The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by gagasmedia, 2022-06-15 03:49:07

Gending Pencabut Nyawa

DIOSETTA

Keywords: Horor,CeritaAntaraDunia,GagasMedia,Diosetta

Gending Alas Mayit

Desa Windualit, sebuah desa terpencil yang jauh dari
sosok hiruk pikuk perkotaan. Pemandangan indah
Gunung Merapi selalu setia menemani pagi setiap warga di
desa ini.

Sama sekali tidak ada yang istimewa di tempat ini,
bahkan desa ini masih jauh dari kesan modern. Rumah-
rumah di sini masih dibangun dari kayu, bahkan listrik pun
baru masuk beberapa tahun lalu. Itu pun hanya cukup untuk
sumber listrik lampu-lampu rumah.

Untuk keluar atau masuk Desa Windualit kami harus
melalui jurang sejauh ratusan meter. Kendaraan bermotor
hampir mustahil mencapai desa kami. Namun, warga desa
ini sudah terbiasa memenuhi kebutuhan hidup dari hasil
bercocok tanam di lahan mereka sendiri. Uang? Maaf saja
benda itu tidak terlalu berharga di sini.

Namaku Sekar, hanya perempuan biasa yang masih
menumpang hidup dari orangtua. Keseharianku layaknya

1

wanita desa lainnya. Memasak, mencuci baju di sungai,
menimba air, dan kadang membantu di kebun Bapak.

“Bu... Sekar nyuci klambi ning kalen disik, yo” pamitku
kepada Ibu untuk mencuci pakaian di sungai.

“Yo, ojo kesuwen....” jawab Ibu, memintaku agar jangan
lama-lama mencuci di sungai.

Aku mengangkat cucianku segera menuju sungai.

SEMUA hal di desa ini terlihat biasa saja, selain sebuah

pantangan yang harus dipatuhi oleh warga desa ini, yaitu
untuk tidak memasuki satu tempat terlarang di perbatasan
desa. Warga menyebut tempat itu dengan nama Alas Mayit,
Hutan Mayat.

“Dek Sekar... mampir,” ucap Bu Retno yang sedang
bersih-bersih di teras rumahnya.

“Njih, Bu... Tak Nyuci kelambi dulu,”1 jawabku
sekadarnya.

Warga di sini memang sangat ramah, hampir setiap
berpapasan kami selalu memberi salam atau sekadar
berbincang basa-basi.

“Duh... mas, piye iki?”2 Terdengar suara wanita berbisik
dari balik pepohonan, tanpa sengaja sedikit perkataanya
terdengar olehku.

“Kok, bisa jadi seperti ini?” terdengar suara seorang pria
membalas ucapan wanita itu.

1 Iya bu, saya cuci baju dulu
2 Duh, Mas, bagaimana ini?

2

Aku mencoba menghampiri, tetapi seperti sadar akan
kehadiranku mereka segera berlari meninggalkan tempat itu.

Ya sudahlah, aku juga tidak begitu tertarik dengan urusan
orang lain.

Aku menyiapkan pakaianku dan segera mencucinya di
sungai, tak jauh dari tempatku juga terlihat beberapa ibu-ibu
sudah lebih dulu sampai di tempat ini.

“Sekar kesiangan, tho?” tanya salah satu ibu di sana.
“Njih bu,  mau Ibu dhawuhi nulungi masak disik,”3
jawabku.
“Yowis, tak pamit duluan ya sekar..., “lanjutnya lagi.
“Njih, Bu. Hati-hati di jalan. Di pinggiran sungai tadi
agak licin jalannya,” jawabku sambil membungkuk sedikit.
Satu per satu ibu-ibu meninggalkanku di sungai, sampai
akhirnya hanya aku sendiri. Segera aku menyelesaikan
cucianku, lalu kembali ke desa.
Sekembalinya dari sungai, desa terlihat begitu sepi.
Namun samar-samar terdengar suara ramai dari balai desa.
Aku segera menghampiri ke sana, dan apa yang aku lihat
benar-benar bukan pemandangan yang biasa.
Seorang wanita, itu Laksmi. Ia tersungkur di tanah
dengan tubuh penuh luka, seolah dipukuli dengan sangat
keras.

“INI anakmu, Mas... anakmu!” Tangis Laksmi pecah. Sambil

memohon kepada lelaki yang telah memukulinya itu, ia
bersimpuh lemah.

3

3

“Perempuan berengsek!” ucap lelaki itu sambil mencoba
mengantamkan tinjunya lagi ke Laksmi, tetapi segera ditahan
oleh warga.

“  Ojo ngelek-ngeleki suamiku! Ra mungkin suamiku
gelem mbek wedhok macem kowe! Pelacur!4” bantah Istri
dari pria tersebut, Aswangga sang juragan ternama di desa
ini.

“Uwis, Pateni wae!5” teriak salah seorang anak buah
Aswangga memanaskan emosi warga.

“Jangan, Pak. Bicarakan baik-baik dulu,” ucap salah
seorang warga.

Sekali lagi pukulan yang keras menghantam Laksmi, dan
wanita itu hanya diam berlutut sambil melindungi janin di
perutnya.

“Sudah, Pak. Sudah... jangan sampai ada yang mati,
kalau terpaksa... usir saja dia dari desa ini,” ucap kepala desa
yang merasa takut dengan pengaruh Aswangga dan anak
buahnya yang terlihat bengis.

“Baik... Bawa dia! Usir dia dari desa ini!” perintah
Aswangga kepada anak buahnya.

Tiga orang bertubuh besar dengan kasar menarik tubuh
Laksmi menyeretnya membawanya keluar dari desa. Tubuh
Laksmi yang lemah tidak mampu melawan, dan hanya tangis
yang terlihat di wajahnya.

4 Jangan menjelek-jelekkan suamiku! Nggak mungkin suamiku mau dengan perem-
puan seperti kamu! Pelacur!
5

4

SUDAH beberapa minggu berlalu setelah diusirnya Laksmi

dari desa. Beberapa kabar tidak baik tersebar di antara warga
desa tentang pengusiran Laksmi.

Anak buah Aswangga Dikabarkan membawa Laksmi ke
hutan terlarang di perbatasan desa, memperkosanya dan
menghabisi nyawanya.

Tidak ada satu pun warga yang berani menanyakan atau
memastikan kebenaran kabar burung tersebut, semua berlalu
seperti tidak ada yang terjadi.

Sampai sesuatu terjadi di malam bulan purnama..
Suara gamelan terdengar tanpa henti sepanjang malam.
Warga mencoba mencari sumber dari suara musik gamelan
tersebut. Lama mereka menelusuri, ternyata suara itu berasal
dari hutan desa.
Saat malam sudah mencapai puncaknya, terdengar
suara teriakan dari rumah Aswangga, seorang bocah laki-laki
mendobrak keluar rumah dan menari kesetanan mengikuti
alunan musik gamelan.
Warga yang melihat mencoba membantu Aswangga
menghentikan anaknya itu, tetapi tarianya semakin me­nge­
rikan. Bocah itu tertawa, memutar kepalanya ke belakang
hingga mematahkan lehernya.
Aswangga mencoba menghentikan, tetapi tetap saja
tidak mampu menahanya. Dalam kondisi seperti itu, bocah
itu tetap bergerak menari dan berlari menuju hutan.
Warga ramai-ramai mengejar, suara gamelan terdengar
semakin cepat, hingga sosok anak laki-laki itu menghilang di
tengah kegelapan hutan bersamaan dengan hilangnya suara
gamelan yang berbunyi semalaman.

5

Pencarian tidak mungkin dilakukan di tengah malam,
apalagi dengan penerangan yang seadanya. Akhirnya warga
berjanji membantu Aswangga mencari anaknya di pagi hari.

..
Pagi menjelang, Warga bersiap dengan peralatan
seadanya untuk membantu Aswangga mencari anaknya.
Namun, sebelum masuk ke dalam hutan, terlihat sesosok
badan tergeletak di mulut hutan dengan tubuh yang
mengenaskan. Kepala, tangan, dan kaki tidak menyatu
dengan tubuhnya.
Itu adalah jasad bocah yang menari kemarin, anak
Aswangga.
Warga sangat panik, terlihat dengan jelas raut muka
gelisah di wajah anak buah Aswangga.
Namun ternyata, Ini baru permulaan.
Setiap purnama, terdengar suara gamelan dari dalam
hutan, dan satu per satu warga desa akan menari seperti
kesetanan menuju hutan, dan dipastikan jasadnya akan
muncul di mulut hutan pada pagi hari.
Kami menyebut kutukan ini dengan nama..
Gending Alas Mayit..
..
Kondisi desa semakin hari semakin mencekam, seolah
menunggu kapan giliran menerima kutukan itu, sampai
akhirnya warga memutuskan untuk memanggil orang pintar
dari desa lain.
“Pak, setelah ini, desa kita akan aman, kan?” tanyaku
kepada Bapak.
Bapak menghela napas seolah menunjukan rasa kurang
setuju.

6

“Bapak nggak tahu. Bapak sih kurang setuju dengan
pemanggilan orang pintar itu, tapi di satu sisi bapak juga
takut!” jawabnya dengan setengah gelisah.

Semenjak kejadian pertama, Bapak selalu mengajak kami
sekeluarga dan tetangga untuk rutin melakukan pengajian.
Hal ini tidak cukup untuk menangkal kutukan ini, tetapi bapak
selalu bilang kalau pun kita tetap jadi korban setidaknya kita
membawa bekal pahala dari hal baik ini.

Malam ini tak kalah mencekam dengan malam-malam
sebelumnya. Aku mengintip dari celah tirai yang sejak
Magrib tadi sudah ditutup rapat-rapat oleh Ibu. Kami hanya
bisa berdoa dan berharap teror ini segera usai. Kulihat wajah
Ibu sangat serius, matanya terpejam, mulutnya berkomat-
kamit melantunkan doa apa pun yang ia bisa. Sebagaimana
di desa kecil lain, setiap orang ingin menyaksikan makhluk
halus ini tertangkap dan dikalahkan. Itulah yang membuat
kami semua ikut berkumpul. Lagipula, Bapak ada di sana.
Aku dan Ibu takut di rumah sendirian.

Suara gending terkutuk itu sayup-sayup terdengar.
warga mulai berkumpul di mulut hutan. Terlihat seseorang
kakek tua berpakaian Serba hitam sedang melakukan ritual
di sana bersama seorang anak buahnya.

“Bu, kuwi to orang pintere?6” tanyaku pada Bu Retno
yang juga berada di sana.

“Iya, kelihatannya menyeramkan, ya?” jawabnya.
Orang pintar itu menyelesaikan ritualnya dan berdiri
dengan perlahan.
“Ketemu! demit kuwi ono ning alas!7” ucap kakek tua itu.

6 Bu, itu ya orang pintarnya?
7 Ketemu! Setan itu ada di hutan!

7

“Biar saya seret setan itu ke sini!” katanya lagi sambil
menatap nyalang ke arah hutan. Dengan segera kakek tua
berjalan ke dalam hutan dengan membawa sebuah keris di
genggamanya.

Rasa tegang meliputi seluruh warga yang menunggu di
mulut gua.

Cukup lama.. sampai akhirnya suara gamelan perlahan
menghilang dari pendengaran kami.

“Pak, sudah ndak kedengaran lagi, apa berhasil yo,
Pak?” tanyaku kepada bapak.

Bapak tidak menjawab, tetapi aku melihat Bapak sedang
membacakan doa-doa seolah belum yakin semua akan aman.

PERLAHAN mulai terlihat kakek tua keluar dari hutan lebat,

Ia berjalan dengan cara yang sangat aneh. Awalnya warga
merasa sedikit lega, tetapi semua itu berubah ketika suara
gong muncul dari dalam hutan.

Gong berbunyi berkali-kali dengan suara yang sangat
keras seolah dipukul dengan amarah.

Kakek tua itu tersentak, berdiri dengan kaku memiring­
kan lehernya memutar tubuhnya hingga patah, lalu jatuh ke
tanah. Ia menggelepar-gelepar sesaat, lalu matanya yang
terbuka memperlihatkan tatapan kosong. Tubuhnya tak
bergerak lagi, taka da tanda-tanda ia masih bernapas. Tentu
saja, tak bernyawa.

Warga panik, lalu berteriak. Ada pula yang terisak
menangis. Tangisannya lebih terdengar seperti keputusasaan

8

yang tak kunjung usai. aku hanya mampu membekap mulut
dengan tanganku sendiri. Dalam hati memekik, Gusti Allah!

Kembali terdengar suara gending kutukan itu dengan
suara yang keras dan cepat. Satu per satu warga di mulut
hutan itu mulai menari dengan aneh, mereka mengamuk
menghampiri orang lain sambil menyakiti diri sendiri dengan
mematahkan sendi-sendinya.

“Sekar! Lari! “Bapak segera menarikku, lalu berlari
menjauh dari sana.”

Masih dengan tangan tergenggam Bapak, aku menoleh,
sudah hampir setengah warga menari dan cukup banyak yang
sudah tergeletak di tanah dengan tangan tetap menyeret di
tanah. Sisa warga yang masih selamat berlari berhamburan
mencoba menyelamatkan diri.

Kami berlari menuju rumah, tetapi suara gamelan itu
masih terdengar.

“Pak... panas, Pak.” Tubuhku mulai terasa panas seolah
ada suatu hal yang memaksaku untuk menggerakan badanku
di luar kemauanku. Seperti ada api yang menjalar, nyalanya
mendesakku untuk menggerakkan tubuhku.

“Bu, tolong, Bu!” ucap bapak memanggil Ibu dari dalam
rumah.

Ibu keluar dengan tergesa-gesa menghampiri kami.
Tanganku mulai berputar dengan gemulai, tetapi mun
aku masih bisa menahanya.
“Pak.. tolong, Pak. Sekar takut” ucapku kepada Bapak.
Bapak menyentuh kepalaku, membacakan doa, dan
sekuat tenaga menahan badanku untuk tidak bergerak.

9

Rasa panas mulai menghilang perlahan, aku mulai bisa
mengendalikan diriku. Namun, dari jauh mulai terdengar
suara teriakan warga menuju tempat ini.

“Bu, ambil semua yang sudah kita siapkan!” perintah
Bapak kepada Ibu.

“Bapak yakin?” ucap Ibu dengan ragu.
“Yang kita takutkan sudah terjadi, nggak ada pilihan
lagi,” ucap Bapak sambil memandang wajah Ibu.
Ibu melihat jauh ke arah desa dan melihat warga yang
tengah kesetanan mulai mendekat ke tempat ini. Ia mengerti
dan segera masuk ke rumah.
“Sekar... kamu dengerin Bapak.” Kali ini, Bapak meman­
dangku dengan wajah serius.
“Setelah ini, kamu harus tinggalkan desa ini. Pergi sejauh
mungkin, sampai suara gamelan ini tidak terdengar” Perintah
Bapak kepadaku.
“Tapi, Bapak... Ibu...,” tanyaku ragu.
Ibu keluar dan membawakan sebuah tas yang isinya
kebutuhanku yang telah disusun dengan rapi.
“Bapak dan Ibu akan tetap di desa, membantu warga
yang tersisa di sini sebisa mungkin,” ucap ibu.
Terlihat beberapa pria yang telah kehilangan kesadaran
menari ke arah kami.
“Pergi sekar, pergi! Kamu harus selamat,” ucap Bapak
yang segera membaca doa dan menghampiri pria-pria itu.
Rasa panas mulai memasuki tubuhku lagi, kutukan
Gending Alas Mayit ini sudah merasuki tubuhku.
“Sekar... kamu harus pergi sekarang! Cari orang ini..
mungkin dia bisa membantu menyelamatkan desa ini,” ucap
Ibu sambil memberikan sebuah foto.

10

Aku tak tahan lagi dengan rasa panas ini, aku memeluk
Ibu erat-erat dan segera berlari menjauh dari suara gending
ini.

Gelapnya malam membuatku terjatuh beberapa kali, aku
tak peduli... yang penting aku harus menjauh dari suara ini.

Sudah semalaman aku berjalan menjauhi desa, matahari
sudah mulai terbit. Suara Gending Alas mayit sudah tidak lagi
terdengar, malam ini aku selamat dari kutukan itu.

Sebotol air yang sudah disiapkan oleh Ibu di dalam
tas hanya mampu sedikit menghilangkan rasa lelahku. Aku
melihat foto yang diberikan oleh ibu, terlihat seseorang pria
yang sedang berpose di puncak gunung. Pria yang samar-
samar kukenali dalam ingatanku.

Aku membalik foto tersebut, tetulis sebuah nama
- Dananjaya Sambara, Merapi - 6 Juni 2016

11

Sendang Banyu Ireng

Agustus 2009...

Lulus dari universitas ternama di Jogja merupakan mimpi
yang menjadi kenyataan, walaupun aku lulus hanya
dengan nilai seadanya.

Rasanya aku benar-benar semangat untuk memulai
dunia baru, melupakan tugas-tugas semasa kuliah dan mulai
bekerja.

Sebenarnya Pakde sudah mengajakku untuk mem­
bantunya bekerja di sebuah pabrik gula. Namun, kupikir
tidak ada salahnya sedikit refreshing sebelum mulai bekerja.

Namaku Dananjaya Sambara, Panggil saja aku Danan.
Hari ini aku berniat pergi mendaki sebuah gunung yang
berdiri tegak di hadapanku saat ini... Merapi.

Rama dan Yanto, kedua temanku ini memang maniak
mendaki. Selama masa kuliah mereka sudah mendaki lebih
dari 10 gunung di Indonesia, mulai dari yang terendah seperti
Gunung Andong hingga ke Puncak Mahameru.

13

Khusus kali ini, kami memilih Merapi sebagai ucapan
terima kasih karena indahnya pemandangan gunung ini
selalu menemani di masa-masa berjuang kami.

..
Kami berjalan dengan santai sambil menikmati
pemandangan di sekitar sini.
“Danan.. Kamu kan katanya bisa lihat lelembut, ga takut
naik gunung begini? Katanya di gunung banyak makhluk
halus,” tanya Rama dengan nada iseng.
“Halah Ram, makhluk halus itu di mana-mana ada.. kalo
udah biasa ya kayak ngeliat orang asing aja,” jawabku.
“Heh, udah mau maghrib.. jangan ngomongin yang
nggak-nggak,” ucap Yanto dari belakang.
Satu jam perjalanan mengantarkan kami ke pos satu,
Selokopo Ngisor. Untung saja langit belum gelap sehingga
kami bisa melihat pemandangan beberapa gunung dari sini.
Setelah sedikit mengambil nafas, minum kami
melanjutkan perjalanan lagi berharap sebelum tengah malam
kami sudah bisa sampai di pasar bubrah dan bermalam di
sana sebelum menuju puncak.
Tak terasa langit mulai gelap, kami mengenakan
perlengkapan untuk menerangi jalan yang kami tempuh. Aku
melihat sekeliling, tampaknya ada beberapa makhluk yang
mengawasi kami.
“Danan... diem aja, ga usah cerita kamu lihat apa!” Ucap
Rama memperingatkanku.
Tak berapa lama hujan mulai turun deras, jarak pandang
menjadi sangat terbatas, tetapi kami terus berjalan mengikuti
jalur yang sudah terbentuk.

14

Semua berjalan biasa saja, hingga jalan yang kami lalui
berujung ke jalan setapak di pinggir jurang.

“Yanto, emang dulu ada jalur begini” tanya Rama kepada
Yanto yang pernah mendaki merapi bersamanya.

“Ndak, aku ndak inget... Coba balik, wis,” jawab Yanto
Kami berbalik, mencoba kembali ke jalur semula, tetapi
jalan yang kami lalui menghilang, yang ada hanya jalan yang
berujung pada jurang.
“Kok bisa begini? Danan.. tadi kamu liat kan jalannya”
tanya Rama kepadaku.
Aku mengangguk dan melihat sekeliling. Aku merasa
curiga dengan apa yang terjadi.
“Kita dikerjain,” ucapku kepada mereka.
Terlihat makhluk jadi-jadian berbentuk seperti kera,
berukuran seperti manusa dengan badan yang kurus
mengawasi kami dari belakang Rama.
Aku membacakan beberapa doa dan mantra pelindung,
berharap bisa menghilangkan kami bertiga dari pengaruh
gaib ini.
Jalan yang kami lalui terlihat kembali. Jalur yang kami
lihat sebelumnya berubah jurang yang dalam.
Namun, sepertinya yang kulakukan memancing
perhatian makhluk-makhluk lain. Sepanjang jalan yang kami
lalui dipenuhi oleh makhluk halus penunggu gunung ini.
“Lari Danan, kita balik ke bawah!” teriak Rama.
Secepat mungkin kami berlari meninggalkan jurang itu,
tetapi kondisi tanah yang terlalu licin, pijakanku jadi meleset
dan menjatuhkanku ke sebuah jurang yang dalam.

15

“Danan!! Danan!” Teriakan Rama terdengar dari jauh,
tetapi suara itu sayup-sayup menghilang bersama dengan
kesadaranku.

“MAS... bangun, Mas...”

Terdengarsuaraperempuanmencobamembangunkanku.
Rasa sakit masih terasa dari kepala dan sekujur tubuh, tetapi
aku tetap memaksa untuk membuka mata.

“I... ini di mana?” tanyaku pada perempuan yang
mencoba membangunkanku.

“Udah tenang dulu, ini diminum.” ucap perempuan itu
sambil menyerahkan segelas teh hangat.

Aku meminumnya sampai habis, terasa rasa haus yang
amat sangat dari tenggorokanku.

“Masnya udah pingsan seharian, warga nemuin Mas
pingsan di hutan kemarin,” jelasnya

Aku menyentuh dahiku yang ditutupi perban, mulai
teringat kejadian saat aku terjatuh ke dalam jurang.

“Kalau udah bisa berdiri, itu ditunggu Pak Kades.. udah
disiapin makanan di sana,” ucapnya sambil menunjuk ke
sebuah rumah.

Aku mencoba berdiri, mencuci muka dan mencari baju
ganti dari ranselku. Sejujurnya, aku cemas dengan keadaan
Rama dan Yanto. Mereka pasti mencariku.

16

“PERMISI,” ucapku memasuki sebuah rumah yang tadi

ditunjukkan oleh perempuan yang membangunkanku.
“Eh, monggo, masnya udah sehat? Sini makan dulu

“Ucap seorang pria paruh baya menyambutku.
Aku menghampiri mereka, dengan ramah sepiring nasi

disiapkan dan diberikan kepadaku.
“Udah kenalanya nanti dulu, makan dulu aja... pasti

laper, kan? Lha wong pingsan seharian,” ucap Bapak itu.
“Njih, maaf ya pak, ngapunten,” jawabku sambil

mengambil lauk yang terlihat begitu menggoda.
“Kulonuwon... permisi....” suara wanita terdengar dari

depan pintu rumah.
“Eh, Laksmi... sini ikut makan,” ucap sang pemilik rumah

memanggilnya.
Ternyata Itu adalah perempuan yang tadi mem­

bangunkanku.
“Makan yang banyak, Mas...,” ucapnya sambil melempar

senyum.
Aku mengangguk dengan sedikit malu, tetapi sepertinya

rasa lapar lebih berkuasa terhadapku.
“Saya kepala desa di sini, panggil aja Pak Kades...

sampai masnya benar-benar pulih istirahat di sini dulu saja”
Ucap pria itu dengan ramah.

“Matur nuwun, Pak, nama saya Danan, memangnya ini
di mana ya, Pak?” tanyaku

“Ini desa Windualit... pasti belum pernah dengar, ya?”
jawab Pak Kades.

“Iya Pak, saya baru tahu ada desa di dekat posko
pendakian” Lanjutku.

17

Pak Kades mengerutkan dahi seolah merasa heran.
“Posko apa maksud Mas Danan?” tanya Pak Kades.
“Lha... saya terjatuh di jalur pendakian Merapi... bukanya
bapak nemuin saya di jalur pendakian?” tanyaku pada
mereka.
Laksmi dan Pak Kades saling memandang.
“Desa ini jauh dari posko pendakian manapun Mas,
apalagi sama kota.. kendaraan aja ga bisa masuk ke sini.
Tadi kami nemuin masnya di hutan perbatasan desa.,” jelas
Laksmi.
Aku merasa heran dengan apa yang mereka katakan,
segera saja kuceritakan apa yang terjadi. Mereka terlihat
heran karena jarak dari posko ke desa ini berpuluh puluh kilo
jauhnya.
“Ya sudah, Mas Danan tinggal di sini dulu saja sampai
pulih. Kalau sudah seha, nanti kami antar” Ucap Pak Kades.

DESA yang sungguh damai, terlihat warga –warga yang sangat

ramah satu sama lain. Hawa yang sejuk dan pemandangan
indah gunung merapi selalu setia menemani pagi setiap
warga di desa ini. Hanya saja di sini masih serba tradisional
penerangan menggunakan lampu minyak, dan bentuk rumah-
rumah yang masih dari kayu merupakan pemandangan yang
tidak biasa untuku.

“Pagi Mas Danan,” ucap Laksmi memecah lamunanku
di pagi hari.

“Pagi Mbak Laksmi...,” jawabku

18

Sepertinya senyuman manis Laksmi akan tetap mem­
bekas selepas aku pergi dari sini nanti.

Sudah tiga hari aku tinggal di desa ini, di sebuah rumah
singgah yang sepertinya diperuntukan untuk tamu yang
mampir ke sini, rasanya aku mulai merasa cukup nyaman.
Aku pun mulai Akrab dengan warga di desa ini. Namun,
aku tidak mau membuat teman-temanku lebih khawatir lagi.
Setidaknya besok aku harus sudah pamit.

Seharian ini aku habiskan untuk berkeliling desa dan
menyapa warga-warga di sini, tetapi ada sedikit yang
mengganggu indraku, yaitu sebuah hutan yang terletak di
sudut perbatasan desa.

Pandanganku seolah-olah selalu diarahkan untuk
memandangi hutan itu. Mulut hutan yang hampir tertutupi
pohon randu lebat dan rumput yang tongginya mungkin
sudah setinggi dada orang dewasa. Seperti tidak ada
aktivitas warga yang mengarah ke sana. Akan tetapi, jika
hutan tersebut adalah hutan perawan apa mungkin ada di
dekat pemukiman warga seperti ini?

HARI mulai malam, desa sudah mulai sepi oleh warga. Aku

tetap menikmati suasana hening ini dari teras rumah sampai
akhirnya aku memutuskan untuk beristirahat.

Belum sempat tertidur, suara ketukan berkali-kali di pintu
rumah Pak Kades.

Aku keluar mencari tahu apa yang terjadi. Terlihat
perbincangan singkat antara warga dan Pak Kades.

19

“Ya sudah, coba panggil Pak Sardi juga. Nanti saya
menyusul.” Pak Kades memerintah orang di hadapannya.

Aku keluar menghampiri Pak Kades penasaran dengan
apa yang terjadi.

“Pak, ada apa to, Pak ?” tanyaku kepada Pak Kades.
“Katanya ada anak kecil hilang, seperti ditarik sesuatu ke
dalam hutan,” ucapnya
“Mas Danan, saya ke sana dulu ya... istirahat aja,”
lanjutnya.
“Nggak, Pak. Saya ikut..,” bantahku
Kami sedikit berlari menuju mulut hutan, tempat warga
berkumpul. Terlihat warga sudah siap di sana dengan
kentongan dan obor.
Aku menerobos kerumunan dan melihat ke dalam
hutan. Belum sampai masuk ke dalam, terlihat dari mataku
dua makhluk halus penjaga dengan kaki sepanjang hampir
manusia dewasa menunggu di tengah gelapnya hutan itu.
Warga desa,sepertinya tidak sadar dengan keberadaan
makhluk itu.
“Kita bagi, sebagian masuk ke hutan dan sisanya berjaga
di desa,” ucap Pak Kades kepada warga.
Aku berpikir, sangat berbahaya apabila warga masuk ke
hutan. Bisa jadi anak yang di culik tadi hanya umpan untuk
mencari tumbal lainya.
“P... Pak... jangan dulu bahaya,” ucapku pada Pak Kades.
“Kapan Mas Danan? Keburu anak itu kenapa-kenapa,”
ucap Pak Kades
“Jangan, Pak. Bahaya, bisa-bisa warga lain juga jadi
korban,” jelasku

20

Pak Kades tetap bersikukuh untuk masuk, tetapi aku
tetap menghalanginya.

“Kalau begitu kita harus bagaimana, Mas Danan?”
tanyanya dengan menahan emosi.

Aku menoleh ke arah hutan, mencoba mengamati apa
saja yang ada di sana.

“Biar saya yang mencari ke dalam...,” jawabku mantap.
Awalnya aku ragu dengan keputusanku membantu warga
desa ini. Akan tetapi ketulusan meeka menyelamatkanku
ketika terjatuh ke jurang membuatku mantap.

“Nggak. Ngak mungkin kita biarkan Mas Danan sendirian
ke sana,” tentang Pak Kades yang terlihat tidak setuju.

“Ndak sendiran, saya akan ikut ke dalam” Terdengar
suara dari seorang pria paruh baya yang baru datang.

“Pak Sardi... benar mau masuk ke sana ?” tanya Pak
Kades.

Ternyata beliau adalah Pak Sardi, seseorang yang minta
dipanggilkan oleh Pak Kades.

“Jangan Pak, berbahaya... kalau memaksa masuk lebih
baik pagi hari, biar saya mencari tahu dulu kondisi di dalam,”
ucapku pada orang itu.

“Lagipula sejak di perjalanan menuju sini tadi, saya lihat
banyak sekali makhluk yang mondar-mandir mengawasi kita,”
tambahku mencoba meyinkan mereka bahwa aku memiliki
kemampuan yang istimewa.

Pak Sardi tidak menghiraukan ucapanku, ia berjalan
maju ke mulut hutan dan membacakan doa-doa yang cukup
panjang.

21

Terlihat kedua makhluk penjaga di mulut hutan itu
geram dan menghampiri Pak Sardi, tetapi sebelum sempat
mendekat kedua makhluk itu terbakar habis.

“Mas, jadi ikut ke dalam?” ucap Pak Sardi dengan
menoleh ke arahku.

Aku yang terkesima dengan apa yang Pak Sardi lakukan
segera meminta obor dari warga dan berjalan masuk ke
dalam hutan.

GELAP, sangat gelap. Bila tanpa obor di tanganku mungkin

rasanya seperti menutup mata.
“Pak, kok bisa segelap ini ya.. harusnya masih ada cahaya

bulan,” tanyaku pada Pak Sardi.
“Entah, Mas. Berhati-hati saja,” ucap Pak Sardi.
Belum sempat menjawab perkataan Pak Sardi, kami

terhenti oleh sebuah pemakaman tua yang tersusun berbukit-
bukit dengan nisan yang hampir tak berbentuk.

Pemandangan di depanku membuat suasana semakin
mengerikan. Seorang kakek tua bungkuk dengan rambut
putih panjang terlihat bergerak merangkak di antara makam,
memakan sisa-sisa jasad yang sudah tidak berbentuk.

Pak Sardi mencoba mendekat, tetapi makhluk itu
menghampiri dan bersiap memberi perlawanan.

“Lungo! Kowe ra ndue urusan karo aku!8” ucap makhluk
itu sambil menatapku. Matanya hitap mengilat.

8 Pergi! Kamu tidak ada urusan denganku!

22

“Sing mbok cari ono ning kono, nek kowe wani....9”
Kakek itu memalingkan wajahnya ke satu arah. Kami mengerti,
sepertinya memang bukan makhluk ini yang kami cari. Tapi
dia menunjuk ke sebuah sendang tak jauh dari tempat dia
berada.

Makam demi makam kami lewati, sebuah gong tua besar
mulai terlihat berdiri di antara sendang yang mengalirkan air
berwarna hitam.

“Hati-hati Mas Danan, makhluk itu masih terus
memperhatikan kamu,” ucap Pak Sardi.

Benar, walaupun tidak mengikuti, makhluk itu terus
memperhatikan ke arahku.

“itu... itu Pak Sardi! Ada anak kecil di sana,” seruku ke
kepada Pak Sardi.

Terlihat seorang anak balita tanpa pakaian tergeletak di
tengah-tengah sendang. Terlihat air berwarna hitam mengalir
melewati tubuh anak kecil itu.

Aku segera melepas jaketku dan segera menghampiri
bocah itu. Namun, sebelum sampai ke sana terlihat menye­
rupai wanita raksasa berjalan bungkuk dengan tanganya
dengan payudara yang menggelambir menahan bocah yang
tidak sadarkan diri itu.

“Hati-hati... sepertinya makhluk itu yang berniat jahat,”
ucap Pak Sardi padaku

Belum sempat menjaga jarak tangan besar makhluk itu
meraih wajahku dan menariku.

Pak Sardi segera bergegas membacakan doa dan
mengayunkan tanganya, terlihat cahaya putih menyelimuti
kepalanya berhasil melepaskan cengkeraman makhuk itu.

9 Yang kamu cari ada di sana, kalau kamu berani....

23

Setan itu berlari ke belakang dengan menyeret bocah
kecil di tanganya. Kami mengikutinya, tetapi terdengar suara
gong dipukul berkali-kali seolah memberikan isyarat.

Kami berhenti tak jauh dari sendang, dan mulai terlihat
pemandangan yang sangat mengerikan di sekeliling tempat
ini.

Semua makhluk halus penunggu hutan memperhatikan
kami dari balik pohon seolah mengikuti tanda dari suara gong
tadi. Pocong dengan badan yang tidak utuh, perempuan tua
begelantungan dengan tangan tanpa kaki di tubuhnya.

Sepertinya mereka korban-korban pembantaian di
zaman dulu. Mungkin saja jasad dan keberadaan mereka
yang membuat air di sendang tadi menjadi hitam pekat.

Aku gentar, begitu juga dengan Pak Sardi. Dendam
makhluk-makhluk itu terlalu kuat.

“Ini yang aku takutkan, Pak. Anak itu hanya pancingan
agar banyak warga masuk ke sini menjadi tumbal mereka,”
ucapku dengan gemetar.

“Kalau kita bertarung sekarang, kita pasti mati” ucap Pak
Sardi.

Benar kata Pak Sardi, tidak mungkin kita melawan
mereka semua.

Satu per satu makhluk itu mendekat bersiap menghabisi
kami. Pak Sardi membacakan mantra pembakar,menyerang
satu per satu demit di sana, tetapi itu tak cukup.

Aku membacakan ajian pelindung dan berlari menerjang
bocah kecil yang di bawa setan wanita itu.

Tangkapanku berhasil, segera kuangkat anak itu dan
berlari secepat mungkin. Namun, tidak lama pukulan besar
menghantamku dari belakang.

24

Aku terjatuh, Pak Sardi menghampiriku dan mencoba
melindungi dengan doa-doa yang dia baca. Namun, ilmu
Pak Sardi pun tak cukup kuat, tangan tangan makhluk buas
mulai berusaha merobek tubuh kami.

Rasa sakit menjalar di seluruh tubuhku, terlihat setan
wanita mengambil batu besar bersiap menghantamkan ke
arahku.

Sakit... sangat sakit, Aku menutup mata, seolah pasrah
dengan apa yang terjadi. Ku pikir inilah akhirnya, tapi tiba-
tiba semua serangan itu terhenti.

Pak Sardi dengan tubuh yang penuh luka mencoba
berdiri dan melihat apa yang sedang terjadi.

Kakek tua bungkuk berambut putih di pemakaman tadi
menghampiri kami. Demit-demit yang menyerang kami
mundur perlahan seolah ketakutan.

“Bocah asu, sopo jenengmu!10 “tanya kakek tua itu
padaku.

“Danan... Dananjaya Sambara,” jawabku dengan lemah.
“Sambara... wong wong goblog sing ora sayang karo
uripe!11 “katanya lagi sambil menyeringai.
“Pulang! Setan-setan ini biar jadi urusanku!” perintahnya
kepadaku.
“Ta... tapi, Mbah iki sopo, to?12 “ tanyaku semakin
penasaran dengan sosoknya.
“Ora usah kakean cangkem, jogo wae keris Ragasukma
sing mbok pegang!13 “ucap Kakek tua itu.

10 Bocah Anjing, siapa namamu?
11 Sambara... orang-orang bodoh yang tidak sayang dengan nyawanya!
12 Ta... tapi, Mbah ini siapa, ya?
13 Tidak usah banyak bicara, jaga saja keris Ragasukma yang kamu pegang.

25

Pak Sardi terheran dengan apa yang terjadi, namun ia
segera membantuku berdiri dan meninggalkan hutan ini.

Keris Ragasukma? Bagaimana kakek itu tahu tentang
keris yang tersimpan di sukmaku.

Sekilas aku menolah, terlihat kakek tua itu tertawa seperti
orang gila melompat dari pohon-ke pohon membasmi setan-
setan itu dengan brutal.

Matahari mulai terlihat, hanya sebagian warga desa yang
masih menunggu di mulut hutan. Warga terlihat lega setelah
mengetahui kami dan anak yang diculik selamat dari hutan.

Tidak banyak yang kami ceritakan ke warga tentang apa
yang terjadi di dalam hutan.

“Bapak... Bapak tidak apa-apa?” tanya seorang anak
wanita yang berlari menghampiri Pak Sardi.

“Bapak tidak apa-apa, Sekar, cuma luka sedikit,”
jawabnya dengan melemparkan senyum pada anaknya itu,
walaupun aku tahu luka Pak Sardi juga cukup serius.

Aku memutuskan untuk istirahat semalam lagi dan
pulang esok hari.

...
Barang dan perlengkapanku sudah siap, terlihat
beberapa warga sudah siap mengantarku ke kota.
“Pak Sardi, Pak Kades... saya izin pamit dulu ya. Maaf
sudah merepotkan,” ucapku berpamitan.
“Mas Danan, terima kasih sudah membantu warga di
sini... sering-sering mampir ya,” ucap Pak Kades.
“Iya pak, semoga saya bisa mampir ke sini lagi... toh
saya masih ingin mendaki ke puncak merapi” Balasku
Ingatanku kembali teringat akan hutan dan sendang
dengan air yang begitu hitam. Cepat atau lambat tempat itu

26

pasti akan menjadi bencana untuk desa atau bahkan lebih
besar lagi.

Aku berpamitan dan meninggalkan desa terpencil di
lereng kaki gunung merapi yang menyimpan banyak misteri
ini...

Desa Windualit..

Sayup-sayup terdengar suara gamelan terdengar di
antara hutan di sekitar pabrik gula, terlihat seorang wanita
muda menari dengan gemulai di tengah-tengah cahaya
bulan purnama..

Tapi... darimana asal suara gamelan itu? Tidak ada satu
pun tanda-tanda pemain maupun alat musik gamelan di
sekitar sini?

Yang anehnya lagi, mereka... makhluk halus para
penunggu pabrik yang sudah lama tidak menampakkan diri,
kini berkumpul di sekitar wanita itu..

Aneh.. tidak, lebih tepatnya mengerikan! Tarian wanita
itu semakin menggila.. ia memaksa memutar sendi-sendi
tubuhnya ke arah yang tidak wajar..

Aku berlari mendekati wanita itu mencoba menahan
gerakanya, tetapi tenaganya terlalu besar..

Sesuatu sedang merasuki tubuh wanita ini..
Sebuah doa dan ayat-ayat suci kubacakan untuk
menenangkan wanita itu.
Cukup lama.. hingga akhirnya wanita itu terbaring lemas
dan tak berdaya.

27


Click to View FlipBook Version