JURNAL
REFLEKSI
DWI MINGGUAN
MODUL 1.4.
BUDAYA POSITIF
DISUSUN OLEH :
TAUFIQ HIDAYATI
CGP ANGKATAN 7
SMK NEGERI 1 SRAGI
JURNAL REFLEKSI
MODUL 1.4. BUDAYA POSITIF
Jurnal refleksi merupakan salah satu elemen kunci
pengembangan keprofesian karena dapat mendorong guru
dalam mengaitkan teori dan praktik, serta dapat menumbuhkan
keterampilan dalam mengevaluasi sebuah topik secara kritis
(Bain dkk, 1999). Dalam jurnal refleksi untuk Modul 1.4. yaitu
Budaya Positif, saya akan menggunakan model yang
dikembangkan oleh Ricchhart, Church dan Morrison (2011) yaitu
Connection, Challenge, Concept, Change (4C).
CONNECTION.
Modul 1.4. Budaya Positif berisi tentang pentingnya membangun
budaya positif di sekolah sesuai dengan filosofi pendidikan Ki Hadjar
Dewantara yaitu pendidikan yang berpihak pada murid. Berkaitan dengan
peran kita sebagai Calon Guru Penggerak, pada modul ini kita akan
belajar tentang bagaimana peran kita sebagai seorang pemimpin pada
sebuah institusi dalam menggerakkan dan memotivasi warga sekolah
supaya memiliki, meyakini dan menerapkan visi atau nilai-nilai kebajikan
yang telah disepakati bersama yang pada akhirnya akan menciptakan
budaya positif yang berpihak kepada murid.
Dalam modul ini, kita akan belajar bagaimana strategi didalam
menumbuhkan lingkungan yang positif dan memikirkan kembali
kebutuhan-kebutuhan dasar yang sedang dibutuhkan seorang murid
pada saat mereka berperilaku tidak pantas. Selanjutnya kita akan
mengeksplorasi suatu posisi penerapan dalam disiplin, yang dinamakan
“Manajer” serta bagaimana seorang “Manajer” menjalankan pendekatan
disiplin yang dinamakan “Restitusi”.
Setelah kita memahami modul 1.4. ini, maka nantinya kita sebagai
pemimpin hendaknya berjiwa kepemimpinan serta dapat
mengembangkan sekolah dengan baik yaitu dengan menciptakan
lingkungan yang positif sehingga terwujud suatu budaya yang positif.
Pada akhirnya, dengan terciptanya budaya yang positif serta penerapan
disiplin positif akan menghasilkan murid-murid yang berkarakter, disiplin,
santun, jujur, peduli dan bertanggung jawab.
JURNAL REFLEKSI
CHALLENGE.
Kita memahami bahwa sebagai seorang guru, kita diibaratkan
sebagai seorang petani yang memiliki peranan penting untuk
menjadikan tanamannya tumbuh subur. KIta akan memastikan bahwa
‘tanah’ tempat tumbuhnya tanaman adalah tanah yang cocok untuk
ditanami. Sekolah diibaratkan sebagai tanah tempat bercocok tanam,
sehingga guru perlu mengusahakan agar sekolah menjadi sebuah
lingkungan yang menyenangkan, aman, nyaman untuk bertumbuh,
serta dapat melindungi dan menjaga setiap murid dari hal-hal yang
kurang bermanfaat atau bahkan mengganggu perkembangan potensi
murid.
Tanggung jawab seorang guru salah satunya adalah bagaimana
menciptakan suatu lingkungan positif yang terdiri dari warga sekolah
yang saling mendukung, saling belajar, saling bekerja sama sehingga
tercipta kebiasaan-kebiasaan baik. Dan dari kebiasaan-kebiasaan baik
tersebut akan tumbuh menjadi karakter-karakter baik warga sekolah,
dan pada akhirnya karakter-karakter dari kebiasaan-kebiasaan baik
akan membentuk sebuah budaya positif.
Menciptakan budaya positif ternyata bukan sesuatu hal yang
mudah. Strategi apa yang akan kita pilih, bagaimana kita didalam
menerapkan disiplin positif, apa yang pertama kali harus kita lakukan
merupakan hal-hal yang perlu kita pahami dan kuasai. Dan tidak kalah
pentingnya adalah bagaimana menghilangkan rasa takut dalam diri
murid-murid sehingga mereka merasa aman dan nyaman berada di
sekolah, dan bahwa membuat kesalahan adalah suatu proses
pembelajaran itu sendiri.
JURNAL REFLEKSI
Setelah memahami bagaimana kita sebagai seorang pendidik
didalam menciptakan budaya positif, maka saya merasa bahwa selama
ini apa yang saya lakukan tidak sesuai dengan peran pendidik yang
seharusnya membuat lingkungan belajar murid menjadi nyaman dan
menyenangkan. Selama ini saya juga beranggapan, bahwa ketika
murid melakukan kesalahan maka kita sebagai seorang pendidik tidak
masalah untuk memberikan hukuman kepada mereka, karena selama
ini ketika mereka berbuat baik kita juga memberikan pujian sebagai
penghargaan atas apa yang sudah mereka lakukan.
Jadi, tadinya saya beranggapan bahwa sah-sah saja ketika kita
memberikan hukuman yang tujuannya adalah untuk mendisiplinkan
murid, meskipun saya tidak pernah memberikan hukuman secara fisik.
Yang kadang saya lakukan adalah menyuruh mereka untuk
membersihkan kelas, menyuruh untuk mengambil peralatan yang
dibutuhkan untuk pembelajaran. Tetapi sebelum saya memberi
hukuman tersebut, biasanya saya akan memberikan “wejangan”
panjang kali lebar, dimana upaya tersebut saya lakukan dengan
harapan murid terketuk hatinya sehingga tidak akan mengulangi
perbuatan yang sama di kemudian hari.
Seharusnya saya sebagai seorang pendidik dalam menciptakan
lingkungan yang positif tidak memberikan hukuman. Hukuman menjadi
lternative terakhir ketika murid melakukan tindakan yang tidak pas,
dan bila perlu tidak digunakan sama sekali agar tercipta kebiasaan-
kebiasaan baik.
JURNAL REFLEKSI
CONCEPT.
Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa
“dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat.
Sungguhpun disiplin itu bersifat ‘self discipline’ yaitu kita sendiri yang
mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab
jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa
lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di
dalam suasana yang merdeka.”
Dalam konteks pendidikan kita saat ini, untuk menciptakan murid
yang merdeka, syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat.
Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri, yang memiliki motivasi
internal. Jika kita tidak memiliki motivasi internal, maka kita
memerlukan pihak lain untuk mendisiplinkan kita atau motivasi
eksternal, karena berasal dari luar, bukan dari dalam diri kita sendiri.
Disiplin diri dapat membuat seseorang menggali potensinya menuju
kepada sebuah tujuan mulia, sesuatu yang dihargai dan bermakna.
Dengan kata lain, disiplin diri juga mempelajari bagaimana cara kita
mengontrol diri, dan bagaimana menguasai diri untuk memilih
tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai agar tercapai
tujuan mulia yang diinginkan.
Murid yang memiliki disiplin diri berarti mereka bisa bertanggung
jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan
tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal. Disini, peran kita
sebagai pendidik adalah bertanggung jawab untuk menciptakan
lingkungan positif dengan menerapkan disiplin positif yang dilakukan
dalam rangka menciptakan budaya positif untuk menghasilkan murid-
murid yang berkarakter, disiplin,santun, jujur, peduli dan bertanggung
jawab.
JURNAL REFLEKSI
CHANGE
Setelah mempelajari Modul 1.4. Budaya Positif, saya berharap ada
perubahan pada cara saya dalam menyikapi permasalahan yang ada di
lingkungan sekolah. Sebagai seorang pemimpin perubahan, saya bisa
menjadi pemimpin yang menggerakkan diri, sesama, lingkungan-
masyarakat guna mewujudkan sekolah yang berpihak pada murid
serta dapat mengembangkan sekolah dengan baik dengan
menciptakan lingkungan yang positif sehingga terwujud suatu budaya
positif. Saya sadar bahwa untuk membentuk budaya positif di sekolah
dimulai dari pemahaman dan pemaknaan nilai-nilai/keyakinan pada
murid, rekan sejawat serta ekosistem sekolah hingga terbentuk
motivasi intrinsik. Pembiasaan-pembiasaan baik yang terjadi bukan
karena kepatuhan pada peraturan tetapi karena keyakinan yang
tertanam pada murid.
Sebagai seorang pendidik maka saya didalam menciptakan budaya
positif harus memahami konsep disiplin positif, nilai-nilai kebajikan,
motivasi perilaku manusia, perbedaan antara hukuman, penghargaan
dan restitusi, menyusun keyakinan kelas, memahami adanya
kebutuhan dasar manusia, menentukan posisi kontrol, serta langkah
penerapan restitusi. Karena jika budaya positif yang kita inginkan bisa
terwujud, maka tugas kita sebagai “pamong” dalam menuntun murid
akan berjalan dengan baik karena suasana positif yang ada akan
mendukung murid untuk dapat berkembang sesuai dengat kodratnya.