ETIKA KERJA DALAM ISLAM Darni Wahyuni BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika kerja Islam memberikan dampak yang baik terhadap perilaku individu dalam bekerja. Sikap kerja yang positif memungkinkan hasil yang menguntungkan seperti kerja keras, komitmen dan dedikasi terhadap pekerjaan dan sikap kerja lainnya yang tentu saja hal ini dapat memberi keuntungan bagi individu itu sendiri dan organisasi. Agama Islam adalah agama serba lengkap, yang di dalamnya mengatur seluruh aspek kehidupan manusia baik kehidupan spiritual maupun kehidupan material termasuk di dalamnya mengatur masalah Etos kerja. Secara implisit banyak ayat al Qur’an yang menganjurkan umatnya untuk bekerja keras, diantaranya dalam Quran surat al Insirah: 7-8, yang artinya ”Apabila kamu telah selesai (dari satu urusan), maka kerjakan dengan sungguhsungguh (urusa) yang lain”. Juga dijelaskan dalam hadis Rosul yang artinya: ”Berusahalah untuk urusan duniamu seolah-olah engkau akan hidup selamanya. Etos kerja dalam Islam terkait erat dengan nilai-nilai (values) yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah tentang “kerja” yang dijadikan sumber inspirasi dan motivasi oleh setiap Muslim untuk melakukan aktivitas kerja di berbagai bidang kehidupan. Manusia diciptakan di dunia ini sebagai makhluk yang paling sempurna bentuknya (fi ahsani taqwīm), yang ditugaskan untuk menyembah Allah dan menjauhi larangannya. Manusia merupakan makhluk jasmaniah dan rohaniah yang memiliki sejumlah kebutuhan sandang, pangan, papan, udara dan sebagainya. Guna memenuhi kebutuhan jasmaniah itu manusia bekerja, berusaha, walaupun tujuan itu tidak sematamata hanya untuk keperluan jasmaniah semata. B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan Etika Kerja Islam ? 2. Apa pedoman Etika Kerja dalam Islam ? 3. Bagaimana meneladani Etos Kerja yang Islami ? 4. Apa yang dimaksud Kerja dan produktivitas atau Produktivitas kerja ?
C. Tujuan Makalah 1. Untuk mengetahui Pengertian Etika Kerja Islam 2. Untuk mengetahui Pedoman Etika Kerja Dalam Islam 3. Untuk mengetahui Meneladani Etos Kerja Yang Islami 4. Untuk mengetahui Kerja dan Produktivitas atau Produktivitas Kerja BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Etika Kerja Islam Secara etimologis, menurut Endang Syaifuddin Anshari, etika berarti perbuatan, dan ada sangkut pautnya dengan kata-kata Khuliq( pencipta) dan Makhluq (yang diciptakan). Akan tetapi, ditemukan juga pengertian etika berasal dari kata jamak dalam bahasa Arab “Akhlaq”. Kata Mufradnya adalah khulqu, yang berarti : sajiyyah: perangai, mur’iiah : budi, thab’in : tabiat, dan adab: adab (kesopanan). Etika pada umumnya diidentikkan dengan moral (moralitas). Meskipun sama terkait dengan baik-buruk tindakan manusia, etika dan moral memiliki perbedaan pengertian. Secara singkat, jika moral lebih cenderung pada pengertian “nilai baik dan huruk dari setiap perbuatan manusia, etika mempelajari tentang baik dan buruk”. Jadi,bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai teori dan perbuatan baik dan buruk( ethics atau ‘ilm al-akhlaq) dan moral (akklaq) adalah praktiknya. Sering pula yang dimaksud dengan etika adalah semua perbuatan yang lahir atas dorongan jiwa berupa perbuatan baik maupun buruk. (Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam,(Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm.20-21). Etika adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang tingkah laku manusia, perkataan etika berasal dari bahasa Yunani yaitu Ethos yang berarti adat kebiasaan. Etika adalah sebuah pranata prilaku seseorang atau kelompok orang yang tersusun dari suatu sistem nilai atau norma yang diambil dari gejala-gejala alamiyah sekelompok masyarakat tersebut. Faisal Badroen, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta : Kencana Perdana Media Group, 2006), Cet. Ke-1, hlm. 5. Istilah etika diartikan sebagai suatu perbuatan standar ( standard of conduct ) yang memimpin individu, etika adalah suatu studi mengenai perbuatan yang sah dan
benar dan moral yang lakukan seseorang. Hamzah Ya’kub , Etika Islami : Pembinaan Akhlakkul Karimah, (Suatu Pengantar), (Bandung: CV, Diponegoro, 1983), hlm. 12. Aristoteles mendefinisikan etika sebagai suatu kumpulan aturan yang harus dipatuhi oleh manusia. Etika juga memiliki stresing terhadap kajian sistem nilai-nilai yang ada. Oleh karena itu apabila kita kaitkan etika dengan perdagangan dalam Islam, maka akan melahirkan suatu kesimpulan bahwa perdagangan harus mengacu nilai- nilai keislaman yang telah baku dari sumber aslinya yaitu al-Quran dan al- Sunnah. Ahmad Charis Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 1995), hlm. 13. Jika etika diartikan sebagai kumpulan peraturan sebagaimana yang diungkapkan oleh Aristoteles, maka etika perdagangan dalam Islam dapat diartikan sebagai suatu perdagangan yang harus mematuhi kumpulan aturan-aturan yang ada dalam islam. Pemakaian istilah etika disamakan dengan akhlak, adapun persamaannya terletak pada objeknya, yaitu keduanya sama-sama membahas baik buruknya tingkah laku manusia. Segi perbedaannya etika menentukan baik buruknya manusia dengan tolak ukur akal pikiran. Sedangkan akhlak dengan menetukannya dengan tolak ukur ajaran agama (alQuran dan al-Sunnah). Sementara dalam bahasa arab etika dikenal juga sebagai akhlak yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku dan tabiat. Sedangkan secara istilah ada beberapa pengertian tentang etika itu sendiri seperti : 1. Menurut Hamzah Ya’kub etika adalah ilmu tingkah laku manusia yang berkaitan dengan prinsip-prinsip dan tindakan moral yang betul , atau tepatnya etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk. 2. Menurut Amin etika/akhlak adalah ilmu yang menjelaskan arti yang baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya. Menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat . Ajaran etika berpedoman pada kebaikan dari suatu perbuatan yang dapat dilihat dari sumbangasihnya dalam menciptakan kebaikan hidup sesama manusia, baik buruknya perbuatan seseorang dapat dilihat berdasarkan besar kecilnya dia memberikan manfaat kepada orang lain. Dalam menentukan baik atau buruknya perbuatan seseorang, maka yang menjadi tolak ukur adalah akal pikiran. Selain etika ada juga
yang dapat menentukan suatu perbuatan baik atau buruk yaitu akhlak. Namun dalam menentukan baik atau buruknya perbuatan yang menjadi tolak ukur dalam akhlak yaitu al-Quran dan al-Sunnah. Manusia dalam konsepsi Islam diposisikan sebagai makhluk theomorfis yaitu makhluk dengan potensi yang dimiliki serta usaha yang dilakukannya dapat menyerupai sifat-sifat ketuhanan. Kegiatan moral, spiritual dan keduniaan manusia semuanya harus diintegrasikan dan dipadukan untuk direfleksikan satu sama lainnya. Islam memberikan suatu perspektif kepada manusia yaitu yang ditanam dan ditumbuhkan melalui pengembangan rasa pribadi yang tak lain merupakan sumber kekuatan bagi dirinya. Cita Etika Islam ialah membebaskan manusia dari rasa takut dan memberikan kepadanya suatu rasa kepribadian agar ia dapat menyadari bahwa ia adalah sumber kekuatan. Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, Yogyakarta, BPFE, 2005, hlm. 14. Dalam Al Qur’an manusia ditegaskan sebagai makhluk yang diciptakan dalam bentuk yang paling baik, yaitu orang-orang beriman dan mengerjakan amal shaleh. Manusia adalah makhluk yang memiliki sifat kedewasaan dan tanggung jawab yang menjadikan dalam kehidupannya mempunyai kemampuan untuk memikul tanggung jawab terhadap amalnya. Hal ini ditegaskan Al Qur’an dengan ungkapan albasyar. Ungkapan ini menunjukkan bahwa amal manusia harus dipertanggungjawabkan dibawah hukum manusia, masyarakat dan Tuhan. Al-Qur’an Surat Az-Zumar Ayat 39, Al-Qur’an dan Terjemahannya Departemen Islam adalah agama yang menghargai kerja keras sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur'an antara lain Surat Az-Zumar (39) : ayat (39) yang berbunyi : ُمو َن َسۡو َف تَۡعلَ فَ ٞۖ ِم ل ِي َعَٰ ِن ۡم إ َٰى َم َكانَتِكُ َعلَ ْ ُوا ۡوِم ٱ ۡع َمل قَ َٰ قُۡل يَ Artinya : Katakanlah: "Hai kaumku, Bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, Sesungguhnya Aku akan bekerja (pula), Maka kelak kamu akan mengetahui. Surat At-Taubah (09) : ayat (105) غَۡي ِب َوٱل هش ۡ ِم ٱل ِل َٰى َعَٰ لَ ِ َردُّو َن إ َو َستُ ٞۖ ُمۡؤ ِمنُو َن ۡ َوٱل ُهۥُ َو َرسُول ۡم َسيَ َرى ٱ هَّللُ َع َملَكُ فَ ْ ُوا ِل ٱ ۡع َمل َوقُ ِئُكُم َهَٰدَةِ فَيُنَب ُو َن ۡم تَۡعَمل ِ َما كُنتُ ب Artinya : Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.
Berdasarkan beberapa ayat Al Qur’an di atas menunjukkan bahwa Islam memiliki sikap dan pandangan bahwa kerja keras merupakan perintah Allah bernilai ibadah yang harus ditunaikan manusia. Islam menggambarkan peranan manusia dalam alam semesta ini atas dasar 3 masalah pokok penting yaitu: a. Allah SWT menciptakan seluruh alam semesta sesuai dengan peraturan dan hukumNya. b. Allah SWT memerintahkan tunduk kepada umat manusia dari seluruh alam semesta ini, apa saja yang ia butuhkan dalam usahanya untuk hidup dan kelangsungan kehidupannya. Bekerja dan berusaha merupakan fitrah dan watak manusia dalam memakmurkan planet ini, mengeksploitasi sumber-sumber kemakmuran yang ada di bumi dan mengharapkan anugerah Allah yang tersimpan dalam planet ini. c. Kerja adalah segala kemampuan dan kesungguhan yang dikerahkan manusia baik jasmani maupun akal pikiran, untuk mengolah kekayaan alam ini bagi kepentingannya. Syari’ah adalah hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Khalik maupun makhluk. Syari’at Islam merupakan ciptaan Allah SWT, sehingga tidak terbatas oleh ruang dan waktu, yaitu sistem universal, atau sesuai untuk sepanjang zaman dan semua tempat, tidak lapuk ditelan zaman dan tidak kering dimakan hari. Prinsip Syari’ah Islamiyah tidak dapat berubah, walaupun hukum-hukum cabangnya mungkin dapat berubah. B. Pedoman Kerja dalam Islam Islam sebagai sumber kebenaran telah memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada umatnya untuk bekerja sepanjang yang dikerjakan tidak bertentangan dengan syariah. Syariah lah yang menjadi pedoman dan referensi utama ketika manusia mengerjakan sesuatu baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Allah swt. berfirman, “Dan katakanlah bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasulnya dan orangorang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Maha Mengetahui Yang Gaib dan Yang Nyata, lalu Dia terangkan kepadamu tentang apa yang telah kamu kerjakan” (Qs. at-Taubah: 105). Maksud perintah Allah swt. supaya manusia bekerja, namun tidak boleh lupa bahwa apapun yang dikerjakan akan dilihat oleh Allah dan Rasul-Nya, serta orang-orang mukmin yang bermakna penyaksian dan kelak akan diperhadapkan kembali kepada Allah swt. mengenai apa yang
telah dikerjakan. Di sinilah makna penting jawaban manusia terhadap pekerjaan atau amal yang dilaksanakannya. C. Meneladani Etos Kerja Rasulullah SAW Rasulullah SAW menjadikan kerja sebagai aktualisasi keimanan dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridaan Allah SWT. Suatu hari Rasulullah SAW berjumpa dengan Sa'ad bin Mu'adz Al-Anshari. Ketika itu Rasul melihat tangan Sa'ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari. "Kenapa tanganmu?," tanya Rasul kepada Sa'ad. "Wahai Rasulullah," jawab Sa'ad, "Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku". Seketika itu beliau mengambil tangan Sa'ad dan menciumnya seraya berkata, "Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka". Dalam kisah lain disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui tempat Rasulullah SAW. Orang tersebut sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat kemudian bertanya, "Wahai Rasulullah, andaikata bekerja semacam orang itu dapat digolongkan jihad fi sabilillah, maka alangkah baiknya." Mendengar itu Rasul pun menjawab, "Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, itu juga fi sabilillah." (HR AthThabrani). Bekerja adalah manifestasi amal saleh. Bila kerja itu amal saleh, maka kerja adalah ibadah. Dan bila kerja itu ibadah, maka kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari kerja. Bukankah Allah SWT menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya? Tidak berlebihan bila keberadaan seorang manusia ditentukan oleh aktivitas kerjanya. Allah SWT berfirman: هن ٱ هَّللَ ِ م ِس ِه إ ۡ نفُ َ ِأ َما ب ْ ِ ُروا َٰى يُغَي ۡوٍم َحته ِقَ ِ ُر َما ب ََل يُغَي "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib manusia sebelum mereka mengubah apa yang ada pada dirinya. (QS Ar-Ra'd [13]: 11). Dalam ayat lain diungkapkan pula: ِن ۡۡلِن َسَٰ َس ِل ۡي ه َن ل َو َسعَ َٰى أ هَل َما ِ إ
“Dan bahwasannya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”. (QS Al-Najm [53]: 39). Kisah di awal menggambarkan betapa besarnya penghargaan Rasulullah SAW terhadap kerja. Kerja apapun itu selama tidak menyimpang dari aturan yang ditetapkan agama. Demikian besarnya penghargaan beliau, sampai-sampai dalam kisah pertama, manusia teragung ini "rela" mencium tangan Sa'ad bin Mu'adz Al-Anshari yang melepuh lagi gosong. Rasulullah SAW, dalam dua kisah tersebut, memberikan motivasi pada umatnya bahwa bekerja adalah perbuatan mulia dan termasuk bagian dari jihad. Rasulullah SAW adalah sosok yang selalu berbuat sebelum beliau memerintahkan para sahabat untuk melakukannya. Hal ini sesuai dengan tugas beliau sebagai ushwatun hasanah; teladan yang baik bagi seluruh manusia. Maka saat kita berbicara tentang etos kerja islami, maka beliaulah orang yang paling pantas menjadi rujukan. Dan berbicara tentang etos kerja Rasulullah SAW sama artinya dengan berbicara bagaimana beliau menjalankan peran-peran dalam hidupnya. Ada lima peran penting yang diemban Rasulullah SAW, yaitu: Pertama, sebagai rasul. Peran ini beliau jalani selama 23 tahun. Dalam kurun waktu tersebut beliau harus berdakwah menyebarkan Islam; menerima, menghapal, menyampaikan, dan menjelaskan tak kurang dari 6666 ayat Alquran; menjadi guru (pembimbing) bagi para sahabat; dan menjadi hakim yang memutuskan berbagai. Kedua, sebagai kepala negara dan pemimpin sebuah masyarakat heterogen. Tatkala memegang posisi ini Rasulullah SAW harus menerima kunjungan diplomatik "negara-negara sahabat". Rasul pun harus menata dan menciptakan sistem hukum yang mampu menyatukan kaum Muslimin, Nasrani, dan Yahudi, mengatur perekonomian, dan setumpuk masalah lainnya. Ketiga, sebagai panglima perang. Selama hidup tak kurang dari 28 kali Rasul memimpin pertempuran melawan kafir Quraisy. Sebagai panglima perang beliau harus mengorganisasi lebih dari 53 pasukan kaveleri bersenjata. Harus memikirkan strategi perang, persedian logistik, keamanan, transportasi, kesehatan, dan lainnya. Keempat, sebagai kepala rumahtangga. Dalam posisi ini Rasul harus mendidik, membahagiakan, dan memenuhi tanggung jawab-lahir batin-terhadap para istri beliau, tujuh anak, dan beberapa orang cucu. Beliau dikenal sebagai sosok yang sangat perhatian terhadap keluarganya. Di tengah kesibukannya Rasul pun masih sempat bercanda dan menjahit sendiri bajunya.
Kelima, sebagai seorang pebisnis. Sejak usia 12 tahun pamannya Abu Thalib sudah mengajaknya melakukan perjalanan bisnis ke Syam, negeri yang saat ini meliputi Syria, Jordan, dan Lebanon. Dari usia 17 hingga sekitar 20 tahun adalah masa tersulit dalam perjalanan bisnis Rasul karena beliau harus mandiri dan bersaing dengan pemain pemain senior dalam perdagangan regional. Usia 20 hingga 25 tahun merupakan titik keemasan entrepreneurship Rasulullah SAW terbukti dengan "terpikatnya" konglomerat Mekah, Khadijah binti Khuwailid, yang kemudian melamarnya menjadi suami. Afzalurrahman dalam bukunya, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, mencatat bahwa Rasul pun sering terlibat dalam perjalanan bisnis ke berbagai negeri seperti Yaman, Oman, dan Bahrain. Dan beliau mulai mengurangi kegiatan bisnisnya ketika mencapai usia 37 tahun. Adalah kenyataan bila Rasulullah SAW mampu menjalankan kelima perannya tersebut dengan sempurna, bahkan menjadi yang terbaik. Tak heran bila para ilmuwan, baik itu yang Muslim maupun non-Muslim, menempatkan beliau sebagai orang yang paling berpengaruh, paling pemberani, paling bijaksana, paling bermoral, dan sejumlah paling lainnya. D. Produktivitas Kerja Produktivitas kerja berasal dari kata produktif artinya segala kegiatan yang menimbulkan kegunaan (utility). Jika seseorang bekerja, ada hasilnya, maka dikatakan ia produktif. Tapi kalau ia menganggur, ia disebut tidak produktif, tidak menambah nilai guna bagi masyarakat. Para penganggur merupakan beban bagi masyarakat. Biasanya orang-orang kreatif, ada-ada saja yang akan dikerjakannya, makin lama ia makin produktif. Pasaribu Popy Novita, et al,“Model Sumber Daya Manusia Berdasarkan Nilainilai Islam”. Jurnal Ekonomi IPB, Bogor, 2013.hlm. 1. Produktivitas kerja merupakan tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan untuk memenuhi keinginan konsumen. Produktivitas dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan. Hal ini dapat diimplementasikan interaksi antara karyawan (pekerja) dan pelanggan yang mencakup: 1. Ketepatan waktu, berkaitan dengan kecepatan memberikan tanggapan terhadap keperluan-keperluan pelanggan.
2. Penampilan karyawan, berkaitan dengan kebersihan dan kecocokan dalam berpakaian. 3. Kesopanan dan tanggapan terhadap keluhan, berkaitan dengan bantuan yang diberikan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang diajukan pelanggan. Produktivitas dapat diukur pada tingkat individual, kelompok maupun organisasi. Produktivitas juga mencerminkan keberhasilan atau kegagalan dalam mencapai efektivitas dan efisiensi kinerja dalam kaitannya dengan penggunaan sumber daya. Orang sebagai sumber daya manusia di tempat kerja termasuk sumber daya yang sangat penting dan perlu diperhitungkan. Produktivitas mencakup sikap mental patriotik yang memandang hari depan secara optimis dengan berakar pada keyakinan diri bahwa kehidupan hari ini adalah lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini. Sikap seperti ini akan mendorong munculnya suatu kerja yang efektif dan produktif, yang sangat diperlukan dalam rangka peningkatan produktivitas kerja.( Muchdarsah Sinungan, Produktivitas, Jakarta: Bumi Aksara, 2003, hlm.1) Sama halnya menurut Simanjuntak, Produktivitas mengandung pengertian filosofis, definisi kerja, dan teknis operasional. Secara filosofis, produktivitas mengandung pengertian pandangan hidup dan sikap mental yang selalu berusaha untuk meningkatkan mutu kehidupan. Keadaan hari ini lebih baik dari hari kemarin dan mutu kehidupan lebih baik dari hari ini. (Pajar, ”Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja karyawan bagian keperawatan pada Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta”, Jurnal Skripsi Fakultas Ekonomi UMS,2008, hlm.37) Dapat disimpulkan bahwa produktivitas kerja suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh produktivitas kerja karyawannya. Sedangkan produktivitas kerja karyawan sangat dipengaruhi oleh faktor etika kerja, motivasi kerja dan juga faktorfaktor lain seperti kepemimpinan, tingkat pendidikan, budaya kerja, dan sebagainya.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Kerja Islam yang dikemukakan oleh para peneliti banyak kita ketahui melalui tulisan dalam jurnal penelitian ilmiahnya. Menurut Ahmad,S mendefinisikan etika kerja Islam sebagai berikut: “Islamic Work Ethics as a set of value or system of beliefs derived from the Qur’an and Sunnah concerning work and hard work.” Etika kerja Islam adalah sebagai seperangkat nilai atau sistemkepercayaan yang diturunkan dari Al-Qur’an dan Sunnah / Hadist mengenai kerja dan kerja keras. Etika kerja Islam adalah orientasi terhadap pekerjaan, dan pendekatan itu sebagai kebajikan dalam kehidupan manusia. Islam menempatkan pemahaman setinggi-tingginya pada nilai-nilai etika seperti mengatur semua aspek kehidupan. Rasulullah SAW menjadikan kerja sebagai aktualisasi keimanan dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridaan Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA Aedy, Hasan., 2011, Teori dan Aplikasi Etika Bisnis Islam, Bandung: Alfabeta. Alfan, Muhammad., 2011, Filsafat Etika Islam, Bandung: Pustaka Setia. Alma, Buchari dan Donni Juni Priansa, 2014, Manajemen Bisnis Syariah: Menanamkan Nilai dan Praktik Syariah dalam Bisnis Kontemporer, Bandung: Alfabeta. Al-Qur’an Surat At-Taubah Ayat 105, Al-Qur’an dan Terjemahannya DepartemenAgama RI, Mekar Surabaya, Danakarya, 2004 Al-Qur’an Surat Az-Zumar Ayat 39, Al-Qur’an dan Terjemahannya Departemen Agama RI, Mekar Surabaya, Danakarya, 2004 Badroen,Faisal., 2006, Etika Bisnis Dalam Islam, Jakarta : Kencana Perdana Media Group, Cet. Ke- II Muhammad, 2005, Ekonomi Mikro dalam Perspektif Islam, Yogyakarta, BPFE Novita, Pasaribu Popy, et al, 2013,“Model Sumber Daya Manusia Berdasarkan Nilainilai Islam”. Jurnal Ekonomi IPB, Bogor Pajar, 2008, “Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja karyawan bagian keperawatan pada Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta”, Jurnal Skripsi Fakultas Ekonomi UMS. Qaradhawi, Yusuf., 2007, Halal dan Haram, diterjemahkan oleh Tim Kuadran dari Halal wal Haram fil Islam, Bandung: Jabal Sinungan, Muchdarsah., 2003, Produktivitas, Jakarta: Bumi Aksara Vincent, Gaspersz., 2003, Total Quality Manajemen, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka. Ya’kub, Hamzah., 1983, Etika Islami : Pembinaan Akhlakkul Karimah, (Suatu Pengantar), Bandung: CV, Diponegoro. Zubair, Ahmad Charis., 1995, Kuliah Etika, Jakarta: PT Raja Grapindo Persada.