The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by gagasmedia, 2022-08-16 07:39:50

You Are Loved

@quranreview

BAGIAN 1

Start
with
Love

viii

1

“Aku akan selalu mencintaimu, apa pun yang akan
terjadi.”
Pernah dengar ucapan seperti itu, nggak? Atau, kamu
sendiri yang mengucapkannya kepada seseorang?
Kalau kamu pernah bilang begitu, mungkin kamu bisa
menjawab pertanyaan berikut.
Bagaimana jika orang tersebut kemudian menyak­i­
timu? Apakah kamu masih mencintainya?
Bagaimana jika orang tersebut menyakitimu ber­
ulang kali? Bagaimana kalau dia ternyata membuat
kesalahan fatal, seperti berselingkuh? Apakah kamu masih
mencintainya?

2

Pertanyaan lainnya, bagaimana jika keberadaannya
ternyata mengancam keselamatanmu, masihkah kamu
tetap mencintainya? Hmm … I don’t think so.

Tidak semua orang betah dengan perlakuan sep­ erti
itu dari orang yang dicintainya. Bahkan, kadang perb­ uatan
yang menyakiti hati jauh lebih menyakitkan jika pelakunya
orang yang kita cintai. Bayangkan bagaimana rasanya
diumpat, di-bully, atau dibilang penipu oleh orang lain?
Lalu, bayangkan jika hal tersebut dilakukan oleh keluarga
kita sendiri.

Sulit menemukan orang yang benar-benar menc­ intai
meski sudah disakiti. Namun, sulit bukan berarti tidak
ada. Ada. Dia adalah orang yang dekat dengan kita. Yang
mungkin berkali-kali kita sakiti, tapi tetap mencurahkan
cintanya pada kita.

Dia adalah Ibu.
Kamu jelas tidak ingat momen-momen saat kamu
masih berada di dalam kandungan ibumu. Apa yang kamu
lakukan saat itu? Menendang-nendangnya di dalam perut,
mengambil nutrisi dari tubuh ibumu, juga membuatnya
tidak nyaman saat tidur. Kamu membatasi gerakannya,
menjadi beban yang semakin hari semakin berat, hingga
kakinya bengkak. Jelas, semua itu bukan hal yang nyaman.
Namun, apa yang justru ibumu lakukan?
Dia tetap tersenyum sambil mengusap lembut
perutnya. Saat ibumu kehujanan atau kepanasan, kamu

3

tetap nyaman berada di dalam perutnya. Belum lagi saat
ibumu melahirkan. Kamu adalah alasan ibumu merasakan
rasa sakit yang luar biasa. Mungkin juga menjadi penyebab
ibumu mengalami pendarahan yang luar biasa. Tidak
menutup kemungkinan, kamu hampir membunuhnya.
Sebab saat melahirkanmu ke dunia, ibumu benar-benar
bertaruh nyawa.

Namun sekali lagi, lihat apa yang kemudian terjadi,
setelah kamu hampir saja membunuhnya. Apakah dia
marah padamu? Apakah dia mencaci-makimu, sebab
selama 9 bulan kamu sudah menyusahkan dirinya? Apa­
kah rasa cintanya kepadamu hilang? Tidak. Sebaliknya, dia
justru semakin menyayangimu.

Wanita kadang memang “aneh”. Orang yang
menyakiti dan hampir membunuhnya malah menjadi
seseorang yang paling dia sayangi. Kenapa itu bisa
terjadi? Sebab, pada diri wanita, Allah berikan sesuatu
yang memiliki nama sebagaimana nama-Nya, yaitu rahim.

Rahim atau rahmi dalam bahasa Arab memiliki akar
kata yang sama dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahim, yaitu
rahima-yarhamu-rahmah. Imam Raghib Al-Ashfahani, salah
satu tokoh favorit aku dalam belajar bahasa Arab klasik,
dalam kitabnya yang bertajuk Al-Mufradat fi Gharibil
Qur’an, menyatakan bahwa rahmah artinya “kelembutan
yang dapat berarti kebaikan pada orang yang dikasihi”.

Kata rahma ini sering kali diterjemahkan menjadi
“belas kasih”, atau dalam bahasa Inggris “mercy”.

4

Padahal, ini kurang tepat, sebab belas kasih itu rasa yang
hadir dengan didahului oleh hukuman.

Pernah nonton Aquaman dari DC? Kamu bisa scan
barcode di bawah ini untuk melihat potongan filmnya.

Itu adalah cuplikan 100 4:33
pada bagian akhir
film Aquaman. Dalam
fragmen tersebut, Arthur,
sang tokoh utama,
berhasil mengalahkan
King Orm dalam
perkelahian di atas laut.

Singkat cerita,

King Orm adalah orang

yang membunuh ibu

Arthur. Setelah berhasil

mengalahkan King

Orm, Arthur memiliki

kesempatan untuk

membalas dendam atas

kematian ibunya. Tapi,

apa yang dilakukan oleh

Arthur? He shows his

mercy. Dia menunjukkan belas kasihnya dengan tidak

membunuh orang yang telah membunuh ibunya.

5

Belas kasih adalah rasa sayang yang hadir setelah
adanya kesalahan. Seperti seorang mahasiswa yang berbuat
salah kepada dosen di kampus. Dia seharusnya mendapat
hukuman. Tapi, dosen tersebut malah menunjukkan
belas kasihnya dengan tidak menghukumnya. Nah, sikap
tersebut kurang tepat untuk menerjemahkan kata rahmah.

Mengapa? Sebagaimana seorang ibu yang tetap
menyayangi anaknya meskipun sang anak hampir mem­
bunuhnya, rasa sayang sang dosen kepada mahasiswa
tersebut tetap ada meski dia telah melakukan kesalahan.
Rahmah adalah rasa sayang, rasa cinta yang akan tetap
ada, apa pun yang terjadi. Di antara semua yang dengan
tulus melimpahkan kasih sayangnya, Allah adalah yang
paling dahsyat rasa sayangnya.

Bayangkan, Allah tetap menyayangi hamba-Nya
meski dia sering berbuat dosa. Allah tetap memberikan
anugerah-Nya pada hamba tersebut berupa tubuh yang
sehat, meski dia telah ingkar pada-Nya. Apa pun yang
terjadi dalam hidup kita di dunia ini, Allah akan selalu
menyayangi kita. Rahmah adalah rasa yang tak memerlukan
sebab atau alasan untuk mencintai atau menyayangi.

Selama ini mungkin kita mencintai seseorang karena
berbagai alasan. Tidak salah. Namun, jika kita mencintai
seseorang dengan sebuah alasan, cinta itu juga akan pergi
saat alasan itu sudah tidak ada lagi. Kalau kamu men­
cintai seseorang karena ketampanannya, maka saat dia
tak tampan lagi, atau kamu melihat orang lain yang lebih

6

tampan darinya, cintamu padanya mungkin akan pudar.
Jika kamu ingin mencintai seseorang karena suatu alasan,
cintailah dia karena Allah. Sebab, Allah tidak akan pernah
pergi.

Mencintai tanpa alasan memang terkesan sulit. Sebab
itu adalah cara-Nya mencintai, bukan cara yang lumrah
dilakukan oleh manusia kepada sesamanya. Namun, meski
sulit, bukan berarti kita tidak perlu berusaha mencintai
dengan cara-Nya. Nah, sebaik-baik cara untuk belajar
mencintai adalah dengan kembali pada Alquran.

Ada banyak hikmah dari ayat-ayat Alquran yang
bisa kita petik terkait kata rahmah. Sayangnya, karena
keterbatasan ilmu kami, hanya 17 hikmah kata rahmah
yang bisa kami ketengahkan. Mari kita mulai.

***

7

17 TASTE
OF LOVE

8

Love is a Result

Cinta pada pandangan pertama? Hmm… beneran ada?
Mungkin, lebih tepatnya nafsu pada pand­ angan per­tama.
Sebab, organ yang kali pertama bekerja pada pandangan
pertama adalah mata, bukan hati. Dari pandangan itu, lalu
muncul ketertarikan fisik dalam bentuk kekaguman, atau
terpesona oleh penampilan luar.

Konon yang sering mengalami itu adalah muda-
mudi. Sayangnya, beberapa dari kita ada yang kesulitan
membedakan, mana itu cinta dan mana kekaguman
sesaat.

Dalam bahasa Arab, cinta disebut hubb. Istilah yang
hampir sama adalah habbah, yang artinya bebijian. Kedua
kata ini memiliki akar yang sama: ha’ dan ba’. Nah, dalam
bahasa Arab, jika dua kata memiliki akar kata yang sama,
maka di dalamnya mungkin memiliki korelasi makna.

Biji dan cinta itu punya korelasi makna yang sangat
dalam. Cinta itu seperti biji: ia mesti ditanam, disiram,
dipupuk, dijaga dengan baik, agar bisa menjadi pohon
yang membuahkan kasih sayang. Seperti biji yang tumbuh,
ia butuh proses yang tidak sebentar. Tergantung di tanah
mana ia tumbuh. Kalau tertanam di hati yang subur, ia
akan tumbuh dengan baik. Tapi kalau tertanam di hati
yang sakit, ia akan sulit untuk tumbuh dengan baik.

Dalam surat Al-Baqarah ayat 157, Allah menyeb­ utk­ an
kata rahmah.

9

‫أا ْوُٰلل ِْئه َتَ ُكد ْوَعََلنْيِه ْم َص َل َوا ٌت ِم ْن َرِّبِه ْم َو َر ْح َم ٌة ۖ َوُأوٰل ِئ َك ُه ُم‬.ُ

“Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan
rahmah dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang
mendapat petunjuk.”

Dalam ayat ini, Allah memberi tahu kita tentang “me­
reka”, yakni orang-orang yang mendapatkan rahm­ ah
dari Allah. Tentu kita penasaran, siapakah mereka itu?
Jawabannya ada pada ayat sebelumnya, yaitu ayat 155.

‫ َوَلو َانْ ْبَلُْلن َُفوَّن ُ ِكسْم َ ِوبال� ََّثش َْمي ٍَءرا ِمِتَ ۗن َاوَْبل َِّخش ِْوراِلف َ َّوصا ْالِب ُ ِجرْيوَِنع َوَن ْق ٍص ِم َن ا ْ َل ْم َوا ِل‬.َ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan ke­pada­mu dengan sedikit
ketakutan, kel­ap­ aran, kekur­ angan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan
berikanlah berita gemb­ ira kepada orang-orang yang sabar.”

Rahmah adalah hasil akhir, pemberian dari Allah
kepada orang-orang yang sabar saat mereka mend­ apatkan
ujian dari-Nya berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa, dan buah-buahan.

10

Dalam ayat ini mungkin kita bertanya-tanya tentang
kata tsamaroot, yang artinya buah-buahan. Kita bukan
seorang pedagang atau petani buah, lantas apa maksud
Allah menguji kita dengan buah-buahan?

Ini metafor. Buah adalah hasil akhir tanaman, dan Allah
menguji kita dengan hasil akhir yang akan kita dapatkan.
Seperti petani yang sudah menanam padi berbulan-bulan,
lalu tiba saat untuk memanen, tapi tiba-tiba banjir datang
dan akhirnya gagal panen.

Ada seseorang yang menjalankan bisnis, berjuang
dari nol. Mengeluarkan modal banyak, kerja siang-malam,
mengatur produksi, marketing, hingga pengi­riman produk
kepada pelanggan. Dalam hitungan bisnisnya, BEP (Break-
Even Point) atau kembali modal pada waktu 6 bulan.

Namun, apa yang terjadi setelah 6 bulan, di waktu
dia seharusnya bisa menikmati hasil usahanya? Bisnisnya
malah bangkut, sebab pabriknya terbakar. Sudah PDKT,
kenalan dengan orangtuanya, menjadi ojek online
dadakan karena setiap hari antar-jemput, sampai harus
berjuang meyakinkan orangtuanya, sampai masuk prosesi
lamaran atau khitbah. Undangan disebar, gedung disewa,
juga dekorasi pelaminan, make up, dan katering sudah
dipesan. Sehari sebelum tanggal pernikahan, terjadi
kecelakaan yang membuat mempelai pria meninggal.

Kita sudah berusaha semaksimal mungkin. Berikhtiar
untuk memberikan yang terbaik dalam setiap proses untuk

11

mewujudkan harapan kita. Namun, hasil kadang memang
nggak sesuai dengan yang kita harapkan.

Ungkapan “hasil tidak akan mengkhianati usaha”
nggak berlaku jika rencana-Nya sudah ditetapkan. Sebagai
muslim, usaha atau ikhtiar adalah tugas kita, tapi hasilnya
mutlak hak Allah.

Nggak ada manfaatnya memaksa Allah mewujudkan
sesuatu agar sesuai dengan keinginan kita. Sebab, ujung-
ujungnya adalah kecewa, bahkan bisa membuat kita
berburuk sangka: bahwa ini adalah keputusan-Nya yang
buruk. Padahal, apa pun yang ditetapkan Allah untuk kita
adalah kebaikan.

Sebagaimana tertulis dalam ayat 155 di atas, satu-
satunya solusi dari ujian kita alias kunci jawabannya hanya
satu: sabar. Saat kita benar-benar bisa bersabar, Allah akan
memberikan rahmah-Nya untuk kita, term­ asuk rahmah
yang utama, yakni didekatkan pada-Nya.

Cinta adalah kata kerja. Sebagaimana kata kerja,
cinta butuh subyek atau pelaku. Cinta hanyalah rasa yang
kosong; nggak berarti apa-apa tanpa siapa yang mencintai
dan siapa yang dicintai. Semakin berarti dan berharganya
cinta terlihat dari siapa cinta itu berasal. Demikian pula
cinta yang didapatkan oleh orang-orang yang bisa
bersabar saat mendapatkan ujian. Itu bukan cinta biasa,
sebab itu adalah cinta dari Sang Mahacinta.

Perhatikan bagaimana skenario untuk mendapatkan
rahmah dari Allah. Panjang dan berat prosesnya. Rahmah

12

dari-Nya dalam ayat di atas bukanlah sesuatu yang instan
untuk kita dapatkan. Ada kerja keras untuk mendapatkan
cinta dari-Nya. Semua itu dimulai dengan kesabaran
dalam menghadapi ujian yang diberikan.

Langkah awal yang baik untuk mendapatkan cinta
yang baik adalah bersabar terhadap segala ujian (baca:
sikap atau perilaku) dari orang yang kita cintai. Soalnya,
nggak jarang seseorang yang kita cintai melakukan hal-hal
yang nggak kita sukai, bahkan hal-hal yang menyakitkan
hati.

Benar, kesabaran adalah koentji. Sabar. Kata yang
sederhana, tapi sering dilupakan. Surat Al-Baqarah ayat
155 di atas adalah reminder bagi kita dalam mencintai
atau menyayangi sesama.

Semuanya butuh proses. Rahmah adalah buah yang
manis dari pohon yang tumbuh di hati yang penuh
kesabaran.

***

Love is a Goal

Saat ayat ini turun, Abdullah bin Jahsy berkata kepada
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, “Ya Rasulullah,
boleh tidak, kami berharap terjadi perang? Agar kami bisa
mendapatkan pahala seorang mujahid.”

13

Abdullah bertanya dengan antusias dan penuh harap.
Kata-katanya seperti menginginkan rahmah yang besar
dari Allah, meski dia tahu cara mendapatkannya adalah
dengan perang, dan kehilangan nyawa adalah risikonya.

Pernah nggak, kamu begitu menginginkan sesuatu
di dunia ini, yang untuk mendapatkannya adalah mem­
per­taruhkan nyawa kamu? Nah, satu-satunya yang pantas
untuk ditukar dengan nyawa kamu adalah rahmah dari
Allah.

‫إُأ َّنوٰلاِئَّل َِذكْي َيَ ْنر ُآجَمْ ُون َْنوا َرَ ْواح َّلَمِ َذ ْةياَنَّل ِ َلهۚا َوَاج َُّلرُْولا ََغوُفَجْاو ٌ َره َُّردِْحو ْاي ِ ٌفمْي َس ِب ْي ِل ا َّل ِل‬.ِ  

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang ber­
hijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmah
Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Saat mempelajari ayat ini, kita akan mendapati
bahwa ayat ini turun di bulan Rajab. Kurang lebih 2 bulan
kemudian, yaitu pada bulan Ramadan, terjadilah perang
Badar. Perang yang mengguncang hati siapa pun yang
ada di dalamnya.

Saat peperangan lainnya hanya fokus mengh­ ancurkan
musuh, perang ini tidak semudah itu. Ada hati yang juga
berperang, berkecamuk semua rasa, sebab yang akan
mereka lawan bukanlah musuh yang tidak mereka kenal.

14

Ya, musuh yang akan mereka hancurkan itu adalah
orang-orang yang mereka kenal sejak lama: anak-anak,
ayah, paman, dan kerabat mereka sendiri semasa mereka
berada di Mekah. Menebas batang leher musuh mungkin
lebih mudah jika dia bukanlah ayah sendiri. Mustahil
sanggup kecuali orang-orang yang di dalam hatinya telah
dipenuhi rasa cinta terhadap Allah dan Rasul-Nya.

Selang beberapa waktu kemudian, terjadilah perang
Uhud. Dan Abdullah bin Jahsy akhirnya syahid di medan
perang itu sesuai dengan harapannya yang dia sampaikan
kepada Rasulullah: pahala seorang mujahid, rahmah dari
Allah.

Kembali ke ayat di atas. Dalam ayat itu, Allah menyebut
orang-orang yang berhijrah. Kita sudah sering mendengar
kisah hijrahnya Rasulullah dan pada sahabat dari Mekah
menuju Madinah. Hanya setelah sampai di Madinah,
Rasulullah mengumumkan untuk mempersaudarakan
orang-orang Muhajirin (Mekah) dengan orang-orang
Anshar (Madinah).

Pengumuman itu jelas menenangkan, melegakan,
dan membahagiakan orang-orang Muhajirin. Kabar itu
baru mereka ketahui tatkala mereka sampai di Madinah.
Saat di Mekah, mereka belum mendengarnya.

Bayangkan bagaimana perasaan mereka saat di­perin­
tahkan oleh Rasulullah untuk hijrah ke Madinah.

15

Di Mekah, mereka punya rumah yang nyaman, bisnis
yang menjanjikan, juga keluarga yang mereka sayangi.
Lalu perintah untuk hijrah ke Madinah datang, yang
berarti mereka harus meninggalkan keluarga, bisnis, dan
rumah mereka.

Lebih dari merantau tentunya. Jika merantau masih
ada kemungkinan untuk pulang kampung, tidak begitu
dengan hijrah. Orang-orang Muhajirin tidak tahu sampai
kapan mereka harus meninggalkan Mekah. Yang mereka
tahu adalah perintah Allah dan Rasul-Nya.

Meninggalkan rumah, meninggalkan keluarga demi
Allah dan Rasul-Nya jelas bukan hal yang mudah.

Salah satu hikmah yang bisa dipetik dari hijrah adalah
perlunya keberanian untuk lepas dari zona nyaman. Hijrah
adalah bergerak, move on dari zona yang membuat kita
terlena. Seseorang nggak akan bisa keluar dari zona
nyamann­ya tanpa ada keinginan yang kuat dari dalam
hatinya.

Jika kita bekerja di sebuah perusahaan dan memiliki
penghasilan tetap setiap bulan, punya rutinitas berangkat
pagi-pulang sore, serta masa tua yang terjamin dengan
uang pensiun, berapa persen kekuatan hatimu un­tuk
melepas semua itu, misalnya untuk terjun dalam dunia
bisnis? Tergantung prospek dan value bisnisnya, bukan?

Terlalu berisiko jika kita meninggalkan zona nyaman
tanpa perhitungan atau perencanaan setiap langkah demi

16

langkah yang akan kita ambil di zona tidak nyaman. Selain
itu, kita juga harus punya keyakinan dan harapan yang kuat.

Coba lihat lagi ayatnya. Sebelum Allah menyebut kata
haajaruu (berhijrah), Allah menyebut dulu kata aamanuu
(beriman). Nggak mungkin seseorang bisa berhijrah
kecuali dia punya keimanan terlebih dulu, punya keyakinan
yang kuat lebih dulu. Nggak cukup di situ, ayatnya kan
berlanjut: yarjuuna, dari kata roja’ yang artinya “harapan”.
Itu artinya, diawali dengan keyakinan, diakhiri dengan
harapan.

Guru Tafsir Universitas Islam Madinah, Syaikh Dr.
Muhammad Sulaiman Al-Asyqar memberi insight me­narik
tentang kata roja’ saat beliau menafsirkan ayat ini. Beliau
bilang, ada tiga unsur penting dalam sebuah harapan,
yang bila tidak ada ketiga unsur ini di dalamnya maka
harapan hanyalah akan menjadi mimpi semata.

Tiga unsur itu adalah cinta, takut, dan usaha.

Saat kita mengharapkan sesuatu maka harapan itu
membutuhkan tiga hal penting, yakni mencintai harapan
itu, takut harapan itu nggak terwujud, dan berusaha
maksimal agar harapan itu tercapai.

Sejenak, cek kembali seserius apa harapan kita. Ya
sih, ingin banget harapan itu terwujud, tapi apakah sudah
maksimal ikhtiar kita untuk mewujudkannya?

Terkait harapan, ternyata ayatnya nggak berhenti di
situ. Namun, diakhiri dengan asma’ul husna yang indah,

17

yaitu walloohu ghofuurur rohiim, dan Dialah Allah Yang
Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

Akhir-akhir ini sering kita dengar, “Nggak usah nga­
rep, nanti sakit hati. Biasa-biasa aja lah!” atau sep­ erti kata
Shakespeare, “Expectation is the root of all heartache.”

Quote yang sekilas terdengar “ya juga ya” ini biasa­
nya diamini oleh orang yang pernah sakit hati begitu
dalam atau pernah gagal total dalam mew­ujudk­an
harapannya. Namun tunggu, apa benar harapannya itu
nggak terwujud? Bukankah banyak faktor yang men­ye­
babkan suatu harapan nggak terwujud? Di atas semua itu,
yang paling sering dilupakan ketika sese­orang berharap
adalah pada siapa harapan itu digantungkan.

“Aku sudah merasakan semua kepahitan hidup dan
yang paling pahit adalah berharap kepada manusia,” tutur
Ali bin Abi Thalib.

Kadang yang salah dalam harapan kita bukanlah
usaha kita, atau cara kita merealisasikan harapan tersebut,
tapi kepada siapa kita meletakkan harapan tersebut.

Dalam ayat yang kita bahas tadi indah sekali. Yakni
perihal orang-orang yang berharap akan rahmah dan
mereka meletakkan harapannya itu kepada Ar-Rohiim.

Selain itu, ayat ini mengajarkan kepada kita agar
jangan salah dalam menyandarkan sebuah harapan. Hanya
dengan menyandarkan harapan pada rahmah Allah maka
ketenangan hati di setiap langkah untuk mewujudkan
harapan tersebut akan kita raih.

18

***

Love is a Key

(semua masalah dalam hidup kuncinya adalah rahmah)

“Love and compassion are surely the key,” pesan musisi
sekaligus storyteller Elton John dalam bukunya Love
is The Cure: Of Life, Loss, and the End of AIDS. Elton
John adalah tokoh yang mendedikasikan hidupnya untuk
membantu sekaligus menjadi inspirasi dalam perang
melawan HIV/AIDS.

Pada bagian awal bukunya, Elton tidak memaparkan
data, angka, atau fakta menakutkan seputar HIV/AIDS, tapi
menceritakan teman-temannya yang tertular penyakit ini,
termasuk salah satunya vokalis Queen, Freddie Mercury.

Tahun 80-an adalah awal munculnya penyakit
tersebut, yang hingga kini belum ditemukan obatnya. Itu
sebabnya HIV/AIDS sudah seperti teror bagi masyarakat.
Sebab, orang yang tertular penyakit ini kecil kemungkinan
untuk sembuh. Obat-obatan yang ada hanya bisa
“memperpanjang” masa hidupnya saja.

Jika sekarang kita berada dalam cengkeraman
Covid-19 yang telah memakan korban begitu banyak,
kondisi saat HIV/AIDS baru ditemukan kurang lebih sama
menakutkannya bagi masyarakat.

19

Karena obat untuk menyembuhkan HIV/AIDS belum
ditemukan maka cinta dan kasih sayang adalah satu-
satunya yang bisa diharapkan. Sebab, yang membuat HIV/
AIDS menakutkan dan telah membunuh jutaan orang di
dunia, selain karena melemahkan kondisi biologis manusia,
juga melemahkan cinta dan kasih sayang seseorang.

Orang yang tertular penyakit ini kadang merasa
“diabaikan” oleh masyarakat. Siapa yang mau hidup
dengan orang yang menderita HIV/AIDS? Menikah dan
punya anak sepertinya adalah harapan semu. Dalam
kondisi seperti itu, cinta bisa jadi merupakan obatnya.

Dalam interaksi kita dengan Allah, ada juga penyakit
yang menjangkiti hati kita. Begitu hebatnya penyakit ini
sampai-sampai kita susah untuk lepas darinya.

Allah menyebutkan dalam Alquran kata zaighun yang
artinya “berpaling”. Kalau kita pelajari lebih dalam makna
kata ini, ia sebenarnya bukan cuma berpaling, tapi juga
berpaling dengan sangat halus.

Coba deh, bayangin. Ada tukang bangunan yang
sedang menggali tanah untuk fondasi bangunan rumah.
Bentuknya memanjang, anggap saja 1m x 10m, dengan
kedalaman 1m. Dengan percaya diri, tukang tersebut
menggali begitu saja tanah yang sudah ditentukan.

Berjam-jam dia masuk ke lubang persegi panjang
yang dia gali, hingga selesai. Setelah naik ke permukaan
tanah dan melihat hasil galiannya, betapa kaget dirinya
karena bukan persegi panjang lurus yang dia buat, tetapi

20

persegi panjang yang bengkok. Padahal saat menggali,
dia merasa sudah membuat parit yang lurus.

Nah, seperti itulah zaighun: Seseorang berpikir dirinya
sudah melakukan hal yang benar, lurus, tapi ternyata
bengkok. Bengkoknya sama sekali tidak disadarinya,
sebab semula kebengkokannya hanya sedikit, tapi karena
terus dikerjakan, lama-lama kebengkokannya semakin
parah. Ketika orang tersebut tersadar, dia terkejut, “Lho,
kok jadi gini?!”

Allah Ta’ala berfirman,

“... janganlah kamu ‫َّوَل َت َّت ِب ُع ْوا ُخ ُط ٰو ِت ال َّش ْي ٰط ِۗن‬
(QS. Al-Baqarah: 168)
mengikuti langkah-langkah setan.”

Saat menggoda manusia, setan melancarkan
“softselling”, step by step. Itu sebabnya kita mendengar
kisah Barshisha yang begitu taat beribadah, tapi kemudian
berzina, membunuh, lalu bersujud pada Iblis.

Mengapa orang yang ahli ibadah seperti itu bisa
terjerumus dalam maksiat sedemikian besar? Sebab
Barshisha terperangkap dalam rencana dan makar setan,
yang step awalnya adalah dosa kecil yang biasanya
diabaikan orang.

21

Alhamdulillah, jika Allah masih menjaga iman kita.
Walau dalam perjalanan hidup kita terjatuh dalam dosa,
lalu tobat, berbuat dosa lagi, lalu tobat lagi.

Pernah nggak sih, terjebak dalam siklus dosa yang
menyebalkan. Sampai-sampai, kita nggak habis pikir saat
berdoa, “Ya Allah, kok aku ngelakuin ini lagi, sih?” atau
saat tobat kita berkata, “Ya Allah, tolong dong, jangan
biarin aku ngelakuin hal kayak gitu lagi.”

Pengin banget bisa lepas dari dosa itu. Namun,
kadang kita merasa sulit untuk melepaskan diri, sehingga
terjatuh dalam dosa itu lagi. Sudah berusaha istiqamah di
jalan-Nya, sudah bikin komitmen nggak melakukan dosa
itu lagi, tapi ternyata nggak kuat dan terjatuh lagi. Kalau
kamu pernah mengalami hal seperti itu, di ayat ini ada doa
yang pas banget.

ۚ ‫ ِرَّإبََّنناَ َك َلأ ُْنت ِ َز ْتغٱُْقلُلَ ْووََّبه َناا ُ َبب ْع َد ِإ ْذ َه َد ْي َت َنا َو َه ْب َل َنا ِم ْن َّل ُد ْن َك َر ْح َم ًة‬.َ

“(Mereka berdoa), ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati
kami con­dong pada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk
kepada kami, dan karuniak­anlah kepada kami rahmah dari sisi-
Mu; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)’.”
(QS. Ali Imran: 8)

22

Lihat deh, Allah menyebut kata laa tuzigh quluubanaa,
jangan Engkau jadikan hati kami condong. Tuzigh akar
katanya sama dengan zaighun yang sudah kita bahas di
awal tadi.

Dalam keseharian kita, mungkin kita merasa bahwa
cara beribadah kita kepada Allah sudah benar. Tapi,
pernah nggak, suatu waktu tiba-tiba tersadar, “Aku kok
bisa melakukan dosa kayak gini, sih?”

Sebenarnya bukan cara kita beribadah yang salah,
tapi arahnya yang tanpa sadar dibelokkan setan dengan
halus banget. Tahu-tahu nabrak aja.

Dari ayat ini juga kita bisa belajar bagaimana agar
terhindar dari kecondongan hati. Jawabannya tidak lain
adalah rahmah, love, atau cinta.

Kerennya dari doa ini adalah redaksinya. Coba
perhatikan kata sebelum rahmah. Allah menyebutkan
kata ladunka, sisi-Mu. Dalam bahasa Arab, “sisi-Mu” bisa
menggunakan kata ‘indaka. Namun, kenapa dalam ayat
ini Allah menggunakan kata ladunka?

Apa bedanya?

Saya punya iPad, dan semua orang di kantor thau
kalau saya punya iPad. Saat ini, iPad itu ada di sisi saya.

‘Indaka d­ igunakan untuk menunjukkan kepemilika­ n s­ e­
suatu yang semua orang sudah mengetahuinya. Sedang­
kan ladunka digunakan untuk menunjukkan kepemilikan
terhadap sesuatu yang bersifat rahasia, atau spesial, yang
hanya pemiliknya saja yang tahu.

23

Allah tidak menggunakan kata ‘indaka rahmah, tapi
ladunka rahmah. Maknanya bukan cinta atau kasih sayang
yang biasa, tapi cinta yang spesial dari sisi-Nya. Yang
dengan cinta itu Allah menjaga iman dalam hati kita dari
kecondongan terhadap kesesatan.

‫وََلق ِلْ ْوَي ًلل َف ْض ُل ا َّل ِل َع َل ْي ُك ْم َو َر ْح َم ُت ُه َل َّت َب ْع ُت ُم ال َّش ْي َطا َن ِإ َّل‬.َ

“Kalaulah tidak karena karunia dan rahmah Allah kepadamu, tentulah
kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).”

(Q‫ ًة‬S‫َم‬.‫ح‬Aْ ‫ر‬nَ -‫ك‬Nَ is‫ْن‬a‫’ُد‬:‫َل‬8‫ن‬3ْ )‫إ َْوذ َ َهأ َِّيوْئىَل َان ْلا ِفِمْت َْين ُةَأ ِْإمَل ِرىَناا ْلَرَكَ ْشه ًد ِاف َف َقا ُل ْوا َرَّب َنا آ ِت َنا ِم‬.ِ

“(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung
ke dalam gua, lalu mereka berdoa, ‘Wahai Tuhan kami, berikanlah
rahmah kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah
bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)’.”
(QS. Al-Kahfi: 10)

Sebagaimana kita pelajari dari ayat di atas, rahmah
menjadi jawaban bagi permasalahan Ashabul Kahfi yang
saat itu sedang terjebak di dalam gua. Rahmah adalah
koentji untuk berbagai urusan dalam kehidupan kita,
baik urusan keimanan di dalam hati maupun masalah
kehidupan di dunia.

24

***

Love is privilege

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

‫ ِإ َّن َما ال َّش ْأ ُن َأ ْن ُت َح َب‬،‫ َل ْي َس ال َّش ْأ ُن َأ ْن ُت ِح َّب‬.

“Yang terpenting itu bukan engkau mengaku mencintai, tapi apakah
engkau dicintai.”

Sebab, banyak di luar sana orang yang hanya me­
ngaku mencintai, mudah sekali berkata, “I love you,” tapi
kemudian cintanya bertepuk sebelah tangan. Yang dicintai
ternyata tidak mencintai. Bukan karena tak mau, tapi tak
pantas.

Apa yang dikatakan oleh Imam Ibnu Katsir tersebut
adalah komentar saat beliau menafsirkan ayat 31 dari
surat Ali Imran, “Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu’. Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”

Banyak orang yang dengan mudah mengaku
mencintai Allah dan Rasul-Nya, sampai-sampai ditulis di

25

bio media sosialnya: “Love Allah, Love Rasulullah”, juga
memakai kaus bertuliskan “Love Muhammad SAW” ke
mana-mana. Sayangnya, akhlaknya nggak mencerminkan
kalau dia benar-benar mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Bagaimana mungkin orang yang mencintai itu menyakiti,
mendurhakai, mengabaikan, dan melakukan sesuatu yang
nggak disukai oleh orang yang dicintainya itu.

Haruskah Allah dan Rasul-Nya mencintai balik orang-
orang yang demikian? Jawabannya adalah... ya, jika dia
bertobat dan kembali pada-Nya. Saat kita mencintai
seseorang, nggak jarang kita meminta konfirmasi kepada
yang kita cintai. Beberapa perempuan, bahkan sering
meminta afirmasi terhadap orang yang dicintanya, “Kamu
beneran cinta sama aku nggak?”

Coba deh, tanya para lelaki, sudah berapa sering
kekasihnya menanyakan demikian. Memang sih, cinta itu
nggak satu arah, tapi memberi dan menerima.

Sekali lagi, yang terpenting menurut Imam Ibnu Katsir
adalah dicintai.

‫ َي ْخ َت ُّص ِب َر ْح َم ِت ِهۦ َم ْن َي َش ٓا ُء ۗ َوٱ َّل ُل ُذوٱ ْل َف ْض ِل ٱ ْل َع ِظ ْي ِم‬.

“Allah menentukan rahmat-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya
dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Ali Imran: 74)

26

Ayat ini turun setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wassalam hijrah ke Madinah dan masih bertetangga
dengan orang-orang Yahudi. Kala itu, mereka membuat
makar dengan niat menghancurkan iman orang-orang
yang baru menjadi muslim.

Mereka panggil orang-orang yang terlihat berilmu
dari kalangan mereka, rahib-rahib mereka, untuk masuk
Islam. Namun, apakah benar-benar mereka masuk Islam?
Tentu tidak. Mereka masuk Islam pada siang hari, lalu
murtad di sore harinya. Ini adalah strategi mereka.

Sengaja mereka pilih orang-orang yang terlihat
berilmu dari kalangan mereka untuk menjalankan misi ini
agar saat mereka murtad, orang-orang awam menganggap
tindakan mereka benar.

“Oh... Pak Rahib, yang lebih berilmu dibanding kita,
setelah masuk Islam sorenya keluar lagi. Berarti memang
ada yang salah dengan ajarannya Muhammad.”

Mereka kemudian membuat berbagai isu untuk
mengingkari keNabian Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi
wassalam. Akarnya adalah rasa iri dan dengki, sebab para
Nabi dan Rasul sebelumnya banyak diutus dari kalangan
Yahudi. Mereka iri, sebab Nabi akhir zaman ternyata bukan
dari kalangan mereka.

“Benarkah, wahai Muhammad, kamu seorang Nabi?”

Dengan berbagai alasan mereka menganggap
Rasulullah nggak pantas menjadi seorang Nabi. Intinya,

27

mereka menganggap Nabi dan Rasul itu hanya layak dari
kalangan mereka. Selain dari kalangan mereka, berarti
tidak layak diikuti.

Akan tetapi, cinta adalah hak prerogatif yang dicintai.

“Memilih” dalam bahasa Arab bisa disebut ijtaba,
bisa juga isthafa. Ijtaba berasal dari kata jabu, yang artinya
“pajak”. Salah satu yang kita tahu dari pajak adalah tidak
semua orang diwajibkan membayar pajak, hanya orang-
orang tertentu dan memenuhi syarat.

Ijtaba adalah memilih berdasarkan kualifikasi atau per­
syaratan yang sudah ditentukan. Seperti halnya orang yang
melamar pekerjaan, ada ketentuan dan persyaratannya.
Ada alasan logis, juga ilmiah, untuk memilih. Jika tidak
memenuhi kualifikasi maka tidak akan diterima.

Isthafa berasal dari kata shafaa’, shad-fa-alif, yang
secara bahasa menurut Imam Raghib Al Asfahany bermak­
na­­“murni” atau “bersihnya sesuatu dari campuran”.

Coba deh, tanya perempuan yang memilih baju ber­
warna marun misalnya, “Kenapa kamu memilih baju ber­
warna marun, kenapa nggak warna yang lain?” Kemung­
kinan besar jawabannya, “Yaa karena aku suka aja warna
maroon.”

Nggak ada alasan logis atau ilmiah kenapa dia
menyukai marun. Dia memilih berdasarkan keinginan
hatinya, yang dia suka, tanpa perlu alasan apa pun.

Itulah isthafa, memilih sesuatu tanpa alasan, murni
dari hati, ingin memilihnya. Rasulullah shalallahu’alaihi

28

wassalam juga dikenal dengan Al-Musthofa, The Chosen
One. Sebagaimana Allah memilih para Rasulnya,

‫ٱَب َّل ُِلص َْيي ٌر ْص َط ِفى ِم َن ٱ ْلَ َٓل ِئ َك ِة ُر ُس ًل َو ِم َن ٱل َّنا ِس ۚ ِإ َّن ٱ َّل َل َس ِم ْي ٌۢع‬.

“Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia;
sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-
Hajj: 75)

Saat memilih Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi
wassalam sebagai Nabi dan Rasul, Allah nggak butuh
alasan logis. Allah nggak butuh alasan ilmiah. Meskipun
jika kita pelajari dari segi mana pun akan kita temui bahwa
Rasulullah lah yang paling layak menjadi Nabi dan Rasul
dari manusia yang ada. Bayangkan, betapa indahnya Allah
yang memilih utusan-Nya karena cinta atau rahmah-Nya.

Sebuah hikmah yang luar biasa. Kita hanya bisa
berikhtiar, berupaya, berusaha semaksimal mungkin untuk
mendapatkan cinta dari orang yang kita cintai. Yang perlu
kita sadari, usaha yang sudah kita lakukan bukan jaminan
cinta kita berbalas.

Orang yang paling kecewa dan sakit hati dalam urusan
ini adalah orang yang menggantungkan hasil akhirnya
pada usahanya. Padahal hasil dari setiap usaha mutlak
ditentukan oleh Allah, bukan kita.

29

Kepada Yang Maha Membolak-balikkan Hatilah kita
seharusnya mengharap hasil dan menyandarkan setiap
usaha yang kita lakukan. Agar apa pun hasilnya, hati kita
tetap tenang sebab berada dalam “pelukan-Nya”.

Meski hasil adalah hak-Nya, bukan berarti kita boleh
berusaha sekadarnya. Usaha yang kita lakukan bukan
untuk memastikan hasil, melainkan untuk merayu rahmah-
Nya agar berkenan memberikan hasil yang kita inginkan
atau yang lebih baik lagi.

Bukankah sering saat kita benar-benar berusaha,
Allah nggak memberikan hasil yang kita inginkan, tetapi
memberikan hasil lain yang lebih baik daripada yang kita
inginkan?

Rahmah adalah privilese berupa hal tak terduga yang
hanya bisa didapatkan melalui keikhlasan kita dalam setiap
upaya.

***

Love is love’s energy

Patah hati konon seperti luka yang menoreh. Bisa sembuh,
tapi jejak lukanya tetap ada. Padahal, untuk sembuh dari
patah hati butuh energi yang nggak sedikit. Sangat meng­
uras tenaga.

30

Tujuh hari, tiga puluh hari, seratus hari, atau seribu hari,
waktu nggak bisa memberi jaminan untuk kesembuhannya.
Waktu hanya bisa menjawab “kamu pasti sembuh”,
entah berapa lama. Untuk yang mengalami, nggak bisa
no hard feeling lagi; berpura-pura baik-baik saja adalah
kepura-puraan yang paling terlihat. Rasanya juga mustahil
bersikap biasa saja.

Bagaimana dengan dendam? Tentu punya probabilitas
paling tinggi di hati. Lupakan bersikap manis, melempar
senyum saat tiba-tiba bertemu, atau menjawab basa-basi,
“Kabar aku baik”.

Patah hati menjadi semacam barrier, dinding
pembatas agar orang yang membuat parah hati tetap
berada di dunia yang lain, tetap di sana, nggak kembali
lagi. Seolah dalam diri kita ada antibodi yang secara
langsung maupun nggak, menolak keberadaannya.

Saat tubuh manusia terserang virus lalu sembuh, maka
di dalam tubuhnya akan terbentuk antibodi. Antibodi atau
sistem kekebalan tubuh itu berfungsi agar saat virus yang
sama menyerang kembali, tubuh nggak lagi terdampak
olehnya.

Saat orang yang membuat kita patah hati datang
kembali, hati juga memiliki “antibodi”. Dia lebih berhati-
hati, nggak lagi mudah membiarkannya masuk untuk
kembali membawa luka. Meski kadang, karena terlalu
berhati-hati sampai muncul “autoimun”, sehingga

31

“spesies” yang sama dengan orang yang membuat patah
hati itu terlihat sama.

Berkenaan dengan hal ini, coba tanyakan pada
perempuan saat usai patah hati, “Apakah semua laki-laki
itu sama?” Jawabannya bisa ditebak.

Pernah ada hari ketika rasa sakit datang kepada umat
Islam begitu hebat. Bukan hanya hati yang penuh sesak,
tapi juga tubuh yang berdarah-darah.

Ceritanya berawal dari kekalahan yang diterima
oleh orang-orang Quraisy saat Perang Badar. Kalah telak
dengan pasukan muslimin nggak membuat mereka kapok,
tapi justru menyulut api dendam dalam hati mereka.

Tentu mereka mempersiapkan balas dendam dengan
rencana yang paling matang. Selama satu tahun, mereka
menyiapkan pendanaan perang, mencari investor, donasi
perang ke sana-kemari, menggalang dana, lalu berkoalisi,
membentuk aliansi-aliansi dengan kabilah lain dengan
tujuan menghancurkan Madinah.

Setelah persiapan genap satu tahun, terkumpullah
3000 ekor unta, 200 orang penunggang kuda, dan 700
orang lengkap dengan baju zirah. Total keseluruhan ada
sekitar 3000 prajurit yang siap untuk menghancurkan
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan pengikutnya.

Mereka berangkat menuju Madinah dengan hati
yang bergejolak, penuh dengan dendam kesumat yang
siap untuk ditumpahkan. Namun, benar memang, yang

32

batil tidak akan bisa mengalahkan yang haq. Abbas bin
Abdul Muthalib, paman Rasulullah yang saat itu masih
berada di Mekah, menjadi mata-mata yang andal. Beliau
mengirimkan surat kepada Rasulullah yang berada di
Madinah dan memberikan kabar bahwa akan ada serangan
dadakan ke Madinah.

Suratnya pun diterima, dan pasukan muslim langsung
siaga satu. Nggak satu pun orang yang berada di Madinah
lepas dari senjata mereka. Bahkan saat salat, tangan
mereka memegang senjata.

Rasulullah dan para sahabatnya menggelar rapat
untuk menghadapi ancaman ini. Saat rapat itu, Nabi
mengutarakan mimpi beliau –sebuah pertanda.

“Demi Allah, aku bermimpi amat indah. Aku
melihat beberapa ekor lembu yang disembelih,
aku melihat mata pedangku yang rompal, dan aku
memasukkan tanganku ke dalam baju besi yang
kokoh.”

Hebatnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam,
beliau juga memiliki kemampuan Nabi-Nabi sebelumnya.
Di antaranya kemampuan Nabi Sulaiman ‘alaihissalam
dalam menundukkan jin.

“Ada jin ifrit menampakkan diri kepadaku tadi malam
untuk mengganggu salatku. Lalu, Allah memberikan
kemampuan padaku untuk memegangnya. Aku ingin
mengikatnya di salah satu tiang masjid, agar pagi harinya
kalian semua bisa melihatnya.

33

Namun, aku teringat doa saudaraku Sulaiman, “Ya
Tuhank­ u, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku ke­
kuasaan yang tidak dimiliki oleh seorang pun sesudahku.”

Kemudian, beliau melepaskan jin itu dalam keadaan
terhina.” (HR. Bukhari No. 461)

Selain itu, beliau shallallahu ‘alaihi wassalam
memiliki kemampuan dari Nabi Yusuf ‘alaihissalam, yaitu
menakwilkan mimpi. Sehingga maksud dari mimpi yang
diutarakan Rasulullah kepada para sahabatnya itu tentu
sudah beliau ketahui takwilnya.

Maksud dari mimpi “beberapa ekor lembu yang
disembelih” adalah beberapa sahabat beliau akan syahid
dalam peperangan itu. “Mata pedangku yang rompal”
takwilnya adalah anggota keluarga beliau akan ada yang
terluka.

“Baju besi yang kokoh” maksudnya adalah amannya
Kota Madinah. Seolah ini adalah kode dari Allah bahwa
strategi untuk menghadapi pasukan aliansi Quraisy adalah
defense strategy, bertahan di Madinah.

Jika musuh datang, semua penduduk Madinah bisa
ikut menyerang di mulut-mulut gang, lalu para wanita bisa
melancarkan serangan dari atap-atap rumah.

Saat itu, terdengar salah seorang sahabat yang
sebelumn­ya tidak ikut Perang Badar, “Ya Rasulullah,
sudah lama kami menunggu momen ini, setiap waktu kami
berdoa kepada Allah agar waktu seperti ini terjadi.

34

Ya Rasulullah, jangan sampai mereka memandang
kita sebagai pengecut. Kita perang, ya Rasulullah, hadapi
musuh-musuh itu.”

Kemudian terdengar juga paman beliau, Hamzah
bin Abdul Muththalib, “Demi yang menurunkan Al-Kitab
kepadamu. Aku tidak akan makan apa pun sebelum
pedangku ini membabat habis mereka di luar Madinah.”

Maka berangkatlah 1000 prajurit ke medan pepe­
rangan. Meski tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin
Salul memprovokasi, sehingga 300 pasukan berbalik
pulang ke Madinah, 700 prajurit kaum muslimin tetap siap
menghadapi 3000 prajurit kafir Quraisy.

Singkat cerita, terjadilah perang yang kemudian kita
kenal dengan Perang Uhud. Pada awal peperangan,
Rasulullah sudah mengatur sebuah strategi yang sangat
bagus. Tak terbayangkan sebelumnya oleh pihak musuh.
Yaitu meletakkan pasukan pemanah di atas bukit untuk
melindungi pasukan muslimin dari jauh. Strategi itu
berhasil, pasukan muslim menguasai keadaan.

Sebelumnya, Rasulullah sudah berpesan kepada tim
pemanah bahwa apa pun yang terjadi, mereka harus
stay di tempat, nggak boleh mengubah posisi sebelum
peperangan benar-benar selesai.

Peperangan masih berlangsung, dan pasukan kafir
mulai kocar-kacir menghadapi strategi ini. Kemenangan
seolah-olah sudah terlihat di depan mata kaum muslimin.
Namun sekali lagi, peperangan belum benar-benar selesai.

35

Sudah menjadi tradisi orang-orang Arab terdahulu
bahwa mereka membawa harta mereka saat berangkat
perang. Maka saat kalah dalam peperangan dan terbunuh,
tertinggallah harta benda mereka di medan laga.

“Ghanimah… Ghanimah…,” teriak beberapa
pasukan muslimin yang melihat harta kaum kafir yang ter­
bunuh di medan perang. Emas, perak, unta, kuda, dan
hewan ternak lainnya tercecer di sekitar tubuh-tubuh yang
bergelimpangan.

Terbujuk oleh harta benda yang nggak bertuan itu,
pasukan pemanah yang sudah diwanti-wanti Rasulullah
untuk tetap pada posisinya ikut turun mengambil harta
rampasan perang.

Kelengahan itu menarik perhatian Khalid bin Walid
yang saat itu belum masuk Islam. Dipimpinnya pasukan
berkuda untuk memberikan serangan dadakan dari
belakang bukit.

Keadaan pun berbalik. Kaum muslimin yang nggak
siap dengan serangan balasan menyebabkan beberapa
sahabat gugur. Nggak kurang keluarga Rasulullah yakni
paman beliau, Hamzah bin Abdul Muthallib, terbunuh
oleh tombak yang dihunjamkan oleh Wahsyi.

Takwil mimpi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam
menjadi kenyataan.

Di antara sengitnya peperangan ini, ada sebuah kisah
yang menyayat hati. Saat tentara kafir membantai pasukan
muslimin dari berbagai sisi, sebuah teriakan membuat

36

pasukan kafir nggak lagi menyerang kaum muslimin
dengan brutal.

Teriakan itu membuat mereka berpaling dan menye­
rang ke satu titik, menjadikannya prioritas, dan meng­
abaikan pasukan muslimin lainnya. “Kemarilah, aku adalah
Rasul Allah.” Benar, yang berteriak itu adalah Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wassalam.

Sebuah aksi yang heroik. Seolah dalam keadaan
seperti itu Rasulullah masih ingin melindungi para
sahabatnya. Seolah beliau berkata, “Jangan kalian serang
para sahabatku, serang aku saja. Ini, aku di sini.”

Pasukan kafir Quraisy pun bergerak menuju lokasi
Rasulullah berada, dan kemelut peperangan berkobar di
sekitar Rasulullah.

Utbah bin Abu Waqqash melempari beliau shallallahu
‘alaihi wassalam dengan batu dan mengenai lambung
beliau. Beliau dilempar lagi dengan batu, dan mengenai
gigi seri beliau bagian bawah. Darah beliau shallallahu
‘alaihi wassalam pun bercucuran.

Abdullah bin Syihab melayangkan pukulannya dan
menghantam kening beliau. Sementara, Abdullah bin
Qomi’ah memukulkan pedang ke bahu beliau shallallahu
‘alaihi wassalam yang sakitnya masih terasa hingga satu
bulan setelah peperangan itu terjadi.

Beliau kembali terkena serangan. Kali ini mengenai
tulang pipi beliau. Sangat keras, sampai-sampai dua mata

37

rantai helm perang beliau menancap ke kening beliau
shallallahu ‘alaihi wassalam. Gigi beliau patah. Wajah
beliau yang mulia berlumuran darah.

Imam Ath-Thabrani meriwayatkan bahwa dalam
keadaan itu, beliau shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
“Amat besar kemarahan Allah terhadap suatu kaum yang
membuat Rasul-Nya berdarah” Kemudian sejenak beliau
diam, lalu bersabda, “Yaa Allah, ampunilah kaumku,
karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”

Ya Rabb …

Bayangkan. Sahabat beliau banyak yang dibunuh.
Keluarga beliau pun dibunuh. Paman kesayangan beliau
juga dibunuh. Betapa banyak beliau kehilangan orang-
orang yang beliau shallallahu ‘alaihi wassalam sayangi.

Tentu sakit rasanya harus berpisah dengan orang-
orang tersayang. Nggak cuma hati yang sakit, tapi fisik
juga sakit: Dihantam, dipukul, sampai gigi patah, kening
tertancap besi, dan berdarah-darah. Kok bisa beliau masih
mendoakan kebaikan bagi para pelakunya?

Seusai perang, Rasulullah tidak menyalahkan para
sahabatnya yang tidak mematuhi perintah beliau. Nggak
ada ucapan, “Kita kalah gara-gara kalian!” pada mereka
yang menjadi penyebab hancurnya pertahanan kaum
muslimin. Rasulullah tetap bersikap lembut kepada para
sahabatnya.

Nah, bagaimana sih, caranya agar kita tetap men­
doakan kebaikan dan ringan memaafkan orang yang

38

nggak hanya menyakiti secara fisik tapi juga menorehkan
luka di hati?

Alquran mengisahkan dengan indah dalam surat Ali
Imran ayat 159,

‫لَفوَِِبَه  َشب  مُايَا ِ ِول ْحَْرنر َُُّْهفحب َْ ممِاُّفٍْضةلُ ىْ  َتو ِّاَما  ْ و َِِّكَلمنِ لْْ ْيمانَِ ر ّٰنل  َِۚل ح  َ ْفِ ِلوِاْلنَذ َ َا كت     ََعلۖ َُهَز ْفْمما َ ْۚتع   َوََفُل َفتْ و  َ و ََُّكعكْْنُنْهل  ْ َم تَ  ع ََ َلوفاى  ًّظْااس َّٰ لت ِ َْلغغ ِ لِ ۗفْي ِْا ر  َََّلظن ُ  ه ااْْملل   َّٰلق‬.َْ

“Maka berkat rahmah Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati
kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu
maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.
Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.”

Rahmah dari Allah itulah yang membuat Rasulullah bisa
berlaku lemah lembut, memaafkan, bahkan mendoakan
mereka. Rahmah itulah yang membuat beliau tetap bisa
menyayangi, apa pun yang terjadi.

Meski disakiti, dilukai, dibikin patah hati, diberi sakit
yang teramat sangat, orang-orang yang di dalam hatinya
dipenuhi rahmah Allah selalu memiliki kekuatan untuk tetap
menyayangi dan selalu mampu mencintai, lagi dan lagi.

39

Cinta dari Allah adalah kekuatan terbaik bagi kita
untuk mencintai sesama manusia.

Seorang bijak bestari berkata, “Pilihlah seseorang
yang di dalam hatinya penuh dengan cinta Allah; bila dia
mencintaimu, pasti dia memuliakanmu, dan bila dia tidak
mencintaimu, dia tidak akan menyakitimu.”

Rasa sakit adalah kepastian bagi kita saat hidup di
dunia ini. Jika Rasulullah saja merasakan sakit, apalagi kita
yang bukan Nabi atau Rasul.

Kita nggak bisa menghindar dari rasa sakit, tapi
Alquran memberi tahu cara kita untuk menghadapinya:
Kuatkan cinta kepada Allah.

Lalu, kenapa ada orang yang saat dilanda rasa sakit
kesedihannya seakan abadi? Sekali lagi, sebab tiada
rahmah di dalam hatinya.

Mencintai seseorang bukanlah hal yang mudah. Ada
tuntutan untuk mampu menyelesaikan setiap masalah
yang dihadapi. Melelahkan, memang. Maka, ambillah
rahmah-Nya sebagai kekuatan untuk mencintai.

***

Love in His Arms

“Aku janji nggak bakalan nyakitin kamu.”

40

Pernah nggak, mendengar orang mengucapkan
kalimat seperti itu? Selang beberapa lama, seperti menelan
ludah sendiri, dia langgar sendiri kata-katanya itu.

Coba kita baca firman Dzat yang tak pernah ingkar
janji. Ada dua ayat yang menarik untuk kita kaitkan satu
sama lain.

‫مَّنْنٱ َّلَخَُلل ۖ َق ٱل َّس ٰم ٰو ِت َوٱ ْ َلْر َض َو َس َّخ َرٱل َّش ْم َس‬.َّ‫َََفووََلٱأَِّْئلن َْٰقنى َُمي َ َْسرؤََأَلفَْليَُتُُكهقْ ْوموَُلن‬

“Danjikaengkau bertanya kepada mereka, Siapakah yang menciptakan
langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan? Pasti mereka
akan menjawab, Allah. Maka mengapa mereka bisa dipalingkan (dari

kebe‫ِه‬n‫اس‬a۟ ِ‫و‬rٓ‫رف‬aُْ n‫ىِ)َسن‬.”ٰ‫ََ(لخ‬Q‫ن َع‬Sَ‫ب‬.َ‫ي‬Aْ ‫ِذ‬l‫َت‬-‫َّ‘كل‬Aَ‫ٱ‬nۚۚ‫هل‬kِِ aَّ‫ِّْي‬b‫لِف‬uْ t‫قب‬:َُ Aۖ‫ضرْي‬yَ ِa‫ل‬t‫ْ َر‬6‫ِ َةل‬1ْ‫و َ)ٱم‬.‫ََألُٱقَنيل َُّْفلْرج ََِّْحَلمس َُْمَهعن ََّْةنمَّۚ ُمكَاف ُِْمفه ِْىإمَل َٰٱىللَيَُّيْسْوِٰؤمِممٰ ُنوٱ ْْلِوِتقَ ٰنَي‬

“Katakanlah (Muhammad), ‘Milik siapakah apa yang di langit dan
di bumi?’ Katakanlah, ‘Milik Allah’. Dia telah menetapkan (sifat)
kasih sayang pada diri-Nya. Dia sungguh akan mengumpulkan
kamu pada hari Kiamat yang tidak diragukan lagi. Orang-
orang yang merugikan dirinya, mereka itu tidak beriman.”
(QS. Al-An’am: 12)

41

Coba baca lagi kedua ayat di atas dan perhatikan
pelan-pelan. Ada kesamaan, tapi nggak sama. Kedua
ayat ini sama-sama menceritakan orang-orang yang diberi
pertanyaan tentang siapakah pemilik dan pencipta langit
dan bumi. Isi dan konteks pertanyaannya sekilas sama,
tapi perhatikan dengan teliti cara mereka menjawab.

Pada surat Al-‘Ankabut ayat 61 saat mereka ditanya
siapakah pencipta langit dan bumi, orang-orang kafir
itu menjawab, “layaquulunna Allah”. Mereka menjawab
dengan cepat “Allah.”

Sedangkah pada surat Al-An’am ayat ke 12, saat
mereka ditanya siapakah pemilik segala yang ada di langit
dan di bumi, mereka nggak langsung menjawabnya.

Tahu dari mana?
Ayatnya sendiri berbunyi, “Qul lillah”. Mereka masih
harus disuruh untuk menjawab, “Katakanlah: Milik Allah”
Ada kata qul (katakanlah) sebagai tanda bahwa itu adalah
ucapan yang tak mudah bagi mereka. Harus diperintah
dulu untuk menjawab.
Dalam bahasa lain, saat mereka ditanya siapa pemilik
langit dan bumi, mereka dengan mudah menjawab,
“Allah, dong”. Namun, saat mereka ditanya siapakah
pemilik langit dan bumi, lidah mereka terasa berat untuk
menjawabnya. Sampai-sampai harus ada fi’il amr, atau kata
perintah “qul” yang artinya “katakanlah”. Seolah jawaban

42

mereka seperti jawaban orang yang enggan mengakui
sesuatu yang sebenarnya dia ketahui hakikatnya.

Agar kita lebih mudah memahami hal ini, mari ambil
sebuah analogi sederhana. Bayangkan teman-teman me­
miliki sebuah rumah yang megah. Kemudian, ada seorang
teman yang bertanya, “Siapa yang bikin rumah ini?”

Tentu jawabnya, “Tukang bangunan, dong”. Nggak
mungkin kan, kita sendiri yang membangunnya. Nah,
hubungan antara kita dan tukang bangunan tersebut
sebatas pihak yang menyewa jasa dan pekerja bangunan
itu sendiri, nggak lebih.

Setelah rumah itu jadi maka hubungan tersebut juga
berakhir. Tugas tukang sudah selesai, kewajiban kita
untuk membayar jasanya juga sudah ditunaikan. Nggak
ada tanggung jawab lagi, sebab sekali lagi tugas tukang
hanyalah membangun rumah. Soal kepemilikan rumah itu,
bagaimana? Sepenuhnya milik kamu. Meskipun tukang
yang membangun rumah itu, rumah itu tetap milik kamu.

Orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah, yaitu
orang-orang kafir, menganggap Allah itu seperti “tukang
bangunan”.

“Ya, kita tahu kalau yang menciptakan langit dan bumi
adalah Allah, ‘kan memang tugas-Nya sebagai Tuhan
adalah menciptakan langit dan bumi. Tapi, siapa yang
memiliki langit dan bumi itu adalah milik kami, bukan milik
Allah.”

43

Inilah gambaran kenapa saat ditanya siapa pencipta
langit dan bumi dengan cepat mereka menjawab, “Allah”.
Tapi, saat ditanya siapakah pemiliknya, mereka enggan
menjawab, “Allah.”

Mengapa mereka bersikap demikian? Sebab, saat
mereka menerima Allah sebagai pemilik apa yang ada di
langit dan bumi, secara otomatis mereka mengakui bahwa
di dunia ini mereka tidak memiliki apa-apa. Semuanya
milik Allah.

Ini adalah kisah orang-orang kafir yang merasa
memiliki dunia beserta isinya. Yang menjadi pertanyaan
adalah apakah ada di zaman sekarang orang-orang muslim
yang berperilaku seperti mereka? Merasa memiliki harta
benda, pangkat, dan jabatan yang diamanahkan oleh
Allah, sampai nggak sadar bawah semua itu milik Allah.

Ada ciri seseorang merasa dunia ini adalah miliknya,
salah satunya adalah orang tersebut terlalu “reaktif”. Saat
apa yang dimilikinya ada yang berkurang atau hilang, dia
mudah sekali kecewa, sedih, tersinggung, atau terganggu.

Sudah pernah menjumpai orang yang kalau berurusan
dengan uang dia seolah berubah 180 derajat?

Mari kita baca kembali ayatnya.

44

‫ۚ َك َت َب َع َل ٰى َن ْف ِس ِه‬ ۚ‫و َٱمْ ِ َةلْ َرل ِ َضرْيۖ َُقب ْلِف ِّْيَّ ِِهل‬.‫ََألُٱقَنيل َُّْفلْرج ََِّْحلَمس َُْمَهعن ََّْةنمَّۚ ُمكَاف ُِْمفه ِْىإمَل َٰٱىللَيَُّيْسْوِٰؤمِممٰ ُنوٱ ْْلِوِتقَ ٰنَي‬
‫ٱ َّل ِذ ْي َن َخ ِس ُرٓو ۟ا‬

“Katakanlah (Muhammad), ‘Milik siapakah apa yang di langit dan
di bumi?’ Katakanlah, ‘Milik Allah’. Dia telah menetapkan (sifat)
kasih sayang pada diri-Nya. Dia sungguh akan mengumpulkan
kamu pada hari Kiamat yang tidak diragukan lagi. Orang-orang
yang merugikan dirinya, mereka itu tidak beriman.” (QS. Al-An’am:
12)

Ayat ini bercerita tentang orang-orang musyrik yang
begitu ingkar terhadap Allah. Mereka enggan mengimani
bahwa semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah.

Pada bagian awal ayat di atas, Allah menceritakan
keburukan, kesalahan, kejahatan yang dilakukan oleh
kaum musyrikin. Namun, kelanjutan ayatnya berbunyi,
“Kataba ‘alaa nafsihir rahmah”. Dia telah menetapkan
rahmah (kasih sayang) terhadap diri-Nya.

Ini adalah dua hal yang kontras, jika dilihat dari cara
bertutur. Usai menceritakan kesalahan atau kejahatan,
seharusnya bagian selanjutnya adalah menceritakan
dampak dari kesalahan itu. Hukuman dari perbuatan itu,
misalnya. Namun, kalam-Nya memang indah, lanjutan
ayatnya justru tentang kasih sayang-Nya.

45

Allah menetapkan diri-Nya sebagai Dzat yang penuh
kasih sayang. Sebagaimana riwayat dari Abu Hurairah,
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pernah bersabda,

“Setelah Allah menciptakan makhluk-makhluk-
Nya, Dia menulis ketetapan yang Dia letakkan di
sisi-Nya di atas ‘Arsy yang berisi ‘Sesungguhnya
kasih sayang-Ku mendahului kemurkaan-Ku’.”

Orang-orang musyrik itu durhaka kepada Allah,
menyekutukan Allah, tapi lihat bagaimana Allah
menyayangi mereka dengan tetap memberikan rezeki,
termasuk makan, minum, dan kesehatan.

‫ َل َي ْج َم َع َّن ُك ْم   ِا ٰلى   َي ْوِم  ا ْل ِق ٰي َم ِة‬.

“Dia sungguh akan mengumpulkan kamu sampai (pada) hari Kiamat …”

Dalam pelajaran bahasa Arab, kata “sampai” bisa
diungkapkan dengan kata hatta atau ilaa. Perbedaannya
adalah hatta berkaitan dengan waktu. Sedangkan ilaa
berkaitan dengan tempat.

Contoh sederhananya seperti ini. “Aku tunggu
sampai jam 8 malam, ya.” Kata “sampai” di sini
tepatnya diungkapkan dengan hatta. Namun, jika
kalimatnya, “Aku tunggu sampai di depan rumah,
ya.” Maka kata “sampai” di sini harus menggunakan
kata ilaa.

46

Kembali kita tadabburi ayatnya. Kalau diperhatikan,
di sana ada kata yaumul qiyamah, hari kiamat. Selama
ini kita menduga hari kiamat itu keterangan waktu atau
keterangan tempat? Tentu waktu, sebab di sana ada kata
“hari” yang menunjukkan waktu. Namun, Kita sudah
belajar, untuk waktu harusnya memakai kata hatta, tetapi
pada ayat tersebut digunakan kata ilaa.

Di sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa Allah
ingin memberi tahu kita bahwa hari akhir atau hari kiamat
adalah destinasi terakhir, sebuah tempat kita semua pasti
berada di sana. Tempat di mana semua perbuatan atau
amal kita akan mendapatkan balasan.

Semua perbuatan orang kafir dan orang musyrik akan
mendapat balasan di hari kiamat kelak. Tetapi saat mereka
berada di dunia ini, “kataba ‘alaa nafsihir rahmah”, Allah
telah menetapkan pada diri-Nya rahmah atau kasih
sayang. Tentu jika Allah sudah menetapkan sesuatu nggak
ada yang bisa untuk mengubahnya.

Allah itu adalah Dzat yang konsisten. Saat Allah sudah
menetapkan kasih sayang pada diri-Nya maka Allah akan
menyayangi semua makhluk-Nya. Siapa pun itu. Nggak
ada satu makhluk pun di dunia ini yang nggak mendapat
kasih sayang Allah.

Itu sebabnya, ada sebuah hikmah tentang pelajaran
cinta, tentang rahmah, yaitu konsistensi. Bukan cinta sejati
jika nggak ada konsistensi terhadap ucapan dan perilaku
orang yang mengaku mencintai.

47

Jika kita mencintai seseorang, konsisten dengan apa
yang sudah kita ucapkan adalah keharusan. No matter
what, kalau sudah janji untuk menyayangi, maka kita harus
benar-benar bertanggung jawab.

Bagaimanapun kondisinya nanti, meski rasanya ingin
membenci, kita harus kembali sadar bahwa di sanalah
cinta itu diuji.

Semenyebalkan apa pun orang-orang musyrik, mereka
tetaplah hamba Allah Yang Maha Penyayang. Mereka
tetap ciptaan Allah, berada dalam jaminan rezeki dan
kasih sayang-Nya. Dari ayat tadi, kita juga bisa memetik
hikmah lain bahwa Allah itu menunjukkan sisi positif-Nya
dengan mendahulukan cinta daripada murka-Nya.

Ini menjadi pengingat bagi yang sudah mempunyai
pasangan atau orang yang dicintai. Saat mereka melakukan
kesalahan atau sesuatu yang nggak kita suka, bagaimana
sikap kita? Mengingatkannya dengan penuh kasih sayang
atau mendampratnya?

Contoh lain, jika melihat anak kita melakukan kesa­
lahan. Misalnya membawa piring dari dapur, lalu dia
nggak sengaja menjatuhkannya sampai pecah. Mana yang
akan kita dahulukan, murka (Kamu kenapa nggak hati-hati,
sih?!) atau kasih sayang (Adek nggak apa-apa, kan? Nggak
ada yang luka, kan?)

Kembali kita petik buah hikmah dari ayat ini. Bahwa
rahmah adalah cara pandang untuk melihat apa pun
dengan kacamata kasih sayang.

48

***

Love Always Forgives

Bukan iklan, tapi memang “ada manis-manisnya” saat kita
men-tadabburi ayat Alquran yang satu ini.

Sebelumnya, mari kita baca surat Al-An’am ayat 54
berikut.

‫ ْسن ٰلُكٌمْم َع َُلسْيْٓ ُوكًۢء ْام ِۖب ََكج َٰته َل ٍَبة ُث َّم‬.َ‫َََترُّوِباإ ََُكذباْم ِمَجَ ْۢعٓاَنَل ٰءَبى ََْعنك ِْفدٱ َِِّله ِسۦذَِْيهوَأَٱنل ُْيَّص َرْلْؤ َحِمحَُمن َ َفْةَوأۖ ََّنَنأَُّهۥنِبَٔـَُۥهاغَٰيُمِفت َْْننو ٌار ََعَّفرُِِمقح َْْيلل ٌمِم‬

“Dan apabila orang-orang yang beriman kep­ ada ayat-ayat Kami datang
kepadamu, maka katakanlah, ‘Salamun ‘alaikum (selam­ at sejahtera
untuk kamu)’. Tuhanmu telah menetapkan sifat kasih sayang pada diri-
Nya, (yaitu) barang siapa ber­buat kejahatan di antara kamu karena
kebodohan, kemudian dia bertobat setelah itu dan memperbaiki diri,
maka Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Ayat ini adalah “ayat langsung” untuk Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wassalam. Allah seakan berfirman, “Ya
Rasulullah, kalau mereka datang kepadamu, katakanlah
salam kepadanya dan sampaikan bahwa Allah itu
menetapkan rahmah atas diri-Nya.”

49


Click to View FlipBook Version