The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Buku ini menjelaskan mengenai peninggalan situs keraton Ratu Boko

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Nurista Salsabila, 2023-09-27 10:36:20

KEPURBAKALAAN MASA KLASIK KERATON RATU BOKO

Buku ini menjelaskan mengenai peninggalan situs keraton Ratu Boko

Keywords: Ratu Boko,situs,tempat,keraton

SITUS KERATON RATU BOKO Disusun Oleh: Nurista Salsabila


“KERATON RATU BOKO” ANTIQUITIES OF THE CLASSICAL PERIOD OF THE RATU BOKO PALACE KEPURBAKALAANMASA KLASIK KERATON RATUBOKO Nurista Salsabila (220210302043) Abstrak Berbagai peninggalan yang terdapat di Indonesia dapat memberikan pengetahuan serta informasi m engena i kebudayaan yang ada pada kerajaan zaman terdahulu. Namun, banyak permasalahan yang muncul dan perlu dibahas serta diungkap agar dapat mengetahui keberadaanya pada lokasi tersebut. Untuk mendapatkan segala jawaban atas permasalahan tersebut diperlukan metode pengumpulan data untuk membuktikan ba hwa Situs Ratu Boko apakah keraton atau candi ataukah istana. Pada penelitian kali ini juga membahas mengenaibukti peninggalan-peninggalan apa saja yang terdapat dalam situs tersebut. Dalam hal tersebut, pemerintah berwenang memiliki kewajiban untuk tetap melestarikan peninggalan yang ada pada situs tersebut, salah satunya adalah dengan cara melindungi, melestarikan serta menyelamatkan segala peninggalan yang ada. Kata kunci : situs; kerajaan;keraton;candi Abstrac Various heritages found in Indonesia can provide knowledge and information about the culture that existed in ancient kingdoms. However, many problems arise and need to be discussed and disclosed to find out where they are at that location. To get all the answers to these problems, a data collection method is needed to prove that the Ratu Boko Site is a palace or a temple or a palace. This research also discusses the evidence of any relics contained in the site. In this case, the government has the authority to continue to preserve the heritage on the site, one of which is by protecting, preserving, and savingall the heritage on the site. Key words: site; kingdom; palace; temple


“KERATON RATU BOKO” I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Situs Ratu Boko terletak di wilayah Deusun Dawung, Desa Bokoharjo dan Dusun Sumberwatu, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta atau sekitar 3 km dari arah selatan Candi Prambanan. Terdapat dua prasasti yang menceritakan mengenai Ratu Boko yakni Abhayagiriwihara 714 saka atau 792M yang berisi mengenai tokoh yang bernama Rakai Panangkaran telah membangun wihara diatas bukit dengan harapan agar damai dan dijauhkan dari marabahaya. Prasasti kedua yakni Hara lingga, hara berarti tertinggi Lingga itu Siwa 778 saka atau 856M yang berarti meninggikan Dewa Siwa. Situs Ratu Boko diperkirakan digunakan orang-orang dari Kerajaan Mataram Kuno pada abad ke VIII pada masa Dinasti Syailendra (Rakai Panangkaran). Dilihat dari sensus sisa-sisa bangunan, ada dugaan kuat bahwa tempat ini dulunya adalah istana (istana kerajaan). Pendapat ini didasarkan pada fakta bahwa kompleks bangunan ini bukanlah candi atau bangunan keagamaan, melainkan keraton berbenteng, terbukti dengan sisa-sisa benteng dan parit kering yang digunakan sebagai pertahanan. Bangunan purbakala Situs Ratu Boko antara lain Candi Pembakaran, gapura, pendopo, sumur suci, gua, paseban, kaputren, dan kolam. Meskipun situs ini sudah banyak dikunjungi, namun masih banyak masyarakat belum mengetahui tentang sejarah situs ini. Masih banyak aggapan dari masyarakat yang mengira bahwa situs ini memiliki sejarah yang mistis yang beranggapan bahwa pembangunan ini dibangun dengan kekuatan spiritual. Dengan adanya pandangan masyarakat tersebut maka penulis mengangkat tema pada peneliian ini yang berjudul “ Kepurbakalaan Keraton Ratu Boko”.


“KERATON RATU BOKO” 1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah Situs Ratu Boko termasuk keraton atau candi atau istana? 2. Siapakah pendiri Situs Ratu Boko? 3. Bagaimana cara penyusunan bangunan di Situs Ratu Boko? 4. Apa saja bukti peninggalan dari Situs Ratu Boko? 5. Bagaimana kehidupan sosial masyarakat pada saat itu? 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ini bertujuan untuk mencari jawaban atas permasalahan yang diteliti secara akademis yaitu: 1. untuk mengetahui penamaan Situs Ratu Boko apakah termasuk keraton, candi atau istana. 2. untuk mengetahui pendiri dari Situs Ratu Boko 3. untuk memahami bagaimana cara penyusunan bangunan yang ada di Situs Ratu Boko 4. untuk melihat segala bukti peninggalan yang terdapat pada Situs Ratu Boko 5. untuk memengetahui keadaan sosial masyarakat yang ada di Situs Ratu Boko 1.4 Landasan Teori Penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk meneliti dengan suatu kondisi objek alamiah, dimana peneliti merupakan instrumen kunci (Sugiyono, 2005). Tujuan penelitian kualitatif adalah menjelaskan suatu fenomena sedalam mungkin dengan cara mengumpulkan data sedetail mungkin. Hal ini menunjukkan pentingnya kedalaman dan detail dalam data yang diselidiki. Pada penelitian kualitatif, semakin mendalam, teliti, dan tergali suatu data yang didapatkan, maka bisa diartikan pula bahwa semakin baik kualitas penelitian tersebut. Maka dari segi besarnya responden atau objek penelitian, metode penelitian kualitatif memiliki objek yang lebih sedikit dibandingkan dengan penelitian kuantitatif, sebab lebih mengedepankan kedalaman data, bukan kuantitas data. Pada penelitian kualitatif, semakin


“KERATON RATU BOKO” mendalam, teliti, serta tergali suatu data yang didapatkan, maka dapat diartikan bahwa semakin baik kualitas penelitian tersebut. Maka berdasarkan segi besarnya responden atau objek penelitian, metode penelitian kualitatif mempunyai objek yang lebih sedikit dibandingkan menggunakan penelitian kuantitatif, karena lebih mengedepankan kedalaman data, bukan kuantitas data. Pada penelitian Situs Ratu Boko ini dilakukan studi pustaka terlebih dahulu setelahnya peneliti melakukan analisis mengenai permasalahan yang akan di teliti pada saat penelitian dilakukan rumusan masalah tersebut dicari jawabannya melalui observasi langsung serta wawancara. 1.5 Metode Penelitian Pada penelitian ini menggunakan empat tahapan dalam penulisan sejarah yaitu heuristik, kritik sumber, interprestasi, dan historiografi. Heuristik mengacu pada proses pengumpulan informasi atau pengumpulan sumber untuk penelitian sejarah. Sumber sejarah dikkategorikan sebagai primer atau sekunder berdasarkan sumbernya. Setelah pengumpulan sumber sejarah selesai, maka sumber sejarah tersebut akan memasuki tahap verifikasi atau kritik sumber. Kemudian sumber-sumber sejarah yang dikumpulkan akan diperiksa keaslian dan kredibilitasnya. Historiografi adalah proses penulisan sejarah dengan menggunakan sumber-sumber yang telah ditemukan, dievaluasi, dipilih, dan dikritisi. Teknik dokumenter, survei lapangan (field survey), mencatatat materi dari tour guide dan wawancara digunakan untuk mengumpulkan data. Teknik documenter digunakan untuk mengumpulkan data dengan menelusuri data tertulis (artikel, laporan penelitian, buku, dll) yang berisi informasi tentang Situs Ratu Boko. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik survei lapangan dengan mengamati secara langsung tinggalan arkeologi di atas permukaan tanah pada setiap lokasi situs tersebut yang dipilih sebagai objek penelitian kulia lapang. Adapun dalam hal pengumpulan data menggunakan teknik wawancara, dimana setiap pengelola objek telah menyiapkan wawancara mendalam dengan pemandu profesional.


“KERATON RATU BOKO” II. PEMBAHASAN DAN HASIL 2.1 PEMBAHASAN 2.1.1 Letak Situs Situs Keraton Ratu Boko adalah kebudayaan kuno salah satu peninggalan kerajaan mataram kuno sekitar abad ke VIII- X masehi yang terletak di Perbukitan Boko, Desa Dawung dan Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah istimewa Yogyakarta dengan ketinggian sekitar 195.97m diatas permukaan laut dengan luas 160. 898 m2 . Lokasi keraton ini berada di Selatan Candi Prambanan yang berjarak kurang lebih sekitar tiga kilometer. 2.1.2 Sejarah Penamaan Keraton Ratu Boko Keraton Ratu Boko pada awalnya ditemukan oleh arkeolog Belanda yang bernama Van Boeckholtz pada tahun 1790 yang kemudian terdapat banyak perhatian yang berfokus pada peninggalan peninggalan yang ada pada keraton ini. Seorang Belanda yang bernama De Graaf menuliskan bahwa berdasar berita dari musafir Eropa yang sedang melakukan perjalanan di sebelah selatan Candi Prambanan ada situs kepurbakalaan. Sementara selian itu, yang pernah didengar dari certia yang ada dimasyarakat setempat bahwa situs Keraton Ratu Boko ini dihubungkan dengan Prabu Boko yang berasal dari wilayah Bali. Penamaan situs Ratu Boko ini dimulai pada tahun 1915 berasal dari legenda masyarakat setempat yang Ratu Boko memiliki arti secara bahasa jawa yaitu “raja bangau”, dan Ayah dari Roro Jonggrang. Masyarakat sering keliru dalam pengartian bahwa penamaan Ratu Boko seringkali dianggap sebagai seorang perempuan. Namun, berdasarkan bahasa jawa arti “ratu” adalah seorang pemimpin atau penguasa dan tidak menyebutkan gender(baik perempuan maupun laki-laki) dengan syarat jika orang tersebut diangkat sebagai ratu diprioritaskan untuk kaum laki-laki terlebih dahulu.


“KERATON RATU BOKO” Berdasarkan prasasti yang ada situs ini disebutkan sebagai wihara budha. Namun, Masyarakat awam sering menyebut situs ini dengan nama Keraton Ratu Boko atau Candi Ratu Boko. Penamaan tersebut dianggap benar karena dapat dilihat dari berbagai faktor: 1. Disebut sebagai candi karena pengertian candi adalah sebuah peninggalan bangunan yang terbuat dari batu 2. Disebut sebagai keraton kerena situs ini lebih memperlihatkan sebagai sebuah tempat tinggal yang dibuktikkan dengan adanya gapura, alun-alun, paseban, pendopo, kolam, miniatur candi, keputren, dan gua. Untuk memberi sebuah nama situs balai pelestarian cagar budaya berpedoman dengan tiga hal: 1. Berdasarkan nama prasasti atau nama yang disebut dalam prasasti 2. Berdasarkan letak atau tempat diketemukan 3. Berdasarkan penyebutan warga atau masyarakat sekitar situs, yang bisa dilhat dari cerita, kondisi fisik, atau ciri khas Segala peninggalan yang ada di keraton ini juga pernah mendapat perhatian dari J.G. de Casparis yaitu seorang epigraf yang terkenal. Dimana beliau berhasil menafsirkan dan membaca beberapa prasasti yang pernah ditemukan disekitar kawasan tersebut. Berdasarkan bukti dari prasasti-prasasti yang telah ditemukan, Keraton Ratu Boko memiliki dua background keagamaan yang berbeda yaitu agama Budha dan Hindu. Selain dibuktikan dari prasasti, ada juga bukti dari penemuan arkeologis baik penemuan lepas dan struktur bangunannya. Dengan berjalannya waktu yang sudah berabad-abad tentutnya situs ini mengalami berbagai kerusakan serta runtuh yang disebabkan oleh faktor alam berupa pelapukan . Selain itu, dahulu situs ini juga pernah di guncang bencana alam berupa gempa bumi yang termuat dalam prasasti dekalkuntha yang menyebutkan pulau jawa pada tahun 1006 terjadi sebuah bemcana gunung berapi meletus , gempa bumi, banjir, dan tsunami yang menyebabkan bangunan –bangunan tersebut runtuh termasuk Candi Prambanan, Candi Borobudur ataupun yang berada di Pulau Jawa yang disebut sebagai mahapralaya( pralaya:bencana, maha: besar) Rakai Panangkaran Tejahpurnapanne Panamkarana adalah raja Budha pada masa Mataram kuno yang sekarang lebih dikenal dengan nama Rakai Panakaran(Dinasti


“KERATON RATU BOKO” Syailendra) yang jauh sebelum Raja Samaratungga pendiri (Candi Borobudur) dan Rakai Pikatan (Pendiri Candi Prambanan) yang merupakan raja kerajaan mataram kuno . Sifat Budhisme yang ada di Keraton Ratu Boko ini terlihat melalui beberapa temuan runtuhan stupa, prassasti emas, stupika-stupika, dan tiga arca Dhyani Budha. Kawasan ini juga terdapat Agama Hindu yang terdapat adanya Rakai Walaing Pu Kumbhayoni ( Sri Kumbhaja). Dalam keraton ini ada dua prasasti yang ijadikan sebagai pedoman yaitu yang pertama adalah prasasti Abhayagiriwihara dengan angka tahun 714 saka atau 792 masehi yang memiliki makna abhaya: tidak ada bahaya, aman atau damai dan sedangkan giri: gunung dan wihara yang merupakan tempat suci pemujaan Budha atau tempat tinggal biksu. Jadi, keraton ini bisa diartikan sebagai tempat pemujaan pada Agama Budha atau tempat tinggal para biksu yang berada di gunung atau di atas bukit yang penuh rasa kedamian. Dalam prasasti ini disebutkan tokoh Tejahpurnapanne Panamkarana atau yang biasanya disebut sebagai Rakai Panakaran. Rakai Panakaran telah membangun wihara Abhayagiriwihara Sebuah paviliun dan gua adalah bangunan awal vihara di Bukit Walaing ini kemudian diyakini sebagai tempat Ratu Boko. Prasasti kedua yang menjadi pedoman pada keraton ini adalah prasasti Hara lingga dengan angka tahun 778 saka atau 856 M yang memiliki makna hara: tertinggi, dan lingga:siwa sehingga dapat diartikan sebagai meninggikan Dewa Siwa. Namun, pada prasasti ini tidak menyebutkan penguasa atau pendiri. Berdasarkan prasasti Siwa graha yang terdapat di Candi Prambanan Siwa memiliki arti Dewa Siwa atau lingga dan graha adalah kediaman atau rumah atau pemuja dewa Siwa dengan penguasa beragama agama hindu. Dalam prasasti Siwa graha yang memiliki angka tahun sama dengan lokasi yang cukup dekat dianggap memiliki penguasa yang sama dimana disebutkan penguasanya adalah Sri Maharaja Rakai Pikatan Empu Manuku(Rakai Pikatan). Rakai Pikatan telah merubah fungsi wihara menjadi keraton atau tempat tinggal rakai pikatan dapat merubah fungsi karena istri Rakai Pikatan yang bernama Pramodya Wardani yang masih memiliki hubungan darah dengan Samaratungga yang masih keturunan dari Rakai Panakaran. Jadi, bisa disebutkan bahwa Agama Budha dan Hindu pada masa itu berlomba-lomba berusaha menjadi seorang raja. Hal tersebut dikarenakan agama yag berkembang di masyarakat pada saat itu mengikuti agama yang dianut oleh raja. Pada era


“KERATON RATU BOKO” Rakai Pikatan menikah dengan Pramodya Wardani kehidupan saling bertoleransi antara Agama Budha dan Agama Hindu sehingga terdapat penyebutan siwa budha sehingga Rakai Pikatan dengan wajar dapat merubah fungsi wihara menjadi sebuah keraton. 2.2.3 Cara pembuatan bangunan pada situs Keraton Ratu Boko Material yang terdapat pada bangunan ini berasal dari dua jenis batu yakni batu putih berasal dari pahatan bukit disekitar situs dan batu andersit yang berasal dari gunung berapi yaitu Gunung Merapi yang berlokasi sekitar 30 km dari Situs Keraton Ratu Boko. Material ini yang bersumber dari Gunung Merapi diduga dibawa oleh arus Sunagi Opak yang telaknya 7 km dari bukit Situs Keraton Ratu Boko. Namun, hingga saat ini teori cara membawa material tersebut belum bisa diketahui. Material yang berasal dari jenis bebatuan tersebut disusun menggunakan sistem batu pengunci atau sistem batu pengait terdapat lingga yoni ada yang berbentuk belut, silinder dan kotak tergantung posisi dan besar kecilnya batu seperti cengkraman atau puzzle. Seperti yang sudah diketahui sebelumnya bahwa Situs Keraton Ratu Boko adalah bangunan hasil dari restorasi. Banyak bebatuan yang sudah diganti (tidak original) yang ditandai dengan adanya titik di tengah batu berupa timah, timbal, atau resin. Pada tahun 1950- 1955 saat melakukan restorasi situs masih menggunakan semen atau beton sebagai perekat bebatuan dikarenakan teknik batu pegait atau batu pengunci masih belum bisa ditiru pada saat itu. Namun, pada saat ini teknik retorasi dengan semen tidak boleh digunakan karena apabia terjadi gempa bumi akan merusakkan batu yang original. 2.2.4 Kebudayaan yang ada di Keraton Ratu Boko Bukti dari kebudayaan darisitus Ratu Boko yakni 1. Dalam situs Keraton Ratu Boko ini dapat ditemukaannya prasasti-prasasti yakni : a) Prasasti Abhayagiriwihara.Prasasti Abhayagiriwihara yang ditemukan pada tahun 792 M Isi dari prasasti mendasari dugaan bahwa Kraton Ratu Boko ini dibangun oleh Rakai Panangkaran. Prasasti Abhayagiriwihara ditulis menggunakan huruf pranagari, yang merupakan salah satu ciri prasasti Buddha. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa Raja Tejapurnapanne Panangkarana, yang diperkirakan adalah Rakai Panangkaran,


“KERATON RATU BOKO” telah memerintahkan pembangunan Abhayagiriwihara. Prasasti ini juga menyebut sebuah kawasan wihara di atas bukit bernama Abhyagiri Wihara yang berarti wihara di bukit yang bebas dari bahaya. b) Temuan prasasti lainnya yaitu prasasti Ratu Boko A dan B (berangka tahun 856 M) dan C semua mengandung keterangan tentang pendirian lingga yaitu Lingga Krrtivasa, Lingga Tryambaka, dan Lingga Hara. 2. Terdapat bangunan-bangunan yang cukup luas pada Situs Ratu Boko tersebut yang terdiri atas beberapa kelompok bangunan. Sebagian besar di antaranya saat ini hanya berupa reruntuhan. Adapun bangunan-bangunan yang berbentuk yaitu : a). Gerbang atau Gapura Gapura pada situs Ratu Boko terdiri dari dua buah bangunan yang berbentuk paduraksa dengan puncak bangunan (atap) berbentuk ratna yang berfungsi sebagai gerbang masuk utama. Adapun gapura tersebut yakni : GambarI.Gapura I Gambar II.Gapura II a.1 Gapura I yang terbuat dari batu andersit,namun lantai,tangga dan pagar terbuat dari batu putih.Ukuran dari Gapura I 12,15 m,lebar 6,90 m,tinggi 5,05 m dan mempunyai 3 pintu masuk. a.2 Gapura II memiliki ukuran 18,60m, lebar 9m, dan tinggi 4,50 m yang mempunyai 5 pintu masuk. Gapura yang pertama diapit oleh dua gapura pengapit di setiap sisi, terdapat tiga tangga. Material yang terdapat pada gapura ini terbuat dari dua jenis batu yakni andesit. Material batu andesit memiliki bentuk yang berbeda-beda ada yang berbentuk kotak ataupun bulat. Dalam penyusunannya menggunakan sistem saling mengait. Pada gapura terdapat hiasan ‘ukel’ (gelung) di pangkal dan kepala raksasa di puncak pipi


“KERATON RATU BOKO” tangga yang disebut sebagai kala memiliki fungsi sebagai penjaga candi dari ruh jahat yang biasanya terletak diatas ataupun bawah. Diatas gapura terdapat ratnayang dicirikan dari Agama Hindu sebagai simbol intan, permata, berlian, atau mahkota. Diatas dinding terdapat utala yang lebih ke bunga lotus yang berarti Budha. Gambar III. utala GambarIV. Ratna Gambar V. kala b). Pendopo Gambar VI. Pintu masuk pendopo Gambar VII. Pendopo Gambar VIII.Umpak Pendopo Pendopo adalah bangunan pusat atau inti yang terdapat pada Situs Keraton Ratu Boko yang terletak selatan dari gapura yang memiliki fungsi sebagai tempat tinggal


“KERATON RATU BOKO” raja. Pada gapura ini terdapat dinding batu yang memiliki ketinggian sekitar dari 3 m yang digunakan untuk memagari sebuah lahan dengan ukuran panjang 40 m dan lebar 30 m. terdapat dua jalan masuk yang terdapat pada sisi kanan dan juga sisi kiri yang berbentuk seperti gapura paduraksa (gapura beratap).Pada bagian luar dinding terdapat saluran pembuangan air, yang disebut dengan jaladwara. Jaladwara ini juga ditemukan di candi Banyuniba dan candi Borobudur. Dalam Bahasa Jawa dapat diartikan bahwa pendapa berarti ruang tamu atau hamparan lantai beratap yang terletak di bagian depan rumah yang digunakan untuk menjamu seseorang.Di berbagai tempat di permukaan lantai ditemukan batu umpak yang diduga sebagai fondasi tempat menancapkan tiang bangunan. Di luar dinding pendopo, yang terdapat pada arah tenggara, terdapat sebuah teras batu yang ujungnya terdapat tiga buah candi kecil(miniatur candi) yang digunakan sebagai tempat pemujaan kepada Dewa. Bangunan yang di tengah memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan kedua candi yang menjadi pengapitnya, candi tersebut digunakan sebagai tempat untuk memuja Dewa Wisnu. Sedangkan dari kedua candi yang mengapitnya,dari masing-masing candi merupakan tempat memuja Dewa Syiwa dan Dewa Brahma.Lubang yang terdapat dibawah ketiga candi tersebut menjadi tempat penampungan air yang dialirkan oleh ketiga candi tersebut. Gambar IX. jaladwara Gambar X.miniatur candi


“KERATON RATU BOKO” Gambar XI.tempat penampungan air c) Keputren Gambar XII. Keputren Keputren ini memiliki arti yakni tempat tinggal, tempat tinggal yang dimaksud adalah tempat tinggal dari para putri yang terletak paling belakang dan paling bawah bagian timur dari pendopo. Letak keputren yang paling belakang dan paling bawah ini memiliki simbol bahwa wanita disebut sebagai konco wingkeng (teman belakang) dengan posisi paling bawah tentang derajat wanita pada saat itu. Lingkungan keputren terbagi menjadi dua tembok batu yang mana tembok batu tersebut memiliki sebuah pintu yang menjadi penghubung diantara kaputren.Dalam lingkungan pertama kaputren terdapat tiga buah kolam yang memiliki bentuk persegi sebagai kolam laki-laki. Sedangkan dalam lingkungan yang bersebelahan dengan tempat ketiga kolam persegi tersebut, terdapat kolam yang berbentuk bundar yang berjajar dalam tiga baris yang digunakan untuk memehuni segala aktivitas sehari-hari yang membutuhkan air.


“KERATON RATU BOKO” Gambar XIII .kolam laki-laki Gambar XIV.kolam perempuan/putri d) Gua Gambar XV. Gua Laki-laki Gambar XVI. Gua Perempuan Di lereng bukit tempat kawasan Situs Keraton Ratu Boko terdapat dua buah gua. Gua ini digunakan sebagai tempat bertapa atau bersemedi.Gua tersebut disebut sebagai Gua Lanang dan Gua Wadon yang memiliki arti gua lelaki dan gua perempuan. Diberi nama Gua Wadon karena terdapat semacam relief yang menggambarkan alat kelamin wanita (Lambang Yoni) diatas pintunya,yang menunjukkan simbol kelamin wanita.Sedangkan di sebut Gua Lanang dikarenakan setiap adanya Yoni pasti ada Lingga yaitu simbol kelamin laki-laki yang merupakan salah satu Dewa Siwa dalam Agama Hindu. Persatuan dari keduanya menyebabkan kesuburan. Gua Lanang ini terletak pada bagian timur laut ‘paseban’ merupakan sebuah lorong persegi. Di dalam gua lanang terdapat di masing-masing sisi kiri, kanan dan belakang, terdapat relung serupa bilik. Pada dinding gua juga terdapat pahatan yang berbentuk semacam pigura persegi panjang. Sedangkan pada Gua Wadon yang terletak sekitar 20 m ke arah tenggara dari ‘paseban’ memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan Gua Lanang. Di bagian belakang gua terdapat relung seperti bilik.


“KERATON RATU BOKO” e) Candi Pembakaran Gambar XVII. Candi Pembakaran Candi pembakaran berbentuk seperti teras tanah berundak yang memiliki ketinggian 3m yang terletak 37m dari arah timur laut gapura utama. Bangunan ini memiliki bentukan dasar seperti bujur sangkar yang memiliki luas 26m2 . Pada teras kedua memiliki bentuk yang lebih kecil yang berupa pelataran rumput. Di tengah pelataran terdapat sumur berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 4×4m2 yang memiliki fungsi sebagai tempat pembakaran kayu yang digunakan pada upacara api suci untuk menyembah Dewa Agni(api) dari Agama Budha yang menyebutkan bahwa Dewa Siwa bernafas mengeluarkan api. f) Paseban Gambar XVIII.Paseban Paseban merupakan kata dalam bahasa Jawa yang memiliki arti tempat untuk menghadap raja atau menemui raja apabila raja belum memberi izin untuk masuk ke area pendopo yang terdiri dari paseban satu dan paseban dua. Paseban ini terletak 45m dari arah selatan dari gapura. Paseban merupakan sebuah teras yang dibangun dari


“KERATON RATU BOKO” batu andesit yang memiliki ketinggian 1,5m, lebar 7 m dan panjang 38 m, membujur ke arah utara-selatan. Tangga yang digunakan untuk menaiki lantai paseban terdapat pada sisi barat. Di berbagai tempat pada permukaan lantai paseban ini ditemukan sebanyak 20 umpak pondasi yang mana hal ini disebut tempat menancapkan tiang bangunan dan 4 alur yang diperkirakan bekas tempat berdirinya dinding pembatas. 2.2.5 Pamugaran Pemugaran pertama kali situs keraton Keraton Ratu Boko ini dilakukan pada masa pemerintahan Hindia –Belanda tahun 1938 yang dipimpin oleh Van Romond. Pemugaran pada saat itu menggunakan kerangka beton dan perekat semen. Pada masa pemerintahan Republik Indonesia pemugaran dilaksanakan tahun 1949- 1954 dengan hasil berupa gapura 1 dan gaupura dua. Pemugaran selanjutnya dilakukan pada tahun 1960-1965 dengan hasil gapura kolam. Pemugaran situs ini dilakukan secara intensif dengan rentang waktu 1978/1980 hingga saat ini dengan hasil pemugaran berupa gapura, talut kolam, pagar pendapa, paseban, tangga, dan candi pembakaran. 2.2.6 Sosial Masyarakat Kehidupan yang berkaitan dengan kepercayaan dan kebudayaan berkaitan dengan Kejawen, ekonomi masyarakat sebagai petani yang mana diketahui masyarakat telah melakukan sistem pertanian padi dengan perairan yang berasal dari sungai opak. Selain itu, masyarakat juga menjadi seorang pengrajin atau pemahat hasilnya seperti arca dan relief. Dalam prasasti Siwa Graha disebutkan bahwa sungai opak dibelokkan mengitari candi. Di jalan menuju Ratu Boko di dekat rel kereta api ada toko pulung yang dulu pada saat dibangun itu ditemukan kanal-kanal atau saluran irigasi.


“KERATON RATU BOKO” 2.2 HASIL Dalam penelitian ini Situs Ratu Boko adalah suatu tempat tinggal dari seorang raja sehingga situs ini lebih tepatnya disebut sebagai keraton. Yang memiliki peninggalan kebudayaan seperti: Situs Ratu Boko merupakan Abhayagiriwihara yakni tempat peribadatan bagi umat budha namun seiring perkembangannya wihara ini dialih fungsikan sebagai tempat tinggal atau keraton yang akhirnya terdapat percampuran budaya dan Agama Budha, Hindu dan kejawen. Pendiri Ratu Boko sendiri adalah Rakai Panangkaran Tjahpurnapanne Panamkarana adalah raja Budha pada masa Mataram kuno yang sekarang lebih dikenal dengan nama Rakai Panakaran(Dinasti Syailendra). Segala peninggalan yang ada di keraton ini juga pernah mendapat perhatian dari J.G. de Casparis yaitu seorang epigraf yang terkenal. Dimana beliau berhasil menafsirkan dan membaca beberapa prasasti yang pernah ditemukan disekitar kawasan tersebut. Berdasarkan bukti dari prasasti-prasasti yang telah ditemukan, keraton Ratu Boko memiliki dua background keagamaan yang berbeda yaitu agama Budha dan Hindu. Selain dibuktikan dari prasasti, ada juga bukti dari penemuan arkeologis baik penemuan lepas dan struktur bangunannya. Kehidupan sosial masyarakat yang berkaitan dengan kepercayaan dan kebudayaan berkaitan dengan Kejawen, ekonomi masyarakat sebagai petani yang mana diketahui masyarakat telah melakukan sistem pertanian padi dengan perairan yang berasal dari Sungai Opak. Selain itu masyarakat juga menjadi seorang pengrajin atau pemahat hasilnya seperti arca dan relief. Dalam prasasti Siwa Graha disebutkan bahwa Sungai Opak dibelokkan mengitari candi. Di jalan menuju Keraton Ratu Boko didekat rel kereta api ada toko pulung yang dulu pada saat dibangun itu ditemukan kanal-kanal atau saluran irigasi.


“KERATON RATU BOKO” III. PENUTUP 3.1 Kesimpulan Situs Ratu Boko atau Abhayagiriwihara yang semula berupa wihara tempat peribadatan beralih fungsi menjadi sebuah Keraton atau tempat tinggal dimana banyak sekali sisa bangunan yang tersisa dan menunjukkan adanya aktivitas manusia sebelumnya. Situs Keraton Ratu Boko pada saat dilestarikan sebagai Cagar budaya yang mana tempat dan wilayah yang indah membuat Keraton Ratu Boko ini banyak yang mengunjunginya, selain itu karena kelangkaan cerita sejarah yang membuat misteri masyarakat maka Ratu Boko sering didatangi masyarakat untuk mengetahui Situs Ratu Boko secara langsung. Keraton Ratu Boko merupakan satu-satunya Keraton di era Mataram Kuno yang peninggalan-peninggalan bangunan rumah masih dapat dikunjungi dan dianggap lengkap. 3.2 Saran Banyak pertanyaan mengenai Ratu boko yang belum terjawab maka diharapkan pada penelitian berikutnya lebih mendalami penelitiannya mengenai Situs Keraton Ratu Boko. Perlu ada sumber literasi yang memadai mengenai situs Ratu Boko agar generasi penerus bangsa masih bisa mengetahui sejarah-sejarah yang ada dinegaranya.


“KERATON RATU BOKO” DaftarPustaka Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimea Yogyakarta. 2021. "Situs Ratu Boko", https://bpcbdiy.kemdikbud.go.id/cagarbudaya-situs-ratu-boko , diakses pada 12 Desember 2022 pukul 09.00 Dana, W. (2013). Keraton Ratu Boko Sejarah& Budaya. Bantul : Lembah Manah. Kusuma, I. D. (1985). Bangunan Kuna Ratubaka . Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Purbakala, D. P. (1993). Ratu Boko Yang Terlupakan. Yogyakarta. Santoso, D. (1990). Temuan Struktur Candi di Kompleks Kraton Ratu Boko . Jawa Tengah : IAAI Komda DIY. Saptasari, I. P. (1996). Taman Wisata Ratu Boko. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia. Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta.


Click to View FlipBook Version