The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by gagasmedia, 2022-05-25 00:33:04

Amerta

Cala Aurelie

Keywords: AU,AlternateUniverse,NCTZEN,GagasMedia,Bacagratis,Novel

Amerta



Prolog

Katanya hujan bisa membawa kedamaian, kebahagiaan, dan
ketenangan tersendiri bagi orang-orang yang menantinya.
Namun, bagi beberapa orang lainnya, termasuk Ayas, semua ini tak
lebih dari sebuah kesialan belaka. Ia terpaksa berteduh karena tasnya
tidak tahan air. Kalau ia memaksakan diri untuk menerobos, sudah
pasti seluruh sketsa yang ada di tasnya akan rusak dan dirinya harus
begadang semalam suntuk lagi untuk membuat sketsa yang baru.

“Kehujanan juga?” tanya seseorangyang entah sejak kapan datang
dan ikut berteduh bersamanya di tempat itu. Juga, pertanyaannya
tadi, apakah itu benar-benar pertanyaan? Tidak bermutu sekali.

Ayas mengangguk pelan. “Iya.”
“Kalau gitu sama, saya juga.”
Ayas tidak menjawab lagi, ia hanya berdeham pelan lalu melihat
ke arah lain. Ia berusaha mencari fokus pada objek lain supaya laki-

1

laki di sebelahnya ini paham kalau dirinya sedang tidak ingin diganggu,
apalagi diajak masuk ke dalam percakapan tidak bermutu seperti tadi.

“Jurusan apa?”
GOD. Orang ini. Batin Ayas geram.
“Fashion.”
“Angkatan?”
“Dua ribu tujuh belas,” jawab Ayas seadanya.
Laki-laki itu mengangguk. Entah apa maksudnya, “Sama kalau
gitu, bedanya saya di kedokteran.”
Nggak ada yang tanya! Batin Ayas..
Oke, mungkin laki-laki ini mau menyombongkan diri karena dia
termasuk satu dari jutaan siswa yang beruntung mendapatkan kursi
di fakultas kedokteran di universitas ini. Lalu mungkin kedatangannya
sekarang untuk tebar pesona, berharap Ayas akan luluh dan tergila-gila
karena ketampanan dan background fakultasnya. Hell no. Dirinya sama
sekali tidak tertarik dengan laki-laki hanya karena faktor eksternalnya
saja. Buat apa tampan, pintar, dan terkenal, tapi kelakuannya ternyata
minus?
“Saya nggak seperti teman-teman yang lainnya, kok. Nggak ada
niat aneh-aneh. Hanya kebetulan mampir berteduh di sini karena
kehujanan sama kayak kamu. Jadi, jangan berpikir yang nggak-nggak,”
sahut laki-laki tanpa nama yang tentu saja membuat Ayas menegang
di tempatnya. Laki-laki ini … apa dia peramal?
“Dan saya juga bukan peramal seperti yang kamu pikirkan. Saya
cuma menebak-nebak saja, siapa tahu kamu mikir aneh-aneh tentang
saya.”
Tuh, kan!
Ayas memilih diam. Ia tidak berkomentar apa pun dan tidak
menjawab apa pun. Dalam hati, ia berharap Tuhan mengirimkan belas

2

kasih padanya dan hujan berhenti turun detik ini juga. Tujuanya satu,
supaya dirinya bisa terlepas dari kecanggungan aneh ini. Pasalnya
hanya berdua dengan orang asing yang asalnya entah dari mana,
lalu orang asing tersebut tampaknya dianugerahi kemampuan dapat
membaca pikiran orang. Bukannya itu seram? Untung-untung laki-
laki disebelahnya ini tidak menyunggingkan senyum menakutkan
atau menodongnya dengan senjata tajam. Karena jika iya, Ayas benar-
benar tidak bisa meminta pertolongan pada siapa pun. Mengingat
bahwa jarak ke gerbang fakultas lumayan jauh dan jika harus berteriak
sepertinya juga tidak ada yang akan mendengar. Jadi, disinilah dirinya.
Di tempat yang sama, dengan posisi agak menjauh dari orang tadi.
Kemudian Ayas berdoa dalam hati, supaya hujannya cepat-cepat
berhenti agar ia bisa segera pulang ke rumah dengan tepat waktu dan
pastinya selamat.

“Kamu benaran mengira saya orang jahat, ya?” orang itu masih
saja melemparkan pertanyaan yang menyebalkan untuk didengar.
Sudah tahu Ayas menjauh, masih saja bertanya-tanya.

“Saya nggak nyaman. Kita sama sekali nggak kenal dan kamu
sudah banyak tanya perihal ini-itu. Maaf kalau kamu sakit hati, tapi
saya benar-benar nggak nyaman dengan rasa keingintahuan kamu
itu,” akhirnya Ayas bisa meluapkan apa yang sudah hampir sejam
lamanya ia pendam.

Alih-alih mengerti, orang tadi malah tersenyum kecil sembari
mengeratkan jas almamaternya. “Kita bisa jadi teman.” ucap orang di
sampingnya lagi.Ayas langsung menoleh, menatap laki-laki itu dengan
mata nyalang dan membara. Bukan seperti ini cara untuk berteman.
Mereka bahkan baru bertemu tak lebih dari sepuluh menit yang lalu.
Dan pertanyaan aneh itu? Gosh. “Saya tidak berminat,” ucap Ayas
ketus.

3

“Jangan galak-galak. Kita ini satu kampus loh, siapa tahu, kan,
nantinya kita bertemu lagi di situasi yang berbeda. Ya, walaupun beda
fakultas, tapi tetap saja pasti ada peluang kita bertemu lagi. Mungkin
sekitar ... ”

Drrt… drrtt…
Getaran dari ponsel Ayas secara tidak langsung menghentikan
kalimat si laki-laki aneh ini. Namun, Ayas tau telepon ini juga bukan
pertanda baik. Pasti akan ada sesuatu yang terjadi.
“Halo, Ma…”
“Iya, aku masih di kampus.”
“Nggak tau, nih, hujannya belum juga reda.”
“Aku nggak bisa pastiin sampai pukul berapa.”
“Tapi, Ma. Aku—halo? Halo, Ma…”
Ayas menurunkan ponselnya, menatap layarnya yang sudah
menghitam karena ikut mati setelah sambungan teleponnya terputus.
Dalam hati, ia berharap-harap bahwa hujan akan segera berhenti,
sehingga ia tidak harus menerjang tetesan air yang keroyokan jatuh
ke bumi. Setidaknya untuk sketsanya. Tolong kali ini saja.
“Buru-buru banget?”
Ayas tidak menjawab.
“Butuh bantuan, nggak?”
Ya coba dia pikir saja sendiri.
“Saya mungkin bisa bantu.”
Nyenyenye, berisik!
“Kalau saya pinjamkan payung gimana?”
Barulah Ayas menengok. Demi Tuhan, kalau dari tadi dia punya
payung kenapa nggak balik duluan aja sih? Kenapa harus ikut berteduh di
sini?Batinnya ikut memprotes.
“Di arah jam sembilan, jangan nengok! Pokoknya di sana, ada
dua cowok, masih muda, tapi kayaknya nggak seumuran sama kita.

4

Mereka lihat ea rah kamu dari tadi sepertinya. Saya pikir kehadiran
saya di sini bisa bikin mereka pergi, tapi sekarang mereka masih di
sana. Masih mengamati kamu.”

Ayas tidak berani menoleh, tapi pantulan bayangan dari etalase
di samping laki-laki misterius ini menjawab semuanya. Benar, ada
mereka di sana. Dan benar juga, mereka menoleh ke arahnya. Tubuh­
nya menegang sekarang.

“Saya nggak tau kamu bakalan suka ini atau enggak, tapi saya
betulan berniat untuk nolong kamu dari mereka--”

“Tolong.” Ayas menatap laki-laki menyebalkan itu dengan tatapan
nanar dan sarat akan permintaan tolong. “Tolong bantu saya…”

Keduanya terdiam sesaat. Waktu perlahan melambat, tidak
seiring dengan irama jantung keduanya yang malah berdetak dua kali
lebih cepat karena ketegangan yang terjadi saat ini.

“Sini dan permisi sebelumnya.” Laki-laki itu menariknya untuk
mendekat. Dibukanya payung yang ia bawa tadi lalu satu tangannya
menarik Ayas hingga tidak ada jarak bagi keduanya. “Dengar. Kalau
saya bilang lari, kita harus lari sekencang mungkin. Kalau barang kamu
ada yang jatuh, biarin aja. Nyawa itu nomor satu. Kalau beruntung,
kita bisa balik lagi ke sini nanti. Jangan sampai jatuh, karena saya
nggak akan berbaik hati untuk menyerahkan nyawa saya hanya untuk
menyelamatkan kamu. Lalu satu lagi, pegang tangan saya erat-erat.
Kalau kamu tertinggal, saya nggak akan berbalik arah lagi cuma untuk
nolong kamu. Ngerti?”

Ayas mengangguk. Dalam hitungan detik, keduanya sudah
berlari menembus hujan lebat dan angin kencang. Keduanya tidak
peduli kalau-kalau dua orang tadi akan mengejar mereka karena
mangsanya sudah kabur. Dan di bawah lebatnya hujan ini, keduanya
tidak hanya menerobos rinainya. Mereka juga menebus celah takdir

5

yang akan mempersatukan keduanya, cepat atau lambat di masa yang
akan datang.

“Anak zaman sekarang, mikirnya kalau hujan-hujanan berdua,
tuh, so sweet kali ya? Nggak tau aja kalau sudah sakit nanti ngerepotin
orang tuanya,” sahut salah satu dari kedua orang yang Jeff dan Ayas
kira adalah preman atau penjahat atau sejenisnya.

“Emang, padahal mah neduh begini lebih baik. Lebih aman. Eh,
ngomong-ngomong angkot mana, ya? Kenapa nggak lewat-lewat dari
tadi?”

6

CHAPTER 1

A Close Call

Semesta mempunyai caranya sendiri dalam mempertemukan
manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Saking
banyaknya, kita sebagai manusia dibuat tidak punya banyak waktu
untuk memikirkan, apa rencana semesta yang akan mengejutkan
kita selanjutnya. Apakah sebuah kebahagiaan? Atau malah sebuah
kepiluan? Entah, yang pasti kita sebut saja itu kejutan. Like… surpriseee.

Sama seperti manusia pada umumnya, semesta juga memberikan
kejutan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Ayas. Semuanya
terlalu tiba-tiba dan berlalu sekejap mata. Setelah keluar dari kelas
setelah mata kuliah terakhir selesai dan berjalan beberapa langkah
di koridor, ponsel Ayas berdering. Alih-alih menanyakan “Bagaimana
kuliahmu?” atau “Hari ini lancar, kan?” Ayas malah dikejutkan dengan
satu kalimat menohok yang lantas membuatnya ingin memuntahkan
isi perut kosongnya saat ini.

7

“Saya sudah membicarakan tentang perjodohan kamu dengan anak
sahabat saya dan mereka juga setuju. Kamu tahu kan perusahaan saat ini
sedang krisis? Saya harap kamu bisa berguna untuk kali ini.”

Like, damn. Ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya. Ini juga bukan
zaman Kolonialisme yang bisa seenak jidat menukar anak demi
kesepakatan antara si membutuhkan dan si punya kuasa. Ini zaman
modern, zaman revolusi industri 4.0, dan zaman di mana internet
sudah menjadi kebutuhan primer setiap orang. Lantas, apa masih
ada seorang pebisnis yang melakukan perjodohan putra dan putrinya
hanya demi menyelamatkan perusahaan?

Ayas merebahkan dirinya di atas sofa. Wajahnya masam pertanda
sedang marah, kesal, dan kecewa dengan wanita di hadapannya.
Wanita yang sekarang justru sibuk memeriksa beberapa berkas yang
berserak di atas meja. Dalam hati, Ayas juga meragukan apakah wanita
yang ia panggil Mama itu menyadari kehadirannya di sini. Yang Ayas
tahu, bekerja adalah satu-satunya hal yang bisa mamanya lakukan.

“Iya, tolong dikirim lewat email saja.”
“Paling lambat sore ini ya, Saras.”
Orang itu masih berkutat dengan telepon gengamnya.
“Sekalian atur jadwal dengan client baru kita.”
“Oke, oke. Terima kasih.”
Kursi berbalik, menampilkan wanita 47 tahun yang terlihat jauh
lebih muda dari umurnya sekarang. Tubuhnya ramping, tinggi, dengan
rambut kecokelatan yang justru terlihat lebih cocok jadi model.
Wanita itu berjalan dengan anggun menghampiri sofa tempat Ayas
duduk, lalu ikut duduk di sana. Ayas benci situasi ini, situasi di mana
ia ditatap dengan intens seakan ditelanjangi dari ujung rambut hingga
ujung kaki.
“Kalau kamu datang untuk menolak, tentu kamu sudah tahu apa
jawaban yang akan saya berikan, bukan?”

8

Ayas menghela napas berat. Tentu ia tahu, menolak apa yang
sudah mamanya tentukan adalah sesuatu yang mustahil dilakukan.
Kalau sudah A ketentuannya, mau Ayas menangis darah sekalipun
juga tidak akan ada yang berubah. Jadi, kedatangan Ayas di sini
tentu saja bukan untuk itu, melainkan sesuatu yang lain. Sebuah
kese­p­ akatan, misalnya? Sudah rahasia umum sepertinya kalau para
pebisnis menyukai kesepakatan, apalagi kalau kesepakatan itu meng­
untungkan kedua belah pihak.

“Aku tau, maka dari itu aku datang ke sini bukan untuk menolak,
tapi untuk membuat kesepakatan sama Mama,” ucapnya setelah
merasakan debaran di jantung yang semakin kuat. Ada keraguan
besar apakah nanti tawaranya bisa diterima atau tidak.

Fara, wanita yang ia panggil Mama, sontak mengerutkan dahi.
Entah karena penasaran atau malah tidak suka dengan pernyataan
yang baru saja Ayas lontarkan. “Apa itu?”

Ayas mengeluarkan ponselnya, kemudian menekan tombol
rekam suara. “Just make it simple, ini cuman perjodohan karena bisnis.
Jadi, aku mau setelah perusahaan ini kembali stabil, hubunganku juga
ikut berakhir.”

Coba tebak, ekspresi apa yang pertama kali Fara keluarkan?
Marah? Sedih? Kecewa? Salah. Sebaliknya, wanita itu malah menyung­
gingkan senyuman hingga matanya ikut menyipit. Tidak ada aura
kemarahan dalam wajahnya, Ayas yakin itu. Namun, kenapa mamanya
malah tersenyum?

“Fine. Just do what you want selama perjodohan berlangsung. Mau
kamu jaga jarak sama dia atau justru jatuh cinta sekalipun. Silakan,
itu lebih baik malah. Setelah itu mau kamu buang dia juga silakan
saja, Mama nggak akan melarang. Tapi…” kalimatnya menggantung
di udara. “Pastikan aliran dana perusahaan calon mertuamu nantinya
mengalir deras ke perusahaan ini.”

9

“Hanya itu?”
“Ya, hanya itu. Kamu tau kan perusahaan ini segala-galanya?
Mama mengangkatnya dari keterpurukan setelah laki-laki bajingan
itu pergi meninggalkan banyak hutang.” Fara berbicara dengan mata
yang berapi-api dan sarat akan kebencian pada tokoh laki-laki yang
dimaksud. “Kamu nggak mau, kan, usaha Mama berakhir sia-sia?” kali
ini Fara melemparkan pertanyaan dengan nada sendu pada putrinya,
Ayas. Ia tau Ayas mudah luluh, benteng pertahanannya tipis dan
mudah sekali untuk diterjang asal tau titik lemahnya.
Ayas menyisir rambutnya ke belakang. Matanya beralih tatap
pada objek lain, objek apa pun selain mamanya. “Oke. Aku rasa
semuanya sudah clear and i have to go, tugasku banyak dan harus
segera selesai,” ia berdiri untuk mengakhiri percakapan. Kemudian
Ayas berjalan keluar dari ruangan ini, karena merasa atmosfernya
sudah tidak bersahabat lagi. Sebelum keluar, Ayas merasa lengannya
ditarik, ditekan kuat-kuat hingga ia merintih kesakitan dalam hati.
“Pastikan rencana ini berhasil atau kamu tau akibatnya.”
Kamu tahu akibatnya.
Kamu ... tahu akibatnya.
Kamu … tahu ... akibatnya.
Cekalan tangannya langsung terlepas begitu saja saat suara
ketukan pintu menggema, lalu Fara kembali tersenyum, mengelus
surai lembut putrinya dengan wajah yang bersahabat. Detik selan­
jutnya, Ayas tahu alasannya, ternyata sekretarisnya masuk ke
ruangan untuk mengantarkan beberapa dokumen pekerjaan.“Aku…
aku pulang,” ucapnya terbata-bata lalu pergi dari ruangan yang layak
dinobatk­ an sebagai panic room, karena Ayas selalu terkena serangan
panik jika berlama-lama di ruangan itu.

10

DI sinilah ia sekarang. Kamar bertema vintage, dengan banyak sketsa
yang tertempel di hampir seluruh sisi dinding. Ayas memejamkan
matanya sejenak, mencoba menenangkan tubuh dan pikirannya
sebentar. Tasnya dibiarkan tergeletak di lantai, isinya berserakan,
sepatunya masih terpasang sempurna, dan baju yang masih belum
diganti sejak dua jam sedangkan dirinya sudah merebahkan diri di
atas kasur. Dirinya hanya terdiam, tetapi kepalanya penuh memikirkan
apakah langkah yang ia ambil ini sudah tepat? Apakah ia sudah yakin
untuk menerima perjodohan di sisa masa kuliahnya ini? Apakah
ini pilihan terakhirnya? Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang
bersarang di dalam kepala.

Lelah dengan semua pemikirannya, Ayas memilih untuk bangun.
Ia meregangkan tubuhnya sejenak, lantas melirik ke arah kaca jendela.
Sontak senyumnya mengembang, melihat siapa yang ada di sana
sembari melambaikan tangan ke arahnya. Ayas mengisyaratkan untuk
langsung masuk, lalu dalam waktu yang tak lama, dua orang yang tadi
ia lihat melalui jendela kamarnya sudah berada di kamarnya dengan
napas terengah-engah. Dua orang itu sahabat karibnya. Si tinggi
bak model dengan rambut hitam legam, Karin. Dan si bule dengan
rambut kecokelatan itu Gisa. Entah apa niat mereka berdua datang
merecokinya datang ke mari.

“Now what?” Gisa membuka percakapan. Dirinya jenuh melihat
Ayas yang mondar-mandir bak setrikaan.

“Gue bingung.”
“Iya, bingung kenapa, darling?” kini Karin ikut menimpali.
“Gue mau dijodohin…”
Gisa terbatuk-batuk, sedangkan Karin langsung bangun dari akti­
vitas rebahannya. Keduanya mungkin tak menyangka bahwa sahabat
karibnya yang kelakuannya masih cocok disandingkan dengan anak

11

kelas satu sekolah dasar ini tiba-tiba mengumumkan akan dijodoh­
kan. Catat, DIJODOHKAN. Di semester tua yang sebentar lagi akan
sibuk dengan skripsi dan segala kericuhan lainnya.

“Gue syok,” ujar Karin sambil memperbaiki mimik wajahnya.
“Wait. Ayas lo… beneran? Mau dijodohin? I mean, dijodohin sama
orang yang gue dan Karin nggak pernah tau gimana bentukannya,
sifatnya, bibit, bebet, dan bobotnya. Are you kidding me?” ujar Gisa
sembari melangkah mendekati Ayas.
Sudah diduga. Gisa pasti akan bawel sejadi-jadinya. Sahabatnya
yang satu itu memang agak protektif dan … lebay. “Gue juga nggak
rencanain ini. Semuanya tiba-tiba. Nyokap telepon dan bilang mau
jodohin gue sama anak teman baiknya. Gue juga sama shock-nya
kayak kalian .”
“Gosh, nyokap lo gue rasa fans beratnya Siti Nurbaya, deh.”
“Gisa …” Karin memperingatkan. “Tapi, Yas, lo yakin? Maksudnya,
lo sendiri memang sama keputusan perjodohan itu?”
Ayas ikut duduk di atas kasur, berada di antara Gisa dan
Kamemang. “Emang gue punya pilihan?” satu kalimat dari Ayas
berhasil membuat ketiganya dilanda keheningan. Mereka sama-
sama tahu, di sini Ayas adalah pihak tanpa hak. Tidak ada apa pun
yang bisa ia jadikan tumpuan. “Tapi, lo berdua tenang aja. Gue udah
bikin kesepakatan sama nyokap, kalau hubungan gue nantinya akan
berakhir begitu perusahaan nyokap stabil,” ucapnya menenangkan
kedua sahabatnya.
“Poor you.” Gisa memasang mimik wajah sedih, lalu memeluk
Ayas dari samping. “God. Gue nggak pernah ngebayangin sedikit pun,
kalau akhirnya bakal kayak begini.”
Karin di sisi yang lain ikut memeluknya. “Apa pun keputusan yang
lo ambil, gue akan jadi orang yang selalu dukung lo dari belakang. Cari
gue kapan pun lo butuh bantuan, ya? Jangan hadapi sendiri.”

12

Hati Ayas menghangat. Di antara ketidakberuntungan yang
ia arungi di kehidupan ini, ternyata semesta sebaik ini memberikan
orang-orang yang menyayanginya lebih dari apa pun. Membuatnya
merasa dihargai dan dicintai di waktu yang bersamaan. Di antara
kesedihan yang menghampiri, baik Gisa maupun Karin selalu berada
di sisinya. Mereka memastikan bahwa Ayas tak sendiri. Bahwa mereka
ada dan siap diandalkan untuk berbagi masalah.

Semesta adil. Ayas percaya itu.
“Now, what?” Gisa kembali buka suara.
“M-maraton film?” saran Karin.
“Twilight?”
“Gosh, Gisa, i will kill you, kalau malam ini kita maraton kisah cinta
Edward-Bella lagi. Gue bahkan sampai hafal di luar kepala alur dari
awal sampai akhir.” Karin melakukan penolakan.
“Alright, alright. What about Riverdale?” Ayas menengahi.
“BIG NO!” Gisa dan Karin kompak menolak.
“Terus apa, dong?”
“NGGAK TAU.” Jawab mereka bersamaan.
Dan kini Ayas harus menghadapi masalah keduanya hari ini,
menentukan tontonan apa yang akan mereka lihat untuk mengakhiri
malam yang semakin larut dan menyambut pagi di hari Sabtu.

13



CHAPTER 2

Every Cloud
Has a Silver Lining

Sabtu ini akan menjadi Sabtu paling indah dalam sejarah hidup
Ayas. Penyebabnya tidak lain karena setelah sekian lama, akhirnya
mamanya menghubunginya terlebih dahulu tanpa intensi penting.
Hanya sekadar makan siang bersama, katanya. Membayangkan
hal itu saja sudah mampu membuat bibirnya mengulas senyum
secerah matahari pagi. Saking antusiasnya, Ayas memutuskan untuk
berdandan secantik mungkin demi membuat mamanya senang. Ia
sibuk memilih pakaian mana yang harus digunakan untuk pertemuan
nanti, hingga kasurnya dipenuhi oleh baju-baju yang berserakan.
Namun, Ayas memilih tak peduli, kamarnya bisa dirapikan nanti, tapi
kalau tawaran seperti ini pasti tak datang dua kali.“Inhale, exhale …
again, inhale, exhale … ” ujarnya saat sedang berdiri di depan cermin
besar di sudut kamar. Ayas tak bohong, ia benar-benar gugup saat
ini. Berulang kali tangannya mengepal untuk menyamarkan rasa

15

gugupnya, tapi yang terjadi justru dirinya makin dilanda kegugupan
yang lebih besar.

“Bisa. Lo pasti bisa, Ayas,” ucapnya menyemangati dirinya sendiri.
Setelah rasa gugupnya reda, barulah ia memberanikan diri untuk
berjalan keluar rumah. Meskipun sepanjang jalan ini beberapa kali
Ayas merasa detak jantungnya seperti bekerja dua kali lebih cepat
dari biasanya, ia tetap melanjutkan langkah kakinya menuju ke halte
bus terdekat. Dia tidak mau sampai datang terlambat. Dia tidak mau
membuat mamanya menunggu. Karena dia tahu, waktu bersama
mamanya sangat berharga. Lebih berharga dari apa pun.
Di tengah hiruk-piruk padatnya manusia yang memenuhi halte
siang ini, Ayas ikut memperhatikan sekelilingnya. Ada yang sibuk
bermain ponsel, ada yang tengah bersenda gurau dengan temannya,
ada juga yang sedang sibuk memperbaiki riasan wajahnya supaya
penampilannya tetap stand out. Namun, dari semua itu, yang paling
membuat hatinya ngilu adalah pemandangan seorang ibu dan
anaknya yang masih berseragam merah putih. Keduanya tertawa,
sambil sesekali menggoda satu sama lain. Suaranya memang tidak
seberapa mendominasi daripada suara-suara yang lain, tapi dari
rautnya, matanya, dan tiap inci lengkungan di bibir keduanya, Ayas
paham betul bahwa keduanya sedang diselimuti kebahagiaan.
Hal untuk sekarang sangat mustahil Ayas dapat dari mamanya.
Tapi tak apa, selama mamanya masih bisa tersenyum dan tertawa
walau bukan karena dirinya, Ayas sudah cukup bahagia. Karena
baginya, tak ada hal yang lebih menyenangkan daripada melihat
mamanya bahagia.
Ayas tersadar dari lamunannya begitu melihat pasangan ibu dan
anak tadi bangkit dari posisinya masing-masing. Begitu menoleh ke
samping, ternyata bus yang di tunggu sudah terparkir sempurna di

16

depan halte. Maka, dengan cepat ia melangkah mendekati pintu bus
dan masuk ke dalam sana.

Di dalam, Ayas sempat mematung sejenak di tempatnya. Ia
memperhatikan kursi-kursi yang hampir seluruhnya sudah terisi,
kecuali satu kursi paling belakang dan satu kursi di depannya. Tanpa
pikir panjang, Ayas mengambil bagiannya di seat nomor dua dari
belakang, lalu duduk dengan tenang di tempat itu. Ia merebahkan
punggungnya ke belakang, merasakan sensasi ketenangan sesaat
setelah kakinya hampir mati rasa karena harus menunggu bus sambil
berdiri. Di tengah-tengah ketenangannya, manik matanya tidak
sengaja menatap seorang pemuda yang baru saja masuk ke dalam bus
dengan napas tersengal-sengal. Pemuda itu tersenyum ke arahnya.

Itu dia, kan?
Rasa penasarannya makin membesar tatkala menyaksikan
pemuda yang sedang bertatapan dengannya itu berjalan ke arahnya
dengan senyuman hangat terlukis di wajahnya. Pemuda itu duduk
tepat di belakangnya. Ayas sempat menoleh sekejap ke belakang, tapi
cepat-cepat dia menarik kepala saat dirinya tertangkap basah oleh
sang adam.
Sial. Malu banget gue.
Ayas berusaha untuk mengacuhkan kehadiran pemuda di
belakangnya itu. Ia memilih untuk menyumbat telinganya rapat-rapat
dengan AirPod, lalu memutar lagu-lagu favoritnya untuk menemani
perjalanan hari ini. Namun, belum lama ketenangannya berlangsung,
tiba-tiba tubuhnya dibuat merinding lagi karena suara lain yang bukan
berasal dari lagunya memasuki indra pendengarannya.
“Di dunia ini nggak ada yang namanya kebetulan, saya yakin
pertemuan kita memang sudah ditakdirkan untuk terjadi. Dan, yah,
senang bisa bertemu dalam satu garis takdir yang sama lagi,” ujarnya
dengan suara rendah. Merasa dirinya tak akan mendapatkan respon

17

dari si lawan bicara, pemuda itu memilih menarik diri untuk kembali
bersandar di tempat duduknya. Matanya menatap teduh ke depan, ke
arah Ayas yang sedang larut dalam pikirannya sendiri.

Memang benar tidak ada sebuah kebetulan dalam mekanisme
kehidupan yang fana ini. Semua yang berkaitan dengan apa yang
terjadi semata-mata adalah takdir yang sudah diatur oleh Yang
Mahakuasa. Namun kali ini, entah apa yang sedang direncanakan
oleh-Nya, yang jelas Ayas hanya bisa berharap bahwa hal-hal baik
akan datang menghampirinya. Karena dalam hidupnya, Ayas hanya
ingin bisa menjalani hidup dengan baik. Sama seperti manusia normal
lainnya.

SETELAH melewati perjalanan panjang yang melelahkan, akhirnya
ia bisa bernapas lega. Senyuman lebar menghiasi wajahnya ketika
melihat bangunan restoran yang hampir keseluruhannya didominasi
oleh warna cokelat. Tak begitu banyak ornamen yang disuguhkan di
beranda depan. Namun, setelah masuk ke dalamnya, mata pengunjung
akan dimanjakan oleh pahatan dan beberapa lukisan aliran barok. Di
setiap sudutnya ada beberapa potongan bunga segar yang sengaja
ditata elok. Ada juga lampu-lampu kristal gantung yang menjuntai
panjang, tapi sekarang tidak dinyalakan karena hari masih terang. Dan
terakhir, yang paling membuat Ayas terkesan adalah musik klasik yang
mengalun indah melalui pengeras suara. Bach? Atau Copin? Ayas tak
tahu, yang jelas musik itu cukup menciptakan kesan hangat sekaligus
tenang di seluruh restoran ini. Harus Ayas akui, tempat yang dipilih
mamanya kali ini tidak begitu mengecewakan.

Pandangannya beredar menyusuri tiap sudut yang ada di lantai
ini, tapi di antara keramaian pengunjung hari ini, ia tak bisa menemukan

18

mamanya. Apakah mamanya belum datang? Namun, mengingat ini
sudah lebih 15 menit dari waktu yang dijanjikan sepertinya tidak
mungkin. Ayas tahu betul, mamanya sangat menghargai waktu.
Bahkan walau hanya sepersekian menit, waktu tetap berharga.

“Ada yang bisa saya bantu?” Ujar wanita yang berseragam
pelayan ramah. Sepertinya dirinya datang karena melihat Ayas yang
kebinggungan. “Maaf terlambat menyapa karena restoran sedang
sibuk-sibuknya saat ini.”

“Mba, untuk reservasi atas nama Fara…” ucap Ayas pelan.“Oh,
atas nama Fara di lantai atas, Mba. Silakan, tangganya ada di sebelah
sini.” Wanita itu menunjukan arah letak tangga menuju lantai dua
setelah mengecek tablet yang ada di tangannya.

“Ah, oke, terima kasih, ya.”
Segera Ayas melangkahkan kakinya ke lantai atas. Perasaannya
sudah tak karuan. Rasa gugup menguasai dirinya hingga hanya
menyisakan sepersen keyakinan. Namun, walaupun hanya sepersen,
nyatanya itu bisa membawanya sampai menginjakkan kaki di
lantai dua. Sepersen keyakinan yang ia genggam itu kini menjadi
penyelamatnya.
Bibirnya kembali mengeluarkan sabit indah tatkala melihat
mamanya sudah menunggu di salah satu meja sambil bermain ponsel.
Cantik. Mamanya selalu cantik. Walaupun hanya dengan kemeja
putih dan celana bahan hitam, mamanya terlihat cantik berseri.
Kakinya mulai berjalan menyusuri karpet merah yang melapisi
lantai. Walau dadanya bergemuruh kencang, Ayas tetap melanjutkan
langkahnya. Tak peduli dengan tangannya yang sudah dingin dan
kakinya yang mulai gemetar.
“Ma,” panggilnya saat sudah berdiri tepat di sebelah kiri
mamanya. Sebisa mungkin ia tersenyum manis, persis seperti anak
kecil yang sedang membujuk mamanya supaya bisa makan permen.

19

Namun, memang sepertinya semesta tidak mau membuatnya
besar kepala karena senang yang berlebihan. Yang diajak bicara malah
tidak menoleh sedikit pun. Tak acuh. “Ya. Silakan duduk,” jawabnya
singkat sembari matanya masih lekat menatap gawainya.

Suasana hening beberapa saat. Mamanya masih setia meman­
dangi ponsel, sedangkan Ayas dilanda kecanggungan luar biasa.
Yang ia lakukan hanyalah membolak-balikkan buku menu, berharap
mamanya segera membuka percakapan.

“Pesan saja. Saya masih sanggup bayar bill-nya.”
Ayas menoleh lalu tersenyum canggung. “Nanti aja, deh,”
balasnya langsung. “Ma? Habis ini Mama balik ke kantor lagi?”
Fara kemudian hanya menjawab dengan gumaman pelan.“Nanti
malam pulang jam berapa?”
“Belum tau.”
“Makan malam di rumah nggak?”
“Belum tau.”
“Kalau besok, rencananya mau ke—”
“—kamu bisa diam saja, nggak?” potong Fara cepat.
“Eh, maaf. Aku ganggu Mama, ya?”
Fara meletakkan ponselnya, seperti bersiap untuk meledakkan
amarahnya. Hanya melihat wajahnya saja, Ayas tahu kalau posisinya
sedang tidak aman. Maka dari itu, ia memilih untuk menunduk
dalam-dalam, berharap amarah mamanya reda karena tidak melihat
wajahnya.
Namun, beberapa detik setelah ia jatuh pada kepasrahan dan
memilih untuk menunduk, yang ia dapatkan justru tarikan pada
tangannya seperti sebuah perintah. Perintah yang secara tidak lang­
sung me­nyuruhnya untuk segera berdiri. Ayas menoleh, menatap
wajah mamanya yang justru tersenyum alih-alih marah. Kemudian,

20

ia menoleh ke arah yang berlawanan, ke arah netra mamanya lekat
memandang.

“Ma, itu siapa—”
“Hai, akhirnya kalian sampai juga.” Fara langsung memotong
kalimat Ayas. Ia seakan tidak peduli putrinya yang sedang kebingungan.
“Lama nggak bertemu kamu, Fara,” ucap sang lawan bicara
yang berusia sebaya dengan Mamanya, mereka bertukar pelukan
hangat. Pria di sampingnya, yang Ayas tebak adalah suami dari teman
mamanya itu juga ikut tersenyum ke arah mamanya. Dan … pemuda
di belakang itu. Pemuda itu lagi. Pemuda yang ia temui di bus dan
juga di depan toko yang sudah tutup saat sedang meneduh dari hujan.
“Ah, iya, ini anakku. Jeffrey namanya,” ucap wanita asing itu saat
memperkenalkan pemuda di belakangnya sebagai anaknya.
“Halo, Tante.” Jeff mengulurkan tangannya yang disambut hangat
oleh Fara.
“Sudah besar ya, Jeff? Long time no see.”
Apakah di sini Ayas adalah makhluk transparan? Kenapa
tidak ada yang menegurnya? Atau paling tidak memberikan sedikit
penjelasan tentang apa yang sedang terjadi di sini. Bukankah ini
hanya acara makan siang sederhana antara dirinya dan mamanya?
Kenapa berubah menjadi acara reuni dengan teman lama?
“Ini Ayas, kan? Ya ampun, cantik sekali.”
Ayas hanya tersenyum kikuk sebagai balasan. Namun, rasa nyeri
di kakinya seperti sebuah sinyal yang memaksanya untuk segera
menjawab pertanyaan itu. “Makasih, Tante.”
Beberapa menit setelahnya, mereka kembali duduk. Ayas masih
tetap pada tempatnya. Hanya saja tepat di depannya, di seberang
meja, pemuda yang baru saja ia ketahui namanya adalah Jeffrey
terduduk manis. Bertingkah seolah tak pernah ada sesuatu yang

21

terjadi di antara mereka. Beberapa kali pemuda itu menyunggingkan
senyum hingga lesung pipinya muncul. Terlihat lucu. Namun, tetap
saja Ayas tidak suka.

Samar-samar, di antara pikirannya yang sedang berkelana jauh
entah ke mana. Ia mendengar pembahasan mengenai topik yang
paling memenuhi kepalanya belakangan ini sekaigus sebagai topik
yang paling ia hindari. Perjodohan.

Berbeda dengan Ayas yang jelas merasa terganggu. Jeffrey
di depannya hanya asyik tersenyum dan beberapa kali menimpali
ketika ditanya. “Bagaimana menurut kamu, Jeff?” tanya Fara singkat,
tatapannya hangat.

Ayas memandangnya heran. Kenapa dia bisa sesantai itu?
Padahal ini pembahasan serius yang berkaitan tentang masa depannya
nanti. Masa iya, dia mau dijodohin sama orang yang bahkan dia nggak
tau gimana kepribadiannya?

“Kalau Ayas, bagaimana?” pertanyaan itu sontak meng­
interupsinya untuk segera kembali pada kenyataan. Semua pasang
mata di meja ini memandangnya, seperti menantikan jawaban apa
yang akan ia berikan.

“Iya.” Ayas sedikit memberikan jeda.
“Iya setuju?” ucap mama Jeff.
“Oh, iya, setuju,” lanjutnya.
Ayas bahkan tidak tahu ‘setuju’ apa yang mereka maksud. Ia
hanya menjawab dengan ‘iya’ karena lagi-lagi kakinya merasa nyeri
karena ditekan oleh sesuatu di bawah sana.
“Aku ke toilet sebentar, ya?” interupsinya di tengah-tengah
obrolan yang sedang berlangsung. Setelah mendapat persetujuan,
barulah ia bisa lari sejenak dari lingkaran setan ini.

22

SAAT Ayas mengatakan ingin pergi ke toilet, ia tidak benar-benar
pergi ke sana. Buktinya, sekarang ia sedang duduk di tempat ini. Di
depan restoran yang menyediakan beberapa kursi panjang, kursi yang
biasa diduduki oleh petugas parkir. Namun, berhubung tidak ada
petugas parkir yang duduk di situ, ya dia tempati saja.

Sejujurnya, di tempatnya ini lumayan panas. Berbeda sekali
dengan di dalam yang terbantu oleh belasan pendingin ruangan, di
tempat ini justru tertimpa panas matahari. Bulir-bulir keringat mulai
berjatuhan di dahinya, tapi Ayas tidak peduli. Daripada harus kembali
ke dalam sana, ia lebih memilih gosong karena terpanggang matahari
yang sedang terik-teriknya.

Lagi-lagi, semesta itu tidak bisa ditebak memang. Namun, untuk
yang satu ini, level tidak bisa ditebaknya sangat jauh dari perkiraan.
Jangankan untuk dijodohkan, berpikir mamanya akan peduli apakah
ia menjalin hubungan dengan orang lain saja tidak pernah. Yang Ayas
tahu, mamanya selalu sibuk. Orang sibuk yang tidak mau diganggu,
apalagi dengan perkara picisan seperti ini.

Maka, di sinilah ia sekarang. Duduk di kursi panjang dengan
mata menyipit karena silau matahari begitu mengusik bola matanya.
Setidaknya untuk beberapa saat ia rasa akan lebih baik untuk berdiam
diri di sini dahulu.

“Ternyata kamu lebih suka AC alami, ya, daripada AC elektronik
di dalam,” suara itu membuat Ayas hampir melempar ponselnya ke
tanah. Ia mendelik kesal.

“Ngapain, sih?”
“Nemenin kamu.”
Ayas makin kesal dibuatnya. Tujuan ia menyingkir dari dalam
sana, kan, untuk menghindar. Kenapa malah ketemu di tempat ini?
“No need. Thanks,” jawab Ayas singkat.

23

“Jangan galak-galak dong, calon jodoh.”
“LO—” hampir saja ia ingin memprotes dua kata terakhir yang
meluncur dari bibir lelaki itu. Namun, ia sadar, itu tidak salah. Ya,
memang mereka dijodohkan, kan?
“Apa? Memangnya salah?” ucap orang di depanya dengan raut
muka yang sulit ditebak.
“Saya nggak minat marah-marah di sini. Jadi, tolong, tinggalin
saya sendiri di sini.”
“Saya nggak mau ninggalin perempuan.”
Ayas menatapnya heran.
“Saya nggak mau ninggalin kamu,” lanjutnya.
Kalau kalimat itu datang dari orang yang sangat ia cintai, mungkin
Ayas akan langsung menangis terharu. Namun, ini berbeda. Laki-laki
di hadapannya ini bukan siapa-siapanya. Tidak ada ikatan apa pun di
antara keduanya. Kecuali perjodohan bodoh yang direncakan kedua
orangtua mereka.
“Jangan drama, deh.”
“Kenapa, sih, kamu selalu marah-marah sama saya?”
“Saya nggak akan marah-marah kalau kamu nggak nyebelin
kayak gini,” jawab Ayas ketus.
“Niat saya kan baik. Saya cuma mau nemenin kamu.”
“Saya nggak butuh ditemenin.” Ayas memicingkan mata, ber­
usaha menghalau cahaya matahari yang langsung mengenai mata­
nya.“Tapi, kamu butuh teman,” ucap Jeff yang kemudian langsung
mengisi tempat duduk di sisi Ayas yang kosong. Meskipun dihadiahi
tatapan marah dari Ayas. Jeff memilih tak peduli.
“Saya nggak butuh siapa pun. Nggak teman, nggak kamu, nggak
siapa pun. Jadi, tolong, jangan usik saya lagi.”
Telak. Jeff bahkan tidak bisa berkata apa pun saat rentetan kalimat
itu keluar dengan lancarnya dari belah bibir wanita di depannya.

24

Matanya menatap serius. Tidak ada keraguan yang terpancar dari dua
bola mata hitam pekat itu.

“Saya ganggu—”
“Iya, kamu ganggu.”
Jeff mengangguk tanda ia mengerti. Tubuhnya langsung ter­
angkat seiring dengan kakinya yang ikut melangkah menjauhi Ayas.
Ayas yang merasa sudah jengah tidak mau menoleh sama sekali.
Mood-nya langsung kacau.
Baru saja ia membuka ponselnya, ia kembali terkejut untuk ke­
dua kalinya. Di atas kepalanya, tersampir jaket yang tadi Jeff kenakan.
Jaket dengan aroma citrus yang menguar kuat. Jaket itu berhasil
menghalau matahari yang sejak tadi menyerang wajahnya.
“Jangan dilepas, supaya kamu ada alasan kenapa lama baliknya
habis dari toilet,” katanya, kemudian kembali berjalan masuk ke dalam
restoran.
Sedangkan di tempatnya kini, Ayas terdiam membatu. Dadanya
bergemuruh kencang. Entah karena terkejut atau karena hal lain, yang
jelas Ayas tidak bisa mendefinisikan debaran kencang di dadanya saat
ini.

25



CHAPTER 3

To Hold Out
an Olive Branch

Pukul satu siang. Di hari Minggu. Ayas baru terbangun dari
tidurnya, matanya mengerjap pelan. Rasanya seperti semua lelah
dan penat selama seminggu kemarin terbayarkan. Seperti saat ini,
matahari sudah tinggi dan Ayas masih tak beranjak dari atas kasur. Ia
tidak hanya melewatkan makan pagi, tapi makan siang juga. Pantas
saja, perutnya sudah kelaparan sekarang. Matanya baru benar-benar
terbuka sempurna saat syaraf olfaktorinya merespon harum masakan
yang masuk melalui celah pintu kamarnya yang terbuka. Sial, ini
seperti tumis udang.

Namun, siapa yang memasak di rumahnya siang-siang seperti
ini? Ayas bahkan tidak menyewa asisten rumah tangga. Ia hanya
tinggal sendiri, ralat, berdua jika mamanya sedang pulang ke rumah.
Lantas, siapa yang sedang masak di bawah?

Bergegas ia turun dari kasurnya, lalu berlari keluar kamar.
Langkahnya membawa dirinya menuruni anak tangga, menyusuri

27

ruangan lainnya hingga sampai ke dapur. Tubuh mungilnya masih ter­
lapis dengan nightgown berwarna putih, menjuntai hingga menutupi
betisnya. Kaki telanjangnya langsung bersentuhan dengan dinginnya
lantai.

Namun, setelah sampai di dapur, tubuhnya menegang seketika.
Terkejut, senang, terharu, semuanya tercampur menjadi satu yang
sanggup membuat dadanya bergemuruh kencang bak petir di kala
hujan.

Itu mamanya. Mamanya di sana. Sedang memasak. Dengan
nightg­ own yang hampir senada miliknya dan rambut dikucir ke
belakang. Ini pertama kalinya sejak sepuluh tahun lamanya, ia bisa
melihat mamanya memasak di dapur dengan pakaian santai.

“Mama…”
Fara yang merasa terpanggil menoleh ke belakang. Matanya
bersitatap dengan putrinya, wajahnya menyungingkan senyum kecil
tipis. “Sudah bangun, Tuan Putri?”
Demi Tuhan, kelopak matanya kini sibuk menahan genangan air
yang hendak keluar. Panggilan itu. Selama sepuluh tahun lamanya,
akhirnya ia bisa mendengar panggilan itu lagi. Tuhan, ini bukan mimpi,
kan? Kalau pun memang benar ini mimpi, tolong, jangan bangunkan
dirinya. Ayas mau tertidur saja selamanya. Ia mau melihat senyum
mamannya lagi. Ia mau seperti ini lagi.
“Mama…”
“Duduk. Sebentar lagi tumis udangnya matang.”
Ayas mengangguk patuh sembari menghapus jejak air matanya
di pipi. Ditariknya kursi yang ada di sebelah kirinya, lalu duduk di
sana. Matanya tidak berhenti memperhatikan gerak-gerik mamanya.
Bagaimana mamanya menaburkan garam ke atas penggorengan.
Bagaimana mamanya mengaduk. Bagaimana mamanya berjalan ke
sisi lain untuk mengambil piring. Semua itu seperti menarik mundur

28

memori masa kecilnya. Saat di mana semua masih baik-baik saja. Saat
di mana ia hanya ada hal yang Ayas sebut dengan kebahagiaan. Saat
di mana mamanya tak sedingin ini.“Wah, kayaknya enak nih.”

Fara membalas dengan senyuman hangat. Ayas bersumpah, itu
adalah senyuman paling hangat yang pernah ia lihat. Cantik sekali.
Mamanya selalu cantik memang, tapi untuk kali ini cantik sekali.

Ayas benar-benar mengagumi sosok mamanya melebihi apa
pun. Wanita independen yang tangguh. Tak peduli berapa banyak
orang yang membenci, sosok mamanya selalu bisa membuat semua
pembencinya menutup bibir dengan segudang prestasi yang ia punya.
Katanya, cara paling ampuh melawan pembenci bukan dengan
membalasnya, itu tak efektif sama sekali. Hanya membuat kita
terlihat seperti pribadi yang arogan. Cara yang tepat adalah dengan
terus bersinar. Bersinar seterang mungkin, sampai membuat mereka
buta akan kekurangan yang kita miliki. Seperti itu kurang lebih yang
mamanya katakan di wawancara. Wawancara yang disiarkan di
televisi beberapa minggu yang lalu.

“Sudah selesai?” ucap Fara lembut.
“Huh?” jawab Ayas, tetapi sepertinya mamanya tidak sedang
berbicara dengannya. Ia menoleh ke samping, mengikuti arah pandang
mamanya dan menemukan seseorang tengah berdiri di ujung meja
makan, bulir-bulir keringat meluncur dari dahinya.
“Sulit, ya, Jeff?”
“Nggak, kok, Tante. Cuman ganti ban mobil aja mah udah sering
aku,” jawabnya.
“Duduk, duduk. Tante baru selesai masak makan siang. Dicobain
ya, Jeff.”
Jeff memandang meja makan dengan tatapan ragu, tetapi
kemudian hanya membalas ucapan Fara dengan anggukan pelan.

29

“Dia, ngapain di sini?” Ayas memandang Jeff tak suka. Mengapa
laki-laki ini merusuhi momen makan siangnya lagi? Tidak cukup
kemarin saja, sekarang juga mau dihancurkan lagi, begitu?

“Ayas.” Fara menegur putrinya. “Silakan duduk, Jeff,” ucap Fara
mempersilakan saat melihat laki-laki itu belum sempat duduk karena
terinterupsi oleh suara Ayas.

“Lo, nggak punya rumah?” tanya Ayas dengan pandangan tajam
ke arah Jeff.

“Ayas.” Fara memperingatkan. Kakinya maju selangkah mendekati
tempat duduk putrinya itu.

“Ngapain, sih, numpang makan gini?”
“Ayas … ”
“Aku nggak jadi makan,” ucap Ayas final.
Ayas membanting sendok di tangannya hingga bunyi nyaring
memekakkan telinga menggema di ruang makan. Ia baru saja hendak
beranjak dari meja makannya, tetapi tertahan ketika ada suara
menginterupsi.
“Ayas!” suara mamanya sedikit naik hingga membuat Ayas
menegang di tempat. “Duduk. Saya tidak pernah mengajarkan kamu
untuk berlaku tidak sopan seperti itu dengan tamu yang datang.”
Merasa suasana makin panas karena hadir dirinya, Jeff meng­
interupsi keduanya. “Maaf. Saya nggak tau, ternyata kamu sebegitu
nggak sukanya sama kehadiran saya. Maaf, bikin hari Minggu kamu
kacau.”
“Jeff … ” Fara hendak menyela, tetapi tertahan karena Jeff
kemudian melanjutkan kalimatnya.
“ … nggak apa, Tante. Mungkin, Ayas masih butuh waktu untuk
terima kehadiran saya.”
“Emang,” celetuk Ayas.

30

Semuanya tiba-tiba hening ketika ada suara datang dari kedua
tangan Fara yang menggebrak meja.

“Tidak ada yang boleh beranjak dari meja ini kalau merasa
masih menghormati saya.” Fara angkat bicara, membuat dua insan di
depannya kembali duduk di tempatnya masing-masing. “Ayas, minta
maaf,” lanjutnya.

“Aku?” Ayas menujuk dirinya sendiri.
“Sekarang.”
“Ma—”
“Tante, nggak perlu—” Jeff menginterupsi.
“Sekarang, Ayas!” Fara mengacungkan jari telunjuknya kearah
Ayas.
Gertakan itu membuat Ayas mau tidak mau harus menurut.
Karena jika tidak, mungkin saja mamanya akan marah besar dan tidak
mau bicara dengannya lagi.
“Maaf, Jeff. Saya salah,” ucap Ayas pasrah.
Jeff mengangguk. “Nggak apa. Saya paham”
Suasana menjadi hening. Terlebih ketika mamanya memper­
silakan untuk menyantap hidangan makan siang hari ini. Hanya ada
bunyi sendok dan garpu yang menggores piring sebagai backsound.
Sampai Ayas menyuapkan suapan terakhir ke dalam mulutnya,
ruang makan ini masih saja dihuni sepi. Mamanya tidak buka suara.
Tidak ada senyuman hangat lagi. Tidak ada wajah ramahnya lagi.
Hanya wajah datar seperti biasanya saja. Dan Ayas tidak suka itu.
“Ma—” ucap Ayas membuka percakapan.
“—saya mau kembali ke kamar. Tolong ini semua dibereskan ya,
Ayas?” pintanya dengan sebuah senyuman yang Ayas tahu itu bukan
senyuman tulus. Sebuah senyuman yang dipaksakan.
“I-iya, Ma,” jawab Ayas gelagapan.

31

Begitu mamanya beranjak dari tempat duduknya, tak ada
pergerakan signifikan dari Ayas maupun Jeff. Padahal keduanya sama-
sama sudah menandaskan makanannya. Namun, saat Ayas sudah
mulai bergerak mengumpulkan piring-piring kotor yang ada, Jeff ikut
bangkit membantunya. Ayas tidak menolak. Tidak juga mengiyakan.
Ia membiarkan semuanya berjalan seperti tidak pernah terjadi apa-
apa sebelumnya.

“Saya bantu cuci piring—” ucap Jeff dengan kedua tangannya
yang mengulur ke hadapan Ayas.

“—nggak perlu.”
“Nggak papa, saya aja.”
“Jeff. Jangan mempersulit saya, bisa?” Ayas kemudian berlalu.
Meninggalkan Jeff yang terdiam di tempatnya.
“Saya justru mau bantu kamu.”
“Kehadiran kamu sama sekali nggak membantu.”
“Saya harus apa?” Jeff berjalan mendekat, kemudian menahan
lengan Ayas yang hendak mengoleskan spons ke piring. “Saya harus
apa, biar kamu bisa terima kehadiran saya?” ucap Jeff dengan nada
suara kebinggungan.
“Pergi, Jeff. Kehadiran kamu nggak akan pernah saya terima di
sini,” ucapnya kasar, lalu menyentak tangannya hingga genggaman
Jeff terlepas.
Iya, selamanya. Karena bagi Ayas, dirinya tidak butuh siapa pun
untuk hadir di hidupnya selain sosok mamanya. Mamanya saja sudah
cukup. Selain itu, dia tidak peduli.
Dan untuk Jeff. Secepatnya Ayas harap dia segera menyerah.

GARIS hidup sepertinya senang sekali bersinggungan dengan hal-
hal yang tidak ia sukai. Setelah insiden di ruang makan siang tadi,

32

sekarang ia harus menghadapi tantangan untuk menghabiskan waktu
bersama Jeff. Sejujurnya, kalau tidak karena mamanya, Ayas sudah
pasti akan mengusir laki-laki yang satu ini keluar dari rumahnya.
Kemudian, menyuruh satpam kompleks untuk memasukkannya
ke dalam daftar hitam orang-orang yang dilarang masuk ke dalam
kompleks perumahannya.

Suara yang mengalun dari radio menjadi teman perjalanan
mereka siang ini. Lagu Amin Paling Serius yang dilantunkan oleh Sal
Priadi dan Nadin Amizah merinai indah memenuhi seisi mobil. Lagu itu
kini menjadi satu-satunya suara yang terdengar di antara keterdiaman
mereka.

“Ini mau ke mana, sih?” tanya Ayas akhirnya setelah merasa
bosan dengan perjalanan yang seperti tiada akhir.

“Bogor,” jawab Jeff tanpa mengalihkan pandanganya pada
jalanan di depan.

“Hah?”
“Bogor, Ayas. Saya mau ajak kamu ke Bogor,” ucap Jeff santai.
Tangannya kini sudah bersender di sisi dekat dengan jendela.
Ayas mengerjapkan matanya berulang kali sambil menatap Jeff
dan jalanan bergantian. “Kamu mau nyulik saya, ya? Ngapain kita
jauh-jauh ke Bogor?”
Jeff tertawa kecil melihat reaksi menggemaskan yang datang
dari wanita di sampingnya. “Saya mau ajak kamu ke suatu tempat.”
“Jakarta kurang luas, ya, sampai kamu harus pergi ke Bogor buat
nyulik saya?”
“Jakarta, mah, udah biasa. Kamu pasti udah khatam sama seluk-
beluknya. Sekarang, saya mau ajak kamu nostalgia ke tempat yang
lain.” Jeff memberikan senyuman tipis. Alisnya berulang kali terangkat
seolah meminta persetujuan.

33

“Apa? Nostalgia? Ke sana aja saya belum pernah.”
“Justru karena kamu belum pernah, makannya saya ajak.”
“Tapi, kejauhan.”
“Jakarta sampai Bogor nggak sejauh itu. Sejam karena kita lewat
jalan tol.”
“Buat saya itu jauh.” Ayas berucap lesu. Tubuhnya sedikit
condong ke depan.
Jeff terkekeh pelan. “Kamu takut sama saya, ya?”
“Honestly, yes. Ya mikir aja, sih, kita baru kenal sebentar, bisa aja
kamu punya maksud jahat.”
“Saya nggak sepicik itu.”
“Pikiran manusia nggak ada yang tahu.”
“Saya paham, kamu bukan tipikal orang yang mudah percaya
sama orang lain. Tapi, untuk kali ini kamu harus coba percaya sama
saya,” Jeff menghentikan mobilnya bersama dengan mobil-mobil
lainnya yang berada di pertigaan saat lampu merah. Kepalanya
menoleh ke samping, ke arah Ayas, yang kini sedang menaikkan satu
alisnya karena penasaran dengan apa yang akan Jeff katakan. “Saya
nggak akan nyakitin kamu. Saya bisa janji untuk yang satu itu. Jadi,
tolong, biarin saya masuk ke dalam hidup kamu.”
Ayas terdiam beberapa saat. Matanya bertatapan dengan
pemilik tatapan paling teduh yang pernah ia lihat selama hidupnya. Ia
berusaha mencari tanda-tanda keraguan, kebohongan, atau apa pun
itu yang bisa membuatnya lega. Lega karena Jeff tidak benar-benar
serius dengan omongannya. Namun, sialnya tidak ada. Seberapa
keras pun ia mencoba menggali keraguan yang tercipta di manik mata
itu, hasilnya tetap nihil. Jeff benar-benar serius dengan ucapannya.
Ia tidak sedang bermain kata-kata hanya untuk memenangkan hati
Ayas.

34

TINNN …
TINNN …
Suara klakson dari belakang mobil membuat tatapan keduanya
terputus. Jeff langsung bergerak menjalankan mobilnya, sedangkan
Ayas berusaha menenangkan dirinya dengan menatap objek lain.
“Kalau kamu kira saya bisa luluh dengan permainan kata-kata
kayak gitu, kamu salah. Karena kesempatan untuk masuk ke dalam
hidup saya itu hampir nggak ada.”
“Hampir, bukan berarti nggak mungkin,” ucap Jeff enteng.
“Buat kamu, semuanya bisa jadi nggak mungkin.”
Jeff hanya tersenyum mendengar balasan Ayas. Ia memilih
fokus menyetir untuk beberapa saat. Membiarkan mobilnya kembali
diserang sunyi dan sepi. Kali ini Bertaut yang mengalun pelan milik
Nadin Amizah menjadi teman perjalanan, menggantikan lagu
sebelumnya. Meski Jeff tidak terlalu mengerti maksud lagu tersebut,
setidaknya ia bisa sedikit bernapas lega, karena wanita di sebelahnya
tertidur pulas setelah lagu itu terputar.
Dalam diamnya, sesekali ia mencuri-curi kesempatan untuk
sekadar memandang atau membetulkan letak kepala Ayas, supaya
tidak sakit nantinya.
Cantik. Selalu cantik.

BOGOR dan hujan sepertinya tak dapat dipisahkan. Hingga kota ini
dijuluki sebagai Kota Hujan, mengingat curah hujannya cukup tinggi.
Saat ini misalnya, bulan ini bukan sewajarnya hujan turun, tapi hujan
sore ini sangat deras. Jalanan sepi kendaraan, beberapa di antaranya
sibuk meneduh. Sepertinya para pengendara juga enggan melintas,
mengingat betapa derasnya hujan dan betapa licinnya jalanan.

35

Beruntung saat ini Jeff sudah berhasil sampai di tempat tujuannya.
Tempatnya tidak terlalu ramai, malah tergolong sepi. Mungkin karena
hujan terlalu menyeramkan untuk diterobos, beberapa pelanggan
mengurungkan niatnya untuk datang. Namun, tidak dengan Jeff.
Tempat ini punya kisah sendiri bagi dirinya.

“Apa kabar A’ Jeff?” Penjual itu menyematkan senyum lebar saat
Jeff memasuki tokonya.

“Wah, masih kenal saya, Kang?” Jeff membalas senyum itu sama
lebarnya.

“Atuh, saja bisa saya lupa sama pelanggan setia saya yang dulu
sering bolos ke sini.”

“Hahaha bisa aja, Kang. Pesen kayak biasa, ya?”
“Siap, satu, kan?”
“Dua,” revisinya.
Si penjual tadi melirik ke belakang Jeff, melihat Ayas yang
tersenyum canggung. “Oh, pacarnya si Aa, Neng?”
“Hah? Eh, buk—”
“—doain aja, Kang.” Jeff memotong kalimat Ayas sebelum sempat
terucap.
“Haduhhh, siap. Ini lengkap, kan?” tanya penjual itu memastikan.
“Saya lengkap. Kamu gimana, Ay?”
“Samain aja.”
“Wah, siap. Sok duduk dulu atuh.”
Jeff dan Ayas kompak mengangguk, kemudian berjalan masuk
ke dalam ruko kecil yang disulap sedemikian rupa menjadi tempat
makan. Mereka menempati meja paling pojok yang tidak terjamah
kipas, sengaja, karena udara sudah terlampau dingin, ia tidak mau
Ayas sampai harus menahan lebih banyak dingin lagi.
“Jadi, ke Bogor cuman mampir beli soto mie aja?” tanya Ayas
sembari mengamati segala sisi tempat ini.

36

“Sebenarnya, nggak. Tapi kalau setelah ini kamu mau langsung
pulang, ya nggak apa.”

“Soto mie di Jakarta juga banyak.”
“Tapi, yang berkesan cuman ada di sini.”
Ayas memutar bola matanya. Apanya yang berkesan? Meng­
injakkan kaki ke tempat ini saja ia belum pernah.
Sejenak keduanya dilanda hening. Ayas sibuk melihat-lihat
sekelilingnya. Ruko yang tidak terlalu besar, tetapi cukup untuk diisi
oleh enam meja yang masing-masing memiliki dua bangku panjang.
Catnya berwarna hijau, tampak mengelupas di beberapa sisi.
Lampunya redup, tapi tidak terlalu gelap juga. Dan lantai yang kotor
bekas jejak-jejak sepatu dan sandal.
“Punten, ini soto mienya, ya.”
Wangi soto langsung menyeruak memasuki indra penciuman
baik Ayas maupun Jeff. Keduanya menggeser mangkuk masing-
masing hingga berada tepat di depannya. Sementara si penjual undur
diri pergi ke gerobaknya untuk melayani pembeli yang baru datang,
Jeff dan Ayas mulai sibuk menyeruput kuah soto masing-masing.
“Gimana?”
“Enak.”
“Saya udah bilang.” Jeff berujar mantap.
“Tapi, biasa aja,”final Ayas.
Jeff tertawa kecil. “Jadi, yang benar enak atau biasa aja nih?”
godanya. “Nggak konsisten.”
“Enak. Tapi, biasa aja,” jawabnya lagi dengan jawaban yang sama
seperti ucapan sebelumnya.
Keduanya kembali sibuk dengan hidangan masing-masing.
Mem­b­ iarkan indra perasa mereka yang bekerja supaya perut bisa
terisi. Udara dingin yang menghampiri berangsur-angsur terganti oleh

37

uap soto mie dan teh manis hangat yang disediakan. Perpaduan yang
sempurna.

Setelah menghabiskan semangkuk soto, Ayas tanpa sadar
dilanda rasa kecewa. Kenapa makanan seenak ini harus cepat habis?
Mau minta lagi tengsin duluan.

“Enak teu, Neng?” tanya seseorang yang tau-tau duduk di se­
belahnya. “Widihh, mangkuknya sampai bersih gitu, hahaha.” Penjual
tadi menarik kursi plastik dari meja yang lain dan memilih untuk duduk.

“Eh, hehe, iya enak.”
“Tadi, katanya biasa aja, Kang,” adu Jeff.
“Hah, enggak! Jeff apaan, sih?” Ayas mengeleng ribut.
“Lah, tadi kamu bilang—”
“Jangan didengerin, Kang. Ngaco dia mah.”
“Waduh, jadi yang betul yang mana nih?”Penjual itu turut
menggoda Ayas.
“Enak, kok,” jawab Ayas lalu mengedipkan matanya beberapa
kali sebagai sinyal untuk Jeff supaya cowok itu tidak membalas
kalimatnya.
“Wah, alhamdulilah, deh.” Si penjual menatap Jeff lalu Ayas
bergantian. Seakan sedang menelisik sesuatu.
“Si Neng teh, beneran, bukan pacarnya si Aa?”
“Saya? Hehe, bukan,”ucap Ayas dengan kekehan kecil di belakang.
“Waduh gawat, di-php juga sama si Aa, ya?”
“Dih, kok saya, sih, Kang?”tanya Jeff tidak terima.
“Atuhlah, kamu kan langganan php-in cewek waktu sekolah dulu.
Sampai dulu pada ngadu ke saya, bilangnya habis diberi harapan palsu
sama A’ Jeff.”
Ayas yang merasa tertarik dengan kisah yang diceritakan oleh si
akang penjual soto mie ikut antusias mendengar. “Terus-terus gimana
lagi, Kang?”

38

“Ya gitu deh. Saya bilang mah ya udah atuh, kalau mau yang
speknya kayak A’ Jeff, ya harus sadar diri dulu.”

“Hah, kenapa gitu?”tanya Ayas penasaran.
“Soalnya si Aa masih gamon alias gagal move on sama cinta
monyetnya dulu. Mangkanya, tiap dapet surat cinta sama hadiah
selalu dikasihnya ke saya.”
“Tapi seneng, kan, Kang?” Kedua alis penjual itu naik turun,
sedikit menggoda Jeff.
“Ya saya mah orangnya nggak suka nolak rejeki. Pamali, kan,
katanya mah nolak rejeki.”
Ayas ikut tertawa kecil mendengar dongeng singkat tentang
Jeff. Ia tidak sadar bahwa semakin ceritanya berjalan, semakin ia
penasaran juga tentang bagaimana Jeff semasa sekolah dulu. Rasa
penasaran itu yang membuatnya begitu antusias mendengar cerita-
cerita selanjutnya yang dilantunkan oleh laki-laki di sampingnya.
“… terus, ya, dulu tuh, si Aa pernah pisan kejebak macet di
depan sini waktu mau masuk ke parkiran sebelah. Terus karena telat,
di tinggal wae motor sama kuncinya di depan. Saya lagi cuci piring
di dalem langsung ngibrit, takut ada yang malingin motornya,” ujar
pedagang itu dengan antusias.“Yah, Kang, jangan diceritain yang
buruk-buruknya dong. Yang baik-baiknya aja gitu,” sela Jeff.
“Ari kamu mah, baiknya banyak pisan. Udah bosen saya mah
ngingetnya.”
Ketiganya kompak tertawa.
“Emang teu kerasaan, ya, waktu udah cepet banget berlalunya.
Tau-tau anak-anak mah udah lulus aja gitu. Padahal, dulu langganan
dikejar guru ngumpetnya di warung saya sampai saya harus tutup
rolling door biar nggak ke tangkep mereka.”
“Terus, Jeff ikutan nggak?” tanya Ayas penasaran.

39

“Saya mah nggak, Ay. Anak rajin gitu loh,” ujarnya berbangga hati
yang dihadiahi cibiran oleh Ayas.

“Yah, Kang Jeff mah emang paling teladan. Dulu kan nem ujian
nasionalnya tertinggi se-Jawa Barat. Tapi, emang pada dasarnya siswa
sekolah depan mah cerdas-cerdas. Mau senakal apa pun, otaknya
tetep encer.” Penjual tadi memberikan dua jempol sebagai pelengkap.

“Sekolah yang mana, sih, Kang?”
“Itu, Neng. Di seberang pas banget depan warung saya,” tunjuk si
penjual. Bangunan sekolah itu ada di sebrang jalan dengan dua lantai,
bangunan yang awalnya sempat Ayas kira rumah sakit. “Ya begitu
lah. Saya mah, seneng lihat anak-anak pada sukses. Walaupun saya
begini-begini aja.”
“Ini mah sukses juga, Kang. Dulu kan belakang ke buka. Sekarang
udah di kasih tembok.”
“Ya nggak signifikan lah, istilahnya kitu.”
“Nggak papa, Kang. Tempat ini kan lumayan memorable. Jadi, bisa
buat nostalgia. Jangan sampai tutup, ya, Kang? Sedih atuh alumni-
alumni yang lain.”
“Ya saya mah, minta doanya aja supaya selalu sehat. Selama saya
sehat mah insyaallah, tetap jualan.”
Percakapan masih terus berlangsung, bahkan hingga pelanggan
lain datang dan pergi silih berganti. Si akang penjual beberapa kali
beranjak untuk melayani, tapi tetap kembali dan dengan semangatnya
yang membara mendongengkan kisah-kisah lama. Lalu Ayas masih
dengan antusiasnya mendengarkan kisah-kisah itu. Keduanya tidak
sadar bahwa ada sepasang mata yang berbinar seiring dengan tawa
yang terdengar. Sepasang mata yang berharap bahwa ia bisa meng­
hentikan waktu di sini. Membiarkan waktu tidak bekerja di dalam
ruko kecil nan sempit yang berhasil membuat pelanggannya nyaman
karena selalu dihiasi oleh lelucon konyol dari si penjual soto mie.

40

Bogor dan soto mie akan selalu jadi hal menyenangkan yang
akan dikenang oleh banyak insan, terkhusus pada dua insan yang
kini sibuk menjadi pendengar yang baik, bagi pendongeng handal
yang satu ini. Sebab, melalui dongeng ini, bisa jadi dua orang yang
sebelumnya terasa asing jadi terasa lebih dekat.

LANGIT sudah sepenuhnya gelap. Dan keduanya telah sampai di
Jakarta meninggalkan Bogor yang sebenarnya cukup nyaman untuk
ditinggali beberapa saat lagi. Namun, angan-angan tetaplah menjadi
angan-angan belaka. Mau tidak mau, keduanya memang harus
kembali ke Jakarta. Sebelum hari semakin larut. Ke tempat yang
seharusnya dan ke realitas yang ada.

Lagi-lagiAyas terlelap di bangku penumpang sejak di pertengahan
tol tadi sampai sekarang roda mobil ini melaju di jalanan protokoler.
Lelapnya kali ini ditemani bersama lantunan dari satu putaran penuh
album milik The Beatles yang mengalun indah, bak dibisikkan secara
langsung oleh penyanyinya.

Tidak banyak percakapan yang hadir di antara keduanya, sejak
pamit undur diri dari warung soto mie sederhana yang mereka
kunjungi tadi. Hanya beberapa percakapan kecil tentang udara yang
makin dingin dan keluhan tentang besok yang tak terasa sudah
menginjak hari Senin lagi. Yang otomatis keduanya harus kembali
pada rutinitas berkuliah supaya cepat lulus.

Keduanya sama-sama berada di semester tua. Sedang sibuk-
sibuknya mengurus ini dan itu. Seperti saat ini, Jeff baru saja memulai
skripsinya dan Ayas masih sibuk mencari judul skripsi apa yang tepat
untuk ia teliti.

Di antara kesibukan yang ada, naasnya kedua insan ini harus
ter­ikat dalam sebuah hubungan yang memaksa keduanya untuk

41

bisa menerima satu sama lain sebagai pasangan. Iya, pasangan yang
dibentuk atas dasar perjodohan yang mengorbankan banyak harapan.

“Kita nggak bisa … ”
Jeff menoleh ke samping. Mendapati Ayas masih tertidur pulas
sambil meracau bebas.
“Hidup gue menyeramkan.”
“Ayas,” panggil Jeff.
Merasa Ayas tidak juga bangun dari tidurnya dan terus meracau.
Jeff memilih untuk meminggirkan mobilnya di bahu jalan. Lampu
mobilnya yang sedari awal hidup untuk alasan keamanan ikut
dimatikan, berharap cahaya yang redup bisa menenangkan Ayas dari
mimpi buruknya.
“ … gue capek, tapi nggak boleh nyerah.”
“Ayas, hei.” Jeff mengelus lengan wanita di depannya, berharap
sentuhan kecilnya bisa sedikit menenangkan mimpi buruk Ayas.
“Mama … mama benci aku ya … ”
“Mama nggak boleh pergi … ”
“Aku nggak mau sendiri … ”
“Mama … ”
“Ma … ”
Racauannya berangsur-angsur menghilang sejak Jeff mulai
memberanikan diri memberikan elusan pelan di antara rambut yang
menutupi dahi Ayas. Ia tidak ahli menenangkan orang lain, yang bisa
ia lakukan hanyalah menawarkan sedikit kenyamanan, agar Ayas tak
merasa sendiri.
Ayas, saya nggak tau apa aja yang udah kamu lalui selama ini.
Tapi, apa pun itu, saya harap ke depannya kamu sudi untuk berbagi rasa
sakitnya sama saya.

42

CHAPTER 4

A Penny For
Your Thoughts

Twinkle twinkle little star.
How i wonder what you are.

Ayas memejamkan matanya. Menikmati lantunan nada lembut
yang mengalun indah dari belah bibir perempuan di sampingnya.
Hatinya menghangat, sebab nyanyian itu membelai lembut hatinya
yang telah lama patah dan tercerai-berai.

Up above the world so high.
Like a diamond in the sky.

Nyaman. Rasanya nyaman sekali.

Twinkle twinkle little star.
How i wonder what you are.

43


Click to View FlipBook Version