The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by gagasmedia, 2022-02-24 01:06:48

PENGAKUAN DOSA

Filo Sebastian

Pengakuan Dosa

Filo Sebastian



Orang Menganggapku
Aneh



Aku selalu bertanya–tanya tentang banyak hal yang cukup
berat untuk anak seumurku, seperti kenapa kita bisa
hidup, untuk apa kita hidup, ke mana tujuan akhir kita,
dan lain sebagainya yang mungkin tidak akan terpikir oleh anak
seu­ murk­ u. Berbagai pertanyaan itu tanpa sadar membentuk se­
buah kepribadian yang lebih tua. Karenanya aku tidak mem­ iliki
banyak teman karena bagi banyak orang aku aneh.

Aku dilahirkan di sebuah keluarga yang tidak mem­percayai
hal-hal berbau spiritual sedikit pun. Bagi ayahku hantu itu tidak
ada, semua hanyalah omong kosong yang dibuat oleh orang
tertentu untuk memperoleh pundi-pundi materi.

Sedangkan ibuku antara percaya dan tidak percaya tapi
sangat takut dengan hal-hal seperti itu. Aku yang tinggal dengan
lingkungan keluarga yang tidak mempercayai hal spiritual, pada
akhirnya ikut memiliki pandangan yang sama, setidaknya untuk
sementara waktu.

*****

Ceritaku ini berawal dari gangguan-gangguan tidur yang
kerap kualami ketika malam hari. Setiap berusaha untuk tidur,
aku mulai melihat hal-hal yang mengerikan di kamarku. Muncul
sosok-sosok aneh yang datang secara tiba-tiba. Terkadang aku
juga mendengar suara-suara yang berusaha memanggil dan
mencari perhatian. Mulai dari permintaan tolong, rintih, tangis,
sampai teriakan.

Pandangan keluarga yang tidak percaya hal gaib ataupun
hantu membuatku menyangkal pengalamanku sendiri. Meski
ter­ asa sangat nyata, aku berusaha keras beranggapan bahwa itu
hanya­lah mimpi buruk yang akan segera berakhir.

Dalam mimpi buruk itu, aku bertemu dengan banyak sosok
aneh yang memiliki aneka bentuk. Kebanyakan diantara me­
reka ber­wujud layak­nya manusia biasa dengan kulit yang lebih
pucat atau­pun rusak. Ada juga yang bentuknya jauh dari wujud
manu­sia, tidak bisa dibilang hewan tapi sedikit mirip dengan
hewan, seperti monster yang ada di film sci-fi yang ku­tonton.
Dari berbagai wujud yang kutemui, aku paling tidak bisa tahan
ketika melihat wujud manusia yang sudah rusak seperti korban
kec­ elakaan lalu lintas.

Dari segitu banyak makhluk yang kutemui dalam mimpi,
ada beberapa sosok yang menetap. Berbeda dengan makhluk
lain yang hanya numpang lewat setiap malam, sosok-sosok ini
seakan sudah memiliki teritori dalam kamarku.

Ada yang hanya berdiam diri di sudut ruangan tanpa me­
lakukan apa pun, ada pula yang terlihat sering mengitari area
rumah. Dari semua itu, ada satu hal yang sangat kusadari, me­reka
tahu bahwa aku melihat dan memperhatikan mereka, karena­
nya mereka juga melakukan hal yang sama. Para penghuni tetap
mimpi burukku ini seakan sudah tahu jika jam malam tiba, aku
akan segera bertemu dengan mereka.

Selain melihat hal-hal yang tidak jelas dalam mimpi buruk,
gang­guan lain yang sangat bikin tidak nyaman adalah suara-
suara yang terdengar tiba-tiba. Aku sering kali dibuat kaget
tanpa tahu sumber suaranya.

“Kamu bisa lihat aku ya! Jangan pura-pura! HAHAHHH!”
ucap salah satu diantara mereka.

Saat itu aku berpura-pura tidak terjadi apa pun lalu me­
maksak­ an diri untuk bangun dari mimpi buruk itu.

Aku sering kali mempertanyakan; jika memang cuma mimpi,
kenapa rasanya sangat nyata sampai aku bisa meng­ingat semua

detail kejadian dan terkadang setelah bangun, aku masih bisa
me­lihat beberapa sosok yang kutemui di dalam mimpi. Aku me­
lihat mereka persis pada posisi yang sama, baik dalam mimpi
maupun ketika aku sudah terjaga.

Pengalaman yang aku alami membuatku akhirnya mulai
me­ragu­kan pandangan yang terbentuk dalam keluargaku. Pan­
danga­ n yang beranggapan bahwa hantu itu tidak ada dan hal
sem­ acam itu hanya halusinasi seseorang yang kelelahan.

****

Mimpi buruk yang terus menghantuiku di jam malam
semakin membuatku tertekan dan takut untuk tidur. Aku tidak
sanggup menghadapi mereka yang telah menantiku di kamar,
sehingga aku berusaha agar tetap terjaga.

Ketika rasa kantuk mulai menyerang dan semakin tak ter­
tahan­kan, aku meremas-remas tanganku untuk menjaga ke­
sadaran. Berbagai cara kulakukan; menonton tv sampai berm­ ain
game. Apa pun kucoba. Namun, ketika cara itu tidak ber­h­ asil,
aku memilih pasrah, tertidur, dan membiarkan diriku dig­ anggu.

Aku tidak berani menceritakan gangguan yang aku alami ke
keluarga, mengingat mereka tidak mempercayai hal se­macam
ini. Pernah sekali aku coba bercerita tapi respons mereka malah
menga­nggap apa yang kualami sepele yang timbul karena
kurang tidur atau kelelahan. Dari situ aku semakin menutup diri
dari keluargaku.

*****

Gangguan yang kudapat makin meningkat, makin nyata,
dan makin menakutkan seiring bertambahnya usia. Gangguan
yang kualami tidak lagi hanya muncul melalui mimpi, tapi juga

mulai merambat ke kehidupan nyata. Aku mulai melihat mereka
secara langsung berkeliaran di sekitar rumah. Terkadang mereka
sengaja berlari melewatiku demi mendapatkan perhatian.

Seluruh kehidupanku ikut terganggu karena mimpi buruk
tiap malam. Orangtuaku mulai mempermasalahkan jam tidurku
yang tak tentu. Tidak bisa kulupakan tatapan ketidakpercayaan
yang mereka berikan ketika dulu aku bercerita tentang mimpi
buruk ini.

Di pikiran mereka pada saat itu, aku hanyalah anak yang
mem­bang­kang dan tergila-gila pada game. Aku tidak bisa me­
ngelak dari tuduhan dan omelan mereka, karena pada faktanya
aku memang bermain game. Yang mereka tidak ketahui, aku
bukan tidak tidur karena bermain game, melainkan berm­ ain
game agar pikiranku teralihkan dan tetap terjaga dari rasa
kantuk.

Hal ini berpengaruh ke seluruh hidupku, apalagi dengan
durasi tidur yang hanya dua sampai tiga jam per hari. Berbagai
gang­guan dan badan lemas ini semakin membuatku tert­ekan
dari hari ke hari. Rasanya sangat melelahkan, langkah kaki pun
terasa berat disertai dengan pusing di kepala bagian belakang.

Meski istirahatku tidak cukup, aku tetap harus bangun pagi
dan pergi ke sekolah. Aku tidak bisa lari dari tanggung jawab­ku
sebagai siswa SMA.

Karena jarak dari rumah untuk sampai ke sekolah cukup
jauh, aku selalu memanfaatkan perjalanan itu untuk tidur di
ang­kot. Rasa­nya sangat nyaman dan aman tidur dalam mobil
berg­erak yang penuh dengan kebisingan jalan. Suara-suara
yang terd­ engar dari kendaraan akan menghilangkan fokusku
dan me­nurun­kan potensi gangguan yang mungkin terjadi.

Aku sangat menikmati perjalanan 13,7 km menuju sekolah
yang memberi kesempatan untuk beristirahat tanpa takut di­
kaget­kan mereka. Tanpa kusadari angkot yang kunaiki sudah
berb­ alik kembali menuju rumah.

Ketika rasa lelah meluap dan tak tertahankan lagi, aku se­
ngaja memilih tanggal membolos supaya bisa ke bioskop, bukan
untuk nonton tapi untuk tidur.

*****

Aku tidak bisa menjadi siswa yang produktif seperti teman-
temanku. Fokusku hancur dengan rasa kantuk yang memaksa
mata untuk menutup. Kusiapkan air mineral di sebelahku yang
akan sesekali kugunakan untuk membasahi wajah. Tak jarang
aku tertidur beberapa saat, lalu tersentak bangun, begitu terus
sampai mata pelajaran selesai. Aku rutin melihat ke arah jam
dinding kelas saat terjaga, menanti waktu penyiksaan berakhir,
yang entah kenapa terasa berjalan sangat lambat.

Ada kalanya rasa kantukku tak bisa dibendung lagi sehingga
aku tertidur sepenuhnya di kelas. Beberapa guru yang mel­ihat­
ku akan langsung mengomeli, memanggil ke ruang guru, mem­
beri hukuman, ataupun mempermalukanku di depan kelas.
Seisi kelas akan menatapku dengan tatapan, entah itu jijik atau
kasihan.

Rasanya aku ingin berhenti sekolah saja saat itu. Tempat itu
hanya membawa kesedihan dan tekanan buatku. Namun, aku
tidak bisa apa-apa selain menerima semua ini. Pada akhirn­ ya
aku hanya bisa menangis sendirian di kamar.

****

Aku tidak bisa beradaptasi dengan gangguan yang ku­
terima. Gangguan tidur mulai memberi dampak yang terlalu
me­repot­kan pada kehidupan nyata. Sekolah berantakan, juga
hubungan sosial juga memburuk. Tidak ada wadah yang bisa
me­nampung segala beban yang kumiliki, semua terasa hampa
dan tak berarti. Mungkin mereka memang benar, aku aneh, dan
tidak ada tempat bagiku.

Tahun ajaran SMA mendekati akhir, kubulatkan tekad untuk
ber­henti sekolah di kelas 1 SMA. Aku sudah muak dan tidak kuat
lagi. Berbagai tatapan sinis terlihat jelas dari para guru yang
berpapasan denganku. Aku tidak peduli lagi dengan apa yang
mereka pikir atau katakan tentangku. Aku hanya ingin semua­
nya segera berakhir.

Saat hasil akhir dari pembelajaranku setahun sudah keluar,
dan aku dinyatakan tidak naik kelas karena absen yang me­lebihi
10% dari total kehadiran. Orangtuaku jelas marah, mereka tidak
siap menanggung malu dari omongan orang.

“Sabar ya Fil,” kata beberapa teman sekelasku. Sejujur­nya
aku senang dan merasa lega karena tekananku di sekolah ber­
akhir tapi aku berpura-pura sedih selayaknya orang yang tidak
naik kelas.

Aku juga tidak peduli dengan uang orangtuaku yang ter­
hambur sia-sia untuk pendidikanku selama setahun. Aku masih
ingat mereka yang memaksaku masuk ke sekolah ini—sekolah
yang sama dengan kembaranku—karena mereka tidak ingin
orang bilang kalau sekolah kembaranku lebih bagus.

Orangtuaku tidak setuju dengan niatku untuk berhenti ber­
sekolah. Mereka selalu membahas tentang masa depanku yang
akan hancur, sedangkan bagiku semuanya mulai hancur secara
perlahan sejak gangguan tidur menghampiriku setiap malam.

Aku menuruti keinginan mereka untuk kembali bersekolah
di sekolah yang sama, sambil berharap semua akan lebih baik
dari sebelumnya. Aku hanya ingin seperti anak normal lain­
nya yang bisa sekolah dan bermain tanpa gangguan di malam
hari. Mungkin aku bisa bertemu beberapa teman yang tidak aku
miliki sebelumnya. Dengan begitu hidupku membaik karena
punya tempat untuk bercerita ataupun berbagi.

****

“Ibu, di sini saya tekankan, kalau memang anak ibu tidak
kuat, jangan dipaksa.”

Sebuah kalimat yang dilontarkan oleh ibu kepala sekolah
kepada ibuku. Dia beranggapan bahwa aku hanyalah anak
bodoh yang memang tidak cocok untuk berada di sekolah yang
dia pimpin. Sejak saat itu aku bertekad untuk memb­ ukti­kan
bahwa aku tidak sebodoh itu. Sejak saat itu juga aku tidak lagi
men­ ilai seseorang dari umur ataupun jabatan yang dimiliki,
tidak terkecuali orangtuaku.

Kelas baru dan lingkungan baru membuatku ingin men­coba
menjadi pribadi yang lebih aktif dan menyenangkan. Akan ku­
paksak­ an diri untuk mengenyampingkan gangguan dan mimpi
buruk yang ada. Aku juga harus belajar beradaptasi dan mencuri
waktu untuk menyeimbangkan waktu istirahat yang kurang.

Aku bertemu dengan beberapa orang baru yang sangat
baik, yang menerimaku di lingkungannya. Rasanya sangat me­
nyenang­kan memiliki seorang teman yang bisa diajak bercanda
atau­pun makan bareng di kantin sekolah. Mungkin kalian
akan bera­ nggap­an rasa senangku berlebihan, tapi tidak bagiku
yang selama ini sendirian dan dihantui rasa takut. Aku bahkan
sampai berdoa kepada Tuhan yang sangat jarang kulakukan,

untuk mengucapkan rasa terima kasih karena lingkungan dan
orang-orang baru yang kutemui.

Jam Aman



Gangguan itu masih berdatangan, bahkan bisa dibilang
men­jadi terasa lebih nyata dan seram dari sebelum­
nya. Gangg­ ua­ n dari mereka tentu sangat mempengaruhi
pikira­ n dan mood-ku. Aku tidak bisa lagi fokus pada satu hal dan
terus mem­ ikirk­ an gangguan yang kualami seharian. Ku­putus­
kan untuk meng­hadapi gangguan pada malam hari, meski aku
tidak yakin. Yang kutahu, jika kubiarkan seperti ini terus, tahun
ked­ ua­ku akan ikut hancur seperti kejadian lalu.

Sengaja kupilih hari Sabtu untuk berjaga-jaga jika hal buruk
terjadi setidaknya aku bisa beristirahat di hari berikutnya.

“Kepada kamu yang selama ini mengganggu, datanglah. Beri
tahu aku apa yang kamu mau,” ucapku dengan nyali yang tidak
seberapa.

Sepertinya ada yang salah, seakan panggilanku menjang­kau
mereka semua yang ada di sekitar rumah.

Melihat sosok-sosok yang menyeramkan dan datang dalam
jumlah banyak, nyaliku makin ciut. Kubatalkan per­coba­an meng­
hadapi mereka. Aku tidak bisa bohong, aku masih takut dan tidak
kuat melihat wujud mereka yang mengerikan. Namun, se­tidak­
nya aku mendapat hal baru, dari situ aku tahu bahwa mereka bisa
mendengar apa yang kukatakan dengan jelas.

Gangguan-gangguan yang kualami akan terasa lebih kuat
pada saat tertentu. Biasanya dimulai dari pukul tiga sampai
lima pagi. Namun, setelah melewati pukul 6 pagi, atau setidak­
nya setelah langit mulai terang, tingkat gangguannya akan me­
lemah. Aku menyebutnya dengan jam aman.

Ketika langit sudah terang, mereka yang negatif seakan
me­m­ iliki energi yang jauh lebih lemah. Bahkan wujud mereka
di siang hari tidak seseram ketika aku melihatnya saat langit
gelap. Karena itu, rasa takutku berkurang ketika jam aman, aku

pun jadi lebih berani mencari tahu dan mencoba melakukan
interaksi.

Pemanfaatan jam aman tidak begitu efektif mengingat aku se­
orang siswa yang harus selalu bangun pagi untuk bers­­ ekolah. Itu
mem­buat semua usahaku menjadi serba-salah, karena kondisi
tubuh yang lemah juga akan meningkatkan potensi ganggu­an.

Doa pun tidak begitu efektif untuk mengurangi gang­guan
atau mengusir mereka, tidak semudah dan sesederhana itu. Me­
ng­usir satu gangguan dari satu makhluk, hanya akan mem­beri
kesempatan dan ruang baru bagi yang lain untuk mampir.

Aku mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku
di internet. Informasi yang kudapat tidak banyak mem­bantu,
malah lebih banyak menakut-nakuti. Beberapa bahkan me­
ngata­kan bahwa apa yang kualami merupakan sebuah kelainan
mental yang menimbulkan kegelisahan serta halusinasi. Namun,
ada pula yang mengarahkan bahwa apa yang kualami ini me­
rupakan sebuah aktivitas spiritual. Aku tidak tahu mana yang
harus kup­ ercaya, tapi yang jelas bacaanku hanya membuat aku
semakin takut dan tidak mengubah apa pun.

Ketika mengulang kelas satu, aku mendapat seorang teman
baru yang sangat baik dan memandangku sama seperti manusia
lain. Namanya Dina, seorang anak perempuan yang baik pada
siapa saja, juga pintar dan aktif di kelas. Kami menjadi dekat
karena kerap belajar ataupun bermain bersama. Tanpa dia
sadari, kehadirannya telah mengubah kehidupanku yang terasa
suram menjadi lebih menyenangkan.

Dina tidak memperlakukanku secara spesial, dia memang
bers­ ikap baik kepada semua temannya. Aku hanya merasa se­
nang bisa menjadi salah seorang dari banyak temannya yang

dip­er­laku­kan baik. Ketika kami bercanda tawa, aku merasa
normal dan melupakan gangguan yang kualami untuk sesaat.

Karena sudah merasa cukup dekat dengan Dina, aku mulai
berani menceritakan pengalaman sulit tidur, gangguan-gang­gu­
an yang kualami, dan makhluk aneh yang kadang kulihat. Dia
ter­lihat bingung dan takut dengan ceritaku. Dia menyarankan
agar melakukan beberapa aktivitas yang sekiranya bisa mem­
bantu­ku untuk lebih mudah tidur seperti olahraga, baca buku,
dan berdoa sebelum tidur agar tidak mengalami mimpi buruk.

Aku juga sempat bercerita tentang gangguan ini ke salah
seorang teman lain yang cukup dekat di sekolah, sebut saja
nama­nya Deni. Setelah mendengar ceritaku, sifatnya berubah,
dia beranggapan bahwa aku hanya bermimpi atau mungkin me­
ngada-ngada. Aku cukup menyesal sudah bercerita kepadanya.

Aku belajar bahwa tidak semua orang bisa percaya ataupun
terbuka dengan hal-hal semacam ini.

*****



Pengakuan Dosa



Aku bersekolah di sekolah Katolik. Sekolah mendukung para
murid yang beragama Katolik untuk melakukan pengaku­
an dosa setahun sekali. Bekerja sama dengan pemuka
agama dari gereja terdekat, disusunlah jadwal agar para murid
bisa ikut serta tanpa menganggu kegiatan belajar-mengajar.

Aku, Dina, dan beberapa teman kami mengikuti kegiatan pe­
ngakuan dosa secara bergantian. Dina memintaku memanfaat­
kan kesempatan ini untuk berkonsultasi dengan romo (pemuka
agama katolik) tentang mimpi burukku. Dia percaya bahwa
romo bisa menangkanku dan memberikan solusi yang tepat.

Giliranku tiba, rasanya sangat menegangkan masuk ke bilik
itu. Ketika masuk, aku harus membeberkan segala dosa dan
keb­ urukan yang pernah kulakukan di hadapan romo. Dalam
ruangan itu, aku dan romo dihalangi oleh pembatas agar romo
tidak melihat siapa aku lalu nantinya aku bisa keluar dari
ruangan itu tanpa beban.

Tiap dosa dan pengakuan memiliki kewajiban yang berbeda-
beda saat keluar dari ruangan tersebut. Semakin berat dosa
yang diperbuat, semakin banyak pula hal yang perlu dilakukan.
Terakhir aku mengaku dosa, aku diminta untuk membaca doa
dan ayat alkitab sesuai dengan arahan yang sudah diberikan.

Harapanku sangat besar pada pengakuan dosa kali ini. Aku
mulai percaya bahwa apa yang kualami bukanlah hal besar dan
akan segera berakhir setelah melakukan pengakuan dosa.

Aku meminta waktu lebih pada romo untuk mendengark­ an
curhatanku. Kuceritakan semua yang kualami, mulai dari sosok-
sosok yang bermunculan, suara yang entah dari mana asalnya,
sampai mimpi buruk yang menunggu tiap malam. Belum selesai
ber­cerita, tiba-tiba sang romo membuka bilik tersebut dan me­
megang tanganku.

“Kamu yang sabar. Kamu nggak apa-apa, jangan takut,”
katanya.

“Kenapa Romo?” balasku.
“Setelah pulang dari sini, kamu harus baca doa Bapa Kami
& Salam Maria minimal sekali sehari. Minta air suci, minum dan
tebar di sekitar rumah. Lalu, bawa rosario yang sudah diberkati
ke mana pun kamu pergi,” jelasnya.
Mendengar jawabannya aku langsung terdiam kaku. Tidak
tahu harus merespons seperti apa. Harapan dan sug­ esti yang
sudah kubangun hancur seketika. Tak kusangka dia akan
membuka pembatas itu, memegang tanganku, dan me­nge­luar­
kan beberapa syarat yang menurutku tak biasa.
“Terima kasih Romo,” jawabku.

****

Setelah melakukan pengakuan dosa, orang pertama yang
kuh­ampiri adalah Dina. Kuceritakan semua yang kualami di
dalam bilik pengakuan serta syarat-syarat yang diminta romo.
Ekspresi Dina kala itu langsung berubah, dia juga tak me­
nyangka romo malah mengisyaratkan bahwa yang aku alami
bukan mimpi buruk biasa.

“Sori banget Fil, bukannya apa, tapi gua beneran takut,”
jawab Dina.

Dari situ terlihat jelas, dia bukan takut denganku, dia hanya
tidak sanggup mendengar cerita tentang gangguan yang aku
alami. Sejak saat itu aku menyesal karena telah menceritakan
gangguanku ke Dina. Aku tidak tahu hasilnya akan seseram film-
film horor yang aku tonton. Aku mulai membatasi dan berusaha
untuk tidak lagi membahas tentang gangguanku kepadanya.

****

Aku mencoba melakukan apa yang disarankan romo be­
berapa hari setelah pengakuan dosa. Kupersiapkan semua yang
dib­ utuh­kan, mulai dari membeli rosario baru, meminta berkat
pada romo, dan meminta air suci untuk diminum dan disiram ke
sekitar rumah. Aku juga berdoa Bapa Kami & Salam Maria tiap
aku memiliki waktu kosong.

Malamnya, aku cukup gugup dan kesulitan untuk tidur.
Mata yang mulai berat akhirnya memaksaku beristirahat. Tidak
sampai semenit, aku dipertemukan dengan 8 sosok arwah gen­
tayang­an yang berdiri mengitari kasurku. Aku terdiam melihat
wujud mereka yang seram dengan jumlah yang lebih banyak dari
biasan­ ya. Pandangan mereka terfokus kepadaku, lalu ketika aku
men­coba menggerakkan badan, mereka langsung mendekatiku.

Semua sosok itu mulai menarik aku secara bersamaan. Tak
bisa kuabaikan gangguan satu ini, sentuhan kasar dan aroma
tak sedap menusuk hidungku.

“Filo? Bangun! Masuk!” teriakku dalam hati.
Aku butuh waktu yang lebih lama dari biasanya untuk me­
nyadarkan diri dan terbangun dari tidur. Seolah mereka dengan
sengaja menarikku agar tidak terbangun. Aku tidak tahu apa
yang sebenarnya terjadi, tapi jelas gangguan ini lebih ekstrem
dari biasa­nya. Aku beranggapan bahwa setelah melakukan
syarat yang diminta romo, mereka jadi melihatku dengan lebih
jelas dan sadar bahwa aku bisa melihat atau merasakan ke­
beradaan mereka.
Aku lakukan syarat yang diminta selama 3 hari berturut-
turut, dan di hari keempat aku berhenti karena tidak sanggup.
Aku belum siap melihat wujud mereka yang mengerikan apalagi

melawannya. Tiap aku mengikuti apa yang dikatakan romo,
gangguan yang datang jauh lebih seram dari sebelumnya.

Setelah pengakuan dosa, tidak ada yang membaik, semua
malah jadi terasa lebih buruk. Aku semakin sadar bahwa apa
yang kualami bukan sekadar mimpi buruk biasa. Yang kulihat
nyata, dan aku bisa mengingat semuanya.

****

Hanya Ingin Cepat
Lulus SMA



Saat kelas 3 SMA, gangguan yang kudapat semakin menjadi.
Sesekali aku melihat arwah gentayangan penghuni sekolah.
Beberapa kali mereka mencoba menakutiku. Ini mem­buat­
ku sangat kelelahan sehingga aku kembali tertidur di kelas. Dan
kembali terjadi, aku mendapat teguran keras dari guru karena
dianggap tidak serius dan menyepelekan pelajaran.

Seusai pelajaran, aku diminta menghampiri guru tersebut
dan meminta maaf. Dari sudut ruang guru tiba-tiba terdengar
suara salah seorang guru, “Saya tahu nih, kamu pasti ketiduran
di kelas karena kebanyakan main game,” katanya.

Semua guru langsung melihatku, dan aku tidak suka dengan
tatapan itu. Aku yang tidak merasa melakukan itu terbawa
emosi lalu dengan menjawab guru itu.

“Asal ibu tahu, saya punya PS1, PS2, dan komputer, tapi itu
semua jarang saya pakai karena saya kurang suka main game.
Jangan menuduh saya sembarangan kalo nggak tahu apa-apa!”
balasku dengan nada menantang.

Guru itu kaget dan terdiam mendengar balasanku. Aku
lang­s­ ung meninggalkan ruang guru sambil menatapnya dengan
penuh emosi.

Salah seorang guru yang mengetahui kondisiku merasa
kasian dan ingin tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi ke­
padaku. Dia memintaku bercerita jujur, memberi penjelasan
kenapa aku sering tertidur di kelas dan tidak fokus. Kuceritakan
semua, berharap dimengerti tanpa dinilai sembarangan.

“Apa perlu ke psikiater?” katanya.
Aku langsung menyesal karena bercerita sesuai dengan per­
minta­an­nya. Aku tahu dia memiliki niat baik, tapi dia ternyata
tidak mengerti.

Suatu hari kembaranku mengadu. Dia bilang salah seorang
guru masuk ke kelasnya dan menghinaku. Guru itu bilang aku
hanya­lah anak pemalas yang tidak naik kelas dan senang ber­
ulah. Dia juga bilang kalau aku tidak memiliki niat sama sekali
untuk bersekolah. Hinaan itu menyebar dengan cepat se­
hingga semua orang di lingkungan sekolah menatapku seperti
mengejek. Aku kembali menangis dalam diam.

Gangguan memburuk, teman dekat menjaga jarak, dan
guru beranggapan bahwa aku gila. Aku sudah tidak tahu harus
berbuat apa.

Meski begitu, tidak semua yang ada di sekolah bersikap
buruk kepadaku. Masih ada orang-orang baik dan membelaku
di saat aku mendapat perlakuan memalukan dari sesama siswa.
Ada juga guru yang menyemangati dan membela setelah tahu
masalahku.

Aku hanya ingin segera menyelesaikan sekolahku dan pergi
dari lingkungan ini. Aku ingin hidup di lingkungan baru, di mana
tidak ada yang mengenalku.

****


Click to View FlipBook Version