IBNU ‘ARABI
FAHRUDDIN FAIZ
'Abū 'Abdillāh Muḥammad ibn 'Alī ibn Muḥammad
ibn `Arabī Al-Tha’i al-Hatimi
Lahir di Murcia-Andalusia pada 17 Ramadan 561 H
(27/ 28 Juli 1165 AD).
Dikenal dengan nama al-Shaykh al-Akbar,
Muḥyiddin ibn Arabi.
Selain sebagai filsuf sufi, Ibnu 'Araby juga dikenal
sebagai ahli tafsir, hadist, fiqh, sastra dan filsafat,
bahkan astrolog dan kosmolog.
Dalam bidang tasawwuf, beliau mendapat didikan
dari 55 orang syeikh. Beliau abadikan nama dan
biografi mereka dalam kitabnya yang berjudul al-
Durrah al-Fakhirah Fi Dhikr Ma lntafa’tu Bihi Fi
Tariq al-Akhirah.
TIGA PENDEKATAN
PENGETAHUAN
•Pengetahuan intelektual (‘Ilm al-Aql)_Investigatif
demonstratif._empiris rasional.
•Pengetahuan kesadaran akan keadaan-keadaan batin
(Ahwal)_ Rasa, Intuisi, Penyaksian batin. Misalnya rasa
manis madu atau pahitnya sari cendana.
•Pengetahuan tentang yang gaib (‘ilm al-asrar)_
tergantung pada pencerahan yang bersumber dari
cahaya Ilahiah kedalam pikiran. Pengetahuan model ini
hanya ada atau dimiliki oleh mereka yang mencapai
maqam tertinggi seperti para Nabi ataupun orang-
orang suci (insan kamil).
Kata wujûd terutama dan lebih khusus digunakan oleh Ibn al-‘Arabi
untuk menyebut wujud Tuhan. Sebagaimana telah disebut di atas,
satu-satu wujud adalah wujud Tuhan; tidak ada wujud selain wujud-
Nya. Ini artinya, apa pun selain Tuhan tidak mempunyai wujud.
Secara logis dapat diambil kesimpulan, kata wujûd tidak dapat
diberikan kepada segala sesuatu selain Tuhan (mâ siwâ Allâh), alam
dan segala sesuatu yang ada di dalamnya.
Namun demikian, Syekh memakai pula kata wujud untuk
menunjukkan segala selain Tuhan. tetapi ia menggunakannya dalam
makna metaforis untuk tetap mempertahankan bahwa wujud hanya
milik Tuhan, sedangkan wujud yang ada pada alam pada hakikatnya
adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya. Sebagaimana
cahaya hanya milik matahari, tetapi cahaya itu dipinjamkan kepada
para penghuni bumi.
Hubungan antara Tuhan dan alam sering digambarkannya dengan
hubungan antara cahaya dan kegelapan. Karena wujud hanya milik
Tuhan, maka ‘adam (ketiadaan) adalah “milik” alam. Karena itu, Ibn
al-‘Arabi mengatakan bahwa wujud adalah cahaya, dan ‘adam
adalah kegelapan.
WAHDATUL WUJUD
Hanya ada satu Realitas. Realitas ini kita pandang dari
dua sudut yang berbeda. Ketika kita menganggapnya
sebagai Esensi dari semua fenomena, Realitas itu kita
namai al-Haqq (the Real). Sementara, ketika kita
memandangnya sebagai fenomena yang termanifestasi
dari Esensi tersebut, kita menyebutnya al-khalq. Al-Haqq
dan al-khalq, Realitas dan Penampakan, Yang Satu dan
Yang Banyak hanyalah nama-nama untuk dua aspek
subjektif dari Realitas Tunggal.
Dilihat dari satu aspek, Allah adalah satu, tetapi dilihat
dari aspek lain Dia adalah semuanya (kull) yang
mengandung keanekaan.
MARTABAT ALLAH 1:
AHADIYAH
Martabat Ahadiyah, wujud Tuhan merupakan Zat Mutlak lagi
mujarrad, tidak bernama dan tidak bersifat. Karena itu, Ia tidak
dapat dipahami ataupun dikhayalkan. Pada martabat ini
Tuhan—sering diistilahkan al-Haq oleh Ibn ’Arabi—berada
dalam keadaan murni bagaikan kabut yang gelap (fi al-’amâ’);
tidak sesudah, tidak sebelum, tidak terikat, tidak terpisah,
tidak ada atas, tidak ada bawah, tidak mempunyai nama, tidak
musammâ (dinamai). Pada martabat ini, al-Haq tidak dapat
dikomunikasikan oleh siapa pun dan tidak dapat diketahui.
Di level ini satu-satunya jalan untuk memahami Tuhan adalah
Teologi Negatif.
MARTABAT ALLAH 2:
WAHIDIYAH
Penampakan pertama (ta’ayyun awwali) atau disebut juga
faydh al-aqdas (emanasi paling suci).
Di level ini, zat yang mujarrad itu bermanifestasi melalui
sifat dan asma-Nya. Dengan manifestasi atau tajali ini, zat
tersebut dinamakan Allah, dengan Sifat dan Nama yang
Mahasempurna (al-asma al-husna, Allah). Akan tetapi, sifat
dan nama itu sendiri identik dengan zat. Di sini kita
berhadapan dengan zat Allah yang Esa, tetapi Ia
mengandung di dalam diri-Nya berbagai bentuk potensial
dari hakikat alam semesta atau entitas permanen (al-’a’yan
tsabitah).
MARTABAT ALLAH 3:
TAJALLI SYUHUDI
Disebut juga faidh al-muqaddas (emanasi suci) dan ta’ayyun tsani
(entifikasi kedua, atau penampakan diri peringkat kedua).
Pada martabat ini Allah Swt bertajali melalu asma dan sifat-Nya dalam
kenyataan empiris atau alam kasatmata. Dengan kata lain, melalui
firman kun (jadilah), maka entitas permanen secara aktual menjelma
dalam berbagai citra atau bentuk alam semesta. Dengan demikian alam
ini tidak lain adalah kumpulan fenomena empiris yang merupakan lokus
atau mazhar tajali al-Haq. Alam yang menjadi wadah manifestasi itu
sendiri merupakan wujud atau bentuk yang tidak ada akhirnya. Ia tidak
lain laksana ’aradh atau aksiden (sifat yang datang kemudian) dan
jauhar (substansi) dalam istilah ilmu kalam. Selama ada substansi,
maka aksiden akan tetap ada. Begitu pula dalam tasawuf. Menurut Ibn
’Arabi, selama ada Allah, maka alam akan tetap ada, ia hanya muncul
dan tenggelam tanpa akhir.
ALAM MITSAL
Alam malakut atau alam mitsal – kadang disebut alam
khayal atau alam imajinal (yang masih memiliki sifat bentuk
dan jumlah, tapi tak memiliki wadag konkret).
Para awliya’ dan ‘arifin yang mempunyai akses ke sini bisa
melihat gambaran persis sesuatu, padahal sesuatu itu tak
ada bentuk konkretnya. Gambaran masa depan juga bisa
diakses melalui alam mitsal ini. Kemampuan ini yang biasa
disebut sebagai kasyf, atau fath.
Pada gilirannya, alam mitsal ini adalah alam-antara yang
memisahkan alam asma’ dan sifat dengan alam syahadah
(alam inderawi/empiris), yang merupakan alam terbawah
atau alam rendah (dunya). Karena sifatnya sebagai
perantara ini, alam mitsal disebut juga sebagai
alam barzakh.
HAKIKAT MUHAMMADIYAH
(NUR MUHAMMAD)
• Terjadinya alam ini tidak dapat dipisahkan dari ajaran Hakikat
Muhammadiyah atau Nur Muhammad. Menurutnya, tahapan-
tahapan kejadian proses penciptaan alam dan hubungannya dengan
kedua ajaran itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu Dzat yang mandiri dan
tidak berhajat pada apapun.
2. Wujud Hakikat Muhammadiyah sebagai emanasi (pelimpahan)
pertama dari wujud Tuhan kemudian muncullah segala yang wujud
dengan proses tahapan-tatahapannya.
• Dengan demikan, Ibnu Arabi menolak ajaran yang menyatakan
bahwa alam semesta ini diciptakan dari tiada. Ia mengatakan
bahwa Nur Muhammad itu qadim dan merupakan sumber emanasi
dengan berbagai kesempurnaan ilmiah dan amaliah yang
terealisasikan pada diri para nabi semenjak Adam sampai
Muhammad dan terealisasikan dari Muhammad pada diri para
pengikutnya, kalangan para wali, dan insan kamil.
CINTA KETUHANAN
• Hadis Qudsi: Kuntu kanzan makhfiyyan…(“Aku
adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Maka
Aku Rindu untuk dikenali. Maka Aku ciptakan
Ciptaan agar Aku dikenali.”
• Cinta adalah kerinduan yang mutlak agar dikenal
oleh yang selain diri-Nya. Alam semesta adalah
wujud Cinta Ilahi untuk dikenal. Selama cinta itu
masih ada, alam ini belum akan berakhir.
Konsekuensi Logis dari Wahdatul Wujud
Hatiku Telah Siap Menyambut Segala Realitas
Padang rumput bagi rusa
Kuil Para Rahib
Rumah berhala-berhala
Ka’bah orang yang tawaf
Lembar-lembar Taurat
Halaman-halaman Al-Qur’an
Aku Mabuk Cinta
Kemana pun Dia bergerak
Disitu aku mencinta
Cinta kepada-Nya
Adalah agama dan imanku
KATEGORI MANUSIA
Manusia sempurna (insan kamil) VS manusia binatang, (al-insan al-hayawan)
Manusia binatang memiliki sifat persis seperti sifat semua binatang. Ia berbeda dengan
binatang-binatang lain hanya dalam differentia yang merupakan sifatnya, seperti
perbedaan antara sebagian binatang dengan sebagian lainya dalam differentia.
“Hamba Tuhan” (‘abd rabb) VS “Hamba Nalar” (abd nazar).
“Hamba Tuhan”= ‘arif; jiwa dan kalbunya suci, bebas dari hawa nafsu dan ikatan
badaniah; berada dalam formasi ukhrawi” (an nasyah al ukhrawiyah); mengetahui Allah
dengan penyingkapan intuitif (kasyf) dan rasa (dzawq), bukan dengan akal (‘aql).
“Hamba Nalar”, orang yang terikat kepada badan dan hawa nafsunya; berada dalam
“formasi duniawi” (an nasy’ah al-dunyawiyah); mengetahui Tuhan dengan nalar pikiran,
menundukan Tuhan dibawah hukum nalar. Ia adalah abdi akal, bukan abdi Rabb.
Insan Kamil
Manusia diberi oleh Allah suatu kedudukan sebagai
khalifah karena ia adalah “perpaduan” (jam’iyyah)
atau paduan (majmu) semua nama Tuhan dan semua
realitas alam. Manusia mempunyai sifat-sifat
ketuhanan dan sifat-sifat kemakhlukan. “maka aspek
lahir manusia adalah makhluk dan aspek batinya
adalah Tuhan”.
Kesempurnaan manusia bukan terletak pada
kekuatan akal dan pikiran (an-nuthq) yang
dimilikinya, melainkan pada kesempurnaan dirinya
sebagai lokus penjelmaan diri (tajalli) Tuhan.
MANIFESTASI INSAN KAMIL:
WALI-SUFI
Dalam kitab Al-Futuhat Al Makkiyyah Ibnu araby menelusuri kriteria seorang
wali sufi sebagai berikut :
Orang yang hanya menjadikan Allah sebagai pelindung
Orang yang mencintai Allah dan berusaha meniru sifat-sifatnya, misal
menjadi lebih sabar, lebih penyayang, pemaaf dsb.
Orang yang senantiasa kembali kepada Allah, bertaubat.
Orang yang selalu menyucikan diri lahir dan batin.
Orang yang selalu bersyukur atas nikmat dan kehendak Allah.
Bagi para wali musibah dan karunia adalah sama-sama nikmat, karena
keduanya datang dan berasal dari Allah.
Orang yang selalu berbuat baik dan memperbaiki, yang disebut Muhsin.
Orang yang selalu menghadirkan Allah dalam hatinya, pada setiap detak
jantung dan hembusan nafasnya.