The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by gagasmedia, 2022-03-25 03:55:47

APA PUN MASALAHNYA KITA BISA BAHAGIA

Qaris Tajudin

ApKaitaPuBnisaMBaasahlaaghinaya,

Qaris Tajudin



Mengenali
Kebahagiaan

Apapun Masalahnya, Kita Bisa Bahagia

Mengenal Konsep Kebahagiaan dalam Islam



1 APA ITU
BAHAGIA?

KITA MUNGKIN PERNAH TIDAK BAHAGIA

Semua orang ingin bahagia.
Saya juga.
Tapi, saya pernah menjadi orang yang sangat tidak
bahagia.

Celakanya, saya hampir tidak menyadarinya.

Itu terjadi karena saya menganggap saya baik­baik saja. Se­
pertinya, semua hal dalam hidup saya menunjukkan saya tidak
punya masalah dengan kebahagiaan. Hidup berjalan lancar,
meski tentu saja tidak sempurna, Ada satu­dua kehilangan yang
mampir, tapi bukankah semua orang pernah kehilangan?

Meski hidup sepertinya baik­baik saja, diam­diam, saya tidak
bahagia.

Ada kemarahan yang terpendam.

Ada godaan untuk memiliki sesuatu yang selalu datang dan
membuat saya kekurangan.

Ada obsesi­obsesi di masa lalu yang membuat saya tidak
pernah puas.

Ada keresahan­keresahan yang menghantui.

Puncaknya datang

beberapa tahun lalu. Saya

sepertinya terserang depresi.

Saya katakan “sepertinya”,

karena saya tidak pernah me­

nemui psikolog atau psikiater

untuk memastikannya.

Mungkin, lebih tepatnya saya

merasa sangat tidak bahagia.

Ketidakbahagiaan itu tidak hanya saya rasakan dalam hati,
tapi juga mengganggu pikiran, merusak kesehatan fisik, meng­
gang­gu pekerjaan dan keluarga saya.

Setiap pagi dada saya sesak seperti ditindih batu. Bernapas
susah minta ampun. Tersengal-sengal, napas satu-satu.

Siang, waktu sampai di kantor, biasanya serangan itu me­
reda, tapi kumat lagi begitu ada pemicunya. Misalnya, tiba-tiba
teman memberitahu komplain dari klien. Masalah ringan yang
mesti­nya bisa saya selesaikan dengan mudah itu nyatanya
memb­ uat mata saya tiba-tiba gelap dan hampir pingsan.

Serangan itu tidak hanya terjadi sesekali, tapi beberapa kali,
setiap ada masalah datang. Saya juga tidak bisa terlalu capek.
Setiap kali berolahraga agak berat, mata berkunang-kunang
dan dada kembali sesak.

Gangguan itu semakin parah ketika saya membaca posting­
an di media sosial dan grup WhatsApp, terutama soal politik.
Se­bagai catatan, hal ini terjadi menjelang pemilihan gubernur
Jakarta dan pemilihan Presiden 2009. Hoax, kabar burung, pos­
tinga­ n nyinyir dan ofensif, semua itu membuat saya gusar. Ter­
utama di pagi hari, ketika saya membuka HP untuk pertama kali.

Membaca postingan-postingan itu membuat darah saya
naik, emosi meluap tak terkira. Ingin rasanya membalas satu per
satu postingan yang menurut saya ngawur itu. Beberapa pos­
ting­an sempat saya balas, tapi itu tidak membuat saya berhenti
gelisah.

Saya menunggu dengan tidak sabar jawaban dari orang
yang saya bantah. Saat menunggu itu saya juga sudah mem­ ikir­

kan jawaban selanjutnya. Pikiran dan hati saya dipenuhi dengan
keb­ encian, kemarahan, dan buruk sangka.

Kalaupun tak membalasnya, saya akan mencari berita tan­
ding­an dari media massa, lalu mempostingnya di akun saya.
Saya berharap mereka yang di seberang sana membacanya dan
ikut panas. Pokoknya, saya tidak mau melihat orang yang ber­se­
beranga­ n tenang. Harus dibalas.

Di jalanan saya adalah orang yang paling tidak sabar. Macet
sedikit saja, saya bisa menekan klakson dalam-dalam. Apalagi
kalau ada yang memotong jalan, saya ngomel-ngomel dan
kerap mengeluarkan kata-kata kasar. Saya juga tidak sabar,
ingin sampai tujuan, meski sebenarnya tidak terlambat untuk
meng­hadiri rapat.

Di kantor saya juga gampang naik darah. Saya pernah me­
nele­pon bawahan belasan kali hanya karena dia terlambat
meng­ikuti rapat. Saya bisa menggebrak meja atau mengeluarkan
kata-kata pedas kepada mereka.

Di rumah sama saja. Meski tak pernah main kasar (alham­
dulillah), saya tak gampang tersenyum, muka sering tiba-tiba
masam, menjaga jarak dengan pasangan, dan bisa marah-
marah karena hal sepele.

Saya tidak bahagia dan saya meracuni orang lain dengan
ket­ idakbahagiaan saya.

Setahun kemudian …

Saya hampir tidak pernah mendapat serangan “depresi”
lagi.

Setiap pagi saya bangun dengan gembira dan berangkat
kerja dengan tenang.

Kebiasaan membuka handphone pagi-pagi tetap saya laku­
kan (siapa yang enggak?). Saya masih melihat timeline media
sosial dan grup WhatsApp. Bedanya, kali ini tak ada lagi batu
yang menindih dada. Tak ada lagi napas yang tersengal.

Saya juga menghadapi pertemanan di media sosial dengan
santai. Saya tidak lagi unfollow atau unfriend teman yang ofensif.
Bahkan saya follow kembali beberapa akun yang dulu saya lepas.

Saya jadi lebih tenang. Tapi, itu terjadi bukan karena
postingan di media sosial dan grup WhatsApp yang mereda.
Yang terjadi justru sebaliknya, postingan ngawur dan hoaks
tetap menggila. Tapi, alhamdulillah, hal itu tak lagi mengganggu
hari-hari saya. Kali ini saya menghadapi semua itu dengan ter­
senyum.

Sesekali masih terpancing untuk membalas komentar de­
ngan tajam. Tapi, kalau itu terjadi, saya bisa menyadari dengan
cepat dan menghapusnya, atau meminta maaf kepada orang
yang tersinggung.

Saya juga tak lagi gampang emosi di kantor, hanya karena
sesuatu yang berjalan tidak sesuai ekspektasi. Kadang-kadang
masih muncul emosi yang membuat muka saya berubah, tapi
saya bisa cepat menenangkan pikiran.

Saya berubah. Jauh dibandingkan setahun sebelumnya.

Perlahan tapi pasti, saya menemukan kebahagiaan, atau
lebih tepatnya mencapai ketenangan (nanti akan kita bahas
per­bedaan keduanya). Tentu saja saya tidak berubah drastis,
misalnya menjadi sufi atau master Zen yang selalu tersenyum
dan memiliki ketenangan yang luar biasa. Yang jelas, saya jauh
lebih tenang dibanding sebelumnya.

Sesekali memang masih ada “residu” dari masa lalu yang
terpancing. Kadang masih keluar perkataan ketus atau wajah
masam. Tapi, biasanya itu langsung saya sadari dan selesaikan.
Saya yakin perlu perjuangan dan proses yang tak sebentar
untuk bisa benar-benar mendapatkan ketenangan. Saya yakin
saya sedang menuju ke arah yang baik, bukan sebaliknya.

Ketika badai pandemi Covid-19 datang, seperti semua
orang, saya terkena imbasnya. Terkurung di rumah tanpa ke­
pastia­ n, bisnis jadi seret, penghasilan berkurang, sejumlah ang­
gota keluarga dekat terinfeksi, bahkan ada yang meninggal. Ada
begitu banyak kehilangan dan kekhawatiran. Semua ini bisa
menyebabkan ketidakbahagiaan.

Kekhawatiran memang sempat mampir dalam hidup saya,
tapi saya bersyukur karena menemukan danau ketenangan
se­belumnya. Jadi, meski terpapar kekhawatiran, saya bisa me­
ngen­dali­kann­ya, meminimalkan efeknya serendah mungkin,
bah­kan men­ gal­ami puncak-puncak bahagia dan membagikan­
nya kepada orang lain. Saya tak tahu apa jadinya jika saat pan­
demi mel­anda saya belum menemukan kebahagiaan itu.

Yang lebih menggembirakan adalah hubungan saya
dengan Tuhan yang semakin baik. Saya kembali mendapatkan
ken­ ikmatan yang luar biasa dalam salat yang tenang. Setiap doa

dan bacaan di dalamnya benar-benar bisa saya resapi. Saya juga
bisa menghargai hidup dan mensyukuri setiap momen yang Dia
berikan.

Hal itu merembet ke mana-mana. Termasuk dalam hu­bung­
an rumah tangga yang jauh lebih harmonis. Saya merasa lebih
menyayangi istri dan anak-anak, dan menghargai setiap momen
kebersamaan dengan mereka. Sebagai “balasannya”, istri saya
lebih banyak tersenyum, juga jauh lebih percaya diri.

Bahkan, pandangan saya juga berubah pada hal-hal kecil,
seperti makan dan kemacetan. Saya bisa mensyukuri setiap
kunyah­an, merasakan tekstur makanan, dan rasa-rasa yang ter­
sembunyi di dalamnya.

Apa yang terjadi dalam
kurun waktu tersebut?

Banyak.
Perubahan tidak terjadi dalam semalam. Kita tidak bisa
bahagia hanya dengan membaca satu buku atau menghadiri
satu majelis pengajian.
Ada banyak hal yang saya alami, ada banyak orang yang
saya temui, ada banyak buku yang saya baca. Semuanya
memberi kontribusi pada perubahan besar dalam diri saya.
Kontribusi terbesar adalah kemampuan untuk menyadari
diri sendiri lewat duduk meditatif yang khusyuk. Duduk diam

dan memberikan perhatian pada keheningan dalam diri sangat
membantu saya dalam menggapai ketenangan.

Saya juga menambah wawasan tentang mindfulness,
memb­ aca banyak buku tentang kebahagiaan, juga merambah
banyak bidang, mulai minimalism (hidup cukup), kebahagiaan
me­lalui kacamata berbagai agama, kajian-kajian psikologi,
sampai Stoisisme yang belakangan marak.

Saya membaca dan melahap semua itu dengan terbuka
seperti gelas kosong, seperti spons yang ingin menyerap semua
ke­segar­an. Setelah itu, saya mulai menyaringnya dan melihat
mana yang tepat untuk diri saya.

Sejumlah buku tasawuf menjadi bacaan wajib karena buku-
buku tersebut paling banyak membahas kebahagiaan dalam
Islam, termasuk bagaimana memahami konsep welas asih.

Perjalanan kebahagiaan ini membuka kesadaran baru
dalam diri saya, hingga mampu membaca Al-Quran dan hadis
dengan lebih tepat. Perjalanan saya ke dalam firman Tuhan
dan sabda Rasul ini berbeda dengan bagaimana saya dulu me­
maknai keduanya.

Hal ini berawal dari keinginan saya untuk berbagi tentang
Islam yang damai dan menenangkan lewat situs pribadi
almuslim.co. Situs ini saya buat setelah berangsur lepas dari ke­
teganga­ n dan kemarahan. Saat itu saya berjanji untuk tak lagi
meracuni diri dan orang lain dengan kegelisahan. Saya tidak
ingin lagi memaki-maki di media sosial dan menularkan ke­
marahan.

Namun, di saat yang sama saya juga tidak mau menjadi
permisif (cuek, tak mau tahu) terhadap segala kemarahan di

luar sana. Karena tak mau lagi membalas kebencian dengan
ke­marah­an, saya harus mencari cara lain. Cara yang saya pilih
adalah menebarkan aura positif lewat tulisan-tulisan yang me­
nyejuk­kan.

Tentu saya tahu, tulisan dan postingan itu tak akan lang­sung
mengu­ bah keadaan. Namun, saya juga yakin, memposting hal
yang membuat panas lebih tidak memperbaiki keadaan. Jadi,
demi menebarkan aura positif itu saya mewajibkan diri men­ ulis
dan memposting setiap hari. Saya tak peduli apakah tulisan saya
dibaca banyak orang atau tidak.

“Kewajiban” mengisi situs itu mengharuskan saya banyak
membaca. Dan karena ini adalah situs tentang Islam, maka mau
tak mau saya membongkar buku hadis dan mempelajari tafsir
al-Quran kembali. Sesuatu yang sebenarnya sudah saya lakukan
sejak di pesantren hingga kuliah di Al-Azhar, Mesir.

Bedanya, kali ini saya membacanya dengan mata yang ter­
buka, mata yang welas asih. Mata yang lebih tenang dan baha­
gia. Ayat-ayat dan hadis yang dulu pernah saya baca (bahkan
se­bagian saya hafal), tampil kembali dalam wujud yang baru.

Ada misteri di dalamnya yang baru terkuak. Intisari yang dulu
ter­tutup kabut tebal kemarahan, kini terlihat terang di depan
saya. Ketika kabut itu tersingkir, saya bisa memahami bahwa
banyak sekali ayat yang membicarakan tentang kebahagiaan
(atau lebih tepatnya ketenangan).

Semua itu membantu saya untuk bisa semakin tenang.
Membuat saya menemukan pelabuhan damai setelah hantaman
badai yang hampir menenggelamkan. Pelabuhan di sebuah
teluk yang teduh dan tanpa kabut.

Dari bacaan dan menimba ilmu langsung dari para guru,
saya menyadari makna kedamaian jiwa dalam Islam. Kesadaran
akan ketenangan –baik dalam Islam maupun dalam khazanah di
luar ilmu keislaman– itulah yang saya tuliskan di buku ini.

Apa bentuk ketenangan itu?

Apakah “menemukan kebahagiaan” ini artinya saya
mendapatkan kehidupan yang lebih baik? Punya harta lebih
banyak? Karier lebih moncer?

Sejauh yang saya baca di Al-Quran atau hadis, Tuhan tak
menjanjikan kebahagiaan dalam bentuk materi, misalnya kita
akan menjadi kaya atau hidup berkecukupan.

Tuhan juga tidak mengatakan bahwa dengan menjalankan
agama-Nya dengan benar, kita tidak akan mengalami musibah,
seperti sakit, jatuh miskin, kehilangan orang terkasih.

Yang Allah katakan adalah, dengan mengikuti jalan-Nya
yang penuh kasih sayang, kita akan mendapatkan ketenangan
dalam kondisi apa pun, termasuk saat ditimpa musibah.

Kedamaian itu terlepas dari semua hal yang bersifat ma­
terial. Kekayaan bukanlah sebab kebahagiaan, demikian juga
se­baliknya, kemelaratan bukanlah sebab ketidakbahagiaan

Karenanya, buku ini bukanlah resep untuk sukses, buku
how to be happy dengan cara meraup kekayaan, atau tips bebas
dari bencana dan derita.

Ya, memang ada sejumlah latihan (Exercise) dalam buku ini,
tapi itu hanyalah pemandu, contoh, saat kita ingin mem­praktik­

kan informasi yang sebelumnya dibaca. Sebab, saya yakin,
kebahagiaan harus diusahakan, diperjuangkan dengan disiplin
penuh. Dalam dunia tasawuf, perjuangan ini disebut mujahadah.

Dalam buku ini, kita sama-sama mendiskusikan tentang
bagaim­ ana memeluk penderitaan dan tersenyum saat meng­
hadapi bencana.

Buku ini juga bukan buku kumpulan doa kebahagiaan, atau
buku ibadah penolak bala. Saya yakin, meski doa dan ibadah
term­ asuk aktivitas yang bisa menenangkan, ada banyak hal lain
yang juga perlu diperhatikan.

Lewat buku ini, saya tidak ingin mengajak pembaca mem­ a­
hami ayat dan hadis secara tekstual. Saya tak ingin mengatakan
“pokokn­ya di Al-Quran dan hadis begini”. Saya justru ingin
mem­buka diskusi. Saya ingin para pembaca menelaah kembali
apa yang saya tulis. Bahkan kalau perlu tidak setuju dan menc­ ari
sendiri makna kebahagiaan dalam Islam.

Saya menyadari, tak semua pembaca akan setuju dengan
apa yang saya tulis. Saya yakin ada yang bersikukuh pada pe­
mah­ am­ an lama, bahwa semua harus plek sesuai dengan teks
Al-Quran dan hadis. Tak masalah. Setiap orang punya cara­
nya sendiri menemukan kebaikan, dan saya tidak ingin me­
monopolinya. Siapa saya? Yang saya ceritakan hanyalah refleksi
yang muncul dalam diri saya.

Jika memang ada yang merasa cocok dengan apa yang saya
sampaikan, semoga mereka juga mendapatkan ketenangan
seperti yang saya rasakan. Kalau tidak, ya tak masalah, karena
ada banyak jalan menuju kebahagiaan. Jalan mana pun yang

Anda pilih, tak masalah. Yang masalah itu kalau tidak mau me­
milih jalan kebaikan.

Buku ini terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama ten­
tang apa itu kebahagiaan. Seperti apa sebagian besar orang
memandang kebahagiaan dan bagaimana mereka meraihnya.

Pada bagian kedua, kita akan membicarakan bagaimana
kita mengusahakan ketenangan dengan melepas segala yang
mel­ekat pada diri kita.

Tentu saja saya tidak mengajak pembaca menjadi ge­lan­
dangan. Melepas di sini adalah melepas kemelekatan yang
mem­buat kita selalu resah.

Bagian terakhir tentang bagaimana kita melepaskan emosi
yang kerap mengganggu.

Pada tiap bagian akan ada exercise yang memandu Teman-
teman untuk mempraktikkan informasi yang saya share di bab
tersebut.

Terima kasih, semoga bermanfaat.

KITA PASTI PERNAH MENCOBA
UNTUK BAHAGIA

Semua orang ingin bahagia.
Saya, kamu, dan semua orang menginginkan kebahagiaan.
Kita ingin tersenyum saat membuka mata di pagi hari, lalu
bekerja dengan riang gembira sepanjang hari. Saat pulang ke
rumah di sore hari, kita juga ingin disambut senyuman keluarga,

lalu tidur di malam hari dengan hati yang tenteram dan berh­ arap
esok matahari terbit tak kalah cerahnya.

Sayangnya, kita tidak selalu seberuntung itu.

Seringkali, kita terbangun di pagi hari dengan kekosongan.
Selama beberapa menit kita terpaku, terbujur kaku, dan me­natap
langit-langit dengan tatapan kosong. Kita bahkan kehilangan
keberanian untuk bangun dan memulai hari.

Tak hanya itu, saat masih terbaring kita sudah memb­ ayang­
kan betapa melelahkannya hari ini nanti. Semua hal seakan-akan
bisa memicu keresahan kita di hari ini, sinar matahari yang terlalu
terik, kemacetan luar biasa, rekan kerja yang menyebalkan, bos
yang main bentak, klien yang rese, dan makan siang yang sama
sekali tidak membangkitkan selera.

Kita juga sudah membayangkan bahwa nanti sore kita akan
kembali terjebak kemacetan dalam perjalanan pulang, dic­ em­
beruti keluarga ketika sampai rumah, dan di tempat tidur ber­
juang mati-matian untuk melupakan pekerjaan yang belum
tuntas agar bisa tidur nyenyak selama beberapa jam.

Apa yang kita bayangkan di pagi hari itu kerap menjadi ke­
nyata­an. Sebagian besar karena memang kita “meniatkann­ ya”.
Tapi, sering juga datang begitu saja.

Tentu banyak orang yang punya pengalaman lebih buruk
dari masalah-masalah itu, apalagi di masa pandemi. Ada ke­
hilangan-ke­hilangan yang selalu muncul, seperti kematian
anggota keluarga atau kehilangan harta, dipecat dari pekerjaan,
ditipu oleh teman sendiri, atau investasi di pasar modal yang
jeblok dan menghanguskan simpanan bertahun-tahun.

Kadang musibah-musibah itu benar-benar datang. Tapi,
kadang hanya muncul sebagai kekhawatiran yang tak mau
hilang. Baik semua itu benar-benar terjadi atau sebatas ke­kha­
watiran, keduanya berhasil membuat kita tidak bahagia.

Banyak yang sadar bahwa dirinya tidak bahagia. Tapi,
banyak juga yang tidak menyadarinya. Kita menjalani hidup apa
adanya dan menganggap semua yang terjadi dalam hidup kita
adalah wajar, alami. Kalaupun ada masalah, kita berpikir bukan­
kah semua orang juga mengalaminya?

Karena merasa ketidakbahagiaan adalah wajar, maka kita
tidak berusaha menyelesaikannya. Yang sering kita lakukan ke­
mudian hanya menutupinya. Menutupinya dari orang lain atau
dari diri kita sendiri. Kita menyimpan keresahan itu dalam lemari
hati yang paling dalam.

Ada beragam cara untuk menutupinya. Sebagian dari kita
mengalihkan keresahan itu dengan tidur. Kita berharap saat
ter­bangun masalah akan hilang dari hati. Ada yang me­nutupi­
nya dengan beragam aktivitas, menyibukkan diri. Bisa dengan
be­kerja lebih keras untuk mengejar sesuatu yang kita kira akan
mend­ atang­kan kebahagiaan (karier, gaji lebih besar), hingga
menc­ ari hiburan di luar rumah untuk alasan yang sama. Yang
kerap kita lakukan, misalnya, adalah menyibukkan diri dengan
smart­phone. Kita berharap dengan scrolling timeline kita akan
terhibur dan bahagia.

Sampai pada suatu titik, kita sadar bahwa sebenarnya
semua usaha untuk menutupi keresahan itu tidak berguna. Ke­
resaha­ n itu tetap ada saat kita bangun tidur yang ternyata tak
nyenyak, setelah kita menurunkan layar HP. Tumpukan masalah

itu ternyata sudah terlalu banyak dalam lemari hati, hingga ber­
jejalan dan meluap ke luar.

Karena usaha untuk membahagiakan diri tidak berhasil, kita
lalu mencoba cara lain atau cara yang sama dengan upaya yang
lebih keras lagi.

Kadang kita “beruntung”. Sesekali apa yang kita lakukan ber­
hasil membuat kita “bahagia” sejenak. Tapi, tak lama kemudian,
kita kembali resah. Kita cari lagi cara lain, lalu tampaknya me­
nemuk­ an hal baru yang lebih cocok. Tapi, tak lama kemudian
kita sadar kalau kita kembali gagal.

Terus begitu sampai kita menyerah. Saat itulah kita lantas
berdoa, “Tuhan, aku sudah tidak kuat.”

Lalu, apa yang salah?

Kenapa kita tak bisa mencapai kebahagiaan meski sudah
meng­usahak­ annya berkali-kali?

Bisa jadi karena selama ini kita keliru dalam melihat ke­
bahagiaan.

Sebagian besar manusia menganggap kebahagiaan ada­
lah saat kita bisa meraih sesuatu. Happiness is about having
something.

Sesuatu yang ingin dimiliki itu bisa berupa harta.
“Saya akan bahagia kalau saya sudah punya rumah sendiri,
karena tidak resah oleh uang sewa setiap bulan dan harus
pindah berkali-kali.”

“Saya bisa bahagia kalau punya gaji besar, sehingga se­
luruh beban hidup teratasi, bahkan bisa membantu orang lain.”

Atau mungkin kita anggap bahagia sesederhana, “Asyik kali
ya kalau punya handphone baru. Keren.”

Bisa juga sesuatu yang kita anggap membahagiakan itu
adalah kondisi tertentu. Misalnya, “Saya akan bahagia kalau
sudah punya pasangan.” Tapi, saat sudah punya pasangan kita
tak bahagia. Lalu kita berkata, “Saya dan pasangan akan bahagia
kalau punya anak. Saya akan bahagia kalau punya keluarga
yang sakiinah, mawaddah, wa rahmah.” Tapi, saat punya anak
kita punya keresahan yang lain. Sesuatu yang awalnya kita
angg­ ap sebagai sumber kebahagiaan ternyata adalah sumber
keresahan baru.

Sekilas, dengan mencari-cari hal baru yang bisa mem­
bahagia­kan kita seperti mengganti rumus pencarian keb­ ahagia­
an. Padahal, sebenarnya kita pakai rumus yang sama. Formula
yang kita pakai ya itu-itu saja: kita menganggap akan bahagia
kalau sudah mendapatkan sesuatu yang belum kita miliki.
Rumus yang kita pakai tetap sama: kejar sesuatu di luar sana,
mungkin nanti akan membahagiakan kita.

Rumusnya enggak pernah berganti. Yang diganti cuma
variabel­nya. Karena memakai rumus yang sama, ya hasilnya
akan sama: kita gagal mendapatkan kebahagiaan.

Masalahnya, di manakah kesalahan rumus ini?

Kesalahan rumus ini sangat sederhana. Kita gagal bahagia
karena kita mencarinya di luar diri kita. Padahal, kebahagiaan
adalah tentang apa yang terjadi dalam diri kita (nanti kita akan
mem­bahasnya lebih detail).

Karena kita berasumsi bahwa penyebab kebahagiaan ada
di luar diri kita, maka bahagia harus kita kejar. Sebagian besar
manusia menganggap bahwa mengejar kebahagiaan sebagai
ses­uatu yang wajar, bahkan harus dilakukan. Sampai-sampai,
frasa “pursuit of happiness” masuk dalam konstitusi Amerika
Serikat.

Idiom ini bahkan pernah dijadikan sebagai judul film yang
diangkat dari kisah nyata. Dibintangi oleh Will Smith dan anak­
nya, film ini berhasil mengaduk-aduk emosi penontonnya.

The Pursuit of Happiness memang film yang keren. Tentang
se­orang pria miskin yang hidup bersama anaknya. Begitu
miskinn­ ya, hingga mereka jadi gelandangan, tidur di mana saja,
term­ asuk di toilet stasiun. Keadaan berubah ketika sang ayah
men­jadi seorang pialang saham yang berhasil. Dan akhirnya
mereka –seperti dalam semua film Hollywood– hidup bahagia.

Di film itu, kebahagiaan disimbolkan dengan harta.

Uang.

Tabungan yang cukup.

Karier yang sukses.

Bahkan mobil sport warna merah terang yang bisa dibawa
ngebut.

Apa yang dilakukan oleh Will Smith di film itu juga kerap kita
lakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Kebahagiaan kita jadikan tujuan.

Kita melakukan apa pun, misalnya bekerja mati-matian
hingga lupa waktu untuk mendapatkan kebahagiaan.

Kebahagiaan dikejar dan dicari lewat banyak hal:
keberhasilan dalam pekerjaan;
hubungan yang berlanjut pada pernikahan;
memiliki anak dan keluarga;
berlibur ke tempat-tempat eksotik di Maldives.

Ini adalah pandangan umum yang diyakini oleh hampir
seluruh penghuni bumi, bahkan para ahli. Setiap tahun Gallup
International dan PBB merilis negara-negara paling bahagia.
Indikator yang mereka pakai beragam, mulai pemasukan (gaji),
kesehatan, harapan hidup, dukungan sosial, kebebasan, ke­per­
cayaan, dan kedermawanan.

Sebagian besar indikator kebahagiaan yang mereka pakai
itu berada di luar diri kita; suatu kondisi atau benda yang ada di
luar sana dan harus diraih. Sialnya, sebagian besar berada di luar
kontrol kita.

Dengan indikator-indikator seperti itu, maka semestinya
masyar­akat dengan pemasukan besar akan lebih bahagia di­
banding­kan rakyat dari negara miskin. Orang yang tinggal di
negara dengan kesejahteraan yang terjamin harusnya lebih
bahagia daripada orang yang tinggal di negara terbelakang.

Tapi, hasil survei itu meleset.
Orang Bhutan dengan GDP per kapita US$3.100 ternyata
jauh lebih bahagia daripada orang Amerika Serikat yang punya
GDP per kapita hampir 20 kali lipatnya, yakni US$60.000.
Finlandia yang berada di puncak negara paling bahagia
berd­asarkan survei itu, ternyata memiliki angka bunuh diri

yang tinggi (16 kasus per 100 ribu orang), jauh lebih besar
daripada Indonesia (3 kasus per 100 ribu) yang dalam peringkat
kebahagiaan berada di urutan 90-an.

Lantas, apa yang salah dengan survei itu?

Kenapa memiliki tak otomatis
membahagiakan?

Mendapatkan kemakmuran dan kenyamanan memang bisa
mengg­ embirakan. Jangankan menikahi pujaan hati atau libur­
an ke Maldives, menang Mobile Legends saja kita bisa lompat-
lompat kegirangan.

Mendatangkan kesenangan, ya. Tapi, kegembiraan atau
ke­senang­an bukanlah kebahagiaan. Kegembiraan bahkan
tidak bisa membuat kita bahagia. Ada dua masalah kenapa ke­
gembiraa­ n seperti itu tak memberikan kebahagiaan yang abadi.

Pertama, kegembiraan atau kesenangan itu
punya efek yang pendek.

Petenis Andre Agassi pernah ditanya berapa lama dia me­
rasa­kan kegembiraan setelah menang Wimbledon. Kita tahu,
Wimbledon adalah salah satu grand slam yang paling diimpikan
oleh petenis mana pun. Puncak dari jerih payah semua petenis.

Jadi, berapa lama Agassi merasakan kegembiraan yang
diimpikan seluruh petenis dunia itu?

Jawabnya cukup mengejutkan: tiga jam.

Sangat singkat.

Setelah itu, menurutnya, dia merasa biasa saja.

Mungkin ada petenis yang merasakan kegembiraan lebih
lama, tapi jelas tak selamanya.

Sama seperti Agassi, Valentino Rossi, atau Lionel Messi, dan
kita semua punya “trofi” yang dikejar. Ada capaian-capaian yang
sangat ingin kita raih. Capaian itu bisa berupa trofi grand slam
seperti Agasi, atau bisa berupa pernikahan, punya anak, punya
rumah. Bahkan ada “trofi-trofi” kecil seperti punya HP baru.

Mendapatkan itu semua tentu menggembirakan. Tapi, se­
perti halnya Agasi mendapatkan trofi, kesenangan kita juga
akan mengempis.

Setelah berhasil membeli iPhone terbaru, mungkin kita
akan gembira selama tiga bulan (atau tiga hari?). Apalagi kalau
selama itu ada orang yang memuji setiap kali melihat HP terbaru
kita. Tapi, setelah tiga bulan, biasanya kegembiraan itu hilang.

Beberapa hari setelah gajian, kita mungkin sudah tak terlalu
excited lagi meski uang gajian masih ada di rekening (apalagi
kalau sudah ludes); beberapa tahun setelah pernikahan, kita
mungkin tak merasakan api cinta yang bergejolak, meski
pasang­an tetap ada di samping kita setiap malam; setelah se­
minggu berada di Maldives, kita mungkin ingin pulang.

Jika kamu pernah merasakan kegembiraan yang mengempis
itu, maka kamu adalah manusia normal. Kegembiraan itu se­
men­tara, karena manusia dilengkapi dengan sistem adaptasi.
Manusia selalu berusaha untuk terbiasa dengan apa yang
terjadi berkali-kali.

Adaptasi ini berguna agar kita tidak terus­menerus berada
dalam satu perasaan. Dengan beradaptasi, kita tidak selamanya
bersedih dan kecewa setelah terkena musibah.

Masalahnya, kita tidak hanya beradaptasi pada sesuatu
yang negatif. Kita juga beradaptasi pada kesenangan. Kita tidak
hanya bisa berhenti bersedih, tapi juga bisa berhenti senang.

Adaptasi pada kegembiraan disebut hedonic adaptation.
Tak lama setelah sampai pada keadaan yang menggembirakan,
kita akan terbiasa dan tidak merasakan lagi excitement seperti
sebelumnya.

Kondisi ini disebut juga dengan hedonic treadmill, karena
yang mengalaminya seperti orang yang berlari di atas treadmill:
terus berlari tapi sebenarnya tidak pergi ke mana­mana.

Inilah alasan pertama mengapa kebahagiaan tak bisa diraih
dengan mendapatkan sesuatu. Karena memang kegembiraan
itu tidak bertahan lama. Naik beberapa saat, lalu turun lagi. Naik
lagi, turun lagi. Terus begitu.

Adaptasi pada kesenangan itu sebenarnya ada bagusn­ ya,
karena kalau kita terus-menerus gembira maka kita akan cepat
puas dan tak mau berusaha untuk meraih sesuatu yang lebih
baik lagi. Hal yang semestinya baik ini bisa menjadi masalah
kalau kita menggantungkan kebahagiaan pada kegembiraan.
Mengapa? Karena menggantungkan kebahagiaan pada ke­
gembira­an akan membuat kebahagiaan tersebut cepat berlalu.

KEDUA, karena dipengaruhi oleh pemicu.

Kegembiraan tidak bisa bertahan lama juga
karena kegembiraan disebabkan oleh faktor eksternal,
seperti handphone baru, gaji besar, sampai liburan di
Maldives.

Nah, karena penyebab kebahagiaan ada di luar diri kita,
maka kebahagiaan tidak bisa kita kendalikan. Kita menjadi pasif.
Kita cuma bahagia kalau lulus ujian, kalau jalanan tidak macet,
kalau punya karier bagus dan bisnis lancar, kalau bisa menikah
dengan pujaan hati.

Tentu, semua hal itu bisa kita usahakan, tapi hasilnya berada
di luar kontrol kita. Untuk bisa lulus ujian memang harus rajin
belajar, tapi itu tidak menjamin. Untuk bisa punya karier bagus
memang harus bekerja keras, tapi seringkali itu tidak menjamin.
Apalagi menikah dengan pujaan hati.

Tak jarang usaha keras kita tidak berbanding lurus dengan
hasilnya. Akibatnya, alih-alih mendapat kebahagiaan, kita justru
semakin hancur.

Saya sering mendapat cerita tentang anak-anak muda yang
ingin bunuh diri karena alasan yang sederhana: gagal meraih
sesuatu. Misalnya, gagal lulus ujian atau gagal mendapatkan
pekerjaan impian, meski dia sudah berusaha sangat keras.

Kegagalan itu memicu emosi yang tidak stabil. Itu wajar dan
normal, terjadi pada semua manusia. Tapi pada banyak orang,
mereka tidak bisa mengelola emosi tersebut, sehingga emosi itu
menumpuk dan meledak.

Mereka tidak bisa mengelola emosi bukan karena bodoh.
Dalam banyak kasus, mereka justru anak-anak muda yang
cerdas dan potensial. Mereka bisa saja mengulang ujian atau
mendapatkan pekerjaan lain yang lebih bagus. Tapi, mereka
tidak cakap dalam mengurai emosi.

Hal ini terjadi karena ketergantungan yang sangat tinggi
pada faktor kebahagiaan dari luar. Mereka sudah terlanjur meng­

anggap keberhasilan studi dan karier sebagai keberhasilan
hidup. Akibatnya, ketika gagal meraihnya, mereka seperti gagal
meraih tujuan hidup. Lalu, apa gunanya hidup?

Menggantungkan kebahagiaan pada sesuatu di luar diri
kita berbahaya, karena tidak semua manusia bisa menggapai
pemicu kegembiraan tersebut.

Ada orang yang lulus ujian, ada yang tidak lulus.
Ada yang berhasil menikah, ada yang terus single. Ada yang
men­dapat­kan pekerjaan impian, ada yang masih menganggur.
Ada yang mampu liburan ke tempat yang eksotik, ada yang ter­
paksa rebahan saja di tempat tidurnya.

Sialnya, keberhasilan itu tak sepenuhnya berada dalam
kendali kita. Ada orang cerdas yang belajar mati-matian untuk
lulus ujian dan ternyata gagal, ada yang menempuh segala cara
untuk punya jodoh tapi selalu ditolak, ada yang menabung sejak
lama untuk pergi berlibur tapi kemudian ditipu agen perjalanan.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan kita
untuk mendapatkan apa yang kita mau. Lulus ujian bukan
semata-mata karena kita pintar. Berhasil dalam karier bukan
cuma karena kita rajin.

Nanti kita akan membicarakan lebih lanjut soal ini di bab
lain. Yang jelas, kita tak bisa menggantungkan kebahagiaan
pada capaian-capaian tertentu, sebab bukan cuma kita yang
men­ entukan keberhasilannya.

Jadi, tidak logis kalau kita menggantungkan kebahagiaan
pada sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan.



Exercise #1

RKEEBFLAEHKASGI IAAN

Karena kebahagian itu tidak dipicu oleh hal
eksternal, melainkan ada dalam diri kita sendiri, maka
kita harus mengenali diri kita. Dalam Exercise kita akan
mempraktikkan sejumlah hal untuk membuat kita
mengenali, mengidentifikasi, dan melatih diri.

Refleksi adalah salah satu cara untuk melatih
kepekaan kita pada diri sendiri. Ini seperti latihan melihat
diri kita di cermin. Karenanya, kita harus sejujur cermin
untuk mendapatkan gambaran yang sesungguhnya.

1. Tuliskan semua hal yang pernah (atau masih)
kamu anggap sebagai penyebab kebahagiaan dan
alasannya.

2. Apakah hal itu pernah tercapai? Kalau kamu bisa
meraihnya, apakah itu membuatmu bahagia?

3. Berapa lama kamu merasakan kebahagiaan setelah
mencapai apa yang kamu idamkan itu?

Saya bahagia kalau Saya...

1. ……………………………………………
KENAPA?
Karena ……………………………………………………
Saya sudah/belum mendapatkannya.
Yang saya rasakan saat mendapatkannya:
………………………………………………………………….....………
Berapa lama saya merasakan “kebahagiaan”
setelah mendapatkannya? …………………………….

2. ……………………………………………
KENAPA?
Karena ……………………………………………………
Saya sudah/belum mendapatkannya.
Yang saya rasakan saat mendapatkannya:
………………………………………………………………………………
Berapa lama saya merasakan “kebahagiaan” setelah
mendapatkannya? …………………………….

3, 4, 5, (Kamu bisa menambah sendiri berapa banyak)

HEDONIC RESET

Seperti yang sudah kita bahas, adaptasi kenikmatan
(hedonic treadmill atau hedonic adaptation) membuat
kita susah bersyukur, karena apa pun yang kita dapat
akan menjadi biasa­biasa saja beberapa saat kemudian.
Punya mobil baru akan membuat kita gembira. Tapi,
satu tahun kemudian kita akan biasa­biasa saja. Kita lalu
meminta lebih atau menggantinya dengan yang baru.
Kita minta kenikmatan yang lebih, karena kita sudah
“kebal” dengan kenikmatan sebelumnya.

Nah, untuk mengatasi “kebalnya” diri kita pada ke­
nikmatan yang bertubi­tubi itu, ada cara yang dikenal
dengan hedonic reset. Seperti gadget yang memorinya
sudah penuh, kita perlu me­reset ulang hati kita agar
bisa mensyukuri apa yang kita miliki saat ini.

Apa itu hedonic reset?

Konsepnya sederhana, yaitu menghentikan untuk
sementara kesenangan yang sudah terbiasa kita terima
(hingga kita lupa kenikmatannya).

Setelah berhenti mengonsumsinya, jiwa kita tak
kenal lagi rasanya, sehingga kita tak terbiasa lagi
dengannya. Saat itulah kita akan merasakan kembali
betapa sesuatu yang selama ini kita anggap biasa­biasa
saja itu ternyata sangat nikmat. Sebab, kita kembali lagi
ke titik nol.

Kalau sedang streaming YouTube, coba deh tonton
video Basic needs-Extreme happiness. Dalam video
itu kita bisa melihat bagaimana petualang Aleksander
Gamme mendapatkan kegembiraan saat berada di Kutub
Selatan. Dia gembira bukan karena mendapat uang
miliaran atau menemukan rumah mewah. Dia gembira
luar biasa cuma karena mendapatkan permen dan snack.

Yang terjadi sederhana. Selama 86 hari, dia hidup
merana selama perjalanan menuju Kutub Selatan.
Makanan terbatas, tidur tidak nyaman, berjalan pun
harus susah­payah. Nah, dalam perjalanan pulang, dia
menemukan kembali tasnya yang dia timbun di salju. Tas
itu sengaja ditinggal dalam perjalanan berangkat agar
bebannya tidak terlalu berat. Dalam perjalanan pulang,
dia menemukan lagi tasnya itu, dia bongkar isinya, dan
dia temukan kembali makanan, snack, permen, dan lain
sebagainya. Makanan remeh yang biasa kita temukan
di toko itu ternyata bisa membuatnya girang tak karuan.

Kegembiraan muncul karena dia sudah lama tak
merasakan makanan­makanan itu.

Konsep menghentikan sementara kenikmatan
melalui hedonic reset ini sebenarnya sudah sering kita
praktikkan melalui puasa. Dalam puasa, kita diajak untuk
melupakan sejenak nikmatnya makanan atau minuman
yang sehari­hari kita rasakan.

Selama ini kita terbiasa untuk menyantap makanan
tiga kali sehari, bahkan lebih. Karena terbiasa, kita jadi

lupa untuk mensyukurinya. Kita lupa bahwa makanan
yang kita anggap biasa­biasa saja itu ternyata nikmat
yang besar. Bahkan ada ungkapan: “Apa pun akan jadi
enak kalau kita lapar.”

Konsep yang sama bisa kita praktikkan terhadap
kenikmatan­kenikmatan yang lain. Kita bisa untuk se­
mentara “puasa” dari kenikmatan­kenikmatan yang
biasa kita terima itu. Apa saja?

1. Komunikasi online. Coba deh untuk sehari saja
hidup tanpa ponsel. Tentu bukan di hari kerja.
Kita bisa menyimpannya di rumah, lalu pergi
jalan­jalan.

2. Temperatur ruangan. Kita bisa sehari puasa AC
atau kipas angin.

3. Tempat tinggal. Kita bisa pergi ke alam bebas
untuk beberapa hari tanpa disibukkan media
sosial, tidur tanpa menggunakan bantal dan
kasur, serta berdamai dengan nyamuk dan
serangga yang lain.

4. Live-in. Kita juga bisa coba hidup di kampung
yang sangat tradisional. Hidup di sana selama
sepekan dan tak membawa kenyamanan dari
kota.

Bagaimana supaya berhasil?

Yang paling penting agar cara ini berhasil adalah
apa yang kita pikirkan saat berada dalam keadaan reset.

Hedonic reset akan berhasil kalau kita menerima
apa adanya pengalaman yang mungkin tidak enak.
Jangan mengeluhkan kondisi yang buruk. Fokus pada
kenikmatan­kenikmatan kecil yang kita rasakan pada
waktu itu saja, dan tak memikirkan bahwa nanti kita
akan mendapatkan lagi sumber kenikmatan yang kita
tinggalkan.

Kalau saat melakukan hedonic reset kita memikir­
kan apa yang hilang dari diri kita tapi akan kita dapatkan
kembali, maka yang terjadi justru sebaliknya. Kita akan
terus mengeluh dan komplain pada diri sendiri soal
ketidaknyamanan yang kita rasakan, sehingga bisa di­
pastikan hedonic reset yang kita lakukan gagal. Akibat­
nya, saat kembali menemukan sumber kenikmatan, kita
kalap. Inilah yang terjadi pada orang yang berpuasa,
tapi tak menikmati puasanya. Saat maghrib tiba, semua
makanan disikat, karena makanan itulah yang ditunggu
dan dipikirkannya sejak siang.

Yang lebih parah lagi, kita tidak menjadi lebih ber­
syukur. Kita bahkan tidak bisa mensyukuri ritual puasa
yang kita jalani. Puasa yang seharusnya menjadi mo­
mentum untuk berempati terhadap keprihatinan sesama
yang kurang beruntung malah menjadi “festival kuliner”
selama sebulan penuh.

Intinya, saat melakukan hedonic reset, kita harus
mensyukuri apa yang kita terima saat itu.

02 ISLAM DAN
KEBAHAGIAAN

Kalau kebahagiaan tidak bisa diraih dengan memiliki se­
suatu, lalu bagaimana kita bisa bahagia?
Ini adalah pertanyaan yang jawabannya dicari oleh
banyak orang. Setiap agama, aliran pemikiran, psikolog, dan
filosof berupaya menjawabnya. Masing­masing tentu punya
jawaban sendiri­sendiri. Jawaban itu beragam, meski banyak
juga kemiripannya.
Setelah mengalami ketidakbahagiaan yang akut, saya
mulai rajin berburu informasi soal kebahagiaan. Beragam buku

tentang kebahagiaan saya baca. Mulai buku-buku mind­fulness,
Stoa, sampai The Art of Happiness tentang kebahagiaan dalam
Buddhisme yang diambil dari wawancara dengan Dalai Lama.
Saya tidak pilih-pilih. Demikian pula dengan berguru. Saya me­
nemui banyak orang, tanpa memandang agama dan alira­ n pe­
mikira­ nn­ ya. Tujuannya satu: untuk mencari esensi ke­bahagiaan.

Tentu saja, banyak hal yang bisa saya dapatkan di sana. Apa
yang saya baca dan ajaran para guru sangat berpengaruh ter­
hadap kebahagiaan yang saya rasakan saat ini.

Meski demikian, saya tetap penasaran dengan konsep ke­
bahagia­an dalam Islam. Penasaran, karena selama nyantri di
pesan­tren dan kuliah di Al-Azhar, topik ini sangat jarang dib­ ahas.
Mungkin pernah disinggung sekelebat, sehingga tak ada yang
saya ingat satu pun. Masih kalah dengan pelajaran tentang
tayammum, misalnya.

Saya penasaran, kenapa bab tentang tayamum ada di setiap
kitab hadis, tapi tidak bab tentang sa’adah atau kebahagiaan.

Selain penasaran, saya juga berasumsi, bahwa sebagai mus­
lim saya tentu akan memahami kebahagiaan dalam Islam lebih
mudah dibandingkan konsep kebahagiaan dalam agama lain.
Setidaknya dalam otak saya sudah ada memori tentang nilai-nilai
tertentu yang ditanamkan sejak kecil. Jadi, akan lebih cepat klop.

Masalahnya, pencarian itu tidak mudah. Konsep keb­ ahagia­
an dalam Islam itu tidak tersaji di depan mata seperti hal­nya
konsep kebahagiaan modern. Ibarat kentang, konsep keb­ a­
hagia­an modern dan Barat itu sudah tersaji dalam beragam
masaka­ n: french fries, mashed potato, dan lain sebagainya. Ada

beragam buku ilmiah yang sangat filosofis, buku ilmiah populer,
jurnal dan penelitian, buku-buku inspirasi dan motivasi, tulisan-
tulisan ringan di beragam situs, video TedEx, bahkan komik dan
kartunnya pun ada.

Sayangnya, konsep kebahagiaan dalam Islam tak banyak
tersaji seperti itu. Tentu saja, ada banyak referensi–terutama
liter­atur klasik atau buku-buku dari pengarang Timur Tengah–
yang menerangkan konsep kebahagiaan.

Sejumlah buku sufi, seperti Al-Hikam (Kebijaksanaan-ke­bijak­
sanaa­ n) karangan Ibn Athaillah As-Sakandari atau Kimyaa` As-
Sa’aadah (Kimia Kebahagiaan) karangan Al-Ghazali, memb­ icara­
kan soal kebahagiaan. Ada juga Ibn Miskawayh yang men­ gem­
bang­kan etika kebajikan berdasarkan konsep eudaemonia (ke­
bahag­ iaa­ n) Yunani.

Meski demikian, konsep-konsep kebahagiaan itu tersaji
dalam wujudnya yang masih “mentah”. Ibarat kentang, itu masih
berb­ entuk umbi mentah yang perlu diolah agar bisa dik­ ons­ um­si
oleh manusia.

Tentu, belakangan ini ada buku baru yang membahas soal
ke­b­ahagiaan ini dengan baik, tapi sayangnya tidak banyak.
Buku-buku Islam –bahkan yang terbit belakangan– lebih banyak
mem­b­ icarak­­ an kebahagiaan dengan konteks yang jauh di masa
lalu, seolah-olah ditulis ratusan tahun yang lalu. Sehingga perlu
dic­ erna lebih lama untuk bisa dipahami dalam konteks kek­­ ini­a­ n.
Selain itu, buku-buku tersebut juga masih bertutur secara tekstual.

Saat berada di toko buku, misalnya, kita lebih mudah me­
nemukan buku tajwid dan cara membaca Al-Quran dengan me­

tode-metode modern, dibandingkan mendapati buku tentang
ke­bahagia­an dalam Islam dengan metode mutakhir.

Walhasil, kesulitan mencari konsep kebahagiaan itu ke­
mudian membawa saya pada pertanyaan sederhana: “Eh, ke­
napa tidak mencarinya langsung di dalam Al-Quran?”

Sebagai kitab suci yang diturunkan untuk kebaikan umat
manusia, saya yakin Al-Quran membicarakan topik ini. Apalagi
banyak ulama yang mengatakan bahwa Al-Quran menjawab
semua masalah hidup kita.

Saya pun mulai membuka Al-Quran untuk mencari konsep
kebahagiaan.

Setelah membolak-baliknya menggunakan banyak indeks
untuk menelaah tema-temanya, baik secara manual ataup­ un
digital, mencari-cari dalam banyak tafsir klasik, saya sampai
pada ke­sim­pul­an: saya tidak menemukan konsep kebahagiaan
di dalam al-Quran.

Mengejutkan?

Sabar. Jangan buru-buru menghujat. Saya terangkan apa
yang tidak saya temukan terlebih dulu.

Dalam bahasa Arab, happiness atau kebahagiaan disebut
sa’aadah. Kalau kita bolak-balik indeks Al-Quran dalam bahasa
Arab, kata ini dalam berbagai bentuk turunannya hanya di­
sebut dua kali. Keduanya berbicara dalam satu tema dan ber­
ada dalam satu pembahasan di dua ayat yang amat berdekatan,
yaitu di surat Hud ayat 105 dan 107.

Itu pun kedua ayat tersebut tidak membahas bagaimana
kita bisa hidup bahagia di dunia. Keduanya membicarakan ke­
bahagi­aa­ n di kehidupan akhirat.

Ada sejumlah kata lain yang mirip dengan sa’aadah yang
banyak disebut di dalam Al-Quran, seperti faraahah (gembira)
dan suruur (senang). Seperti halnya sa’aadah, kedua kata itu
juga lebih banyak dipakai untuk urusan akhirat.

Apakah ini artinya tak ada konsep kebahagiaan (di dunia)
dalam Islam?

Ya, terus terang, pertanyaan itu sempat muncul di otak saya.
Pertanyaan itu seolah-olah membenarkan anggapan ban­ yak
orang (bahkan ulama) bahwa kita hanya akan bahagia di akhirat,
sedangkan di dunia ini kita merana sebagai ujian, dan karena­
nya tak (perlu) bahagia. Sejumlah ayat dan hadis dia­ nggap men­
dukung hal tersebut.
Salah satu dalil yang dipakai untuk mendukung hal itu
adalah ayat 30 dari surat An-Nahl:

“Untuk orang-orang yang baik di
dunia ini akan mendapat kebaikan, dan
kebaikan yang lebih baik akan diterima

nanti di negeri akhirat.”

Ya, benar, bahwa kita akan mendapatkan kebaikan yang
hakiki di akhirat kelak, tapi bukankah ayat itu juga mengatakan
bahwa kita akan mendapat kebaikan di dunia ini? Dan termasuk
kebaikan di dunia ini adalah kebahagiaan, bukan?

Berangkat dari asumsi itu, pencarian saya teruskan. Saya
tetap penasaran dan itu membuat saya kembali membolak-balik
Al-Quran. Saya merasa bodoh dan kembali banyak belajar.

Benar, meski Al-Quran tidak memuat kata sa’aadah atau ke­
bahagiaan untuk kehidupan di dunia, bukan berarti tidak ada
konsep kebahagiaan dalam Islam untuk kehidupan di dunia.
Konsep itu ada, tapi penyebutannya saja yang berbeda. Hal itu
saya sadari saat mengkaji ayat-ayat yang menceritakan kisah
penciptaan manusia.

Mari kita mulai pembahasan ini dengan memakai “mesin
waktu”, bergerak mundur puluhan ribu tahun yang lalu, ketika
manusia pertama (Nabi Adam dan Hawa) diturunkan ke muka
bumi.

Sebagaimana diceritakan di dalam Al-Quran, saat disuruh
turun ke bumi, Adam dan Hawa diprediksi akan diserang ke­
galaua­ n. Ada dua hal yang membuat mereka resah, yaitu ke­
takut­­an dan kesedihan. Al-Quran menyebutnya dengan istilah
khawf dan huzn.

Maklum, mereka sebelumnya terbiasa hidup dalam kep­ asti­
an. Di surga, semuanya ada dan terjamin. Lalu, tiba-tiba mereka
harus hidup di bumi yang semuanya tak pasti. Perubahan kondisi
yang drastis itu jelas membuat mereka khawatir dan sedih.

Tentu saja Allah menyediakan banyak hal untuk memp­ er­
lancar hidup manusia di muka bumi. Tuhan membekali mereka
ber­dua dengan bekal fisik agar mereka bisa survive. Di dalam
surat Al-Baqarah ayat 36, bekal fisik ini disebut mataa’ ilaa hiin.
Bekal untuk hidup yang sementara.

Bekal (mataa’) ini bisa berupa kebutuhan pokok, seperti
makana­ n dan pakaian. Selain makanan dan pakaian, bekal fisik

lainn­ ya yang diberikan adalah tempat berlindung atau rumah,
yang disebut mustaqar dalam ayat tersebut.

Mustaqar artinya tempat berdiam, tempat yang ajeg. Bukan
sekadar rumah, tapi juga bumi yang bisa ditinggali oleh manusia
beserta seluruh makhluk lain yang mendukung kehidupan.

Meski mendapatkan bekal seperti itu, tetap saja manusia
harus bekerja keras. Untuk bisa makan mereka harus berb­ uru.
Untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak mereka harus
mem­buatnya dengan susah-payah. Kondisi ini berbeda jauh
dengan keadaan saat mereka berada di surga, di mana ke­dua­
nya bisa mendapatkan semuanya dengan mudah.

Usaha keras ini tidak cuma menguras keringat, tapi juga
mem­b­ ahayak­ an nyawa. Cuaca yang ekstrem dan hewan buas
yang ada di sekitar manusia bisa mengancam kehidupan
mereka. Saat di surga, manusia menjadi makhluk istimewa yang
bahk­ an malaikat pun harus tunduk. Tapi, saat di bumi, manusia
turun ke tengah mata rantai makanan, karena ada banyak pre­
dator yang lebih kuat di atasnya.

Bahaya dan ketidakpastian inilah yang membuat manusia
khawatir dan sedih setelah turun ke bumi. Sedih karena keg­ agal­
an dan kehilangan, dan khawatir karena ketidakpastian.

Untuk mencegah kesedihan dan ketakutan ini kita tidak bisa
mengandalkan bekal fisik semata. Kita membutuhkan bekal lain­
nya, yaitu bekal mental. Untuk bekal mental inilah Allah mem­
berikan jalan agar kita bisa bebas dari kegelisahan. Bekal itu
disebutkan di dalam ayat ini,

“Kami berfirman, ‘Turunlah kalian
semua dari surga. Dan siapa saja yang
menemukan hidayah (petunjuk) dari-
Ku dan mengikutinya, maka mereka
tak akan didekap ketakutan dan tidak

pula bersedih’.”

(Al-Baqarah: 38)

Bekal mental itu disebut hidayah. Selama ini kita memahami
hidayah sebagai petunjuk agar orang taat beragama. Tapi, kalau
kita melihat ayat ini, inti dari hidayah sebenarnya adalah agar
kita mam­ pu melepaskan diri dari ketakutan dan kesedihan, dua
faktor utama dari kegelisahan dan depresi.

Cara yang dipakai oleh Tuhan untuk melepaskan manusia
dari depresi bukan dengan menghilangkan bahaya (yang mem­
buat kita takut) dan melepaskan manusia dari rasa kehilanga­ n
(yang membuat kita sedih).

Kita akan tetap kehilangan harta atau anggota keluarga,
meski kita menjalani hidup sesuai dengan hidayah. Meski hidup
dalam bimbingan Allah, manusia tak akan terlepas dari bahaya
yang mengintai. Itu sudah sunatullah, sesuatu yang alami.

Fungsi hidayah bukan untuk menghilangkan bahaya dan
kehilangan. Fungsi hidayah justru lebih mendasar, yaitu mem­
buat manusia mampu mendapatkan ketenangan, meski mereka
kehilangan atau berpotensi kehilangan.

Hidayah adalah alat untuk mengatasi kesedihan dan ke­
takuta­n, bukan untuk menghindari kehilangan yang menjadi
penyebab keduanya.

Petunjuk kepada Nabi Adam saat itu merupakan hidayah
per­tama yang Allah berikan kepada umat manusia. Bisa di­kata­
kan, inilah “agama” pertama yang diturunkan.

Itu artinya, agama diturunkan untuk mengatasi ket­idak­
bahagiaa­ n. Agama ada untuk membuat kita bahagia.

Artinya, Tuhan ingin kita bahagia, karenanya Tuhan me­
nurun­kan agama.

Kebahagiaan seperti ini tidak hanya dirasakan oleh Nabi
Adam, tapi juga oleh banyak manusia setelahnya. Itulah kenapa
di dalam surat Al-Fatihah kita selalu berdoa:

“Tunjukkanlah kepada kami
jalan yang lurus, yaitu jalan
orang-orang yang telah kau beri

kebahagiaan ... ”

Dalam ayat itu, Allah memakai fi’il maadhi (kata kerja lampau,
past tense) untuk menjelaskan tentang kenikmatan yang telah
diberikan-Nya di dunia, bukan kebahagiaan yang nanti ada di
akhirat.

Kalau memang begitu maka kita bisa pastikan
bahwa tujuan diturunkannya agama adalah untuk
menenangkan manusia, menghilangkan ketakutan
dan kekhawatiran yang saat itu menguasai mereka.

Intinya, agama ada untuk membahagiakan manusia, bukan
malah untuk menyengsarakan mereka di dunia.

Temukan rasa manis
Dalam dirimu sendiri

Kamu akan temukan rasa manis
Di semua hati
~Rumi


Click to View FlipBook Version