Harapan Asa Laut
Pagi itu, Asa bermain di pinggir pantai bersama temannya, Yangsa, Kaoru, dan Gemima,
yang sudah menjadi kebiasaan mereka di saat akhir pekan. Namun, tiba-tiba datanglah sebuah
perahu. Dari jauh, terlihat 4 orang nelayan, namun mereka tampak panik. Perahu itu semakin
mendekat, terdengarlah teriakan minta tolong dari 4 nelayan itu. Para nelayan maupun
penduduk yang sedang berada di pesisir pantai langsung mendatangi perahu itu beramai-ramai.
Yangsa ternyata juga sudah melesat pergi ke sana tanpa berkata apa pun pada Asa dan
teman-temannya. Tak lama, ia berteriak, “Sa! Asa! Itu ayahmu bukan sih? Cepat kesini!”
Ternyata, ucapan Yangsa benar. Di dalam perahu itu terdapat ayah Asa, namun
tubuhnya terbaring lemas dan dalam keadaan tidak sadar. Asa Laut tidak dapat menahan
tangisnya ketika melihat kondisi Ayahnya. Para penduduk pun membantu membawa Ayah Asa
ke rumah Asa.
Setibanya mereka di rumah Asa, salah satu nelayan memberitahu Asa bahwa ayahnya
jatuh pingsan saat perjalanan pulang setelah melaut di malam hari. Tangis Asa semakin
menjadi-jadi, Ibu Asa yang baru datang dari dapurnya pun juga meneteskan air matanya.
Setelah beberapa saat, muncul seorang pria yang memiliki perawakan yang besar dan
tangannya yang terlihat berkacak pinggang. Ia datang dengan membawa pengawal di sebelah
kanan dan kirinya. Dengan suaranya yang kencang dan berat, ia berteriak “Dimana sang pemilik
rumah ini?!”
Seorang nelayan yang berbicara dengan Asa tadi, menjawab pria ini dengan bingung.
“Ada perlu apa tuan? Pemilik rumah ini sedang jatuh sakit” Ucapnya.
“Ah, saya tidak peduli! Pemilik rumah ini berhutang pada saya 3 juta rupiah sejak 2
bulan yang lalu, ia berkata akan membayarnya bulan ini. Namun bulan ini ia belum
membayarnya, katakan padanya kapan akan mengembalikan uang saya! Jika tidak dikembalikan
bulan ini, saya akan menaikkan bunganya! Maka ia harus membayar 5 juta!” Ujar pria itu.
Ternyata ia adalah rentenir yang meminjamkan uangnya pada Ayah Asa.
“Sejak kapan suami saya meminjam uang orang? Suami saya tidak pernah berkata pada
saya bahwa ia meminjam uang milik orang lain! Jangan fitnah!” Ujar Ibu Asa yang tak kalah
kencang dari suara pria tadi.
“Kalau ibu memang tidak percaya, tanyakan saja sendiri pada suami ibu!” Balas pria tadi,
ia menunjuk-nunjuk Ibu Asa dengan tidak sopan.
Suasana makin keruh hingga akhirnya para penduduk memisahkan keduanya. Si
Rentenir langsung memberi isyarat pada kedua pengawalnya untuk pergi dari rumah Asa. Ibu
Asa terduduk lemas ketika tahu suaminya ceroboh karena meminjam uang pada rentenir
dengan jumlah yang banyak, selama ini ia kira Ayah Asa tidak meminjam uang pada siapa pun
meski mereka memiliki masalah ekonomi. Hari itu seperti menjadi hari terburuk bagi keluarga
Asa Laut.
Asa bingung, ia tidak tahu harus melakukan apa untuk menghadapi masalah yang terjadi
hari itu, ia hanya bisa menangis dan menemani ibunya yang juga menangis. Ia sudah tak tahan
melihat ayahnya kesulitan mencari uang sampai meminjam uang ke lintah darat yang tidak
berperasaan itu, sampai ayahnya jatuh sakit pun si Rentenir itu tidak peduli.
Setelah kejadian yang menimpanya itu, Asa merenung dengan tatapan yang kosong
namun otaknya penuh dengan banyak pikiran buruk yang mungkin akan membuat kepalanya
meledak –seperti yang dikatakan Yangsa saat belajar matematika– jika ia terus menerus
memikirkan hal buruk yang kemungkinan akan terjadi. Ia hanya berharap ia dapat membantu
orang tuanya, namun ia tak tahu bagaimana caranya.
Tiba-tiba ia menemukan ide untuk bekerja mencari uang sebagai bentuk membantu
keluarganya yang sedang kesusahan, dengan membantu nelayan di pantai untuk mengangkat
ikan dan membantu para nelayan saat melaut. Ia berpikir mungkin ia juga bisa ke pasar ikan
membantu nelayan untuk menjual ikan hasil tangkapan mereka.
Setelah dua hari, akhirnya ia mendapatkan 2 pekerjaan. Pekerjaan pertama yaitu
membantu teman ayahnya yang bekerja sebagai nelayan untuk membantunya saat pergi ke
laut mencari ikan. Lalu yang kedua yaitu membantu istri nelayan tersebut berjualan ikan di
pasar. Ia pun sudah mulai bekerja di sana selama 2 hari yaitu hari Sabtu dan Minggu. Harapan
asa untuk membantu orang tuanya mulai terwujud sedikit demi sedikit, uang juga terkumpul
sedikit demi sedikit.
Keesokannya, hari Senin, dengan perasaan yang senang ia berangkat ke sekolah. Ia tak
sabar bertemu teman-temannya di sekolah.
“Asa, seperti biasa, nanti sore kita akan berdiskusi tentang tugas matematika di dekat
rumah Gemima, lalu setelah itu kita akan bermain bola. Kamu mau ikut atau engga?” itulah
ucapan Kaoru yang menjadi pembuka pembicaraan mereka saat jam istirahat.
“Tentu saja” Jawab Asa.
Namun sore itu, Asa tak kunjung datang ke rumah Kaoru. Hingga matahari tenggelam
pun ia masih belum terlihat batang hidungnya.
“Kok Asa ga dateng-dateng sih, dia ketiduran kah?” Tanya Kaoru.
“Iya kayaknya. Ah nyebelin, kalo gitu dari tadi kita mulai duluan aja bahas tugasnya.
Gara-gara nungguin, kita malah ga ngapa-ngapain.” Balas Yangsa
“Gak boleh gitu Yangsa, yasudah deh kita makan malam aja di sini, habis itu kalian boleh
pulang” Ucap Gemima sambil menyiapkan piring untuk makan malam.
Di hari selanjutnya, Asa pun tak datang ke sekolah. Perlakuan Asa itu membingungkan
teman-temannya, tak biasanya seorang Asa Laut tidak berangkat ke sekolah, kecuali saat dia
sakit. Pada waktu sore pun ia tidak datang ke rumah Gemima untuk melakukan kegiatan yang
biasa mereka lakukan.
Beberapa hari pun berlalu, bahkan sudah hampir seminggu Asa tidak menunjukkan
keberadaannya. Yangsa yang tak sabar pun tidak bisa menahan amarahnya yang sudah ia
simpan sejak lama.
“Kemana sih si Asa itu?! Jangan-jangan dia malas. Kalau memang malas ya tidak usah
berkata akan ikut ke pertemuan kita, kalau memang malas ya tidak usah sekolah sejak awal!”
suara Yangsa terdengar menggelegar memenuhi kamar Gemima yang besar.
“Tau dari mana kau kalau dia malas? Kita nggak tau dia sedang melakukan apa
sekarang. Jangan langsung menyimpulkan hal-hal buruk. Lebih baik kita menanyakan tetangga
atau keluarga Asa dulu” Bantah Gemima, ia juga tak tahan dengan Yangsa yang selalu berpikir
negatif.
Setelah itu pun mereka bertiga pergi ke lingkungan rumah Asa yang agak jauh dengan
pantai. Kaoru menanyakan tetangga Asa satu-persatu namun mereka juga tidak tahu
keberadaan Asa, bahkan mereka berkata tidak melihat Asa dalam beberapa hari ini. Akhirnya
mereka bertiga pun bertanya pada keluarga Asa, mereka pun berkata tidak tahu, mereka juga
sedang mencari-cari keberadaan Asa, tetapi mereka juga tak kunjung menemukan Asa.
Satu-persatu orang sudah ditanyakan. Matahari sudah terlihat akan menenggelamkan
dirinya. Gemima, Kaoru, dan Yangsa sudah kelelahan. Mereka memutuskan untuk berhenti
mencari Asa.
“Gimana kalo hari ini kita ke rumahku dulu untuk makan malam? Besok kita cari Asa
lagi” Kaoru memberi usul karena melihat temannya kelelahan. Usul itu disetujui oleh kedua
temannya. Mereka pun bergegas pergi ke rumah Kaoru yang berada di tepi pantai.
“Hey, kemana temanmu yang satu lagi? Biasanya kalian berempat.” Suara itu terdengar
dari arah depan mereka, Ternyata itu adalah suara Ibu Kaoru.
“Asa tidak tahu kemana Bu, ia bahkan tidak pergi sekolah.” Balas Kaoru.
“Oh? Tadi pagi aku melihatnya di pasar menjual ikan. Dia tak memberi tahu kalian kah?”
Perkataan Ibu Kaoru itu mengejutkan Kaoru, Gemima, dan Yangsa. Sudah berjam-jam
mereka mencari Asa, ternyata dia malah berjualan di pasar.
Keesokannya pun mereka bertiga pergi ke pasar untuk mencari Asa. Ternyata benar, Asa
sedang berjualan di bagian tengah pasar. Yangsa langsung memarahi Asa atas perbuatannya,
Kaoru hanya menertawakan Yangsa yang berbicara seperti seorang bapak yang memarahi
anaknya yang tidak pulang-pulang karena bermain terus terusan. Gemima hanya menatap
kedua temannya dan tersenyum.
“Baiklah, baiklah. Maafkan aku karena lalai dalam mengatur waktu untuk sekolah dan
bekerja. Maafkan aku karena melupakan janjiku untuk bertemu dengan kalian. Akhir-akhir ini
kepalaku hanya berpikir bagaimana cara membantu melunaskan hutang ayahku, belum lagi
obat yang dibutuhkannya.” Itulah yang diucapkan Asa untuk menghentikan ocehan Yangsa yang
membuat para pedagang dan pembeli melihat mereka seperti sedang menonton drama
sinetron di TV.
“Kenapa kau tidak mengatakan pada kami jika kau bekerja? Kami akan membantumu
bekerja jika kamu memberitahu kami.” Gemima akhirnya bersuara.
Setelah berdiskusi, mereka akhirnya sepakat untuk membantu Asa bekerja, dan juga
membantu Asa mempelajari materi-materi yang sudah ia lewati selama tidak sekolah.
Hari-perhari, minggu-perminggu telah dilewati. Uang telah terkumpul 3 juta. Uang itu
terkumpul dari hasil kerja mereka selama kurang lebih 2 minggu. Mereka juga mendapat
bantuan dari orang tua Gemima, Kaoru, dan Yangsa. Selain itu, Asa juga mendapat banyak
bantuan dari gurunya yang bersimpati setelah mendengar musibah yang dialami Asa, yang
nanti akan digunakan untuk ayahnya berobat. Untunglah mereka bisa membayar tepat waktu.
Karena jika tidak, mereka harus membayar bunganya yaitu 2 juta, maka mereka harus
membayar 5 juta.
Dengan begitu, harapan Asa terwujud. Ia dapat membantu kedua orang tuanya bahkan
membuat mereka bangga. Akhirnya masalah yang dihadapi Asa pun selesai, mereka berempat
memutuskan membakar beberapa ikan yang diberikan oleh nelayan yang dengan baik hati
menerima mereka berempat untuk bekerja di tempatnya. Gemima membawakan sambal kecap
yang dibuat oleh ibunya, yang membuat ikan bakar tersebut semakin nikmat. Mereka
bergembira dan Yangsa yang menyanyikan lagu dangdut kesukaannya, membuat mereka
semua tertawa.
Dari apa yang dialami Asa dan teman-temannya, kita harus bekerja keras seperti Asa.
Namun, saat bekerja keras, jangan lupakan tanggung jawabmu sebagai pelajar, dan jangan
lupakan janjimu terhadap orang lain serta kewajibanmu. Dari mereka juga kita belajar untuk
menghilangkan prasangka buruk seperti Yangsa, karena kita tak tahu apa yang sebenarnya
terjadi. Bantulah temanmu ketika mereka dalam kesulitan, seperti teman Asa yang dengan
senang hati membantu Asa saat mengalami kesulitan.