan sepasang tangannya
yang mungil. Ia memelukku dengan kasih sayang, seolah aku manusia.
Aku menyandarkan kepalaku ke tangannya, seolah membalas pelukannya.
Kami telah jatuh cinta pada pandangan pertama.
Sejak itu, Arya yang merawatku. Ia memberiku susu dan makanan
setiap hari, dan aku tumbuh menjadi besar. Ia juga memberiku kalung

31

http://pustaka-indo.blogspot.com cantik berbandul boneka bidadari. Bidadari bersayap biru, dengan lonceng
kecil yang berbunyi ketika aku berlari. Aku sangat menyukainya.

Arya mengajakku bermain setiap hari. Suatu hari, datanglah seorang
anak kecil yang manis. Ia tinggal di sebelah rumah kami. Namanya Lia.
Ia sangat cantik, rambutnya ikal dan panjang. Matanya bulat seperti
boneka dan pipinya putih seperti bagian dalam roti yang lembut. Ia
suka pada Arya, jadi ia main setiap hari. Tapi ia tidak menyukaiku,
karena aku selalu mengganggu permainannya dengan Arya.

”Hei, jangan jatuhkan cangkir itu, anjing nakal. Lihat, basah semua­
nya!” teriaknya kesal ketika aku melewati susunan cangkir dan piring­
piring kecil yang terbuat dari keramik.

”Namanya Maiya, dan ia tidak nakal. Mungkin kalau kau mengelus­
elusnya, ia akan mengerti bahwa kau sayang padanya,” kata Arya dingin.

”Aku sama sekali tidak menyukainya, dan aku tidak ingin mengelus­
nya. Hih, jijik!”

Aku berlari ke jalanan, ke luar rumah kami. Arya mengejarku, tapi
lariku lebih kencang. Di perempatan, seorang pria besar dan berkumis
melihatku. Ia mengambil sebatang balok kayu yang besar, lalu memukulku
hingga tewas. Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, mungkin aku
dimakannya karena katanya daging anjing itu enak sekali, atau mungkin
ia cuma ingin membunuhku.Tapi aku tidak sedih. Ia akan mendapatkan
ganjarannya sendiri, nanti.

Pada detik berikutnya, aku bereinkarnasi menjadi manusia.

”Baca apa? Serius banget sih?”
Maya buru­buru menutup buku itu dan menaruhnya di
bawah bantalnya.

32

http://pustaka-indo.blogspot.com ”Nggak kok.”
”Buku tulis apa tuh?” tanya Vina penasaran.
”Cuma buku harian,” dusta Maya.
”Alaah, pake nulis buku harian segala. Buang­buang waktu
aja!”
Maya mencoba mengalihkan topik pembicaraan mereka.
”Vin, kamu percaya nggak bahwa reinkarnasi itu ada?”
”Reinkarnasi? Maksudnya, kalau kita udah mati, terus kita
bisa hidup lagi tapi dalam identitas yang berbeda?”
”Kayaknya sih gitu.”
”Nggak. Aku percaya kita hidup cuma sekali, terus mati dan...
tamat. Itu aja. Heh, ngapain sih tanya­tanya begitu? Dasar aneh!”
Vina pun mematikan lampu dan naik ke tempat tidurnya.
”Vin, boleh nyalain lampu nggak? Aku mau baca.”
”Nggak! Udah malem ya tidur. Kalau besok bangun kesiangan,
terus nanti aku sarapan apa?” cetus Vina seenaknya.
Maya pun berusaha untuk tidur, walau hatinya masih ingin
membaca lanjutan cerita Anggun Karina tentang reinkarnasi,
yang sebenarnya tak terlalu dipercayainya.

Keesokan paginya, Maya terus memikirkan Anggun Karina hing­
ga ia menghanguskan telur yang digorengnya untuk sarapan,
dan terlalu panas menyalakan setrika hingga rok Vina jadi leng­
ket dan gadis itu marah­marah.

Tapi Maya sungguh kagum pada Anggun Karina. Baru mem­

33

http://pustaka-indo.blogspot.com baca bab pertama, Maya sudah merasakan tulisannya sungguh
menarik, walau isinya terlalu menyedihkan. Cerita tentang re­
inkarnasi gadis bernama Maiya yang tak bisa bersatu dengan
Arya terlalu mengharukan. Dan tak masuk akal.

Namun Maya ingin lebih dalam memahami wanita tersebut,
jadi ia ingin cepat­cepat membaca lanjutannya. Kesempatan itu
akhirnya tiba juga saat Vina pergi ke sekolah.

Bab Dua

Dataran tinggi Dongzhan, China.
Li Mai Ya menatap dirinya di cermin dan tersenyum puas. Gaun

barunya yang berwarna merah cerah sangat indah dan sulamannya sangat
halus. Tentu saja, gaun ini sangat mahal, harganya sama dengan biaya
makan keluarga besar ditambah dengan pembantunya yang berjumlah
lima puluh orang selama dua bulan.Tapi ayahnya membelikan gaun itu
tanpa menawar, ia sangat sayang pada anaknya.

Mai Ya mengambil tempat gincu dan membukanya. Dengan kuas ia
mewarnai bibirnya dengan hati­hati sehingga warnanya sama merahnya
dengan bajunya. Usianya sudah lima belas tahun dan ia sudah boleh
mengenakan gincu. Teman­temannya bahkan sudah dinikahkan. Tapi
karena ayahnya sayang padanya, pria itu tidak cepat­cepat menikahkan
anaknya. Menurut pandangan modern dari negara Barat, seorang gadis
dinikahkan minimal pada usia tujuh belas tahun, dan ayahnya me­
mercayai hal itu. Dua tahun lagi tentu masih ada yang ingin menikahi
Mai Ya karena ia begitu cantik seperti boneka, kata ayahnya.

Mai Ya senang sekali dengan keputusan ayahnya itu. Ia juga tidak

34

http://pustaka-indo.blogspot.com suka menikah. Beberapa temannya tidaklah bahagia menikah pada usia
muda. Dan ia tidak mau hal itu juga terjadi pada dirinya.

”Sisirkan rambutku, Ching Ching!” perintahnya pada pelayan pribadi­
nya yang berdiri di sampingnya.

Ching Ching mengambil sisir oval berwarna merah dan menyisir
rambut nonanya yang panjang dan halus, lalu membuat jalinan pada
separuh atas rambutnya. Setelah selesai, ia menyelipkan tusuk konde
berbandul merah.

”Nona sangat cantik,” katanya. Sang nona tersenyum puas. ”Apakah
Nona akan keluar sekarang?” tanyanya.

”Ya, tapi kau tidak usah mengikuti aku. Aku mau pergi ke tempat
rahasia,” kata Mai Ya tegas.

”Tapi Tuan bilang saya harus menemani Nona ke mana pun Nona
pergi,” bantah Ching Ching.

MaiYa cemberut, lalu mengeluarkan sekeping uang perak. ”Ini, pergi­
lah kau membeli gincu baru untukku. Aku hanya mau gincu dari toko
Wang,” katanya.

Toko Wang sangat jauh dari rumahnya dan bolak­balik perjalanan
bisa memakan waktu dua jam.

Ching Ching dengan patuh mengambil uang itu.
Sepeninggal Ching Ching, MaiYa tersenyum. Ia lalu mengendap­endap
keluar dari kamar dan pergi ke kebun belakang.Tempat tinggalnya sangat
luas dan terdiri atas empat rumah. Rumah pertama yang terbesar, diting­
gali oleh kakek dan neneknya, rumah kedua oleh ayah dan ibunya serta
ia sendiri, rumah ketiga ditinggali bibi serta pamannya, rumah keempat
adalah tempat tinggal pembantu dan tukang kebun. Dapur juga terletak

35

http://pustaka-indo.blogspot.com di situ. Kini ia menuju rumah keempat yang dipisahkan oleh kebun
yang luas.

”Mai Ya Xiao Jie,1 Anda hendak ke mana?” tanya tukang kebunnya
yang sudah tua, Tan Li Chun.

Pria itu membungkukkan badannya dengan hormat pada gadis itu.
Ia sudah bekerja puluhan tahun, sejak ia muda sampai menikah dengan
salah satu pembantu di situ. Kini mereka sudah punya anak seusia Mai
Ya.

Tentu saja ia sudah melihat MaiYa sejak gadis itu masih bayi merah,
tapi ia tetap menghormati nona muda yang merupakan cucu pertama
dari junjungannya.

”Aku hanya ingin melihat kebun. Bunga yang kupesan sudah Shushu2
tanam?” tanyanya sambil memandang sekelilingnya.

”Tentu saja. Seperti yang Nona pesan, saya menanamnya di dekat
pagoda di samping kolam ikan,” jawabnya.

”Bagus. Lalu yang merawatnya?”
”Anakku Er Yao. Begitu yang Nona pesan, bukan?” katanya.
”Betul. Kalau dia sampai tidak merawat bunga itu dengan baik setiap
hari, aku akan mengadukan Shushu pada Ayah,” ancamnya.
”Ampun, Nona, saya tidak berani melanggar perintah Nona,” kata Li
Chun tertawa. Ia tahu Mai Ya hanya bergurau.
”Bagus, sekarang aku akan melihat pekerjaan ErYao. Kalau tidak, ia
akan bermalas­malasan saja sepanjang hari,” ujar MaiYa sambil berlari­
lari dengan lincah ke arah pagoda.
Pagoda itu terletak di tengah­tengah kebun dan letaknya paling jauh

1 Nona Mai Ya
2 Paman

36

http://pustaka-indo.blogspot.com dari semua rumah. Karena kebun itu sangat luas, maka pagoda itu
menjadi tempat berteduh bila orang mau menyeberang dari rumah ke
rumah. Atau bisa juga dijadikan tempat ayah Mai Ya mengundang
temannya untuk membicarakan hal­hal yang tidak ingin didengarkan
orang lain. Ayahnya adalah pengusaha restoran terkenal di Dongzhan,
dan restoran mereka merupakan restoran termahal di kota itu.

Tak lama kemudian Mai Ya sudah sampai di pagoda. Ia melihat di
samping pagoda sudah ditanam pohon kembang sepatu yang sangat ia
sukai karena warnanya yang merah. Ia memang paling suka warna me­
rah. Ia melihat seorang pemuda sedang berjongkok di depan tanaman
tersebut dan memberikan pupuk. Ia mengendap­endap mendekati pemuda
itu dari belakang dan menutup mata pemuda itu.

”Tebak siapa!” katanya dengan suara disamarkan.
”Siapa ya? Sing Er?” jawab pemuda itu pura­pura tidak tahu. Mai
Ya melepaskan tangannya dan cemberut. ErYao mendekatinya dan meng­
godanya.
”Kenapa marah?”
”Masa tangan sehalus ini dibilang tangan Sing Er?” katanya merajuk.
Sing Er adalah nama tukang masaknya yang bertubuh gemuk dan tidak
menikah sampai tua karena bentuk tubuhnya itu.
”Ah ya, ternyata ini Mai Ya Xiao Jie yang cantik dan manis. Benar,
kan?” katanya sambil berlari ke depan gadis itu sehingga mau tidak mau
gadis itu berhadapan dengannya. Mai Ya jadi tertawa.
”Kau pintar merayu. Baiklah, aku memaafkanmu.Tan ErYao, apakah
kau sudah menyelesaikan tugasmu hari ini?” katanya pura­pura galak.
”Maaf,Yang Mulia. Aku sengaja berlama­lama menanam bunga ini
agar tidak disuruh ayahku untuk mengerjakan yang lain. Aku ingin

37

http://pustaka-indo.blogspot.com menunggu kedatangan seorang putri yang cantik menjengukku,” jawab­
nya.

”Sudah, jangan bercanda lagi. Mari kita duduk dalam pagoda,” ajak
Mai Ya.

Er Yao mencuci tangannya yang kotor di air kolam, lalu mengikuti
MaiYa dan duduk di samping gadis itu. Mereka kini tidak lagi terlihat
seperti nona dan anak tukang kebun. Mereka seperti sepasang kekasih,
karena Er Yao kini memegang tangan Mai Ya.

Er Yao mengeluarkan sebuah benda dari kantong bajunya. Sebuah
boneka porselen setinggi jari telunjuk. Boneka bidadari dengan sayap
berwarna biru. Ukiran wajahnya sangat cantik.

”Apa ini?” tanya Mai Ya girang.
”Untukmu. Aku membelinya di toko barang antik. Katanya ini ditemu­
kan di bekas rumah orang asing, mungkin kepunyaan anaknya. Suka?”
”Suka sekali! Terima kasih, ya!” Dengan terharu MaiYa memandang
Er Yao. ”Apakah kau mencintaiku?” tanya gadis itu tiba­tiba.
”Aku mencintaimu. Tapi, apakah hubungan kita akan disetujui oleh
ayahmu?” kata ErYao sambil memandang wajah gadis di depannya dengan
sedih. Mereka tumbuh besar bersama­sama, dan tatkala tumbuh dewasa
mereka saling mencintai. Tentu saja hal ini tidak diketahui siapa pun
kecuali mereka berdua. Pagoda ini adalah tempat pertemuan mereka
selama ini.
”Aku tidak tahu. Bagaimana kalau kita kawin lari saja? Aku bisa
memasak dan mencuci pakaian untukmu sementara kau bertani. Bertani
tidak jauh berbeda dengan berkebun, bukan?” tanya MaiYa dengan wajah
berseri­seri. Ide itu sangat menyenangkan untuk dibayangkan. Mereka
akan punya dua anak, laki­laki dan perempuan. Lalu ia akan menyulam

38

http://pustaka-indo.blogspot.com baju untuk anak perempuannya sehingga mereka tidak perlu membeli
pakaian bersulam yang mahal seperti yang dipakainya.

”Betul, aku bisa bertani. Mungkin kita akan memelihara beberapa
ekor ayam. Kau setuju? Setiap hari kita bisa makan telur,” sahut ErYao
sambil tertawa gembira.

”Lalu aku akan merawat anak kita sementara engkau bertani. Begitu
kau pulang, kau bisa menikmati masakanku.”

”Tapi...” Er Yao berpikir bahwa hal itu sangat tidak mungkin. Ke
mana mereka bisa lari? Seluruh Dongzhan mengenal Mai Ya sebagai
anak pemilik restoran terkenal di kota mereka. Kota lain letaknya jauh,
dan untuk mencapainya mereka harus mendaki gunung, kemudian me­
nuruninya. Apakah Mai Ya sanggup berjalan sejauh itu?

”Tapi apa? Segala rintangan akan kulewati, aku akan ikut denganmu
ke mana pun kau pergi. Aku punya perhiasan dari emas dan perak untuk
dijual. Aku juga punya simpanan uang yang cukup banyak, kita bisa...”

”Mai Ya, bagaimana kalau kaulupakan saja aku? Kelak kau akan
dinikahkan dengan pria dari keluarga kaya dan terpandang. Kau tidak
perlu hidup susah, bisa punya banyak pelayan, dan kau bahkan tidak
usah menyusui anakmu karena bisa membayar orang untuk melakukannya.
Bersamaku kau akan kecewa,” kata ErYao sambil memandang wajah gadis
di depannya yang putih bagaikan pualam dengan bibir merah merekah.
Wajah yang selalu muncul dalam mimpinya di malam hari dan dirindu­
kannya di siang hari.

Mai Ya mengerutkan keningnya.
”Kau tidak boleh berkata begitu. Apa artinya hidup tanpa cinta?
Lihat BibiYan, ia begitu menderita menikah dengan Paman. Selain Bibi,
Paman juga mempunyai tiga selir. Siapa yang tahan hidup seperti itu?

39

http://pustaka-indo.blogspot.com Paman dan Bibi tidak saling mencintai, mereka menikah karena dijodoh­
kan. Itu sebabnya Paman sangat sayang pada selir Lan Hua karena
Paman mencintainya,” tutur Mai Ya membicarakan paman dan bibinya
yang tinggal di rumah ketiga.

”Ya sudah, kalau begitu kita memberi makan ikan saja. Lebih baik
tidak usah memikirkan masa depan, bukankah ayahmu tidak akan me­
nikahkanmu dalam waktu dekat?” katanya.

Mai Ya mengangguk. Dengan wajah berseri ia mengeluarkan dua
bungkus remah roti dari dalam kantongnya dan memberikan sebuah
pada ErYao. Mereka melemparkan remah roti ke dalam kolam dan me­
lihat ikan­ikan memakannya dengan lahap.

Tak jauh dari situ, dari rumah pertama orang bisa melihat pagoda
dengan jelas. Meskipun rumah pertama hanya dihuni oleh suami­istri
Li, kakek dan nenek MaiYa, namun ada juga pelayan­pelayan yang su­
dah lama mengikuti keluarga Li yang mondar­mandir di rumah itu.
Seorang wanita tua melihat mereka berdua dari kejauhan dan tampak
terkejut. Ia lalu bergegas menghadap Li Chen, junjungannya.

”Nyonya Besar, ada suatu hal yang ingin kusampaikan,” katanya
sambil membungkuk hormat.

”Katakanlah, Ah Lan, mengapa wajahmu tampak pucat begitu?” tanya
Li Chen.

”Aku melihat Nona MaiYa sedang bercengkerama dengan Tan ErYao,
anak Tan Li Chun tukang kebun kita,” katanya tanpa basa­basi. Ia me­
mang selalu menyampaikan apa yang dilihatnya kepada Li Chen, ter­
masuk berita bahwa putra Li Chen lebih menyayangi selir Lan Hua
daripada istrinya sendiri.

”Ah, mereka kan memang berteman sejak kecil? Bukankah Li Ming

40

http://pustaka-indo.blogspot.com memang menyuruh kedua anak itu untuk belajar pada guru yang sama?
Wajar bila mereka berbincang­bincang berdua,” ujar Li Chen.

Ia sudah tahu bahwa anaknya, Li Ming, berteman baik dengan tukang
kebun mereka Tan Li Chun. Karena itu Li Ming menyuruh Er Yao kecil
untuk belajar bersama MaiYa sampai usia dua belas tahun. Setelah itu
Er Yao kecil membantu ayahnya di kebun dan Mai Ya melanjutkan
pelajarannya sendirian.

”Walau aku sudah tua, aku masih bisa membedakan antara ber­
bincang­bincang dan berkasih­kasihan,” kata Ah Lan tersinggung.

”Apa? Berkasih­kasihan?!” seru Li Chen terkejut. Ia lalu bangkit dari
tempat duduknya. ”Sudah kubilang pada Li Ming, jangan terlalu me­
manjakan putrinya. Biarlah anak itu dinikahkan cepat­cepat. Tapi ia
sendiri yang membantah dengan alasan ajaran modern Barat yang tidak
benar itu! Sebentar lagi tentu calon suami dari keluarga yang baik
sudah habis semua bagi Mai Ya. Hal ini tidak bisa dibenarkan. Coba
kau pergi ke rumah kedua dan katakan pada kepala pelayan bahwa aku
ingin Li Ming menghadapku sore ini,” katanya gusar.

”Baik, Nyonya Besar. Saya akan segera ke sana,” ujar Ah Lan puas,
karena kabar yang dibawanya hari ini sangat penting bagi Li Chen.

”MaiYa, tujuan Ayah memanggilmu hari ini adalah ingin membicarakan
pernikahanmu dengan Lao Tu Min, anak teman Ayah,” ujar Li Ming
berwibawa.

Paras Mai Ya berubah pucat.
”Ayah? Mengapa Ayah melakukan hal ini? Bukankah Ayah bilang

41

http://pustaka-indo.blogspot.com aku boleh menikah dua tahun lagi? Bukankah Ayah mau aku belajar
memasak, menyulam, dan menjahit? Ayah bohong...” Ucapan MaiYa di­
potong oleh ayahnya dengan suara keras.

”Tutup mulutmu yang kurang ajar itu! Semakin lama kau semakin
berani melawan Ayah! Rupanya kata Nenek benar, kalau kau tidak segera
dinikahkan, kau tidak bisa dikendalikan lagi,” geram Li Ming sambil
mendelik pada anaknya.

Ia benar­benar marah mendengar MaiYa menjalin hubungan dengan
ErYao. Meskipun Tan Li Chun adalah sahabatnya, Li Ming tidak berniat
menjadikan ErYao sebagai menantunya. MaiYa adalah anak satu­satunya
dari istrinya. Dari selirnya, ia memperoleh anak laki­laki, tapi ia tidak
menyayangi mereka sebagaimana ia menyayangi Mai Ya. Anak gadisnya
itu haruslah menikah dengan pria kaya dan terpandang, baru bisa ba­
hagia. Mana mungkin ia membiarkan Mai Ya menikah dengan anak
tukang kebun?

”Ayah, tunda dulu keputusan Ayah. Biar aku berpikir dulu.” Mai Ya
memohon pada ayahnya.

”Tidak bisa. Besok Lao Tu Min akan datang ke sini untuk melihatmu.
Saat itu kau sudah tidak bisa menimbang apa­apa lagi. Lagi pula Ayah
sudah pernah melihatnya. Lao Tu Min terpelajar. Ia pernah bersekolah
di luar negeri dan kau pasti menyukainya. Ia tampan, lagi pula ayahnya
tuan tanah di Dongzhan. Kau akan...”

”Ayah! Aku tidak bisa menikah dengannya! Aku sudah mencintai
pria lain. Ayah, kumohon...” MaiYa berlutut di lantai, di hadapan ayah­
nya yang saat itu sangat murka.

Li Ming tidak menyangka anaknya akan seberani ini. Ini sama saja
dengan membenarkan berita yang disampaikan ibundanya kepadanya.

42

http://pustaka-indo.blogspot.com ”Jangan katakan apa­apa lagi! Yang harus kaulakukan hanyalah
merias dirimu besok baik­baik. Sekarang pergi ke kamarmu dan jangan
keluar dari rumah. Mengerti?” kata ayahnya.

Li Ming lalu berkata pada Ching Ching, ”Ching Ching, antarkan
Nona ke kamar. Bila Nona keluar rumah, kau yang akan kuhukum
cambuk!” perintahnya.

Dengan wajah pucat Ching Ching menghampiri nonanya dan menarik
tangannya. Tapi Mai Ya menepisnya, lalu berlari ke kamarnya.

Sepeninggal MaiYa, Li Ming menoleh pada kepala pelayan. ”AhWai,
undang Tan Li Chun ke pagoda dan siapkan empat botol arak. Sudah
lama aku tidak mengobrol dengannya,” katanya.

”Malam begitu cerah, sudah lama kita tidak minum bersama,” kata Li
Ming sambil mengangkat cangkirnya untuk bersulang dengan Tan Li
Chun.

Sahabatnya itu tertawa dan mengangkat cangkirnya juga. ”Aku tahu
kau sibuk, lain kali tidak usah meluangkan waktu untukku. Bisa tinggal
di sini saja aku sudah sangat senang,” katanya.

Mereka bersahabat sejak kecil. Tan Li Chun adalah anak pembantu
ayah Li Ming. Mereka tumbuh besar bersama dan bermain bersama. Se­
telah dewasa tentu saja Li Ming tidak pernah melupakan Tan Li Chun,
tapi ia tidak pernah punya waktu untuk mengobrol atau sekadar minum
arak bersama.

”Bagaimana dengan anakmu? Kurasa sudah waktunya ia dinikahkan,”
kata Li Ming.

43

http://pustaka-indo.blogspot.com ”Usianya sudah tujuh belas tahun sekarang. Kalau kau punya kenalan
yang punya anak gadis yang sudah siap menikah, kuharap kau mau
berbelas kasihan padaku untuk menikahkan ErYao. Sayang di sini tidak
ada anak pembantu yang seusia dengannya,” ujar Tan Li Chun.

Ia senang sahabatnya itu menyinggung tentang ErYao. Memang hal
itu sudah meresahkan hatinya sejak lama. Meskipun berwajah tampan,
keluarga mereka tidak punya status sehingga bisa menikah saja sudah
sangat baik bagi mereka.

”Tentu, tentu! Aku akan membantumu. Tan Li Chun, apakah tidak
terpikir olehmu untuk keluar dari tempat ini dan mempunyai tanah
serta tempat tinggal sendiri? Jika kau berminat, akan kuberikan sebagian
tanahku di daerah sebelah barat Dongzhan dan modal usaha untuk
keluargamu,” kata Li Ming ke pokok pembicaraan yang menjadi tujuan­
nya.

”Mengapa kau berkata begitu? Apakah tenagaku tidak dibutuhkan
lagi di sini? Aku sudah tua, sudah tidak sanggup lagi memulai dari
awal. Jangan begitu, aku dan keluargaku akan mengabdi terus padamu
jika kau masih berkenan,” ujar Tan Li Chun dengan terkejut.

”Tidak, tidak! Jangan berpikir begitu. Aku hanya kasihan padamu.
Setidaknya jika kau punya tanah dan harta, kau akan mempunyai status.
Di sini kau tidak punya status apa­apa,” kata Li Ming. Ia merasa Tan
Li Chun memang tidak mengetahui hubungan Er Yao dan Mai Ya. Dan
ini membuatnya sulit untuk menyampaikan maksudnya.

”Tidak, aku sudah cukup puas dengan hidupku sekarang. Bila anakku
Er Yao sudah berkeluarga, mereka juga akan kusuruh mengabdi di sini.
Kami tidak punya cita­cita apa­apa lagi,” kata Tan Li Chun.

44

http://pustaka-indo.blogspot.com ”Baiklah, lupakan saja perkataanku. Mari kita minum saja,” kata Li
Ming sambil mengangkat cangkirnya.

Tan Li Chun kembali ke kamarnya yang ditempatinya bersama istrinya,
sedangkan anaknya tidur bersama pelayan lain di kamar sebelah. Sudah
lama ia tidak minum arak. Baru minum dua botol saja ia sudah mabuk.
Dengan tuhuh terhuyung­huyung, ia masuk ke kamar. Ia terkejut karena
istrinya belum tidur, melainkan sedang menangis terisak­isak.

”Ah Lien, ada apa? Mengapa kau menangis?” tanyanya.
”Apa kata Tuan Li Ming? Apakah ia mengusir kita?” kata istrinya
sambil mengusap air mata di wajahnya dengan lengan baju.
”Apa yang kaukatakan? Aku tidak mengerti,” ujar Tan Li Chun sambil
menggelengkan kepala.
”Benarkah? Tapi aku mendengar dari Ah Hua, ia bertemu Ah Lan
dari rumah pertama waktu ia mengantarkan manisan dari Selir Lan
Hua untuk Nyonya Tua. Katanya... katanya...” Belum sempat menyelesai­
kan kata­katanya, Ah Lien sudah menangis lagi.
”Apa katanya?” kata Tan Li Chun tidak sabar.
”Katanya anak kita menjalin hubungan dengan Nona Muda dari
rumah kedua,” kata Ah Lien.
”Nona Muda... Maksudmu Nona MaiYa?” tanya Tan Li Chun. Kakinya
bagai terpaku di tempat ia berdiri, ia sangat terkejut mendengar berita
ini.
”Benar, aku baru saja mendengarnya ketika kau pergi menemui Tuan

45

http://pustaka-indo.blogspot.com Li Ming. Kukira kau dipanggil untuk diusir. Karena mulut Ah Hua yang
bawel, sekarang seisi rumah ini sudah tahu semua mengenai Er Yao.”

”Kurang ajar! Dasar anak tidak tahu diuntung!” seru Tan Li Chun
marah. Ia ingin keluar dari kamar mencari anaknya, tapi Ah Lien me­
nahannya.

”Tunggu dulu! Kita belum tahu pasti, aku juga belum menanyakannya
pada Er Yao. Lalu bagaimana pembicaraanmu dengan Tuan Li Ming?”
tanyanya.

Tan Li Chun terdiam. Sesungguhnya tadi Li Ming hanya menawarinya
tanah dan sedikit uang untuk meninggalkan rumah itu. Rupanya inilah
sebabnya. Ia merasa sangat malu, sahabatnya begitu baik dengan tidak
menyinggung hubungan Er Yao dengan Mai Ya.

”Ini semua kesalahan anak kita. Mengapa dia berani menggoda Nona
Muda?” katanya sambil menggebrak meja.

”Jangan begitu. Kau tahu, Er Yao anak kita satu­satunya. Ia tidak
pernah menyusahkan kita dan selalu menurut. Kalau sekarang terjadi
begitu, tentunya bukan kesalahannya semata­mata,” bela Ah Lien.

Tan Li Chun lalu menceritakan pembicaraannya tadi dengan istrinya.
”Sekarang bagaimana? Untuk tetap tinggal di sini aku malu. Untuk
menerima uang Tuan Li Ming dan keluar dari rumah ini aku juga malu,”
katanya dengan wajah putus asa. Sedih rasanya memikirkan harus me­
ninggalkan rumah yang telah ditinggalinya hampir seumur hidupnya.
”Kalau begitu kita harus berbuat apa?” tanya istrinya.
”Kita harus pergi. Biar harus jadi gelandangan aku tidak perduli.
Tidak seharusnya kita menyusahkan Tuan Li Ming yang selama ini begitu
baik pada kita,” katanya memutuskan. ”Panggil ErYao kemari!” suruhnya
pada Ah Lien.

46

http://pustaka-indo.blogspot.com Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan Ching Ching masih
berdiri di samping nona mudanya yang sedang duduk di tempat tidur.
Ia sudah lelah dan ingin tidur, tapi jika nonanya belum tidur, ia harus
tetap berdiri sampai akhirnya nonanya tidur, lalu ia menutup kelambu,
baru ia boleh tidur.

”Bagaimana ini? Apa yang Ayah bicarakan dengan Tan Li Chun
Shushu?” kata Mai Ya.

”Nona, tidurlah. Besok pagi Nona harus berdandan yang cantik agar
ayah Nona tidak marah lagi,” bujuk Ching Ching.

Mai Ya menggelengkan kepalanya.
”Bagaimana ini? Aku tidak dapat menikah dengan Lao Tu Min. Lagi
pula aku harus bertemu dulu dengan...”
Mai Ya lalu menoleh pada Ching Ching. ”Ching Ching, kau harus
membantuku. Pergilah ke rumah keempat. Cari Tan Er Yao. Suruh dia
kemari menemuiku.”
”Nona, aku tidak bisa berbuat begitu. Aku akan dimarahi Tuan Besar,
aku takut!” kata Ching Ching.
Mai Ya mendelik.
”Kalau begitu, aku akan menggigit putus lidahku dan kau akan
disalahkan Ayah karena tidak dapat mencegahku bunuh diri. Apakah
begitu lebih baik?” ancamnya.
”Jangan, Nona. Jangan begitu.Tapi saya tetap tidak bisa melakukan
apa yang Nona suruh,” kata Ching Ching sambil menangis.
”Aduh, begini saja. Kalau kau mau memanggil ErYao kemari, besok

47

http://pustaka-indo.blogspot.com aku berjanji akan berdandan yang cantik dan menuruti Ayah. Aku akan
bersikap baik pada Lao Tu Min.Tapi kalau kau tidak mau membantuku,
aku akan bersikap buruk padanya dan menjelek­jelekkanmu di hadapan
Ayah sehingga kau diusir dari rumah ini. Bagaimana?” tanya Mai Ya.

Ching Ching jadi serbasalah. Setelah berpikir beberapa saat, ia ber­
tanya, ”Bagaimana cara saya memanggil pria itu?”

Satu jam kemudian MaiYa sudah mengenakan pakaian berwarna hitam
untuk menyamarkan diri. Ia menunggu

ErYao di pagoda dengan gelisah. Mudah­mudahan mereka bisa ber­
temu malam ini, pikirnya. Tak lama kemudian ia melihat pemuda itu
datang. Ia langsung menghambur ke pelukan pria itu. Mereka berpelukan
sebentar, tapi kemudian Er Yao mendorongnya.

”Jangan lakukan itu. Aku sudah cukup berdosa karena berani men­
cintaimu selama ini,” katanya.

”Kenapa kau berkata begitu?” kata Mai Ya terkejut.
”Ayahmu sudah mengetahui hubungan kita. Cuma karena memandang
ayahku sebagai teman baik, maka ayahmu tidak mengusir kami.Tapi dia
menawari ayahku tanah dan uang agar kami pindah. Ayah tidak mau,
kami akan pindah ke desa tempat tinggal ibuku. Dan ayahku menolak
pemberian ayahmu,” kata Er Yao sedih.
”Apa!? Ayah keterlaluan. Berarti dia... memang ingin memisahkan
kita,” ucap MaiYa. Ia lalu memandang ErYao dan berkata, ”ErYao... aku
akan dijodohkan dengan seseorang yang bernama Lao Tu Min.”
ErYao memandang gadis itu tanpa berkata apa­apa. Setidaknya nasib

48

pustaka-indo.blogspot.com


Click to View FlipBook Version