Tamadun Melayu Lingga
TAMADUN
MELAYU LINGGA
i
Tamadun Melayu Lingga
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, tentang Hak Cipta
PASAL 2
(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta
untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara
otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut
perundang-undangan yang berlaku.
PASAL 72
(1) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana
penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp 1.000.000.00 (Satu Juta Rupiah), atau paling lama 7 (tujuh) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (Lima Miliar Rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak
Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pads ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
ii
Tamadun Melayu Lingga
TAMADUN
MELAYU LINGGA
Editor:
Prof. Dr. Firdaus L.N., M.Si
Dr. Elmustian, MA
Drs. Ridwan Melay, M.Hum
Penerbit
Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga
2018
iii
Tamadun Melayu Lingga
TAMADUN MELAYU LINGGA
Kumpulan Makalah “Seminar Memuliakan Tamadun Melayu”
Editor:
Prof. Dr. Firdaus L.N., M.Si
Dr. Elmustian, MA
Drs. Ridwan Melay, M.Hum
Sampul dan perwajahan: Dasuki
Foto Cover : Dokumen Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga
Diterbitkan, Nopember 2018
Diterbitkan oleh:
Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga
Daik Lingga, 21 November 2017
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Isi di luar tanggung jawab percetakan
Cetakan pertama: 2018
ISBN 978-602-53286-0-2
iv
Tamadun Melayu Lingga
SAMBUTAN GUBERNUR KEPULAUAN RIAU
DR. H. NURDIN BASIRUN, S.Sos, M.Si.
Bismillahirahmanirrahim
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillah, wasyukurillah, puji dan syukur hanya untuk
Allah SWT, Tuhan Semesta Alam, yang telah memberikan rahmad
dan ridha-Nya kepada kita semua, sehingga pada saat ini kita dalam
keadaan sehat walafiat. Salawat dan salam semoga tetap tercurah
kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, dan keluarga
beserta para sahabat-sahabatnya yang telah mewariskan Al-Quran
sebagai petunjuk dan pedoman hidup bagi kita semua.
Provinsi Kepulauan Riau yang juga dikenal dengan nama
Bunda Tanah Melayu dan Kabupaten Lingga sebagai sentranya
merupakan suatu kebanggaan bagi masyarakat di Negeri ini.
Perhelatan ini merupakan ajang yang tepat untuk kita
memuliakan Tamadun Bunda Tanah Melayu. Kita dapat
meningkatkan nilai-nilai Tamadun Melayu, kita berupaya memupuk
hubungan silaturahim sesama penggiat budaya umumnya, khususnya
penikmat yang telah beranak pinak di Negeri ini.
v
Tamadun Melayu Lingga
Helat ini menjadi cita-cita Gubernur Kepulauan Riau dalam
visinya ‘Terwujudnya Kepulauan Riau sebagai Bunda Tanah Melayu
yang Sejahtera, Berakhlak Mulia, dan Ramah Lingkungan’.
Saya mengharapkan agar helat ini dapat meningkatkan
persaudaraan, persatuan dan kesatuan antar sesama. Saya mengajak
kita semua agar mendukung Perhelatan ini, moga sukses.
Akhirnya, kepada Allah SWT kita berserah diri dan berdoa
semoga penyelenggaraan Tamadun Melayu Antarbangsa ini sukses
dan berjalan lancar. Amin Yaa Rabbal Alamin
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Sirih Puan sirih junjungan
Sile dimakan Datuk Menteri
Kasih tuan sepanjang zaman
Menjadi kenangan hingge ke mati***
vi
Tamadun Melayu Lingga
SAMBUTAN BUPATI LINGGA
H. ALIAS WELLO, S.IP.
Bismillahirahmanirrahim
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT
memberikan kesehatan dan kekuatan kepada kita semua sehingga
kita senantiasa dalam kemudahan dan kebahagiaan. Salawat dan
salam tercurah bagi junjungan alam Nabi Besar Muhammad SAW.
Saya atas nama Pemerintah dan Masyarakat Kabupaten Lingga
mengucapkan syabas dan taniah atas terbitnya buku ini untuk
memajukan tamadun Melayu keperingkat antara bangsa. Kesultanan
Melayu, Kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga yang berpindah Pusat
Pemerintahan dari Kota Lama di Tanjungpinang ke Daik (24 Juli
1787) merupakan keputusan Sultan Mahmud Riayat Syah.
Setelah Pusat Pemerintahan pindah dari Riau ke Pulau Lingga
(sekarang Kabupaten Lingga) terjadi perubahan nama (Kerajaan
Kesultanan Melayu Kerajaan Riau). Sultan Mahmud Riayat Syah
telah membangun Ibu Kota Kesultanan Melayu Lingga-Riau.
Baginda Sultan berhasil meletakkan sandaran untuk kelanjutan
vii
Tamadun Melayu Lingga
pemerintahan berikutnya.
Perhelatan ini merupakan kegiatan yang menampung dan
ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Bangsa/Etnik Melayu
mempunyai Tamadun yang perlu dilestarikan dan harus mendapat
perhatian, sokongan, dan kerja nyata dari semua pihak.
Kepada pembaca buku ini terutama kaum cendekia, tokoh-
tokoh dunia untuk dapat memupuk solidaritas dan soliditas
Komunitas Melayu dan memperkenalkan Tamadun Melayu adalah
peradaban yang mempunyai nilai yang paling tinggi dalam sejarah
peradaban dunia.
Berbagai pihak yang telah bekerja, merencana, merangkai,
meramu dan berbuat kerja nyata kami ucapkan terima kasih. Moga
tungkus lumus berbagai pihak mengandung arti dan merupakan
amal, Allah akan meredhoi.
Semua pihak yang telah menyukseskan penerbitan buku ini,
terima kasih saya ucapkan.
Kerja kita belum selesai baru sebatas ini.
Sultan Lingga bertahta di Singgasana
Pusaka Melayu Takkan pernah layu
Mari kita muliakan Tamadun Melayu Antarbangsa
Di negeri bertuah, Lingga Bunda Tanah Melayu.***
viii
Tamadun Melayu Lingga
SAMBUTAN
KEPALA DINAS KEBUDAYAAN KABUPATEN LINGGA
Ir. H. MUHAMMAD ISHAK, M.M
Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga, Ketua Lembaga Adat
Melayu Kepulauan Riau Kabupaten Lingga Sekaligus Ketua Umum
Perhelatan Memuliakan Tamadun Melayu Antarbangsa
Pernah menjadi pusat Pusat Kerajaan Melayu, yakni Pusat
Kerajaan Melayu Kesultanan Riau Lingga, Johor dan Pahang sejak
pindahnya Sultan Mahmud Riayat Syah dari Hulu Riau ke Lingga
Tahun 1787 dan Pusat Kesultanan Lingga Riau selama lebih kurang
114 tahun, Daik Lingga Kabupaten Lingga Provinsi Kepulauan Riau,
Indonesia sudah barang tentu banyak memiliki warisan ragawi dan
nonragawi yang kesemua itu tentu menjadi Tamadun Melayu yang
tak ternilaikan. Adanya berbagai bukti sejarah dan budaya yang
masih melekat dan bersebati serta dukungan alam yang semula jadi
menjadikan bekas Pusat Kerajaan Melayu yang konon ceritanya
berasal kata baik dan gigi naga ini selain dijuluki sebagai Bunda Tanah
Melayu, Kota Bersejarah, Kota Seribu Meriam juga disebut Darul Birri
Waddarul Salam, negeri yang baik dan penuh kerahmatan.
ix
Tamadun Melayu Lingga
Raihan kemasyhuran dan kejayaan Kesultanan Melayu masa
lalu yang didapat melalui tekanan penjajah dan pertelingkahan
politik mestinya harus menjadi pengobar semangat dan acuan bagi
masyarakat Melayu masa kini dan akan datang untuk lebih bangkit,
berperan dan berjaya lagi dari masa lalu, karena era kini tidak ada
lagi sekat-sekat untuk tidak mampu berkarya, menjalin kebersamaan,
memanfaatkan peluang dan kesempatan serta saling dukung
mendukung membangun negeri-negeri rumpun Melayu. Merajut
kembali, membangun silaturahmi dan kerjasama secara terus menerus
dengan tetap menjaga dan menerapkan nilai-nilai budaya Melayu
agaknya harus menjadi kata kunci yang mesti menjadi kesepakatan
yang kuat agar negeri-negeri rumpun Melayu terus menjadi negeri
yang bertamadun, maju dansenantiasa melahirkan karya-karya
intelektual dengan tetap menjunjung tinggi adat dan budayanya.
Dari hati yang paling dalam tentu kita semua tidak hendak,
seperti dibanyak perhelatan dan kegiatan lain yang pada saat dihelat
nuansanya kental dengan budaya Melayu, riuh rendah bersimbah
peluh membincangkan Melayu dan dipuji berbagai pihak. Tapi
setelah itu tak berbekas, tidak berkelanjutan dan tak bermanfaat, bak
pepatah seperti ‘melempar batu ke laut, atau hilang ditelan bumi’.
Ataupun yang lebih diperparah lagi paska helat muncul hujat dan
sumpah seranah karena yang dihelat tak sesuai harapan dan belum
berjaya memuliakan tamadun Melayu itu sendiri.
Pastilah yang kita impikan terus bertunas, berbatang,
berdahan, beranting, berpucuk, berdaun hingga berbunga yang
harum mewangi dan berbuah yang sedap.
Sempitnya rentang waktu persiapan, kurangnya pengalaman,
kecilnya pembelanjaan, dukungan sarana prasarana yang belum
memadai dan lain-lain tidak boleh selamanya menjadi alasan yang
minta diaminkan. Tetapi itu semua juga tak dipungkiri sedikit banyak
akan mempengaruhi jayanya suatu hajatan. Umpama ungkapan:
Apabila hidup berterus terang, sangkaan buruk sama dibuang. Kusut
selesai, sengketa hilang. Saran dan masukan tentu menjadi ‘guru’ yang
terbaik. Jayalah.***
x
Tamadun Melayu Lingga
PENGANTAR
BUDAYAWAN MELAYU SERUMPUN
DATO’ SATRIA MAHKOTA Dr. Drs. H. ABDUL MALIK, M.Pd.
Kewujudan Lingga, khususnya Daik, sebagai Bunda Tanah
Melayu tak dapat dipisahkan dari jasa dan perjuangan yang luar
biasa Sultan Mahmud Riayat Syah, Sultan Lingga-Riau-Johor-
Pahang (1761-1812). Setelah menang besar melawan Belanda di
Tanjungpinang dalam Perang Riau II pada 13 Mei 1787, Baginda
berhijrah dan memindahkan pusat pemerintahan kesultanan ke
Daik, Lingga, pada 24 Juli 1787. Semenjak itu, Daik menjadi pusat
Kesultanan Lingga – Riau – Johor - Pahang menggantikan Kota
Lama di Tanjungpinang. Peranan Daik sebagai pusat pemerintahan
negara Melayu berterusan sampai 1900, lebih kurang 113 tahun.
Selain berjuang menentang intervensi asing (sejak 1782—
1812) demi menegakkan kedaulatan negeri dan mempertahan
marwah bangsa Melayu, Sultan Mahmud Riayat Syah juga terus
melakukan pengekalan, pengembangan, dan pembinaan adat-
xi
Tamadun Melayu Lingga
istiadat, budaya, dan tamadun Melayu di wilayah Kesultanan
Lingga-Riau-Johor-Pahang dan seluruh daerah takluknya. Upaya
itu dilakukan oleh Baginda untuk memastikan pengekalan ideologi,
pandangan hidup, dan kearifan Melayu-Islam yang berakar pada
nilai-nilai agama Islam, sejarah, dan kebudayaan Melayu yang terala
dan luhur di dalam kerajaan Baginda. Ketika Baginda memangku
jabatan Sultan, budaya Melayu yang bernafaskan Islam semakin
dikuatkan.
Sistem nilai budaya Melayu yang bercirikan (1) beragama
Islam, (2) beradat-istiadat Melayu, dan (3) berbahasa Melayu menjadi
peneguh jati diri Melayu sekaligus menjadi daya tolak terhadap
pengaruh budaya asing yang tak sesuai dengan karakter bangsa
Melayu. Ketiga aspek itu tecermin dalam sistem budaya masyarakat
Melayu meliputi tujuh unsur: religi, kemasyakarakatan, teknologi,
pengetahuan, ekonomi, kesenian, dan bahasa.
Ajaran agama Islam dan kebudayaan Melayu dijadikan pondasi
sekaligus teras untuk mewujudkan tamadun Melayu yang ranggi
di seluruh wilayah Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang, yang
sejak 1787 menjadikan Daik, Lingga, sebagai pusat persebarannya.
Upaya tersebut dilakukan oleh Sultan Mahmud Riayat Syah dengan
memanfaatkan potensi budaya Melayu dan ajaran agama Islam untuk
menjadi pegangan dasar kehidupan masyarakatnya. Kenyataan itu
dapat ditemukan di dalam unsur-unsur budaya yang berkembang
di Kepulauan Riau sampai setakat ini. Capaian yang gemilang
itu tak terlepas dari peranan Daik (Lingga), juga Pulau Penyengat
Indera Sakti (di seberang Tanjungpinang), yang dikembangkan
oleh Baginda Sultan sebagai pusat pengekalan, pengembangan,
dan pembinaan agama Islam dan tamadun Melayu. Oleh sebab itu,
Daik, Lingga, sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Melayu yang
besar, memainkan peran yang sangat penting sebagai pusat tamadun
Melayu yang menyebarkan budaya dan nilai-nilai terala tamadun
Melayu ke seluruh kawasan Melayu di rantau ini.
Selain tempat-tempat dan tinggalan bersejarah (cagar budaya)
dalam bentuk warisan benda (tangible heritage), tinggalan bernilai
xii
Tamadun Melayu Lingga
tinggi dalam bentuk warisan takbenda (intangible heritage) juga
sangat banyak diwariskan oleh Kesultanan Lingga-Riau-Johor-
Pahang. Di dalam kehidupan masyarakat Melayu di Daik, Lingga,
khususnya, dan Kepulauan Riau, umumnya, terhimpun pengetahuan
dan ekspresi budaya tradisional yang kesemuanya memancarkan
kearifan (wisdom) tradisional yang kuat melekat dalam kehidupan
masyarakat Melayu setempat. Apresiasi dan kesetiaan masyarakat
yang tinggi terhadap Sultan Mahmud Riayat Syah dan pemimpin
Melayu sebelum dan sesudah Baginda diperingati melalui Upacara
Haul Jamak, misalnya. Intinya, cukup banyak budaya tradisional
masyarakat setempat yang lestari sampai saat ini yang diwariskan
oleh kerajaan pada masa lampau. Generasi bangsa, khususnya
bangsa Melayu, yang hidup pada masa kini sudah sepatutnyalah
memberikan apresiasi terhadap Allahyarham Sultan Mahmud Riayat
Syah dan para sultan yang meneruskan kepemimpinan Melayu di
kawasan ini.
Perjuangan dan sistem pemerintahan berotonomi luas
yang Baginda terapkan terbukti mampu memakmurkan negeri
dan menyejahterakan rakyat. Lebih daripada itu, dengan sistem
pemerintahan itu pulalah, pihak Kolonial Belanda tak berhasil
mengalahkan, bahkan harus mengakui kedaulatan Sultan Mahmud
Riayat Syah pada 1795 sehingga Kesultanan Lingga-Riau-Johor-
Pahang tetap merdeka, hanya kurang dari delapan tahun setelah
pusat pemerintahannya dipindahkan ke Daik, Lingga.
Kesemuanya itu dimulai oleh Baginda dari Bumi Daik,
Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau, Republik Indonesia
sekarang. Daik memang terbukti sangat bertuah sebagai tujuan
berhijrah. Selanjutnya, Sultan Mahmud Riayat Syah juga berjasa
besar memberi ruang dalam pengabdian mengukuhkan kebudayaan
dan tamadun yang menjadi identitas kehidupan masyarakat Melayu
turun-temurun. Kesemuanya itu masih dapat dijumpai di Kepulauan
Riau dan kawasan-kawasan Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang
dan daerah takluknya sampai setakat ini (sekarang).
xiii
Tamadun Melayu Lingga
Kepeloporan dan ketauladanan Sultan Mahmud Riayat Syah
dalam perjuangan fisik melawan Belanda dengan perang gerilya laut
dan kegigihan serta kecekalan hati Baginda dalam mengekalkan,
mengembangkan, dan membina tamadun Melayu yang bertapak
di Lingga telah mengukuhkan Daik sebagai Bunda Tanah Melayu.
Perhelatan Tamadun Melayu ini sesungguhnya dilaksanakan untuk
meneruskan kearifan dan kebijaksanaan Sultan Melayu yang paling
cerdas yang pernah dimiliki oleh Dunia Melayu selama ini, intaha.***
xiv
Tamadun Melayu Lingga
DAFTAR ISI
Sambutan Gubernur Kepulauan Riau
DR. H. Nurdin Basirun, S.Sos, M.Si............................................. v
Sambutan Bupati Lingga
H. Alias Wello, S.IP.......................................................................... vii
Sambutan Kadis Kebudayaan Lingga
Ir. H. Muhammad Ishak, M.M...................................................... ix
Pengantar Budayawan Melayu Serumpun
Dato’ Satria Mahkota Dr. Drs. H. Abdul Malik, M.Pd............... xi
PROLOG
1. SYAIR SULTAN MAHMUD
Said Barakbah Ali..................................................................... 7
2. MENAPAK ALAM LINGGA BUNDA TANAH MELAYU
(Kilas Balik Bunda Tanah Melayu Dalam Percakapan)
Said Barakbah Ali danMuhammad Ishak............................. 13
3. LINGGA, JEJAK DAN WARISANNYA
DALAM TAMADUN MELAYU
Rida K. Liamsi.......................................................................... 19
4. SANG PEMIKIR TAMADUN MELAYU
Nyat Kadir................................................................................. 21
5. PERCAKAPAN DI LINGGA
Husnizar Hood......................................................................... 25
6. JASA TIMAH SINGKEP DALAM TAMADUN
MELAYU LINGGA
M. Fadlillah............................................................................... 29
xv
Tamadun Melayu Lingga
7. BERHUTANG PADA PERSEBATIAN MELAYU BUGIS
Datuk Seri Lela Budaya Rida K Liamsi ................................ 35
8. RUMPUN MELAYU DAN KESULTANAN RIAU-LINGGA
SEBAGAI PENERUS KESULTANAN MELAKA DALAM
PENGEMBANGAN TAMADUN MELAYU
Tan Sri Prof. Datuk Wira Dr Abdul Latif Abu Bakar ......... 42
9. PERJUANGAN SULTAN MAHMUD RIAYAT SYAH
DALAM MEMAJUKAN PEREKONOMIAN
KESULTANAN LINGGA-RIAU-JOHOR-PAHANG
H. Abdul Malik
H. Abdul Kadir Ibrahim.......................................................... 50
10. SULTAN MAHMUD RIAYAT SYAH &
STRATEGI PERLAWANAN GERILYA LAUT
TERAKHIR KESULTANAN MELAYU
Susanto Zuhdi .......................................................................... 82
11. MUSIK MELAYU SEBAGAI PEREKAT
KESERUMPUNAN TAMADUN:
TINJAUAN HISTORIS DAN STRUKTURAL
Muhammad Takari bin Jilin Syahrial ................................... 96
12. DARI BUKIT SIGUNTANG KE RIAU—LINGGA:
PENGEMBANGAN TAMADUN MELAYU RIAU
Latifah Ratnawati..................................................................... 134
13. GERILYA LAUT SULTAN MAHMUD RIAYAT SYAH
1787-1795
Didik Pradjoko ........................................................................ 141
14. RIWAYAT SINGKAT RAJA-RAJA KESULTANAN
MELAYU RIAU-LINGGA-JOHOR-PAHANG(1787-1913)
H. Alias Wello dan Said Barakbah Ali................................... 153
xvi
Tamadun Melayu Lingga
EPILOG............................................................................................ 160
DAFTAR PUSTAKA....................................................................... 162
WARKAH KUMPULAN BUAH PIKIR DAN PESERTA.......... 170
INDEKS PENULIS.......................................................................... 173
xvii
Tamadun Melayu Lingga
xviii
Tamadun Melayu Lingga
PROLOG
Semua lindab dalam arus waktu. Yang ada adalah budi dalam
kenangan dan ingatan dalam keabadian. Scripta manent, verba
volant, segala sesuatu yang dituliskan akan kekal dan apa-apa yang
diucapkan akan hilang melayang. Dua sejoli yakni si pencerita dan
si penikmat akan terus datang dan menghilang, hiruk-pikuk dan
sunyi-senyap, silih berganti dengan suara-suaranya yang terkadang
terdengar merdu atau sumbang, sayup-sayup terdengar dan terkadang
suara keras membahana mengganggu pendengaran. Dan, terkadang
sering pula diingatkan: ketika karya lahir maka pengarangnya mati,
seperti adagium yang difikirkan strukturalisme Roland Barthes
(dalam Routledge, 1977).
Diawali oleh Sulalatu’l-Salatin sebuah teks sejarah Melayu
yang paling tua dan memiliki banyak penyanjung dan pemerotes.
Dari masa ke masa memiliki pembacaan yang beragam. Lalu,
muncullah Tuhfat al-Nafis yang melakukan pemikiran ulang
terhadap lebuh raya (mainstream) tentang alur sejarah Melayu. Dan
beberapa abad kemudian, kita tidak mendengar lagi ada karya besar
dalam penulisan sejarah, selain transmisi dan transformasi teks. Para
sarjana berikutnya seperti berdiri di barisan belakang dari pengelana
terdahulu.
Di sudut di suatu masa di suatu tempat yang paling riuh,
seorang pengelana Jerman, Hans Overbeck pada tahun 1925 dalam
obituari ringkasnya mendendangkan dengan penuh keyakinannya
bahwa sastra Melayu yang menjadi rajawali kebudayaan Melayu
sudah malap dan mati: Die Malaiische Literatur ist tot, dahingewelkt
seit der Glanz der malaiishen Reiche verging), seperti yang dikisahkan
G.L. Koster untuk sastra Melayu (dalam Roaming Through Seductive
Gardens: reading in Malay narrative. Diterbitkan: KITLV Press
Leiden 1997).
Dan, hampir satu abad berikutnya kemudian hadir pula
pembelaan dari pengelana lainnya bahwa mustahil akan mati,
1
Tamadun Melayu Lingga
namun hanya wujud dalam transmutasi budaya tradisional oral-
aural Melayu ke dalam budaya cetak modern menguatkan pendapat
Sweeney (1987) dalam A full hearing; Orality and literacy in the Malay
world. Berkeley, dst.: University of California Press.
Saat hampir bersamaan seorang pengelana Rusia V.I. Braginsky
dengan penuh keyakinannya mengatakan bahwa teks-teks inti
kebudayaan Melayu itu sebagai sesuatu yang indah, memberi hiburan
kepada anak zamannya, memiliki faedah, dan kamal. (dalam kitab
Yang Indah Berfaedah dan Kamal: Sastra Melayu dalam Abad 7-19,
1998). Tidak ketinggalan, seorang sarjana bagaikan pendekat Melayu
Muhammad Haji Salleh mengorak corak teks-teks Melayu dalam
Puitika Sastera Melayu (Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur,
2006).
Di singgasananya, kebudayaan Melayu tetap sebagai
mendedahkan dirinya sebagai suatu teks yang bebas terbuka, seperti
melaungkan jati dirinya yang sejati:
Pulau Angsa jauh ke tengah
Gunung Daik bercabang tiga
Meski badan di kandung tanah
Budi baik dikenang juga
Begitulah keadaan kita. Komentar, penilaian, evaluasi, harapan,
dan mungkin doa, silih berganti, menghujat atau menyanjung dan
seterusnya. Kita mungkin dapat menjadi bingung dengan hujah-
hujah itu atau dapat pula menikmatinya sebagai panta rei sejarah
belaka. Vivienne Wee dengan tingkat kesabaran dan pengalaman
empiris dan akademiknya yang panjang justru berdiri pada sudut
lain dan berpesan dalam bahasa lisannya, kita mesti bersuara dengan
kepakaran kita, dengan potensi kita, dengan keyakinan kita. Kita mesti
menulis dan memperdengarkannya kepada dunia. Maka beberapa
kitab warisan budaya di Kepulauan Riau dan Riau terpublikasikan
dengan baik, yang merupakan suara-suara yang terpendam dan
terendam dalam khasanah bangsa Melayu di bekas Kerajaan Riau
2
Tamadun Melayu Lingga
Lingga.
Setelah Daik Lingga mengabur dalam pentas sejarah, dua pusat
dinamika kebudayaan yang merupakan sempadan Indonesia dan
Malaysia ini tumbuh menjadi dua negeri yang berbeda. Penyengat
masih dengan lenggang lenggoknya yang eksotis romantis-historis,
sementara Daik Lingga tumbuh menjadi negeri yang magis,
masif, dan misteri, sukar sekali kita memaknai bahasa tubuh yang
dilenggangkannya, yang jika didekati lebih dekat, sebenarnya
memancarkan kesantunan yang memesona hati, sukar dilupakan.
Daik sebagai bunda tanah Melayu memang beralasan. Tidak
hanya diartikan bahwa tanah ini bagian inti dari satu sumber erupsi
dahsyat dari sebuah gunung yang memisahkan Benua Asia dengan
pulau-pulau lainnya di selatan, tetapi juga dapat mengukuhkan
penemuan ahli genetika, Sangkot Marzuki, direktur Lembaga
Eijman yang menyebutkan secara genetika gen Melayu lebih tua dari
ras Chinotis-Belan, sebuah ras yang kemudian dikenal berbahasa
China/Mandarin. Aura mother land sebagai segala sifat keibuan
berhulu di kampung ini. Sifat orang Melayu Daik yang tegar nan
hebat, penyayang tidak bermuara, lebih halus dan peka, tempat
semua beban diluahkan, tempat keluh kesah dilaungkan, kesabaran
yang tidak berujung, dan diharibaannya terasa hangat, tempat doa-
doa dikumandangkan ke langit dan direbahkan ke bumi.
Lalu, apakah tidak tergarit hati kita melihat ranumnya sejarah
untuk menciptakan pencapaian peradaban berikutnya setelah
ditinggalkan oleh kerajaan Riau Lingga. Tidakkah kita tertarik untuk
melanjutkan meluaskan “taman” Riau School atau mazhab sastra
Riau? Lalu dengan cara bagaimanakah harapan dan nyali kita bisa
bangkit kembali dan perkasa seperti rombongan Demang Lebar
Daun yang dengan semangat membangun negeri ini dari selatan ke
utara.
Tulisan yang dimuat pada buku ini memang tidak sistematis,
Tulisan-tulisan itu memberikan gambaran betapa kuat dan kokohnya
tanah Lingga menjadi bunda tanah Melayu dan efisentrum dinamika
kebudayaan di belahan bumi bernama nusantara. Kekokohannya
3
Tamadun Melayu Lingga
tidaklah datang dengan tiba-tiba dan tidak muncul dengan
sendirinya. Rida K Liamsi memberikan gambaran yang indah
bagaimana pengaruh Bugis dalam tamadun Melayu beberapa abad
yang lalu dan memahaminya sebagai jasa yang menjadi sebuah budi
baik yang mesti dikenang.
Imperium Melayu jalin berjalin, dan menjadi seperti lazimnya
batang (sajara), memiliki ikatan yang kuat antara hulu dan hilir,
atas dan bawah, dulu dan kini seperti yang dilukiskan oleh Tan Sri
Prof. Datuk Wira Dr. Abdul Latif Abu Bakar: “Rumpun Melayu dan
Kesultanan Riau-Lingga sebagai Penerus Kesultanan Melaka dalam
Pengembangan Tamadun Melayu.”
Datuk Dr. H. Abdul Malik, M.Pd., Drs H. Abdul Kadir Ibrahim,
M.T. mengeratkan buhul sejarah bahwa Kepulauan Riau tidak
hanya ongkang-ongkang kaki untuk dapat menikmati kemerdekaan
ini, seperti yang dituangkannya dalam makalah yang berjudul:
“Perjuangan Sultan Mahmud Riayat Syah dalam Memajukan
Perekonomian Kesultanan Lingga-Riau-Johor-Pahang.” Demikian
pula Prof. Susanto Zuhdi mengikatkan ingatan sejarah Melayu dalam
makalahnya “Sultan Mahmud Riayat Syah dan Strategi Perlawanan
Gerilya Laut Terakhir Kesultanan Melayu.” Latifah Ratnawati,
dengan judul tulisannya “Dari Bukit Seguntang ke Riau-Lingga:
Pengembangan Tamadun Melayu Riau,” dan Dr. Didik Pradjoko
dengan judul tulisannya Gerilya Laut Sultan Mahmud Riayat Syah
1787-1795.”
Menarik sekali yang diketengahkan oleh Muhammad Takari
bin Jilil Syahrial mengorak corak musik Melayu yang menjadi bahasa
kosmopolitan semua bangsa, dalam makalahnya “Musik Melayu
sebagai Perekat Keserumpunan Tamadun: Tinjauan Historis dan
Struktural,” oleh. Tulisan ini dapat menjadi sumber untuk kerja-kerja
kreatif, komodifikasi, preservasi, revitalisasi, dan restorasi. Manfaat
praktis ini dapat pula wujud dalam bentuk menstimulasi budaya
(khasnya heritage) sebagai suatu metode rehabilitasi dan pelestarian
kebudayaan Melayu Riau. Sebagai kabupaten yang berkomitmen
menjadikan Daik sebagai Bunda Tanah Melayu, agenda kebudayaan
4
Tamadun Melayu Lingga
yang strategis memang mutlak dilakukan. Buku ini diselipkan
sebuah video dokumenter yang bertajuk “Sejarah Bugis Makasar di
Tanah Melayu,” video film dokumenter.
Pengantar buku ini ingin mengingatkan kepada sidang pembaca,
bahwa maksud kehadiran buku ini tidaklah hanya sekedar memberi
pengingat kepada kita, bahwa Daik pernah ada dan berkilauan dalam
sejarah masa lalu kita, tetapi bagaimana Daik hendak dijadikan apa,
diciptakan bagaimana, untuk apa, dan mengapa demikian. Tidak
hanya sekedar begitu “karya lahir maka pengarangnya mati”, tetapi
ingin bersama-sama memperhitung bagaimana peran, perancang,
apa yang dirancangnya dan bagaimana wacana teks itu diarahkan
untuk siapa. Penikmatnya tidak hanya jongkok di sudut ruangan,
tetapi mengambil manfaat dari apa yang dinikmati dari hidangan itu.
Bukankah manusia dapat menjadi rahmatan lil alamin bagi seluruh
alam semesta.***
Daik, 30 Oktober 2018
Tim Penyunting
5
Tamadun Melayu Lingga
6
Tamadun Melayu Lingga
SYAIR SULTAN MAHMUD
SAID BARAKBAH ALI
Tenaga Ahli Pemerintah Kabupaten Lingga
Bidang Kelembagaan Adat dan Budaya
Syair Sultan Mahmud Muzafar Syah di Lingga merupakan
syair yang terlahir dari pandangan dan ide-ide pengarangnya yang
tertuang di dalam 171 halaman. Setiap halaman rata-rata berjumlah
19 baris. Jumlah syair 1097 bait.
Masa penulisan syair Sultan Mahmud dinyatakan sangat
singkat, hanya sepuluh hari saja. Isi ceritanya cukup luas, diungkapkan
dalam satu bait syair :
Tiada lagi dipanjangkan madah
Dalam sepuluh hari lengkaplah sudah
Kepada delapan hari bulan zulkaedah
Memulai pekerjaan terlalu indah
Syair ini secara keseluruhan memuji keindahan tingkah laku
Sultan Mahmud dan mengagungkan kemansyuran kerajaan Riau
Lingga ; pengungkapan terhadap kebudayaan Melayu Riau Lingga.
Syair ini memuat Pembangunan Istana Kota Batu.
Pembangunan istana dimulai dengan penetapan lokasinya disuatu
bukit (bukit berduri) yang di bawahnya mengalir sungai. Letaknya
sangat strategis dan dari istana pemandangan nampak pemandangan
yang sangat indah. Bahan bangunan istana terbuat dari batu
bata yang dibuat di wilayah kerajaan, dan bahan pualam, mika
didatangkan dari Singapura. Arsitek bangunan istana dari Eropah.
Dalam pembangunan istana telah ditetapkan jabatan tukang yaitu
seorang Kapten, Kepala tukang dan tukang lainnya. Para tukang
terdiri dari orang Cina, orang Melayu bertugas untuk pembersihan
7
Tamadun Melayu Lingga
lahan, pencarian kayu. Para pekerja diberi upah sekitar 40 dan 20
ringgit. Jam kerja tukang dari pagi sampai pukul lima sore.
Seni bangunan dan daya cipta bangunan di Riau Lingga
mempunyai ciri khas tersendiri sebelum masuknya budaya arsitektur
asing. Selembayung ada bagian atas bangunan atas gedung istana
dan rumah merupakan ciri khas Melayu Riau. Istana Sultan Mahmud
tidak lagi mendirikan bangunan khas Melayu Riau setelah melihat
pembangunan istana yang dibuat di negeri Eropa. Pengaruh istana
dan arsitektur Belandamenambah daya kreasi dan daya cipta Sultan
untuk membuat istananya di Kota Batu Lingga. Sultan mahmud
seorang berpikir maju, memiliki selera tinggi dalam seni bangunan
dan pembangunan agama.
Syair Sultan mahmud dapat dicontohan dalam beberapa hal
yang berhubungan dengan :
1. Sistem Pemerintahan
2. Hubungan Sosial
3. Masalah Ekonomi
4. Unsur-Unsur Agama Islam
5. Kesenian dan Kesusastraan
6. Sistem Pemerintahan
(591) Orang bekerja sehari-hari
Diperintah oleh keempat Menteri
Panji dibangun di tengah negeri
Bertentang dengan Balairung Negeri
(468) Itupun tiada diindahkannya
Pura-pura tiada didengarnya
Marahlah Datuk Penghulu Istana
Diri sekalian apalah kata
(608) Penghulu Istana orang yang bahari
Ia berteriak ke sana kemari
8
Tamadun Melayu Lingga
Ayuhai anakku sekalian kemari
Kerjakan perintah ke bawah duli
7. Hubungan Sosial
(83) Jikalau izin serta diberi
Bermohonlah patik ke Singapuri
Peta Istana di sanalah dicari
Sebab negeri tempat yang bahari
(85) Wazir menyembah derjah berseri
Baiklah Tuanku, Mahkota Negeri
Naik pergi ke Singapuri
Habis lamanya dua puluh hari
(86) Setelah sudah putus bicara
Menteri bermohon pergilah segera
Bertitah pula Sultan Mupandara
Janganlah sina di Singapura
(276) Berjenis permainan di luar kota
Sorak dan tampik gegap gempita
Sorak India bersulap mata
Wayang orang di atas kota
(278) Bermain banyak berbagai warna
Juga Keling berwayang Cina
Berhimpunlah orang hina dan dina
Laksana kayangan batada kasana
9
Tamadun Melayu Lingga
1. Masalah Ekonomi
(90) Segeralah Cina menjawab kata.
Kepada Menteri Paduka Nata.
Di dalam gedung beratap bata.
Di situlah tukang banyak melata.
(91) Marilah engku Patik tanyakan.
Sementara pagi belum berjalan.
Di situlah Tukang berhimpun sekalian
Ada yang makan ada yang dimarahkan.
(93) Serta sampaike gedung batu.
Berjumpalah cina berbagai laku.
Ada memasak ada yang memaku.
Ada memahat ada yang membelah kayu.
2. Unsur-Unsur Agama Islam
(110) Kata orang yang empunya cerita.
Indahnya Istana seperti di peta.
Kepada hari Jum’at didirikan nyata.
Orang pun ramai gegap gempita.
(287) Orang kaya, Tumangung, Menteri, berbangsa.
Menanggung pekerjaan sudah biasa.
Dihimpunkan rakyat seisi desa.
Ke bawah duli berbuat jasa.
(357) Diamlah tuan jiwa bangsawan.
Jangan menangis berpanjangan.
Bejana moleh ayahanda gerangan.
Apakah pula artinya tunangan.
10
Tamadun Melayu Lingga
(364) Kepada pikiran bota sendiri.
Jika di izinkan Mahkota Bahari.
Malam Jum’at kepada empat belas hari.
Kita kawinkanlah Paduka Bestari.
3. Kesenian dan Kesusastraan
(23) Pantas manis berkata-kata.
Bibirnya seperti dicarik pita.
Lemah lembut budi anggota
Memberi heran di dalam kita
(24) Hidungnya seperti kuntum melur.
Bersambut dengan surinya kencur.
Laksana bunga di jambangan nilur.
Tubuhnya halus sepertinya telur.
(25) Bintang timur kedua matanya.
Bagai di mempelas rupa keningnya.
Seperti di sipat anak rambutnya.
Berpatutan dengan usul tubuhnya.
(27) Akan kata sahabat hikayat.
Rambutnya panjang terlalu lebat.
Serta hitam berkilat-kilat.
Ajaib heran segala yang melihat.
Syair ini merupakan satu di antara naskah kuno dari ribuan
naskah melayu yang tersebar di seluruh dunia. Syair ini ditulis tanpa
nama pengarag (anonim). Berdasarkan isi syair secara keseluruhan,
diperkirakan naskah ini ditulis oleh seorang bangsawan istana yang
dekat dengan Sultan. Apa-apa yang terjadi disekitar istana dapat
disyairkan dengan baik.
11
Tamadun Melayu Lingga
Syair Sultan Mahmud mempunyai makna yang dalam dan
khas. Aspek kebudayaan rakyat menonjol. Sudah layak Syair
ini dimasyarakatkan dan disebarluaskan terutama dalam dunia
pendidikan.***
12
Tamadun Melayu Lingga
MENAPAK ALAM LINGGA
BUNDA TANAH MELAYU
(KILAS BALIK BUNDA TANAH MELAYU
DALAM PERCAKAPAN)
SAID BARAKBAH ALI1 DAN MUHAMMAD ISHAK2
1) Tenaga Ahli Pemerintah Kabupaten Lingga Bidang Kelembagaan
Adat dan Budaya. 2) Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga
Kata Tamadun dalam bahasa Arab berasal dari kata Maddana.
Maddana berarti membangun suatu kota atau seseorang (masyarakat)
yang mempunyai peradaban. Tamadan dapat diartikan keadaan
hidup bermasyarakat yang bertambah maju.
Tamadun sebagai kebudayaan (civilization) adalah norma-
norma kebudayaan yang maju, tinggi dan halus yang dimiliki oleh
masyarakat melalui proses pendidikan dan penjajahan yang luas dan
mendalam.
Menurut KUBI Tamadun berarti peradaban, kemajuan,
kebudayaan, bertamadun berarti beradab, berkemajuan.
Tamadun yang berarti peradabana adalah jumlah kesatuan
dari nada perbendaharaan yang bersifat moral dan material yang
dapat membawa sebuah masyarakat dan memberikan setiap individu
dalam masyarakat tersebut dengan segala bentuk keperluan sosial
untuk kemajuan.
Menggemanya pernyataan Lingga Bunda Tanah Melayu
bermula dari kegiatan “Perkampungan Penulis Melayu Serumpun” di
Daik Lingga, 4 s.d 8 Juli 1999. Prakasanya Dr. Yusman Yusuf. Peserta
yang hadir dari Indonesia, Malaysia,Brunei, Thailand, Singapura dan
Korea Selatan.
Muhammad Ishak, Senin, 16 April 2012 merangkum kegiatan
tersebut dalam tulisannya “DAIK LINGGA BUNDA TANAH
13
Tamadun Melayu Lingga
MELAYU” sebagai berikut:
1. Daik merupakan Negeri yang bertamadun, memiliki taji sejarah
yang tajam dan panjang, penuturan bahasa yang halus, lentik
dan indah bergetah dalam percakapan sehari-hari. Daik Benteng
Lidah Melayu sekaligus benteng Tamadun (Yusmar Yusuf dalam
REJAB.F Daik Bonda Tanah Melayu)
2. Setelah menengok sejarah Daik masa lalu yang begitu agung dan
berjaya, tak salah terucap kata oleh penyelenggara Perkampungan
Penulis Melayu Serumpun dan sepakat bahwa Daikdi juluki
sebagai Bunda Tanah Melayu (Marie Ibni Zahari, Percetakan
Daik Lingga abad XIV Menerbitkan Karya Raja Ali Haji, dalam
Buku Daik Lingga Bonda Tanah Melayu).
3. Sebagai Bunda Tanah Melayu, Daik memiliki nilai sejarah, seni
dan riligi yang tinggi. Ditanah melayu inilah pernah bertahta
beberapa orang Raja yang memimpin Kesultanan Riau-
Lingga. Disini pernah pula berkembang kerajinan kuningan,
membatikdan perak dengan ukiran kelas tinggi. Dari segi
religi, Daik memegang tinggi nilai-nilai kesopanan sehingga
melahirkan bahasa yang halus. Melayu memang dekat dengan
islam, tidaklah mengherankan jika Teluk Belanga, pakaian Khas
Melayu mengidentikkan keislaman seseorang. Di Daik baju
Khas ini selalu dikenakan pada setiap acara keagamaan dan
kebudayaan. (Yuslenita Muda, catatan Perjalanan Perkampungan
Penulis Melayu Serumpun dalam Daik Lingga Bonda Tanah
Melayu)
4. Daik hanyalah sebuah nama yang manshurdalam sejarah.
Sewaktu-waktu ia adalah pusat Pemerinthan Johor Pahang-
Riau Lingga. Daik menjadi Bonda Tanah Melayu karena segala
kekuasaan melayu, baik Politik maupun Ekonomi berpusat
di Daik(A.F Yassin, Orang Daik itu orang Melayu dalam Daik
Bonda Tanah Melayu)
5. Keindahan Alam Pulau Lingga, kekayaan sejarah dan budaya
yang dimilikinuya serta prestasinya dimasa lalu sebagai pusat
14
Tamadun Melayu Lingga
kerajaan melayu Riau Lingga, pantaslah ia disebut sebagai Bunda
Tanah Melayu (Evy. R. Syamsir. Daik Lingga: (Pengalan sejarah
Melayu yang Terlupakan dalam Daik Bonda Tanah Melayu).
Kemudian didalam tulisan R. Hamzah Yunus : Daik Lingga
Bunda Tanah Melayu dalam Warisan Kerajaan Lingga-Riau Bunda
Tanah Melayu. Peninggalan pysik dan budaya pikir (Pusat Maklumat
Kebudayaan Melayu Riau Pulau Penyengat-Tanjungpinang
1999), juga menyebutkan beberapa alasan mengapaTanah Daik
Linggamenjadi Bunda Tanah Melayu :
1. Daik Lingga tempat bersemayam Sultan-Sultan Melayu kurang
lebih 120 tahun. Mulai dari Sultan Mahmud Riayat Syah
(1761-1812), Sultan Abdul Rahman Syah (1812-1832), Sultan
Muhammad Syah (1832-1841), Sultan Mahmud Muzafar Syah
(1841-1857), Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah (1857-1883) dan
Sultan Abdul Rahman Muazam Syah (1883-1911). Daik Lingga
sebagai tempat kedudukan Sultan-Sultan Melayu yang menerajui
pemerintahan, adat istiadat, agama islam dan kebudayaan melayu
islam. Masing-masing Sultan yang memerintah telah memberi
warrna dan corak kemelayuan yang pekat menjadi Daik Lingg
Bunda Tanah Melayu yang serba cemerlang.
2. Menjadi pusat, sumber, orientasi adat istiadat Melayu di Negeri
Melayu Serantau seperti Johor, Pahang dan Terengganu.
3. Menjadi tempat pembinaan adat istiadat dan budaya melayu yang
merupakan salah satu puncak budaya Melayu, seperti bagaimana
yang disebut adat istiadat menghadap balai, berlati, berarak raja,
berarak pengantin, berbahasa dan lain-lain,
4. Adat istiadat melyau ditata, disusunm dilaksanakan dan
disebarluaskan dari Daik lebih tertuju kepada nilai agama yang
menyatu dengan syariat, antara lain berlandaskan adat bersendi
Syariah dan Syarah bersendikan Al Qur’anulkarim.
5. Dari Daik, bahasa melayu dibina dan dikembangkan, terutama
bahasa lisan yang dipakai dikalangan istana, yang merupakan
15
Tamadun Melayu Lingga
puncak bahasa percakapan orang melayu pada masa itu. Bahasa
lisan yang halus penuh sopan santun dan berdasarkan kelas
masyarakat itu dipakai secara meluas oleh masyarakat umum
Daik yang sebagaimana masih dapat didengar saat ini.
Kemudian pada tulisan yang lain yang berisikan harapan
terhadap Bunda Tanah Melayu sebagai berikut:
1. Wahyu Hidayat (Kalimantan Barat, catatan kebudayaan :
“BELALIK” dalam perjalanan menuju kerumah Bunda Tanah
Melayu, 2011).
- Di Daik Lingga sebagai Rumah Bunda Tanah Melayu selain
harus dapar meraih semangat dalam merangkai sebuah
ruang silaturahmi seluruh masyarakat melayu dimanapun
berada sebagai tanah yang selalu dirindukan , tanah yang
mengajarkan kasih sayang melalui kemolekkan ekologi dan
budaya serta menjadi pusat rujukan pengkajian/penelitian
bagi seluruh masyarakat melayu dalam menemukan jati
dirinya, salah satunya dengan semangat belalik, dengan
rencana-rencana :
a. Percepatan pembangunan sarana prasarana pendidikan
berbasis khasanah kebudayaan lokal
b. Membangun balai kajian sejarah dan budaya melayu alam
menggali dan membentuk ruang-ruang intelektual bagi
kemajuan peradaban.
c. Percepatan pembangunan infrastruktur berbasis wisata
budaya maritim.
Merangkai usaha menjadikan Daik Lingga sebagai pusat
agenda seremonial seni budaya maritim dunia
Selanjutnya Restu Gunawan : Lingga menemukan kembali
peradaban yang hilang, 2011.
- Keberhasilan pengungkapan Bunda Tanah Melayu
merupakan hasil yang cukup baik. Tugas seterusnya adalaah
bagaimana menempatan Bunda Tanah Melayu dalam tataran
yang lebih tinggi. Sebagai ikon Daik Lingga, Ikon tersebut
16
Tamadun Melayu Lingga
digunakan dalam tataran yang lebih tinggi tentu lebih
membanggakan. Guna memperkuat bahwa Lingga pantas
sebagai Bunda Tanah Melayu perlu melakukan rekonstruksi
bekas kerajaan, maupun pembangunan museum yang tidak
hanya menyimpan artifak, tetapi juga naskah-naskah kuno.
Begitu juga penggalian kembali Ikon-Ikon lainnya, misalnya
adalah Tokoh Lingga yang diperjuangkan sebagai Pahlawan
Nasional.
Gayungpun bersambut, Masyarakat Melayu serumpun diwakili
5 (lima) negara (Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura dan Thailand
mengadakan pertemuan di Daik Lingga, 5 s.d 10 Desember 2011.
Perhimpunan ini menghasilkan “WARKAH LINGGA BUNDA
TANAH MELAYU”
Dalam sejarah panjang pengembangan dan kejayaan
Kesultanan Lingga dengan segala sumber daya yang dimilii dan
diwarisnya dengan ini kami menyataan :
MENETAPKAN :
PERTAMA : LINGGA SEBAGAI BUNDA MELAYU
KEDUA : Hal ini ditetapkan bahwa LINGGA SEBAGAI
BUNDA TANAH MELAYU merupakan Cogan
Kebudayaan Melayu yang ikut mempengaruhi
segala aspek masyarakkat Melayu Serumpun.
A. Menjunjung tinggi Resam dan Adat Melayu
B. Mata Air Kebudayaan Melayu adalah sumber
segala perbuatann dengan menjadikan Cogan
dalam berfikir, dan berkehidupan dalam
mengisi kekinian dan masa depan.
KETIGA : Kami berhimpun dan mengamanahkan kepada
Pemerintah Kabupaten Lingga bersama DPRD
17
Tamadun Melayu Lingga
Kabupaten Lingga agar dapat menetapkan
LINGGA SEBAGAI BUNDA TANAH MELAYU
ke dalam Peraturan Daerah dan mengupayakan
penetapan selanjutnya ke dalam surat keputusan
Presiden Republik Indonesia.
KEEMPAT : Semua ini akan :
A. Membangkitkan nilai-nilai kebudayaan Melayu
dari LINGGA SEBAGAI BUNDA TANAH
MELAYU.
B. Mmbudayakan nilai-nilai kebudayaan Melayu
menuju masyarakat dunia yang adil, makmur
dan sejahtera serta beradap dalam ridho Allah
Yang Maha Kuasa.***
Daik Lingga, 10 Desember 2011
18
Tamadun Melayu Lingga
LINGGA, JEJAK DAN WARISANNYA
DALAM TAMADUN MELAYU
RIDA K. LIAMSI
Dato’ Seri Lela Budaya
Sastrawan dan Budayawan
Jejak Lingga dalam pergulatan sejarah dan perkembangan
Tamadun Melayu sangat jauh dan besar, serta sudah ujud sejak
masa kemharajaan Melayu Melaka (1349-1511). Lingga adalah satu
negeri yang berada dibawah kekuasaan Melaka meskipun Lingga
mempunyai penguasa sendiri, seorang Raja yang takluk ke Melaka.
Dalam buku Salatus Salatin (Sejarah Melayu) karya Tun Seri Lanang
diceritakan bahwa ketika Sultan Melaka Mansyursyah (1456-1477)
berkunjung ke Mojopahit dia membawa sejumlah raja-raja daerah
taklukannya termasuk Raja Lingga.
Diera Kerajaan Johor (1528-1722) sebagai penerus Melaka,
Lingga juga merupakan Negeri yang sangat penting dan strategis.
Lingga pernah menjadi pusat Pemerintahan sementara Sultan Johor
Abdullah Muayatsyah (1615-1623) Johor diserang oleh Aceh, 1617.
Sekitar 5 tahun Sultan Abdullah Muayatsyah didampingi Laksamana
Tun Abdul Jamil berkerajaan di Lingga, sebelum berpindah lagi ke
Pulau Tambelan di Laut Cina Selatan. Bahkan Ahmad Dahlan dalam
bukunya Sejarah Melayu, menyebutkan buku Salalatus Salatin itu
selesai ditulis di Lingga, 1612, jauh sebelum Aceh menyerang Johor.
Peran dan sumbangan Lingga terhadap perkembangan
Tamadun Melayu makin besar di masa Kerajaan Riau-Lingga
(1722-1912), penerus Kerajaan Johor, di era persebatian Melayu-
Bugis. Terlebih setelah Sultan Riau Lingga, Mahmud Riayat Syah
(1671-1812), pada 1787, memindahkan ibukota Kerajaan Riau
Lingga ini ke Pulau Lingga. Di masa inilah perkembangan Tamadun
Melayu menjadi semarak. Dari Lingga lah berbagai tradisi literasi,
19
Tamadun Melayu Lingga
adat istiadat, Islam dan keunggulan tradisi lainnya muncul dan
berkembang yang kemudian menjadi warisan peradaban yang
tak ternilai. Ekonomi dan perdagangan juga berkembang pesat,
terutama setelah ditemukan timah di Pulau Singkep dan tanaman
sagu di Pulau Lingga yang menjadi sumber penghidupan dan
ekonomi Kerajaan dan masyarakatnya. Sultan Mahmud Riayat
Syah bukan saja mampumempertahankan Kerajaan Riau Lingga
dari cengkraman penjajah Belanda, tetapi juga telah membangun
sebuah Kerajaan yang bertamadun tinggi, tamadun yang beteraskan
budaya melayu dan Islam. Dari sinilah tradisi literasi seperti bahasa
melayu yang dibawa dari Johor, dibesarkan, dan kemudian dibawa ke
Pulau Penyengat dan disempurnakan sehingga menjadi bahasa baku
yang kemudian menjadi asal usul bahasa kebangsaan yaitu Bahasa
Indonesia. Dari Lingga lah bermula tradisi percetakan, tradisi tenun
songket, pengobatan, dan lain-lain.
Persebatian Melayu Bugis dalam meneraju Pemerintahan
Kerajaan Riau Lingga ini telah mewariskan jejak sejarah dan tamadun
melayu yang panjang, unggul dan sampai saat ini masih bisa dilacak
dan dirasakan roh dan semangatnya di Lingga, dan karenanya
mereka dengan bangga menyatakan bahwa Lingga adalah BUNDA
TANAH MELAYU. Dari sinilah tradisi besar budaya melayu di rawat
dan dibesarkan, dan kemudian menjadi warisan yang memperkaya
Kebudayaan Nasional Indonesia.
Perhelatan Tamadun Melayu yang dilakukan ini adalah upaya
positif untuk memuliakan warisan peradaban yang ada dan terus
hidup agar tetap terus memberikan sumbangannya bagi kebesaran
peradaban melayu di masa depan. ***
20
Tamadun Melayu Lingga
SANG PEMIKIR TAMADUN MELAYU
NYAT KADIR
Dato’ Sri Setia Amanah
Anggota DPR RI
Memperbincangkan tentang tamadun Melayu di Lingga yang
kini disebut Bunda Tanah Melayu sangatlah tepat. Alasannya seorang
pemimpin besar yang sulit dicari tandingannya pada masa itu, yakni
Sltan Mahmud Riasyat III memegang pemerintahan di Lingga
mula tahun 1789 s/d 1812 dengan cakupan wilayah pemerintahan
meliputi Lingga, Riau, Johor, dan Pahang. Dari Linggalah Sang Sultan
meneruskan perjuangan mengusir penjajahan Belanda dari bumi
Imperium Melayu Lingga, Riau, Johor, Pahang, dan meneruskan
membangun budaya Melayu sehingga mencapai peradaban atau
lebih sedap kita sebut dengan Tamadun Melayu.
Terbentuknya tamadun Melayu memakan waktu yang panjang
semenjak 3000 tahun sebelum masehi. Sekarang saja kita berada
pada 2000 Masehi, ini bermakna tamadun Melayu yang tercatat
sudah berumur lebih kurang 5000 tahun. Pada penggalan 3000 SM
seorang putera raja Byzantium telah berlayar ke benua Asia untuk
berkunjung ke negeri China. Beliau terdampar ke daratan negeri
Kedah dan menjumpai orang-orang tempatan yang berbadan tegap,
kuat, dan bagus. Masyarakat disini sudah mempunyai tamadun yang
tinggi dilihat dari aktivitas pertanian, pertukangan dan pembuatan
peralatan dari besi. Imperium Melayu yang tercatat gemilang dalam
sejarah adalah kerajaan Sriwijaya yang menguasai Siam, sebagian
Sumatera dan Jawa, lebih kurang 700 tahun lamanya (abad ke -7
sampai abad ke -13).
Orang Melayu pada saat itu mengembara sampai ke China dan
India dengan menggunakan kapal layar yang besar dengan keahlian
Ilmu Maritim yang tinggi. Sejarah terus bergulir, imperium Melayu
21
Tamadun Melayu Lingga
yang gemilang berlanjut dari abad ke- 13 yakni Kerajaan Bukit
Siguntang, Bintan, Singapura, Melaka, Johor, Pahang, Riau, Lingga,
dan berakhir pada abad ke -19 (runtuhnya kesultanan Melayu Riau
Lingga tahun1912). Pada masa Imperium Melayu abad ke -13 sampai
dengan abad ke -19, dipengaruhi kedatangan bangsa Eropa (Portugis,
Belanda, dan Inggris), Imperium Melayu perlahan–lahan mencapai
puncak tamadun Melayu pada era pusat pemerintahan kesultanan
berada di Lingga dan Yang Dipertuan Muda berada di Penyengat.
Kestabilan pemerintahan Kerajaan Riau Lingga, Johor, Pahang
dijadikan momentum oleh Sultan Mahmud untuk membangun
pusat tamadun Melayu di kerajaan Riau Lingga, Johor, Pahang,. Pusat
pemerintahan dan bandar yang tadinya telah dibangun di Sungai
Carang, Riau Bintan (sudah mulai dibuka olehTun Abdul Jamal pada
tahun 1673 sebagai pangkalan pelabuhan bebas), kemudian juga
mulai dibangun baru dipulau Lingga, Johor, dan Pahang dengan
melengkapi fasilitas bagi kepentingan sultan dan rakyat seperti
istana, masjid, pasar, jalan raya, dll. Beliu juga membangun pusat
pemerintahan dan bandar bagi Yang Dipertuan Muda di Penyengat
Indera Sakti tahun 1803.
Tak ketinggalan beliau membangun mental spiritual atau
keagamaan yang dijadikan prioritas karena Melayu berbasiskan
Islam dengan mendatangkan Tuan Sahid dari Tanah Arab dan Lebai
dari tanah Jawa. Sehingga penuhlah masjid, rumah wakaf, surau oleh
orang-orang besar dan orang-orang kaya juga rakyat biasa untuk
menuntut ilmu agama, setiap malam jumat ramailah orang-orang
datang ke masjid untuk memberikan sedekah kepada fakir miskin
dan anak yatim.
Pada masa duet Sultan Mahmud dan Raja Haji tercapailah
puncak kemakmuran bagi Kerajaan Riau Lingga johor pahang. Hasil
bumi seperti gambir, lada hitam, sagu, dan karet dan buah-buahan
merupakan handalan perekonomian masyarakat. Sultan Mahmud
juga membuka tambang timah di Dabo Singkep. Perdagangan
berkembang maju ditopang adanya pelabuhan besar di Sei Carang
sehinga mampu menyaingi Melaka. Cukai bandar perdagangan
22
Tamadun Melayu Lingga
merupakan pemasukan besar khas kerajaan. Kapal-kapal dagang
dari dalam dan luar negeri datang membawa hasil bumi dan laut
rakyat ataupun membawa kebutuhan sehari-hari untuk dijual kepada
rakyat, seperti beras, gula, pakaian dan sebagainya.
Sultan Mahmud juga menggesa lahirnya tradisi menulis,
sehingga lahirlah penulis-penulis handal seperti Raja Ahmad dengan
karya Tuhfat Al Nafis yang kemudian diteruskan oleh anak
beliau, Raja Ali Haji. Tradisi menulis sangat berkembang di
pulau Penyengat. Pembangunan pusat tamadun Melayu oleh Sultan
Mahmud sangat visioner ini menghasilkan karya-karya besar setelah
beliau wafat diataranya lahir seorang sastrawan dan budayawan besar
sepanjang abad yakni Raja Ali Haji yang melahirkan karya-karya
besar di antara Tuhfat Al Nafis, Bustanul Katibin, Kitab Pengetahuan
Bahasa, Gurindam 12 dan lain-lainnya.
Karya kawan-kawan sezaman Raja Ali Haji ada 16 buah di
antaranya Hikayat Negeri Johor, Syair Sultan Mahmud di Linggadan
lain-lain. Penulis handal sangat banyak di zaman itu, di antaranya
Raja Ahmad (ayahanda Raja Ali Haji), Raja Ali Haji,
Raja Haji Daud, Raja Saliha, Raja Safiah, Raja Kalsum, Raja
Hasan, Raja Ali Kelana serta Raja Haji Muhammad Tahir.
Karya-karya keluarga Raja Ali Haji sesudah Raja Ali Haji wafat
tidak kurang 15 buah. Suasana keilmuan melahirkan organisasi
“Rusydiah Kelab”, tempat para cendikiawan mengembangkan ilmu,
tradisi menulis, juga mendirikan sekolah,. Di pusat pemerintahan
Daik Lingga penulis seperti Yarham Tengku Saleh, yang menulis
buku agama Nur Shalat, Sejata Sulit dan lain-lain.
Di Daik Lingga masa Yang Dipertuan Muda Muhammad Yusuf
al-Ahmadi, beliau membina Tarekat Naksyabandiah dengan tempat
belajar “Istana Kota Baru”. Pada masa Sultan Mahmud Syah juga
tumbuh kerajinan batik, kain songket, kerajinan, tembaga, perak dan
emas.
Adat Istiadat Melayu yang bersendikan Islam dibina dan
dikembangkan serta dipelihara sehingga menjadi sikap orang Melayu
keseharian yang lembut berbudi pekerti, sederhana, tidak suka
23
Tamadun Melayu Lingga
konflik dan terbuka. Sudah tentu dimulai dengan ajaran Islam yang
sebati dan contoh dari Nabi Muhammad SAW. Seni Melayu yang
berdasarkan Islam seperti pantun, syair, dan gurindam berkembang
pesat sehingga ikut membentuk sikap orang Melayu yang halus
Bahasa dan budi pekertinya.
Bahasa menunjukkan bangsa. Dalam masa pemerintahan
Sultan Mahmud, Bahasa Melayu dibina dan dikembangkan. Rakyat
diwajibkan berbahasa melayu yang tinggi. Bahasa ini diterima
sebagai Bahasa persatuan pada konggres Pemuda Indonesia pada
tahun 1928.
Tercapainya puncak tamadun Melayu sudah tentu berasal
dari kepemimpinan yang stabil, kuat, dan disegani. Beliau adalah
Sultan Mahmud Riayat Syah yang memimpin imperium Melayu
lebih dari setengah abad. Kepemimpinan Sultan Mahmud juga
memberikan dampak kepada kesultanan Melayu Riau Lingga
berikutnya sejak beliau meninggal tetap dapat bertahan lebih kurang
100 tahun yang diperintah oleh 5 sultan berikutnya yakni Sultan
Abdurahman Muazzam Syah I, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah,
Sultan Muhammad Syah, Sultan Mahmud Muzaffar Syah, dan Sultan
Abdurrahman Muazzam Syah II. Karena Sultan yang memerintah
di Lingga mengukuhkan Lingga sebagai asal dan pusat Tamadun
Melayu, sehingga tepatlah Lingga disebut bunda tanah Melayu.
Dengan memperbincangkan Tamadun Melayu di Bunda
tanah Melayu ini diharapkan semakin bertambah luaslah alam
pemikiran melayu dengan semakin memperkuat jati dari melayu
baik dikalangan nasional maupun pergaulan antar bangsa.***
24
Tamadun Melayu Lingga
PERCAKAPAN DI LINGGA
HUSNIZAR HOOD
Wakil Ketua DPRD Provinsi Kepri
Ketua Dewan Kesenian Provinsi Kepri
Tak bersultan
Di gunungmu kau bertitah
Ke cabang ke tahta ke takluk
Mengigau hulu balang
Lemparkan lembing ke sampan
Dan dikaupun dikaramkan zaman
Dari Mepar di musim sungai menangis
Adakah 44 bilikmu bagai labirin
Kau bergulat di senyap
Dan meriam tua itu meletup
Berdentam berdentum di kalbu
Bagai titah badan
Terus menderak
Bagai tiang-tiang pelantar
Menangkis ombak
Hingga tiba di musim laut mencumbu
Darahmu tersemah
Percakapan panjang terus bertalu
Tapi tak sekalipun lagi
Orang ingin berucap
“Ampun Tuanku!”
Puisi itu sudah berusia 18 tahun, saya tulis ketika pertama kali
saya menginjakkan kaki di Daik Lingga untuk sebuah perhelatan
25
Tamadun Melayu Lingga
bernama “Perkampungan Penulis, Daik Bunda Tanah Melayu”, begitu
tajuk yang diberikan oleh penggagas acara waktu itu, dialah ; Prof.
DR. Yusmar Yusuf seorang Budayawan juga Dosen di Universitas
Riau.
Konon dengan bangganya saya waktu itu ditunjuk sebagai
ketua panitia lokal, mengurus segala sesuatu yang berada di
lapangan, maklumlah negeri ini masih bernaung dibawah Provinsi
Riau dan Daik Lingga hanyalah sebuah kecamatan saja. Pemerintah
Kabupaten Kepulauan Riau waktu itu agak kurang merestui dengan
alasan kurang koordinasi untung camatnya dengan sigap tetap
menyatakan siap walaupun agak tergagap-tergagap.
Kami tinggal di rumah-rumah masyarakat yang di atur oleh
kepala desanya dengan baik, panggung di depan kantor camat itu
hingar bingar dikemas oleh seniman Lingga secara bersama-sama
dengan kunjungan penonton yang tumpah ruah ketika malam tiba,
Ah, Daik waktu itu sungguh bercahaya.
Keesokan harinya pada sebuah diskusi dengan pembicara dari
berbagai belahan negeri dan Negara juga dihadiri seniman dan juga
budayawan, semua setuju bahwa Daik Lingga sememangnyalah
“Bunda Tanah Melayu”. Bukan tanpa sebab mereka mengakuinya
karena sejarah panjang telah mencatat pengaruh Lingga-Riau
terhadap rantau Melayu hingga semenanjung negeri ini.
Dalam masa 18 tahun itu ada banyak yang berubah, kini Lingga
menjadi sebuah kabupaten dan sudah pernah berganti pemimpin,
saya dikabarkan ada sebuah perhelatan bernama “Tamadun Bunda
Tanah Melayu antar Bangsa” yang akan dilaksanakan disana,
saya riang-riangkan hati ini tentulah dengan kenangan waktu itu,
berpanas-panas di kapal, sekedar mencari makan di warung yang
sulit membangun sebuah panggung terpaksa lintang pukang dan
meminjam sekolah untuk tempat berdiskusi dan pulang dari Daik
saya demam.
Tapi sebenarnya bukan karena fasilitas dan tempat saya
meriang-riangkan hati ini tapi Lingga yang pada suatu waktu dulu
adalah sebuah emperium agung kesultanan Melayu kini seperti
26
Tamadun Melayu Lingga
menggeliat bangkit dengan segala dayanya, tanda-tanda itu ada,
disaat orang bicara maritim Lingga kini memulai dengan agraris
bercocok tanam padi sebagai sumber makanan utama, disaat orang
bicara ekonomi Lingga menyeruak dengan budayanya. Disaat orang
sibuk teriak-teriak berorasi, Lingga malah bicara dengan puisi.
Sedang apakah Lingga kini? Sedang apakah Bunda di dalam
sunyi? Saya pikir dia sedang membangun Tamadun itu karena
tamadun itu lebih dari hanya sebuah budaya, dia adalah sebuah
peradaban, sebuah pencapaian yang dihasilkan anak-anaknya yang
menjadi penentu masa depan negeri itu. Masa depan yang kelak
akan bertanya, apakah Tamadun kita? Dan dengan lantang mereka
menjawab tamadun kita adalah budaya dengan kekuatan aksara, akal
budi Melayu yang ranggi.
Saya ingin datang dan tentu berharap mampu menulis puisi,
tidak seperti itu lagi, meskipun pada waktu itu saya sudah melompat
jauh, berimajinasi ;
Sulaiman
Dengar aku
Terus teleponmu bordering
Hingga ke alaf ini
Aku mencari kabar
Istana Damnah dan bayangmu menari
Lalu Riaupun menari
Sulaiman
Muazam teleh ke Penyengat
Pulau emas yang menjadi suasa
Di Bentan aku mendengarkan isaknya
Ia menangis di depan TV
Menyaksikan Tumasik lalu Johor dan Malaka di suatu pagi
Sulaiman
Dengarkah kau?
27
Tamadun Melayu Lingga
Berdering juga hati ini
Kabar kita bernyanyi-nyanyi
Bertandak dengan lanun
Kita mengucap salam
Di Riau Lingga yang sunyi
Sulaiman
Kenapa mesin penjawab teleponmu
Berteriak “sia-sia!”
Damnah yang bermimpi
Budi dan baik terus berlaga
Akupun bertanya
Kenapa gunung diri bercabang tiga?
Selamat Datang di Lingga, Bunda Tanah Melayu, Insya Allah saya
akan datang juga dan menulis puisi yang membuat Bunda bahagia.***
Tanjungpinang, 14 Oktober 2017
28
Tamadun Melayu Lingga
JASA TIMAH SINGKEP DALAM TAMADUN
MELAYU LINGGA
M. FADLILLAH
Pemerhati Sejarah
Di zaman Kerajaan Johor, Pahang, Lingga, Riau hingga
ke Lingga-Riau,salah satu daerah yang paling penting di Lingga
sebagai sumber ekonomi istana adalah Pulau Singkep. Pulau di
sebelah selatan Lingga yang dipisahkan oleh selat pulau Lima ini
mempunyai peran besar dalam pemasukan keuangan Istana. Boleh
dikatakan Pulau Singkep pernah menjadi tulang punggung ekonomi
karena memiliki pertambangan timah. Di tahun 1787 selepas
memerintahkan orang Lanun dari Tempasuk meranapkan pasukan
VOC Belanda di Tg Pinang, Sultan Mahmud Syah III terpaksa
berundur ke Lingga. Di Lingga sultan membuka pertambangan timah
di pulau Singkep. Kapal-kapal dagang Inggris telah datang ke pulau
itu untuk membeli timah. Mereka menjual senjata api juga amunisi
kepada pihak pasukan kerajaan atau pun kelompok bersenjata yang
mendukung Sultan. Pasukan-pasukan kerajaan bertambah kuat
dengan senjata-senjata yang dibeli dari pedagang-pedagang Inggris.
Untuk mengganggu jalur perdagangan VOC Belanda pasukan
Sultan Mahmud Syah III melancarkan serangan-serangan sampai
ke Bangka dan Jawa. Hasil-hasil timah yang dijual kepada pedagang
Inggris telah memberikan keuntungan kepada Sultan Mahmud Syah
III. Walaupun Riau telah lepas dari genggaman Sultan, namun pulau
Singkep telah menjadi tulang punggung baru dalam bidang ekonomi
dan perlawan terhadap VOC Belanda.
VOC Belanda tidak melakukan serangan balasan ke Lingga
dan tidak juga coba untuk menguasai Singkep yang menjadi sumber
ekonomi Sultan. VOC Belanda bertahan di Riau dan mencoba
kembali untuk meramaikan daerah itu. Di tahun 1795 suasana
29
Tamadun Melayu Lingga
kembali damai dan tenang. Pihak Kompeni Inggris menyerahkan
Riau dan Kerajaan kembali ke tangan Sultan Mahmud Syah III, pihak
VOC Belanda juga melakukan hal yang sama. Riau ditinggalkan
VOC dan kembali di kuasai Sultan Mahmud Syah III, namun dia
tidak kembali menetap di sana. Usaha timah nampaknya terus
berkembang maju. Dalam Tuhfat al-Nafisversi Winstedt, Raja Ali
Haji bercerita, “Syahdan apabila sudah selesai dari pada menetapkan
negeri Riau itu, maka baginda pun berangkatlah ke negeri Lingga
membetulkan negeri Lingga pula serta mengeluarkan hasil-hasil di
sana dari pada timah-timah di Pulau Singkep, diaturkan bahagian
makanan-makanan orang besar-besar dan orang baik-baik yang di
dalam negeri Lingga. Maka ramailah negeri Lingga masuklah perahu
dagang dari Jawa dan wangkang-wangkang dari negeri Cina dan
Siam dan lainnya”.
Dimasa Sultan Abdurrahman Syah (1812-1832) usaha
pertambangan timah terus menjadi hasil utama pihak Istana di
bidang pembangunan kerajaan dan militer. Di dalam Tuhfat al-
Nafis sekali lagi Raja Ali Haji bercerita tentang hasil timah di
pulau Singkep, Dia menyatakan “Maka amanlah negeri Lingga
itu serta mendapat makanan dari pada tanah Singkep dan adalah
membaikkan negeri dari pada kota paritnya dan perdalaman
Baginda Sultan Abdurrahman serta kelengkapan penjajab perang,
serta menyediakan baris senapang itu yaitu Encik Kaluk, ialah kepala
segala yang tersebut itu”. Sultan selanjutnya terus menikmati hasil
Timah Singkep dan saat Belanda menjajah kembali kerajaan, urusan
pertambangan timah tidak sepenuhnya berada dalam kuasa Sultan.
Tahun 1857 atas persetujuan Belanda, Tengku Sulaiman anak
Sultan Abdurrahman Syah marhum kedaton naik tahta dengan
gelar Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah. Dia menggantikan anak
saudaranya Sultan Mahmud Muzzafar Syah yang dipecat Belanda.
Belanda telah memperbaharui lagi perjanjian dengan Kerajaan
Lingga-Riau. Perjanjian disepakati Sultan Sulaiman Badrul Alam
Syah dan Yang Dipertuan Muda Raja Abdullah di Penyengat pada
1 Desember 1857. Pada 9 Februari 1858 perjanjian ini disepakati
30
Tamadun Melayu Lingga
oleh Gubernur Jenderal Belanda. Dalam perjanjian ini dinyatakan
karena dikalahkan oleh Belanda, kerajaan Lingga-Riau menjadi
bagian dari wilayah Hindia Belanda dan berada dibawah kekuasaan
Belanda. Kerajaan Lingga-Riau pun dianggap sebagai pinjaman
Sultan dari Belanda. Perjanjian ini menambah kuatnya kekuasaan
Belanda di Lingga-Riau. Perjanjian ini menjadikan juga Belanda
berhasil menguasai dan mengendalikan usaha pertambangan timah
di Singkep. Dalam perjanjian ini, yang menyangkut pertambangan
berbunyi
Fasal yang kesebelas
Maka berjanjilah Paduka Sri Sultan dan menteri2nja tiada dia
melepaskan haknya akan menggali didalam tanah serta beroleh hasil
daripada penggaliannya itu kepada orang yang bukan anak buminya
jika tiada dengan mufakat dan sebicara dengan wakil Paduka Sri
Yang Dipertuan Besar Gubernur Jenderal di Riau supaya penggalian
itu diaturkan dengan dicahari seboleh2nja untung Paduka Sri
Sultan dan menteri2nja dan dengan tiada diambil oleh gubernemen
sebahagian daripada untung itu hanyalah dengan menilik kepada
pergunaan tanah Hindia Nederland jang sejati serta dengan serta
keputusan Baginda Sri Maharaja Nederland jang terputus pada 24
hari bulan Oktober tahun 1850 dengan angka 45 seperti tersebut di
dalam angka 45 seperti tersebut di dalam angka yang keenam dari
statblad tanah Hindia Nederland tahun 1851 sebagaimana bunyinya
pada waktu ini atau sebagaimana barangkali diubahkannya oleh
Baginda Sri Maharaja Nederland ada pun jika jadi diubahkannya
maka lalu diberi tahu kepada Paduka Sri Sultan oleh Paduka Tuan
Residen Riau maka suatu salinan bahasa Melayu daripada keputusan
itu terletaklah pada surat perjanjian ini”. (Surat-surat Perjanjian
antara Kesultanan Riau Dengan Pemerintah2 V.O.C Dan Hindia-
Belanda 1784-1909. 1970:93)
Untuk menguasai urusan pertambangan timah sesuai dengan
perjanjian, Belanda menggunakan peraturan yang diputuskan Raja
Belanda Willem ke-3 yang terbit 24 Oktober 1850. Dengan adanya
31