Sedang Tuhan pun Cemburu 438 yang korup dan menindas, kemapanan yang melahirkan dekadensi, dan seterusnya. Karena kritik-kritik Emha yang tajam, orang mungkin akan memberi cap pemberang kepada Emha. Tetapi, “keberangan” itu sesungguhnya merupakan bagian dari “kesalehan sosial” (pinjam istilah Dr. Kuntowijoyo). “Saya tidak bisa asyik sendiri di kamar. Tekun beribadah untuk merayu Tuhan agar saya masuk surga sendiri, sementara ketidakadilan bagai hujan lebat menikam bumi,” ujar Emha. Emha bukan jenis sastrawan dan budayawan “kamar” yang eskapis, melainkan sastrawan dan budayawan yang terlibat. Ia bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat: dari kaum cendekiawan sampai seniman. Dari birokrat, teknokrat, sampai mahasiswa dan demonstran. Dari rohaniawan, ulama, sampai artis. Tidak hanya itu, Emha juga berada dalam denyut nadi kehidupan orang-orang pinggiran. Orang-orang yang kalah dan dikalahkan. Orang-orang yang dirampas haknya, opininya, hati nuraninya, dan tanahnya. Orang-orang yang terlempar dari perputaran sistem sosial. Tak jarang Emha turun langsung ke lapangan: memberi empati dan bantuan korban-korban penggusuran. Bagi kaum drop-out sosial itu, Emha jauh lebih dipercaya daripada anggota parlemen yang bisa dibeli. Sebagai “orang lapangan”, ia berada dalam kedalaman lautan persoalan sosial, seni-budaya, politik, dan agama. Ia
Profil Penulis 439 merasakan dan menghayati persoalan keperihan masyarakat. Keperihan yang terus membuatnya gelisah. Kegelisahan sosial dan kegelisahan spiritual sangat kuat mewarnai karya-karya Emha. Lihatlah puisi-puisi yang terkumpul, di antaranya dalam antologi 99 Untuk Tuhanku (1980), Lautan Jilbab (1989), dan Sesobek Buku Harian Indonesia (1993) yang memuat tiga antologi: “M” Frustasi; Sajak-sajak Sepanjang Jalan dan Sesobek Buku Harian Indonesia. Lihatlah naskah dramanya: Geger Wong Ngoyak Macan (ditulis bersama Fajar Suharno dan Gadjah Abiyoso), Patung Kekasih (bersama Simon Hate dan Fajar Suharno), Doktorandus Mul, Ampas (Mas Dukun), Keajaiban Lik Par, Sidang Para Setan, Perahu Retak dan Pak Kanjeng. Lihatlah kumpulan cerpennya: Yang Terhormat Nama Saya (1992). Lihatlah esai dan kolomnya: Dari Pojok Sejarah: Renungan Perjalanan (1985), Sastra Yang Membebaskan (1984), Indonesia Bagian dari Desa Saya (1980), Slilit Sang Kiai (1991) dan lainnya. Dengan kaca mata common sense, Emha memandang, menghayati, dan menganalisis setiap peristiwa di masyarakat—yang mungkin “kecil” dan “sederhana”, tetapi oleh Emha diproyeksikan secara makro. Ini salah satu kelebihan Emha yang jarang dimiliki oleh para akademisi. Sebelum para akademisi “omong” banyak soal hegemoni negara, Emha telah mempersoalkan negara dalam salah satu esainya yang cukup terkenal: Indonesia Bagian dari Desa Saya. Di situ Emha melihat bagaimana negara telah hadir secara hegemonis di desanya dan menjadi penentu dari nasib dan wajah
Sedang Tuhan pun Cemburu 440 desa itu. Ia meneropong kasus Pemilu 1982 yang telah “memorak-porandakan” sendi-sendi keguyuban orang desa. Emha adalah anak desa. Tepatnya desa santri. Pada Rabu Legi, 27 mei 1953, Emha lahir di Menturo, Sumobito, Jombang, Jawa Timur. Menturo sebagai kandang budaya tradisi merupakan bagian penting dari pengembaraan panjang Emha, baik secara sosial, intelektual, kultur, maupun spiritual. Emha merasa bersyukur sebagai anak desa. Dari desa ia mendapatkan berbagai pengalaman dan pelajaran tentang kesederhanaan, keprasajaan, kewajaran, dan kearifan hidup. “Saya belajar banyak dari orang desa yang ‘berhati petani’. Mereka hanya makan yang ditanam. Mereka menuai hasil berdasarkan kewajaran kerja. Mereka menjadikan kerja sebagai orientasi hidup. Mereka tak pernah menguasai, mengeksploitasi alam dan sesama manusia. Mereka tabah, meskipun ditindih penderitaan. Saya benar-benar cemburu pada kualitas hidup mereka,” tuturnya. Karena pelajaran besar itulah, Emha menganggap peran sosial bukan sebagai karier, melainkan sebagai kewajiban kerja dan fungsi sosial yang mampu memberi makna kepada masyarakat. Makna itu bisa berwujud sikap pemihakan terhadap yang lemah atau dilemahkan. Atau, bisa juga upaya mencari berbagai kemungkinan nilai “ideal” atau moral di tengah kebangkrutan budaya masyarakat. Apa pun hasilnya, hanyalah sebagai akibat belaka. “Salah satu kebahagiaan hidup saya adalah bekerja ...,” katanya. Karena pelajaran besar dari desa itu pula, Emha tetap “bertahan” untuk hidup sederhana. Dikatakan bertahan ka-
Profil Penulis 441 rena secara ekonomis ia sesungguhnya mampu “menyesuaikan” diri dengan gaya hidup kelas memengah yang borjuistis. Setiap hari ia masih makan di warung pinggir jalan. Sampai-sampai ia sakit karena kurang gizi. “Aneh, seorang budayawan terkenal mengidap jenis ‘penyakit’ kelas bawah. Bagaimana mungkin? Bukankah Emha kini sudah kaya?” ujar seorang kawannya. “Di manakah kekayaan Emha?” ujar kawannya yang lain. Mungkin orang tidak percaya jika selama ini Emha hanya berfungsi sebagai “selang” atau “talang” dari rezeki yang diterimanya. Rezeki itu dikembalikan kepada masyarakat untuk membiayai fungsi-fungsi sosial. Ia ikut menangani Yayasan Pembangun Masyarakat “Al-Muhammady” di Jombang yang bergerak di bidang pendidikan, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya. Ia pun ikut kiprah dalam Yayasan “Ababil” di Yogyakarta yang menyediakan tenaga advokasi pengembangan masyarakat. Selain itu, secara ekonomis dan kasuistik, Emha masih harus terlibat dengan orang-orang atau pihak-pihak yang membutuhkan bantuan. Riwayat pendidikan Emha boleh dikatakan “kurang indah”. Jebol dari Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, ia melesat ke Yogya. Emha langsung jatuh cinta kepada kota yang oleh Rendra disebut tua ini. Bahkan, Yogya menjadi “ibu kota hati” dan “ibu kota kebudayaan” yang kedua sesudah Jombang. Di Yogya, Emha membentur-benturkan diri ke realitas hidup yang keras. Ia tidak menyerah, meskipun hidupnya “babak belur”.
Sedang Tuhan pun Cemburu 442 “Hidup tidak untuk dikalkulasi, tetapi dijalani!” Itulah “kredo” hidup Emha yang cukup terkenal pada 1970-an, suatu massa ketika romantisme kesenimanan mencapai titik kulminasinya di Yogya. Setelah lulus SMA ia mencoba mencicipi kuliah di Fakultas Ekonomi UGM. Tetapi, tak betah. Ia lebih memilih “kuliah” di “Universitas Malioboro”. Bergabung dengan kelompok penulis muda, Persada Studi Klub (PSK), di bawah “maha guru” Umbu Landu Paringgi. Di (PSK) ini Emha makin menyadari potensi kepenyairan dan kepenulisannya. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa. Inilah titik penting dari hadirnya pengakuan masyarakat atas eksistensinya. Kegelisahan untuk menyodorkan alternatif nilai, membuat Emha selalu “gerah” berada dalam kemampuan institusi. Ia bagaikan udara yang terus beredar: singgah ke ruang untuk kemudian ditinggalkannya. Ia pernah jadi redaktur harian Masa Kini. Ia pernah menjadi sekretaris Dewan kesenian Yogyakarta. Tetapi, karena kemapanan itu dirasakan menjepit “sayap-sayap kebebasannya”, Emha pun lepas, “memberontak”. Yang terakhir, ketika “didhapuk” jadi fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Lagilagi Emha “memberontak”. Bagai udara, Emha terus beredar. Singgah di berbagai ruang dan peristiwa: di Filipina untuk mengikuti lokakarya teater (1980); International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984); Festival Penyair Internasional (1984) di Rotterdam, Belanda (1984); dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).
Profil Penulis 443 Kalau mau, sesungguhnya Emha punya paspor untuk memasuki lingkaran kekuasaan. Tetapi, ia toh tetap bertahan sebagai orang “pinggiran”. Emha tetap bertahan “di kemah” Yogya yang jauh dari hiruk-pikuk jarah-rayah kenduri nasional. Inilah “jalan sunyi” yang ditempuh Emha; menjaga akal sehat dan roh masyarakat, sambil terus meneriakkan gugatan-gugatannya: “Zaman yang rakus, Bapak/Makin tak kenal kewajaran kerja/Hidup yang mengembangkan pencurian/ Tidaklah mengajari nriman/Dan kemunafikkan yang tak terelakkan/Makin menyembunyikan kebenaran/Di tengah beratus wajah penindasan, Bapak/Ajari kami bagaimana mampu rela/ Membiarkan diri jadi kuda tunggangan/Waktu telah bergolak/ Tak setenang itu air telaga/Langit batinku retak/Tak terucap lagi kata lega-lila.” Indra Tranggono
Melalui buku ini, Emha Ainun Nadjib, menguliti dalamdalam perkara kemusliman “birokrasi". Ketaatan yang penuh rasa "takut kepada atasan", bukan kecintaan dan pengabdian kepada Tuhan. Semua kemudian berputar pada surga dan neraka, halal dan haram, pahala dan dosa. Detaildetail ritual yang malah memicu perbedaan pendapat antar-umat. Dalam kegelisahannya, Emha seolah berbicara pada naluri kita, "Apa tidak malu kita kepada-Nya, pada akal dan perasaan kita sendiri?"