The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by nurmiati361, 2022-12-20 03:31:06

Koneksi Antar Materi Modul 1.4 OK

Koneksi Antar Materi Modul 1.4 OK

Poin a. Keseluruhan materi yang terdapat dalam modul 1 ini amat
merubah cara pandang dan cara berfikir saya terhadap siswa,
proses pembelajaran dan semua hal yang berkaitan dengan
proses yang terjadi di sekolah. Dimulai dari filosofi pendidikan
yang menekankan pada keberpihakkan kita pada murid lengkap
dengan segala kodratnya. Konsep ini membuat saya memusatkan
perhatian pada siswa dengan lebih utuh. Memandangnya sebagai
subjek, bukan objek. Mempriortaskan pengalaman yang harus
mereka dapati sambil menuntun dan mengarahkan mereka.
Setelah itu pada bab berikutnya kita diarahkan untuk memusatkan
perhatian pada diri kita sebagai seorang guru penggerak. Nilai apa
yang seharusnya melekat pada diri kita dan peran apa yang harus
kita ambil dalam menjalankan arus perubahan tersebut.
Selanjutnya kita tidak dibiarkan berjalan dengan tatapan kosong
dan hampa tanpa adanya sebuah gambaran besar yang harus kita
tuju, yakni sebuah visi. Seseorang aktif bergerak dan melakukan
perubahan karena didorong oleh visi yang ingin diwujudkan.
Pembahasan Visi guru penggerak lengkap dengan kanvas
BAGJA-nya mengurai dan menuntun langkah pertama saya dalam
menaiki tangga mencapai visi yang ingin diwujudkan. Semuanya
menjadi lebih sempurna dengan ditopang oleh Budaya Positif yang
memanusiakan manusia. Sangat luar biasa.

Poin b-c. Awalnya saya merasa bahwa Modul 1.3 tentang Visi Guru
Penggerak merupakan jawaban bagi problematika yang saya
hadapi disekolah karena hal tersebut mengaktiffkan kembali cara
berpikir saya sekaligus mengubahnya untuk dapat menjadi lebih
produktif untuk melakukan perubahan dalam diri, kelas dan
sekolah saya. Namun, setelah mempelajari modul 1.4 mengenai
Budaya Positif, ternyata lebih luar biasa lagi dalam menjawab
persoalan saya. Sungguh sangat mengesankan. Bahkan sangat
melampaui ekspektasi saya. Mengapa demikian?

Jika berbicara tentang budaya positif, yang muncul dalam benak
saya adalah bentuk-bentuk kegiatan pembiasaan yang harus
dilakukan di sekolah baik terhadap siswa, guru maupun lingkungan
sekolah. Tentunya hal itu sudah sering kita baca, lihat atau dengar.
Namun ternyata yang dibahas dalam Budaya Positif ini adalah
berupa pengintegrasian Nilai-nilai Kebajikan kedalam diri siswa
yang dituangkan kedalam wadah berbentuk Keyakinan Kelas.
Keyakinan kelas tersebut tentu harus dilaksanakan, dan itu perlu
motivasi. Maka pembahasan tentang motivasi dan kebutuhan
manusia sangat membantu dalam mewujudkan keyakinan kelas
tersebut. Pada saat siswa berperilaku menyimpang dari keyakinan
kelas yang telah disepakati, muncullah pembahasan Restitusi yang
menurut saya sangat luar biasa sebagai cara untuk mendisiplinkan

siswa. Restitusi dalam bahasa saya adalah cara mendisiplinkan
siswa yang sangat memanusiakan manusia. Sangat menyentuh
jiwa.

Saya sering mendengar keluh kesah guru-guru yang kewalahan
dalam menghadapi siswa. Bahkan guru BK sekalipun menghadapi
permasalahan yang sama. Setelah mempelajari ini saya sangat
bersemangat untuk berbagi dengan mereka.

Singkatnya, Restitusi adalah kata favorit saya tahun ini.

Poin d. Dulu saya berpandangan bahwa untuk menanamkan
nilai-nilai positif pada siswa mutlak diperlukan adanya reward and
punishment. Kata-kata ini (reward and punishment) begitu melekat
hingga menjadi frasa yang bagi saya identik dalam menumbuhkan
kedisiplinan dan karakter siswa. Segala hal yang dapat memotivasi
siswa harus diupayakan dengan maksimal. Namun, setelah
mempelajari modul 1, khususnya modul 1.4, cara pandang saya
berubah. Ternyata ada cara lain dalam menanamkan budaya
positif di kelas maupun di sekolah yang menyentuh aspek penting
yang ada dalam diri manusia, yaitu kebutuhan dasar dan
motivasinya.

Dulu saya sering merasa heran, mengapa terkadang ada siswa
yang susah sekali diatur. Dengan berbagai pendekatan saya

berupaya untuk membujuk mereka agar mengubah perilaku yang
kurang baik. Sebagai seorang guru, saya ingin mereka
mempercayai dan menuruti perintah saya demi kebaikan mereka.
Saya belum sadar bahwa tidak ada siswa yang berperilaku baik
atau buruk tanpa adanya alasan dan tujuan dibaliknya. Dan
perilaku tersebut merupakan akumulasi dari pengalaman dan cara
berpikir yang didapatnya selama berinteraksi dengan lingkungan
sekitar, termasuk saya, guru yang berinteraksi bersama mereka.
Karena itulah saya harus mengambil posisi kontrol yang tepat bagi
siswa saya. Saya tidak bisa memaksakan kehendak saya, karena
sebagai manusia mereka pun mempunyai keyakinan dan pilihan.

Poin e. Ketika menerapkan konsep-konsep Budaya Positif di kelas
saya, saya memulainya dari mengajak siswa-sisa saya berdialog.
Saya bertanya tentang hal-hal apa saja yang mengganggu
kenyamanan mereka selama ini dan apa yang mereka harapkan
untuk membuat suasana kelas menjadi nyaman bagi semua.
Awalnya saya merasa tidak yakin bahwa tujuan dari dialog yang
saya lakukan itu akan tecapai. Apalagi pada saat saya bertanya,
mereka malu-malu dan sungkan untuk mengutarakan pendapatnya.
Hal ini saya anggap wajar, karena selama ini saya jarang mengajak
mereka berdialog. Saya mencoba mengarahkan pembicaraan
pelan-pelan dan mencoba untuk mencairkan suasana. Saya

meyakinkan mereka agar bersikap terbuka dan bebas untuk
menuangkan uneg-uneg mereka. Hingga akhirnya dialog mulai
mengerucut ke arah pembentukan Keyakinan Kelas.

Tidak mudah dalam membuat Keyakinan Kelas yang diinisiasi
sendiri oleh sisa-siswa saya. Hal itu dikarenakan gagasan ini
masih terasa terlalu 'abstrak' bagi siswa saya. Saya harus
mengulanginya beberapa kali agar mereka paham. Hingga
akhirnya terbentuklah Keyakinan kelas yang merupakan hasil dari
inisiasi mereka sendiri.

Poin f. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya pada poin diatas
bahwa awalnya saya merasa ragu untuk menerapkan
konsep-konsep yang telah saya pelajari tersebut kepada siswa
saya. Perasaan ragu ini muncul karena saya kekhawatiran saya
yang mempunyai ekspektasi A namun nanti realitasnya menjadi B
atau bahkan Z. Namun saya berupaya untuk melakukannya sebaik
mungkin. Saya percaya bahwa siswa saya akan dapat memahami
dan dapat diajak untuk berjalan beriringan untuk mewujudkan
perubahan ke arah yang lebih baik. Dan nyatanya, saya bangga
melihat proses yang mereka lakukan. Meski terlalu dini memang
untuk menilai semua ini. Namun saya berharap dari proses yang
telah dimulai ini akan dapat terus dijalankan dengan konsisten dan

penuh rasa tanggung jawab atas kesadaran diri mereka sendiri.

Poin g. Pada saat saya memulai menerapkan konsep-konsep
Budaya Positif di kelas, saya melihat respon yang nampak dari
siswa saya adalah kebingungan. Raut wajah mereka seolah
berkata, "ini apa sih maksudnya?" atau semacam "ngapain sih
harus kaya gini?". Namun setelah beberapa waktu berjalan saya
merasa bahwa perlahan-lahan mereka mulai merasakan adanya
perbaikan yang positif. Hubungan antara saya dengan siswa pun
terasa semakin baik dan positif. Siswa saya pun menjadi terbuka
dengan saya ketika mengutarakan permasalahn yang mereka
hadapi.

Meski demikian, terkadang saya pun sering lupa bahkan
mengabaikan konsep-konsep tersebut. Pernah ketika salah
seorang siswa saya melakukan hal yang kurang baik dan berbicara
kurang sopan saya tidak melakukan pendekatan restitusi, malah
saya menyindir dengan ketus agar siswa tersebut merasa bersalah.

Poin h. Sebelumnya saya menempatkan posisi saya lebih banyak
sebagai pembuat rasa bersalah dan pemantau. Menurut saya kala
itu, untuk mengubah perilaku siswa akan lebih mudah dengan
menggerakkan hatinya, salah satunya dengan cara membuat
siswa merasa bersalah. Dengan begitu siswa akan berpikir tentang

kesalahannya dan akan tergerak untuk mengubahnya. Sedangkan
bagi siswa yang sudah berkali-kali melakukan kesalahan yang
sama, saya memposisikan diri sebagai pemantau. Saya
memberikan konsekuensi atas perilaku-perilaku mereka yang tidak
baik.

Setelah saya mempelajari modul ini dan mempraktekkannya
kepada siswa, saya merasa bahwa ini jauh lebih efektif dalam
mengubah perilaku siswa. Siswa tidak merasa dihakimi atau
disalahkan. Sebagai guru pun terkadang kita merasa bersalah
setelah memarahi, menindak atau menghukum siswa. Namun jika
memakai pendekatan restitusi, saya merasa jauh lebih baik dan
memberikan dampak positif juga bagi siswa.

Poin i-j. Meskipun sebelumnya saya belum pernah mendengar kata
restitusi apalagi mengenal restitusi pendekatan seperti apa,
namun saya pernah menerapkan ini kepada salah satu murid saya.
Waktu itu ada salah satu siswa saya yang hampir setiap hari
datang terlambat. Pada waktu itu saya mengajaknya berdialog
pada saat jam istirahat. Saya melakukan tahap menstabilkan
identitas dengan berupaya untuk memahami kondisi siswa saya.
Saya mengatakan bahwa memang menjadi siswa SMP yang juga
menjadi santri di sebuah pondok memang mempunyai

konsekuensi logis yang lebih berat dibandingkan dengan yang
tidak. Maka dari itu diperlukan upaya untuk mengatasi
permasalahan yang dihadapi siswa tersebut.

Saya pun secara tak sadar melakukan validasi tindakan. Pada
tahap ini saya mencoba untuk memahami kebutuhan siswa. Saya
yakin siswa tersebut punya alasan yang kuat untuk melakukan hal
itu. Saya mengajaknya untuk mencari solusi yang konkret untuk
memecahka permasalah keterlambatannya itu.

Berhenti sampai situ karena saya belum tahu tentang konsep
Keyakina Kelas.

Poin k. Saya rasa konsep-konsep yang digagas dalam modul ini
sudah cukup menjawab tantangan yang dihadapi oleh guru di
sekolah dalam mendisiplinkan siswa. Pendekatannya sudah utuh
dan sangat manusiawi. Guru dapat mempraktekkannya dalam
kehidupan sehari-hari di sekolah.


Click to View FlipBook Version