BAHAN AJAR
EKOWISATA DAN JASA LINGKUNGAN
(Semester IV/ 2 SKS/ KH21272)
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
Oleh:
Radios Simanjuntak, S.Hut., M.Si
UNIVERSITAS HALMAHERA
FAKULTAS ILMU ALAM DAN TEKNOLOGI REKAYASA
2022
I. PARIWISATA
Pariwisata adalah aktivitas perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu dari tempat tinggal
semula ke daerah tujuan dengan alasan bukan untuk menetap atau mencari nafkah melainkan
hanya untuk bersenangsenang, memenuhi rasa ingin tahu, menghabiskan waktu senggang atau
waktu libur serta tujuantujuan lainnya. Sedangkan menurut UU No.10/2009 tentang
Kepariwisataan, yang dimaksud dengan pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan
didukung oleh berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan masyarakat, pengusaha,
Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.
Siapakah Wisatawan itu? Seseorang atau lebih yang melakukan perjalanan wisata serta melakukan
kegiatan yang terkait dengan wisata disebut Wisatawan. Wisatawan warga negara Indonesia yang
melakukan perjalanan wisata disebut Wisatawan Nusantara (Wisnus). Wisatawan warga negara
asing yang melakukan perjalanan wisata disebut Wisatawan Mancanegara (Wisman).
Komponen pendukung pariwisata: Wisatawan yang melakukan perjalanan wisata memerlukan
berbagai kebutuhan dan pelayanan mulai dari keberangkatan sampai kembali lagi ke tempat
tinggalnya. Aktivitas pariwisata sangat terkait dengan kehidupan kita sehari-hari. Sama seperti
yang kita lakukan setiap hari, wisatawan juga butuh makan dan minum, tempat menginap, serta
alat transportasi yang membawanya pergi dari suatu tempat ke tempat lainnya. Untuk memenuhi
kebutuhan dan pelayanan tersebut, pariwisata harus didukung oleh berbagai komponen yaitu:
1. Obyek dan daya tarik wisata
Mengapa wisatawan berkunjung ke suatu daerah/tempat? Ada banyak alasan mengapa orang
berwisata ke suatu daerah. Beberapa yang paling umum adalah untuk melihat keseharian penduduk
setempat, menikmati keindahan alam, menyaksikan budaya yang unik, atau mempelajari sejarah
daerah tersebut. Intinya, wisatawan datang untuk menikmati hal-hal yang tidak dapat mereka
temukan dalam kehidupan mereka seharihari. Alam, budaya serta sejarah tersebut merupakan
bagian dari obyek dan daya tarik wisata.
Obyek dan daya tarik wisata disebut juga atraksi wisata. Atraksi wisata mencakup: Atraksi wisata
alam misalnya iklim, pantai dan laut, flora dan fauna, gua, air terjun, serta hutan yang indah.
Atraksi wisata budaya misalnya arsitektur rumah tradisional di desa, situs arkeologi, benda-benda
seni dan kerajinan, ritual atau upacara budaya, festival budaya, kegiatan dan kehidupan masyarakat
sehari-hari, keramahtamahan, makanan. Atraksi buatan misalnya acara olahraga, berbelanja,
pameran, konferensi, festival musik.
2. Transportasi dan infrastruktur
Wisatawan memerlukan alat transportasi baik itu transportasi udara, laut dan darat untuk mencapai
daerah wisata yang menjadi tujuannya. Misalnya untuk menuju Nias Selatan, wisatawan harus
naik pesawat udara dari Medan atau kapal laut dari Sibolga. Lalu perjalanan dilanjutkan dengan
menggunakan mobil ke Teluk Dalam. Tersedianya alat trasportasi adalah salah satu kunci sukses
kelancaran aktivitas pariwisata. Komponen pendukung lainnya adalah infrastruktur yang secara
tidak langsung mendukung kelancaran kegiatan pariwisata misalnya: air, jalan, listrik, pelabuhan,
bandara, pengolahan limbah dan sampah. Namun, meskipun tidak semua daerah tujuan wisata
memiliki komponen pendukung yang baik, suatu daerah tetap bisa menarik wisatawan untuk
berkunjung karena ada hal-hal unik yang hanya bisa ditemui atau dilihat di tempat tersebut.
3. Akomodasi (tempat menginap)
Akomodasi adalah tempat dimana wisatawan bermalam untuk sementara di suatu daerah wisata.
Sarana akomodasi umumnya dilengkapi dengan sarana untuk makan dan minum. Sarana
akomodasi yang membuat wisatawan betah adalah akomodasi yang bersih, dengan pelayanan yang
baik (ramah, tepat waktu), harga yang pantas sesuai dengan kenyamanan yang diberikan serta
lokasi yang relatif mudah dijangkau. Jenis-jenis akomodasi berdasarkan bentuk bangunan,
fasilitas, dan pelayanan yang disediakan, adalah sebagai berikut:
a. Hotel
Hotel merupakan sarana akomodasi (menginap) yang menyediakan berbagai fasilitas dan
pelayanan bagi tamunya seperti pelayanan makanan dan minuman, layanan kamar, penitipan
dan pengangkatan barang, pencucian pakaian, serta pelayanan tambahan seperti salon
kecantikan, rekreasi (contoh: sarana bermain anak), olahraga (contoh: kolam renang, lokasi
senam, lapangan tenis, biliard dll.). Klasi kasi hotel dapat dilihat dari lokasi, jumlah kamar,
ukuran, serta kegiatan yang dapat dilakukan tamu di hotel selama menginap. Klasi kasi hotel
ditandai oleh tanda bintang (*), mulai dari hotel berbintang satu sampai dengan bintang lima.
Semakin banyak bintangnya akan semakin banyak pula persyaratan, layanan dan fasilitas
dengan tuntutan kualitas yang semakin tinggi.
b. Guest house
Guest house, adalah jenis akomodasi yang bangunannya seperti tempat tinggal. Umumnya
guest house hanya memiliki fasilitas dasar yaitu kamar dan sarapan tanpa fasilitas tambahan
lainnya.
c. Homestay
Berbeda dengan Guest House, Homestay, jenis akomodasi yang populer di wilayah perkotaan
maupun pedesaan di Indonesia, menggunakan rumah tinggal pribadi sebagai tempat wisatawan
menginap. Umumnya homestay memberikan pelayanan kamar beserta makanan dan minuman.
Salah satu kelebihan dari homestay adalah wisatawan bisa mendapatkan kesempatan untuk
mengenal keluarga pemilik. Mereka bisa juga mengenal lebih jauh tentang alam dan budaya
sekitar terutama bila si pemilik rumah memiliki banyak pengetahuan tentang itu.
d. Losmen
Losmen merupakan jenis akomodasi yang menggunakan sebagian atau keseluruhan bangunan
sebagai tempat menginap. Losmen memiliki fasilitas dan pelayanan yang jauh lebih sederhana
dibandingkan hotel. Losmen tidak dirancang menyerupai tempat tinggal seperti guest house.
e. Perkemahan
Tidak seperti jenis akomodasi lainnya, perkemahan merupakan sarana menginap yang
memanfaatkan ruang terbuka dengan menggunakan tenda.
f. Vila
Merupakan kediaman pribadi yang disewakan untuk menginap. Bedanya dengan homestay
adalah tamu akan menyewa rumah secara keseluruhan dan pemilik rumah tidak berada pada
rumah yang disewa tersebut. Sedangkan pada homestay, tamu hanya menyewa kamar dan
berbaur bersama pemilik rumah.
4. Usaha makanan dan minuman
Usaha makanan dan minuman di daerah tujuan wisata merupakan salah satu komponen pendukung
penting. Usaha ini termasuk di antaranya restoran, warung atau cafe. Wisatawan akan kesulitan
apabila tidak menemui fasilitas ini pada daerah yang mereka kunjungi. Sarana akomodasi
umumnya menyediakan fasilitas tambahan dengan menyediakan makanan dan minuman untuk
kemudahan para tamunya. Selain sebagai bagian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, makanan
adalah nilai tambah yang dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Banyak wisatawan
tertarik untuk mencoba makanan lokal, bahkan ada yang datang ke daerah wisata hanya untuk
mencicipi makanan khas tempat tersebut sehingga kesempatan untuk memperkenalkan makanan
lokal terbuka lebar. Bagi wisatawan, mencicipi makanan lokal merupakan pengalaman menarik.
Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam mengelola usaha makanan dan minuman adalah
jenis dan variasi hidangan yang disajikan, cara penyajian yang menarik, kebersihan makanan dan
minuman yang disajikan, kualitas pelayanan serta lokasi usaha tersebut. Penyedia jasa harus
memperhatikan apakah lokasi usahanya menjadi satu dengan sarana akomodasi, atau dekat dengan
obyek wisata sehingga mudah dikunjungi.
5. Jasa pendukung lainnya
Jasa pendukung adalah hal-hal yang mendukung kelancaran berwisata misalnya biro perjalanan
yang mengatur perjalanan wisatawan, penjualan cindera mata, informasi, jasa pemandu, kantor
pos, bank, sarana penukaran uang, internet, wartel, tempat penjualan pulsa, salon, dll. Dari
berbagai jasa pendukung yang disebutkan di atas, informasi dan jasa pemandu merupakan salah
satu faktor penting dalam mendukung kesuksesan suatu daerah tujuan wisata. Merekalah yang
memberikan panduan kepada wisatawan mengenai daerah yang dikunjunginya. Wisatawan bisa
memperoleh informasi di pusat informasi wisata, baik berupa penjelasan langsung maupun bahan
cetak seperti brosur, buku, leaflet, poster, peta dan lain sebagainya. Jasa pendukung lainnya yang
sangat penting adalah jasa pemandu. Pemandu harus memahami informasi mengenai daerah
tempat ia bekerja. Pengetahuan tentang pelayanan dan keramah-tamahan juga sangat diperlukan.
Pemandu tidak hanya sekedar memberikan informasi, tapi juga harus dapat meningkatkan
kesadaran wisatawan untuk menghormati alam dan budaya setempat. Jasa pendukung tersebut
sangat tergantung pada daerah atau tujuan wisata, semakin terpencil, maka jasa pendukung akan
semakin minim. Namun hal ini umumnya dapat dimaklumi karena wisatawan yang memilih pergi
ke tempat terpencil sudah mempersiapkan diri dengan kondisi lapangan yang terbatas.
II. SAPTA PESONA
Bagaimana membuat wisatawan betah dan ingin terus kembali ke tempat kita? Ada dua hal penting
untuk menjawab pertanyaan di atas. Pertama, pelayanan yang baik. Bayangkan, bila wisatawan
sudah datang jauh-jauh, merencanakan perjalanannya sedemikian rupa, serta mengeluarkan uang
yang tidak sedikit, tapi ketika datang ke daerah kita ternyata mereka menemui supir yang kasar,
tidak sopan dan menipu penumpang, atau pedagang asongan yang memaksa untuk membeli
dagangan, atau akomodasi yang kotor serta warung makan dengan makanan dan minuman yang
kotor dan tidak enak. Tentu kita tidak ingin hal ini terjadi di daerah kita. Kedua, menjaga keindahan
dan kelestarian alam, serta budaya karena hal tersebut merupakan aset pariwisata kita. Dengan
cara apa kita dapat mewujudkan hal tersebut?
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia memiliki program yang disebut sapta
pesona. Minimal enam dari tujuh unsur tersebut penting kita terapkan untuk memberikan
pelayanan yang baik serta menjaga keindahan dan kelestarian alam dan budaya di daerah kita,
yaitu: • aman; • tertib; • bersih: • indah; • ramah dan • kenangan
1. Aman
Wisatawan akan selalu datang ke tempat yang menurut mereka aman. Yang berarti bebas dari
perang, ancaman manusia, (seperti: kejahatan), serta bebas dari rasa takut. Untuk itu kita perlu
menciptakan lingkungan dan rasa aman di daerah kita. Keadaan ini dapat tercermin dari keadaan
seperti aman dari pedagangpedagang asongan yang memaksa wisatawan untuk membeli, aman
dari pencopetan, pencurian dan lain sebagainya. Kondisi aman juga dapat tercermin dari
penggunaan peralatan keselamatan saat berwisata (misal: helm, pelampung, P3K, tali dll.), serta
informasi yang jelas mengenai kondisi yang akan dihadapi oleh wisatawan (misal: jalan mendaki,
terjal, trek dengan batu besar yang sulit, musim hujan yang mengakibatkan jalan licin, dll).
2. Tertib
Wisatawan akan merasa senang apabila tempat yang didatanginya berada dalam kondisi yang
tenang dan teratur. Kondisi seperti ini bisa diciptakan dengan ketertiban. Lokasi yang dekat dengan
keributan dan sumber suara akan mengurangi kenyamanan para wisatawan dalam berwisata.
Selain itu, salah satu cara untuk menciptakan ketertiban adalah dengan menetapkan harga yang
jelas karena wisatawan lebih senang dengan harga yang pasti. Wisatawan hanya memilih jasa dan
barang dengan harga tetap dan/atau rasional (yaitu harga yang sesuai dengan kualitas jasa/barang
yang diberikan)
3. Bersih
Bersih dalam segala hal: bersih diri, lingkungan, bebas sampah dan polusi lainnya. Tempat sampah
harus disediakan diberbagai tempat untuk memudahkan pengunjung menjaga kebersihan. Tempat
menginap yang kotor akan mempengaruhi kenyamanan bagi wisatawan. Kamar tidur dan kamar
mandi yang digunakan oleh wisatawan juga haruslah bersih.
4. Indah
Indah tidak berarti harus mewah. Meskipun sederhana, lokasi yang nyaman, rapi dan bersih dapat
menciptakan keindahan tersendiri. Oleh karena itu, jagalah keindahan lingkungan sekitar kita.
5. Ramah
Keramahan adalah salah satu kunci sukses pariwisata. Senyum ramah yang tulus dan tidak dibuat-
buat saat menyambut wisatawan adalah salah satu hal yang membuat mereka betah di tempat kita.
Keramah-tamahan rakyat Indonesia sudah sangat terkenal oleh para wisatawan mancanegara. Kita
harus terus mempertahankan predikat ini.
Perilaku tidak sopan dan kasar dari penduduk setempat akan membuat perjalanan wisatawan tidak
menyenangkan. Perbuatan memaksakan kehendak atau menipu dengan memberikan harga tinggi
misalnya, akan membuat wisatawan kapok dan tidak ingin berkunjung lagi ke tempat kita.
6. Kenangan
Apa yang dinikmati oleh wisatawan selama di tempat yang dikunjunginya tidak bisa dibawa
pulang, kecuali cenderamata dan kenangan indah. Keindahan ombak Pantai Sorake, Omo Sebua,
dan segarnya udara di Desa Onohondro dan Hilinawalo Fau hanya bisa dinikmati di Nias Selatan.
Namun wisatawan dapat membawa pulang kenangan indah dari daerah yang dikunjunginya.
Kenangan indah, keramahtamahan dan kepuasan adalah hal yang tidak terbeli dan selalu membuat
wisatawan ingin kembali.
III. EKOWISATA
Salah satu pemanfaatan sumberdaya alam secara tidak langsung adalah pemanfaatan jasa
lingkungan hutan untuk ekowisata. Nilai penting dari ekowisata adalah kegiatan ini tidak
melakukan eksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik/ dan psikologis wisatawan. Ekowisata merupakan bentuk
wisata yang mengarah ke metatourism. Ekowisata bukan hanya menjual destinasi atau
pemandangan tetapi juga menjual ilmu pengetahuan, filosofi dan inovasi. Berbagai kelebihan ini
menjadikan ekowisata tidak akan mengenal kejenuhan pasar.
Ekowisata berasal dari istilah ecotourism (ekoturisme). Definisi harfiah dari ecotourism
sebenarnyaadalah wisata ekologis. Pengertian ekowisata adalah suatu bentuk wisata yang
bertanggungjawab terhadap kelestarian area yang masih alami (natural area), memberi manfaat
secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budava bagi masyarakat setempat. Bentuk
ekowisata berdasarkan pengertian ini pada dasarnya merupakan bentuk gerakan konservasi.
Ekowisata menjadi bentuk baru dari perjalanan bertanggungjawab ke area alami dan berpetualang
yang dapat menciptakan industri pariwisata (Eplerwood, 1999).
Ekowisata pertama kali diperkenalkan oleh Kenton Miller (The Father of Ecototourism) tahun
1978 [Rahemtulla & Wellstead, 2001]. Menurut Kenton Miller ekowisata mengandung pengertian
perjalanan wisata alam ke kawasan yang relatif masih asri dengan titik berat pada aspek
pendidikan. Rumusan ecotourism sudah ada sejak tahun 1987 yang dikemukakan oleh Hector
Ceballos-Lascurain yang menyatakan bahwa nature or ecotourism can be defined as tourism that
consist in travelling to relatively undisturbed or uncontaminated natural areas with the specific
objectives of studying, admiring, and enjoying the scenery and its wild plantas and animal, as well
as any existing cultural manifestation (both past and present) found in the areas. Ekowisata pada
prinsipnya merupakan kegiatan pariwisata yang kegiatannya mengacu pada lima elemen penting
sebagai berikut:
1. Memberikan pengalaman dan pendidikan kepada wisatawan yang dapat meningkatkan
pemahaman dan apresiasi terhadap daerah tujuan wisata yang dikunjunginya.pendidikan
diberikan melalui pemahaman akan pentingnya pelestarian lingkungan, sedangkan
pengalaman diberikan melalui kegiatankegiatan wisata yang kreatif disertai dengan pelayanan
yang prima. Contoh suatu kawasan ekowisata menyajikan aspek sosial budaya tentang kuliner
sayuran dari hutan. Implementasinya bukan hanya pada sajian sayuran, tetapi berisikan
informasi yang bisa didapatkan wisatawan. Misalnya karakteristik tempat tumbuh, nama latin
tumbuhan, proses pemanenan di alam, resep penyajian dan lain-lain. Intinya adalah wisatawan
mendapatkan unsur pendidikan dalam kegiatan ekowisata tersebut.
2. Memperkecil dampak negatif yang bisa merusak karakteristik lingkungan dan kebudayaan
pada daerah yang dikunjungi. Filter terhadap lingkungan biofisik dan lingkungan budaya
dibutuhkan agar karakteristik lingkungan dan kebudayaan tidak menyusut atau bahkan hilang.
3. Mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan dan pelaksanaannya.
4. Memberikan keuntungan ekonomi terutama kepada masyarakat lokal, untuk itu, kegiatan
ekowisata harus profit (menguntungkan).
5. Berkelanjutan atau berkesinambungan.
Konsep ekowisata mencangkup tiga pemahaman, yaitu:
1) Perjalanan di kawasan alam yang tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.
2) Penggunaan fasilitas transportasi dan akomodasi yang dikelola masyarakat sekitar kawasan.
Selain itu, makanan yang ditawarkan juga bukan makanan bahan baku impor, semuanya berbasis
produk lokal. Termasuk dalam hal jasa pemandu wisata lokal, sehingga wisata ini benar-benar
memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal.
3) Ekowisata menaruh perhatian besar pada lingkungan alam dan budaya lokal. Para wisatawan
yang datang akan belajar banyak dari masyarakat setempat, bukan sebaliknya menggurui mereka.
Wisatawan tidak menuntut masyarakat lokal menciptakan pertunjukan dan hiburan ekstra, tetapi
mendorong mereka diberi peluang menyaksikan upacara dan pertunjukan yang sudah dimiliki
masyarakat setempat.
Ekowisata (ecotourism) menurut international ecotourism society (TIES) merupakan suatu
perjalanan yang bertanggungjawab ketempat-tempat yang alami dengan menjaga kelestarian
lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Ekowisata menurut Fennell
(2003) sebagai sebuah bentuk berkelanjutan dari wisata berbasis sumberdaya alam yang fokus
utamanya adalah pada pengalaman dan pembelajaran mengenai alam, yang dikelola dengan
meminimalisir dampak, non-konsumtif,dan berorientasi lokal.
Ekowisata merupakan bentuk perjalanan menuju kawasan yang masih alami yang bertujuan untuk
memahami budaya dan sejarah alami dari lingkungannya, menjaga integritas ekosistem, sambil
menciptakan kesempatan ekonomi untuk membuat sumber daya konservasi dan alam tersebut
menguntungkan bagi masyarakat lokal. Pengertian ekowisata di Indonesia dapat dilihat pada
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan
Ekowisata di Daerah, yaitu “Ekowisata adalah kegiatan wisata alam di daerah yang
bertanggungjawab dengan memperhatikan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap
usaha-usaha konservasi sumber daya alam, serta peningkatan pendapatan masyarakat lokal”.
Berdasarkan pengertian tersebut, ekowisata dalam implemetasinya dapat mengkombinasikan
beberapa hal sebagai berikut: (1) perjalanan ke suatu kawasan (seperti hutan alam, goa, kehidupan
bawah laut, kehidupan masyarakat hukum adat, kehidupan perkotaan, dan sebagainya), (2)
aktivitas pembelajaran (learning) dalam rangka meningkatkan pengalaman wisatawan, (3)
menggalakkan upaya konservasi flora, fauna, dan budaya, serta (4) mengembangkan kepedulian
dan kapasitas masyarakat lokal. Ekowisata dapat dibedakan menurut tujuan obyek dan daya tarik
wisata (ODTW) yang dipilihnya, jenis pengalaman yang diinginkannya, tingkat perhatian
konservasi sumber daya alamnya dan tingkat partisipasi masyarakat yang diharapkannya.
Masyarakat lokal perlu mendapatkan benefit dari pengembangan ekowisata, sehingga ekowisata
harus dapat menjadi alat yang potensial untuk memperbaiki perilaku sosial masyarakat untuk
tujuan konservasi lingkungan (Buckley, 2003). Ekowisata dapat dilihat berdasarkan
keterkaitannya dengan 5 elemen inti yaitu: bersifat alami, berkelanjutan secara ekologis,
lingkungannya bersifat edukatif, menguntungkan masyarakat lokal, menciptakan kepuasan
wisatawan.
Ekowisata berdasarkan lingkup kepariwisataan, tergolong dalam bentuk wisata alam. Ekowisata
tidak sekedar menikmati pemandangan alam tetapi lebih jauh lagi mengandung unsur pendidikan,
muatan konservasi, memperkaya sosial budaya masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dengan mengutamakan perlindungan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan.
Ekowisata berdasarkan jumlah dan intensitas pengunjung adalah terbatas dan memiliki ukuran
ekologis dengan memperhatikan daya tampung lingkungan. Ekowisata harus dibedakan dengan
wisata alam yang sifatnya wisata masal.
Ekowisata dalam perkembangannya memiliki makna sebagai kegiatan perjalanan wisata yang
dikemas secara profesional, terlatih, dan memuat unsur pendidikan, sebagai suatu sektor/usaha
ekonomi, yang mempertimbangkan warisan budaya, partisipasi dan kesejahteraan penduduk lokal
serta upaya-upaya konservasi sumberdaya alam dan lingkungan (Nugroho, 2011). Sebagai suatu
usaha ekonomi, efektivitas operasional jasa ekowisata sangat efisien dan ramping.
Karakteristiknya adalah jumlah rombongan pengunjung rendah (low volume), pelayanan
berkualitas (high quality) dan menghasilkan nilai tambah yang tinggi (high value added).
Konsumen ekowisata adalah mereka yang menginginkan liburan dengan sensasi alam dan interaksi
budaya. Mereka bersedia meluangkan waktu, tenaga dan biaya untuk memuaskan keinginannya.
Pengelola jasa ekowisata perlu menyediakan akomodasi dan sajian wisata yang baik, aman dan
memuaskan. Kedisiplinan dan standar pelayanan tersebut juga bagian dari upaya-upaya
melindungi ekosistem jasa ekowisata (Coles, 2006).
IV. EKOWISATA DAN KONSERVASI
Beberapa pendekatan pengelolaan ekowisata dapat dilakukan melalui pendekatan konservasi,
jaminan kelestraian lingkungan, pendekatan perlindungan dan pemanfaatan, serta pendekatan
keberpihakan kepada masyarakat. Uraian berikut memberikan penjelasan singkat tentang
pendekatan konservasi.
Pengelolaan ekowisata dengan pendekatan konservasi. Konservasi itu sendiri adalah suatu bentuk
pemanfaatan berkelanjutan oleh manusia terhadap sumberdaya yang terdapat dalam biosphere.
Konservasi sebagai pemanfaatan berkelanjutan dapat memberikan hasil yang cukup bahkan lebih
baik untuk generasi kini dan generasi mendatang. Pendekatan ekowisata berbasis konservasi di
antaranya adalah pengelolaan ekowisata di Kawasan konservasi seperti Taman Nasional, Taman
Hutan Raya, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata dan Taman Buru. Kawasan hutan
lainnya seperti hutan lindung dan hutan produksi dapat dipergunakan pula untuk pengembangan
ekowisata. Ekosistem sungai, danau, rawa, gambut, di daerah hulu atau muara sungai dapat pula
dipergunakan untuk ekowisata. Pendekatan pengelolaan ekowisata berbasis konservasi dapat
dilaksanakan dengan tetap menjaga area tersebut tetap lestari sebagai areal alam.
Konsep dan implementasi ekowisata tidak dapat dilepaskan dari pengembangan kawasan
konservasi (protected area). Kawasan konservasi di Indonesia terdiri dari kawasan suaka alam
(KSA), kawasan pelestarian alam (KPA) dan Taman Buru. KSA terdiri yakni cagar alam dan suaka
margasatwa; KPA terdiri dari taman nasional, taman wisata alam serta taman hutan raya.
Penetapan kawasan konservasi dilaksanakan oleh Kementerian Kehutanan, dan telah mencapai
414 situs atau luasan 23.1 juta hektar, terdiri 18.4 juta hektar daratan dan 4.7 juta hektar pesisir
dan laut (USAID Indonesia, 2004) Proporsi terbesar dari kawasan konservasi adalah Taman
Nasional, yakni 65 persen. Hingga saat ini, Menteri Kehutanan telah menetapkan 50 taman
nasional (Tabel 1). Taman Nasional ditetapkan mencakup substansi alasan, posisi, luasan, jenis
flora dan fauna endemik atau langka dan job deskripsi pelaksanaan pengembangan. Oleh sebab
itu, kelembagaan TN dianggap sebagai komponen penting dalam pengelolaan kawasan konservasi,
serta upaya-upaya konservasi keanekaragaman hayati dalam skala nasional maupun internasional
(Rothberg, 1999).
Pengembangan jasa ekowisata dalam tingkat pengelolaan oleh Taman nasional di Indonesia telah
berkembang. Struktur dan fungsi taman nasional memperlihatkan kompetensi mendukung
pengembangan ekowisata. Taman nasional juga ikut berperan menginisiasi, mendampingi atau
memfasilitasi pengembangan ekowisata di desa-desa sekitar wilayah Taman Nasional. Aktivitas
jasa ekowisata di luar wilayah taman nasional juga berkembang. Wilayah tujuan ekowisata
tersebut biasanya memiliki kearifan, pengalaman dan nilai-nilai budaya yang menyatu dengan
lingkungan untuk mendukung kehidupan ekonomi. Wilayah tujuan ekowisata itu dapat menjadi
bagian dari ekosistem pesisir, lautan, atau daratan; di sekitar kawasan konservasi, desa atau
wilayah yang memiliki nilai-nilai khas yang diwariskan untuk generasi mendatang.
Pengembangan ekowisata di luar wilayah taman nasional banyak dikembangkan oleh organisasi
masyarakat atau perorangan yang memiliki kompetensi dalam ekowisata. Mereka ini biasanya
memiliki pengetahuan ekowisata, informasi pasar, modal dan potensi wilayah tujuan ekowisata.
Mereka kemudian mendapat sambutan positif dari penduduk lokal melalui manfaat sosial,
ekonomi dan lingkungan, sehingga seluruh stakeholder ekowisata bersama-sama
bertanggungjawab memastikan keberlanjutan sumberdaya ekowisata.
- Pendekatan ekowisata yang menjamin kelestarian lingkungan. Kelestarian lingkungan yang
dimaksud adalah:
- Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan.
- Melindungi keanekaragaman hayati.
- Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya
- Pendekatan ekowisata dengan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan terhadap kawasan
alam. Pendekatan ini dilaksanakan dengan menitikberatkan pelestarian dibanding
pemanfaatan. Melalui program pelestarian, maka pemanfaatan dapat diraih sekaligus.
Pengelolaan ekowisata berdasarkan pendekatan keberpihakan kepada masyarakat. Maksud dari
pendekatan ini bertujuan agar kita mampu mempertahankan budaya lokal dan sekaligus
meningkatkan kesejahteraannya. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan mengatur pajak
konservasi untuk membiayai secara langsung kebutuhan kawasan dan masyarakat lokal
V. EKOWISATA BERBASIS MASYARAKAT
Konsep ekowisata berbasis masyarakat, yaitu wisata yang menyuguhkan segala sumber daya
wilayah yang masih alami, yang tidak hanya mengembangkan aspek lingkungan dalam hal
konservasi saja, namun juga memberikan keuntungan bagi masyarakat sekitar, sebagai salah satu
upaya pengembangan pedesaan untuk meningkatkan perekonomian lokal, di mana masyarakat di
kawasan tersebut merupakan pemegang kendali utama.
Konsep ekowisata berbasis masyarakat merupakan salah satu upaya pengembangan pedesaan
dalam sektor pariwisata. Lane dan Sharpley (1997, dalam Chuang, 2010) menyatakan bahwa
pariwisata pedesaan dapat muncul jika ada perilaku wisata yang muncul di wilayah pedesaan, dan
Roberts dan Hall (2001, dalam Chuang, 2010) menambahkan bahwa dalam pariwisata pedesaan
harus ada karakteristik khusus yang dapat berupa budaya tradisional, budaya pertanian,
pemandangan.
Ekowisata berbasis masyarakat merupakan pengembangan wisata dengan tingkat keterlibatan
masyarakat setempat yang tinggi dan dapat dipertanggungjawabkan dari aspek sosial dan
lingkungan hidup. Ekowisata berbasis masyarakat merupakan usaha ekowisata yang
menitikberatkan peran aktif komunitas. Masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta
budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata, sehingga pelibatan
masyarakat menjadi mutlak (Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata dan WWF Indonesia, 2009).
Pengembangan ekowisata berbasis masyarakat, terutama pada tahap awal, pendampingan
masyarakat dibutuhkan agar masyarakat terlibat dalam seluruh proses perencanaan dan
pelaksanaan. Pola ekowisata berbasis masyarakat adalah pola pengembangan ekowisata yang
mendukung dan memungkinkan keterlibatan penuh masyarakat setempat dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pengelolaan usaha ekowisata dan semua keuntungan yang diperoleh.
Pengembangan ekowisata berbasis masyarakat akan berpotensi lebih berkembang dengan
menggunakan pendekatan kerjasama antar para pihak (stakeholders), termasuk pemerintah,
masyarakat, usaha pariwisata, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perguruan tinggi dan
lembaga lainnya. Pendekatan multipihak dalam satu kelembagaan yang baik diharapkan dapat
menyelaraskan persepsi tentang tujuan pariwisata berbasis masyarakat dan mendukung
tercegahnya dampak dari pembangunan sektor pariwisata yang tidak diinginkan dan menjadi
landasan untuk mengatasi masalah. Hal ini penting dipertimbangkan karena kegiatan ekowisata
tidak hanya menimbulkan dampak positif saja, tapi dapat berpotensi menimbulkan dampak negatif
terhadap lingkungan, baik terhadap lingkungan objek ekowisata maupun terhadap lingkungan
sosial budaya setempat (Supriana, 1997).
Menurut Lynn dan Brown (2003), kegiatan ekowisata di kawasan wisata alam dapat menyebabkan
dampak seperti erosi, pelebaran dan pelumpuran di jalan setapak, kerusakan tumbuhan, kebakaran,
dan sampah yang kesemuanya dapat mengurangi kualitas lingkungan wisata alam dan pengalaman
wisata dari pengunjung.
Konsep Pemberdayaan Masyarakat dalam Ekowisata
Pemberdayaan adalah cara agar rakyat, masyarakat, organisasi, komunitas diarahkan untuk mampu
menguasai atau berkuasa atas kehidupannya (Anwas. 2014). Pemberdayaan tidak hanya
memberikan kewenangan atau kekuasaan kepada pihak yang lemah saja, tetapi mengandung
makna proses pendidikan dalam meningkatkan kualitas individu, kelompok, atau masyarakat
sehingga mampu berdaya, memiliki daya saing, serta mampu hidup mandiri.
Pemberdayaan masyarakat dalam kepariwisataan adalah upaya untuk meningkatkan kesadaran,
kapasitas, akses, dan peran masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, dalam memajukan
kualitas hidup, kemandirian, dan kesejahteraan melalui kegiatan kepariwisataan. Masyarakat
menjadi salah satu stakeholder (para pihak) selain pemerintah dan swasta dalam dunia
kepariwisataan memiliki sumber daya berupa adat istiadat, tradisi dan budaya guna menunjang
keberlangsungan pariwisata. Masyarakat juga dapat berperan sebagai pelaku dalam pembangunan
dan pengembangan kepariwisataan sesuai kemampuan yang dimilikinya. Kedudukan masyarakat
memiliki peran yang strategis dalam upaya pembangunan dan pengembangan kepariwisataan di
daerah.
Pembangunan dan pengembangan ekowisata memerlukan peningkatan peranan masyarakat lokal.
Upaya pemberdayaan (empowerment) perlu dilakukan agar masyarakat lokal dapat berperan
secara aktif dan optimal yang sekaligus mendapatkan manfaat positif dari kegiatan pembangunan
dan pengembangan sektor pariwisata tersebut yang dilaksanakan untuk peningkatan
kesejahteraannya. Peningkatan peran masyarakat diperlukan dalam pembangunan dan
pengembangan kepariwisataan karena pemanfaatan potensi pariwisata dapat menciptakan
kemandirian dan kesejahteraan yang optimal jika dikelola dengan baik oleh masyarakat itu sendiri.
Arah kebijakan pemberdayaan masyarakat melalui ekowisata meliputi:
a. Pengembangan potensi, kapasitas dan partisipasi masyarakat melalui Pembangunan ekowisata;
b. Penyusunan regulasi dan pemberian insentif untuk mendorong perkembangan industri kecil dan
menengah dan Usaha ekowisata skala usaha mikro, kecil dan menengah yang dikembangkan
masyarakat lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
c. penguatan kemitraan rantai nilai antar usaha di bidang ekowisata;
d. perluasan akses pasar terhadap produk industri kecil dan menengah dan Usaha ekowisata skala
usaha mikro, kecil dan menengah yang dikembangkan masyarakat lokal;
e. peningkatan akses dan dukungan permodalan dalam upaya mengembangkan produk industri
kecil dan menengah dan Usaha ekowisata skala usaha mikro, kecil dan menengah yang
dikembangkan masyarakat lokal;
f. peningkatan kesadaran dan peran masyarakat serta pemangku kepentingan terkait dalam
mewujudkan sapta pesona untuk menciptakan iklim kondusif ekowisata setempat;
Partisipasi Masyarakat dalam Ekowisata
Partisipasi adalah keikutsertaan masyarakat dalam suatu kegiatan atau program yang meliputi
pengambilan keputusan, pelaksanaan, penilaian, dan pemanfaatan hasil. Partisipasi tidak hanya
merupakan kontribusi tenaga, waktu, dan materi lokal secara cuma-cuma, untuk mendukung
berbagai program dan proyek pembangunan melainkan sebagai suatu keterlibatan secara aktif
dalam setiap proses.
Peran aktif yang dimaksud adalah mulai dari perencanaan, penentuan rancangan, pelaksanaan
sampai dengan pengawasan dan penikmat hasilnya atau yang dikenal dengan “genuine
participation” atau dengan kata lain masyarakat sebagai pelaku pariwisata (Pitana. 2002). Tolak
ukur keberhasilan dalam pembangunan adalah partisipasi masyarakat lokal yang tinggi (Anwas.
2014).
Partisipasi masyarakat dalam ekowisata memberikan gambaran bagaimana masyarakat
berpartisipasi dalam pembangunan dan pengembangan ekowisata. Ekowisata yang dimaksud di
sini baik berupa ekowisata yang dikelola oleh pemerintah, dikelola oleh personal/swasta atau
dikelola mandiri oleh kelompok masyarakat. Kelompok masyarakat pengelola wisata umumnya
disebut dengan istilah Pokdarwis (kelompok sadar wisata).
Perlu diciptakan suasana kondusif untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat (Sastrayuda.
2010). Suasana kondusif yang diciptakan berupa situasi yang dapat menggerakkan masyarakat
untuk menarik perhatian dan kepedulian pada kegiatan ekowisata dan kesediaan bekerjasama
secara aktif dan berkelanjutan.
Analisis Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan dan Pengembangan Ekowisata
Partisipasi masyarakat perlu dianalisis dalam rangka mendukung ketercapaian program
pembangunan dan pengembangan ekowisata. Metode analisisnya dapat dilakukan secara kualitatif
atau kuantitatif. Pendekatan kualitatif umumnya dapat dilakukan dengan mendeskripsikan
karakteristik destinasi wisata berikut penjelasan bentuk partisipasi yang diberikan dalam
pengembagan ekowisata.
Pendekatan kuantitatif dapat juga digunakan untuk mengukur tingkat partisipasi masyarakat. Salah
satu pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah skala Likert. Penerapan skala Likert
menggunakan tingkatan yang ganjil, bisa 3, 5, 7. Berikut tingkatan skala Likert yang digunakan:
3 tingkatan skala Likert.
0% 33,3% 66,6% 100% Rendah Cukup Tinggi
Keterangan kriteria interpretasi skor persepsi masyarakat:
Angka 0% - 33,3% = Rendah
Angka 33,4% - 66,6% = Cukup
Angka 66,7% - 100% = Tinggi
5 tingkatan skala Likert
Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi sangat tinggi
Keterangan :
0% – 19% (SR) = Tingkat Partisipasi Masyarakat dikatakan Sangat Rendah.
20% – 39% (R) = Tingkat partisipasi masyarakat dikatakan Rendah.
40% – 59% (S) = Tingkat Paartisipasi Masyarakat dikatakan Sedang.
60% – 79% (T) = Tingkat Partisipasi Masyarakat dikatakan Tinggi.
80% – 100% (ST) = Tingkat Partisipasi Masyarakat dikatakan Sangat Tinggi
VI. EKOWISATA DI DESA TALAGA PACA,
KABUPATEN HALMAHERA UTARA
PENDAHULUAN
Pariwisata merupakan salah satu bidang industri yang bergerak dalam bidang pelayanan dan jasa
yang menjadi salah satu andalan bangsa Indonesia dalam mendongkrak devisa negara. Pariwisata
di Indonesia sangat besar dan beragam untuk dapat dikembangkan menjadi destinasi pariwisata
yang menarik dan menjadi tujuan utama wisata dunia (Ridlwan et al. 2017).
Haryanto (2014) menyebutkan bahwa pengembangan pariwisata saat ini lebih didominasi oleh
nilai-nilai ekonomi dan estetika terkait dengan pengembangan industri, dibandingkan
pengembangan nilai-nilai etika budaya, sosial dan kearifan lingkungan dari masyarakat. Namun
demikian, Abdoellah et al. (2019) menyebutkan bahwa telah terjadi pergeseran konsep
kepariwisataan dunia ke model ekowisata yang disebabkan karena kejenuhan wisatawan untuk
mengunjungi obyek wisata buatan. Oleh karena itu peluang ini selayaknya dapat dimanfaatkan
secara maksimal untuk menarik wisatawan mengunjungi objek berbasis alam dan budaya
penduduk lokal.
Ekowisata merupakan perjalanan yang bertanggung jawab ke tempat-tempat yang alami dengan
menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Dalam
pengembangan suatu daya tarik wisata menjadi kawasan ekowisata diperlukan potensi wisata yang
asli, fasilitas yang memadai, aksesibilitas yang mudah dijangkau serta lingkungan yang bersih dan
aman bagi para wisatawan yang berkunjung ke kawasan ekowisata (Herman, Supriadi 2017).
Tanaya dan Rudiarto (2014) menyebutkan bahwa ekowisata juga merupakan salah satu upaya
pengembangan pedesaan untuk meningkatkan perekonomian lokal, dimana masyarakat di
kawasan tersebut merupakan pemegang kendali utama. Ekowisata juga pada dasarnya selaras
dengan konsep pariwisata berbasis masyarakat atau Community Based Tourism (CBT) yakni
model strategi perencanaan pengembangan kepariwisataan yang berorientasi pada pemberdayaan
masyarakat setempat sebagai subjek pembangunan (Sunaryo 2013).
Desa Talaga Paca yang terletak di Kabupaten Halmahera Utara, Propinsi Maluku Utara, memiliki
potensi pariwisata alam yang sangat tinggi. Namun demikian, pemerintah dan masyarakat Desa
Talaga Paca belum mampu mengelola potensi yang ada agar bernilai ekonomi bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan data Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
(RPJMDes) Talaga Paca 2020-2025, 150 kepala keluarga (KK) dari total 204 KK penduduk Desa
Talaga Paca masuk dalam kategori miskin, sementara sisanya dalam kategori sedang. Kondisi ini
merupakan sebuah kontradiksi kemiskinan masyarakat di tengah kekayaan sumber daya alam.
Tujuan PKM ini adalah untuk membangun kegiatan ekowisata di Desa Talaga Paca dengan
keterlibatan aktif masyarakat dan kolaborasi para pemangku kepentingan. PKM ini juga bertujuan
untuk mendorong adanya manfaat ekonomi langsung yang dapat diterima oleh masyarakat melalui
kegiatan ekowisata.
METODE
PKM dilaksanakan di Desa Talaga Paca, Kecamatan Tobelo Selatan, Kabupaten Halmahera Utara,
Provinsi Maluku Utara. Kegiatan berlangsung selama Bulan April – September 2022 dengan
melibatkan Tim PKKM berjumlah 3 orang dengan dukungan 3 orang mahasiswa serta mitra utama
dari masyarakat Desa Talaga Paca.
PKM ini dilaksanakan melalui metode Participatory Learning and Action (PLA) yakni proses
belajar dan praktek yang dilakukan secara partisipatif. Proses pemberdayaan dan penguatan
kapasitas dalam pengelolaan ekowisata dilakukan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat
Desa Talaga Paca dimulai dari perencanaan, implementasi hingga evaluasi. PKM ini juga
dilaksanakan secara kolaboratif bersama para stakeholder seperti Pemerintah Desa Talaga Paca,
Pemda Halmahera Utara dan Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL)
Wilayah Maluku Papua. Kolaborasi memungkinkan dilaksanakannya berbagai kegiatan dengan
lebih efektif dan efisien karena adanya sharing sumberdaya diantara para pihak (Mardikanto,
Soebiato 2012). Tahapan PKM meliputi: 1) Pendahuluan berupa sosialisasi dan konsultasi bersama
mitra dan stakeholder, 2) Persiapan ekowisata Talaga Paca 3) Pelaksanaan ekowisata 4) Promosi
5) Evaluasi bersama mitra dan stakeholder, pelaporan dan publikasi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Talaga Paca menjadi desa defenitif sejak tahun 2006 sebagai hasil pemekaran dari Desa Paca.
Masyarakat Desa Talaga Paca berasal dari latar belakang Komunitas Adat Terpencil (KAT) o
hongana ma nyawa. O hongana ma nyawa berasal dari Bahasa Tobelo ”o hongana” yang berarti
”hutan” dan ”ma nyawa” yang berarti ”orang” sehingga o hongana ma nyawa secara harafiah
berarti ”orang hutan” atau orang yang berasal dari hutan. Simanjuntak et al. (2015) menyebutkan
bahwa masyarakat o hongana ma nyawa lebih dikenal dengan sebutan Suku Tugutil. Arti dan asal
mula sebutan Tugutil tidak dapat dipastikan, namun memiliki makna konotatif sebagai”orang yang
liar, terbelakang dan jahat”. Sebagian pihak menyebut dengan istilah masyarakat Tobelo Dalam
karena pada dasarnya mereka merupakan bagian dari Suku Tobelo yang hidup di pedalaman hutan
secara berpindah-pindah.
Perubahan sosial terhadap masyarakat asli Talaga Paca terutama terjadi setelah masuknya
pelayanan agama dan sosial oleh Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH) pada tahun 1980-an.
Selanjutnya pada awal tahun 1990-an, Departemen Sosial melakukan resettlement masyarakat
yang masih menyebar di sekitar hutan ke dalam satu perkampungan dengan memberikan bantuan
rumah sangat sederhana.
Latar belakang masyarakat Desa Talaga Paca sebagai Komunitas Adat Terpencil mempengaruhi
rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Berdasarkan dokumen Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) Desa Talaga Paca 2020-2025, terdapat 49% atau 201 dari 411 orang
masyarakat Desa Talaga Paca yang buta aksara dan tidak tamat Pendidikan SD. Tidak terdapat
masyarakat dengan jenjang Pendidikan sarjana. Kondisi ini menyebabkan rendahnya taraf
kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa Talaga Paca.
Potensi Wisata Talaga Paca
Talaga Paca telah dikenal oleh masyarakat di Kabupaten Halmahera Utara sebagai salah satu
destinasi wisata yang menarik untuk dikunjungi. Keindahan danau (talaga) yang dikelilingi oleh
hutan dengan kondisi yang relatif masih terjaga merupakan pemandangan yang membawa healing
bagi para pengunjung yang ingin merasakan keteduhan dan kedamaian alam.
Gambar 1 A. Talaga Paca dari udara (Foto: Wilson K.); B. Keindahan Talaga Paca
Upaya pengembangan pariwisata di Talaga Paca pernah dilakukan oleh Pemda Halmahera Utara
dengan menyelenggarakan event “wonderful Talaga Paca” pada tahun 2018. Namun paska event,
tidak dilakukan pendampingan secara berkelanjutan kepada masyarakat Desa Talaga Paca untuk
terus mengembangkan pariwisata di desanya. Lambat laun fasilitas wisata yang telah dibangun
menjadi rusak tidak terawat. Sementara itu masyarakat melakukan aktifitas mandi dan mencuci di
pinggir danau tanpa perduli terhadap sampah-sampah kemasan sabun yang dibiarkan berserakan
di dasar danau. Pada akhirnya Talaga Paca menjadi lokasi yang tidak menarik untuk dikunjungi
para wisatawan.
Paska ditinggalkan oleh wisatawan, Talaga Paca kembali dikenal sebagai sebuah destinasi wisata
setelah dibangunnya usaha cottage and resto milik swasta di Talaga Paca. Jumlah pengunjung baik
dari dalam maupun luar Kabupaten Halmahera Utara cukup tinggi. Namun demikian tingginya
tingkat kunjungan hampir tidak memiliki dampak ekonomi langsung bagi masyarakat karena
wisatawan hanya mengunjungi cottage and resto yang bersifat eksklusif tanpa mengunjungi
perkampungan/desa Talaga Paca.
Hutan Desa Talaga Paca
Pada tahun 2019, Desa Talaga Paca memperoleh persetujuan pengelolaan Hutan Desa (HD) seluas
865 Ha selama 35 tahun dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
berdasarkan SK.8109/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/9/2019. Hutan desa merupakan bagian dari
program perhutanan sosial yang berupaya mengembangkan ekonomi masyarakat di sekitar
kawasan hutan dengan tetap memastikan kelestarian sumber daya hutan yang ada. Kegiatan
pemberdayaan ekonomi masyarakat berbasis perhutanan sosial bersifat lintas sektoral melalui
koordinasi bersama para pemangku kepentingan dari unsur pemerintah, swasta, masyarakat dan
perguruan tinggi. Tujuan yang hendak dicapai adalah terbangunnya sentra-sentra ekonomi
masyarakat pada tingkat desa berbasis produk hasil hutan dan jasa lingkungan (wisata) yang
berdampak pada penyerapan tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan dengan tetap memastikan
kelestarian hutan yang ada.
Keberhasilan perhutanan sosial menekankan pada tiga aspek yakni peningkatan kelembagaan,
pengelolaan kawasan dan pengembangan usaha. Dalam hal kelembagaan, pengelolaan hutan desa
dilakukan oleh Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Talaga Paca di bawah koordinasi
Pemerintah Desa Talaga Paca. Lembaga ini bertugas melakukan pengelolaan kawasan hutan desa
secara lestari bagi kesejahteraan masyarakat. Lembaga ini juga berperan mengembangkan sentra
ekonomi melalui pembentukan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS).
KUPS merupakan unit usaha yang berperan mengembangkan bisnis berbasis sumberdaya lokal di
desa melalui program perhutanan sosial. Terdapat empat (4) kategori KUPS yakni: 1) blue, jika
KUPS telah memiliki legalitas serta potensi usaha sudah teridentifikasi, 2) silver, jika telah tersedia
RKPS (Rencana Kelola Perhutanan Sosial), RKU (Rencana Kerja Usaha) dan RKT (Rencana
Kerja Tahunan), 3) gold, jika KUPS sudah memiliki pengolahan hasil atau sarana wisata, memiliki
akses modal mandiri, bantuan atau pinjaman serta mempunyai pasar atau wisatawan pada tingkat
lokal, serta 4) platinum, jika KUPS telah mempunyai pasar atau wisatawan regional. KUPS
Ekowisata Talaga Paca sendiri sudah memenuhi kriteria dalam kategori gold.
Keberhasilan perhutanan sosial juga sangat dipengaruhi oleh keberadaan pendamping yang
ditugaskan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Balai
Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL). BPSKL Wilayah Maluku Papua sendiri
telah menempatkan seorang pendamping bagi LPHD Talaga Paca sejak Bulan Mei 2021.
Pembangunan Ekowisata
Pembangunan di desa dapat berjalan lancar dengan dukungan para pihak termasuk dukungan
perguruan tinggi (Yofianti et al., 2022). Pada tahun 2022, Tim PKM Universitas Halmahera
bersama LPHD, pemerintah dan masyarakat Desa Talaga Paca menargetkan dihidupkannya
kembali sektor pariwisata di desa mereka dengan konsep ekowisata. Ekowisata didefenisikan
sebagai wisata alam dengan tujuan melakukan konservasi lingkungan dan meningkatkan ekonomi
masyarakat setempat (Stronza, Hunt and Fitzgerald, 2019) (Noh and Razzaq, 2020). Sementara itu
Purnomo (2020) menyebutkan bahwa ekowisata menekankan pada pengelolaan wisata berbasis
masyarakat dengan salah satu tujuan utamanya adalah pemberdayaan sosial masyarakat lokal.
Gambar 2 A. Perencanaan ekowisata oleh masyarakat; B. Penyuluhan ekowisata
Dalam musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) Desa Talaga Paca pada Bulan
November 2021, masyarakat Desa Talaga Paca telah sepakat mengalokasikan dana desa tahun
2022 untuk mendukung pembangunan ekowisata. Ekowisata akan menjadi kegiatan bersama
program perhutanan sosial dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) Talaga Paca.
Dana desa digunakan untuk pengadaan perahu wisata keliling danau/talaga, serta menjadi sarana
transportasi LPHD untuk mengunjungi area hutan desa. Hutan Desa Talaga Paca sendiri
berbatasan langsung dengan danau/talaga dan belum terdapat akses jalan dari desa/perkampungan
ke areal hutan desa. Dana desa juga digunakan untuk memperbaiki fasilitas penunjang wisata
berupa gazebo dan gedung pertemuan.
Tim Universitas Halmahera melalui program Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) dengan
dukungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek)
Republik Indonesia memberikan sejumlah dukungan upaya membangun Ekowisata Talaga Paca.
Tim memfasilitasi kegiatan penyuluhan ekowisata kepada masyarakat Desa Talaga Paca dengan
melibatkan Dinas Pariwisata Kabupaten Halmahera Utara dan Generasi Pesona Indonesia (GenPI)
Maluku Utara sebagai fasilitator. Beberapa masyarakat diberikan peningkatan kapasitas (capacity
building) agar dapat berperan sebagai pemandu wisata. Burung Indonesia, sebuah organiasi non
pemerintah yang concern dengan konservasi keanekaragaman hayati juga memberikan pelatihan
bird watching kepada beberapa pemuda Desa Talaga Paca agar bisa menjadi pemandu jenis wisata
minat khusus tersebut. Selanjutnya sejumlah fasilitas pendukung ekowisata dibangun seperti
pondok/shelter pada areal jungle tracking dan sejumlah papan informasi kegiatan ekowisata.
Tim PKM Universitas Halmahera juga melakukan eksplorasi potensi wisata alam dan budaya
Talaga Paca bersama GenPI Maluku Utara dan Burung Indonesia dengan dukungan dewan adat
Desa Talaga Paca. Tim mengidentifikasi dua buah gua lava yang memiliki nilai sejarah budaya
bagi masyarakat adat di Desa Talaga Paca. Gua lava merupakan gua yang terbentuk pada batuan
beku hasil erupsi vulkanik. Batuan beku pembentuk gua lava merupakan hasil pembekuan aliran
lava (Widagdo, Setijadi, 2007). Kedua buah gua tersebut dalam bahasa lokal disebut o kaho ma
aru’u yang berarti gua anjing dan o mano’o ma aru’u yang berarti gua kalelawar. O kaho ma aru’u
diyakini sebagai tempat anjing dari seorang leluhur perempuan bernama Memeua yang berlindung
menyelamatkan diri dari luapan danau/talaga Paca. Sementara o mano’o ma aru’u dipenuhi dengan
satwa kalelawar yang memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem alam
khususnya penyerbukan bunga untuk menghasilkan buah.
Pencapaian Keberhasilan
Upaya membangun ekowisata telah mulai menghasilkan dampak positif. Sejumlah kunjungan
wisatawan telah berlangsung di Talaga Paca baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Wisatawan mancanegara umumnya sangat menikmati kegiatan jungle tracking dan bird watching
di hutan Desa Talaga Paca yang masih memiliki kerapatan tegakan hutan dan kelimpahan jenis
satwa burung yang relatif masih tingi. Sementara itu bagi wisatawan lokal, Talaga Paca merupakan
alternatif wisata yang diminati karena jarak tempuh dari Tobelo, Kabupaten Halmahera Utara,
hanya sekitar 30 menit. Daya tarik wisata yang disuguhkan berupa danau dan hutan yang sangat
indah dipandang, berbeda dari wisata umumnya di Kabupaten Halmahera Utara berupa pantai.
Dampak langsung pembangunan ekowisata bagi ekonomi masyarakat sudah mulai dirasakan
meskipun masih dalam jumlah yang terbatas, yakni masyarakat yang berperan sebagai pemandu
ekowisata dan motoris perahu wisata. Setiap kunjungan wisatawan, para pemandu dan motoris
memperoleh upah dari pekerjaan yang mereka lakukan. Dampak tidak langsung dari pembangunan
ekowisata ini adalah kesadaran masyarakat untuk menjaga kelestarian ekosistem alam di
danau/talaga dan sekitarnya. Ketika terjadi perambahan hutan di sekitar danau/talaga yang
terkadang dilakukan oleh masyarakat desa tetangga, masyarakat Desa Talaga Paca telah memiliki
inisiatif menegur dan melarang. Masyarakat mulai memahami bahwa keberadaan para wisatawan
ke desa mereka adalah karena potensi keindahan alam danau dan hutan serta budaya tradisional
mereka, sehingga mereka berkomitmen melestarikannya
Gambar 3 Wisata Talaga Paca: A. Keliling danau, B. Jungle tracking, C. Bird watching dan D. Gua
Mulai berkembangnya Talaga Paca sebagai salah satu destinasi wisata dengan konsep ekowisata,
telah menarik perhatian para pihak terkait untuk memberikan dukungan. Pemda Halmahera Utara
melalui Dinas Pariwisata telah menganggarkan biaya rehabilitasi dermaga wisata yang telah rusak
sejak di bangun sejak tahun 2016 dalam perubahan APBD tahun 2022. Sementara itu, Balai
Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Wilayah Maluku Papua juga telah
menganggarkan dana pembangunan fasilitas pendukung berupa gazebo dan rumah-rumah
tradisional o hongana ma nyawa. Kemitraan yang luas dan kuat baik kepada masyarakat maupun
kepada para pemangku kepentingan menjadi kunci keberhasilan ekowisata yang difasilitasi oleh
Tim PKM Universitas Halmahera di Desa Talaga Paca.
KESIMPULAN
Tujuan pelaksanaan PKM untuk mewujudkan pengelolaan ekowisata Talaga Paca oleh masyarakat
telah tercapai. Kegiatan ekowisata pada hutan desa Talaga Paca berupa wisata keliling danau,
jungle tracking, bird watching dan kunjungan gua telah berjalan dengan kehadiran wisatawan lokal
dan manca negara. Sejumlah masyarakat telah menerima manfaat ekonomi dari kegiatan
ekowisata. Keberhasilan capaian ini dipengaruhi oleh kemitraan yang terjalin baik antara Tim
PKM Universitas Halmahera bersama Pemerintah Desa Talaga Paca, GenPI Maluku Utara dan
Burung Indonesia dengan didukung oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan
Teknologi (Kemendikbudristek).
DAFTAR PUSTAKA
Abdoellah, O.S., Sunardi, Ida, W., Martha, F.C., Dede T.W., Hardian E.N. (2019). Pengembangan
Ekowisata Berbasis Masyarakat di Desa Tarumajaya, Hulu Sungai Citarum: Potensi dan
Hambatan. Kumawula, 2 (3), 236-247.
Haryanto J.T. (2014). Model Pengembangan Ekowisata Dalam Mendukung Kemandirian
Ekonomi Daerah Studi Kasus Provinsi DIY. Kawistara, 4 (3), 225-330
Herman N.N., Supriadi B. (2017). Potensi Ekowisata dan Kesejahteraan Masyarakat. Pesona. 2(2),
1-12.
Mardikanto, T., Soebiato, P. (2012). Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif Kebijakan
Publik. Bandung (ID): Alfabeta
Noh, A. N, A. R. . Razzaq, M. M.Z. (2020). Sustainable Community Based Ecotourism
Development. Palarch’S J. Archaeol. Egypt/Egyptology, 17(9), 5049–5061.
Purnomo. (2020). Pemberdayaan Sosial Dalam Pengembangan Ekowisata di Pekon Kiluan Negri,
Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. Singularity: Jurnal Desain dan Industri
Kreatif. 1(1), 1-12.
Ridlwan M.A, Slamet Muchsin, Hayat. (2017). Model Pengembangan Ekowisata dalam Upaya
Pemberdayaan Masyarakat Lokal. Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review
2 (2), 141-158.
Simanjuntak R, Zuhud EAM, Hikmat A, Rachman I. (2015). Etnobotani masyarakat O Hongana
Ma Nyawa di Desa Wangongira, Kabupaten Halmahera Utara. Media Konservasi. 20(3),
252-260
Stronza, C. A. Hunt, and L. A. Fitzgerald. (2019). Ecotourism for Conservation?. Annu. Rev.
Environ. Resour., 44(1), 229–253.
Sunaryo, B. (2013). Kebijakan pembangunan destinasi pariwisata: konsep dan aplikasinya di
Indonesia. Penerbit Gava Media Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata: Konsep
dan Aplikasinya di Indonesia.
Tanaya D.R, Rudiarto I. (2014). Potensi Pengembangan Ekowisata Berbasis Masyarakat di
Kawasan Rawa Pening, Kabupaten Semarang Jurnal Teknik PWK, 3(1), 71-81.
Widagdo A. Setijadi R. (2007). Studi Pendahuluan Geologi Gua Lawa di Purbalingga, Jawa
Tengah. Dinamika Rekayasa 3(2), 57-60.
Yofianti D., Apriyanti Y., Fahriani F., Hisyam E.S., Safitri R. (2022). Perancangan Pengembangan
Kawasan Wisata Pemancingan untuk Peningkatan Ekonomi Masyarakat Desa Jada Bahrin.
DINAMISIA: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, 6(4):1004-1011.