The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by igodigital, 2017-02-09 21:13:30

Di Balik Korupsi Yayasan Pemerintah

Di Balik Korupsi Yayasan Pemerintah

Keywords: Di Balik Korupsi Yayasan Pemerintah

lex Rieffel
Peneliti Senior
Brookings Institution
Washing ton D.C.

Karaniya Dhannasapu tra
Peneliti
Freedom Institute
Jakarta

Tata Kelola Yayasan-Pemerintah:
Ujian bagi Reformasi Birokrasi

Washington, D.C.- Jakarta, 31 Desember 2008

BROOKINGS frsedom institute

DAFTAR lSI IV
VI
UCAPAN TERIMA KASIH
PENGANTAR: RIZAL MALLARANGENG viii
EXECUTIVE SUMMARY (dalam Bahasa lnggr is)
1
BAB 1: PENDAHULUAN
6
BAB II : LATAR SEJARAH DAN KEBIJAKAN
6
A. Yayasan -Pemerintah di Zaman Pra- Kemerdekaan 7
B. Yaya san-Pemerintah di Era Soekarno 9

C. Rezim Soeharto: Masa Keemasan Yayasan-Pemerint ah 15
19
D. Yayasan-Pemerintah di Era Reformasi 21
E. Pendapatan Yayasan-Pemerinta h adalah Pendapatan Negara? 23
F. St ruktur Remunerasi Pegawai Negeri Sipil dan Permasalahannya
G. Yayasan -Pemerintah Karena Gaji PNS yang Minim? 26

BAB Ill : HASIL SURVEY 26
27
A. Pendahuluan 28
31
B. lnventarisasi Yayasan -Pemerintah 32

c. Pengumpulan Data 33

D. Kendala 33
E. Akta dan lnformasi tentang Yayasan-Pemerintah 36
41
SEJUMLAH TEMUAN 48

A. Status dan Keberadaan Yayasan-Pemerintah so
B. Program dan Aktivitas Yayasan-Pemerintah
51
c. Bisnis dan Kekayaan Yayasan-Pemerintah 53
54
D. lata Kelola (Governance) Yayasan-Pemerintah 56

E. Penyesuaian terhadap UU Yayasan 59

F. Transparansi Keuangan Yayasan -Pemerintah 59

G. Aset Negara 61
62
H. Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 64

I. Yayasan -Pemerintah dan Aset Negara

BAB IV: PERSOALAN KEBIJAKAN DAN REKOM ENDASI

A. Kesejahteraan Pegawai Pemerintah
B. Kebijakan terhadap Yayasan -Pemerintah Baru

C. Kebijakan terhadap Yayasan -Pemerintah yang Ada Saat lni

D. Kebijakan terhadap Hal-hal Lain yang Berkait Yaya san-Pemerintah

December 31, 2008 [ TATA KELOLA YAYASAN-PEMERINTAH: UJIAN BAG I REFORMASI BI ROKRASI )

KESI MPULAN DAN DISKUSI 68

AP END IKS 70

A .• Yayasan-Pemerintah dan Departemen, Kementerian dan lembaga

Pemerintah Pusat Terkait 71

B .. Kuesioner Survey 75

c .. UU Yayasan No. 16/2001 jo. No. 28/2004 80

D Contoh Akta Notaris dan Anggaran Dasar Yayasan-Pemerintah:

Yayasan Kesejahter aan Karyaw an Ban k Indonesia (YKKBI) 104

E Contoh laporan Keuanga n Yayasan-Pemerint ah: YKKBI 128

F Daftar Nama Anggota Jejaring Narasumber 130

DAFTAR REFERENSI 131

lex Rieffel I Ka raniya Dhannasaputra

December 31, 2008 [ TATA KELOLA YAYASAN-PE MERINTAH: UJIAN BAG I REFORMASI BIROKRASI )

DAFTAR BOKS TEKS 10
12
2.1. .• Yayasan Kartika Eka Paksi
2.2. .• Yayasan Super Semar 14
2.3. .• Peraturan Pemerintah No.G/1974 tentang Pembatasan Kegiatan 30
31
Pegawai Negeri dalam Usaha Swasta
49
3.1. .. Yayasan Kesejahteraan Sosial Teratai (YKST)
3.2. .. Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI)
3.3. .. "Dwifungsi" Dewan Gubernur Bank Indonesia di Yayasan

Pengembangan Perbankan Bl (YPPI)

DAFTAR FIGUR

3.1. Status Survey 29
33
3.2. Periode Pendirian Yayasan-Pemerintah 34

3.3. Era Pendirian Yayasan-Pemerintah 34
37
3.4. .• Unit Usaha Yayasan Sarana Wana Jaya Departemen Kehutanan 38
40
. (YSWJ) 41

3.5. • Yayasan-Pemerintah Menurut Kategori Program 42
42
3.6 . •• Hasil Pengoperasian Aset Dinas BPK oleh PT PCB 43
43
3.7 . •• Anggaran Program Kesejahteraan Yabin stra Bulog 45
48
3.8 . .• Yayasan -Pemerintah yang Memiliki Unit Usaha
51
3.9. .• Beberapa Penyertaan Modal Yayasaan Kesejahteraan Karyawan 52

Bank Indonesia (YKKBI) 52

3.10. .• Proporsi Pengelolaan Dana terhadap Aset YKKBI (2008) 53
3.11. .. Unit Usaha Yayasan Bina Kesejahteraan Warga Bulog (Yabinstra)
3. 12. .. Unit Usaha Yayasan Brata Bhakti Polri (YBB) 54
3.13. .. Yayasan- Pemerintah Berdasarkan Nilai Aset
3.14. .. Status Pengurus Yayasan-Pemerintah 55
56
3.15. Yayasan-Pemerintah yang Telah Menyesuaikan Anggaran Dasarnya

dengan UU Yayasan

3.16. Yayasan-Pemerintah yang Mempublikasikan Laporan Keuangannya

3.17. Yayasan-Pemerintah yang Memberikan Laporan Keuangannya

kepada Peneliti

3.18. Yayasan-Pemerintah yang Laporan Keuangannya telah Diaudit

Kantor Akuntan Publik (KAP)

3.19. Yayasan-Pemerintah yang Pengurusnya Menyatakan Aset

Yayasannya Termasuk Kategori Aset Negara

3 .20. •• Yayasan -Pemerintah yang Pengurusnya M enyetujui Audit BPK

terhadap Keuangan Yayasannya

3.21. .• Yayasan-Pemerintah yang Berkantor di Gedung atau Aset Negara

lex Rieffel I Karaniya Dharmasaputra

December 31, 2008 [ TATA KELOLA YAYASAN-PEMERINTAH: UJIAN BAG I REFORMASI BIROKRASI )

UCAPAN TERIMA KASIH

PENELITIAN kami berawal dari sebuah e-mail yang dilayangkan dari Washington,
D.C., di hari Sabtu, 20 Oktober 2007, pada pukul 5:32 petang. Sang pengirim adalah Dr.
Janet Steele, profesor di School of Media and Public Affairs, George Washington University--
seorang sahabat dan kenalan baik kami yang selalu menaruh perhatian besar pada
kemajuan Indonesia, terkhusus di sektor pers. Dari situ lah untuk pertama kali kami
berkenalan, bertukar gagasan, dan lalu sepakat bekerja sama melakukan riset yayasan-
pemerintah ini. Atas jasanya itu, kepada Janet kami mengucapkan beribu terima kasih.

Gagasan kami tak mungkin terwujud tanpa adanya dukungan dana penelitian bagi
pelaksanaan tahap awal studi ini yang dengan murah hati diberikan Transparency and
Accountability Project (TAP)- Brookings Institution (www.brookings.edu) di Washington,
D.C. Untuk itu, kami sa ngat berterima kasih. TAP didanai oleh Hewlett Foundation
(www.hewlett.org) dan didirikan dengan tujuan untuk "meningkatkan tata kelola
pemerintahan di negara-negara berkembang melalui berbagai upaya untuk mengokohkan
berbagai mekanisme yang memungkinkan masyarakat membuat pemerintahnya
akuntabel."

Selain Brookings, adalah Freedom Institute (www.freedom-institute.org) yang juga
ikut memberi sokongan dana operasional, termasuk fasilitas dan prasarana kerja bagi
kelangsungan penelitian ini. Untuk itu, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada
Direktur Eksekutif Freedom Institute, Dr. Rizal Mallarangeng, Manajer Umum Sugianto
Tandra, dan para staf Freedom lainnya. Dan tentu saja, juga kepada Nadya ai-Nahdi, asisten
riset kami yang tak pernah berputus asa menembus berbagai kesulitan dan kebuntuan
dalam mengumpulkan data di lapangan.

Melakukan riset di wilayah yang nyaris belum pernah disentuh penelitian lain di mana
data yang reliabel masih menjadi barang langka, kami pertama-tama harus mengandalkan
bantuan informasi dari sejumlah narasumber yang lalu kami jadi kan kompas untuk
menentukan arah penelitian kami. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga kepada Erry Riyana Hardjapamekas, mantan Ketua Tim Pelaksana Tim Nasional
Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI dan bekas Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (yang
juga menulis sebuah pengantar yang bagus untuk laporan studi ini); Dr. Hekinus Manao,
Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Negara, Departemen Keuangan; Dr. Asmawi
Rewansyah, Deputi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Wakil Ketua Tim Kerja
Reformasi Birokrasi; I Gde Artjana, mantan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan; Eryanto

lex Rieffel I Karaniya Dhannasaputra

December 31, 2008 [ TATA KELOLA YAYASAN-PEMERINTAH: UJIAN BAG I REFORMASI BIROKRASI )
Nugroho dari Pusat Studi Hukum dan Kebija kan; Danang Widoyoko, Direktur Eksekutif
Indonesia Corruption Watch, serta anggota lain dari jejaring-narasumber penelitian ini yang
daftar selengkapnya kami lampirkan di Apendiks F.

Kami juga berutang sejuta terima kasih kepada keluarga kami masing-masing: Alaire
Rieffel di Washington, D.C.; serta Jurica Warman, Tarathya Bunga Dharmasaputra, Gilang
Haruna Dharmasaputra, dan Himar Galih Dharmasaputra di Bogor. Di tengah kesibukan
mengurus pekerjaan rutin kami di kantor masing-masing, penelitian ini kami selesaikan
dengan " mencuri" berpuluh akhir pekan dan hari libur di tahun 2008 yang mestinya kami
habiskan bersama mereka.

Pada akhirnya, kami berharap pengorbanan dan kebaikan hati dari berbagai pihak di
atas kiranya tak sia-sia; bahwa studi ini semoga dapat memberi manfaat, betapa pun
sedikitnya, bagi upaya mewujudkan Indonesia yang lebih bersih.
Washington, D.C. dan Jakarta, 31 Desem ber 2008
lex Rieffel

Karanlya Dharmasaputra

lex Rieffe l I Karaniya Dharmasapu tra

December 31, 2008 [ TATA KELOLA YAYASAN-PEMERINTAH: UJIAN BAG I REFORMASI BIROKRASI )

PENGANTAR

Oleh: Rizal Mallarangeng1

HAMPIR setiap literatur mengenai ekonomi politik Orde Baru di bawah Soeharto
selalu menyinggung adanya peran yang besar dari berbagai yayasan pemerintah. Richard
Robison, Andrew Mcintyre, maupun R. William Liddle adalah beberapa nama yang
beberapakali menyinggung peran lembaga semacam itu. Walau demikian, pembahasan
yang ada mengenai isu ini lebih banyak dilakukan sambillalu. Ia biasanya dibahas sebagai

attachment terhadap isu besar lainnya, seperti sistem otoriter, birokrasi, dan semacamnya.

Karena itu, terbitnya buku ini patut disambut baik. Kedua penulisnya (Lex Rieffer dan
Karaniya Dharmasaputra) telah memilih sebuah topik kajian yang unik. Setahu saya, belum
ada penelitian yang serius sebelumnya yang mendalami masalah ini sabagai topik utama.
Dengan ini, Lex dan Karaniya telah memberikan sumbangan yang berharga untuk
memahami lebih jauh kenyataan yang ada di Indonesia, ditinjau dari sebuah sudut yang
menarik.

Bagi saya, beberapa aspek berharga dari buku ini dapat dilihat dari aspek praktis dan
teoritis sekaligus. Dari aspek praktisnya, kita bisa belajar lebih jauh bagaimana menciptakan
birokrasi yang bersih dan tata kelola yang dapat dipertanggung jawabkan. Bukan hal yang
mudah membangun sebuah negara modern, dengan birokrasi yang juga sepenuhnya
modern. Menjamurnya yayasan pemerintah antara lain disebabkan karena adanya masalah
praktis: bagaimana memberi kecukupan ekonomi pada karyawan dan pejabat pemerintah.
Tentu saja kita tahu bahwa penciptaan yayasan didalam organisasi kepemerintahan
bukanlah jawaban yang benar terhadap persoalan itu . Tetapi apa alternatifnya? Bagaimana
memberi kecukupan materian kepada pejabat dan pegawai pemerintah sehingga mereka
terdorong untuk bekerja dengan baik? Apakah memang insentif ekonomi adalah faktor yang
penting dalam mendorong praktek tata kelola yang baik?

Semua itu adalah pertanyaan penting yang perlu dijawab. Buku ini mungkin tidak
memberikan jawaban yang memuaskan untuk semua pertanyaan tersebut, tetapi
setidaknya ia dapat mendorong kita untuk bertanya dan mencari jawaban yang lebih baik
lagi.

Secara teoritis, buku ini dapat memperkaya literatur tentang evolusi birokrasi
modern yang terjadi di negeri kita. Teori-teori besar tentang hal ini, baik yang menggunakan
pendekatan yang ditimba dari perspektif Weberian, Marxian, atau teori-teori tentang

1 Oirektur Eksekutif Freedom Institute, doktor ilmu politik da ri Ohio State University

lex Rieffel I Karaniya Dhannasaputra

December 31, 2008 [ TATA KELOLA YAYASAN-PEMERINTAH: UJIAN BAG I REFORMASI BI ROKRASI )
otonomi negara dan pilihan rasional, dapat menggunakan data dan penjelasan yang ada
dalam buku ini untuk memperkaya penjelasannya. Dari perspektif teoritis, buku ini
menyajikan bahan dasar yang siap untuk dimasak sesuai selera masing-masing. Dari sudut
itu, buku ini juga layak untuk dibaca oleh berbagai kalangan yang memiliki minat teoritis
yang bermanfaat dalam pembentukan konsep-konsep keilmuan.

Akhirnya, sebagai kawan, saya ingin mengucapkan selamat kepada kedua penulis

buku ini. It is a job well done.

Jakarta, 27 Junuari 2009

lex Rieffel I Ka raniya Dhannasaputra

December 31, 2008 [ TATA KELOLA YAYASAN-PEMERINTAH: UJIAN BAG I REFORMASI BIROKRASI )

EXECUTIVE SUMMARY

• Considerable attention has been given to the role of military foundations since the
beginning of Indonesia' s transition to a democratic political system in 1998. By contrast,
relatively little attention-by the press, the legislature, independent research institutes,
or civil society-has been given to the large universe of foundations created by more
than twenty central government ministries and agencies.

• Our study was undertaken to advance the broad objective of improving governance in
Indonesia through greater transparency and accountability in the public sector. Our
narrow objective was to produce an initial assessment of these found ations and the
policy issues related to their operation. Ultimately, we hope our study w ill lead to new
law s and/or regulations that help to ensure that foundation s in the public sector operate

in a manner consistent w ith the broader political goals of Reformasi.

• Our study was prompted by an earlier study of the off-budget financing of the
Indonesian armed forces (TNI).2 In its concluding chapter on " observations and
implications", the TNI study mentioned problems related to government foundations
across the board as one of six areas where progress would need to be made to achieve
the goal of eliminating the TN I' s dependence on off-budget funding and putting it fully
on budget.

• In Chapter I, we elaborate on the reasons for undertaking our study, its objectives, and
the approach adopted. Importantly, we define government foundations as follows:

Governmen t foundations [for the purposes of this study] are foun da tions tha t,
according to their Notary Act and their By-Laws, are founded or le d by
government officials in a ministry or other government agency, including
government officials [yang dicatat?] who appear to be acting in their personal
capacity. Also included are foundations that receive or bene fit from any kind of
state assets in carrying out their activities. In addition, th ese are foundations
having o ffices, based on a field visit, that are physically located in a building or
property conside red to be a s tate asset, such a s in th e building owned by its
sponsoring ministry or agency.

• Because of funding and time constraints, w e excluded from our survey government
foundations that were linked to: local governments (province, district, etc.), state-owned
enterprises, the ministry of defense and rela ted armed services, and central government

1 l ex Rieffel and Jaleswari Pramodhawardani, Out of Business ond On Budget: the Challenge of M ilitary
Financing In Indonesia, United States-Indonesia Society and Brookings Institution Press, 2007 (English langua ge
edition ); M enggusur Blsnls M lliter: Tant angan Pembiayaan TN/ M e/alui APBN, United States -Indonesia Society
and Penerbit Mizan, 2007 (Bahasa Indonesia edition).

Lex Rieffe l I Karaniya Dharmasapu tra

December 31, 2008 [ TATA KELOLA YAYASAN-PEMERINTAH: UJIAN BAG I REFORMASI BIROKRASI )

bodies that are not listed independently in the central government budget. In addition,
we pointed out that the basic law on foundations, Law No. 16 of 2001 (as amended in
2004), does not make a distinction between government foundations and foundations in
the private sector.

• Chapter II describes the context in which government foundations emerged and
operate. We begin by briefly describing the growth of foundations in four distinct
historical periods: the colonial era, the Sukarno era, the Suharto era, and the period of

Reformasi since 1998. We then discuss the issue of whether the income and assets of

government foundations should or should not be regarded as state assets, we touch on
the basic problem of the compensation structure for civil servants in Indonesia, and we
consider the argument that government foundations are needed because civil servant
compensation is inadequate.

• Chapter Ill is the heart of our report. Among the 70 ministries and agencies listed in the
central government budget, we found 22 that have affiliated foundations. Some of
these ministries and agencies had more than one foundation. Altogether, we identified
46 active foundations, 3 inactive ones, and one that considered itself independent from
the government. In the first part of this chapter, we describe the process of ident ifying
foundations, the questionnaire we developed to collect basic information on each one,
and key regulations and policies related to the operation of government foundations. In
the rest of the chapter we describe in some detail the results of our survey.

• In Chapter IV, we elaborate on the fundamental policy issue and offer a set of
recommendations.

• Finally, we offer our conclusions.

a. Two main principles upon which the Foundation Law of 2001 is based, transparency
and accountability, are still serious issues in the governance of government
foundations. Included in t hese issues are the lack of access and a system that allows
society easily and inexpensively to obtain information related to government
foundations.

b. The Foundation Law of 2001 was born with the objective of improving the
governance of all foundations, which in the past had actually been the sou rce of
many problems, such as can been in the foundation s created by the armed forces
and owned by former president Soeharto. This study yielded findings that
strengthen the argument that the Foundation Law has the potential to legitimize old
practices that involve conflicts of interest among civil servants and promote
corruption. This concern, for example, can be seen in the statements by the many
managers of government foundations who claimed that they were "independent
foundations" even when they were visibly benefiting from state assets and were led
by senior civil servants who were still active in their official positions. A similar
indication came from the many foundation managers who did not consider the
assets of their foundations to be part of the state's assets and did not allow their

lex Rieffel I Karaniya Dharmasaputra

December 31, 2008 [ TATA KELOLA YAYASAN-PEMERINTAH: UJIAN BAG I REFORMASI BIROKRASI )

foundations to be audited by the Supreme Audit Board (BPK) on the grounds that
the Foundation law assigned the audit ing of foundation financial reports to public
accounting firms.

c. This study sheds some empirical light on several corruption scandals that involved
off-budget funds originating in government foundations, including: Soeharto's and
the military's foundations, the State logistical Agency's (Bulog) foundation Yabinstra,
and most recently Bank Indonesia's foundation YPPI. It can be seen clearly from the
results of our field survey and several related investigations we carried out that the
problem is not simply due to structural/organizationa l flaws. More fundamentally
the problem relates to the perceptions and outlooks of civil servants at the present
time. This conclusion can been seen from two important factors, among others:
there are many foundation managers who fai l to understand that the assets of their
foundations are state assets. The other factor that points in the same direction is
their objection to having the Supreme Audit Board audit their financial reports.
Reinforcing these concerns, we also see government foundations operating in the
agencies responsible for monitoring and enforcing the law.

d. Based on these findings, we recommend that the government in the near term
undertake an inventory of all foundations that are linked directly or indirectly to
government agencies, at both the center and regional levels, including all
foundations that are linked to state-owned enterprises. We support the initiative of
the Ministry of Finance to require every government foundation to submit their
financial reports regularly to the government so that they can be published by the
Ministry and accessed by the general public.

In addition, it needs to be underscored that efforts to improve the situation cannot
focus only on the regulation and reform of the system, but also to correct the view of
foundation managers about principles of good governance according to the
prevailing international standards. For this purpose, the effort to draft a law on
Government Administration and a law on a Code of Government Ethics needs to
move in this direction without fail.

e. This study led to one important finding that attracted our attention. In addition to
the foundations linked to ministries and non-ministerial agencies at the level of the
central government, there are many foundations established by state-owned
enterprises that we believe operate on a much larger scale in terms of cash flow and
ownership of state assets than is generally recognized . We believe that the problems
related to the foundations linked to state-owned enterprises are in no way less
significant than those related to the government foundations we surveyed. A
comprehensive study of the foundations linked to state-owned enterprises needs to
be carried out soon.

f. Our research suggests that the phenomenon of the emergence of government
foundations which is uniquely found in Indonesia is related, among other factors, to
the absence of a compensation structure for civil servants that is satisfactory. This

lex Rieffel I Karaniya Dharmasaputra

December 31, 2008 [ TATA KELOLA YAYASAN-PE MERINTAH: UJIAN BAG I REFORMASI BIROKRASI )

problem certainly will not be easy to fix considering the constraints on the
government budget and the level of unemployment in Indonesia which makes it
politically almost impossible to reduce significantly the number of civil servants and
other government employees.
Moreover, our study suggests that government foundations are not the key to
solving this acute problem. Other means will have to be found, including pursuing
the program of reforming the compensation system that was being carried out by
the government, specifically the Ministry for Reforming the State Apparatus, as we
were writing this report. In the process of finding a solution to the problem of the
welfare of government employees, the role of government foundations is certainly
one of the main sources in the way of achieving the Indonesian dream of clean
government.

lex Rieffel I Karaniya Dharmasaputra













December 31, 2008 (TATA KHOLA VAVASAN-PEMERINTAH: UJIAN BAG I REFORMASI BIROKRASI)

Di masa kolonial, salah satu lembaga yang disebut-sebut merupakan cikal bakal
yayasan adalah Perguruan Taman Siswa-lembaga pendidikan yang didirikan tahun 1922
dengan tujuan menanamkan dan menyebarluaskan spirit nasionalisme untuk menentang
penjajahan. Dijuluki "sekolah liar," institusi pendidikan ini tidak mendapatkan subsidi dari
pemerintah kolonial.

Dalam perjalanannya, Perguruan Taman Siswa berkembang menjadi suatu yayasan
pendidikan besar hingga hari ini, yang bergerak di sektor pendidikan mulai dari level taman
kanak-kanak hingga perguruan tinggi (Wilhelmina, 2004). Studi kami tidak mendapati
adanya indikasi yayasan Perguruan Taman Siswa terafiliasi secara struktural dengan suatu
kementerian atau lembaga pemerintah.

B. Yayasan-Pemerintah di Era Soekarno

Jejak yayasan yang terkait dengan lembaga pemerintah dapat ditrasir ke belakang di
era Soekarno, di tahun 1940-an, di mana kelahirannya terkait secara langsung dengan
kepentingan militer ketika itu. Adalah militer yang membidani yayasan-yayasan semacam ini
sehubungan kepentingan tentara untuk membiayai dirinya sendiri dengan dana yang
dihimpun melalui berbagai skema nonbujeter (Mietzner 2006).

Model swa-biaya ini bahkan kian mengkristal saat diadakan konsolidasi angkatan
bersenjata di tahun 1950-an. Kepala Stat TNI Angkatan Darat ketika itu, A.H. Nasution,
membentuk tujuh teritorium yang masing-masing dirancang independen dalam hal
anggaran, karena pemerintah pusat tidak mampu menyediakan dana yang diperlukan.
Dimulai di periode ini lah, berbagai yayasan, termasuk perusahaan, koperasi, dan bentuk-
bentuk usaha informallainnya yang terkait dengan militer dan kepolisian, selanjutnya
bertumbuh subur, dan lalu mencapai titik puncaknya di masa pemerintahan Soeharto.2

Kebijakan menasionalisasi berbagai aset milik Belanda di tahun 1957-dan lalu milik
lnggris dan Amerika Serikat masing-masing di tahun 1964 dan 1965-merupakan faktor
yang tak kalah pentingnya berkontribusi pada lahirnya berbagai yayasan di bawah kontrol
militer. Pengambilalihan berbagai perusahaan asing ini selalu diiikuti dengan penempatan
berbagai personel militer di posisi-posisi puncak di berbagai perusahaan tersebut (Rabasa

1999, Samego et al. 1998).

Hal ini menjadi kian leluasa dilakukan berkat adanya doktrin Dwi Fungsi yang
menyatakan bahwa peran militer Indonesia tidaklah hanya terbatas di bidang pertahanan,
tapi juga meliputi area keamanan dan sosial-politik. Doktrin ini pertama kali diusulkan pada
tahun 1958 oleh Panglima TNI Angkatan Darat ketika itu, Jendral A.H. Nasution, berupa
sebuah konsep yang dinamainya "Jalan Tengah."

2 Ketika itu Kepolisian Rl maslh menjadi ba glan dari militer sebagai salah satu angkatan, selain tlga angkatan
lainnya: dara t. Iaut, dan udara.

lex Rieffel I Karaniya Dhannasaputra

December 31, 2008 (TATA KHOLA VAVASAN-PEMERINTAH: UJIAN BAG I REFORMASI BIROKRASI)

Di periode Soekarno ini pulah, Soeharto yang masih merupakan seorang opsir muda,
bersentuhan dengan yayasan. Penjelasan tentang hal ini secara baik diungkapkan oleh R.E.
Elson dalam Suharto: A Political Biography. Elson menuturkan, hal ini berawal dari
diumumkannya keadaan darurat militer oleh Soekarno pada Maret 1957, setelah ia
membekukan parlemen dan memberlakukan apa yang disebutnya sebagai Demokrasi
Terpimpin. Situasi ini secara signifikan menguntungkan militer. Para jenderal, termasuk
Soeharto, dengan leluasa memperluas basis kekuasaan mereka di sektor politik termasuk
ekonomi.

Jejak Soeharto dengan yayasan dimulai saat ia menjabat sebagai Panglima Tentara
dan Teritorium (TI)-IV/Divisi Diponegoro di Jawa Tengah, pada periode 1956-59. Di masa itu
lah Kolonel Soeharto bersentuhan dengan dua yayasan militer. Yang pertama adalah
Yayasan Teritorium Empat (YTE) yang didirikan denga n tujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan para prajurit dan pensiunan Divisi Diponegoro. Yang kedua, Yayasan
Pembangunan Territorium Empat (YPTE) yang berskala lebih besar dan didirikan pada tahun
1957. YPTE adalah yayasan pertama yang secara langsung didirikan Soeharto.3

Di sini lah naluri bisnis Soeharto dengan memanfaatkan jalur yayasan, mulai diasah.
YPTE didirikan dengan tujuan menyelenggarakan "segala hal yang memungkinkan di bidang
ekonomi dan keuangan untuk membantu petani dan masyarakat pedesaan." Faktanya, YPTE
menghimpun dana dengan menarik "pajak" barang, kepemilikan radio, atau listrik, yang
hasilnya lalu diinvestasikan melalui sejumlah pengusaha-kebanyakan adalah warga
keturunan Cina.

Dua yang utama adalah Bob Hasan, anak angkat Gatot Subroto, jenderal karib
Soeharto; serta Liem Sioe Liong alias Sudono Salim. Kedua pengusaha ini lama menjadi
semacam pemasok tetap bagi berbagai kebutuhan prajurit Soeharto, mulai dari obatan-
obatan sampai seragam. Belakangan, di masa pemerin tahan Soeharto, bisnis Liem dan Bob
tumbuh secara eksponensia l menjadi konglomerasi berskala raksasa (Aditjondro 1998,
Rabasa 1999, Tarling 2002).

YPTE belakangan meninggalkan jejak sejarah menarik yang menunjukkan adanya ta li-
temali antara korupsi dengan yayasan-pemerintah. Di t ahun 1959, tim inspeksi Angkatan
Darat diturunkan untuk menyelidiki sejumlah tuduhan penyimpangan di yayasan-yayasan di
Teritorium Empat. lnvestigasi ini berujung pada dicopotnya Soeharto dari kursi komandan.
Soeharto lalu diperintahkan mengikuti pendidikan di sekolah perwira, di SSKAD, yang kini
dikenal sebagai Seskoad (Dwipayana 1989, Rabasa 1999, Tarling 2002).

3 Yang menarik, dari hasil penelusuran kami, lahir mendahului dua yayasan yang terkalt dengan TNI Angkatan
Darat tersebut , yaknl YTE dan YPTE; adalah justru yayasan milik kepolisian : Yayasan Brata Bhakti Kepolislan Rl.
Brata Bhakti pertama kall dldirikan lima tahun sebelum YPTE lahir, yakni pada tahun 1952.

lex Rieffel I Karaniya Dharmasaputra

December 31, 2008 (TATA KHOLA VAVASAN-PEMERINTAH: UJIAN BAG I REFORMASI BIROKRASI)

Ringkasnya, politik otoritarian Soekarno dan kontrol militer terhadap sektor
keamanan, ekonomi dan politik lalu bertemali menjadi simpul kekuatan bisnis militer di
masa-masa selanjutnya. Dua faktor itu lah yang merupakan daya dorong utama bagi
lahirnya berbagai yayasan yang terkait dengan kepentingan bisnis militer-yang pada
gilirannya mencapai puncaknya di era Orde Baru Soeharto.

C. Rezim Soeha rto: Masa Keemasan Yayasan-Pemerinta h

Periode 32 tahun Orde Baru adalah masa-masa keemasan yayasan-pemerintah.4
Disemai benihnya di masa Soekarno, yayasan-pemerintah lahir dan dibesarkan oleh rezim
Soeharto. Soeharto lah peletak utama fondasi dan arsitek bangunan yayasan-pemerintah,
dengan segala persoalan yang melilitnya sebagaimana yang kita lihat sekarang.

Kepiawaian Soeharto dalam menyulap yayasan diawali pada tahun 1963. Dalam
sebuah wawancara yang jarang dengan media, Soeharto menjelaskan bahwa selain YPTE,
yayasan yang didirikannya sendiri di periode awal adalah Yayasan Trikora. Yang menjadi
faktor pendorong utama, demikian Soeharto mengklaim, adalah keinginannya untuk
membantu menyantuni 121 janda dan 325 anak prajurit anak buahnya yang tewas dalam
operasi Mandala ke Irian Barat. Berturut-turut setelah itu, Soeharto mendirikan Yayasan
Dwikora yang menurutnya didorong niat serupa berkait dengan operasi konfrontasi dengan
Malaysia, dan lalu Yayasan Seroja di tahun 1970-an yang bertujuan menyantuni keluarga
prajurit yang tewas dalam Operasi Seroja di Timor-Timur (Majalah Tokoh Indonesia 2005).

Hal ini berlanjut ketika Soeharto diangkat menjadi Panglima Komando Cadangan
Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Di sini, pada tahun 1964, ia tercatat mendirikan Yayasan
Dharma Putra Kostrad. Kembali menggandeng Liem Sioe Liong, Yayasan Dharma Putra
membuka sejumlah unit usaha, antara lain: Bank Windhu Kencana, maskapai penerbangan
Seu lawah dan Mandala, serta banyak lagi lainnya (Aditjondro 1998, Samego 1998).

Sejak itu, yayasan-militer seperti berkembang menjadi sebuah pola umum dalam
metoda pencarian dana di da lam organisasi tentara. Yayasan berfungsi menjadi payung
bisnis militer dengan cara menjadi pemegang saham di sejumlah perusahaan dengan
menggandeng partner swasta. Setiap angkatan, termasuk struktur komando di daerah,
memiliki yayasan sejenis yang berkait dengan berbagai kepentingan bisnis mereka.

4 Jumlah seluruh yayasan di Ind onesia tidak diketahui pasti. Jika men gacu pada data Oepartemen Kehakiman,
pada tahun 1990 tercatat lebih dari 3000 yayasan (Assegaf eta/. 2003). Meskipun data yang pastl tldak
tersed la, darl sekitar 3000 yayasan ini sebagian besar tampaknya didirikan an tara tahun 1970-SOan.

lex Rieffel I Karaniya Dharmasaputra

Decemb er 31, 2008 (TATA KHOLA VAVASAN-PEMERINTAH: UJIAN BAG I REFORMASI BIROKRASI)

-- - - - - - -- - - --- ----- --

Boks 2.1.

Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP)

YKEP yang beraflllasl dengan TNI Angkatan Darat merupakan satu dar/ duo yayasan mlliteryang
paling terkemuka. Yang lain adalah Yayasan Kobame (Korps Baret Merah) mfllk korps elite Kopassus
(Komando Pasukan Khusus].

YKEP didirikan pada 1972 dengan sejumlah tujuan mulia: menopang kesejahteraan prajurft TN/,
khususnya dengan menyediakan perumahan, memberikan tunjangan Hari Raya dan Natal, termasuk
mendirikan Universitas Ahmad Yani di Bandung.

Lebih dar! sekadar lembaga sosial, YKEP adalah kepala dari sesosok gurita bisnis. Tentakel bisnis
YKEP dikenda/ikan oleh PT Tri Usaha Bhakti, sebuah perusahaan indukyang didirikan untuk memayungi
seluruh bisnis YKEP. Kepemilikan saham YKEP pernah tersebar di berbagai bisnls berskala besa1~ an tara lain:
Kawasan Niaga Terpadu Sudirman atau Sttdirman Central Business District, area bisnls terkemuka seluas 44
hektar di jan tung jakarta; Bank Artha Graha, Hotel Borobudur (melalui PT Danayasa Artatama), Cigna
Indonesia Assurance, perusahaan kayu, lapangan golf, manufaktur, dan berbagai proyek real estat (Rabasa
1 9 9 9).

Tercatat. YKEP setidaknya memiliki 33 perusahaan, di mana 11 diantaranya merupakan unit bisnis
sendlri dan 22 lalnnya merupakan perusahaan patungan. Per tahun 2000, total nilal aset dar/ keseluruhan
unit blsnls ltll adalah Rp 315 mlliar, dan berkontribusi dalam mengalirkan dana kepada YKEP senilal Rp 58
mlllar (Widoyoko 2003).

Mitra utama YKEP adalah kelompok Artha Graha milik Tomy WInata, talpan yang punya jaringan
luas di mlliter dan hubungan dekat denoan mantan KSAD ]enderal Edi Sudrajat dan Menter/ Pendayagunaan
Aparatur Negara dl era Soeharto, Letjen (purn) T.B. Silalahi. Bersama rekan kongslnya, Suglanto Kusuma,
Tomy menggandeng YKEP dl tahun 1985 (Aditjondro 2000).

Setelah UU TN/ disahkan dan mewajibkan direstrukturisasinya bisnis mlliter, YKEP merespons
dengan metoda yang "kreatif'. Pada Agustus 2005, YKEP me/ego sahamnya di Bank Artha Graha secara
sepihak, tanpa persetujuan pemerintah terlebih dahulu. Pengurus YKEP berdallh tidak ada satu pun
ketentuanyang mengharuskan pelepasan saham ini di/akukan melalui persetujuan pemerintah. Dampaknya,
upaya pemerintah merestrukturisasi bisnis militer dikhawatirkan tak akan lagi dapat menjangkau berbagai
investasi Artha Graha (Mietzner 2006).

Hasilnya, adalah sebua h jaringan bisnis yang menggurita. Sebagai gambaran, seperti
pernah diumumkan oleh Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, berdasarkan hasil audit
menyeluruh terhadap seluruh entitas bisnis TNI hingga t ahun 2006, TNI sedikitnya
mengelola 219 unit bisnis, termasuk 1.520 sub unit di dalamnya. Masuk dalam kategori ini
adalah koperasi, yang merupakan kategori dengan jumlah terbanyak. Adapun penyertaa n
modal di perusahaan swasta dilakukan melalu i yayasan (Mietzner 2006). Salah satu yayasan
TNI terpenting dalam hal ini adalah Yayasan Kartika Eka Paksi (lihat boks profil YKEP).

Setelah menjadi presiden, pengalamannya mendirikan yayasan-militer mengilhami
Soeharto untuk mendirikan sejumlah yayasan "swasta." Beserta istri, anak-anak dan

l ex Rieffel I Karaniya Dharmasapu tra

December 31, 2008 (TATA KHOLA VAVASAN-PEMERINTAH: UJIAN BAG I REFORMASI BIROKRASI)

kerabatnya, Soeharto secara masif mendirikan berbagai yayasan yang berkait dengan
berbagai kepentingan bisnis keluarga Cendana (nama jalan di Jakarta di mana Soeharto dan

keluarganya bertempat tinggal). Selama 32 tahun kepemimpinannya, the first family

set idaknya mengontrol sedikitnya 40 yayasan yang memiliki berbagai saham di perusahaan-
perusahaan berskala raksasa, seperti Bogasari, pabrik semen, pabrik pupuk, jalan tol,
konsesi hutan, dan perkebunan kelapa sawit (Aditjondro 1998).

Lima yang terbesar adalah Yayasan Dakab, Dharmais, Supersemar, Tritura,dan
Amalbhakti Muslim Pancasila (profil Yayasan Supersemar dapat dibaca di boks).
Kesemuanya diketuai langsung Soeharto dan roda manajemen sehari-hari diputar oleh
orang-orang terdekatnya, termasuk anggota keluarganya. Selain yang dia pimpin langsung,
ada pula sejumlah yayasan yang dipimpin o leh istri dan keluarganya. Tiga diantaranya
ada lah Yayasan Harapan Kita, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan (YDGRK), dan
Yayasan Damandiri yang didirikan istrinya, Tien Soeharto.

Berbagai yayasan Soeharto selalu didirikan dengan sederet tujuan mulia. Dalam
otobiografinya, Soeharto mengklaim bahwa motivasinya ketika mendirikan Yayasan
Pembangunan Territorium Empat (YPTE) adalah "untuk menunjukkan rasa terima kasih saya
dan membalas budi orang-orang kecil" yang membantu pasukannya dalam pertempuran
Agresi Belanda II dan Serangan Umum 1 Maret 1949.

Pada kenyataannya, sebaga imana dikritik banyak pihak, yayasan -yayasan t ersebut
dimanfaatkan sebagai alat menghindari pajak dan mengakumulasi kekayaan pribadi dengan
mengaburkan batas-batas yang semestinya secara tegas ditegakkan antara institusi
pemerintah dan perusahaan swasta. Bahkan, sebagaimana telah luas diketahui, Soeharto
mengekstrak dana publik dan masyarakat mela lui mekanisme sumbangan yang sulit
dikatakan bersifat suka rela terhadap yayasan-yayasannya itu.

lhwal sumbangan terhadap yayasan-yayasannya ini pernah diungkapkan Soeharto
sendiri dalam sebuah wawancara dengan media yang berlangsung pada tanggal8 Juli 1998,
tak lama setelah ia meletakkan jabatannya . Berikut ini petikannya, menyangkut sumbangan
yang berkait ke Yayasan Dharmais di masa Soeharto masih menjabat sebagai presiden:

" Untuk itu saya minta membantu dengan sebagian dari labanya. Dua persen dari laba 100
juta rupiah ke atas supaya disumbangkan. Jumlahnya tidak sedikit. Mereka dengan sukarela
menyumbang. Ada juga sum ber lain, misalnya bank. Di anggaran dasar masing-masing bank
BUMN disebutkan, dalam keuntungan ada lima persen dana sosial. Karena mereka tidak
mampu menyalurkannya, Menteri Keuangan menetapkan untuk disalurkan lewat Dharmais.
Dengan dem ikian sum ber dana [Yayasan) Dharmais yang lim a persen dari keuntungan bank
BUMN itu - yang memang untuk sosial - bukan dengan memaksakan uang bank, tapi
memang karena su dah dicadangkan untuk sosial (Majalah Takoh Indonesia, 2005)."

Dana yang terkumpul itu dibelanjakan sepenuhnya atas diskresi Soeharto, di atas
klaim untuk meningkatkan berbagai kepentingan sosial, termasuk antara lain di bidang

l ex Rieffel I Karaniya Dharmasaputra

December 31, 2008 (TATA KHOLA VAVASAN-PEMERINTAH: UJIAN BAG I REFORMASI BIROKRASI)

- - -- - - - - - - ---------- ---- --- ------

Boks 2.2.

Yayasan Supersemar

Sebago/mana lafknya yayasan -pemerintah, Yayasan Supersemar mengklaim raison d 'etre
keberadaannya adalah untuk memperjuangkan suatu cita-cita luhur. Menurut Anggaran Dasarnya, Yayasan
Supersemaryang didirlkan pada tanggal16 Mei 1974 atas prakarsa Soeharto ini, bertujuan untuk
"membantu siswa dan mahaslswa yano cakap dan berbakatyang kurang mampu membfayaf kelangsungan
studinya.N Dalam kepengurusan duduk menteri-menteri berpengaruh dan merupakan orano kepercayaan
Soeharto, seperti: Widjojo Nitisastro, Moerdiono, Sudharmono, dana Soedjarwo. Dari kalangan keluaroa
tercantum antara lain dua nama menantunya Prabowo Sub ianto dan Pratikto Singgih (Chatamarrasjid,
2006, hal 329).

Modal Yayasan an tara lain berasal dari kekayaan para pendiri (modal dasar) dan dari sumbanoan
para penousaha yano menyisihkan dana setelah diimbau Soeharto yang ketika itu menjabat sebaoai
Presiden. Berkat "fmbauan " itu, dalam tempo relatif sino kat di awal pendirian Yayasan, langsung terkumpul
dana satu mllyar rupiah. Pada awal pendiriannya, sampai dengan 31 ]uli 1982, Yayasan Supersemar
menempati duo buah ruanoan di lantai-2 Bina Graha (Kantor Kepresidenan). dijalan Veteran No.14, jakarta
Pusat Sejak 1993 sampai sekarang, Yayasan berkantor di Gedung Granadi Lantaf 4, ]alan H.R. Rasuna Said
Kav. 8· 9, jakarta Selatan (Situs Yayasan Supersemar). Di gedung meoah inilah, yayasan -yayasan Soeharto
lalnnya juga berkantor.

Soeharto mengklafm sejak tahun 1975 sampai 1997, Yayasan Supersemar celah membufkan
beaslswa kepada 233.463 mahasiswa prooram S-1; 4,364 mahasiswa S-2; 737 mahasiswa S-3; dan 536.670
sfswa sekolah menengah kejuruan. Sejak tahun 1975 hfngga 31 Maret 1998, dana yang dfhabfskan sebesar
Rp 422.668.467.640,00. Adapun sa/do Yayasan per31 Maret 1998 berupa deposito adalah senflaf Rp
338.458.590.000,00. Dana fnf, Soeharto menjelaskan, tidak hanya didepositokan, tapi juga diinvestasfkan
dengan membeli saham sejum/ah perusahaan ( Majalah Tokoh Indonesia, 2005).

Saat laporan fnf ditulis, Kejaksaan Aoung Rl sedans dalam proses pukara perdata melawan
Soeharto dan Yayasan Supersemar. Kejaksaan Aoung melayangkan gugatan setelah menemukan bukti
bahwa dana yano dihimpun Yayasan Supersemar ternyata juga dikucurkan pada tujuh perusahaan milik
keluarga dan kerabat Soeharto. Dua di antaranya ditemttkan pada a/iran dana ke Bank Duta sebesar US$
125 ribtt pada 22 September 1990, dan untuk Sem pati Air (maskapai milik putra Soeharto, Hutomo Mandala
Putra) senilai Rp 13,1 miliar selama September 19 89 hingga No vember 1997 (Tempo lnteraktifi 5 Februari
2008).

Pada Maret 2008, Pengadi/an Neoeri jakarta Selatan memtttttskan Soeharto tidak melakukan
perbuatan melawan hukum, tapi memvonis bersalah Yayasan Supersemar dan memerlntahkannya
membayar gantt rugi kepada negara seni/ai US$105 j uta dan Rp 46,4 miliar ( Kompas, 29 Maret 2008).

pendidikan dan kesehatan. Nyaris tak ada transpa ransi dan akuntabilitas finansial dalam
pengelolaannya. Yayasan-yayasan Soeharto beroperasi bak mesin pemutar uang siluman
berskala raksasa.

Banyak yayasan Soeharto berkantor di kantor pemerintah dan mempekerjakan
pegawai negeri sipil. Yayasan Amalbhakti Muslim Pancasila, misalnya, dulu berkantor di
Gedung Sekretariat Negara, Jakarta. Dua lainnya di gedung Kedutaan Besar Rl. Yayasan

l ex Ri effel I Karaniya Dharmasapu tra

December 31, 2008 (TATA KHOLA VAVASAN-PEMERINTAH: UJIAN BAG I REFORMASI BIROKRASI)

Kemusuk Somenggalan yang bergerak di bidang bisnis kayu berkantor di Kedutaan Besar Rl
di Paramaribo, Suriname; sedangkan Yayasan Balai di Kedutaan Besar Rl Rusia di Moskow,
Rusia (Aditjondro 2000).

Tampaknya, " keteladanan" Soeharto itulah yang membuat yayasan-pemerintah
tumbuh subur di era Orde Baru, bak cendawan di musim hujan. Dari hasil studi kami,
mayoritas yayasan-pemerintah yang kami teliti dibidani di era Soeharto. Dari 30 yayasan-
pemerintah yang kami berhasil identifikasi tanggal pendiriannya, 24 diantaranya (80 persen)
didirikan dalam kurun waktu 1965 dan Mei 1998. BUMN, universitas negeri, dan banyak
lembaga kuasi-pemerintah lainnya juga ikut mendirikan berbagai yayasan-pemerintah
sejenis.

Banyak narasumber studi ini mengungkapkan bahwa modus pencarian dana
yayasan-yayasan ini pun ikut "meneladani" yayasan-yayasan Soeharto. Sudah menjadi
modus umum, perusahaan pemasok atau pihak-pihak lain yang memiliki hubungan
kepentingan kerja dengan kementerian atau lembaga pemerintah yang menjadi induk
yayasan bersangkutan diminta menyetorkan sejum lah "sumbangan" kepada yayasan
sebagai panjar atau imbal jasa dari transaksi, jasa, atau tender bisnis yang telah atau akan
dimenangkan . Keuangan yayasan-yayasan ini pun, sebagaimana akan ditunjukkan di bagian
berikutnya, tidak cukup transparan dan akuntabel.

Sejumlah studi menyimpulkan, badan hukum yayasan dipilih menjadi payung bisnis
militer dan Soeharto bukan tanpa alasan. Dengan memilih format ini, maka yayasan-militer
dan Soeharto antara lain bisa menikmati fasilitas bebas-pajak, sebagaimana telah disinggung
di muka. Selain itu, hal ini juga untuk mengantisipasi larangan bagi setiap pejabat militer
aktif untuk terlibat dalam segala bentuk aktivitas bisnis sebagaimana dinyatakan dalam

Peraturan Pemerintah No. 6/1974 (Rabasa eta/. 1999, Widoyoko 2003). Peraturan ini tak

pernah diterapkan secara tegas. Salah satu penyebabnya, karena di dalamnya telah
disediakan berbagai loop holes, lubang-lubang pengecualian, yang dengan gampangnya
disiasati.

lex Rieffel I Karaniya Dhannasaputra

Boks 2.3

Peraturan Pemerintah No. 6/ 1974 tentang Pembatasan Kegiatan Pegawai Negeri dalam
Usaha Swasta

Peraturan fnf dfundangkan pada tanggal 5 Maret 1974. Beberapa kutfpan pasal pentfng adalah sbb.:

BAB II: PEMBA TASAN BERUSAHA
Pasa/2

(1) Pegawal Negeri Slpil golongan ruang IV/a PGPS-1968 ke atas, anggota ABRI berpangkat Letnan If ke atas,
Pejabat, serta fsterf dart: penjabat eselon I dan yang setlngkat balk dl Pusat maupun df daerah; perwfra dnggf ABRI;
pejabat-pejabat lain yang ditetapkan oleh MenterljKepala Lembaga yang bersangkutan; dilarang:
a. memilikl seluruh atau sebagfan perusahaan swasta;
b. memimpln, duduk sebagai anggota pengurus atau pengawas suatu perusahaan swasta;
c. melakukan keglaton usaha dagang, balk secara resmi maupun sambilan.

(2) Larangan tersebut ayat (1) Pasal inI tldak berlaku untuk:
a. pemflikan saham suatu perusahaan sepanjang jumlah dan sifat pemilikan ltu tldak sedemfkian rupa, sehingga

melalui pemilikan saham tersebut dapat langsung atau t ida k langsung menentukan penyelenggaraan atau
jalannya perusahaan;
b. melakukan pekerjaan swastayang mempunyaifungsi sosial ialah : praktek dokter, bfdan; mengajar sebagai guru;
lain -lain pekerjaan yang serupa yang ditetapkan oleh Presiden;
c. isteri yang menerima pekerjaan atau bekerja sebagai pegawai pada swasta atau perusahaan milik Negara yang
tfdak ada hubungannya dengan pekerjaanjjabatan suaminya;
d. hal-hal khusus dengan lzln Preslden.
Untuk melakukan kegfatan tersebutad-b dan c ayat (2) ln ~yang bersangkutan horus mendapatkan lzin tertulis darl
pejabatyang berwenang.

(3) PNS golongan ruang 111/d PGPS-1968 kebawah, anggota ABRI berpangkat Pembancu Letnanl ke bawah serta
fsterf dart Pegawal Negerf, anggota ABRI dan pejabatyang tldak termasuk ketentuan tersebut ayat ( 1) Paso/ lnf; wajlb
mendapat fzfn tertulfs dart pejabatyang berwenang apablla memllfkl perusahaan swasta atau melakukan keglaton
sepertf tersebut dolam ayat ( 1) ad b dan c Posal InI.

Pasa/ 3

(1) PNS dan anggota ABRI serta pejabat hanya dapat bekerja pada perusahaan milfk Negara atau perusahaan swasta
mllfk lnstansi resmlyang mempunyaf tujuan serta fungsl soslal balk sebagal pemlmpln, pengurus, pengawas atau
pegawal blasa, atas dasar penugasan dart pejabatyang berwenang dan dlangkat berdasarkan peraturanyang
berlaku.

(2) Penugasan dolam perusahaan tersebut ayat (1) Pasal lni tldak dlbenarkan untuk dlrangkap denganjabatan dl
pemerintahan, kecuali untuk penugasan sebagai pengawas dalam perusahaan.

BAB Ill PEMBA TASAN DUDUK DALAM USAHA SOSIAL
Pasa/4

(1) PNS golongan ruang fVja PGPS-1968 ke atas, anggota ABRI berpangkat Letnan II keatas dan Penjabat di/arang
duduk sebagai pengurus, penasehat atau pelindung dalam badan sosial, apabila untuk ftu fa menerlma
upahjgajijhonorarfum atau keuntungan materiiljftnansiillainnya.

(2) PNS, anggota ABRI dan pejabat tersebut pada ayat (1) pasal in/ yang duduk dalam badan sos/al tanpa menerlma
upahjgajfjhonorarfum atau keuntungan materiiljftnansiillainnya, horus memperoleh fzfn tertulis darl pejabatyang
berwenang.

(3) lsterf dart merekayang tersebut pada ayat (1) pasal inI, yang duduk sebagaf pengurus, penasehat atau pelindung
dalam badan sosfal, horus memperoleh persetujuan darl pejabatyang berwenang pada departemenjlembaga
negarajfnstansf tempat bekerja suamfnya apabfla untuk ftu fa menerfma upahjgajfjhonorarfum atau keuntungan
materffljftnansifllalnnya.

(4) PNS golongan ruang 111/d PGPS-1968 ke bawah, dan anggota ABRI berpangkat Pembantu Letnan Ike bawah
horus memperoleh lzin dar/ pejabatyang berwenang apabi/a duduk sebagal pengurus, penasehatatau pellndung
dalam badan soslal serta apabila untuk itu Ia menerima upahjgajijhonorarlum atau keuntungan materiiljftnansiil
lalnnya.























December 31, 2008 (TATA KHOLA VAVASAN-PEMERINTAH: UJIAN BAG I REFORMASI BIROKRASI)

BAB III

HASIL SURVEY

A. Pendahulua n

Yang menjadi obyek penelitian ini adalah yayasan-pemerintah di tingkat pemerintah
pusat. lstilah "yayasan-pemerintah" tidak dikenal di UU Yayasan, yang gagal membedakan
dan memberi batasan yang tegas antara yayasan-publik dan yayasan-swasta. lstilah
yayasan-pemerintah kami gunakan di sini untuk memudahkan penyebutan.

Tantangan pertama yang langsung muncu l saat memulai survey lapangan, adalah
mendefinisikan apa itu "yayasan-pemerintah ." Yang kami maksud dengan yayasan-
pemerintah dalam studi ini adalah yayasan yang terafiliasi, baik secara langsung maupun tak
langsung, dengan 70 departemen, kementerian, atau lembaga pemerintah setingkat
departemen di level pemerintah pusat, sebagaimana tercantum dalam Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat Semester I 2007. Daftar ini menjadi acuan kami, karena departemen dan
lembaga pemerintah ini lah yang terkait secara langsung dengan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara. Hanya yayasan di lingkungan inilah yang menjadi obyek survey lapangan
kami.

Kami tidak memasukkan yayasan terafiliasi dengan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) dan Daerah (BUMD), juga yayasan yang berada di lingkungan pemerintahan daerah.
Kami memilih memusatkan perhatian pada yayasan-pemerintah yang terafiliasi dengan
departemen atau lembaga pemerintah di tingkat pusat-termasuk Departemen Pertahanan
dan Kepolisian Rl-di atas argumentasi bahwa di yayasan kategori ini lah terkandung
masalah tata kelola pemerintahan (governance) yang paling mendasar, khususnya yang
menyangkut kejelasan status kepemilikan aset negara dan potensi konflik kepentingan yang
ada di baliknya . Hal terakhir muncul karena antara lain adanya fenomena perangkapan
jabatan antara pucuk pimpinan tertinggi di departemen/lembaga pemerintah di tingkat
pusat (menteri, direktur jenderal, sekretaris jenderal, dan inspektur jenderal) dengan di
berbagai yayasan-pemerintah tersebut. Berbagai skandal korupsi dana nonbujeter yang
melilit sejumlah yayasan pemerintah-Yayasan Bulog, TNI, dan Bank lndonesia-menjadi
indikator yang sulit dibantah.

Perlu pula dicatat, penelitian ini mengesampingkan yayasan-yayasan TN I. Salah satu
pertimbangannya, yayasan kategori ini telah banyak ditelaah oleh berbagai studi
sebelumnya. Meski demikian, kami memasukkan yayasan yang bernaung di bawah
Departemen Pertahanan dan Kepolisian Rl.

Meski acuan datanya belum tersedia, kami percaya yayasan-pemerintah di tiga
kategori lainnya itu-yayasan BUMN, BUMD dan pemerintah daerah-punya skala cukup

l ex Rieffel I Karaniya Dhannasaputra

December 31, 2008 (TATA KHOLA VAVASAN-PEMERINTAH: UJIAN BAG I REFORMASI BIROKRASI)

penting dan perlu diteliti lebih lanjut di masa mendatang. Saat menelusuri akta yayasan,
kami mendapati sejumlah yayasan yang terafiliasi dengan BUMN-BUMN besar seperti
Pertamina, bank-bank pemerintah, dan sebagainya, yang dari skala nilai aset, boleh j adi jauh
lebih besar ketimbang yayasan-pemerintah. Kami menduga potensi persoalan yang
tersimpan di balik yayasan-yayasan BUMN ini boleh jadi tak kalah substansial dan
problematik ketimbang di yayasan-pemerintah yang terkait dengan kementerian dan
lembaga pemerintah eksekutif di tingkat pusat.

B. lnve ntarisasi Yayasan-Pemerintah

Data inventaris tentang yayasan-pemerintah tidak tersedia saat studi ini dimulai.
Akta notaris pendirian yayasan tidak bisa dijadikan acuan. Pertama, karena ia tidak lengkap
sebagaimana yang telah dijelaskan di muka. Kedua, karena sistem kata log yang dibuat tidak
menggolongkan yayasan tipe ini dalam suatu kategori khusus. Pemerintah pun belum
melakukan pendataan terhadap yayasan-yayasan pemerintah ini. Upaya ini baru diawali
Departemen Keuangan per Desember 2007 lalu.10

Area ini juga nyaris belum disentuh oleh berbagai penelitian . Sebelum ini banyak
studi telah digelar untuk meneliti yayasan militer, tapi tak satu pun yang m empelajari
yayasan-pemerintah secara lengkap dan menyeluruh. Situs departemen dan lembaga
pemerintah pun nyaris tidak menyediakan informasi yang mendetail dan komprehensif
tentang keberadaan yayasan-yayasan pemerintah ini.

Dengan latar belakang seperti itu lah, maka langkah pertama yang dilakukan studi ini
adalah melakukan pendataan yayasan-pemerintah dan memverifikasi statusnya, apakah
masih aktif atau tidak. Hanya yayasan-pemerintah berstatus aktif yang menjadi obyek
survey lapangan penelitian ini.

Untuk keperluan itu, upaya inventarisasi dan verifikasi dilakukan secara berlapis. Ada
tiga cara yang ditempuh:

a. Uji dokumen, khususnya terhadap akta yayasan yang telah diumumkan di
lembaran Berita Negara. Kami menggolongkan sebuah yayasan sebagai yayasan-
pemerintah jika aktanya menyatakan suatu yayasan didirikan oleh dan memiliki
aktivitas yang berkaitan dengan suatu departemen atau lembaga pemerintah.
Hal lain, jika dalam susunan kepengurusannya tercantum keberadaan pejabat
pemerintah yang masih berstatus aktif.

b. Menelepon kantor yayasan dan mewawancarai sumber-sumber terkait yang
kami anggap mengetahui keberadaan yayasan pemerintah;

10 Wawancara Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Nega ra , Departemen Keuangan Rl, Dr. Hekinus
Manao, di Jakarta, 18 Januarl2008.

lex Rieffel I Karaniya Dhannasaputra

December 31, 2008 (TATA KHOLA VAVASAN-PEMERINTAH: UJIAN BAG I REFORMASI BIROKRASI)

c. Melakukan kunjungan lapangan ke departemen dan lembaga pemerintah pusat
dan mengecek keberadaan yayasan-pemerintah yang berada di bawah
naungannya, serta mendatangi kantor-kantor yayasan-pemerintah yang
berlokasi di situ.

Perlu dicatat, bahwa dalam proses pendataan ini kami mendapati sejumlah yayasan-
pemerintah yang tidak lagi aktif, misalnya Yayasan Rukun Sejahtera - Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) dan Yayasan Krida Caraka Bumi- Departemen Pertambangan
dan Energi dan Sumber Daya M ineral.

Selain itu, perlu juga digarisbawahi, bahwa tidak se luruh departemen, kementerian
ata u lembaga setingkat depar temen, memiliki yayasan . Sej auh hasil observasi lapangan
kami, ha nya 22 departemen, kementerian, dan lembaga pem erintah yang memiliki yayasan-
pem erintah berstatus aktif saat survey lapangan dilangsungkan. Angka ini mer upakan
perkiraan, karena sangatlah mungkin ada sejumlah yayasan yang keberadaannya
disembunyikan atau lolos dari pengamatan kami.

C. Pe ngumpula n Da ta

Survey lapangan dilakukan selama empat bulan, Maret- Juni 2008. Untuk memandu
wawancara dengan narasumber, kami mengembangkan sebuah kuesioner (lihat Apendiks
B). Kuesioner ini dibangun dari hasil wawancara mendalam dengan sejumlah narasumber
yang tergabung dalam jejaring-narasumber studi ini. M ereka terdiri dari pejabat tinggi
pemerintahan di Departemen Keuangan dan Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara, akademisi, pakar dan praktisi hukum, dan peneliti yang mendalami soal yayasan.
Wa wancara mendalam dilakukan selam a dua bulan, dalam periode Januari- Februari 2008.

Yang menjadi narasumber dari survey lapangan kami adalah pengurus yayasan
pemerinta h. Yang dimaksud dengan pengurus yayasan adalah mereka yang menjadi anggota
Badan Pengurus Yayasan. Ketua yayasan-pemerintah m enjadi prioritas utama nar asum ber
yang diwawanca rai, tapi jika t idak memungkinkan, peneliti m ew awancarai anggota Badan
Pengurus lain.

Karena limitasi waktu dan ketersediaan data, kami memfokuskan penelitian pada
apa yang kami sebut sebagai "yayasan-pusat ". Yayasan-pusat ini kami bedakan dengan
"yayasan-satelit". Sebagai contoh, di Departemen Pertanian total didapati ada 13 yayasan.
Namun demikian, hanya satu yang menjadi "yayasan-pusat," yakni Yayasan Kesejahteraan
Pegawai Rumpun Tani (Yarum Tani). Yang lainnya adalah yayasan-yayasan lebih kecil yang
merupakan "yayasan-satelit," seperti: Yayasan Pengembangan Sinar Tani, Yayasan
Penelitian Pertanian Indonesia, dan lainnya. Meski demikian, dalam wawancara dengan
pengurus yayasan-pusat, informasi tentang yayasan-satelit juga berupaya dihimpun.

l ex Ri effel I Karaniya Dharmasapu tra

December 31, 2008 (TATA KHOLA VAVASAN-PEMERINTAH: UJIAN BAG I REFORMASI BIROKRASI)

Yang menjadi populasi dari studi ini ada lah seluruh yayasan-pemerintah berstatus
aktif yang terkait dan atau berada di lingkungan pemerintah pusat. Berdasarkan verifikasi
lapangan yang kami lakukan, termasuk melalui metode pengecekan melalui kunjungan
lapangan ke departemen/lembaga pemerintah pusat, kami mendeteksi keberadaan 50
yayasan-pemerintah- 46 di antaranya berstatus aktif saat survey lapangan dilakukan-baik
yang masuk kategori yayasan-pusat maupun yayasan-satelit; tiga tidak aktif, dan satu
lainnya dinyatakan tidak lagi terafiliasi dan memiliki hubungan struktural dengan
kementerian atau lembaga pemerintah.

Rekapitulasi status survey lapangan kam i bisa dilihat di ta bel berikut ini:

Departemen, kementerian, dan lembaga non departemen 22
yang diketahui memiliki yayasan-pemerintah aktif
Yayasan-pemerintah yang keberadaannya berhasil dideteksi so

Berstatus aktif: 46 26
Berstatus tidak aktif: 3
Tak lagi terafiliasi dengan kementerian/lembaga 18
pemerintah: 1
Akta yayasan-pemerintah yang berhasil diperoleh
Yayasan-pemerintah yang pengurusnya berhasil
diwawancarai

Perlu kiranya ditegaskan kembali, tidak seluruh departemen, kementerian, atau
lembaga non departemen memiliki yayasan-pemerintah. Juga, bahwa satu departemen,
kementerian, atau lembaga non departemen bisa memiliki lebih dari satu yayasan. Dari
seluruh 70 departemen, kementerian atau lembaga non departemen di tingkat pemerintah
pusat itu, yang dapat kami pastikan memiliki yayasan-pemerintah berstatus aktif saat studi
ini dilaksanakan adalah di 22 di antaranya. Di lembaga selebihnya, penelusuran kami tidak
mendapatinya.

Da ri 46 yayasan-pemerintah aktif yang kami det eksi itu, kami berhasil mewawanca rai
pengurus 18 yayasan-pemer intah (sebagian besar m erup akan yayasan-pusat ) dan
mengumpulkan akta notaris dari 26 yayasa n-pem erintah. Kami percaya, jumlah wawancara
dan perolehan akta notaris ini cu kup representatif untuk menangkap fenomena dan
permasalahan di seputar yayasan-pemerint ah di level pemerintah pusat.

Ada enam yayasan yang secara eksplisit menolak permohonan wawancara kami,
yakni:

a. Yayasan Kesejahteraan Warga Pajak (YKWP), Direktorat Jenderal Pajak, Departemen
Keuangan ;

b. Yayasan Pendidikan Putera (YPP), Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah;
c. Yayasan Kesejahteraan Sosial Teratai (YKST), Departemen Sosial;

l ex Ri effel I Karaniya Dhannasaputra

December 31, 2008 (TATA KHOLA VAVASAN-PEMERINTAH: UJIAN BAG I REFORMASI BIROKRASI)

Box3. 1 d. Yayasan Tenaga Kerja Indonesia
(YTKI), Departemen Tenaga Kerja dan
Yayasan Kesejahteraan Sosia/ Transmigrasi;
Teratai (YKST)
e. Yayasan Pengembangan
Menurut Tambahan Berfta Negara Rl16 September Perbankan Indonesia (YPPI), Bank
2002 No. 74, YKST didfrfkan pada tahun 1994 Indonesia;
berdasarkan surat kuasa Menter! Sosial Rl ketika itu,
E.K. Inten Soeweno dengan tujuan untuk "meningkatkan f. Yayasan Buku Utama,
kesejahteraan masyarakat maupun pegawai Perpustakaan Nasional.
Departemen Sosial Rl. " Keterkaitan lanosuno antara
YKST dengan Departemen Sosial bertahan hinoga studi Sejum lah yayasan lain tidak merespon
ini dilaksanakan. Tujuan YKST tersebut tetap permohonan wawancara yang kami
dipertahankan sama hingoa tahun2003, sebagaimana kirimkan maupun kami mohonkan via
tertera pada Risalah Rapat YKST tanoga/20 ]uni 2003. telepon, antara lain:
Menu rut Perbaikan Akta Risa/ah Rapat YKST No. 2
tanggal 7 September 2004, Inten Soeweno se/aku Ketua a. Yayasan Pertambangan dan
Badan Pembina bertindak berdasarkan "kuasa dari dan Energi, Departemen Energi dan Sumber
oleh karena ftu bertfndak untuk dan atas nama tuan Daya Mineral;
Haji Bachtfar Chamsyah, Sarjana Ekonomi, Menteri
Soslal Rl... " b . Yayasan Pensiunan Pegawai
Departemen Perdagangan;

c. Yayasan Upakara, Departemen
Luar Negeri.

Alasan pengurus yayasan yang
menolak, bermacam ragam . Pengurus YKWP-Direkt orat Jenderal Pajak beralasan,
keberlangsungan hidup yayasan mereka masih dibahas di antara pengurus yayasan dan saat
ini sudah dalam keadaan vakum. Hal ini terkait dengan niat Direktur Jenderal Pajak Darmin
Nasution untuk melikuidasi YKWP.11 Ada pun YPP - Departemen Kimpraswil dan Yayasan
Buku Utama - Perpustakaan Nasional tidak m emberi alasan yang terang. Staf di kedua
yayasan tersebut hanya mengatakan bahwa pengurus yayasan tak bersedia diwawancarai.

Yang menarik unt uk d icatat adalah alasan yang dike mu kakan pengurus YKST-
Departemen Sosial dan YTKI- Depa rtem en Tenaga Kerja. M ereka menolak permohonan
wawancara dari peneliti dengan alasan bahwa y ayasa n mereka merupakan yayasan
independen dan tak dapat dikategorika n sebagai yayasan pemer intah. Namun demikian,
penelusuran kami terhadap akta kedua yayasan menunjukkan fakta yang berbeda. Hal ini
bisa dilihat dari hasil analisis terhadap akta-akta YTKI dan YKST yang kami sajikan pada boks
tulisan.

11 Menuru t penjelasan salah satu pengurus YKWP, situasi ini kontras dengan masa kepemimplnan Olrjen Pajak
sebelum Darmin Na sutlon, dl mana aktivitas YKWP mendapat sokongan dari para pemlmpln Olrektorat
Jenderal Pajak.

lex Rieffel I Ka raniya Dharmasaputra

December 31, 2008 (TATA KHOLA VAVASAN-PEMERINTAH: UJIAN BAG I REFORMASI BIROKRASI)

Sementara itu, YPPI hanya

menyatakan bahwa pengurus yayasan belum

Box3.2 dapat memberikan penjelasan tentang
kondisi YPPI. Hal ini tampaknya terkait
Yay asan Tenag a Kerja Indonesia

Menurut akta pendlriannya, Yayasan Tenaga Kerja dengan proses penyelidikan aparat Komisi
Indonesia (YTKI} dldlrikan pada tahun 1969 oleh Pemberant asan Korupsi terhadap para
Soetarto, Dirjen Perllndungan dan Perawatan pemimpin YPPI sehubungan tuduhan
Tenaga Kerja ketlka itu, atas dasar Surat Keputusan keterkaita n yayasan ini dalam perkara
Menteri Tenaga Kerja Rl No. l99f1968. Akta YTKJ dugaan penyuapan terhadap sejumlah
tidak menunjukkan keterkaitan langsung dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi aparat penegak hukum yang melibatkan para
(Depnakertrans). Asas, tujuan dan usaha-usaha YTKI petinggi Ban k Indonesia.
ditu/is bersifat umum-menyebarluaskan
pengetahuan, menyelenggarakan pendidikan, atau Selain melalui waw ancara, kami juga
kerja soma internasional-dan tfdak mencantumkan m engumpulkan data-data sekunder yang
usaha·usaha spesiftkyang berkaitan /angsrmg berkaitan dengan riwayat pendirian,
dengan Depnakertrans. Badon Pengurus YTKI saat organisasi, susunan kepengurusan, aktivitas,
ini dipimpin oleh Awaloedln Djamin, manton Menteri d an kondisi keuangan yayasan pemerintah.
Tenaga Kerja, Kepa/a Kepolisfan Rl, dan anggota Dat a ini kami kumpulkan utamanya melalui
Dewan Pertimbangan Agung. Akan tetapi, pengumpulan akta pendirian dan anggaran
keterkaltan antara YTKI dengan Depnakertrans d asar yayasan. Sejauh ini, kami berhasil
terllhat dart komposfsf Badon Pembina YTKI. Badan memperoleh akta notaris dari 26 yayasan-
Pembina YTKI- /embaga pemegang kekuasaan pemerintah.
tertinggf df YTKI- selalu dfketuaf oleh
Mennakertrans yang sedang menjabat. Menurut akta D. Kendala
perubahan Anggaran Dasar YTKI No. 2 tangga/19
Februarf 2004 (sete/ah UU Yayasan disahkan), Ketua M engumpu lkan data untuk
Badon Pembina ada/ah jacob Nuwawea, kepentinga n studi ini ternyata tidaklah
Mennakertrans di era Presiden Megawati. Sejumlah mudah. Hingga studi ini dilakukan, tidak ada
mantan Mennakertrans turut duduk sebagoI satupun sist em informasi nasional yang
anggota Badon Pembina, a./. :Abdul Latfef, Cosmas secara kom p rehensif merekam keberad aan
Batubara, Thea L. Sambuaga, dan Fahml Edris. yayasa n-yayasan pemerintah ini. Dalam
Berdasarkan akta No.2 tangga/12 Mel 2005, kursi w awanca ra, Direktur Akuntansi dan
Ketua Badon Pembina YTKJ dijabat oleh Fahmi ldris, Pelaporan Keuangan Negara, Direktorat
Mennakertrans di kabinet Presiden Yudhoyono Jen deral Perbendaharaan Negara,
pengganti jacob Nuwawea. Fahmi Idris juga pernah Departemen Keuangan, Hekinus Manao,
menjabat Mennaker df pemerintahan Bj Hablbie.
Setelah Fahmi ldrfs bergeser menjadi Menteri
Perindustrian, berdasarkan Pernyataan Keputusan
Rapat YTKI tangga/24 Februari 2007, Ketua Badon
Pembina YTKI dffsf o/eh penggantinya, Erman
Soeparno, Mennakertrans saat in f.

menjelaskan pendataan sedang diupayakan

pemerintah. Departemen Keuangan telah

mengumpulkan sebagian pengurus yayasan

pemerintah untuk kepentingan ini pada Desember 2007 lalu.

l ex Ri effel I Karaniya Dhannasapu tra

December 31, 2008 ITATA KHOLA VAVASAN-PEMERINTAH: UJIAN BAG I REFORMASI BIROKRASI)

Dalam melakukan survey lapangan ini, kami mendapati pada umumnya para
pengurus yayasan bersikap ekstra hati-hati, curiga, berupaya menghindar, bahkan
menyembunyikan keberadaan yayasan mereka. Ada suatu kecenderungan umum, pengurus
yayasan berupaya mengaburkan kaitan antara yayasan mereka dengan departemen atau
lembaga pemerintah terafiliasi. Pada umumnya, mereka selalu menyatakan bahwa yayasan
mereka adalah sepenuhnya yayasan independen yang tak memiliki kaitan apapun dengan
departemen atau lembaga pemerintah manapun. Menarik untuk dicatat, hampir semua
pengurus yayasan berkeberatan yayasan mereka disebut sebagai yayasan-pemerintah.

Kebanyakan pengurus yayasan baru bersikap terbuka saat peneliti menjelaskan
bahwa salah satu tujuan riset ini adalah untuk meneliti peran yayasan dalam meningkatkan
kesejahteraan pegawai negeri sipil (PNS) atau pegawai pemerintah lainnya.

Salah satu faktor yang mungkin menjelaskan sika p tert utup dan amat berhati-hati
dari para pengurus yayasan-pemerintah ini ad alah skandal korupsi yang melibatkan dana
nonbujeter di Bank Indonesia yang berasal dari sa lah sat u yayasan yang bernaung di
bawahnya, yakni Yayasan Pembangunan Perbankan Indonesia (YPPI). Ketika studi ini
berlangsung, aparat hukum sedang menggelar penyidikan intensif dan media massa tengah
memberitakan kasus ini secara masif.

E. Akta da n lnformasi tentang Yayasan-Pemerintah

Hal lain yang perlu dicatat, kesulitan juga ditemui peneliti ketika berupaya
mengumpulkan data sekunder berupa akta notaris pend irian dan anggaran dasar yayasan
beserta perubahannya. Data penting yang mestinya dikategorikan sebagai informasi publik
ini sulit diakses. Ada tiga lembaga yang dikunjungi peneliti untuk mengumpulkan data ini,
yakni: Percetakan Negara, PT. Tata Nusa (perusahaan swasta yang selama ini menjadi mitra
Percetakan Negara dalam menerbitkan akta ya yasan), dan Pusat Data Hukum Universitas
Indonesia (PDH-UI).

Hanya PDH-U I yang menyediakan akses langsung bagi pengunjung untuk mencari
sendiri data yang diperlukan. Namun, akta yang tersedia di PDH-UI bukanlah yang paling
mutakhir. Akta terbaru yang tersedia di sin i adalah yang diterbitkan di tahun 2002. Di
Percetakan Negara dan PT Tata Nusa, proses pencarian akta hanya dapat dilakukan dengan
memesan atau meminta pertolongan dari petugas di kedua lembaga ini. Selain itu, data
yang tersedia jauh dari lengkap. Sejumlah yayasan tercantum namanya di katalog, tapi
menurut pengakuan petugas kedua lembaga tersebut, aktanya tak dapat ditemukan.
Peneliti menemukan adanya lndikasi bahwa sejumlah petugas di Percetakan Negara
mensyaratkan sejumlah "uang-pelicin" untuk mempercepat dan memuluskan kualitas
pelayanan mereka.

l ex Rieffel I Karaniya Dharmasaputra

December 31, 2008 (TATA KElOlA YAYASAN-PEMERINTAH: UJIAN BAGI REFORMASI BIROKRASI)

Akses terhadap akta yayasan ini, termasuk pada informasi penting lain seperti
laporan keuangan, merupakan hal penting yang perlu diperbaiki untuk memenuhi amanat
UU Yayasan tentang perlunya prinsip transparansi dan akuntabilitas diterapkan dalam
pengelolaan yayasan, khususnya pada yayasan-yayasan publik seperti yayasan pemerintah

InI.

SEJUMLAH TEMUAN

A. Status d an Ke be radaan Yayasan-Pemerinta h

Dari seluruh yayasan-pemerintah yang informasinya berhasil kami himpun baik
melalui metode wawancara maupun penelusuran akta notaris, sebagian besar yayasan
pemerintah didirikan dalam kurun waktu 1966 sampai dengan M ei 1998. Yayasan
pemerintah rupanya merupakan institusi kreasi rezim Orde Baru. Hanya ada satu yayasan
pemerintah yang lahir di masa Orde lama (sebelum 1965), yakni Yayasan Brata Bhakti -
Kepolisian Rl, yang dibentuk di tahun 1952.12

Menarik untuk dicatat, kami mendapat i sekurangnya ada lima yayasan-pemerintah
yang justru baru didirikan setelah era reformasi, di periode Juni 1998 sampai sekarang.

Figur 3.2.: Perio de Pendirian Yayasan-Pem erintah

8

6
55

1

<1961 1961-65 1966-70 1971-80 1981-90 1991-Mei Jun 98· 2000>
98 2000

u Menuru t lex Rieffel dan Jaleswari Pramodhawardhani (2007), yayasan militer telah lahir seja k dl era
Soekarno. Meski demikian, keberadaan yayasan dan bisnis militer ini mencapai puncaknya di era Soeharto,
khususnya di periode 1980-an.

lex Rieffel I Karaniya Dharmasaputra

December 31, 2008 (TATA KElOlA YAYASAN-PEMERINTAH: UJIAN BAGI REFORMASI BIROKRASI)

Figur 3.3.: Era Pendirian Yayasa n-Pem e rintah

Orde Lama

Orde Reformasi _ __ 1
3%
5

17%

Kami juga mendapati indikasi adanya penurunan skala aktivitas dan aset di sejumlah
yayasan-pemerintah setelah gelombang reform asi m enyapu Indonesia sejak tahun 1998.
Ada dua faktor utama yang melatarbelakangi fenom ena ini.

a. Tidak lagi mendapat sokongan pen uh dari departemen atau lembaga pemerintah
terafiliasi;

b. Unit bisnis yang dibentuk yayasan-pemerintah tidak lagi bisa bersaing di
lingkungan bisnis yang kini diwarnai sistem kompetisi terbuka.

Kecenderungan itu antara lain bisa dilihat di Yayasan Sarana Wana Jaya (YSWJ) -
Departemen Kehutanan. Menurut penga kuan penguru snya, skala YSWJ sekarang ini sudah
jauh menyusut dibanding di era Soeharto dulu. Salah satu faktor penyebabnya adalah
menyusutnya unit-unit bisnis Yayasan karena tak mampu lagi bersaing dengan perusahaan
lain sejenis setelah terjadi liberalisasi dunia bisnis di era reformasi.13

YSWJ didirikan pada tahun 1973. Per Desember 2006, total nilai aset yayasan ini
ada lah sebesar Rp 99 miliar. YSWJ pada awalnya m emiliki sekitar 20 unit usaha. Setelah era
reformasi, 10 diantaranya telah ditutup. Dari yang masih hidup, yang masih memberi
penghasi lan hanyalah tiga unit usaha. Rinciannya t erlihat di tabel berikut.

Figur 3.4 : Unit Usaha Yayasan Sarana Wan a Jaya

Unit Usaha yane Memberi Penehasilan kepada YSWJ
PTTimber Dana

Badan Pengelola Gedung Manggala Wanabhakti

Unit Usaha yane Dltutup
PT Bina Lestari (pemegang HPH)
Tambak udang

11 Wawancara pengurus Vayasan Sarana Wana Jaya, Departemen Kehu tanan, di Jakarta, 7 April 2008.

lex Rieffel I Karaniya Dharmasaputra

December 31, 2008 (TATA KHOLA VAVASAN-PEMERINTAH: UJIAN BAG I REFORMASI BIROKRASI)

PT Alinda (tam bang em as di Jambi, dijarah masyarakat
setelah era reformasi)
Distributor semen (saham VSWJ terdelusi habis)

Unit Usaha yan1 Tldak Men1hasllkan Devlden
PT Marga Mandala Sakti (pengelola jalan tol Jakarta-Merak,

I

saham VSWJ IE.'rdelusi habis )

PT Data Wana (konsultan kl'hutanan)

Sumber: Wawancara Pen gurus VSWJ

Sebagaimana telah disebutkan di atas, dari total 48 yayasan-pemerintah yang
berhasil kami indentifikasi, kami mendapati ada t iga diantaranya yang sudah tidak lagi aktif,
yakni Yayasan Krida Caraka Bumi - Departemen Pertambangan dan Energi dan Sumber Daya
Mineral, Yayasan Rukun Sejahtera- Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan Yayasan TVRI.
Satu lainnya, Yayasan Taman Bacaan Indonesia yang sempat bernaung di bawah
Kementerian BUMN, menurut hasil wawancara kami di lapangan, sudah tidak lagi dipayungi
dan tidak lagi memiliki keterkaitan struktural dengan Kementerian BUMN.

Namun demikian, perlu kiranya dicatat belakangan ini terdapat indikasi revitalisasi
yayasan-yayasan pemerintah, justru setelah UU Yayasan disahkan pada tahun 2001 dan
diamandemen tiga tahun kemudian. Kami mencatat setidaknya ada t iga yayasan
pemerintah yang bangkit kembali di era reformasi, sejak tahun 1998, setelah lama vakum
dan nyaris tanpa aktivitas. Mereka adalah: Yayasan Kesejahteraan Sekretariat Negara,
Yayasan Dharma Satya Parahita (YDSP)- Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP}, dan Yayasan Prima Karya (YPK)- Depa rtemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Yayasan Kesejahteraan Setneg tidak lagi aktif sejak Soeharto jatuh di tahun 1998.
Sa at survey berlangsung, yayasan yang didirikan pada tahun 1977 ini tengah
direstrukturisasi dan direvitalisasi. Pengurus Yayasan mengaku sedang menyiapkan proposal
pembenahan yayasan untuk dipresentasikan di hadapan Menteri Sekretaris Negara, Hatta
Radjasa. Direncanakan, Menteri Radjasa akan duduk sebagai Ketua Dewan Pembina dalam
kapasitasnya sebagai perseorangan.14

YDSP-BPKP baru aktif kembali di tahun 2005, setelah sempat vakum selama 10
tahun . lnisiatif untuk menghidupkan kembali YDSP datang dari Kepala BPKP Arie Sulendro

14 Wawancara Sekretaris Badan Pengurus Yayasan Kesejahteraan Sekretariat Negara, Masrokhan, di Jakarta, 18
Maret 2008.

l ex Rieffel I Karaniya Dharmasaputra




Click to View FlipBook Version