The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Modul solusi pembelajaran daring

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by abdulkhanip39, 2021-11-24 02:06:52

Modul FIQIH XII 1/2

Modul solusi pembelajaran daring

8. Tuntutan Allah yang menuntut untuk melakukan suatu perbuatan dengan tuntuan tidak
pasti di sebut....
a. ijab
b. nadb
c. karaha
d. makruh
e. Tahrim

9. Tuntutan Allah yang menuntut untuk melakukan suatu perbuatan dengan tuntuan pasti di
sebut....
a. wajib
b. Haram
c. ijab
d. Nadb
e. Karahah

10. Segala sesuatu yang dengan adanya dapat meniadakan hukum atau dapat membatalkan
sebab hukum di sebut …
a. sebab
b. syarat
c. taklifi
d. wad‟i
e. Mani‟

B. Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan benar!

1. Sebutkan macam-macam hukum taklifi !
Jawab:.........................................................................................................................................

.....................................................................................................................................................

.....................................................................................................................................................
2. Berikut contoh hukum wad‟I!

Jawab:.........................................................................................................................................

.....................................................................................................................................................

.....................................................................................................................................................

3. Bagaimana cara mengetahui hukum-hukum Allah !
Jawab:.........................................................................................................................................

.....................................................................................................................................................

.....................................................................................................................................................

4. Sebutkan syarat-syarat mahkum fih !
Jawab:.........................................................................................................................................

.....................................................................................................................................................

.....................................................................................................................................................

5. Berikan contoh hukum taklifi !
Jawab:.........................................................................................................................................

.....................................................................................................................................................

.....................................................................................................................................................

Fiqih – Kelas 12 Semester 2 51

A. Pengertian Qawa’id Khamsah

Kaidah-kaidah yang dibentuk para ulama‟ pada dasarnya berpangkal dan menginduk
kepada lima kaidah pokok. Kelima kaidah pokok inilah yang melahirkan bermacam-macam
kaidah yang bersifat cabang. Sebagian ulama‟ menyebut kelima kaidah pokok tersebut
dengan istilah al qawa‟id al-khams (kaidah-kaidah yang lima).

Kelima kaidah tersebut sangat masyhur di kalang madzhab al-Syafi‟i khususnya dan
dikalangan madzhab-madzhab lain umumnya, meskipun urutannya tidak selalu sama, kelima
kaidah tersebuat adalah

B. Kaidah Pertama

1. Teks Kaidah
Segala Sesuatu Itu Tergantung Pada Tujuannya

Maksudnya adalah niat yang terkandung dalam hati seseorang saat melakukan
amaliyah, menjadi kriteria yang dapat menentukan nilai dan status hukum amal-amaliyah
yang telah dilakukan, baik yang berhubungan dengan peribadahan maupun adat-
kebiasaan.

Dengan demikian, setiap amaliyah pasti didasarkan pada niat, jika tidak, maka
amaliyah tersebut bersifat spekulatif. Oleh karena itu, niat memiliki posisi yang sangat
penting, sebab ia sebagai penentu segala gerak tingkah dan amaliyah yang dilakukan
menjadi bernilai baik atau tidak.

2. Landasan Hukum
Firman Allah SWT dalam Surah Al-Bayyinah(98) ayat 5

                                          

       

Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama
yang lurus.(QS. al-Bayyinah [98]: 5).

52 Fiqih – Kelas 12 Semester 2

3. Tujuan disyari’atkannya niat
Menurut al-Suyuti (w.911 H), yang paling penting dari disyari‟atkannya niat adalah

untuk membedakan antara ibadah dengan adat-kebiasaan. Selain itu, juga untuk
mengurutkan tingkatan-tingkatan ibadah, seperti wudhu dan gusl (mandi) dapat diartikan
sebagai membersihkan diri (tandhif), mencari kesegaran (tabarrud), dan ibadah. Begitu
juga, seperti menahan diri (imsak) dari segala hal yang membatalkan puasa, dapat
diartikan sebagai hamiyyah (kesehatan badan), berobat, dan karena tidak ada yang
memerlukannya.

Demikian juga, kata al-Suyuti (w.911 H), duduk di Masjid dapat diartikan sebagai
istirahat, memberikan uang kepada orang lain dapat berarti sebagai hibah,
menyambungkan tali silaturahmi, atau karena maksud-maksud duniawi, dan dapat juga
berarti mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) seperti zakat, sadaqah, dan kifarat.

Menyembelih hewan dapat bertujuan untuk makan, dan juga dapat bertujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) karena telah mengalirkan darah (membunuh).
Dalam hal ini, niat disyari‟atkan untuk membedakan antara yang taqarrub dengan yang
bukan.

Setiap ibadah, seperti wudhu, gusl (mandi), shalat, dan saum (puasa) kadang-kadang
sebagai perbuatan fardhu, nazar, dan nafl (sunnah). Tayammum, kadang-kadang dari
hadats atau janabah, padahal cara pelaksanaannya sama. Karena inilah, niat disyari‟atkan
untuk membedakan tingkatan-tingkatan ibadah.
Contoh penerapannya, ketika wanita dalam keadaan haid, ketika membaca bismillah
dengan:
a. Diniati membaca Alqur‟an, maka hukumnya haram
b. Diniati berdzikir, maka tidak haram
c. Diniati baca Alqur‟an dan dzikir, maka hukumnya haram
d. Tidak diniati apa-apa, maka juga haram.

C. Kaidah Kedua

1. Teks Kaidah
Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.

Maksudnya ialah semua hukum yang sudah berlandaskan pada suatu keyakinan itu,
tidak dapat dipengaruhi oleh adanya keragu-raguan yang muncul kemudian, sebab rasa
ragu yang merupakan unsur eksternal dan muncul setelah keyakinan, tidak akan bisa
menghilangkan hukum yakin yang telah ada sebelumnya.

Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan kaidah kedua adalah tercapainya
suatu kemantapan hati pada suatu obyek yang telah dikerjakan, baik kemantapan itu sudah
mencapai pada kadar ukuran pengetahuan yang mantap atau baru sekadar dugaan kuat
(asumtif/dzan). Makanya tidak dianggap suatu kemantapan hati yang disertai dengan
keragu-raguan pada saat pekerjaan itu dilaksanakan, sebab keadaan ini tidak bisa
dimasukkan kedalam kategori yakin. Hal-hal yang masih dalam keraguan atau masih
menjadi tanda tanya, tidak dapat disejajarkan dengan suatu yang sudah diyakini.
2. Landasan Hukum
Firman Allah SWT dalam Surat Yunus ayat 36

Fiqih – Kelas 12 Semester 2 53

                               

Artinya: ”Dan kebanyakan dari mereka tidak mau mengikuti kecuali persangkaan saja.
Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai suatu
kebenaran” (QS. Yunus : 36).

Sabda Nabi SAW:
Artinya: “Apabila seseorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya. Kemudian
dia ragu apakah sesuatu itu telah keluar dari perutnya atau belum. Maka orang tersebut
tidak boleh keluar dari mesjid sampai dia mendengar suara (kentut) atau mencium
baunya”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

3. Beberapa Kaidah Minor dan Contoh Penerapannya
Beberapa kaidah minor, diantaranya:

a. Kaidah minor pertama, kaidah kontinue

Artinya: “Pada dasarnya, asal itu meneruskan apa yang ada menurut keadaannya semula”
Maksudnya ialah suatu perkara yang sudah berada pada satu kondisi tertentu dimasa

sebelumnya, akan tetapi seperti kondisi semula, selama tidak ada dalil yang menunjukkan
terhadap hukum lain, sebab dasar dari segala sesuatu adalah tidak berubahnya atau
tetap seperti sedia kala (baqa‟), sedang kemungkinan untuk terjadi perubahan dari kondisi
semula adalah sesuatu yang baru dan sifatnya spekulatif, sehingga tidak dapat dijadikan
sebagai pijakan hukum.

Contoh penerapan dalam kaidah ini adalah dalam kasus orang ragu-ragu tentang
apakah ia sudah berhadas ataukah belum, maka yang dijadikan ukuran adalah kondisi
yang telah ada sebelumnya, yaitu:
1) Jika kondisi sebelumnya ia belum wudlu, maka ia dianggap batal.
2) Jika kondisi sebelumnya ia sudah pernah berwudlu, maka yang dianggap suci.

b. Kaidah minor kedua, kaidah nihilis

‫من شك أعمل شيئا ام لا فاْلصح اِنم لم يفعل‬

Artinya: “Jika ada orang ragu-ragu tentang apakah ia telah melakukan sesuatu ataukah
belum? Maka hukum yang diambil adalah ia belum melakukan sesuatu”.

Maksudnya ialah pada dasarnya hukum yang bisa dijadikan pijakan dari kasus orang
ragu-ragu apakah dirinya sudah mengerjakan suatu amaliyah atau belum adalah belum
mengerjakan, sebab menurut asalnya ia belum mengerjakan amaliyah tersebut, kecuali jika
amaliyah tersebut benar-benar sudah terwujud dalam kenyataan, dan keberadaannya
meyakinkan.

Contoh penerapan dalam kaidah ini adalah dalam kasus ada seseorang yang sedang
ragu-ragu perihal apakah ia sudah melakukan qunut atau belum, maka yang diambil adalah
ia belum melakukan qunut. Karena ia disunnahkan melakukan sujud syahwi.

54 Fiqih – Kelas 12 Semester 2

c. Kaidah minor ketiga, kaidah minimalis

Artinya: „Siapa saja yang telah yakin bahwa ia telah melakukan sesuatu dan ia ragu-ragu
dalam hal sedikit banyaknya jumlah pekerjaan yang telah dilakukannya, mak hukum yang
diambil adalah yang paling sedikit, sebab ketetapan seperti ini yang lebih meyakinkan”.

Maksudnya, jika ditemukan ada seseorang yang dalam dirinya sudah yakin melakukan
suatu amaliyah, tetapi ia masih ragu-ragu, apakah yang telah ia lakukan itu adalah bilangan
yang lebih banyak atau sedikit, maka hendaknya ia memilih bilangan yang sedikit, sebab
minimal ini sudah pasti dikerjakan.

Contoh penerapan dalam kaidah ini adalah dalam kasus orang sholat yang ragu-ragu
dalam rakaat yang telah ia lakukan, apakah sudah mendapat tiga rakaat atau empat
rakaat? Maka yang harus diambil adalah yang tiga rakaat, sebab tiga rakaat inilah yang
paling meyakinkan.

D. Kaidah Ketiga

1. Teks Kaidah
Kesulitan itu menarik pada kemudahan

Yang dimaksud taisir ialah kelonggaran atau keringanan hukum yang disebabkan
karena adanya kesukaran sebagai pengecualian dari pada kaidah umum. Dan yang
dimaksud masyaqqat ialah suatu kesukaran yang didalamnya mengandung unsur-unsur
terpaksa dan kepentingan, sehingga tidak termasuk didalamnya pengertian kemaslahatan
yang bersifat kesempurnaan komplementer. Dengan demikian, maka semua bentuk
keringanan dalam syari‟ah islam itu, selalu bersumber dari kaidah komprehensip ketiga ini.
Sedang yang menjadi dasar pijakan munculnya kaidah komprehensip ketiga ini adalah
firman Allah surat An-Nisa‟ ayat 28 sebagai berikut:

                  

Artinya: Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan
bersifat lemah.

2. Landasan Hukum
Firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah(2) ayat 185

                                   

                               

Fiqih – Kelas 12 Semester 2 55

                            

        

Artinya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang
bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya
dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.

‫الدين يسر احب الدين اَل الله اْلنفية السمحة‬

Artinya : “Agama itu adalah mudah, sedang agama yang disenangi Allah adalah agama
yang benar dan mudah” (HR. Bukhori).

3. Kaidah Minor dan Contoh Penerapannya
a. Kaidah minor pertama, kaidah longgar

Artinya: “Suatu perkara apabila sempit maka diperluas”.

Maksudnya, jika muncul kesulitan dalam suatu perkara, maka perkara tersebut menjadi
di perlonggar dan diperluas. Makanya keringanan hukum akan bisa diperoleh jika
disebabkan adanya kondisi yang sulit dan sempit.

Contohnya seperti najis ma‟fu (dimaafkan), jika najis yang mengenai tubuhnya itu sulit
dihindari, seperti musim lalat yang dalam kebiasaannya senang dibenda-benda najis, lalu
menempel tubuh.

b. Kaidah minor kedua, kaidah sempit

Artinya: “Suatu perkara apabila luas maka dipersempit”

Contohnya seperti dalam kondisi berperang, orang boleh melakukan shalat dengan
cara apapun, sekalipun dengan cara berlari akan tetapi jika peperangan sudah selesai
maka ia harus melakukannya sesuai dengan syarat dan rukunnya, dan ia tidak boleh
melakukan gerakan yang banyak.

Kasus-kasus yang menjadi contoh kedua kaidah minor seperti itu, sama halnya
dengan pandangan Ibnu Abi Hurairah, yang mengatakan bahwa segala sesuatu, aku telah
meletakan pada landasan kaidah minor (kaidah kondisional) berikut:

56 Fiqih – Kelas 12 Semester 2

Artinya: “segala sesuatu jika keadaannya sempit (artinya pelaksanaanya sulit), maka ia
menjadi luas dan jika luas (dan mudah pelaksanaanya), maka hukumnya menjadi sempit.

c. Kaidah minor ketiga, kaidah kebablasan

Artinya: “Semua yang melampaui batas itu, hukumnya berbalik pada kebalikannya”.

Kaidah minor ini dibuat oleh imam al-Ghazali akibat dari adanya dua kaidah minor
yang secara lahiriyah bertentangan, sehingga dengan kaidah yang dibuatnya bisa dijadikan
dasar untuk mengkompromikan keduanya.

Contohnya Rasa manis atau asin itu memang enak, akan tetapi jika terlalu manis atau
asin, maka jadinya tidak menjadi enak. Pada saat tidak punya apa-apa, makan nasi
pohong dengan lauk pauk ikan asin, sudah terasa enak, tetapi dalam kondisi banyak harta,
makan nasi beras dengan lauk pauk sate kambing, gule dan sebagainya, terasa kurang
enak.

E. Kaidah Keempat

1. Teks Kaidah
Kemadlaratan itu harus dihilangkan

Seperti dikatakan oleh „Izzuddin Ibn Abd al-Salam bahwa tujuan syariah itu adalah
untuk meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Apabila diturunkan kepada
tataran yang lebih konkret maka maslahat membaa manfaat sedangkan mafsadah
mengakibatkan kemudaratan.

Kaidah tersebut di atas kembali kepada tujuan untuk merealisasikan maqashid al-
syari‟ahdengan menolak yang mafsadah, dengan cara menghilangkan kemudaratan atau
setidaknya meringankannya.

2. Landasan Hukum
Firman Allah SWT dalam Surah Al-A‟raf ayat 55

                      

Artinya: Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Artinya :“Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada
orang lain”.(HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).

3. Kaidah Minor dan Contoh Penerapannya
a. Kaidah minor pertama, kaidah netralitas

Fiqih – Kelas 12 Semester 2 57

Artinya: “Kemadlaratan itu membolehkan larangan”

Maksudnya keadaan dhorurot dapat memperbolehkan seseorang melakukan perkara
yang asalnya dilarang. Kiranya perlu ditegaskan disini bahwa ada tiga hal yang menjadi
pengecualian kaidah ini, yakni kufur, membunuh, dan berzina. Ketiga jenis perbuatan
tersebut tidak boleh dilakukan dalam kondisi apapun termasuk kondisi dlorurot. Artinya,
ketiga hal tersebut dalam kondisi apapun tetap diharamkan.
Contohnya boleh membuka aurot didepan dokter saat proses pengobatan.

b. Kaidah minor kedua, kaidah standar dlarurat (miqdaru al-dlarurat)

Artinya: “Seseuatu yang diperbolehkan karena kondisi dlarurat, harus disesuaikan menurut
batasan ukuran yang dibutuhkan dlarurat tersebut”.

Maksudnya, sesuatu yang asalnya dilarang, lalu diperbolehkan lantaran keadaannya
yang memaksa, harus disesuaikan dengan ukuran darurat yang sedang dideritanya, dan
tidak boleh dinikmati sepuas-puasnya atau seenaknya saja, sebab kaidah ini memberikan
batasan pada kemutlakan kaidah yang pertama tadi, dimana kebolehan yang terkandung
didalamnya hanya sekedar untuk menghilangkan kemadlaratan yang sedang menimpa.

Contoh penerapannya dalam kasus kelaparan yang kondisinya mendekati kematian
(dlarurat). Orang seperti ini, mendapatkan keringanan (rukhshah), berupa kebolehan
makan daging bangkai, yang asalnya berstatus haram. Sekalipun demikian, kebolehan
tersebut hanya sebatas sebagai penyambung hidup, dan tidak boleh (haram) makan
sepuas-puasnya, sehingga setelah merasa kenyang, maka tidak boleh lagi memakannya.

Dengan demikian, hokum diperbolehkan makan barang haram telah hilang, lantaran
sudah hilangnya alasan („illat) yang memperbolehkannya.

c. Kaidah minor ketiga, kaidah

Artinya: “Bahaya itu tidak dapat dihilangkan dengan bahaya yang lain”.
Maksudnya ialah seseorang itu tidak boleh menghilangkan suatu bahaya yang ada

pada dirinya dengan menimbulkan bahaya pada diri orang lain, sebab semua manusia
memiliki kedudukan yang setara, sehingga satu jiwa tidak dapat dikorbankan hanya untuk
menjaga kelangsungan hidup bagi jiwa yang lain.

Contoh penerapannya, seperti dalam kasus tidak bolehnya orang sedang kelaparan
mengambil makanan orang lain yang keadaannya juga akan mati kelaparan jika makanan
yang menjadi miliknya hilang.

F. Kaidah Kelima

1. Teks Kaidah
Kebiasaan dapat dijadikan suatu hukum

58 Fiqih – Kelas 12 Semester 2

Kaidah „Adah ini, diambil dari realita social kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan
kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan sejak
lama sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara khusus berdasarkan
nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. Jika ditemukan suatu masyarakat meninggalkan suatu
amaliyah yang selama inisudah biasa dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah
mengalami pergeseran nilai. Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan sebutan „adat-
istiadat, budaya, tradisi dan sebagainya. Kebudayaan itu bisa dianggap sebagai perwujudan
aktivitas nilai-nilai dan hasilnya.

2. Landasan Hukum
Firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 236

                                    

                           

Artinya: tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan
isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan
maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang
yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya
(pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan.

3. Kaidah Minor dan Contoh Penerapannya
a. Kaidah minor pertama, kaidah Ta‟yin al-„Urf

Artinya: “Yang sudah tetap berdasarkan kebiasaan sama hal-nya dengan yang sudah tetap
berdasarkan nash”.

Kaidah Ta‟yin al-„Urf ini searti dengan kaidah Tsabitu al Ma‟ruf berikut:

‫الثابت ِبلمعروؼكالثابت ِبلنص‬

Atinya: “Yang ditetapkan oleh „urf sama dengan yang ditetapkan oleh nash”

Contohnya Adat Minangkabau tentang hubungan kekerabatan, yaitu Matrilenial,
artinya:keturunan itu hanya dihitung menurut garis perempuan saja bukan laki-laki,
sehingga suami dan anaknya harus diam dirumah keluarga pihak perempuan (matrilokal).
Sekalipun demikian pada umunya kekuasaan masih dipegang oleh suami (matriarchat).
Dalam hal ini islam bisa mentolerirnya, sebab tidak bertentangan dengan nash, baik al-
qur‟an maupun Hadits.

b. Kaidah minor kedua, kaidah ma‟rufu al-„Urf

Fiqih – Kelas 12 Semester 2 59

Artinya: “Yang sudah dianggap baik itu sebagai „urf sebagaimana yang disyari‟atkan
menjadi syarat”.
Kaidah Ma‟rufu al-„urf ini searti dengan kaidahThardil „adah berikut:

Artinya: “‟adah yang umum berlaku dimasyarakat, maka „adah mereka menempati posisi
syarat”

Contoh penerapannya dalam kasus menjual buah di pohon. Menurut qiyas, hukumnya
tidak boleh dan tidak sah, karena jumlahnya tidak jelas (majhul), tetapi karena sudah
menjadi kebiasaan yang umum dilakukan ditengah masyarakat, maka ulama‟
membolehkannya.
c. Kaidah minor ketiga, kaidah penguatan budaya

Artinya: “Semua yang telah diatur oleh syara‟ secara mutlak tanpa ada ikatan atau qayyid
dan tidak ada ketentuannya secara pasti dalam agama dan tidak ada juga dalam bahasa,
maka hal tersebut harus dikembalikan kepada „urf”.

Contoh penerapannya dalam kasus negara yang sedang mengalami krisis moneter
global, dan tidak sedikit dalam satu negara ditemukan banyak mata uang yang beredar dan
bisa dipergunakan sebagai alat pembayaran. Dalam kasus fluktuatif ini, warga negara
bersangkutan yang sedang melakukan transaksi, harus terlebih dahulu menjelaskan mata
uang apa yang akan dipakai sebagai alat pembayaran, sebab masing-masing masyarakat
akan memiliki kepentingan yang berbeda dalam memilih mata uang yang dikehendaki.

60 Fiqih – Kelas 12 Semester 2

Jawablah pertanyaan berikut!
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Al-Qawa‟id Khamsah!

Jawab: ..........................................................................................................................................

......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................

2. Jelaskan isi dari teks kaidah pertama!
Jawab: ..........................................................................................................................................

......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................

3. Jelaskan isi dari teks kaidah kedua!
Jawab: ..........................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................

4. Jelaskan isi dari teks kaidah ketiga!
Jawab: ..........................................................................................................................................

......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................

5. Jelaskan isi dari teks kaidah keempat!
Jawab: ..........................................................................................................................................

......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................

6. Jelaskan isi dari teks kaidah kelima!
Jawab: ..........................................................................................................................................
......................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................

Fiqih – Kelas 12 Semester 2 61

Al Dzarwy, Ibrahim Abbas. 1993. Teori Ijtihad dalam Hukum Islam. Semarang : Dina
Utama,

Aminuddin, Khairul Umam dan A. Achyar, 1989. Ushul Fiqh II, Fakultas Syari‟ah, Bandung,
Pustaka Setia. cet. ke-1

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, 1999. Pengantar Ilmu Fiqih, Semarang:
Pustaka Rizki Putra

Dasuki, Hafizh. et. al. 1994. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid 4
Departemen Agama, 1986. Ushul Fiqih II, Qaidah-qaidah Fiqh dan Ijtihad, Jakarta :

Depag,, cet. ke-1
Departemen Agama, Ushul Fiqih II, 198. Qaidah-qaidah Fiqh dan Ijtihad, : Depag. cet. ke-1

Djafar, Muhammadiyah, 1993.
Djafar, Muhammadiyah, 1993. Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta, Kalam Mulia, cet. ke-2
Djazuli, 2003 Fiqih Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu

Syariah, Kencana: Jakarta, cet. ke- 3,
Dahlan, abdul Aziz, 1999, Ensiklopedi Hukum Islam,Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve Firdaus. 2004. Ushul Fiqh (Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam

Secara Komprehensif, : Zikrul Hakim, cet. ke-3
Firdaus. 2004. Ushul Fiqh (Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara

Komprehensif, Jakarta : Zikrul Hakim, cet. ke-3
Koto, Alaiddin, 2004, Imu Fiqih dan Ushul Fiqih Suatu Pengantar, Jakarta, Raja Grafindo

Persada
Mu‟alim, Amir dan Yusdani. 2005. Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer. Yogyakarta:

UII Press.
Mubarok, Jaih, 2002. Metodologi Ijtihad Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press
Munawwir, Ahmad Warson. 2002. Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka

Progressif.
Nasrun Rusli. 1999. Konsep Ijtihad Al-Syaukani. Jakarta: Logos. Rifa‟i, Moh, 1979. Ushul

Fiqh, Jakarta, PT.Al-Ma‟arif,
Shihab, Qurasy, 1986. Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad, Departemen Agama, Jakarta:

IAIN
Syaiban, Kasuwi. 2005. Metode Ijtihad Ibnu Rusyd. Malang : Kutub Minar. Cet.I
Usman, Muclis, 1993, Qaidah-qaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta : PT. RajaGrafindo

Persadacet. ke-2
Wahbah, Zuhaeli,2010. Fikih Imam Syafi‟i, Jakarta: Almahera.Yahya, Muhtar dan Tatur

Rahman, 1993. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam, Bandung : Al Ma‟arif,.
Zarkasyi Abdul Salim dan Oman Fathurrohman, 1999. Pengantar Ilmu Fiqh-Ushul Fiqh,

Zahrah

62 Fiqih – Kelas 12 Semester 2

.............................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................
.............................................................................................................................................................

Fiqih – Kelas 12 Semester 2 63

..............................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................

64 Fiqih – Kelas 12 Semester 2

LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
MA MIFTAHUL ULUM

NGEMPLAK MARANGGEN DEMAK

SEMESTER
2

Fiqih – Kelas 12 Semester 2 65

BAB 1 TENTANG KAIDAH AMAR DAN NAHI ................................................ 4
1. Al-Amru (Perintah) ........................................................................... 5
2. Al-Nahyu (Larangan) ...................................................................... 8

BAB 2 TENTANG KAIDAH ‘AM DAN KHOS ................................................... 11
1. Ketentuan Kaidah Lafadz „Am .......................................................... 12
2. Ketentuan Kaidah Lafadz Khos ........................................................ 14
Uji Kompetensi ...................................................................................... 15

BAB 3 TENTANG KAIDAH TAKHSIS DAN MUKHOSSIS ............................... 17
1. Masalah Takhsis .............................................................................. 17

BAB 4 TENTANG KAIDAH MUJMAL DAN MUBAYYAN .......................................... 20
1. Pengertian dan Penerapan Kaidah Mujmal dan Mubayyan............... 21
Uji Kompetensi ......................................................................................

BAB 5 TENTANG LAFADZ MURRADIF DAN MUSYTARAK ................................. 24
A. Al- Muradif ....................................................................................... 24
B. Al-Musytarak ................................................................................... 25
Uji Kompetensi ..................................................................................... 27

BAB 6 TENTANG LAFADZ MUTLAK DAN MUQOYYAD ..................................... 28
A. Muthlaq dan Muqoyyad ................................................................... 28
B. Macam dan hokum Mutlaq dan Muqoyyad ...................................... 29
Uji Kompetensi ..................................................................................... 29

BAB 7 TENTANG LAFADZ DHAHIR DAN TA’WIL .............................................. 30
A. Dhahir ............................................................................................. 30
B. Ta‟wil .............................................................................................. 31
C. Klasifikasi Ta‟wil .............................................................................. 31
Uji Kompetensi ..................................................................................... 32

BAB 8 TENTANG LAFADZ MANTHUQ DAN MAFHUM ....................................... 33
A. Manthuq .......................................................................................... 33
B. Mafhum ........................................................................................... 35

Prediksi UMBN-BK Fiqih 1 .................................................................................. 37
Prediksi UMBN-BK Fiqih 2 .................................................................................. 43
Prediksi UMBN-BK Fiqih 3 .................................................................................. 50
Prediksi UMBN-BK Fiqih 4 .................................................................................. 57

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 64

66 Fiqih – Kelas 12 Semester 2

Kompetensi inti
K-1 Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya
K-2 Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (toleransi), gotong royong,

santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam
jangkauan pergaulan dan keberadaannya
K-3 Memahami pengetahuan (faktual,konseptual dan prosedural)berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu
pengetahuan, tehnologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata
K-4 Mengolah,menyaji dan menalar dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi,
dan membuat)dan ranah abstrak (menulis,membaca,menghitung,menggambar dan mengarang sesuai
dengan yang di pelajari,di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori
Kompetensi Dasar
3.1.1 Menganalisis ketentuan kaidah 'amar dan nahi
4.1.1 Menyajikan hasil analisis contoh penerapan kaidah ' amar dan nahi dalam menentukan hukum suatu
kasus yang terjadi di masyarakat
Tujuan Pembelajaran
3.1.1 Melalui diskusi peserta didik mampu membedakan antara amar dan Nahi dengan benar
3.1.2 Melalui tanya jawab peserta didik dapat Menganalisis ketentuan kaidah 'amar dan nahi
3.1.3 Melalui pendalaman peserta didik dapat mencontohkan amar dan Nahi dengan benar
3.1.4 Melalui diskusi siswa dapat menjelaskan macam-macam kaidah amar dan nahi
4.1.1 Melalui simulasi siswa dapat contoh penerapan kaidah ' amar dan nahi dalam menentukan hukum suatu
kasus yang terjadi di masyarakat

PETA KONSEP BENTUK
LAFADZ AMAR
AMAR KAIDAH AMAR

NAHI BENTUK
LAFADZ NAHI
KAIDAH NAHI

Fiqih – Kelas 12 Semester 2 67

1. Al-Amru (Perintah)

a. Pengertian Al-Amru
Menurut bahasa, amar berarti suruhan, perintah, sedangkan menurut istilah adalah:

‫ َظوَ ُة ام ِف ْــ ِل ِم َن ْال َأ ْؿ ََل ٕالَى ْال َأ ْد َن‬: ‫ال َأ ْم ُر‬

“Al-Amru ialah tuntutan melakukan pekerjaan dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah”

b. Bentuk Lafadh Amar ‫َوَٱ ِكيمُوا ام َّط ََل َة َوٱٓثُوا ام َّزََك َة َوا ْر َن ُـوا َم َؽ ام َّرا ِن ِـ َي‬
1) Fi’il Amar

“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.”
(QS. Al-Baqarah (2) : 43)

2) Fi’il Mudhari’ yang didahului dengan huruf lam amar : ‫امْ َخ ْي ِر‬ ‫ّا َلى‬ ‫ًَ ْد ُؾو َن‬ ‫ٱُ َّم ٌة‬ ‫ِمٌُُْ ْك‬ ‫َومْخَ ُك ْن‬

‫ِبمْ َم ْـ ُرو ِف َوٍَ ْْنَ ْو َن َؾ ِن امْ ُم ْي َك ِر َوٱُومَ ِئ َم ُُ ُه امْ ُم ْف ِو ُحو َن‬ ‫َوًَبِ ُم ُرو َن‬

“Dan hendaklah diantara kamu yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang

ma‟ruf dan mencegah dari yang mungkar.…” (QS. Ali Imron (3): 104)

3) Isim Fi’il Amar ‫يا َٱُُّيَا اََِّّلٍ َن ٱٓ َمٌُوا ؿَوَ َُُْ ْك َٱهْ ُف َسُُ ْك ََل ًَ ُُ ُّضُُ ْك َم ْن َض َّل ّا َذا ا ُْخَ َدًْ ُ ْت‬

“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi

mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk… (QS. Maidah (5):105)

4) Isim Masdar pengganti fi’il

Misalnya kata : ‫ = ٕا ْح َسا ًن‬berbuat baiklah

5) Kalimat berita (kalam khabar) bermakna Insya (perintah) ‫زََ َلزَ َة‬ ‫ِ َبهْ ُف ِس ِِ َّن‬ ‫ًَ َََتتَ ْط َن‬ ‫َوْالمُ َعوَّـلَا ُت‬

‫كُ ُر ْو ٍء‬

“Hendaklah menahan dirinya.” (QS. Al Baqarah (2) : 228)

6) Fi’il madhi atau mudhori’ yang mengandung arti perintah ‫ َو َح َة‬، ‫ َن َخ َة‬،‫ فَ َرض‬،‫َٱ َم َر‬

‫َيا َٱُُّيَا اََِّّلٍ َن ٱٓ َمٌُوا ُن ِخ َة ؿَوَ َُُْ ُك ام ِّط ََا ُم مَََك ُن ِخ َة ؿَ ََل اََِّّلٍ َن ِم ْن كَ ْد ِوُُ ْك مَ َـوَُُّ ْك ثَخَّ ُل ْو َن‬

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan
kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS Al Baqara (2): 183)

c.Kaidah Amar ‫َال َأ ْض ُل ِِف ْال َأ ْم ِر ِن ْو ُو ُح ْو ِب‬
1) Amr menunjukkan kepada wajib )۳۸۱: ‫َيا َاُُّيَا اَِّّلٍ َن َا َمٌُوا ُن ِخ َة ؿَوَ َُُْ ُك ام ِّط ََا ُم لامحلرة‬

“Pada asalnya Amar itu menunjukkan wajib”
Misalnya: perintah puasa.

68 Fiqih – Kelas 12 Semester 2

2) Amr menunjukkan kepada Sunnah ‫َال َأ ْض ُل ِِف ْال َأ ْمػ ِر ِنويَّ ْد ِب‬

“Pada asalnya Amar itu menunjukkan nadab (sunnah)”

Amar juga dapat digunakan antara lain: .

a). Untuk do‟a, ‫رتيا ٱٓثيا ِف الدهَا حسـية وِف ال ٔأخرة حسية‬
b). Untuk penghormatan, )64 : ‫ُٱ ْد ُخـوُ ْو َُا ِث َسـَ َل ٍم َٱ ِم ٌِ ْ َي لالحجر‬
)282 :‫فَا ْن ُخ ُح ْو ٍُ لامحلرة‬ ‫َٱ َخ ٍل ُم َس َّمى‬ ‫ّال َى‬ ‫ِت َد ٍْ ٍن‬ ‫ثَ َداًًَْ ُ ْت‬ ‫ِا َذا‬
c). Untuk petunjuk, )64 :‫ِشـ ْئ ُ ْت لفطوت‬ ‫ٕا ْْ َعـوُ ْوا َما‬
d). Untuk ancaman,

f).Ta‟jiz (‫ ) نوخـجيز‬artinya melemahkan‟

‫َضا ِد ِك َي‬ ‫ُش َِ َدا َء ُُ ْك ِم ْن ُدو ِن اّ َّلِِل ّا ْن ُن ْي ُ ْت‬ y‫وا‬a‫ؾ‬nُ ‫د‬gْ ‫َوا‬se‫ ِل‬mِِ ْ‫مث‬iِ s‫ن‬aْ l‫ ِم‬d‫ٍة‬e‫َر‬n‫و‬g‫س‬aُ n‫وا ِث‬aُl‫بِث‬-َ‫ف‬Q‫َن‬u‫ ِد‬r‫َؾ‟ْح‬an‫َل‬iَ tَ‫ؿ‬u.‫ىَ(َّزمْيَ”ا‬Q‫ا‬S‫م َّم‬.ِ a‫ة‬lٍ-Bًْ‫َر‬aq‫ِف‬aِ r‫ْت‬aُ h‫ ُن ْي‬:2‫ ْن‬3‫َ)وّا‬

Artinya : ”Buatlah satu surat (saja)

(g). Ikram ‫ ) مَل هرام‬artinya menghormat.

) ٦١: ‫ادخووُا ثسَل م امٌي لالحجر‬

Artinya :”Masuklah ke dalamnya (syurga) dengan sejahtera dan aman.”(QS.al-Hijr z: 46)

h). Tafwidl ( ‫ ) نوخفوًظ‬artinya menyerah.

) ۲۷: َ‫فَا ْك ِظ َما َٱهْ َت كَا ٍض ّاهَّ َما ثَ ْل ِِض َُ ِذ ٍِ امْ َح ََا َة الُّدهْ ََا لظ‬

Artinya: “Putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan.” (QS, Thaha: 72)

(i). Talhif ‫ ) نوخوَِف‬artinya menyesal.

ِ‫امْلَ َْغ‬ ‫ِم َن‬ ‫ا ْل َأ َن ِم َل‬ ‫ؿَوَ َُُْ ُك‬ ‫َؾ ُّضوا‬ ‫َخوَ ْوا‬ ‫َوّا َذا‬ ‫ٱٓ َمٌَّا‬ ‫كَامُوا‬ ‫مَ ُلوُُ ْك‬۱‫ا‬۱‫ َذ‬۱‫?َوّا‬ َِ ّ‫ُُ ِيحُّوىَُُ ْك َوثُ ْؤ ِمٌُو َن ِب ْم ِكذَا ِب ُ ِك‬ ‫َو ََل‬ ‫َُا َٱهْ ُ ْت ُٱو ََل ِء ُُ ِت ّحُوََنُ ْم‬
‫ؿَ ِوي ٌم ِت َذا ِت ام ُّط ُدو ِر(ال عمران‬ ‫اّ َّلَِل‬ ‫ُك ْل ُموثُوا ِت َل َْ ِؼُُ ْك ّا َّن‬

Artinya :”Katakanlah (kepada mereka) “Matilah kamu karena kemarahanmu itu.” (QS. Ali

Imran:119)

j). Tahyir ( ‫ ) نوخخَير‬artinya memilih.

‫َم ْن َشا َء فَوََْ ْح َخ ْل َو َم ْن َشا َء فَ ْو ََ ُج ْد َن َفا ِن هَذا ُُك َؾن ََجَؽِ ال ِخعا ِب‬

Artinya :”Barang siapa kikir,kikirlah, siapa mau bermurah hati, perbuatlah.Pemberian tuhan
mencukupi kebutuhan saya.” (Syair Bukhaturi kepada Raja

(k). Taswiyah ‫ ) امدسوًة‬artinya persamaan.

) ۳١: َ‫ُا ْد ُخوُو َُا فا ْض ُِِبوا َاوَل ثَ ْط ُِِبوا لظ‬

Artinya :”Masuklah ke dalamnya (neraka) maka boleh kamu sabar dan boleh kamu tidak sabar, itu
semua sama saja bagimu.” (QS. Thaha: 16)

3) Amr tidak menunjukkan untuk berulang-ulang ‫َال َأ ْض ُل ِِف ْال َأ ْم ِر َ َل ًَ ْلذَ ِِض امخَّ ْك َرا َر‬

Fiqih – Kelas 12 Semester 2 69

“Perintah itu pada asalnya tidak menghendaki pengulangan”

. Seperti firman Allah SWT.

‫َوٱَ ِث ُّموا امْ َح َّج َوامْ ُـ ْم َرَة ِّ َّلِِل‬

“ dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah.” (QS. Al Baqarah (2) : 196)

Misalnya :

) ١: ٍ‫َوِان ُني ُت ُحٌُ ًحا فاظِروا لالمائد‬

Artinya ”Jika kamu berjunub maka mandilah.” (QS. Al-Maidah: 6)

) ۲۸: ‫َا ِكم امطَلة ِلُدمو ِك ام َّشمس لالاسراء‬

“Kerjakanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir.”(QS. Al-Isra‟ :78)

4) Amr tidak menunjukkan untuk bersegera ‫َال ٔأ ْض ُل ِِف ْال َأ ْم ِر َ َل ًَ ْلذَ ِِض ْام َف ْو َر‬
“Perintah pada asalnya tidak menghendaki kesegeraan”.

Jadi Amr (perintah) itu boleh ditangguhkan pelaksanaannya sampai akhir waktu yang telah ditentukan.

Misalnya :

) ۳۸۱: ‫فمن َك ن مٌُك مرًضا اوؿَل سفر فـدة من ايا م اخرلامحلرة‬

“Barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau sedang dalam bepergian jauh, hendaklah
mengqadla puasa itu pada hari yang lain.”(QS.al-Baqarah : 183)

5) Amr dengan wasilah-wasilahnya ‫َاَ ْل ْم ُر ِبم َّش ْئ ٱَ ْم ٌر ِت َو َسا ِئ ِِ ِل‬

“Perintah mengerjakan sesuatu berarti juga perintah mengerjakan wasilahnya”.

Perintah mendirikan shalat berarti juga perintah untuk berwudlu, sebagai wasilah (jalan kepada)
sahnya shalat.

6) Amr yang menunjukkan kepada larangan ٍِ ‫َاَ ْل ْمر ِبم َّش ْئ ََ ْنيٌي َؾ ْن ِض ِّد‬

“Perintah mengerjakan sesuatu berarti larangan terhadap kebalikannya”.

Maksudnya, jika seseorang disuruh mengerjakan suatu perbuatan, mestinya dia meninggalkan
segala kebalikannya. Misalnya, disuruh beriman, berarti dilarang kufur.

7) Amr menurut masanya ‫ِا َذا ُف ِـ َل ْالمَبِ ُم ْو ُر ِت َِ ؿَ ََل َوْْ ِج َِ ََ ْي ُر ُج ْالمَبِ ُم ْو ُر َؾ ْن َؾِْ َد ِة ْاَ َل ْم ِر‬

“Apabila dikerjakan yang diperintahkan itu menurut caranya, terlepas dia dari masa perintah
itu”.

8) Qadha dengan perintah yang baru ‫َامْلَ َضا ُء ِتبَ ْم ٍر َخ ِدًْ ًدا‬
“Qadha itu dengan perintah yang baru”.

Maksudnya, suatu perbuatan yang tidak dapat dilaksanakan pada waktunya harus dikerjakan
pada waktu yang lain (qadla‟).

70 Fiqih – Kelas 12 Semester 2

9) Martabat amr ‫ا َْ َل ْم ُر ْالمُخَ َـوَّ ُق ؿَ ََل ْاَ ِل ْْ ِس ًَ ْلذَ ِظ ْاَ ِل ْك ِذ َطا ُر ؿََ َل َا َّوِ ِل‬

“Jika berhubungan dengan nama (isim) adalah menghendaki akan tersimpannya pada
permulaan.”

Sependek-pendek masa amr, apabila dihubungkan dengan hukum menurut pengertian
keseluruhannya dalam bentuk yang berlainan tentang tinggi dan rendah, dipendekkan hukum itu
menurut sekurang-kurangnya martabatnya untuk melaksanakan perintah itu.

Misalnya: “Perintah melakukan tuma‟ninah dalam shalat, dan perintah memerdekakan seorang
budak, tidak memandang harga tapi memandang martabatnya”.

10) Amr sesudah larangan ‫َا َْ َل ْم ُر تَ ْـ َد ْاهَْنْيِي ًُ ِف ِْ ُد ْاَ ّل َِب َح َة‬
“Perintah sesudah larangan menunjukkan kebolehan.”

) ‫نيت َنَخُك ؾن زيارة املدور الا فزوروُا لرواٍ مسلم‬

“Dahulu aku melarang kamu menziarahi kubur, sekarang berziarahlah.” (HR.Muslim)

) ۷: ‫اذا حووت فاضعا دوا لالمائدة‬

“Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, berburulah.” (QS.al-Maidah : 2)

Berdasarkan dua uraian tersebur, dapat dijelaskan bahwa perintah setelah larangan itu hukumnya
mubah tidak wajib, seperti berziarah kubur dan berburu setelah haji.

Perbuatan yang lebih mudah dimengerti ialah perbuatan yang diperbolehkan, seperti pada awalnya
Nabi melarang menziarahi kubur, maka sekarang diperbolehkan. Kalimat amr ini tidak menunjukkan
kewajiban tetapi menunjukkan hukum boleh (ibahah),

2. Al-Nahyu (Larangan)

a) Pengertian Al-Nahyu (Larangan),
Menurut bahasa An-Nahyu berarti larangan. Sedangkan menurut istilah ialah:

‫ َظوَ ُة ام ََّْت ِك ِم َن ال َأؿَْ َل ّالَى ْال َأ ْد َن‬: ‫َاهَّْ ْنيُي‬

“An-Nahyu (larangan) ialah tuntutan meninggalkan perbuatan dari yang lebih tinggi kepada yang
lebih rendah (kedudukannya)”.

b) Bentuk kata Nahi
1) Fi’il Mudhari yang didahului dengan “la nahiyah” / lam nahi = janganlah

‫َوَ َل ثَبِ ُ ُكػ ْوا َٱ ْمػ َوامَُُ ْك تٌََُْ ُكـ ْم ِبمْ َحا ِظ ِل‬

“Dan jangan engkau memakan harta saudaramu dengan cara batil.” (QS Al Baqarah (2) : 188)

‫َوَ َل ثُ ْف ِسـ ُد ْوا ِِف ْال َأ ْر ِض‬

“Janganlah engkau berbuat kerusakan di muka bumi.” (QS Al-Baqarah (2) : 11)

2) Lafadh-lafadh yang dengan tegas bermakna larangan (mengharamkan). 71

Misalnya : ،‫ ََنَيى‬،‫َح َّر َم‬

Fiqih – Kelas 12 Semester 2

Firman Allah SWT:

‫ُح ِّرَم ْت َؾـوَ َُُْ ْك ُٱ َّمِ ُخُُ ْك َوتَيَا حُُُ ْك‬

“Diharamkan bagi kamu ibu-ibumu dan anak-anak perempuanmu.” (Qs An Nisa‟ (4): 23)

‫ِذي امْ ُل ْر ََب َوٍَ ْْنَيى َؾ ِن امْ َف ْح َشا ِء َوامْ ُم ْي َك ِر َوامْ َح ْل ِي ًَ ِـ ُؼُُ ْك مَ َـوَُُّ ْك ثَ َذ َّن ُرو َن‬ ‫َوّاً َخا ِء‬ ‫َوا َْ ّل ْح َسا ِن‬ ‫ِبمْ َـ ْد ِل‬ ‫ًَبِ ُم ُر‬ ‫اّ َّلَِل‬ ‫ّا َّن‬

Dan dilarang dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS An Nahl (16) :90)

c) Kaidah an-Nahyu ‫َا َْ َل ْض ُل ِِف اهَّْنْيِي ِنوخَّ ْح ِر ْ ِي‬
1) Nahi menunjukkan haram

“Pada asalnya nahi itu menunjukkan haram”.

Menurut jumhur ulama, berdasarkan kaidah ini, apabila tidak ada dalil yang memalingkan nahi,
maka tetaplah ia menunjukkan hukum haram.

Kadang-kadang nahi (larangan) digunakan untuk beberapa arti (maksud) sesuai dengan
perkataan itu, antara lain :

2) Karahah ( َُ‫) امكرا‬
) ‫وَل ثطووا ِف اؾعا ن الاتل لرواٍ احمد وامَتمِذى‬

“Janganlah mengerjakan shalat di tempat peristirahatan unta.”(HR. Ahmad dan at-Thirmidzi)

Larangan dalam hadits ini tidak menunjukkan haram, tetapi hanya makruh saja, karena
tempatnya kurang bersih dan dapat menyebabkan shalatnya kurang khusyu‟ sebab terganggu oleh
unta.

3) Do‟a (‫) الدؿاء‬
) ۸: ‫رتيا َل حزغ كووتيا تـد اذ ُد ًدٌا لال ْعران‬

“Ya Tuhan kami! Janganlah Engkau jadikan kami cenderung kepada kesesatan setelah
Engkau beri petunjuk kepada kami.” (QS. Ali Imran : 8)

4) Irsyad ( ‫ )الارشاد‬artinya bimbingan atau petunjuk
“) ۳۱: ‫يا اُّيا اَّلٍن امٌوا َل جسئووا ؾن اشَاء ان ثحد مُك جسؤُك لالمائدة‬

Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika
diterangkan kepadamu akan memberatkan kamu.” (QS. Al-Maidah : 101)

5) Tahqir (‫ ) امخحلير‬artinya meremehkan atau menghina
) ۸۸: ‫َلتمد ن ؾَيم الى ما مذـيا تَ ازوا خا مْنم لالحجر‬

“Dan janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah
Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir).” (QS.al-Hijr : 88)

6) Tay‟is (‫ ) امخُئُس‬artinya putus asa
) ۲: ‫َلثـخذ ر واامَوم لامخحري‬

“Dan janganlah engaku membela diri pada hari ini (hari kiamat).” (QS.at-Tahrim : 7)

a) Tahdid ( ‫ )اهتهدًد‬artinya mengancam

‫َلثعؽ امرى‬

72 Fiqih – Kelas 12 Semester 2

“Tak usah engkau turuti perintah kami.”

7) I’tinas ( ‫ ) اَلئدٌاس‬artinya menghibur

) ٦۱: ‫َلُتزن ان الله مـيا لامخوتة‬

“Jangan engkau bersedih, karena sesungguhnya Allah beserta kita .”

8) Larangan sesuatu, suruhan bagi lawannya ٍِ ‫َاهَّْ ْنيُي َؾ ِن ام َّش ِْْي َا ْم ٌر ِت ِض ِّد‬

“Larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya”.

)31 :‫ َ َل جُ ْْ ِش ْك ِبللِه لملمـان‬...

“Janganlah kamu mempersekutukan Allah … (QS. Luqman, 13)

9) Larangan yang mutlak ‫اهَّْنْيُي ْالمُ ْعوَ ُق ًَ ْلذَ ِِض الَّد َوا ِم ِِف ََ ِج َْ ِح ْاَ َل ِزِمٌَ ِة‬

“Larangan yang mutlak menghendaki berkekalan dalam sepanjang masa”

10) Larangan dalam urusan ibadah ‫اهَّْنْيُي ًَ ُّد ُل ؿَ ََل فَ َس ِد ْالمُْت ِهيٌّي َؾ ْي َُ ِِف ِؾ َحا َدا ِت‬

“Larangan menunjukkan kebinasaan yang dilarang dalam beribadah”.

Untuk mengetahui mana yang syah dan mana yang batil dalam urusan ibadah, harusnya setiap
orang itu mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

11) Larangan dalam Urusan Mu‟amalah ‫َاهَّْ ْنيُي ًَ ُّد ُل ؿَ ََل فَ َسا ِد ْالمُْت ِهيٌّي َؾ ْي َُ ِِف ْام ُـ ُل ْود‬

“Larangan yang menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang dalam ber‟aqad”

Misalnya menjual anak hewan yang masih dalam kandungan ibunya, berarti akad jual belinya
tidak sah. Karena yang diperjualbelikan tidak jelas dan belum memenuhi rukun jual beli.

Fiqih – Kelas 12 Semester 2 73

Kompetensi inti

K-1 Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya

K-2 Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (toleransi), gotong royong,

santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam

jangkauan pergaulan dan keberadaannya

K-3 Memahami pengetahuan (faktual,konseptual dan prosedural)berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu

pengetahuan, tehnologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata

K-4 Mengolah,menyaji dan menalar dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi,

dan membuat)dan ranah abstrak (menulis,membaca,menghitung,menggambar dan mengarang sesuai

dengan yang di pelajari,di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori

Kompetensi Dasar

3.2.1 Menganalisis ketentuan kaidah „Am dan Khos
4.2.1 Menyajikan hasil analisis contoh penerapan kaidah „Am dan Khos dalam menentukan hukum suatu kasus

yang terjadi di masyarakat

Tujuan Pembelajaran

3.2.1 Melalui diskusi peserta didik mampu membedakan antara „Am dan Khos dengan benar
3.2.2 Melalui tanya jawab peserta didik dapat Menganalisis ketentuan kaidah „Am dan Khos
3.2.3
3.2.4 Melalui pendalaman peserta didik dapat mencontohkan „Am dan Khos dengan benar
4.2.1 Melalui diskusi siswa dapat menjelaskan macam-macam kaidah „Am dan Khos
Melalui simulasi siswa dapat contoh penerapan kaidah „Am dan Khos dalam menentukan hukum suatu

kasus yang terjadi di masyarakat

PETA KONSEP

LAFADZ 'AM BENTUK LAFADZ 'AM
LAFADZ KHOS DALALAH LAFADZ 'AM
KAIDAH LAFADZ 'AM
HUKUM LAFADZ KHOS
DALALAH LAFADZ KHOS

74 Fiqih – Kelas 12 Semester 2

1. KETENTUAN KAIDAH LAFADZ ‘AM

A. ’Am
1) Pengertian’Am

„Am menurut bahasa artinya merata, yang umum; dan menurut istilah adalah “lafadh yang
memiliki pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadh itu “. Dengan
pengertian lain, „am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang

terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.

2) Bentuk Lafadh ’Am

‫َجَؽ كل‬Lafadh
(setiap) dan (seluruhnya), kedua kata tersebut keduanya mencakup seluruh

satuan yang tidak terbatas jumlahnya.

‫ُك ُّل هَ ْف ٍس َذائِ َل ُة امْ َم ْو ِت‬

“Tiap-tiap yang berjiwa akan mati”. (QS. Ali „Imran (3): 185)

Hadis Nabi SAW.,

َِ ‫ُك ُّل َراعٍ َم ْس ُؤ ٌل َؾ ْن َر ِؾ ََ ِخ‬

“Setiap pemimpin diminta pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya”

‫ُُ َو اََِّّلي َخوَ َق مَُُ ْك َما ِِف ا ْل َأ ْر ِض ََ ِجَ ًـا‬

“ Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”

(QS. Al Baqarah (2) : 29)

a) Kata jamak (plural) yang disertai alif dan lam di awalnya
‫َوامْ َواِلَدا ُت ٍُ ْر ِض ْـ َن َٱ ْو ََل َد ُُ َّن َح ْومَ ْ ِي ََك ِموَ ْ ِي ِم َم ْن َٱ َرا َد َٱ ْن ًُ ِ َّت ام َّر َضاؿَ َة‬

“ Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS. Al Baqarah (2) : 233)

b) Kata benda tunggal yang di ma‟rifatkan dengan alif-lam.

‫َوَٱ َح َّل اّ َّلُِل امْ َح َْ َؽ َو َح َّر َم ام ِّر َِب‬

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.(QS. Al Baqarah
(2)275)

c) Lafadh Asma‟ al-Mawshul, Seperti ma, al-ladhi na, al-lazi dan sebagainya.

‫ّا َّن اََِّّلٍ َن ًَبِ ُ ُكو َن َٱ ْم َوا َل امْ ََخَا َمى ُػوْ ًما ّاهَّ َما ًَبِ ُ ُكو َن ِِف تُ ُعو َِ ِن ْم َن ًرا َو َس ََ ْطوَ ْو َن َس ِـي ًرا‬

“ Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka). (QS. An Nisa‟ (4) : 10)

d) Lafadh Asma‟ al-Syart (isim-isim isyarat, kata benda untuk mensyaratkan), seperti kata ma,
man dan sebagainya.

‫َو َم ْن كَذَ َل ُم ْؤ ِمًٌا َخ َعبً فَذَ ْح ِرٍ ُر َركَدَ ٍة ُم ْؤِمٌَ ٍة َو ِدًَ ٌة ُم َسوَّ َم ٌة ّا َلى َٱ ُْ ِِ ِل ّا ََّل َٱ ْن ًَ َّط َّدكُوا‬

“dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diatyang diserahkan

Fiqih – Kelas 12 Semester 2 75

kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.”
(QS. An Nisa‟ (4): 92)

‫َو ََل ُحٌَا َح‬e) Isim nakirah dalam susunan kalimat nafi (negatif), seperti kata dalam ayat berikut

‫َو ََل ُحٌَا َح ؿَوَ َُُْ ْك َٱ ْن ثَيْ ِك ُحو ُُ َّن ّا َذا ٱٓثَُْذُ ُمو ُُ َّن ُٱ ُحو َر ُُ َّن‬

“dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya.”
(QS. Al Mumtahanah (60) : 10)

f) Isim mufrad yang dita‟rifkan dengan alif lam jinsiyah

) ۷۲۲: ‫واحل الله امحَؽ وحرم امرِب لامحلرة‬

“Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS.al-Baqarah : 275)
g) Lafadz jama‟ yang dita‟rifkan dengan idhafah.

) ۳۳: ‫ًوضَُك الله ِف اوَل د ُك لامًساء‬

“ Allah mensyariatkan bagimu pembagian warisan untuk) anak anakmu.” (QS.an-Nisa‟:

h) Isim-isim mausul seperti al ladzi, al ladzina, al lati, al la‟I dan lain sebagainya.

‫َواََِّّلٍ َن ًُ َخ َوفَّ ْو َن ِم ٌُُْ ْك َوًَ َذ ُرو َن َٱ ْز َوا ًخا ًَ ََ َتتَّ ْط َن ِتبَهْ ُف ِس ِِ َّن َٱ ْرتَ َـ َة َٱ ْش ُِ ٍر َو َؾ ْْ ًشا‬

“Dan orang-orang yang dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah istri-
istri itu) menangguhkan diri (iddah) empat bulan sepuluh hari.”(QS.al-Baqarah :234)

i) Isim-isim syarat, seperti man (barang siapa), maa (apa saja), ayyumaa ( yang mana saja).

Misalnya :

) ۷٦۲: ‫من ذ اَّلى ًلرض الله كرضا حسيا فِضا ؾفَ ل ل امحلرة‬

“Siapakah yang mau member pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik (menafkahkan
hartanya di jalan Allah), Allah akan melipatgandakan harta kepadanya.”(QS.al-Baqarah : 245)

3) Dalalah Lafadh ’Am

Jumhur Ulama, di antaranya Syafi‟iyah, berpendapat bahwa lafadh „am itu dzanniy dalalahnya atas

semua satuan-satuan di dalamnya. Demikian pula, lafadh „am setelah di-takhshish, sisa satuan-

satuannya juga dzanniy dalalahnya, sehingga terkenallah di kalangan mereka suatu kaidah ushuliyah

yang berbunyi:

“Setiap dalil yang „am harus ditakhshish”. ‫َما ِم ْن ؿَا ٍم ّاَ َّل ُخ ِّط َص‬

Oleh karena itu, ketika lafadh „am ditemukan, hendaklah berusaha dicarikan pentakshisnya.

Berbeda dengan jumhur ulama‟, Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lafadh „am itu qath‟iy

dalalahnya, selama tidak ada dalil lain yang mentakhshishnya atas satuan-satuannya. Karena lafadh
„am itu dimaksudkan oleh bahasa untuk menunjuk atas semua satuan yang ada di dalamnya, tanpa

kecuali. Sebagai contoh, Ulama Hanaifiyah mengharamkan memakan daging yang disembelih tanpa

menyebut basmalah, karena adanya firman Allah yang bersifat umum, yang berbunyi:

َِ َْ َ‫َو ََل ثَبِ ُ ُكوا ِم َّما مَ ْم ًُ ْذ َن ِر ا ْْ ُس اّ َّلِِل ؿَو‬

“dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika
menyembelihnya.” (QS. Al An‟am (6) : 121)

Ayat tersebut, menurut mereka, tidak dapat ditakhshish oleh hadis Nabi yang berbunyi:

76 Fiqih – Kelas 12 Semester 2

‫المْ ْس ِل ُم ًَ ْذتَ ُح ؿَ ََل ا ْْ ِس اللِه ََ َّسى َٱ ْو ل َم ٌُ َس ِّم رواٍ ٔٱتو داود‬

“Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia benar-benar menyebutnya atau
tidak.” (H.R. Abu Daud)

Alasannya adalah bahwa ayat tersebut qath‟iy, baik dari segi wurud (turun) maupun dalalah-nya,

sedangkan hadis Nabi itu hanya dzanniy wurudnya, sekalipun dzanniydalalahnya.
Ulama Syafi‟iyah membolehkan, alasannya bahwa ayat itu dapat ditakhshish dengan hadis tersebut.
Karena dalalah kedua dalil itu sama-sama dzanniy. Lafadh „am pada ayat itu dzanniy dalalahnya, sedang

hadis itu dzanniy pula wurudnya dari Nabi Muhammad SAW.

4) Kaidah-kaidah Lafadh ’Am

1) ‫(ؿَا ٌم ٍُ َرا ُد ِت َِ ام ُـ ُمػ ْو َم‬Lafadh „Am yang dikehendaki keumumannya), karena ada dalil atau indikasi yang

Dmaennutnidjuakkkaadnatesrutuattuupbnyin‫ي‬aٍ ak‫د‬tِ ‫م‬aُenm‫ب‬gٍ u‫ا‬mَ‫خ‬n‫ ِن‬gek‫ف‬laِiِ nt‫ل‬aaٌّ ‫ك‬nُ pa‫ا‬uَِ dn‫ َؾ‬a‫ َد‬d‫و‬tْ aiَ‫خ‬k‫س‬bْhu‫ُم‬s‫و‬mَhii‫ا‬sَُ mh‫لَ َّر‬e(َ‫خ‬pl‫س‬aeْ in‫ُم‬ngk‫ ُم‬kَ‫ل‬a‫ْـ‬hnًَ‫و‬uَ As‫ا‬uَِl‫ُك‬ls‫ز‬aaْ ‫ر‬hِn-)‫ِل‬l.ِ‫َّل‬aّM‫ا‬h‫ل‬iysََ aaَ‫ؿ‬lnn‫ل‬gََّy‫ ّا‬am‫ض‬:eِ ‫ر‬mْ ‫ َأ‬b‫ا ْل‬e‫ف‬rِiِ ‫َو َما ِم ْن َداتَّ ٍة‬

rezekinya,

dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis

dalam kitab yang nyata (Lauhmahfuz).(QS. Hud (11) :6).

2) ‫ص‬Yaُ ‫و‬nْ ‫ػ‬g‫ ُط‬dُ‫لخ‬im‫َِ ا‬a‫ِت‬k‫ُد‬s‫ا‬u‫ َر‬dٍُ adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa terkecuali. khusus), karena ada indikasi

‫( ام َــا ُم‬Lafadh „Am tetapi yang dimaksud adalah makna

yang menunjَuِ ‫س‬kِ k‫هَ ْف‬an‫َؾ ْن‬m‫م‬aْ ِِk‫س‬nِ a‫بَهْ ُف‬s‫ ِت‬e‫وا‬p‫ح‬eُ َ‫ق‬r‫ر‬tْiٍَ itu. ‫اّ َّلِِل‬ ‫َر ُسو ِل‬ ‫ًَ َخ َخوَّ ُفوا‬ ‫َٱ ْن‬ ‫ا ْل َأ ْؾ َرا ِب‬ ‫ِم َن‬ ‫َح ْومَُِ ْم‬ ‫امْ َم ِدًيَ ِة‬ ‫ِل َأ ُْ ِل‬ ‫ََك َن‬

‫َو ََل‬ ‫َؾ ْن‬ ‫َو َم ْن‬ ‫َما‬

“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di

sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi
mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. “ (QS. At Taubah: 120).

Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Mekah, tetapi hanya orang-orang yang

mampu.

3) ‫( َؾـا ٌم َم ْخ ُطػ ْو ٌص‬Lafadh „Am yang menerima pengkhususan), ialah lafadh „am yang tidak disertai

karinah ia tidak mungkin dikhususkan dan tidak ada pula karinah yang meniadakan tetapnya atau
keumumannya. Tidak ada qarinah lafadh atau akal atau „urf yang memastikannya umum atau
khusus. Lafadh „am seperti ini dzahirnya menunjukkan umum sampai ada dalil pengkhususannya.

‫َوامْ ُم َعوَّ َلا ُت ًَ ََ َتتَّ ْط َن ِت َبهْ ُف ِس ِِ َّن زَ ََلزَ َة ُك ُرو ٍء‬

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.” (QS. Al

Baqarah (2) : 228).
Lafadh „Am dalam ayat tersebut adalah al-muthallaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari

indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umum atau sebagian cakupannya.

2.KETENTUAN KAIDAH LAFADZ KHOS

a. Pengertian Khas ‫ُُ َو انوَّ ْفغُ امْ َم ْو ُض ْو ُع ِم َم ْـ ًًن َوا ِح ٍد َم ْـوُ ْو ٍم ؿَ ََل اَ ّلهْ ِف َرا ِد‬

Suatu lafadh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui (ma‟lum) dan manunggal.

Menurut istilah, definisi khas adalah:

Al-khas adalah lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu,.

b. Hukum lafadz Khas dan contohnya

Fiqih – Kelas 12 Semester 2 77

Lafadz khas dalam nash syara‟ adalah menunjuk pada dalalah qath‟iyah (dalil yang pasti) terhadap
makna khusus yang dimaksud dan hokum yang ditunjukkan adalah qath‟I selama tidak ada dalil

yang memalingkan pada makna lain.

) ۳۱١: ‫فمن لم يجد فطَا م زَل زة ايا م ِف الحج ل امحلرة‬

“Barang siapa tidak menemukann (binatang qurban atau tidak mampu), maka wajib baginya
berpuasa tiga hari dalam masa haji.” (QS.al-Baqarah : 196)

Lafadz tsalatsa adalah khas karena tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari tiga hari. Sehingga
maknanya bersifat qath‟iyah dan hukumnya pun bersifat qath‟i.

Sabda Rasulullah SAW :

) ‫ِف كل ا رتـي شا ة لرواٍ اتو داود‬

“Pada setiap empat puluh ekor kambing, wajib zakatnya seekor kambing.” (HR. AbuDawud).

Lafadz arbaina syatan dan syatun adalah lafadz khas karena yang pertama menunjukkan kadar zakat
kambing 40 ekor dan kedua menunjukkan kadar wajibnya zakat yaitu seekor kambing.

Dari uraian diatas dapat ditarik suatu perbedaan antara lafadz „am dan lafadz khas sebagai berikut :

a) Lafadz „am itu menunjuk kepada seluruh satuan dari satuan-satuan yang ada, sedang lafadz khas
yang mutlaq menunjuk kepada satuan-satuan yang tergolong dalam satuan itu saja.

b) Lafadz „am dapat mencakup sekaligus seluruh satuan-satuan yang dapat dimasukkan ke
dalamnya, sedang lafadz khas tidak dapat mencakup seluruh satuan, selain hanya satuan yang
dapat dimasukkan ke dalamnya

c.Dalalah Khas
Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath‟iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan
hukum yang ditunjukkannya adalah qath‟iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang

memalingkannya kepada makna yang lain. Misalnya, firman Allah:

‫فَ َم ْن مَ ْم يَ ِج ْد فَ ِط ََا ُم زَ ََلزَ ِة َٱ َّيا ٍم ِِف امْ َح ّ ِج َو َس ْح َـ ٍة ّا َذا َر َح ْـ ُ ْت ِث ْْ َل َؾ َْ َش ٌة ََك ِم َ ٌل‬

”tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga
hari dalam masa haji ” (QS. Al Baqarah (2) : 196

Uji Kompetensi

I. Pilihlah jawaban yang paling benar diantara d. Hokum asal pada amar adalah boleh

A,B,C,D dan E e. Hokum asal pada amar adalah makruh

1. Perintah dari atasan kepada bawahan adalah 3. Yang termasuk lafadz Amar dibawah
ini,kecuali….
definisi dari

a. Wajib d. amar a. Fiil mudhorik bersama lam amar

b. Sunnah e. Makruh b. Isim fiil amar

c. Nahi c. Masdar pengganti fiil

2. Maksud dari q‫ب‬oِ i‫و‬dْ ‫ح‬aُ h‫وْ ُو‬d‫ ِن‬i‫ ِر‬b‫َأ ْم‬a‫ل‬w‫ف ْا‬aِhِ ‫ُل‬in‫ض‬iْ ‫َال َأ‬ d. Fiil amar

e. Fiil madhi

a. Hokum asal pada amar adalah haram 4. Kalau ada perintah jatuh sedudah larangan
itu punya faidah apa….
b. Hokum asal pada amar adalah wajib
a. Ibahah d. ijab
c. Hokum asal pada amar adalah mubah
b. Tahrim e. Nadb

78 Fiqih – Kelas 12 Semester 2

c. Karahah d. ‫اميص ملدم ؿَل امؼاُر‬
e. ٍ‫اهْنيي ِف امشْي ٔٱمر تضد‬
5. Orang yang akan melaksanakan
9. kata yang memberi pengertian umum,
solat,maka ia wajib melaksanakan
meliputi segala sesuatu yang terkandung
wudhu,hal tersebut sesuai dengan kaidah
amar yang berbunyi…. dalam kata itu dengan tidak

a. ‫ال ٔأضل ِف الامر نووحوب‬ terbatas,adalah pengertian ....
b. ‫ال ٔأضل ِف ال ٔأمر َل ًلذِض امفور‬
c. ‫ال ٔأمر يامشْي امر توسائِل‬ a. Lafadz Khos
d. ٍ‫ال ٔأمر ِبمشْي امر تضد‬ b. Lafadz „Am
e. ‫اميص ملدم ؿَل امؼاُر‬
c. Lafadz Mujmal
6. Larangan dari atasan kepada bawahan
adalah definisi…. d. Lafadz Mutlak

a. Amar d. isim 10. e.‫وَ ْ ِي‬L‫ ِم‬a‫ََك‬fad‫ ِي‬zْ َ‫وم‬mْ ‫َح‬uqo‫ َّن‬yُُy‫َد‬a‫ل‬dََ ‫َوامْ َواِلَدا ُت ٍُ ْر ِض ْـ َن َٱ ْو‬
e. Fi‟il ‫ِم َم ْن َٱ َرا َد َٱ ْن ًُ ِ َّت ام َّر َضاؿَ َة‬
b. Nahi
c. Mudhori‟ Lafadz yang bergaris bawah adalah lafadz
yang „Am,dan termasuk kategori lafadz
7. Maksud dari qoidah di bawah ini „am yang berupa….

‫َال َأ ْض ُل ِِف ْاهَْنْيِي ن ِوخَّ ْح ِر ْ ِي‬ a. Isim mufrad dimakrifatkan dengan

a. Hokum asal pada nahi adalah haram alim dan lam
b. Lafadz jama‟ yang dimakrifatkan
b. Hokum asal pada nahi adalah wajib
dengan alif dan lam
c. Hokum asal pada nahi adalah mubah c. Lafadz jama‟ yang dita‟rifkan dengan

d. Hokum asal pada nahi adalah boleh idhafah

e. Hokum asal pada nahi adalah makruh d. Isim-isim mausul seperti al ladzi, al
ladzina, al lati, al la‟I
8. Larangan terhadap suatu perkara berarti
e. Isim mufrad yang di ta‟rifkan dengan
perintah untuk melaksanakan
menggunakan lam jinsiyyah
sebaliknya,ini sesuai dengan qoidah nahi
yang berbunyi….

a. ‫ال ٔأضل ِف ال ٔأمر َل ًلذِض امفور‬

b. ‫ال ٔأمر يامشْي امر توسائِل‬

c. ٍ‫ال ٔأمر ِبمشْي امر تضد‬

Fiqih – Kelas 12 Semester 2 79

Kompetensi inti
K-1 Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya
K-2 Menghargai dan menghayati perilaku jujur,disiplin,tanggungjawab, peduli (toleransi), gotong royong,

santun,percaya diri, dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam
jangkauan pergaulan dan keberadaannya
K-3 Memahami pengetahuan (faktual,konseptual dan prosedural)berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu
pengetahuan, tehnologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata
K-4 Mengolah,menyaji dan menalar dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai,
memodifikasi, dan membuat)dan ranah abstrak (menulis,membaca,menghitung,menggambar dan
mengarang sesuai dengan yang di pelajari,di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut
pandang/teori
Kompetensi Dasar
3.3.1 Menganalisis ketentuan kaidah tahsis dan mukhossis
4.3.1 Menyajikan hasil analisis contoh penerapan kaidah tahsis dan mukhossis dalam menentukan hukum
suatu kasus yang terjadi di masyarakat
Tujuan Pembelajaran
3.3.1 Melalui diskusi peserta didik mampu membedakan antara tahsis dan mukhossis dengan benar
3.3.2 Melalui tanya jawab peserta didik dapat Menganalisis ketentuan kaidah tahsis dan mukhossis
3.3.3 Melalui pendalaman peserta didik dapat mencontohkan tahsis dan mukhossis dengan benar
3.3.4 Melalui diskusi siswa dapat menjelaskan macam-macam tahsis dan mukhossis
4.3.1 Melalui simulasi siswa dapat contoh penerapan kaidah tahsis dan mukhossis dalam menentukan hukum
suatu kasus yang terjadi di masyarakat

1. Masalah Takhsis

a. Pengertian Takhsis
Menurut Khudari Bik dalam bukunya Ushul al-Fiqh, takhshish adalah penjelasan sebagian lafadh
„am bukan seluruhnya. Atau dengan kata lain, menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang
dicakup oleh lafadh „am dengan dalil.

b. Macam Takhsis

1) Mentakhshish ayat Al Qur’an dengan ayat Al Qur’an ‫َوامْ ُم َعوَّلَا ُت ًَ ََ َتتَّ ْط َن ِت َبهْ ُف ِس ِِ َّن زَ ََلزَ َة كُ ُرو ٍء‬

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.”

(QS. Al Baqarah (2) :228).

Ketentuan dalam ayat di atas berlaku umum, bagi mereka yang hamil atau tidak. Tapi ketentuan itu
dapat ditakhshish dengan QS. At-Thalaq(65) ayat 4 sebagai berikut:

‫َوُٱو ََل ُت ا ْل َأ ْح َما ِل َٱ َخوُ ُِ َّن َٱ ْن ًَ َض ْـ َن حَ ْموَُِ َّن‬

“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya.”

Dapat pula ditakhshish dengan surat Al Ahzab(33):49

‫َيَوا َٱَُُسّيَِّار اُحََِّّلوٍُُ َنَّنٱٓ ََمسٌُ َرواا ًحّاا َذاََ ِىجََ َكًَ ْلح ُ ُت امْ ُم ْؤ ِمٌَا ِت ُُ َّث َظوَّ ْل ُذ ُمو ُُ َّن ِم ْن كَ ْد ِل ٱَ ْن ثَ َم ُّسو ُُ َّن فَ َما مَُُ ْك ؿَوَ ْْ ِي َّن ِم ْن ِؿ َّد ٍة ثَ ْـ َخ ُّدوََنَا فَ َم ِخّ ُـو ُُ َّن‬

80 Fiqih – Kelas 12 Semester 2

“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman,

kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib
atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.”

Dengan demikian keumuman bagi setiap wanita yang dicerai harus beriddah tiga kali suci tidak
berlaku bagi wanita yang sedang hamil dan yang dicerai dalam keadaan belum pernah digauli.

2) Mentakhshish Al Qur’an dengan As Sunnah ‫َوام َّسا ِر ُق َوام َّسا ِركَ ُة فَا ْك َع ُـوا َٱًْ ِدَُّيُ َما َح َزا ًء ِت َما َن َس َحا‬

“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya “

(QS. Al Maidah (5) : 38

Dalam ayat di atas tidak disebutkan batasan nilai barang yang dicuri. Kemudian ayat di atas
ditakhshish oleh sabda Nabi SAW:

‫ رواٍ الداؿة‬. ‫َ َل كَ ْع َؽ ِِف َٱكَ َّل ِم ْن ُرتْؽِ ِدًْيَا ٍر‬

“Tidak ada hukuman potong tangan di dalam pencurian yang nilai barang yang dicurinya kurang
dari seperempat dinar”. (H.R. Al-Jama‟ah).

Dari ayat dan hadis di atas, jelaslah bahwa apabila nilai barang yang dicuri kurang dari seperempat
dinar, maka si pencuri tidak dijatuhi hukuman potong tangan.

3) Mentakhshish As Sunnah dengan Al Qur’an ‫مذفق‬ َ‫ًَ َخ َو َّضب‬ ‫َٱ ْح َد َث‬ ‫ّا َذا‬ ‫َٱ َح ِد ُُ ْك‬ ‫َضَ َل َة‬ ‫ًَ ْل َد ُل‬ ‫َ َل‬

ََ‫ؿو‬ . ‫َخت َّى‬ ‫اللُه‬

“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kamu bila ia berhadats sampai ia berwudhu”.

(Muttafaq „Alaihi).

Hadis di atas kemudian ditakhshish oleh firman Allah dalam QS. Al Maidah (5): 6,

‫ََ ِت ُدوا‬ ‫فَلَ ْم‬ ‫ام ًِّ َسا َء‬ ‫ُ ُت‬ ‫ََل َم ْس‬ ‫َٱ ْو‬ ِ‫امْلَائِط‬ ‫ِم َن‬ ‫ِمٌُُْ ْك‬ ‫َٱ َح ٌد‬ ‫َخا َء‬ ‫َٱ ْو‬ ‫َس َف ٍر‬ ‫ؿَ ََل‬ ‫َٱ ْو‬ ‫َم ْر ََض‬ ‫ُن ْي ُ ْت‬ ‫َوّا ْن‬ ‫ُنيْ ُ ْت ُحٌُ ًحا فَا َّظَِّ ُروا‬ ‫ََموّاا ًْءن‬
‫فَذَََ َّم ُموا َض ِـَ ًدا َظ َِّ ًحا‬

“dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali

dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih)”.

Keumuman hadis di atas tentang keharusan berwudhu bagi setiap orang yang akan melaksanakan
shalat, ditakhshish dengan tayammum bagi orang yang tidak mendapatkan air, sebagaimana firman
Allah di atas.

4) Mentakhshish As Sunnah dengan As Sunnah ََ‫ مذفق ؿو‬. ‫ِف ِْ َما َس َل ْت ام َّس َما ُء امْ ُـ ْْ ُش‬

“Pada tanaman yang disirami oleh air hujan, zakatnya sepersepuluh”.(Muttafaq Alaihi).

Keumuman hadis di atas tidak dibatasi dengan jumlah hasil panennya. Kemudian hadis itu ditaksis
oleh hadis lain yang berbunyi:

ََ‫ مذفق ؿو‬. ‫مَُْ َس ِف ِْ َما ُد ْو َن ََ ْخ َس ِة َٱ ْو ُس ٍق َض َدكَ ٌة‬

“Tidak ada kewajiban zakat pada taanaman yang banyaknya kurang dari 5 watsaq (1000
kilogram)‟. (Muttafaq Alaihi).

Dari kedua hadis di atas jelaslah bahwa tidak semua tanaman wajib dizakati, kecuali yang sudah
mencapai lima watsaq.

5) Mentakhsish Al Qur’an dengan Ijma’

Fiqih – Kelas 12 Semester 2 81

‫َيا َٱُُّيَا اََِّّلٍ َن ٱٓ َمٌُوا ّا َذا هُو ِد َي ِنو َّط ََل ِة ِم ْن ًَ ْو ِم امْ ُج ُم َـ ِة فَا ْس َـ ْوا ّا َلى ِذ ْن ِر اّ َّلِِل َو َذ ُروا امْ َح َْ َؽ‬

“apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumuah (62) : 9)

Menurut ayat tersebut, kewajiban shalat Jum‟at berlaku bagi semua orang. Tapi para ulama telah
sepakat (ijma‟) bahwa kaum wanita, budak dan anak-anak tidak wajib shalat Jum‟at.

6) Mentakhshish Al Qur’an dengan Qiyas ‫ام َّزاِه ََ ُة َوام َّزا ِِن فَا ْخ ُِِلوا ُك َّل َوا ِح ٍد ِم ْْنُ َما ِمائَ َة َخ ِْ َل ٍة‬

“ perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, “

Keumuman ayat di atas ditakhshish oleh QS. An Nisa‟ (4) : 25

‫فَ ّا َذا ُٱ ْح ِط َّن فَ ّا ْن َٱثَ ْ َي ِت َفا ِح َش ٍة فَ َـوَ ْْ ِي َّن ِه ْط ُف َما ؿَ ََل امْ ُم ْح َطيَا ِت‬

“Apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan

yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang
bersuami..”

Ayat di atas menerangkan secara khusus, bahwa hukuman dera bagi pezina budak perempuan
adalah saparuh dari dera yang berlaku bagi orang merdeka yang berzina. Kemudian hukuman dera
bagi budak laki-laki di-qiyaskan dengan hukuman bagi budak perempuan, yaitu lima puluh kali
dera.

7) Mentakhshish dengan pendapat sahabat
Jumhur ulama berpendapat bahwa takhshish hadis dengan pendapat sahabat tidak diterima.
Sedangkan menurut Hanafiyah dan Hanbaliyah dapat diterima jika sahabat itu yang meriwayatkan
hadis yang ditakhshishnya.

Misalnya:

َِّ َِّ‫ُٱ َح ِّرْكُِ ْم ِل َأ َّن امي‬ ‫مَ ْو ُن ْي ُت َٱ َن مَ ْم‬ ‫ؿَ ِو ًَّا َر ِِ َض اّ َّلُِل َؾ ْي َُ َح َّر َق كَ ْو ًما فَ َدوَ َف ا ْج َن َؾحَّا ٍس فَلَا َل‬ ‫ِؾ ْك ِرَم َة َٱ َّن‬ ‫َؾ ْن‬ ‫َؾ ْن َٱًُّو َب‬
ٍُ ‫تَ َّد َل ِدًيَ َُ فَا ْك ُذوُو‬ ‫ؿَوَ َْ َِ َو َسلَّ َم َم ْن‬ ‫ََل ثُ َـ ِّذتُوا ِت َـ َذا ِب اّ َّلِِل َومَلَذَوْتُهُ ْم مَََك كَا َل اميَِّ ُِّ َض ََّل اّ َّلُِل‬ ‫َو َسلَّ َم كَا َل‬ َِ َْ َ‫ؿَو‬ ‫َض ََّل اّ َّلُِل‬
ََ‫ مذفق ؿو‬. ٍُ ‫َم ْن تَ َّد َل ِدًْيَ َُ فَا ْكذُوُ ْو‬

Dari Ayyub dari Ikrimah bahwa „ali r.a membakar suatu kaum lalu berita itu sampai
kepada Ibnu Abbas maka dia berkata:” seandainya aku ada, tentu aku tidak akan membakar

mereka karena Nabi SAW telah bersabda: Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah

(dengan api), dan aku hanya akan membunuh sebagaimana Nabi telah bersabda Siapa yang
mengganti agamanya maka bunuhlah dia”

“Menurut hadis tersebut, baik laki-laki maupun perempuan yang murtad hukumnya
dibunuh. Tetapi Ibnu Abbas (perawi hadis tersebut) berpendapat bahwa perempuan yang murtad
tidak dibunuh, hanya dipenjarakan saja.

Pendapat di atas ditolak oleh Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa perempuan yang
murtad juga harus dibunuh sesuai dengan ketentuan umum hadis tersebut. Pendapat sahabat yang
mentakhshish keumuman hadis di atas tidak dibenarkan karena yang menjadi pegangan kita, kata
Jumhur Ulama, adalah lafadh-lafadh umum yang datang dari Nabi. Di samping itu, dimungkinkan
bahwa sahabat tersebut beramal berdasarkan dugaan sendiri.

82 Fiqih – Kelas 12 Semester 2

Kompetensi inti
K-1 Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya
K-2 Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (toleransi), gotong royong,

santun, percaya diri,dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam
jangkauan pergaulan dan keberadaannya
K-3 Memahami pengetahuan (faktual,konseptual dan prosedural)berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu
pengetahuan, tehnologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata
K-4 Mengolah,menyaji dan menalar dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai,
memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar dan
mengarang sesuai dengan yang di pelajari,di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut
pandang/teori
Kompetensi Dasar
3.4.1 Menganalisis ketentuan kaidah mujmal dan mubayyan
4.4.1 Menyajikan hasil analisis contoh penerapan kaidah mujmal dan mubayyan dalam menentukan hukum
suatu kasus yang terjadi di masyarakat
Tujuan Pembelajaran
3.4.1 Melalui diskusi peserta didik mampu membedakan antara mujmal dan mubayyan dengan benar
3.4.2 Melalui tanya jawab peserta didik dapat Menganalisis ketentuan kaidah mujmal dan mubayyan
3.4.3 Melalui pendalaman peserta didik dapat mencontohkan mujmal dan mubayyan dengan benar
3.4.4 Melalui diskusi siswa dapat menjelaskan macam-macam mujmal dan mubayyan
4.4.1 Melalui simulasi siswa dapat contoh penerapan kaidah mujmal dan mubayyan dalam menentukan hukum
suatu kasus yang terjadi di masyarakat

PETA KONSEP

MUJMAL/MUBAYYAN LAFADZ MUJMAL

LAFADZ
MUBAYYAN
KLASIFIKASI
MUBAYYAN

Fiqih – Kelas 12 Semester 2 83

1. Pengertian dan Penerapan Kaidah Mujmal dan
Mubayyan

a. Mujmal

Secara bahasa mujmal berarti samar-samar dan beragam/majemuk. Mujmal ialah suatu lafal yang

belum jelas, yang tidak dapat menunjukkan arti sebenarnya apabila tidak ada keterangan lain yang

menjelaskan. Dapat juga dimengerti sebagai lafadh yang global, masih membutuhkan penjelasan

(bayan) atau penafsiran (tafsir). Seperti pada QS. An Nur (24) : 56, yang masih memerlukan

penjelasan tentang tatacara melaksanakanya. ‫َوَٱ ِكيمُوا ام َّط ََل َة َوٱٓثُوا ام َّزََك َة َوَٱ ِظَ ُـوا ام َّر ُسو َل مَ َـوَُُّ ْك حُ ْرحَ ُمو َن‬

“ dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi
rahmat.”
Kata “mendirikan shalat” dalam ayat di atas masih mujmal/belum jelas karena tidak diketahui tata
caranya, maka butuh dalil lainnya untuk memahami tata caranya. Dan Kata ”menunaikan zakat” dalam

ayat di atas masih mujmal karena belum diketahui ukurannya sehingga untuk memahaminya masih

diperlukan dalil lainnya.

b. Mubayyan
1) Pengertian Mubayyan

Mubayyan artinya yang ditampakkan dan yang dijelaskan, secara istilah berarti lafadh yang dapat
dipahami maknanya berdasar asal awalnya atau setelah dijelaskan oleh lainnya. Al Bayyan artinya
ialah penjelasan, di sini maksudnya ialah menjelaskan lafal atau susunan yang mujmal.

2) Klasifikasi Mubayyan

a) Mubayyan Muttashil, adalah mujmal yang disertai penjelasan yang terdapat dalam satu

nash. Misalnya dalam QS. An Nisa‟ (4) : 176,

‫ا َْلو ُأُهُْثََُوَ ْ ٍَِيِرًُُُثَ َحا ِّ ُّايْناّمَّلَُِْمل‬ ‫َو َ ُل ُٱ ْخ ٌت فَوََِا ِه ْط ُف َما حَ َر َك‬ ‫ا ْم ُر ٌؤ َُ َْ َل مَ ُْ َس َ ُل َو َلٌد‬ ‫مٌٍَََُُُْكْكس ْخَنَٱ ْفْمَُذنَِواهثََ ََِوضمَلوٌُّدوكُافَِّالَوْانّا َّلَُِّّلََلُِكلهَِجَخًُاُْف ِذاِّْزكَيَُُدََْكَْ ِِْيشِ ٍءففَوَاؿَُِمِْوَمليَاٌمََاكم ََثُِّلوُثَ ّاا ِِنن‬
ِّ‫ِر َخا ًَل َوِو َسا ًء فَ ِول َّذ َن ِر ِمثْ ُل َحغ‬ ‫ِم َّما حَ َر َك َوّا ْن ََكهُوا ّا ْخ َو ًة‬

“ mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah) Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak
dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari
harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka
bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka
(ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang
saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan
(hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”

Lafazh “kalalah” adalah mujmal yang kemudian dijelaskan dalam satu nash; “Mereka meminta
fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang
kalalah, (yaitu) jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai

saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang

ditinggalkannya dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan),
jika ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya

dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Jika mereka (ahli waris itu terdiri

dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak
bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu
tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” Kalalah adalah orang yang meninggal

84 Fiqih – Kelas 12 Semester 2

dunia yang tidak mempunyai anak. Makna inilah yang diambil oleh Umar bin Khtattab, yang
meyatakan: “Kalalah adalah orang yang tidak mempunyai anak.”

b) Mubayyan Munfashil, adalah bentuk mujmal yang disertai penjelasan yang tidak terdapat
dalam satu nash. Dengan kata lain, penjelasan tersebut terpisah dari dalil mujmal.

c. Macam-macam Mubayyan
1) Bayan Perkataan

Penjelasan dengan perkataan (bayan bil qaul),

c‫َمَْننا‬o‫ََُكفَك‬nٍَ‫ج‬tِ‫ّن‬oْ‫ََحْم‬h‫فَ َمم‬nْ‫ ْانم‬y‫ََِّىمُل‬aِ‫ّا َِحلم‬p‫ ََمل‬aِ‫ِيرِة‬dَ‫ْمَُذ‬a‫مٌْْلُدـ‬Qَ‫اِمِْمَِِب‬S‫خََّفَََؽك‬Aُ‫ًََثَْشحٌَةمو‬lَْ‫ىن‬Bْ ‫َمََّتؾ‬a‫فََح‬q‫َل‬a‫ُْكْْت‬rٌُُْْ‫ث‬aِ‫ِسم‬hَ‫َذُءْـ(ا ُوَْتٱ‬2‫واَفَر)ّاَُحر‬:‫ٍذبُلام‬1َ ‫ّاِِو‬9‫ةُاَُ ْست‬6ٍ‫ ِلَــوَُل‬:َ‫َاٱَِموْْٱٌَُِْثسُُُُُِّمَخْلك ُْواَََمَحااَِمْرًسًَِِحِضمَِّاضجَن َٱي َْواواامْمْمَُِِْتَـمِْْدمََْ ِسرَٱَةيًِجذِّفََِّلدَِمِىلاْمْنِفَم َّاحمََْْْنمنرا َِمُٱيَرِٱِجَْحِْواسدِثََُِِّلفَْصوفَِاُُِطفْتاََّْادَّلًفَََُِم ٌَلمةازَ َََِوماالْْؿْزَنسوَِةُخَمَُِْٱوَّضياََاََ َاٱٍَمسٍمَّنِِِمٱَافَّْوَّلناَِمْلاَمَْحضََِ َّشْدِجدكَِدًٍَِةيوُدَٱََسْواوْمَْح‬

” dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. jika kamu terkepung (terhalang
oleh musuh atau karena sakit), Maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan
kamu mencukur kepalamu sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. jika ada di
antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), Maka wajiblah
atasnya berfid-yah, Yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. apabila kamu telah
(merasa) aman, Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan
haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. tetapi jika ia tidak menemukan
(binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan
tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna.
demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada
(di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). dan bertakwalah
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.”
Ayat tersebut merupakan bayan (penjelasan) terhadap rangkaian kalimat sebelumnya mengenai
kewajiban mengganti korban (menyembelih binatang) bagi orang-orang yang tidak menemukan
binatang sembelihan atau tidak mampu.

2) Bayan Perbuatan

Penjelasan dengan perbuatan (bayan fi‟li) Contohnya Rasulullah melakukan perbuatan-
perbuatan yang menjelaskan cara-cara berwudhu yakni: memulai dengan yang kanan, batas-
batas yang dibasuh, Rasulullah mempraktekkan cara-cara haji, shalat dan sebagainya.

3) Bayan Isyarat

Penjelasan dengan perkataan dan perbuatan sekaligus Firman Allah dalam QS Al-Baqarah (2):
43: “…dan dirikanlah shalat…” Perintah mendirikan shalat tersebut masih kalimat global
(mujmal) yang masih butuh penjelasan bagaimana tata cara shalat yang dimaksud, maka untuk
menjelaskannya Rasulullah naik keatas bukit kemudian melakukan shalat hingga sempurna, lalu
bersabda: “Shalatlah kalian, sebagaimana kalian telah melihat aku shalat” (HR Bukhari).

4) Bayan dengan Tulisan

Penjelasan dengan tulisan Penjelasan tentang ukuran zakat, yang dilakukan oleh Rasulullah
dengan cara menulis surat (Rasulullah mendiktekannya, kemudian ditulis oleh para Sahabat) dan
dikirimkan kepada petugas zakat beliau.

5) Bayan dengan Isyarat

Penjelasan dengan isyarat contohnya seperti penjelasan tentang hitungan hari dalam satu bulan,
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. dengan cara isyarat, yaitu beliau mengangkat kesepuluh
jarinya dua kali dan sembilan jari pada yang ketiga kalinya, yang maksudnya dua puluh sembilan
hari.

6) Bayan dengan meninggalkan perbuatan

Fiqih – Kelas 12 Semester 2 85

Penjelasan dengan meninggalkan perbuatan contohnya seperti Qunut pada shalat. Qunut pernah
dilakukan oleh Rasulullah dalam waktu yang relatif lama, yaitu kurang lebih satu bulan
kemudian beliau meninggalkannya.
7) Bayan dengan taqrir/tidak melarang/diam
Penjelasan dengan diam (taqrir). Yaitu ketika Rasulullah melihat suatu kejadian, atau Rasulullah
mendengar suatu penuturan kejadian tetapi Rasulullah mendiamkannya (tidak mengomentari atau
memberi isyarat melarang), itu artinya Rasulullah tidak melarangnya. Kalau Rasulullah diam
tidak menjawab suatu pertanyaan, itu artinya Rasulullah masih menunggu turunnya wahyu untuk
menjawabnya.

Uji Kompetensi

Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan baik dan benar !
1. Jelaskan tentang pengertian tahsis
2. Sebutkan macam-macam tahsis
3. Jelaskan tentang perbedaan antara Mujmal dan Mubayyan
4. Sebutkan macam-macam bayan
5. Contohkan tentang bayan fi‟li /bayan dengan perbuatan
6. Dalam sebuah hadist Rosululloh bersabda ”semua tanaman yang disirami menggunakan air hujan itu

wajib di keluarkan zakatnya 10%,tapi pada hadist yang lain rosululloh SAW juga bersabda”bagi
tanaman yang kurang dari 5 wasaq maka tidak wajib zakat,hal tersebut termasuk kategori contoh tahsis
apa?
7. Perhatikan ayat di bawah ini

ٌ‫فَ َم ْن مَ ْم يَ ِج ْد فَ ِط ََا ُم زَ ََلزَ ِة َٱ َّيا ٍم ِِف امْ َح ّ ِج َو َس ْح َـ ٍة ّا َذا َر َح ْـ ُ ْت ِث ْْ َل َؾ َْ َش ٌة ََك ِم َل‬,jelaskan kandungan arti dari ayat

tersebut
8. Jelaskan tentang pengertian bayan taqrir
9. Contohkan ayat Al Qur‟an yang menjelaskan tentang tahsis Al qur‟an dengan Qiyas
10. Perhatikan ayat di bawah ini

‫َيا َٱُُّيَا اََِّّلٍ َن ٱٓ َمٌُوا ّا َذا هُو ِد َي ِنو َّط ََل ِة ِم ْن ًَ ْو ِم امْ ُج ُم َـ ِة فَا ْس َـ ْوا ّا َلى ِذ ْن ِر اّ َّلِِل َو َذ ُروا امْ َح َْ َؽ‬

Jelaskan kandunganarti ayat diatas dan termasuk kategori tahsis apa

86 Fiqih – Kelas 12 Semester 2

Kompetensi inti

K-1 Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya

K-2 Menghargai dan menghayati perilaku jujur,disiplin,tanggungjawab,peduli (toleransi),gotong

royong,santun,percaya diri,dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam

jangkauan pergaulan dan keberadaannya

K-3 Memahami pengetahuan (faktual,konseptual dan prosedural)berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu

pengetahuan, tehnologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata

K-4 Mengolah,menyaji dan menalar dalam ranah konkret

(menggunakan,mengurai,merangkai,memodifikasi,dan membuat)dan ranah abstrak

(menulis,membaca,menghitung,menggambar dan mengarang sesuai dengan yang di pelajari,di sekolah

dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori

Kompetensi Dasar

3.5.1 Menganalisis ketentuan kaidah Muradif dan Musytarak

4.5.1 Menyajikan hasil analisis contoh penerapan kaidah Muradif dan Musytarak dalam menentukan hukum

suatu kasus yang terjadi di masyarakat

Tujuan Pembelajaran

3.5.1 Melalui diskusi peserta didik mampu membedakan antara Muradif dan Musytarak dengan benar

3.5.2 Melalui tanya jawab peserta didik dapat Menganalisis ketentuan kaidah Muradif dan Musytarak

3.5.3 Melalui pendalaman peserta didik dapat mencontohkan Muradif dan Musytarak dengan benar

3.5.4 Melalui diskusi siswa dapat menjelaskan macam-macam Muradif dan Musytarak

4.5.1 Melalui simulasi siswa dapat contoh penerapan kaidah Muradif dan Musytarak dalam menentukan hukum

suatu kasus yang terjadi di masyarakat

Pengertian dan Penerapan Muradif Dan Musytarak

A. Al- Muradif (‫(المرادف‬
1. Pengertian Muradif

Dalam bahasa Muradif memiliki arti membonceng, ikut serta atau kata yang searti. Dan secara
istilah Muradif adalah :
Artinya “Muaradif ialah lafal yang bentuk lafalnya banyak. Tetapi artinya sama”.[17]

Serta menurut ahli ushul fiqh mengartikan Muradif adalah :
Artinya “Beberapa lafad terpakai untuk satu makna”

Beberapa contoh Murodif sebagai beriku :
a. "‫ "الأسد‬,"‫"الليث‬: singa
b. ,"‫ "المنزل‬,"‫"البيت‬dan, "‫"الدار‬: rumah

Dari keterangan tersebut, Muradif adalah kata yang mana bentuk kata(lafal) itu banyak akan tetapi
memiliki makna yang sama atau bisa disebut dengan sinonim.

2. Hukum Muradif

Bersangkutan dengan lafalMuradif, ada beberapa persoalan yang muncul karena lafal
Muradif, dalam persoalan ini ulama menanyakan bagaimana hukumnya. Ada sebuah kasus
beda lafal akan tetapi memiliki makna yang sama, apakah boleh diganti ?
misalnya ,"‫"الليث‬diganti "‫ "الأسد‬.

Fiqih – Kelas 12 Semester 2 87

Secara umum para Ulama‟ berpendapat bahwa tidak boleh diganti lafal Muradifnya karena Al-Qur‟an
bersifat Ta‟abudi yang mana secara keseluruhan Al-Qur‟an dan lafal-lafalnya mengandung mukjizat.
Selain mempersoalkan tentang lafal Muradif para ulama juga mempersoalkan dalam beberapa hal,
semisal dalam masalah dzikir. Dalam hal ini ada dua syarat yang harus dipenuhi dalam permasalahan
dzikir, menurut golongan yang membenarkan Muradif, sebagai berikut :

a. Apabila tidak ada halangan Agama baik secara jelas ataupun samar, jadi lafal
Muradifnya diperbolehkan

b. Apabila lafal Muradifnya berasal dari bahasa yang sama, semisal sama-sama menggunakan
bahasa Arab. Jadi diperbolehkan juga menggunakan lafal Muradifnya
Dalam hal ini Imam Abu Hanifah dan sebagian ulama seperti Imam Malik dan Imam Syafi‟i juga
berpendapat tentang lafal Muradif
a). Imam Abu Hanifah, membolehkan menempatkan lafal Muradif di tempat lainya, akan tetapi
apabila tidak terdapat halangan secara syara‟ dan masih dalam bahasa yang sama, misal :

Allahu akbar )‫(الله اكبر‬, lafal tersebut bisa diganti dengan beberapa lafal yang mempunyai arti
sama seperti Allahu A‟dham )‫(الله الأعظم‬, Allahul A‟la )‫(الله لأعلى‬atau Allahu Ajal )‫(الله الاجل‬.

b). Menurut pendapat ulama‟ lain seperti Imam Syafi‟i dan Imam Maliki menempatkan
lafal Muradif pada lafal lainya tidak boleh. Misal tidak diperbolehkan
membaca Takbirselain menggunakan lafal )‫(الله اكبر‬.

B. Al-Musytarak )‫(المشترك‬

1. Pengertian Musyatarak

Musytarak secara bahasa berarti berserikat, berkumpul. Dalam ushul fiqh yang dimaksud
dengan Musytarak adalah :

‫نَوَّ َفغُ امْ َم ْو ُض ْو ُع ِم َح ِل ِْ َلذَ ْ ِي ُم ْح َخ ِو َفذَ ْ ِي َا ْواَ ْن َث‬

“lafadz yang dibentuk untuk dua arti atau lebih yang berbeda-beda”[20]

Jadi, yang dimaksud dengan lafal yang Musytarak adalah suatu lafadz yang mempunyai dua makna
ataupun lebih dan dapat menunjukkan makna yang berbeda-beda. Misal, seperti lafadz al „ain yang
artinya secara bahasa bisa berkmakna melihat, mata air atu mata-mata, sama halnya dengan
lafadz al quru‟ yang juga memiliki makna lebih dari satu ada yang bermakna suci ataupun haid.

2. Sebab-sebab Timbulnya Lafadz Musyatarak

a. Dimana ada satu lafal yang digunakan dalam suatu bangsa akan tetapi muncul makna yang
berbeda. Dan lafal tersebut tersebar hingga sampai kepada kita sudah mempunyai arti yang
berbeda-beda tanpa menyaksikan sebab terjadinya makna yang berbeda tersebut.

b. Sebab lainya yaitu lebih diketahui secara umum arti majaz daripada makna yang sebenaryan.
Seperti halnya lafal “sayyarah” makna sebenarnya adalah suatu yang merayap sedang lafal
majaz nya adalah mobil.

c. Lafal Musytarak diciptakan bertujuan untuk satu makna kemudian diambil dan diartikan
menurut syara‟ misal lafal sholat yang bermakna do‟a lalu diganti dengan
pengertian syara‟ menjadi perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.

Apabila lafadz Musytarak didapati dalam nash syara‟ ada beberapa makna secara bahasa,
diwajibkan untuk berijtihad untuk memutuskan makna yang dimaksud.
Disebabkan syar‟i hanya menghendakai lafal untuk satu makna. Untuk mujtahid diharuskan
mendapatkan petunjuk dan dalil untuk menentukan makna lafal dalam nash tersebut.

Lafal al qur‟u dalam Al-Qur‟an :

)228 : ‫َوامْ ُم َعوَّ َلا ُت ًَ ََ َتتَّ ْط َن ِتبَهْ ُف ِس ِِ َّن زَ ََلزَ َة ُك ُر ْو ِء لامحلرة‬

88 Fiqih – Kelas 12 Semester 2

“wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali qurru”(QS :
Al-Baqarah : 228) al qur‟u Musyartarak dalam lafal ini haid dan suci. Al Musykil dalam
pembahasanya menjelaskan bahwa alasan yang digunakan sebagai petunjuk oleh sebagain
mujtahid bahawa yang dikehendaki itu adalah suci dan sebagian lainya bahwa yang
dikehendaki adalah haid.

Lafal al Yad dalam Al-Qur‟an :

)13 : ‫َوام َّسا ِر ُق َوام َّسا ِركَ ُة فَ ْل َع ُـ ْوا َٱً ِدَُّ ُي َما لالما ئدة‬

“laki-laki yang mencuri dan wanita yang mencuri potonglah tangan keduanya” (QS Al-
Maidah : 38)

Al Yad (tangan keduanya), Musyataraknya antara hasta (ujung jari sampai pundak) antara
telapak tangan dengan lengan bawah (ujung jari samapi siku) antara telapak tangan
(ujung jari sampai pergelangan tangan) dan antara tangan kanan dan kiri. Ini yang
terakhri dari ujung jari sampai pergelangan tangan kanan.[23]

3. Hukum Lafal Musytarak

Berkaitan dengan hokum lafal Musytarak disini adalah perihal boleh atau tidaknya memakai lafal
Musyatarak. Dalam hal ini masih ada beda pendapat antar ulama‟, ada yang memperbolehkan ada

juga yang tidak memperbolehkan.

Pendapat jumhur ulama‟.

‫ِا ْسخِ ْـ َما ُل المُ ْش ََ َت ِك ِِف َم ْـيَ َْ َِ يَ ُج ْو ُز‬

“menggunakan lafadz musyatarak dalam dua makna atau beberapa makna adalah boleh”[24]

Dalam memutuskan hukum lafadz Musytarak harus melihat beberapa segi mulai dari segi
makna musytarak, qarinah musyatarak, dan berqorinah.

a. Makna Musyatarak

Jika lafal Musytarak mempunyai dua makna baik secara lughawi maupun secara syar‟i, maka
yang harus dipilih adalah makna syar‟i, misal lafal sholat dan talaq, lafal sholat secara bahasa
adalah do‟a sedangkan secara syar‟i perbuatan yang diawali takbir dan diakhiri salam, dan
“talaq” secara bahasa adalah lepas dan secara syar‟i adalah perceraian (melepas ikatan

pernikahan).

b. Qarinah Musyatarak

Jika dalam satu nash syar‟i terkumpul lebih dari satu makna maka harus memilih satu makna
saja dari beberapa makna tersebut. Karena syar‟i tidak menghendakai semua makna tersebut.
Guna menentukan makna tersebut harus dicari qarinah yang menerangkan makna yang sesuai,
sesuai dengan apa yang dimaksud dalam nash.

c. Musyatarak yang tidak mempunyai qarinah

Dalam hal ini Musytarak yang tidak mempunyai qarinah banyak dipermasalahan oleh ulama‟
dan banyak terjadi perselisihan dalam menentukan arti

1) Madzab Hanafi berpendapat tidak memakai secara keseluruhan lafal Musyatarak.
Seumpama yang dimaksud itu arti keseluruhan yang banyak, itu bukan lagi lafal
musyatarak dan bukan juga lafal majazi akan tetapi lebih condong ke lafadz amm.

2) Berbeda halnya dengan madzab Syafi‟i dan mu‟tazilah, dalam hal lafal Musyatarak yang
tidak mempunyai qarinah yang menerangkan arti yang dikehendaki, maka
lafal musytarak dapat diambil semuanya, dengan syarat arti-arti tersebut dapat
digabungkan. Misal :

Fiqih – Kelas 12 Semester 2 89

ِِ ِ َّ‫ّا َّن اللَه َو َموَ ِئ َك ُة ًُ َطوُّ ْو َن ؿَ ََل امي‬

“Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaiktNya bershalawat untuk nabi” (QS al Ahzab : 56)

Dalam ayat ini ada lafal “‫( ”يُ َصلُّ ْو َن‬bersholawat) lafal ini termasuk Musyatarak yang mana
dapar diartikan sebagai memberikan rahmat dan memberikan do‟a. Dari arti lafal tersebut
ditemukan qarinah maka kedua arti dari lafal tersebut bisa digabungkan. Arti memberi
rahmat paling pantas bagi Allah Swt dam yang memberi do‟a pantas bagi malaikat.

Uji Kompetensi

Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan benar ‫ِا ْسخِ ْـ َما ُل‬
1. Jelaskan tentang pengertian lafadz muradif
2. Contohkan lafadz-lafadz yang muradif dalam maknanya
3. Jelaskan tentang hokum lafadz yang muradif
4. Jelaskan tentang pengertian lafadz yang musytarak
5. Jelaskan tentang sebab-sebab yang timbul pada lafadz musytararok
6. Jelaskan hokum yang berkaitan dengan lafadz yang musytarok
7. Jelaskan tentang perbedaan makna musytarok dengan Qorinah Musytarok

8. Jelaskan makna yang terkandung atau tersirat dalam perkataan sebagian ulama‟

‫المُ ْش َََت ِك ِِف َم ْـيَ َْ َِ يَ ُج ْو ُز‬

9. Jelaskan tentang pendapat para ulama‟ madzhab berkaitan dengan makna mustarok tanpa ada

qorinah

10. Jelaskan tentang maksud ayat di ini ِِ ِ َّ‫ّا َّن اللَه َو َموَ ِئ َك ُة ًُ َطوُّ ْو َن ؿَ ََل امي‬

90 Fiqih – Kelas 12 Semester 2

Kompetensi inti

K-1 Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya

K-2 Menghargai dan menghayati perilaku jujur,disiplin,tanggungjawab,peduli (toleransi),gotong

royong,santun,percaya diri,dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam

jangkauan pergaulan dan keberadaannya

K-3 Memahami pengetahuan (faktual,konseptual dan prosedural)berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu

pengetahuan, tehnologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata

K-4 Mengolah,menyaji dan menalar dalam ranah konkret

(menggunakan,mengurai,merangkai,memodifikasi,dan membuat)dan ranah abstrak

(menulis,membaca,menghitung,menggambar dan mengarang sesuai dengan yang di pelajari,di sekolah

dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori

Kompetensi Dasar

3.6.1 Menganalisis ketentuan kaidah Mutlak dan Muqoyyad

4.6.1 Menyajikan hasil analisis contoh penerapan kaidah Mutlak dan Muqoyyad dalam menentukan hukum

suatu kasus yang terjadi di masyarakat

Tujuan Pembelajaran

3.6.1 Melalui diskusi peserta didik mampu membedakan antara Mutlak dan Muqoyyad dengan benar

3.6.2 Melalui tanya jawab peserta didik dapat Menganalisis ketentuan kaidah Mutlak dan Muqoyyad

3.6.3 Melalui pendalaman peserta didik dapat mencontohkan Mutlak dan Muqoyyad dengan benar

3.6.4 Melalui diskusi siswa dapat menjelaskan macam-macam Mutlak dan Muqoyyad

4.6.1 Melalui simulasi siswa dapat contoh penerapan kaidah Mutlak dan Muqoyyad dalam menentukan hukum

suatu kasus yang terjadi di masyarakat

Pengertian dan Penerapan Lafadz Mutlak dan Muqoyyad

A. Muthlaq dan Muqoyyad
Muthlaq adalah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa pembatasan yang dapat
mempersempit keluasan artinya.Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan kata muthlaq dengan ta‟rif :

‫َما َد َّل ؿَ ََل فَ ْرٍد كَ ْي ِر ُم َلَِّ ٍد مَ ْف ًؼا ِتبَ ِّي كَ ِْ ٍد‬

“lafadz yang menunjukkan suatu satuan tanpa dibatasi harfiah dengan suatu ketentuan”
Seperti lafadz “Raqabah” yang terdapat pada firman Alloh SWT:

            

“Memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. (QS Al Mujadalah 3)
Lafadz Raqabah (budak)merupakan lafadz mutlaq karena tidak dibatasi dengan sifat dan keadaan
lainnya.
Sedangkan Muqoyyad adalah suatu lafadz yang menunjukkan hakikat sesuatu dengan di batasi oleh
sifat,keadaan atau jumlah seperti firman Alloh SWT

                        

Fiqih – Kelas 12 Semester 2 91

“dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah” (QS An Nisa‟ 92)

Lafadz Raqabah diatas adalah lafadz Muqoyyad karena di batasi harus memerdekakan budak yang
beriman
B. Macam dan hokum Mutlaq dan Muqoyyad
Mutlaq dan Muqoyyad memliki berbagai macam bentuk antara lain sebagai berikut :
1). Apabila hokum dan sebabnya sama,para ulama‟ sepakat wajib mengamalkan muthlaq kepada

muqoyyad,seperti contoh firman Alloh SWT :

                      

“diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah[394], daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah” QS Al-Maidah 3
Darah pada surat Al-Maidah diatas disebutkan dengan lafadz yang Muthlaq,tanpa di jelaskan
sifat-sifat darah itu,kemudian di sutrat Al an‟am:145 Alloh menerangkan bahwadarah yang
haram adalah darah yang mengalir

                    
“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir QS Al An‟am 145
2). Hukum dan sebabnya berbeda,maka para ulama‟ sepakat wajib memberlakukan masing-
masing,muthlak dengan kemutlaqkannya,dan Muqoyyad dengan kemuqoyyadannya.
3). Hukum berbeda sedangkan sebabnya sama,seperti hokum wudhu dan Tayamum,sebabnya
sama yaitu hadast
4). Hukum sama sedang sebabnya berbeda,pada masalah ini ulama‟ berselisih pendapat ada yang
mutlaq dibawa ke Muqoyyad da nada yang berpendapat Muqoyyad di bawa ke Mutlaq.

Uji Kompetensi

Jawablah pertanyan-pertanyaan di bawah ini dengan baik dan benar !

1. Jelaskan tentang perbedaan lafad Muthlaq dan Muqoyyad
2. Contohkan tentang lafadz yang mutlak yang terdapat dalam Al qur‟an
3. Jelaskan tentang macam-macam hokum yang ada pada lafadz mutlak dan Muqoyyad
4. Bagaimanakah pengertian lafadz yang mutlak kalau menurut Abdul Wahab Khalaf
5. Jelaskan pengertian ayat Al qur‟an di bawah ini

                   .6

92 Fiqih – Kelas 12 Semester 2

Kompetensi inti

K-1 Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya

K-2 Menghargai dan menghayati perilaku jujur,disiplin,tanggungjawab,peduli (toleransi),gotong

royong,santun,percaya diri,dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam

jangkauan pergaulan dan keberadaannya

K-3 Memahami pengetahuan (faktual,konseptual dan prosedural)berdasarkan rasa ingin tahunya tentang

ilmu pengetahuan, tehnologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata

K-4 Mengolah,menyaji dan menalar dalam ranah konkret

(menggunakan,mengurai,merangkai,memodifikasi,dan membuat)dan ranah abstrak

(menulis,membaca,menghitung,menggambar dan mengarang sesuai dengan yang di pelajari,di sekolah

dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori

Kompetensi Dasar

3.7.1 Menganalisis ketentuan lafadz Dhohir dan Takwil

4.7.1 Menyajikan hasil analisis contoh penerapan kaidah lafadz Dhohir dan Takwil dalam menentukan hukum

suatu kasus yang terjadi di masyarakat

Tujuan Pembelajaran

3.7.1 Melalui diskusi peserta didik mampu membedakan antara lafadz Dhohir dan Takwil dengan benar

3.7.2 Melalui tanya jawab peserta didik dapat Menganalisis ketentuan lafadz Dhohir dan Takwil

3.7.3 Melalui pendalaman peserta didik dapat mencontohkan lafadz Dhohir dan Takwil dengan benar

3.7.4 Melalui diskusi siswa dapat menjelaskan macam-macam lafadz Dhohir dan Takwil

4.7.1 Melalui simulasi siswa dapat contoh penerapan kaidah lafadz Dhohir dan Takwil dalam menentukan

hukum suatu kasus yang terjadi di masyarakat

9. Pengertian Dhahir dan Ta’wil

A. DZAHIR
Dzahir dalam sudut arti etimologi dapat diartikan dengan „‟jelas, tampak ,terang, . sedangkan
secara terminologi di artikan sebagai berikut :

Dalam istilah ushul, Dzahir adalah lafaz yang menunjukkan makna dengan petunjuk yang kuat, ada
kemungkinan diarahkan ke makna yang lain.

Prof. Dr. Wahbah zuhaili dalam kitabnya Ushul fiqhi al-Islami mendefinisikan dzahir sebagai
berikut :

‫امؼاُرُو كل مفغ او كلام ػِرالمـًن المراد تَ نوسامؽ تطلخَ من كير ثوكف ؿَل كر ًية خارحِة او تامل‬
‫سؤٱ َكن مسوكا نومـن امراد ام َل‬

Artinya : Dzahir adalah setiap lafal atau ucapan yang telah jelas maksudnyabagi orang yang
mendengarnya tanpa tergantung pada indikator lain ataupun angan-angan, baik mengantarkan
pada makna yang di maksud maupun tidak

Contoh-contoh Dzahir

Surat al-Dzariyat : 47 dan al-Fath : 10

‫ وامسماء تيُْنا تبًَٔد‬.......‫ًد الله فوق ٔٱًد ُّيم‬

Pada ayat tersebut di temukan lafadz ‫ أيد‬yang memiliki dua arti yaitu : „‟tangan dan kekuasaan‟‟.
Tetapi lafadz ini menurut arti dzahirnya adalah „‟tangan‟‟. Jadi arti dzahir-nya adalah tangan

Fiqih – Kelas 12 Semester 2 93

sekalipun dapat di artikan dengan kekuasaan sebagi arti majaznya, sebab untuk menentukan arti

kekuasaan masih memerlukan argumentasi yang kuat dan harus sesuai. Jika tetap tidak bisa
menunjukkan argumentasi lafal ‫ ايد‬di artikan dengan kekuasaan, maka lafal tersebut harus di artikan

sesuai dzahirnya, yaitu tangan.

B. TA’WIL

( ‫)امخبٔوًل‬Al-Ta‟wil secara bahasa berasal kata dasar awwala, yu‟awwalu, yang artinya :

penjelasan. Ta‟wil dengan arti ini semakna dengan al-Tafsir.[3] Menurut istilah para pakar ushul
fiqih berbeda pandangan dalam mendefinisikannya, di antaranya adalah :

Menurut imam Al-Amidiy

ٍ‫امخبٔوًل ُو حمل انوفغ ؿَل كير مد مو ل امؼاُرمٌَ مؽ احتما ل تدمَل ًـضد‬

Artinya : ta‟wil adalah membawa lafal (dzahir) yang memiliki makna probabilitas (ihtimal,
kemungkinan-kemungkinan) kepada arti lain yang di dukung oleh dalil.

Syarat-syarat ta‟wil di antaranya sebagai-berikut:

1. Lafal yang di ta‟wil harus betul-betul lafal yang memiliki kriteria lafal yangboleh di ta‟wil
dan masih dalam kajiannya. Seperti :

a) Harus sesuai dengan ilmu tata bahasa Arab.
b) Dapat di pakai sepanjang pengertian bahasa.
c) Sesuai dengan ketentuan syara‟ dan istilah-istilah yang sudah ada

2. Ta‟wil harus berdasarkan dalil yang shahih yang bisa menguatkan pada hasil penta‟wilannya.

3. Lafal ta‟wil harus mencakup arti yang telah di hasilkan melalui ta‟wil bahasa.

4. Ta‟wil tidak boleh bertentangan dengan nash qoth‟iy.

5. Arti dari hasil penta‟wilan harus lebih kuat dari pada lahiriyah nya yang di kuatkan oleh dalil.

6. Seseorang yang menta‟wil harus betul-betul orang yang ahli dalam menta‟wil.

C. KLASIFIKASI TA’WIL
1) Ta‟wil shahih, yaitu pena‟wilan yang di dasarkan pada dalil.
2) Ta‟wil fasid, yaitu ta‟wil yang di dasarkan pada dalil yang keliru.
3) La‟bun, yaitu ta‟wil yang tidak di dasarkan pada dalil.

D. Ta’wil yang di dasarkan pada dalil ada dua yakni :
1) Ta‟wil qarib
Ta‟wil qarib adalah ta‟wil yang dalam penta‟wilannya berdasarkan pada dalil-dalil terendah,
artinya berdasarkan pemahaman logis, tekstual atau kontekstual, atau pena‟wilan yang dapat
mengunggulkan mu‟awwal atas dzahir dengan dalil yang sederhana.Contoh dalam al-Qur‟an

surat al-Maidah ayat 6 :

‫ًبُّٔيا اَّلٍن ٔٱمٌوا ٕاذا قمت ٕالى امطووة فاقسووا ؤحوُُك ؤٱًدٍُك ٕالى المرافق‬

Dalam ayat ini jika diartikan secara lahiriah lafal, berarti kewajiban berwudlu itu setelah

shalat dilaksanakan. Arti ini bertentangan dengan syarat sahnya shalat yang mewajibkan

lebih dahulu wudlu, sedang syarat itu harus didahulukan, baik melalui hukum akal ataupun

syara‟. Dengan demikian lafal ‫ اذ قمتم الي الصلاة‬harus ditakwilkan dengan cara

mengubah arti hakikinya kepada arti majaznya yaitu :

‫ اذا اردتم‬atau ‫اذا عزمتم‬.

94 Fiqih – Kelas 12 Semester 2

Ta‟wil ini dinilai qarib karena makna lahiriyah ayat tersebut tidak dapat dibenarkan.
Sehingga, dengan hanya logika diatas, pentakwilan tersebut menjadi unggul.
2) Ta‟wil Ba‟id
Ta‟wil Ba‟id adalah ta‟wil yang persyaratannya tidak dapat di penuhi dalam suatu
penta‟wilan berdasarkan pada dalil terendah. Maka darii itu jika, ternyata dalam penta‟wilan
itu di temukan adanya penyimpangan dari persyaratan tersebut itu harus di tolak. Contoh :
„‟perintah Nabi SAW kepada sahabat Ghailan atsaqafi ketika masuk Islam masih mempunyai sepuluh istri.

Nabi Muhammad SAW berkata kepada Ghailan “‫( ”أمسك أربعا وفارق سائر هه‬pertahankan empat orang

istrimu dan ceraikan lah yang lainnya). Dalam hadits ini secara jelas tetapnya ke absahan ikatan suami istri
tanpa adanya akad baru dan tidak mensyaratkan tajdid al-Aqdi. Namun para pengikut mazhab Hanafi
menta‟wil hadits ini. Jika prosesi nikah di lakukan secara bersama-sama, maka lafadz ‫ أمسك‬harus di ta‟wil
menjadi ‫( أبتدئ‬mulailah kembali akad nikahmu). Karena seluruhnya di hukum batal, sehingga harus di
mulaidari awal, bukan dengan membiarkannya.

Uji Kompetensi

Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan baik dan benar !
1. Jelaskan tentang lafadz yang dzahir
2. Jelaskan pengertain lafadz dzahir kalau menurut pendapat Dr. Wahbah Zuhaili
3. Jelaskan tentang pengertian Takwil
4. Sebutkan syarat-syarat takwil
5. Jelaskan tentang klasifikasi takwil
6. Jelaskan perbedaan antara takwil qorib dan takwil baid
7. Sahabat siapakah yang ketika zaman masih jahiliyyah ia punya istri sepuluh,setelah ia masuk
islam disuruh oleh Rosululloh SAW,untuk memilih empat istri saja

8. ‫ًبُّٔيا اَّلٍن ٔٱمٌوا ٕاذا قمت ٕالى امطووة فاقسووا ؤحوُُك ؤٱًدٍُك ٕالى المرافق‬

Jelaskan maksud kandungan ayat di bawah ini dalam al-Qur‟an surat al-Maidah ayat 6 tersebut :

9. Jelaskan tentang penjelasan lafadz‫وامسماء تيُْنا تبًَٔد‬

10. Jelaskan tentang kreteraia lafadz yang bisa di takwil

Fiqih – Kelas 12 Semester 2 95

Kompetensi inti
K-1 Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya
K-2 Menghargai dan menghayati perilaku jujur,disiplin,tanggungjawab,peduli (toleransi),gotong

royong,santun,percaya diri,dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam
jangkauan pergaulan dan keberadaannya
K-3 Memahami pengetahuan (faktual,konseptual dan prosedural)berdasarkan rasa ingin tahunya tentang
ilmu pengetahuan, tehnologi, seni, budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata
K-4 Mengolah,menyaji dan menalar dalam ranah konkret
(menggunakan,mengurai,merangkai,memodifikasi,dan membuat)dan ranah abstrak
(menulis,membaca,menghitung,menggambar dan mengarang sesuai dengan yang di pelajari,di sekolah
dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori
Kompetensi Dasar
3.8.1 Menganalisis ketentuan lafadz Mantuk dan Mafhum
4.8.1 Menyajikan hasil analisis contoh penerapan kaidah lafadz Mantuk dan Mafhum dalam menentukan
hukum suatu kasus yang terjadi di masyarakat
Tujuan Pembelajaran
3.8.1 Melalui diskusi peserta didik mampu membedakan antara lafadz Mantuk dan Mafhum dengan benar
3.8.2 Melalui tanya jawab peserta didik dapat Menganalisis ketentuan lafadz Mantuk dan Mafhum
3.8.3 Melalui pendalaman peserta didik dapat mencontohkan lafadz Mantuk dan Mafhum dengan benar
3.8.4 Melalui diskusi siswa dapat menjelaskan macam-macam lafadz Mantuk dan Mafhum
4.8.1 Melalui simulasi siswa dapat contoh penerapan kaidah lafadz Mantuk dan Mafhum dalam menentukan
hukum suatu kasus yang terjadi di masyarakat

Pengertian dan Penerapan Kaidah Manthuq dan Mafhum

A. Manthuq
11.Pengertian Manthuq

Mantuq adalah makna lahir yang tersurat (eksplisit) yang tidak mengandung kemungkinan
pengertian ke makna yang lain.

12.Pembagian Manthuq
a) Nash

Nash ialah lafadh yang bentuknya sendiri telah jelas maknanya.

Contohnya pada QS. Al Baqarah (2) : 196,

‫َاَََومْذٱَكِِث ََِحُّمَن ّلِوجاِمِم ٌَْامفَمَُُْمْْكَناح َّمََامجْمِْرًسٍََواَخًمُُْْضك ُـا ََْْمن َٱََْرَسٱَةو ُِِِّْتمَُِّلُِِلََِلن َٱَفَحاًّمذْااَِِْنِْىد ُِٱضِِميْحيْ ِنفَِاَمْمََْصرمِْٱ ُُنِْْتسسمَ َِِْفَمج َمِفاَديَِفِجااْمْْدْدًَسَحٌةَخَفَرُْا ِِمِمَطَ ََْ َنَاسواُمثَُِِّملضزَ ََََوَانالٍماازَمَِّّْلةََِٱَِْْلدَوٱ َّي َِاوياٍَمضؿْ َوََِوِدَُمَكَفلوٍةااَُمَْْٱَٱت ِْوََّحونُل ّوِاوُجاَُّّلسََُِولر َُءٍسمَوْشحَ َفـِسَدّاًٍُُةَذُْكادّا َاذَٱَمْاحِمِـَّتٌْلََُرىاْتَحًَِْْـحفَبوَُُمَْتف ْنِاثمْْثََِْ ََْمدلخَّ َؽُيَؾِبََممْْ ُـَِحْشمٌَِّةَُلرِةََفكَ ِّاَمم َلَْ ٌلنى‬

“Maka (wajib) berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah
pulang kembali, itulah sepuluh (hari) yang sempurna.”
Penyifatan “sepuluh” dengan “sempurna” telah mematahkan kemungkinan “Sepuluh” ini
diartikan lain secara majaz (kiasan). Inilah yang dimaksud dengan nash.

96 Fiqih – Kelas 12 Semester 2

b) Zahir

Zahir ialah lafadh yang yang maknanya segera dipahami ketika diucapkan tetapi masih ada
kemungkinan makna lain yang lemah (marjuh).

Contohnya dalam QS. Al Baqarah (2) : 222,

‫َفَوبٌَِثُ ْوس ُبَُمُ َّونهَ َِممْن َؾ َحِ ْنِ اُمْرَم َٱِحَمََرُُِكُ اظّ َّلُُِكل ّْال َّن ُُاَّو َّلَِلَٱ ًذُُ ِيى ُّةفَااؿْم ََخَّ َِّتمُواِتوا َايم ًَِّوَُُسِيا َء ُّةِِافمْ ُماخَمْ ََمع ِِِّح َِرٍ َِنظ َو ََل ثَ ْل َرتُو ُُ َّن َح َّتى ًَ ْع ُِ ْر َن فَ ّا َذا ثَ َع َِّ ْر َن‬

“Dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka bersuci ….”

Berhenti dari haid dinamakan suci (tuhr), berwudhu dan mandi pun disebut “tuhr”. Namun
penunjukan kata “tuhr” kepada makna kedua (mandi) lebih tepat, jelas (zahir) sehingga

itulah makna yang rajih (kuat), sedangkan penunjukan kepada makna yang pertama (berhenti

haid) adalah marjuh (lemah).

c) Muawwal

Mu‟awwal adalah lafazh yang diartikan dengan makna marjuh karena ada sesuatu dalil yang
menghalangi dimaksudkannya makna yang lebih rajih. Mu‟awwal berbeda dengan zahir;

zahir diartikan dengan makna yang rajih sebab tidak ada dalil yang memalingkannya kepada
yang marjuh, sedangkan mu‟awwal diartikan dengan makna marjuh karena ada dalil yang

memalingkannya dari makna rajih. Akan tetapi masing-masing kedua makna ini ditunjukkan

oleh lafazh menurut bunyi ucapan yang tersurat.

d) Dalalah Istida'

Dalalah istida‟ adalah kebenaran petunjuk lafadh kepada makna yang tepat tapi terkadang
bergantung pada sesuatu yang tidak disebutkan. Contohnya pada

QS. An Nisa (4): 23,

‫ُح ِّرَم ْت ؿَوَ َُُْ ْك ُٱ َّم َِاحُُُ ْك‬

“ diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu”

Ayat ini memerlukan adanya adanya kata-kata yang tidak disebutkan, yaitu kata
“bersenggama”, sehingga maknanya yang tepat adalah “diharamkan atas kamu
(bersenggama) dengan ibu-ibumu.”

e) Dalalah Isyaroh

Dalalah Isyarah adalah kebenaran petunjuk lafadh kepada makna yang tepat berdasarkan
isyarat lafadh. Contohnya pada QS Al Baqarah (2): 187,

‫اَّحَّلَُِّتلى َٱىًَََُُّخْكخَ َّ َُنيْي ُمَْتُُ ُكََ ْتاَخمْاهَُخوَْ َنطُ َٱهْاُفْل ََأتْس ََُُ ُْك فظَذَاِم َ َبن‬ ‫مَُِ َّن ؿَ ِل َم‬ ‫ِم َحا ٌس‬ ‫مَاُُّْكَّلُِل َوَٱمَهُُُْ ْْتك‬ ‫مَ َُُوْكَؾ َمفَ ْاَ َ َلَؾ ْيامُُ ِّْكط ََفَاا ِْلمأٓاَمنَّرفََِب ُِِر ُشّا َول ُىُ ِوَّن َسَاوائِتَُُْخ ْكُلواُُ ََّمنا ِم َح َناخَ ٌ َسة‬ ‫ُٱ ِح َّل‬
‫َوا ِْ َشتُوا‬ ‫َو ُ ُكوا‬ ‫ؿَوَ َُُْ ْك‬
‫امْ َخ َْ ِط ا ْل َأ ْس َو ِد ِم َن امْ َف ْج ِر‬

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu;
mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah

mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni
kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutiah apa
yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga jelas bagi kamu benang
putih dari benang hitam, yaitu fajar… “

Fiqih – Kelas 12 Semester 2 97

B. Mafhum
1. Pengertian Mafhum

Mafhum adalah makna yang ditunjukkan oleh lafazdh tidak berdasarkan pada bunyi ucapan
yang tersurat, melainkan berdasarkan pada pemahaman yang tersirat.

1) Pembagian Mafhum
a) Mafhum muwafaqah (perbandingan sepadan) yaitu makna yang hukumnya
sepadan dengan manthuq
(1) Fahwal Khitab

Fahwal khitab yaitu apabila makna yang dipahami itu lebih memungkinkan

diambil hukumnya daripada mantuq. Misalnya pada QS. al Isra (17): 23,

‫ثََوُلكَ َْلِ مَضُِ َم َارتُّ ُٱ ٍَّمف َٱ َََّلو ََثلَ ْـحَُحْْ ُنَدْروُا َُ ّاا ََّ َلوكُّا َّيْال ٍُمَ َُِ َومِابمْكََوْاوِلًََدلٍْ َِنن ِريّامًاْح َسا ًن ّا َّما ًَ ْحوُ َل َّن ِؾ ْي َد َك ا ْم ِك َِ َب َٱ َح ُد ُ َُا ٱَ ْو ِك َلا ُ َُا فَ ََل‬

“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua)
perkataan „ah‟ .”

Ayat ini mengharamkan perkataan “ah” yang tentunya akan menyakiti hati
kedua orang tua, maka dengan pemahaman perbandingan sepadan (mafhum
muwafaqah), perbuatan lain seperti mencaci-maki, memukul lebih diharamkan
lagi, walaupun tidak disebutkan dalam teks ayat.

(2) Lahnul Khitab

Lahnul Khitab yaitu bila mafhum dan hukum mantuq sama nilainya. Misalnya

pada QS. An Nisa (4): 10,

‫ّا َّن اََِّّلٍ َن ًَبِ ُ ُكو َن َٱ ْم َوا َل امْ ََ َخا َمى ُػ ْو ًما ّاهَّ َما ًَبِ ُ ُكو َن ِِف تُ ُعو َِ ِن ْم َن ًرا َو َس ََ ْطوَ ْو َن َس ِـي ًرا‬

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya … “

Ayat ini melarang memakan harta anak yatim maka dengan pemahaman
perbandingan sepadan (mafhum muwafaqah), perbuatan lain seperti :
membakar, menyia-nyiakan, merusak, menterlantarkan harta anak yatim juga
diharamkan.

b) Mafhum mukhalafah (perbandingan terbalik) yaitu makna yang hukumnya kebalikan
dari manthuq
(1) Mafhum sifat

Mafhum sifat adalah sifat ma‟nawi. Contohnya pada QS. Al Hujurat (49): 6,

‫فَ َـ ْو ُ ْت‬ ‫َما‬ ‫ؿَ ََل‬ ‫فَ ُذ ْط ِح ُحوا‬ ‫ِِ َب َِا ََ ٍل‬ ‫كَ ْو ًما‬ ‫ثُ ِطَ ُحوا‬ ‫َٱ ْن‬ ‫فَذَ َحٌَُُّوا‬ ‫ِتًَ َد ٍا‬ ‫فَا ِس ٌق‬ ‫َخا َء ُُ ْك‬ ‫ّا ْن‬ ‫ٱٓ َمٌُوا‬ ‫َيا َٱُُّيَا اََِّّلٍ َن‬
‫َن ِد ِم َي‬

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita maka periksalah dengan teliti … “

Ayat ini memerintahkan memeriksa dengan meneliti berita yang dibawa oleh
orang fasik. Maka dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum
mukhalafah) bahwa berita yang dibawa oleh orang yang tidak fasik tidak perlu
diperiksa dan diteliti.

(2) Mafhum syarat

Mafhum syarat yaitu memperhatikan syaratnya. Contohnya seperti pada QS. At
Talaq (65) 6 :

98 Fiqih – Kelas 12 Semester 2

‫حَ ْم ٍل‬ ‫ِم ُٱُخ َُحض ِوَّ َُلر ُوُا َّنؿَوََْْوِٱِيثَ َِّمنُر َووّاا ْتَن ٌَُُُُْن ْكَّن ِت َمُٱ ْـوََُرلو ِ ٍتف‬ ‫ثُ َضا ُّرو ُُ َّن‬ ‫َٱ ْس ِكٌُو ُُ َّن ِم ْن َح ِْ ُر َس َك ٌْ ُ ْت ِم ْن ُو ْخ ِد ُُ ْك َو ََل‬
‫َوّا ْن‬ ‫مَُُ ْك فَبٓثُو ُُ َّن‬ ‫َٱ ْر َض ْـ َن‬ ‫فَ ّا ْن‬ ‫فَبَهْ ِف ُلوا ؿَوَ ْْ ِي َّن َح َّتى ًَ َض ْـ َن حَ ْموَُِ َّن‬
‫ثَ َـا َس ْر ُُ ْت فَ َس َُْت ِض ُؽ َ ُل ُٱ ْخ َرى‬

“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil,
maka berikanlah kepada mereka nafkah.”

Dengan pemahaman perbandingan terbalik (mafhum
mukhalafah) maka jika di talak dalam keadaan tidak hamil tidak perlu diberi
nafkah.

(3) Mafhum ghayah

Mafhum ghayah.Contohnya dalam QS. Al Baqarah (2): 230,

‫ّا ْن‬ ‫ًَ ََ َتا َح َـا‬ ‫َٱ ْن‬ ‫ؿَوَ ْْ ِي َما‬ ‫ُحٌَا َح‬ ‫فَ ََل‬ ‫ثَا ْيّ َّلِِِكل ًَحُ َح َُِّ ُْزْنَوا ًخِمالَ ْوكَ ٍْمي َرًٍَُ ْـوَفَ ُّام ْون َنَظوَّلََِا‬ ‫َ ُل ِم ْن تَ ْـ ُد َح َّتى‬ ‫َظوَّلََِا فَ ََل َُ ِت ُّل‬ ‫فََّاػ ْيَّنا‬
‫اّ َّلِِل َوِث ْْ َل ُح ُدو ُد‬ ‫َٱ ْن ًُ ِليمَا ُح ُدو َد‬

“Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak kedua), maka perempuan itu
tidak halal lagi baginya hingga ia kawin dengan suami yang lain … “

Dengan pemahaman terbalik bila mantan istri sudah ditalak tiga kali kemudian
menikah lagi dengan lelaki lain dan kemudian bercerai maka menjadi halal
dinikahi lagi.

(4) Mafhum hasr (pembatas, hanya)

Mafhum hasr (pembatasan).Misalnya pada QS Al Fatihah 5:

“Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya‫ ُي‬k‫ـ‬eِ ‫َخ‬p‫س‬aْ dَ‫ و‬a‫ا َك‬E‫وّا َّي‬nَ g‫ ُد‬k‫ ُح‬a‫هَ ْـ‬u‫ك‬lَa‫ا‬h‫ ّا َّي‬kami

memohon pertolongan … “

Dengan pemahaman terbalik maka tidak boleh menyembah kepada selain Allah
dan tidak boleh memohon pertolongan kepada selain Allah.

Fiqih – Kelas 12 Semester 2 99

Pilihlah salah satu jawaban yang paling benar !

1. Di bawah ini yang merupakan tujuan ibadah 5. Pak Rahmat seorang peternak sapi,
secara umum adalah ... dalam beberapa tahun ternaknya
A. mengatur alam berkembang menghasilkan 30 ekor
B. melestarikan alam sapi, zakat ternak yang harus
C. menyelamatkan manusia dikeluarkan oleh pak Rahmat adalah
D. mensejahterakan manusia ...
E. mengatur kehidupan manusia A. 1 ekor sapi umur 1 tahun
B. 1 ekor sapi umur 2 tahun
2. . C. 1 ekor sapi umur 3 tahun
{ D. 2 ekor sapi umur 1 tahun
E. 2 ekor sapi umur 2 tahun
ُ‫َوإِذَا َسأَلَ َكِعبَا ِديَعنِّيَفِإنِّيَق ِريبٌأُِجيبُ َد ْعَوَةال َّدا ِعِإذَا َد َعانَِفْليَ ْستَ ِجيب‬
6=; : ‫]والِيَولْيُ ْؤِمنُوابِيلََعَلُّه ْميَ ْر ُش ُدو َن} [البقرة‬ 6. .
{
Pada surat al-Baqarah ayat 186 di atas
merupakan salah satu prinsip pelaksanaan ‫ُخ ْذِمْنأَْمَواِِلِْم َص َدقًَةتُطَِّهُرُُْهَوتَُزّكِيِه ْمبَِهاَو َصلَِّعلَْيِه‬
ibadah yaitu ... : ‫ْمِإَنّ َصَلتَ َك َس َكنٌلَُه ْمَوالَلُّه َس ِميٌعَعلِي ٌم} [التوبة‬
A. ikhlas sebagai sendi ibadah yang diterima 608]

di sisi Allah SWT. Hikmah zakat yang tercantum pada
B. ibadah sesuai dengan tuntunan Allah dan ayat yang digaris bawahi adalah ...
A. dapat menolong orang yang
Rasul-Nya
C. melakukan ibadah tanpa perantara lemah
B. membersihkan jiwa dan harta
(wasilah)
D. ibadah itu mudah dan meringankan muzakki
E. hanya Allah SWT. yang berhak disembah C. membersihkan jiwa para

3. .. { : ‫يُِري ُدالَلُّهبِ ُك ُمالْيُ ْسَرَوَليُِري ُدبِ ُك ُمالُْع ْسَر} [البقرة‬ penerima zakat
6=:] D. mendidik masyarakat memiliki

Prinsip syariat Islam dalam menetapkan sifat suka berkorban
hukum sesuai dengan ayat di atas adalah ... E. memperkecil curang pemisah
A. meminimalisir beban
B. tidak memberatkan antara orang kaya dan miskin
C. memperhatikan kemaslahatan umat 7. Pengelolaan zakat di Indonesia diatur
D. keadilan yang merata untuk semua umat
E. beransur-ansur dalam menetapkan hukum dalam Undang-Undang Republik
4. Dibawah ini adalah salah satu contoh perilaku Indonesia Nomor ...
orang yang berpegang pada prinsip-prinsip A. 22 tahun 2010
ibadah dan tujuan syari‟at, yaitu ... B. 23 tahun 2010
A. menjalankan perintah dan menjauhkan C. 22 tahun 2011
D. 23 tahun 2011
larangan Allah SWT. E. 22 tahun 2012
B. mengutamakan kepentingan umum diatas 8. Umat Islam yang akan menunaikan
ibadah haji disarankan untuk belajar
kepribadian pribadi tentang haji kepada orang yang
C. ta‟at terhadap peraturan perundang- mengetahuinya. Pernyataan ini sesuai
dengan firman Allah berikut ini ...
undangan yang berlaku
D. bertaqwa kepada Allah SWT. di manapun A. {}‫يَ ْسأَلُونَ َكَعنِاْلَِىَلِّةقُلِْهيَ َمَواقِيتُلِلَنّا ِسَواْْلَ ِّج‬
6=> : ‫][البقرة‬
kita berada
E. selalu tepat waktu dalam situasi apapun

10 Fiqih – Kelas 12 Semester 2

0


Click to View FlipBook Version