The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Idiologi Islam dan Utopia: Tiga Model N egara Demokrasi di Indonesia.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by igodigital, 2017-02-09 20:38:08

Idiologi Islam dan Utopia

Idiologi Islam dan Utopia: Tiga Model N egara Demokrasi di Indonesia.

Keywords: Idiologi Islam dan Utopia

KESIM PULAN 291

mendemonstrasikan bahwa gagasan negara sekular (dalam arti bukan
negara teokratis) makin disokong oleh Muslim santri. Sesuatu yang
haram bagi Muslim santri pada 1950-an kini d isukai dan disokong
oleh generasi muda Muslim santri.

Sejak 1970-an, Muslim santri tidak bisa secara aktual dikategorikan
berdasarkan teorialiranyang dirumuskan olehGeertzdan Indonesianis
Amerika lain dari masa 1960-an. Angan-angan politik Muslim santri
tidak lagi homogen. Seperti diungkapkan studi ini, paling tidak
ada tiga model pemerintahan yang telah dikonsepkan dan d ibahas
oleh M uslim santri. Model-model pemerintahan itu men cerminkan
bukan hanya dinamika d i dalam komunitas santri, melainkan juga
progresivitas dalam wacana politik Islam kontemporer. Mempelajari
model-model pemerintahan di Indonesia membantu kita memahami
bagaimana Muslim di negeri ini menanggapi konsep-konsep politik
besar yang sebagian besar berasal dari Barat. Sejarah pembaruan
Islam modern adalah sejarah tanggapan Muslim terhadap gagasan-
gagasan Barat; terhadap dem okrasi, plur alisme, kebebasan, hak-hak
asasi manusia, dan kesetaraan gender. Ketiga model pemerintahan
yang saya bahas di seluruh studi ini memberikan sebuah sketsa
sinoptis tanggapan-tanggapan Muslim terhadap gagasan-gagasan itu
(lihatTabel7.1).

Model pertama (NDI, Negara Demokrasi Islam) adalah angan-
angan politik Muslim akan sebuah pemerintahan dan negara ideal.
Disarankan terutama oleh Moh ammad Natsir, salah satu pemikir
Muslim Indonesia paling berpen garuh, ND I dirancang un tuk menjadi
model yang bisa menjembatani sistem politik Barat dengan cita-
cita politik Islam. Sejak hari-hari pertama kemerdekaan, pemimpin
Muslim sadar bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan paling
baik. Mereka juga percaya bahwa demokrasi tidak sama sekali
''asing"- bahwa ada basis h istoris dan teologis bagi demokrasi dalam
masyarakat-masyarakat Islam. Zainal Abidin Ahmad, teoritikus
paling penting model ini, mendem onstrasikan keberadaan praktik-
p raktik demokrasi pada zaman awal Islam. Dia berargumen bahwa
Islam menyambut n ilai-nilai demokratis, dan bahkan istilah
"demokrasi" sendiri punya persam aan katanya dalam Islam, yakni,

TABEL 7. 1 tV
Li ma lsu Utama Menurut Ketiga M odel
1.0
ISU NEGARA DEMOKRASI ISLAM NEGARA DEMO KRASI AGAMA
tV
Agama dan Negara
Dasar Negara NEGARA DEMO KRASI LIBERAL
Departennen Agama
MUI Islam Pa n c:~s i IJ. Pa ncasila
Penerapan syariat (Piagam Ja kart:l) Mend ukung Me nduku ng secara propors1onal Tida k
Pengapran agama d i se ko la h Mendukung Me ndu ku ng d engan lingkup terbatas Tida k
RUU Kerukuna n Umat Beragama Mendu kung Me ndu ku ng p;~da level d aerah
Fo m•alisme Agama Mendu kung Me nduku ng Tid;~ k
Parta1 Islam Mendukung Me ndu kung sebagian
Sistem keuanga n Islam Tida k
Kebebasan Sa ngat mend ukung Tida k
Kebebasan pi ki ra n Sangat mend ukung
Kebebasan e ksp resi Agak me nduku ng Tida k
Tundu k pad a Islam Agak me ndukung Tida k
Kebebasan keya kinan Mendukung asal sesuai de nga n
Hubunf!illl Antaragama do ktnn Islam Tunduk pada nilai agama Tida k terb atas 0
Kewarganegoraa n Mendukung sebagian Me nduku ng asal sesua1 d engan Tida k terbatas
Kepenn1mp111Jn no n-Musli m do ktrin agama m
Perkaw1nan Eksklus1f Me nduku ng Mendu kun g sepe nu hnyo
lsu Gender Ti d a k 0
Kepenn1mpinan po litik Sam::1 sebl1 tldak In kl usif Pluro lis
r
Y:~ Tid.:~ k Y:~
0
Tu nduk pada d oktr1n Islam Do ktri n bisa dit:~fs i rbn
()
Y:~ Ya
-

>vr>

~

>0z

c

--i

0

-"0

>

KESIM PULAN 293

shura.
Eksponen model NDI adalah pemimpin Muslim yang sangat

menghargai nilai-nilai demokratis dan ingin demokrasi diterapkan
di negeri mereka. Walaupun demikian , pemahaman mereka akan
demokrasi secara umum bersifat mayoritarian dalam arti bahwa
demokrasi dipahami pada dasarnya sebagai pemerintahan mayoritas.
Pemahaman ini penting dalam menentukan sikap religius-politik
mereka pada umumnya. Pertama, mereka yakin bahwa karena
Muslim adalah mayoritas, mereka harus punya peran dan posisi
dominan dalam negara dan pemerintahan. Kedua, mereka percaya
bahwa hanya dengan demokrasi, khususnya Pemilu, mereka bisa
mengubah undang-undang dan konstitusi. Antusiasme mereka
dalam menyambut Pemilu 1955 terutama didorong keyakinan ini
dan optin1isme akan memenangi pemilihan. Ketiga, pemahaman
mayoritarian semacam itu mendorong mereka mengusulkan dengan
penuh percaya diri gagasan negara Islam dan pemberlakuan syariat
dalam praktik. Argumennya jelas: mayoritas rakyat Indonesia adalah
Muslim.

Akan tetapi,sebagai model, NDI secara umum gagal, bukan karena
keberhasilan "nasionalis sekular" dalam merongrong fondasinya,
melainkan karena pemilihan umum-yang persis adalah agenda
pendukung NDI dan satu-satunya ukurankeabsahan kemayoritasan-
tidak m endu kung klaimnya. Seperti dijelaskan di Bah 1, semua partai
Islam yang secara umum menyokong model NDI gagal menang
dalam pemilihan umum 1955. Akibatnya, klaim memiliki mayoritas
tidak terbukti. Kegagalan pemilihan umum itu kem udian diikuti
fakta sosiologis bahwa ternyata makin sulit mempersatukan Muslim
di bawah sa tu bendera ideologis. Ketegangan yang memburuk antara
golongan "tradisionalis" (diwakili NU) dan "modernis" (diwakili
Masyumi), khususnya selama tahun-tahun terakhir rezim Soekarno,
menghancurkan harapan mereka untuk mewujudkan model NDI.
Masa depan model ini berakhir begitu rezim politik berganti dan
generasi baru Muslim muncul. Alih-alih meneruskan cita-cita
pendahulu mereka, generasi baru santri mulai mengkritik mereka
dan, bahkan, mendukung agenda sekularisasi politik Soeharto.

294 IDEOLOG I ISLAM DAN UTOPIA

Model pemerintahan kedua yang diangan-angankan Muslim
Indonesia lahir dari kegagalan model lama dan sebagai respons
terhadap kern unculan rezim Orde Baru. Seperti dijelaskan di
Bab 4, model ini adalah upaya memodifikasi pandangan religius-
politik Muslim dengan memasukkan situasi sosio-politik ke dalam
pertimbangan. Ia berbeda dengan Model 1 karena keyakinan bahwa
Indonesia adalah bangsa pluralis, bukan h anya sehubungan dengan
agama, melainkan juga dalam keyakinan dan ideologi. Karena itu,
mustahillah menekan semua pluralitas itu ke bawah satu ideologi
Islam. T idak seperti pendahulu mereka, pendukung Negara
Demokrasi Agam a (NDA) sepenuhnya menerima Pancasila sebagai
dasar negara. Tambahan pula, mereka juga mencoba memberikan
Pancasila karakter religius dengan menyatakan bahwa Pancasila
bukan ideologi sekular. Model ini menganggap agama penting dalam
kehidupan politik dan pemerintahan. Konsekuensinya adalah mereka
percaya aspirasi religius harus diwujudkan oleh negara. Dalam arti
religius-politik, model ini mendukung gagasan "pelembagaan agama
oleh negara", yakni, negara punya h ak mengatur dan terlibat dalam
urusan keagamaan masyarakat. Dalam praktik, fo rmula ini diterapkan
dengan menghidupkan kembali lembaga-lembaga keagamaan-
seperti Departemen Agama-dan dengan mempromosikan RUU
keagamaan .

Sampai kejatuhan Soeharto pada 1998, model pemerintahan
dominan dalam wacana politik Muslim di Indonesia adalah Model 2.
Nam un, setelah rezim itu jatuh, fondasi dasar model itu m endapatkan
tantangan serius. Walaupun demikian, tantangan terhadap Model 2
bukan sekadar wujud kebencian terhadap rezim yang sedang runtuh.
Lebih penting dari itu, argumen tersebut berangkat dari keyakinan
bahwa negara tidak berhak ikut campur dalam urusan keagamaan
masyarakat. Argumen utama yang diajukan pengkritik Model 2
adalah bahwa negara yang campur tangan terlalu besar dalam urusan
keagamaan rakyat cenderung m elanggar nilai -nilai demokrasi,
khususnya kebebasan dan hak-hak asasi m anusia. Karena itu, akan
lebih baik jika agama dipisahkan dari negara.

Pemisahan agama dan negara dengan memberikan kebebasan

KESIMP UL AN 295

kepada setiap wa rga negara untuk m engurus perkara keagamaannya
sendiri ada lah intisari sekularisasi. Model ketiga (NDL, Negara
Demokrasi Liberal) didasari sepenuhnya pada gagasan sekularisasi
politik ini. Namun, "sekularisasi" adalah istilah kontroversial. Jadi,
eksponen model ketiga ini mencoba memben a rkan dan membela
gagasan bahwa sekularisasi itu bisa saja sesuai dengan masyarakat
Muslim. Mereka semua percaya bahwa pemisahan agama dan negara
adalah fondasi dasar bagi keberadaan kebebasan dan hak-hak sipil,
khususnya sehubungan dengan kehidupan keagamaan. Sikap itu
secara umum diekspresikan dengan menolak upaya apa pun untuk
membawa agama lebih dekat pada negara atau membuatnya tw1duk
di bawah nega ra. Sejak era pasca-Soeharto, eksponen Model3 dengan
keras menolak penerapan syariat, baik di tingkat pusat maupun
daerah, menolak RUU keagamaan (seperti RUU KUB dan RUU
Sisdiknas), serta menolak politikisasi agama.

ISLAM LIBERAL UNTUK DEMOKRASI LIBERAL

Model 3, dengan keyakinannya akan pemisaban agama dan
negara, jelas belum menjadi kecenderungan dominan pemikiran
politik Islam di Indonesia. Tetapi fakta babwa gagasan ini makin
m en arik banyak Muslim, khususnya orang muda, men gindikasikan
kemajuan. Sekitar 40 atau 50 tahun lalu, gagasan seperti demokrasi

liberal, pluralisme agama, dan sekularisme adalah bete noire (hal

yang dib enci) bagi banyak Muslim. Upaya-upaya untuk menyatukan
pemikiran politik Barat dengan konteks religius-politik di Indonesia
seringkali ditantang oleh Muslim santri, yang percaya bahwa sistem
politik Islam yang diwarisi dari masa lalu lebih unggul daripada sistern
politik Barat modern. Sekularisasi, yang selama 1970-an dikecam,
makin menjadi tema sentral dalam perdebatan politik masa kini di
kalangan generasi muda Muslim santri.

Pertumbuhan dan perluasan dukungan terhadap demokrasi,
Liberalisme, dan sekularisme ini merupakan bukti jelas yang menen-

tang pandangan Gelnerian akan "kekecualian Islam" (Islamic
exceptionalism) sehubungan dengan kecenderungan proses seku-
larisasi di dunia.8 Fenomena ini juga menantang tesis ilmuwan

296 IDEOLOG I ISLAM D A N UTOPIA

politik Amerika, Samuel Hw1tington, bahwa masa depan dunia akan
dicirikan oleh perbenturan peradaban, khususnya antara Islam dan
Barat. Nyatanya, makin banyak Muslim di Indonesia yang mengacu
ke modernitas Barat sebagai model kemajuan dan kemakmuran.
Dengan memakai argumen Islam liberal, intelektual Muslim
membuktikan tidak ada pertentangan atau perbenturan antara Islam
dan modernitas yang dihasilkan oleh peradaban Barat. Apa yang
tampaknya terjadi bukanlah perbenturan antara Islam dan Barat,
melainkan perbenturan antara golongan liberal dan fundamentalis di
dalam peradaban Islam.9

Lagi pula, makin banyaknya Muslim progresif dan liberal di

Indonesia mengubah secara substansial tesis Harry J. Benda yang

berargumen bahwa sejarah Indonesia adalah perluasan peradaban
santri. 10 Memang benar bahwa sejarah Indonesia sangat dicirikan
oleh perluasan peradaban santri, tapi jelas bukan santri yang
ditemukan Benda pada 1950-an , yang sangat berideologi Islam dan
sangat curiga pada modernitas. Santri yang kini muncul bersifat
liberal dan progresif, dan menilai tinggi demokrasi, pluralisme, dan
liberalisme. Kenaikan Abdurrahman Wahid sebagai presiden adalah
bukti konkret tesis Benda akan perluasan peradaban santri, tapi ia
sekaligus membuktikan kemunculan jenis baru santri, yang mungkin
tidak pernah dibayangkan oleh Benda. Dalam kenyataan, santri yang
masih m emelihara semangat dan citra Islam 1950-an, seperti terwakili
oleh PBB dan partai-partai ideologis Islam lain, makin kehilangan
pendukung. Jadi, tesis Benda mungkin perlu direvisi menjadi: ccsejarah
Indonesia adalah perluasan peradaban santri liberal dan progresif'.

Meletakkan penekanan pada Muslim santri liberal jelas bukan
berarti mengabaikan kebangkitan kembali kelompok Islam radikal di
negeri ini. Benar bahwa gerakan Islam radikal secara sporadis makin
berkekerasan, tapi seperti dikatakan Ricklefs dengan tepat, gerakan
Islam radikal tidak punya prospek memenangi kekuasaan politik
di negeri ini, bukan hanya karena cckekuatan Islam pluralistik yang
toleran dan liberal terinstitusionalisasi dengan kuat, dipimpin dengan
baik, sumber beberapa pemikiran paling progresifdalam dunia Islam,
mampu berfungsi tanpa penindasan resmi dan secara luas disokong

KESIM PULAN 297

rakyat", 11 melainkan juga karena Muslim santri itu sendiri kini
dengan kokoh berdiri di garis depan dalam memerangi pemahaman
Islam yang radikal dan konservatif. Tantangan terbesar terhadap
Islam radikal kini bukan lagi datang dari kaum sekular (seperti pada
1950-an), melainkan dari dalam santri progresif yang berakar kuat
dan sangat menguasai tradisi intelektual Islam.

Kekalahan partai-partai politik Islam dan kebangkitan masyarakat
sipil Islam yang baru yang dipromosikan oleh generasi muda Muslim
memberikan harapan bahwa demokrasi akan tumbuh di Indonesia.
Ada harapan bagi demokrasi liberal untuk berdiri kokoh d i negeri
Muslim paling besar d i dunia. Demokrasi, seperti d ikatakan Almond
dan Verba, tidak akan tumbuh tanpa modal sosial demokratis,12
dan modal sosial terbesar di Indonesia adalah Muslim. Demokrasi
bukanlah sesuatu yang diturunkan dari atas, melainka n harus
tumbuh dari rakyat. Hanya suatu budaya sivikliberal yang bisa meng-
akomodasi dan mendukung nilai-nilai demokratis-liberal. Ini berarti
bahwa masa depan demokrasi liberal di Indonesia sangat ditentukan
oleh peran Islam liberal.

Catata n

1 Karl Mannheim, Ideology and Utopia: An Introduction to the Sociology
ofKnowledge (London: Routledge, 1991).

2 C.B. Macpherson, The Life and Times of Liberal Democracy (Oxford:

Oxford University Press, 1977).
3 Robert W. Hefner, "Islam and Nation in the Post-Suharto Era" dalam

The Politics of Post-Suharto Indonesia, disunting oleh Adam Schwarz

dan Jonathan Paris (New York: Council on Foreign Relations Press,
1999), h. 49.
4 Hal ini terjadi, misalnya, pada 'Ali 'Abd al-Raziq, Qassim Amin, dan
sampaj tahap tertentu Muhammad Abduh. Sementara gagasan 'Abd
al-Raziq dan Amin dianggap menghujat oleh banyak ulama Mesir,
pendekatan rasionalistik Abduh terhadap Islam dikecam oleh ulama.
5 KHa tidak bisa menganggap Wahabisme (di Arab Saudi) dan Ikhwan
al-Muslimin (d i Mesir) sebagaj organisasi Islam yang mengusung misi
reformisme Islam dalam arti liberal. Bahkan, keduanya menentang

298 IDEOLOG I ISLAM D A N UTOPIA

semangat nahdah dan pencerahan yang ditetapkan oleh al-Tahtawi dan

reformis liberal Mesir lain.
6 Abshar-Abdalla memberitahu saya bahwa dia menerima banyak

panggilan dari pemimpin Muslim ternama, termasuk Ahmad Syafii
Maarif, ketua Muhammadiyah, dan K.H. Ahmad Sahal Mahfudz,

ketua NU. Abdurrahman Wahid bahkan menulis kolom mendukung

pendapatnya: ..Ulil dan Liberalismenya", dalam Gusdur Net, 28 Januari

2003 <http://www.gusdur.net> (diakses pada 20 Februari 2005).
7 Mohamad Ihsan Alief, "Political Islam and Democracy: A Closer Look

at the Liberal Muslim s", Asia Program Special Report 110 (April 2003),
h. 17.

8 Ernest Gelner, ilmuwan sosial raksasa, p er caya bah wa Islam adalah
kekecualian besar sehubungan dengan sekularisasi yang melanda semua
agama di dunia. Dia menyatakan: "Mengatakan ba hwa sekularisasi
terjadi dalam Islam bukan hanya kontroversial. Itu jelas-jelas salah".

Ernest Gelner, Postmodernism, Reason, and Religion (London:

Routledge, 1992), h. 5.

9 Robert W. Hefner, "Public Islam and the Problem ofDemocratization",

Sociology ofReligion, Special Issue, vol. 62, no. 4, (2001), h. 493.
10 Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under

the japanese Occupation (Den H aag & Bandung: van Hoeve, 1958), h.

14.
11 Merle C. Ricklefs, "Islamizing Indonesia: Religion and Politics in

Singapore's Giant Neighbour". Kuliah umum yang diselenggarakan
oleh Asia Research Institute, National UniversityofSingapore, di Asian
Civilizations Museum, 23 September 2004, h. 8-9.

12 Gabriel A. Almond dan Sidn ey Verba, The Civic Culture: Political
Attitudes and Democracy in Five Nations (Princeton, N.J.: Princeton

University Press), 1963.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU DAN DISERTASI

Abd al-Majid, Mahmud Khalidi. Ma'alim al-Khilafah fi al-Fikr al-Siyasi al-

Islami. Beirut: Dar al-Jil; Maktabat al-Muhtasib, 1984.

Abd al-Muta'al, Hashim Sa'idi. Al-Islam wa al-Khilafah fi al-itsr al-Hadith.

Kairo: Mak.tabat al-Adab wa Matba'atuha, 1985.

Abd al-Rahman, ]alal al-Din. Al-Ijtihad: Dawabituhu wa Ahkamuhu. Kairo:

Dar al-Tiba'ah al-Hadithah, 1986.

Abdillah, Masykuri. Responses of Indonesian Muslim Intellectuals to the
Concept ofDemocracy (1966-1993). Hamburg: Abera, 1997.

Abdullah, Taufi.k. Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West
Sumatra (1927-1933). Ithaca, N.Y.: Cornell Modern Indonesia Project

Cornell University, 1971.

Ahmad, Ibrahim, Sharon Siddique, dan Hussain Yasmin. Readings on Islam
in Southeast Asia, Social Issues in Southeast Asia. Singapura: Institute of

So utheast Asian Studies, 1985.

Ahmad , Zainal Abidin. Islam dan Parlementarisme. Ed. ke-3. Jakarta: Antara,

1952.

_ _ _. Membentuk Negara Islam. Jakarta: Widjaya, 1956.
Ahmed, Ishtiaq. The Concept ofan Islamic State: An Analysis ofthe Ideological

Controversy in Pakistan. London: Pinter, 1987.
Akbarzadeh, Sh ahram dan Abdullah Saeed. Islam and Political Legitimacy.

New York: RoutledgeCurzon, 2003.

Algadri, Hamid. Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab di
Indonesia. Jakarta: H aji Masagung, 1988.

Ali, Chiragh. "Islam and Change': Dalam Islam in Transitio n: Muslim

Perspectives, disunting oleh John J. Donohue dan John L. Esposito. New

Yorlc Oxford University Press, 1982.


































































Click to View FlipBook Version