The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Pengarang : Ahmad Fuadi

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by perpustakaansmpwarga, 2024-05-28 00:15:11

Ranah 3 Warna

Pengarang : Ahmad Fuadi

Keywords: Novel

334 Sang Kelinci Berlari P agi-pagi sekali aku sudah sampai di kantor. Yang aku lakukan pertama hari ini adalah mengirimkan kaset video VHS berisi rekaman suasana kerja Rusdi di peternakan ke Kak Marwan yang tinggal di Quebec City. Kilat khusus. Semoga dengan melihat video ini dia semakin yakin bahwa Rusdi perlu dipindahkan dari pekerjaannya yang amat berat itu. Lalu, seperti biasa, aku kembali menyiapkan surat permohonan wawancara dan aku faks ke kantor dua pihak yang terlibat referendum. Sudah berminggu-minggu aku lakukan setiap hari kerja tanpa pernah dijawab sekali pun. Tapi aku bertekad tidak hendak berhenti mengirim. Man jadda wajada dan man shabara zhafira, itu tekadku. Tiba-tiba tanganku terhenti ketika akan memijit tombol ”send”. Mataku melihat selembar faks balasan di atas baki penerima kertas faks. Kop suratnya membuat jantungku berdegup. Dari kantor Daniel Janvier. Isinya, mereka akan mengabari sebelum jam 12 siang ini apakah ada waktu buat kami mewawancarai Janvier. Memang jadwal acara mereka akan lewat di daerah Saint-Raymond, jadi besar kemungkinan kami bisa punya waktu. Hore, paling tidak faks yang bertubitubi dikirimkan setiap hari mengusik mereka juga. Aku mengetuk-ngetuk meja kantor. Siku Franc bertelekan


335 ke meja, dua telapak tangannya menopang dagu. Kami melihat tajam ke mesin faks yang dari tadi diam saja. Mendengkur atau mendenging sedikit pun tidak. Aku sampai berkalikali mengecek sambungan kabelnya, jangan-jangan tidak nyambung dengan listrik dan telepon. Oke, terkoneksi dengan baik. Tapi kok diam saja?? Sudah lebih dari setengah jam kami menongkrongi mesin hitam ini. Sudah lewat jam 12 siang. Apakah mereka ingkar janji? Aku terlonjak dari duduk ketika mesin hitam ini mulai berdenging dan dengan malas memuntahkan sepucuk surat. Ini dia, the moment of truth, batinku. Aku renggut kertas itu dengan cepat. ”Untuk TV Saint-Raymond. Kami baru buka dan siap menerima pesanan pizza dan gratis minum. Dari Quebec Pizza” Ada gambar pizza besar yang berasap-asap, membuat perutku ikut keroncongan, karena memang sudah jam makan siang. Tapi bukan ini yang aku tunggu-tunggu. Aku mengharapkan faks dari kantor tokoh antiseparasi Daniel Janvier. Faks berdenging lagi. Kami melonjak lagi. Keluar pelan-pelan selembar kertas yang kali ini disambar Franc. ”Undangan untuk meliput kegiatan lomba nyanyi Panti Jompo”. Franc melempar kertas itu ke meja. Berikut ada lagi faks yang masuk. Kali ini bunyinya unik, ”Ikuti berburu moose58 kami di Alaska”. Ada gambar rusa besar bertanduk seperti kembang, lagi-lagi bukan yang kami tunggu. 58Sejenis rusa besar di daerah dingin


336 Drama faks ini berakhir satu jam kemudian. Yang kami tunggu-tunggu muncul. Kertas dengan kepala surat kantor perdana menteri pelan-pelan muncul dari perut mesin faks. Kami berpegangan bahu, harap-harap cemas apa isi surat jawaban mereka. Hanya butuh beberapa kerjap, tangan kami lalu lunglai. Surat ini mengabarkan kunjungan ke arah SaintRaymond dibatalkan. Artinya tidak ada waktu wawancara buat kami. ”Mungkin dia tidak mau diwawancarai,” gerutu Franc. ”Nggak mungkin, dia butuh publikasi untuk memenangkan referendum,” tukasku mencoba meyakinkan diri sendiri. ”Lalu kenapa sudah berminggu-minggu baru sekarang menjawab. Itu pun batal?” ”Akan datang waktunya. Semoga dia melihat keseriusan kita. Mungkin karena kita TV lokal yang kecil, mungkin mereka mengutamakan jaringan TV yang luas jangkauannya,” celotehku sok tahu dan menghibur diri. ”Franc, daripada mengharapkan politisi itu, yuk kita bikin liputan lain saja. Kita cari yang unik, siapa tahu cukup hebat untuk memenangkan medali dari Sebastien,” kataku. ”Ah semuanya biasa buatku di sini,” jawab Franc malasanmalasan. Tanganku membolak-balik kertas faks yang berdatangan tadi. Pizza, panti jompo, dan hei, ini sebetulnya cukup baik, paling tidak menurutku. Aku mengangkat kertas ini di depan muka Franc. ”Ini menarik, aku ingin sekali melihat bagaimana orang di


337 sini berburu,” kataku sambil mengentakkan jari berkali-kali ke kertas ini. Mukanya maju sedikit. ”Hmmm biasa saja, berburu moose, setiap tahun juga begitu.” ”Tapi lihat ini, di bawah foto ini ada yang lebih menarik. Pemandu berburu moose adalah orang aboriginal, penduduk asli dari suku Indian. Aku ingin ketemu orang Indian. Selama ini hanya melihat di komik dan film koboi.” Ingatanku terbang ke waktu kecilku dulu bersama Randai. Kami selalu memburu ayam jantan milik tetangga di kampung. Begitu berhasil kami tangkap, kami mencabut bulu ekor ayam itu untuk jadi hiasan kepala. Seperti orang Indian di komik kami. ”O ya?” Franc mulai memperlihatkan perhatian. ”Wah, aku juga belum pernah. Di Kanada banyak kota yang dinamai dengan nama Indian. Tapi aku juga belum pernah bertemu bangsa aboriginal yang sudah hidup di sini ribuan tahun, bahkan sebelum bangsa Eropa datang. Padahal di sini hidup suku asli seperti Indian dan Inuit yang ada di daerah kutub.” Rasa penasaranku melompat-lompat. Bagaimana rasanya bertemu orang Indian yang sebenarnya? Selama ini ceritacerita suku Indian begitu memesonaku. Misalnya hikayat persaudaraan hebat antara Winnetou dari suku Apache dan Old Shatterhand seorang koboi yang ditulis oleh Karl May pada abad ke-19. Atau kisah The Last of the Mohicans yang aku baca dalam bentuk komik Album Cerita Ternama. Apakah mereka benar berkulit merah? Memakai mahkota dari bulu burung elang? Naik kuda dengan gagah dan bersenjata kapak perang bernama tomahawk?


338 Daripada memikirkan jadwal wawancara dengan politikus yang tidak jelas, siang ini kami berdua menyeberang Rue Saint-Joseph menuju bibliothèque atau perpustakaan kota. Kami menumpuk buku-buku, kliping, dan microfiche tentang Indian Kanada dan perburuan kemudian membacanya satu per satu. Yang mengejutkan aku adalah ketika membaca buku Indian Tribes of North America pada bab tentang mitos kuda orang Indian. Menurut buku itu, foto-foto dan film tentang orang Indian yang sejak dulu mahir menunggang kuda kurang tepat. Masalahnya, orang Indian sebetulnya baru mengenal kuda setelah orang Spanyol membawa kuda ke Amerika pada abad ke-16. Waktu itu banyak orang Indian yang ketakutan melihat makhluk bernama kuda dan mereka tidak punya nama untuk binatang ini. Akhirnya orang Indian menyebut kuda dengan nama ”anjing besar”. Maklum, kawan berburu mereka sebelum kuda dibawa orang Eropa, ya hanyalah anjing. Ternyata berburu di Kanada merupakan sebuah budaya dan olahraga bagi sebagian masyarakat. Mereka biasa memburu berbagai binatang seperti beruang, karibu, kijang, dan moose. Bagiku makhluk bernama moose ini paling menarik. Penampilannya tinggi besar, bahu kekar, seperti kijang kelebihan vitamin, dan mahkota di kepala jantannya seperti kol yang mengembang subur. Para pemburu harus mengantongi izin berburu dan hanya diizinkan berburu di tempat yang telah dialokasikan supaya tidak merusak ekosistem. Biasanya, mereka masuk jauh ke pedalaman untuk menemukan populasi buruan. Untuk membantu para pemburu ini, ada seorang pendamping ahli yang


339 khatam medan liar. Orang itu, di dalam brosur ini, adalah keturunan Indian, bernama Lance Katapatuk dari suku Algonquin Anishinabeg, sebuah suku yang sejak dulu disegani sebagai pemburu ulung di padang-padang rumput Amerika. Aku juga menemukan beberapa buku yang membahas sejarah suku Indian di benua Amerika. Diperkirakan mereka telah mendiami benua ini sejak ribuan tahun silam. Di Kanada sendiri, orang Indian tergolong dalam kelompok First Nations, bersama bangsa Inuit yang mendiami daerah kutub dan Metis59. Dulu mereka merajai seantero benua Amerika, tapi dengan kedatangan bangsa Eropa dengan peralatan dan senjata modern, bangsa asli Amerika ini terdesak dan semakin punah. Populasi mereka kini sekitar 1 juta orang saja di Kanada. Setelah berjam-jam riset tentang Indian, Franc dan aku menjadi lebih bersemangat menggarap liputan tentang Indian ini. ”Saya yakin banyak orang Kanada tidak tahu cerita tentang sosok Lance Katapatuk dan seni berburu moose ini. Ayo kita wawancarai dia,” katanya. Aku sangat setuju. Kenangan membaca buku Karl May membuat aku ingin sekali bertemu orang Indian. Kami kembali ke kantor untuk mempersiapkan wawancara ini. Franc langsung mendekatkan gagang telepon ke kupingnya sambil mendengus, ”Seharusnya tidak sulit untuk minta waktu bertemu Lance.” Telepon tersambung, Franc bicara, lalu berhenti, bicara lagi, terhenti lagi. Mukanya tertekuk dan diam seperti sedang mendengar ceramah. 59Orang berdarah campuran Eropa dan penduduk asli


340 Orang di ujung telepon berbicara semakin keras. Bahkan aku bisa mendengar dari kejauhan. ”Saya tidak tertarik wawancara, tidak ada gunanya!” hardik sebuah suara di telepon. Franc tidak bisa berkata-kata lagi. Beberapa menit kemudian dia hanya bisa diam dan akhirnya meletakkan gagang telepon dengan lesu. ”Heran, kenapa dia tidak mau cerita tentang budayanya sendiri. Ini kan cerita menarik buat kita semua,” kata Franc sambil menggeleng-gelengkan kepala. ”Tapi kita tidak boleh menyerah,” kataku. Franc hanya diam. Rumahnya tegak di tengah rerimbunan pinus dan maple yang memerah kuning, di bibir danau kecil. Percik-percik kilatan matahari yang mengenai permukaan danau memantul ke dinding rumah kayu. Di depan rumah menjulang tiang kayu yang berukir dan berwarna-warni, tiang totem. Aku dan Franc berdiri tepat di muka rumah Lance Katapatuk. Aku mengetuk pintu dengan berdebar. Lance Katapatuk mencari orang untuk dia temani berburu moose, tapi tidak bersedia kami wawancarai. Tapi aku meyakinkan Franc bahwa kami harus mencoba mendatanginya. Siapa tahu, kalau bertatap muka, hatinya melunak Bagaimanakah rupa orang yang akan keluar nanti. Berbadan liat, berkulit gelap merah, dan memakai bulu di kepalakah? Di


341 pintu kayu ini tergantung hiasan berbentuk lingkaran yang diisi jaring seperti sarang laba-laba. Bibir lingkaran dihiasi berbagai bulu burung yang menjuntai. Menurut buku yang aku baca di perpustakaan, barang berbentuk bundar ini adalah asabikeshiinh, alat yang dipercaya orang Indian bisa menangkap mimpi baik, dan menolak mimpi buruk karena akan tersangkut di jaring laba-laba tadi. Tiba-tiba bulu-bulu burung itu bergetar. Pintu terkuak dengan bunyi berderit. Sesosok muka pria yang dingin muncul dari balik pintu. Dia berkacak pinggang. Warna kulitnya lebih gelap dari kulit orang bule. Mata agak sipit dan alis tebal melingkupi mata tajam seperti mata elang. Rambutnya panjang, tersisir rapi, dan diikat ke belakang. Bajunya kemeja khaki yang dipadu celana jins dan sepatu boot kulit. Jauh dari sosok Winnetou yang aku bayangkan ketika membaca buku Karl May. Aku mengangguk ragu-ragu dan mengulurkan tangan, ”Je suis Alif. Saya dari Indonesia.” Tidak ada reaksi dari tangan Lance. Matanya melihat ke arah Franc yang membawa kamera, tangannya segera bergerak hendak menutup pintu. ”Tunggu…,” kataku. Aku segera menurunkan ransel, mengeluarkan sebuah wayang kayu Sunda, memainkan beberapa gerakan, dan menyerahkan kepadanya. ”Sebuah hadiah spesial dari saudara dari ujung dunia.” Ragu-ragu dia menerima dan mematutmatut wayang itu. Mata Lance mulai bersinar. Aku rogoh lagi ransel, dan aku keluarkan sebuah foto, sebuah pemandangan danau dan hutan yang luas dengan beberapa orang tampak berlari ditemani anjing. ”Begini kami berburu di Indonesia.”


342 Mukanya mengendur. ”Kalian juga berburu di Indonesia?” tanya dia penuh semangat. Aku mengangguk-angguk layaknya beo. ”Kami ke sini ingin berbagi pengalaman tentang berburu, baik di Kanada maupun di Indonesia,” kataku asal mencari topik. Kali ini tidak cuma matanya tapi mulut Lance juga terkembang. Sangat lebar sampai sebagian gigi gerahamnya yang putih terlihat. ”Pijagsig. Itu artinya ’selamat datang’ dalam bahasa kami. Saya Lance Katapatuk,” katanya dengan suara ramah sambil menyalami kami. Ah, akhirnya aku bisa juga menyentuh kulit orang Indian. ”Maaf ya, tadi saya pikir kalian hanya ingin menyalah-nyalahkan pemburu. Menganggap kami sebagai pengacau alam liar. Makanya saya segan untuk diwawancarai.” Interior rumah kayu ini dipenuhi berbagai ornamen dan hiasan yang terbuat dari bulu berang-berang, bulu elang, dan anyaman kayu. ”Sedikit-sedikit saya harus bisa berbagai bahasa. Sebagai pemandu berburu, tamu saya datang dari berbagai negara,” katanya sambil menyeduh teh buat kami. Setelah kamera dan mikrofon terpasang, kami berbincang panjang-lebar dengan Lance. Dia berkisah tentang suku-suku Indian dengan penuh semangat. Yang menyenangkan bagiku, ternyata Lance begitu terpelajar. Dia lancar berbahasa Inggris. Jadi mudah untuk mewawancarainya. ”Dulu kami adalah bangsa pemburu, hidup berpindahpindah di prairie, padang rumput luas, mengikuti perpindahan


343 kawanan bison yang kami buru sebagai sumber makanan. Tapi sejak abad ke-19 kami diminta untuk menetap di tanah yang sudah disediakan pemerintah, atau yang disebut reserve. ”Saya lahir dan besar di sebuah reserve bernama Kitigan Zibi atau ”Sungai Taman” di utara Ottawa. Walau kini kami bekerja di berbagai bidang seperti layaknya warga lainnya, tapi berburu tetap bagian penting dari budaya kami. Sejak kecil saya terbiasa hidup dengan alam liar hutan dan padang rumput Amerika. Berburu adalah hidup saya, mengalir di setiap tetes darah. Karena itu, pekerjaan jadi guide ini bagi saya sangat menyenangkan. Bagai menjalankan hobi. Bukan pekerjaan.” ”Saya baca kalau orang Indian punya nama julukan asli. Apa Anda punya juga?” tanyaku. Dia tergelak. ”O, ada, saya digelari ’Kelinci Berlari’, mungkin karena itu saya jadi lincah berlari pada saat berburu.” ”Dengan semakin sedikitnya populasi suku Indian, bagaimana bahasa suku Anda sekarang?” timpal Franc. Lance melayangkan pandangan menembus jendela, menuju danau yang membiru. Mukanya mendung. ”Ada suku yang semakin punah bahasanya karena semakin sedikit anggotanya. Satu per satu ada bahasa yang mati karena tidak ada penerusnya,” katanya tercekat. Sejurus kemudian dia bertanya dengan suara yang lebih semangat, ”Tapi kami tidak akan menyerah untuk melestarikan budaya kami. Eh, tahukah kalian banyak nama di Kanada ini berasal dari bahasa Indian?”


344 Aku dan Franc menggeleng tidak tahu. ”Bahkan nama negara ini sendiri. Kanada itu berasal dari bahasa suku Wendat Huron, artinya pemukiman. Ontario artinya danau indah, Toronto artinya tempat bertemu. Dan nama provinsi ini juga. Quebec berasal dari bahasa suku Algonquin berarti selat,” katanya bangga. ”Bisa Anda ceritakan mengenai perburuan moose?” ”Moose adalah rusa terbesar di dunia, tinggi, dan kekar. Binatang ini hanya boleh diburu oleh pemburu yang telah mendapatkan lisensi dari pemerintah. Tugas saya mengajak para pemburu untuk mencari jejak moose di lokasi-lokasi yang sudah ditentukan untuk berburu,” katanya sambil menunjuk kepala moose yang dikeringkan yang tergantung di dinding rumahnya. Besarnya tidak kurang dari lima kali kepala orang dewasa. Sedangkan tanduknya terentang lebar sampai lebih dari satu meter. Melihat aku ternganga membayangkan besarnya kepala hewan ini, Lance menambahkan, ”Tanduk moose jantan mencapai puncak pertumbuhannya pada masa tagwagi atau musim gugur, yang juga antara lain masa yang baik untuk berburu. Moose dengan kepala bertanduk lebar merupakan yang paling dicari orang. Dagingnya enak dan kulitnya bisa dipakai untuk membuat berbagai kerajinan.” Franc yang mengaku penyayang binatang tampaknya masih belum terlalu mengerti konsep berburu. Dia memberi pertanyaan yang menukik. ”Bagaimanapun, berburu itu kan untuk kesenangan. Bukan untuk kebutuhan seperti orang Indian zaman dulu. Apa rasanya menemani para pemburu ini setiap hari, membunuh hewan?”


345 Lance terdiam sejenak, mukanya terkejut dan memandang kami dengan tajam. Aku berfirasat jelek bahwa Lance akan membatalkan wawancara. Tapi dia segera menguasai diri dan menjawab, ”Tugas saya memastikan pemburu datang ke tempat yang diizinkan. Di lokasi-lokasi ini populasi hewan sudah melebihi daya tampung sebuah kawasan alamiah. Kalau populasi terlalu padat bisa menjadi hama. Selain itu saya juga mengajarkan pemburu untuk menghormati alam. Semua makhluk hidup punya ruh. Jadi kalau berburu, pastikan prosesnya cepat dan tidak menyakiti hewan buruan kita. ”Dari mana Anda berasal, my friend?” tanya Lance padaku tiba-tiba. Seperti ingin mengalihkan topik pembicaraan. ”Dari Indonesia. Pernah mendengar Indonesia?” ”O, saya pernah melihat sebuah pulau tropis bernama Bali di TV. Pulau yang indah dengan gunung api, sawah, dan pantai. Apakah Indonesia dekat Bali?” ”Bali itu adalah salah satu provinsi di Indonesia,” aku mencoba menjawab dengan sabar. ”Oooo, maaf... saya tidak tahu,” katanya dengan muka tampak memerah. ”Tidak apa. Karena Indonesia belum banyak dikenal di dunia, maka tugas saya menjelaskan.” ”Saya ingin sekali melihat gunung berapi. Semoga suatu ketika saya dapat melihat dengan mata saya sendiri api yang keluar dari perut bumi. Mon ami60, seperti foto yang Anda 60Temanku (Prancis)


346 perlihatkan tadi. Boleh bercerita bagaimana perburuan di Indonesia?” Nah, aku harus hati-hati. Aku tidak pernah mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan ini. Aku tahu banyak perburuan liar yang telah membuat banyak hewan yang dilindungi di Indonesia terancam punah. Harimau jawa sudah punah, harimau sumatra sudah terdesak, burung cendrawasih, penyu hijau, dan orangutan diburu. Tapi tidak mungkin bagiku bercerita hal-hal negatif seperti ini. Aku bisa mempermalukan bangsa sendiri. Lalu, bagaimana aku harus menjawabnya? Aku harus mencari satu cerita yang menarik, yang tidak malumaluin. Lance menunggu jawabanku dengan mata dan raut muka tidak sabar.


347 Obelix dari Maninjau Pelan-pelan aku hirup teh Labrador, minuman racikan khas Indian yang dihidangkan oleh Lance. Mata aku pejamkan seakan-akan sangat menikmati cita rasanya. Padahal aku sedang mengulur waktu, berpikir keras mencari ide cerita. Pertanyaannya ini sebetulnya kesempatan baik untukku mendidik mereka yang tidak tahu tentang Indonesia. Tibatiba di pikiranku terlintas sebuah rekaman dari masa kecil. ”Tentu saja. Indonesia adalah negara kepulauan yang luas. Kami punya 16 ribu pulau dan lebar dari barat ke timur sama lebarnya dengan Kanada. Tentang berburu, saya punya sebuah cerita berburu yang mungkin ada kesamaan dengan kebiasaan di sini.” Lance mengangguk-angguk dengan penuh minat. Kali ini dia bertelekan satu tangan ke dagu, dengan raut penasaran. Aku menatap jauh ke luar jendela, ke pucuk-pucuk pohon maple yang masih menyisakan beberapa lembar daun merah. Pikiranku tidak hinggap di daun maple itu tapi melayang jauh ke suasana hijau khas kampungku belasan tahun silam. Ke pucuk-pucuk daun pohon kulit manis yang merah segar di perbatasan kampungku dengan rimba Bukit Barisan. Lalu aku bercerita panjang-lebar.


348 Di kampungku di Bayur dan juga di kampung-kampung selingkaran Danau Maninjau, ada olahraga dan budaya yang sangat populer di kalangan kaum lelaki. Olahraga ini punya persatuan yang giat dan dikepalai oleh figur laki-laki separuh umur yang berbadan kekar dan lebih tinggi dari orang kampung rata-rata. Gelang akar bahar melingkar di pergelangan. Beberapa cincin berbatu akik seperti berebut tempat di jari-jarinya. Wajahnya berkulit gelap dan di dagunya tumbuh rambut yang menjalar sampai ke pinggir telinga. Orang kampungku segan padanya. Mungkin karena dia seorang pandeka atau ahli silat. Mungkin juga karena dia adalah Ketua Perkumpulan Olahraga Buru Kandiak atau babi. Entah siapa nama aslinya. Tapi gelarnya: Datuak Marajo nan Bamegomego alias Pandeka Rajo Sati. Aku masih ingat ketika dia memasuki batas kampungku, langkahnya bak jagoan film koboi saat masuk ke sebuah kota kecil. Dia turun dari motor Binter-nya yang berkursi samping. Di bahu kirinya menggantung bedil balansa61, dan di pinggangnya tertata belati dan parang. Bajunya hitam pekat khas pesilat Minang. Di kepalanya terbelit destar. Tangan kanannya memegang teguh empat tali yang selalu menyentaknyentak, ditarik empat ekor anjing berbadan liat dan lincah yang berdiri berdempetan di kursi samping motornya. Satu berbulu hitam kelam, satu berbulu putih terang. Sedangkan dua lagi berbadan lebih kecil berwarna kuning. Melonjaklonjak ke sana-ke sini dengan lidah menjulur-julur sambil menyalak-nyalak. Pandeka Rajo Sati datang ke kampungku untuk sebuah misi: memimpin perhelatan buru babi. 61Senjata api rakitan laras panjang untuk berburu


349 Aku dan bocah-bocah kampung kerap mendengar dari ota62 para pemuda kampung, bahwa 4 anjingnya ini punya keahlian yang berbeda. Yang berwarna kuning dan langsing adalah anjing kampung yang terkenal pintar mencari jejak babi. Sedangkan si hitam dan si putih yang berbadan lebih tegap adalah anjing blasteran yang sigap memburu dan menangkap babi yang sudah ditemukan si anjing kampung tadi. Kabarnya, asal si hitam dan si putih ini dari Garut, di tanah Jawa. Keempat anjing milik Pandeka ini terkenal bagak. Berani. Yang tidak kalah seru bagi kami anak-anak kampung yang berbaris mengagumi Pandeka adalah ratusan ”tentara” yang datang bersamanya. Di belakangnya muncul bergelombanggelombang pemburu lain. Mereka datang ada yang naik mobil colt berbak terbuka, bus, kereta angin, motor, dan bahkan ada yang berjalan kaki. Asal mereka tidak saja dari selingkaran Danau Maninjau, tapi juga dari kampung yang jauh. Bahkan konon ada yang datang dari Riau dan Sumatra Utara. Masingmasing pemburu membawa anjing berburu, pisang, golok, sekantong air minum, dan makan siang berupa nasi yang dibungkus daun pisang. Ini adalah alek63 berburu babi. Mereka datang untuk membantu petani melawan hama babi atas undangan Pandeka sekaligus menyalurkan hobi berburu. Buru babi sudah jadi budaya dan sistem untuk menyelamatkan pertanian. Kalau jumlah babi di hutan semakin banyak, babi-babi yang kekurangan makanan di hutan akan turun ke kampung. Mereka menerabas 62ota: brolan bebas (Minang) 63alek: perhelatan


350 ke sawah, menyantap padi, menggali kentang dan ubi. Menggagalkan panen. Setelah berbicara dengan para tetua kampungnya, Pandeka memanggil para pengurus penting, para muncak, lalu memimpin doa untuk keselamatan para pemburu. Akhirnya, Pandeka mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan dengan suara mengguntur, berteriak sebagai tanda dimulainya perburuan. Maka bergeraklah rombongan ini dengan anjinganjing yang menyalak-nyalak senang menuju hutan di pinggir kampung kami. Banyak pemburu terhuyung menahan tarikan tali anjingnya yang berlari tidak sabar. Mungkin hidung para anjing sudah membaui aroma babi dari jauh. Di saat seperti ini, kami anak kecil meloncat-loncat bagai menyemangati pasukan maju ke medan tempur. Selang beberapa jam kemudian terdengarlah berbagai macam bunyi, lolongan, dan salakan anjing, letusan bedil balansa. dan teriakan para pemburu. Ini artinya sarang babi hutan yang sering merusak pertanian sudah dikepung. Kadang ada saja babi yang berhasil menyelamatkan diri. Seburuk-buruknya babi yang lolos kepungan adalah babi ganas yang sudah terluka. ”Awas, induak angkang64 babi turun ka kampuang!” bunyi teriakan pemburu bersahut-sahutan. ”Pinteeeh65 sebelum masuk kampung!” teriak yang lain. Induak angkang adalah dedengkot, babi paling besar, babi di atas babi. Tidak lama kemudian, aku dan teman-teman me64yang paling besar, raja 65Hambat


351 lihat sesosok bayangan hitam menyeruak dari ladang. Besar, hitam, berlari cepat. Taringnya menyeruak dari rahang bawah dan menjulang meliuk ke atas. Punggungnya bagai berduri seperti landak, penuh bulu-bulu hitam kasar. Aku bergidik melihatnya. Punggung babi besar ini basah oleh darah. Kata pemuda kampungku, kalau babi tua terluka, maka babi itu menjelma menjadi hewan yang sangat ganas, menerjang siapa saja dan apa saja tanpa takut. Babi hutan ini berlari serabutan ke arah rumah penduduk, menabrak anjing kampung yang terkaing-kaing. Sementara darah segar mengucur dari punggung yang tampaknya robek dicakar anjing. Aku dan orang kampung berlarian lintang pukang memanjat apa saja. Aku meloncat ke atas rumah panggung, temanku yang lain ada yang memanjat pohon nangka. Tapi seorang kawanku, si Kaliang, terjerembap jatuh karena tersandung akar kayu, dan tidak berhasil mencapai tangga rumah panggung tempat aku berlindung. Ketika dia bangkit, babi luka itu sudah terlalu dekat dengannya. Kami berteriak-teriak ketakutan melihat babi luka ini berhenti dan menatap tajam kepada kawanku yang kurus hitam ini. Kaki babi ini bergeser-geser seperti mengambil ancang-ancang untuk menghantam anak ini. Beberapa penduduk mencoba melempar barang-barang dan batu untuk mengusir. Tapi babi ini tampaknya sudah begitu dendam karena lukanya. Dia maju pelan-pelan. Kaliang mencoba beringsut dari posisi jatuhnya. Celananya basah, dia menangis menjerit. Aku menutup mata. Bagai anak panah, babi ini berderap kencang ke arah


352 Kaliang. Gedebak-gedebuk kaki babi di tanah terdengar nyaring, menggoyang jantungku. Aku takut nyawa si Kaliang menjadi korban acara buru babi kali ini. Tapi entah dari mana, tiba-tiba lari babi yang lurus ini terhenti di tengah jalan. Aku lihat, binatang ini terpental sambil menguiknguik kesakitan. Sekelebat kami lihat di sebelah Kaliang telah berdiri kukuh seseorang dengan rambut panjang berkibar. Pandeka Rajo Sati. Dengan cepat dia menggendong kawanku ini dan menaikkannya ke jendela sebuah rumah panggung. Kini binatang ini benar-benar seperti babi buta. Dia berlari kencang ke arah Pandeka. Pandeka menggeser kakinya dengan ringan beberapa langkah dan serangan babi yang datang lurus ini luput. Rambutnya yang panjang berkibar-kibar terembus angin dari babi yang baru lewat. Babi menabrak rumpun aur kuning sambil mendengus-dengus. Kini Pandeka sigap mengokang bedilnya. Babi telah berputar dan kembali melesat ke arah Pandeka dengan lebih kencang. Pandeka tidak bergerak dari posisinya, menunggu dengan berani, dengan bedil tertuju lurus ke kepala babi. Bukannya menarik pelatuk, Pandeka tiba-tiba melemparkan bedilnya ke tanah. Mau apa dia? Melawan babi hutan kesetanan dengan tangan kosong? Pandeka tetap tegak lurus, seperti menantang. Mulutnya yang terbenam dalam rimbunnya kumis dan jenggot komatkamit entah membaca doa apa. Tangan kanannya yang berotot memutar-mutar sepotong rantai besi. Dia mengambil posisi kuda-kuda dan merendah. Celana silat hitamnya hampir menyentuh tanah. Dengan entakan kaki yang keras dan suara


353 menguik kencang, babi pesakitan ini kembali berderap ke arah Pandeka. Hanya beberapa meter lagi babi akan menghantam Pandeka. Kami berpekikan takut. Bukannya Pandeka lari menghindar, di luar dugaan, dia melenting ke depan, menggeser kaki dengan enteng dan cepat, lalu berlari lurus ke arah babi yang sedang berlari ke arahnya. Apa dia bermaksud menabrakkan diri ke babi gila ini? Kami terkesiap. Sepersekian detik sebelum tabrakan terjadi, Pandeka melompat sedikit ke samping, sehingga dia bisa menyerang babi dari samping. Dengan kelebatan cepat, dia melontarkan rantai ke arah kaki belakang babi. Rantai berpemberat ini seperti punya mata dan bergerak sendiri. Kaki sang babi langsung terkungkung dibelit rantai. Tidak ayal, babi besar ini tersungkur dan berdebum menghantam tanah. Moncongnya mengeluarkan uikan-uikan nyaring. Di belakang Pandeka tampak berlari empat ekor anjing pemburunya dan meringkus babi yang jatuh ini. Kami bersorak-sorak seperti merayakan kemenangan tim jagoan. Pandeka telah berhasil mengalahkan si induak angkang. Hal seperti ini rupanya yang membuat nama Pandeka ini terus disegani di selingkar Danau Maninjau. Bahkan ada yang berbisik, konon dia sebetulnya menyimpan rantai babi, yaitu semacam pusaka yang dimiliki babi jadi-jadian, yang membuat pemegang menjadi sakti dan bahkan tahan peluru. Sejak itu, kalau ada pencurian ternak, Pandeka diminta membantu menangkap, kalau ada harimau turun makan ternak, Pandeka juga yang dianggap bisa menanganinya, kalau ada perkelahian


354 antarkampung, Pandeka yang menjadi pelerai, ada wabah anjing gila, Pandeka pula yang antara lain menjadi eksekutor anjing liar yang berkeliaran. Yang jelas, kami anak kampung merasa punya satu superhero lokal waktu itu. Aku dengan menggebu-gebu menyudahi ceritaku di depan Lance dan Franc yang mengikuti ceritaku hampir tak berkedip. ”Wow! Luar biasa. Terima kasih telah berbagi cerita yang fantastis tentang berburu di negara lain,” kata Lance menepuk pundakku. Aku tersenyum lebar. Setelah meneguk habis teh kami, aku dan Franc pamit. ”A la prochaine. Sampai ketemu lagi,” kataku melambaikan tangan di depan rumah Lance. ”Hei tunggu,” dia masuk ke dalam rumahnya. Ketika muncul lagi, di tangannya tergenggam dua helai bulu burung. ”Ini kenang-kenangan persaudaraan dari saya. Bulu burung elang dataran Quebec, lambang keberanian dan petualangan.” Dengan senyum lebar kami terima hadiah dari Lance ini. Franc tampaknya terkesan sekali dengan cerita buru babiku. Sepanjang jalan pulang dia terus bertanya ini-itu. ”Dalam bayanganku, si penangkap babi di kampungmu itu seperti Obelix ya?” Aku terbahak. Boleh juga imajinasi si Franc. Pandeka Rajo Sati bolehlah disebut bagai Obelix dari Maninjau. Bedanya Obelix yang satu ini tidak memakan daging babi buruannya. Babi hasil buruan di kampungku kemudian dikubur untuk menghindari bau busuk dan penyakit.


355 Co-Pilot Rusdi Begitu wawancara kami dengan Lance Katapatuk diudarakan, telepon berdering bertubi-tubi. Banyak penduduk Saint-Raymond yang memuji dan tidak sedikit yang minta siaran ulang. ”Bravo! Magnifique!” puji Stephane berkali-kali sambil mengacungkan kedua jempol gemuknya. Aku pun dengan girang mengirim fotoku dengan Lance ke dua alamat surat: Amak dan Randai. Biar mereka tahu aku berhasil bertemu dengan orang Indian asli. Aku dan Franc semakin bersemangat mencari dan meliput laporan unik. Sampai-sampai kami hampir lupa dengan niat awal, mewawancarai Janvier. Hanya karena aku selalu ingat nasihat guruku di PM untuk melebihkan usaha dari rata-rata, aku masih terus mengirim faks permohonan dari penyiaran wawancara ke kantornya setiap pagi. Rasanya, tidak ada yang menandingi keasyikanku bekerja dan belajar hal baru di TV ini, kecuali satu hal. Tepatnya satu orang. Raisa. Karena aku mulai terganggu dengan banyak pikiran tentangnya. Aku tidak punya pengalaman dan referensi untuk hal seperti ini dan aku tidak tahu bagaimana cara mengatasinya. Pengalaman yang agak mirip mungkin waktu aku bertemu Sarah di PM dulu. Tapi pikiranku saat itu tidak sampai


356 begitu tersita. Apa lagi banyak kesibukan yang membuatku sibuk selama di PM. Dengan Raisa, terasa tarikannya berbeda. Bayangannya tidak gampang hilang di pelupuk mataku. Bila aku sudah lepas dari kesibukan memproduksi acara dan editing di studio, antara sengaja dan tidak sengaja aku menjengukkan kepala ke luar jendela kantor. Dan di seberang sana, tampaklah dia duduk di ruangan kantornya bersama Dominique. Baru seminggu lalu Raisa mengajak aku makan siang bersama dengan Dominique di bangku kayu, di taman sebelah kantornya. Betapa senang hatiku ketika Raisa terkesan dengan pengalamanku menulis di media massa. Lalu dia bilang, ”Alif, saya ingin minta bantuan kamu untuk mengajarkan cara menulis yang baik selama kita di Kanada ini. Mau ya?” Hatiku serasa mekar. Tanpa berpikir panjang, aku sanggupi. ”Bien sur. Tentu saja. Kapan saja.” ”Kalian sudah meliput sejumlah laporan tentang kegiatan sosial, kesenian, dan dengan keluarga angkat. Apa lagi yang akan kalian usulkan untuk episode-episode mendatang? Harus lebih variatif supaya penonton tidak bosan,” kata Stephane membuka rapat redaksi mingguan. ”Bagaimana dengan wawancara dengan counterpart Kanada dan Indonesia dan membahas dinamika mereka dalam beradaptasi sikap, bahasa, serta budaya. Akan menarik,” usul Franc.


357 Stephane mengangguk-angguk, tapi tampaknya belum yakin. ”Aku punya usul, kita meliput semua tempat kerja temanteman Indonesia. Kita gali interaksi mereka dengan rekan dan lingkungan kerja. Bagaimana rekan kerja melihat mereka dan memahami budaya orang lain dan budaya mereka sendiri,” kataku memberi usul tambahan. ”Hmm aku pikir kedua usul kalian bagus. bagaimana kalau kita gabung saja, jadi liputan di tempat kerja baik anak Indonesia maupun anak Kanada? D’accord? Setuju?” kata Stephane memutuskan. ”Oke, jadi semua orang akan dapat giliran diliput. Sekarang siapa yang pertama kali kita liput dulu?” tanya Franc kepadaku. Aku duduk di ujung meja, tempat favoritku. Dari posisi ini aku leluasa melihat ke luar jendela, dan mataku kembali tertumbuk ke jendela kantor Raisa. Kali ini dia sedang sibuk, mengetik atau berbicara dengan teman kerjanya. Ingin aku katakan ke Raisa kalau aku sering melihat dia dari lantai atas kantorku. Tapi setiap kali berniat bicara, aku malu dan belum apa-apa muka dan kupingku merah. ”Hmmm... kenapa tidak kita mulai dari tempat paling dekat, kantor walikota, tempat Raisa dan Dominique bekerja,” kataku tanpa pikir panjang lagi.


358 Setiap ada kesempatan bertemu Raisa pasti aku sambut bahagia. Dengan sigap aku pikul kamera video yang besar di bahu. Rompiku sudah dipenuhi beberapa baterai serap dan mik wireless. Kali ini beban berat ini terasa enteng. Franc yang menenteng tripod cengar-cengir menuruni tangga dengan bersiul-siul. ”Alif, I know why you are so excited now!” seringainya makin lebar, lalu mengerling penuh arti. Aku hanya melengos. Dan setiap aku ada kesempatan bicara dengan Raisa, Franc dengan sengaja mempermainkanku. Bahkan suatu ketika dia bilang, ”Kalau kamu suka padanya, kenapa tidak bilang langsung saja. Ajak makan malam. Go on a date.” Mungkin begini gaya anak muda Kanada, tapi aku kan anak Maninjau. Lulusan pondok pula. Sesampainya kami di kantor Raisa entah kenapa tiba-tiba jantungku tidak keruan dan tanganku keringat dingin. Tanpa suara, aku menunjuk-nunjuk pintu kantor Raisa ke Franc, minta agar dia mengetuk. Aku takut ketahuan grogi kalau nanti Raisa yang membuka pintu. ”Kenapa mukamu merah?” celetuk Franc sok tidak mengerti. Untunglah dia akhirnya mau juga mengetuk pintu itu. Aku mengatur napas supaya tidak tersedak. Dan betul. Wajah yang muncul di balik pintu itu Raisa sendiri. ”Allô Franc, allô Alif, ça va? Ada apa tiba-tiba datang nih. Ayo masuk. Masuk,” katanya menebar senyum. Darahku terhenti beberapa detik. ”Wah, kameramu bagus sekali, Lif. Cocok nih kayaknya kamu jadi wartawan TV dan cameraman andal,” katanya. Matanya melebar, bulat cemerlang. Bagi orang lain mungkin


359 basa-basi itu biasa saja, tapi bagiku, rasanya dadaku membeludak bangga. Rupanya tidak sia-sia aku bawa kamera paling berat dan besar dari kantor, jadi terlihat gagah. ”Terima kasih,” jawabku sambil nyengir. Aku tidak tahu harus menjawab apa lagi. Kami mewawancarai Dominique dan karyawan kantor walikota lainnya untuk menanyakan kesan mereka bekerja dengan anak Indonesia. Setelah itu tiba giliran wawancara yang lebih panjang dengan Raisa. Aku mengatur angle kamera supaya cocok dengan penyinaran ruangan. Jariku berkeringat dan kerongkonganku tiba-tiba kering. Terakhir aku grogi seperti ini adalah ketika aku memotret Sarah dan keluarganya berapa tahun lalu di Pondok Madani. Raisa menjawab pertanyaan dengan bahasa Prancis yang mengalir jernih dan deras, seperti air Batang Antokan dari Maninjau. Kepribadian yang riang, hangat, wajah yang berkilau, dan bahasa Prancis yang kental. Kombinasi yang pas. Telepon di kamarku berdering-dering memekakkan telinga. Mimpiku yang baru berbunga kuncup dalam sekejap. Siapa yang menelepon jauh malam begini? ”Allô,” kataku mengangkat gagang dengan suara serak. Tapi lawan bicaraku di ujung sana tidak kunjung menjawab. Malah sebuah tertawa panjang merubung kupingku. Sungguh tidak berakhlak mulia orang ini mengganggu orang yang terbangun dari tidur dengan tawa seperti jin ini.


360 ”Hahaha, akhirnya semua menjadi lebih cerah. Cemerlang!” akhirnya muncul juga suara yang setengah berteriak. Aku sampai harus menjauhkan gagang telepon menjauh dari telinga. ”Aku punya pantun baru, coba dengar....” ”Tidak mau, ini waktunya tidur, ini bukan waktu berpantun,” sergahku. ”Ya sudah. Tapi kamu rugi tidak dapat berita penting malam ini juga.” Tawa Rusdi yang kental bertalu-talu terus membahana. ”Ada apa sih? Ganggu orang saja,” kataku masih bersungutsungut. ”Jangan marah kawanku yang baik. Aku punya cerita yang indah sekali.” ”Indah buat kamu, mengantuk buatku.” ”Dengarkan nih pantunku: Makan durian di pinggir taman Durian kuning masak di dahan Orang Banjar teguh beriman Kalau sabar tentu disayang Tuhan Mantra yang kamu ajarkan manjur dan berhasil,” katanya ”Sejak kapan aku jadi dukun. Mantra apaan?” ”Man shabara zhafira, siapa yang bersabar akan beruntung. Itu kan kau yang mengajari aku tempo hari. Hari ini aku beruntung sangat besar.”


361 ”Untung apa?” aku mengulet. Mulai tertarik. ”Siapa mengira Alex, anak orangtuaku yang di Provinsi Ontario datang berkunjung. Tau nggak datang pakai apa?” ”Ya pakai kakilah,” jawabku tak sabar. ”Salah! Dia datang pakai pesawat.” ”Lalu kenapa?” kataku malas lagi. Mataku kembali mulai terpejam. ”Eh, bukan pakai pesawat biasa. Tapi pesawat pribadi. Dia sendiri yang menjadi pilot dan mendarat tepat di depan rumahku.” Aku terlonjak. Naluriku yang menyukai semua barang yang bernama pesawat tersulut. ”Ah, yang benar saja. Bagaimana pesawat bisa mendarat di depan rumahmu di tanah pertanian itu?” Aku kembali melek dan kali ini meluruskan badan. ”Keluarga angkatku selama ini kan biasa saja kelihatannya. Berkecukupan dari ladang dan peternakan yang luas, tapi mereka tidak banyak mengumbar kekayaan. Rupanya mereka punya lahan pertanian lain yang bahkan lebih luas di Ontario. Saking luasnya mereka sampai perlu pesawat kecil untuk menyiram tanaman dan untuk transportasi penting dan cepat ke kota, karena tempatnya terpencil. Pertanian di Ontario dikomandoi oleh anaknya yang kemarin datang itu. Langsung pakai pesawat berbaling-baling mungilnya itu.” ”Wah hebatnya....” seruku. Pikiranku menerawang. Asyik sekali punya pesawat sendiri. Jangankan pesawat, sebatang sepeda pun aku tidak punya.


362 ”Itu belum berita hebatnya,” potong Rusdi cepat. ” Apa dong, kalau begitu?” sambarku. ”Yang lebih hebat adalah Alex akan mengajakku naik pesawat itu ke pertanian di Ontario besok. Lalu kami akan mengunjungi Toronto. Kata Alex, dia akan mengajakku juga ke Wonderland, taman bermain terbesar di Kanada. Orang dewasa kok main-main, tapi aku nggak menolak.” ”Wow, luar biasa. Kamu gila kalau sampai menolak ke Wonderland. Semua orang ingin ke sana. Itu seperti Disneyland yang ada di Amerika Serikat itu.” Kebetulan aku pernah riset hal ini untuk keperluan liputan berita. ”Ooo gitu. Iya iya deh, aku akan bilang mau. Wah bayangkan, aku anak Kalimantan kampung akan pergi ke taman bermain dan naik pesawat langsung dari depan rumah. Seperti co-pilot aja aku. Huahahaha...!” ketawanya kembali menggelegar merusak gendang telingaku. Lebih setengah jam Rusdi melampiaskan kegembiraannya, sampai aku iri dengan nasib baiknya ini. ”Boleh nggak aku ikut naik pesawat itu?” tanyaku penuh harap. ”Wah Lif, aku harus tanya dulu, tapi yang jelas 3 kursi sudah penuh.”


363 Faks Bersejarah dan Es Tebak C’est un surprise! Kejutan besar. Lihat... lihat... lihat...” teriak Franc dari ruang editing. Dia berlari ke studio membawa secarik kertas faks. Franc berjingkrak-jingkrak seperti anak kampung yang berhasil menangkap layang-layang putus. Aku dan Stef yang sedang menyiapkan kamera untuk meliput turnamen ice hockey, terkejut. Kami berebut melihat isi faks yang dia kibar-kibarkan ke kami. Dari kantor partai antiseparasi. Monsieur Daniel Janvier tokoh anti separasi akan datang ke Kota Pont Rouge yang tidak jauh dari Saint-Raymond dan siap diwawancarai oleh kami. Rupanya tidak sia-sia aku berkirim faks setiap pagi selama sebulan. ”Karena Alif yang mengusulkan, maka kamu akan jadi pewawancara utama. Monsieur Janvier lancar berbahasa Inggris kok. Saya bisa bantu menyusun pertanyaan,” kata Stef, seseorang yang fair dan percaya kepadaku. Aku malah yang tidak pede kalau sendiri. ”Bagaimana kalau aku ditemani oleh Franc,” kataku. Muka Franc berbinar-binar dilibatkan. Stef mengacungkan jempol tanda setuju. Dan hari bersejarah itu berjalan dengan cepat. Tahu-tahu aku sudah berada di sudut lobi hotel di Pont Rouge. Hanya


364 ada tiga kursi, untuk aku, Franc, dan Mr. Janvier, tokoh terpenting di Kanada menjelang referendum ini. Walau udara dingin, tapi telapak tanganku berkeringat, berkali-kali mik berkepala busa besar merosot dari peganganku. Ini momen besarku, aku harus lakukan dengan baik. Aku hela napas, aku kumpulkan semua ketenangan, dan setelah baca basmalah, aku tembakkan pertanyaan pertama. ”Monsieur Janvier, Anda seperti menentang suara hati banyak masyarakat Quebec yang ingin berpisah dengan Kanada. Bukankah Anda sendiri berdarah Quebec asli?” Tidak ada jawaban. Aku pikir, bahasaku kurang jelas. Aku ulang sekali lagi. Laki-laki ini terus diam dan menatapku dengan setengah mata menyipit. Mungkin dia kaget dengan pertanyaan yang langsung memburu jawaban ini. Aku menahan napas menunggu. Franc melirikku tajam. Khawatir. Stef yang berada di belakang kamera menggeleng-geleng lemah. Aku sebetulnya juga ketar-ketir dengan pertanyaan ini. Takut menyinggung perasaan. Tapi sudah telanjur. ”Pertanyaan Anda tendensius…” sergahnya. ”Maafkan pertanyaan tadi, saya hanya ingin mendapatkan jawaban untuk pertanyaan yang ada di benak banyak orang di sini. Tapi saya pikir tidak banyak yang berani menanyakan ini terus-terang kepada Anda.” Pembelaanku meluncur begitu saja. Dia mengangguk-angguk kecil. Senyumnya terbit. ”Anak muda, jangan khawatir bertanya. Ini negara bebas. Justru, karena di badan saya mengalir darah Québécois asli, saya sangat yakin bahwa tetap bersama Kanada adalah pilihan


365 terbaik untuk saya dan saudara sedarah. Akan banyak biaya sosial dan perasaan kalau kami berpisah.” Aku mengangguk kepada Franc, mempersilakan dia untuk bertanya. Selama setengah jam, politisi ini kami kerubuti dengan berbagai pertanyaan. Janvier kini terlihat lebih rileks. Apa pun pertanyaan yang kami lontarkan diterkamnya tuntas. Alhamdulillah, tidak sia-sia aku telah berlatih mewawancarai orang penting sejak di Pondok Madani dulu. Pada akhir wawancara aku menyelipkan satu pertanyaan lagi. ”Monsieur Janvier, di negara saya ada praktik yang dikenal sebagai ’serangan fajar’ pada hari pemungutan suara.” ”Apa itu?” tanya balik Janvier. ”Pihak yang berkompetisi menggunakan detik-detik terakhir sebelum pemilih mencoblos. Mereka mendatangi rumah para pemilih dan memberi iming-iming uang supaya memilih mereka. Bagaimana di sini?” ”Saya berani bilang, kalau ada politisi yang melakukan praktik itu di Kanada, dia akan kalah mutlak. Rakyat di sini tidak akan percaya pada orang yang seperti itu. Baru akan dipercaya oleh rakyat saja sudah menyogok. Membeli kuasa. Bayangkan bagaimana nanti sikap penguasa seperti itu kalau sudah menggenggam wewenang,” jawabnya menutup wawancara. Selama perjalanan ke Saint-Raymond, kami bertiga tidak habis-habisnya membicarakan bagaimana serunya wawancara tadi. Stef mengakui ini adalah wawancara paling prestisius yang


366 pernah dia lakukan eksklusif untuk TV lokal Saint-Raymond. Program khusus menyambut referendum ini sampai harus kami tayangkan tiga kali karena banyak sekali permintaan penonton. ”Kalian berhasil membuktikan yang awalnya tidak mungkin dapat menjadi mungkin,” puji Stef. Franc tidak kalah bahagia. Dia mengirim foto dan rekaman wawancara ke ayah dan ibunya yang tinggal di Kota Levis. Mungkin kebanggaan Franc sama dengan anak Indonesia berhasil mendapat wawancara khusus dengan presiden atau wapres. Aku sangat berharap prestasi mewawancarai figur nasional ini dianggap penting dan layak diganjar medali emas oleh Sebastien. Kalau aku menang, aku akan membuat Rob melongo. Melayu juga bisa mengalahkan bule di kandangnya. Apa ya kata Raisa nanti? Tidak terasa sudah beberapa bulan aku tinggal di tanah berbahasa Prancis ini. Tanah yang dianugerahi empat musim dan daun-daun maple yang indah. Pelan-pelan aku semakin memahami obrolanku dan famille d’accuile66 saat makan malam. Siaran berita di televisi kini bisa aku ikuti dan judul-judul berita koran semakin ada artinya buatku. Alhamdulillah, usahaku menenteng kamus Prancis-Inggris ke manamana mulai menampakkan hasil. Aku semakin percaya diri berkomunikasi dengan bahasa Prancis. Padahal beberapa bulan 66Orangtua angkat


367 yang lalu, pengetahuanku tentang bahasa Prancis adalah nol besar. Satu-satunya kejadian berbau bahasa Prancis yang aku ingat adalah ketika Ustad Salman di PM menyuruh kami membuat spanduk berbahasa negara Eropa ini. Saat itu aku tidak mengerti satu kata pun. Aku juga terus memaksakan diri untuk menulis diary dalam dua bahasa setiap hari, satu halaman bahasa Inggris dan satu halaman bahasa Prancis. Ini caraku memperkaya kosakata. Kalau aku kesulitan, Franc dengan senang hati membantuku dengan tata bahasa yang benar. Sejauh ini perjanjianku dan Franc untuk saling mengajarkan bahasa yang berbeda berhasil. Aku rajin memperbaiki bahasa Inggris-nya yang kadangkadang meleset, dan dia meluruskan Prancis-ku. Tanda waktu yang bergegas itu adalah cepatnya musim berganti di depanku. Waktu aku datang, Sungai Sainte-Anne yang mengalir di sebelah rumahku masih berbunyi gemercik dan dinaungi pohon yang rimbun dengan daun maple yang berdominasi warna hijau. Tidak lama berselang, hanya hitungan minggu, daun-daun itu berubah warna. Pelan-pelan, mulai dari hijau, kuning, merah, dan akhirnya gugur satu per satu. Hampir semua pohon meruntuhkan daunnya, kecuali cemara dan cypress. Rumput di pinggiran sungai kini telah tertutup dedaunan warna-warni yang gugur. Sebagian daun jatuh ke air, terayun-ayun dihanyutkan arus sungai yang membiru ke hilir. Beberapa minggu berselang, menurut ramalan cuaca, kami mulai masuk ke musim dingin yang ditandai dengan turunnya suhu sampai ke level nol derajat celcius pada malam hari. Yang jelas kini setiap aku melangkah ke luar rumah, mulut dan


368 hidungku berasap seperti naga. Sainte-Anne yang biru mulai berubah wajah. Permukaannya yang biasanya jernih, kini mulai dipenuhi petak-petak kecil es yang mengapung. Petak ini semakin hari semakin banyak dan lama kelamaan menyatu satu sama lain, membentuk lapisan kaca es di seluruh permukaan sungai. Aku suka duduk di kursi kayu di pinggir sungai dan dengan takjub melihat perubahan alam. Apa jadinya kalau satu sungai ini jadi es? Mungkin bisa menjadi es balok terbesar di dunia. Semakin hari, perlahan tapi pasti, suhu mulai turun dan berada di kisaran nol derajat Celcius. Yang paling menyiksaku adalah kalau ada angin, tiupan dinginnya terasa menusuk tulang. Hampir setiap hari kami keluar rumah dengan pakaian tebal berlapis-lapis. Sarung tangan kedap udara selalu aku pasang, begitu juga syal dan topi wol, dan yang pasti tidak ketinggalan tutup telinga. Aku dulu tidak paham mengapa orang menutup telinga saat musim dingin. Tapi sekarang aku tahu, daun telingaku sangat sensitif terhadap dingin. Kalau kena angin dingin, telingaku rasanya mengeras seperti es, sehingga aku takut telingaku bisa beku, kemudian jatuh dan pecah berderai ke tanah. Pernah pula beberapa kali hidungku gatal, ketika aku garuk, darah segar menempel di sarung tanganku. Mimisan. Kering dan dinginnya cuaca bisa memecahkan pembuluh darah renik di hidung. Mado yang sangat perhatian memperhatikan anak angkat bermerk Melayu ini dengan telaten, memberitahuku untuk menjaga diri saat musim dingin. Dia memaksaku untuk selalu minum susu segar yang mengandung lemak dan memperbanyak minum air atau jus jeruk.


369 ”Supaya kulit tidak kering dan tidak kedinginan,” katanya. Mado juga membekali aku sebatang lip balm yang mirip lipstik. Bahannya yang terbuat dari lapisan lilin harus dioleskan di bibir supaya tidak pecah. Awalnya aku menolak, karena setiap memakai lip balm aku geli sendiri, merasa menjadi laki-laki yang memakai gincu. Pernah suatu hari aku malas minum susu dan mengoleskan lip balm. Malam harinya, waktu aku tertawa lebar mendengar lelucon Franc di meja makan, rasa perih muncul dari mulutku. Aku usap bibirku dengan punggung tangan. Berdarah. Perihnya berdenyut-denyut sampai ke ubun-ubun. Mado sampai berteriak kecil melihat bibirku meneteskan darah dan layaknya seorang ibu, Mado segera menyorongkan obat oles dan tisu untuk mengobati lukaku. ”Nah, apa saya bilang, bibir itu gampang kering dan pecah pada musim dingin,” katanya. Sejak itu jus, susu segar, dan lip balm adalah andalanku. Biarlah aku dianggap memakai gincu seperti perempuan asal bibirku tidak perih merekah dan berdarah. Sejak beberapa hari yang lalu aku dapat gelar baru dari Franc, dia sebut aku ”Mr. Electric”. Awalnya kami baru sampai di depan rumah. Aku segera memutar gagang pintu rumah. Belum lagi membuka pintu, tiba-tiba aku sampai terlompat ke udara karena kaget. Ada sengatan listrik menyetrum jariku begitu menyentuh logam di pintu. ”Hoi, ada listrik korslet nih!” teriakku panik. Franc malah mengakak keras di belakangku. ”Di musim seperti ini sering ada listrik statis, bukan cuma menyentuh bahan logam, bahkan menyentuh kulit manusia juga begitu,” kata Franc. Tanpa menunggu, dia


370 langsung menyentuh tanganku dengan jarinya. Dan brr… sekali lagi aku terlonjak dan marah-marah sambil mengibasngibaskan tanganku yang kena setrum. Sentuhan tangannya membawa setruman listrik juga, kecil tapi mengagetkan. Dan aku tidak suka. Sudah beberapa hari ini aku trauma membuka pintu dan sejak itu Franc mengolokku sebagai ”Mr. Electric”. Seperti biasa setiap hari aku bangun lebih pagi dari keluarga angkatku, sebelum matahari terbit, untuk salat Subuh. Setelah gemetaran mengambil wudu, aku bergelung lagi tidur. Kedua telapak tangan aku kepit di antara paha supaya ikut hangat. Pagi ini aku lirik termometer yang menggantung di dinding. Minus 10 derajat Celcius. Aku gulung selimut tebal di sekujur badan, memastikan tidak ada sela yang membuat suhu dingin mengganggu tidurku. Kebetulan ini hari Sabtu, tidak harus bangun pagi untuk pergi kerja. Mimpiku bubar ketika tiba-tiba telepon di sebelah ranjangku berdering. Aku angkat telepon dengan malas. Dan di seberang sana terdengar sebuah tawa yang keras dan panjang. Lagi-lagi anak Kalimantan itu. ”Hoi, anak Maninjau. Bersyukurlah, hari ini kita bukan anak kampung lagi. Lihat ke jendela sekarang juga!” teriaknya dengan gempita. Segera aku sibak gorden jendela kamar tidurku. Langit sudah terang, tapi tidak ada matahari. Tidak ada pula langit biru, hanya ada warna putih dan kelabu di mana-mana. Mulutku


371 ternganga. Aku mengucek-ucek mata dan menjewer kupingku sendiri. Sakit. Artinya bukan mimpi. Dari kamarku di lantai dua aku melihat semua permukaan tanah seperti dihampari permadani putih bersih. Aku meloncat dari ranjang menyarungkan baju kaus dan celana panjang dengan tergopoh-gopoh. Dalam sekejap aku sudah berdiri tegak di luar rumah, di halaman rumah yang sudah putih semua. Bahkan pot-pot yang penuh bunga sekarang hanya berbentuk ember-ember yang dipenuhi serbuk putih berlimpah. Ke mana mataku memandang hanya ada bentukbentuk yang disapu salju. Hati-hati, aku amati dengan penuh minat setiap gerombol putih yang turun dari langit ini. Di segala penjuru awangawang mengapung ribuan cabikan-cabikan putih seperti kapas. Cabikan ini berputar-putar dulu dimainkan angin sebelum mendarat di tanah, pohon, atap, sungai, di mana saja. Mereka bagai datang dari segala arah, tidak dari atas saja, juga dari samping. Biarlah aku dianggap kampungan. Aku rentangkan kedua tanganku ke langit, mencoba menangkap cabik-cabikan putih itu di udara. Tidak puas, aku buka mulut lebar-lebar merasakan salju meleleh di lidahku. Dingin seperti menyeruput serbuk es tebak di Pasar Ateh Bukittinggi. Lambat laun, gerahamku bergemeletukan hebat. Baju kaus dan celana panjang biasa adalah cara sombongku menghadapi musim salju. Tiba-tiba muncul Franc di depan teras rumah, tertawa terpingkal-pingkal melihat aku yang gemetaran seperti diserang demam malaria. Sambil bersidekap kedinginan aku lari berjingkat-jingkat dan


372 kembali masuk ke rumah. ”Makanya, pakai baju dingin baru main salju,” godanya. Hari ini aku menghabiskan satu rol film untuk memotret suasana salju. Dan aku memaksa Franc untuk menghabiskan dua lusin jepretan untuk mengabadikanku dengan berbagai pose di salju, termasuk pose tidur di atas bukit salju. Aku akan segera mencetak foto-foto ini. Dalam kepalaku hanya ada dua orang yang akan aku kirimi foto ini segera. Pertama Amak. Kedua Randai. Entahlah, kenapa aku berpikir Randai. Pamer, salam persahabatan, atau apa? Aku bingung menerjemahkan perasaanku. Di dalam suratku ke Randai, aku bercerita panjang-lebar tentang hebatnya pengalamanku di luar negeri. Kira-kira mungkin seperti gaya Randai dulu bercerita tentang keindahan masa SMA-nya, saat aku masih di Pondok Madani. Mungkin ini adalah kesempatanku untuk pertama kalinya berada dalam posisi yang lebih unggul dari Randai. Selama ini dialah yang bercerita banyak tentang apa yang aku impikan. Kali ini, akulah yang bercerita. Dia adalah pendengar dan pembaca pengalaman luar biasaku di sini. Dia di Bandung, aku di benua Amerika. Dia mungkin sedang memperlancar bahasa Sunda, aku sedang belajar bahasa Prancis. Dia mungkin sedang kehujanan sore-sore di Tubagus Ismail, aku sedang menikmati curahan salju pertamaku. Bagaimanakah perasaannya berada di sisi yang berbeda dari biasanya? Dunia memang terus berputar seperti roda pedati. Kadang kita di atas, kadang kita di bawah. Alhamdulillah, kali ini aku berada di posisi atas.


373 Lac Sept-Iles Bulan Oktober ini aku melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana demokrasi diamalkan dengan tulus di Kanada. Jalanan tetap tenang, tidak terlihat iringan kendaraan dan massa yang berkampanye hiruk pikuk di jalanan. Spanduk politik yang merusak mata hanya terpampang satu-dua di sudut jalan. Kehebohan lebih terasa kalau kita menonton para komentator berdasi di stasiun TV seperti TVA, TéléQuebec, Télévision de Radio-Canada yang tidak henti-henti bersitegang. Di rumah kami, Franc yang ingin Quebec berpisah dengan Kanada berselisih paham dengan Ferdinand. Mereka kerap bertengkar di meja makan. ”Saya tidak habis pikir, kenapa harus egois berdiri sendiri?” tanya Ferdinand sengit. ”Karena yang terbaik adalah jika kita, Québécois67, bisa menentukan nasib sendiri, bukan diatur orang lain,” balas Franc. Aku dan Mado hanya menyumbang pendapat seperlunya. Tapi itu pertengkaran tanpa dendam dan kesumat. Mangkuk sup dan es krim tidak sampai tumpah. Setelah menamatkan makan malam dan bangkit dari meja, mereka akur kembali dan kompak menonton pertandingan Montreal Canadiens memperebutkan juara nasional ice hockey di TV. 67Sebutan untuk warga Quebec


374 Di pengujung Oktober 1995 itu, pemilih tua dan muda datang ke tempat pencoblosan karena memang panggilan nurani, bukan karena menggadaikan suara berkat bujuk rayu uang kertas. Franc dan Ferdinand berangkat satu mobil ke tempat pencoblosan walau dengan pilihan berbeda. Aku menyaksikan sendiri, referendum yang historis bagi warga Kanada ini berjalan aman dan damai. Selama beberapa hari setelah itu, Franc dan Ferdinand seperti terpaku di depan TV yang tidak henti memberitakan hasil referendum bak sedang melaporkan pacuan kuda yang sengit. Tapi akhirnya memang harus ada yang kalah walau setipis rambut. Sebanyak 49,42 persen warga Quebec memilih berpisah dengan Kanada, hanya kalah 0,58 persen dari warga yang ingin terus bersama Kanada. Franc menepuk-nepuk jidatnya berkali-kali karena tidak percaya kubunya kalah. Walau masih bermuka masam, dia sorongkan jabat erat kepada Ferdinand untuk kemenangan setipis rambut itu. Hasil yang tipis ini sesungguhnya mengoyak harapan hampir separuh penduduk Quebec. Setelah pengumuman itu, meja makan malam kami kembali normal. ”Mungkin ini yang terbaik, tetap bersatu sebagai satu bangsa,” kata Ferdinand. Franc menimpali dengan nada rendah, ”Alif, kamu bisa lihat kan, apa pun hasilnya, tidak ada keributan fisik. Kami menghargai hasil. Yang penting sudah kita usahakan. Ah sudahlah, lebih baik kita memikirkan bagaimana mengisi hari musim dingin ini dengan menyenangkan.” Di luar sana, bagai ditumpahkan dari langit, salju bergumpal-gumpal turun tiada henti tanpa suara.


375 Sudah berhari-hari badai salju membungkus Saint-Raymond, sampai serbuk putih ini menumpuk setengah meter tebalnya. Warga tidak leluasa lagi menyetir mobil karena jalan telah berlapis es salju. Truk pembersih salju yang dilengkapi garam pelumer es hilir mudik mendorong salju ke pinggir jalan, tapi curah salju yang besar membuat pekerjaan itu seperti tidak akan pernah selesai. Sabtu pagi ini Ferdinand membangunkan kami lebih awal untuk bergotong-royong. Dengan sekop kami menggali salju yang menutupi jalan dari tangga rumah sampai ke jalan besar. Ferdinand dan Mado melambaikan tangan ke tetangga di kirikanan yang juga sibuk bekerja seperti kami. Anak-anak malah berlarian ke sana-kemari dengan baju tebal dan sepatu bot mereka. Anak laki-laki main lemparan bola salju, sedangkan yang perempuan sibuk membangun boneka salju setinggi tegak. Beberapa anak lain yang lebih besar mengepit papan seluncur dan mencari tanah yang menurun untuk berseluncur sambil berteriak-teriak ceria. Tiba-tiba pintu gudang kayu di sebelah rumah kami terbuka. Dari dalam terdengar suara menggerung kencang berkali-kali. Dan sesosok benda meluncur kencang ke luar gudang itu. Bukan mobil, tapi bukan juga sepeda motor. Ferdinand dengan gagah menungganginya dan berhenti di depanku yang terlongo-longo. Benda ini agak mirip dengan bemo, tapi berjalan di salju dengan roda rantai seperti layaknya tank. Uap putih dan asap menggumpal-gumpal dari knalpotnya.


376 ”C’est la motoneige68,” katanya menepuk-nepuk badan kendaraannya yang kekar mengilat ini. ”Inilah mainan orang dewasa selama musim salju. Yuk, naik segera, kita coba beberapa putaran di Sungai Sainte-Anne yang sudah beku itu,” katanya sambil mengulurkan sebuah helm layaknya pembalap motor. Tanpa dikomandoi lagi, aku segera melompat ke kursi penumpang. Ferdinand menggas motoneige yang meraung kencang mendaki bukit kecil, menuruni lurah kecil di dekat rumah, dan langsung mengarah ke Sungai Sainte-Anne. Aku berteriak ngeri, takut kami akan tercebur masuk air sungai yang pasti dinginnya minta ampun. Ferdinand tidak peduli teriakanku dan terus meluncur kencang ke bibir sungai. Angin dingin berdesir-desir di wajahku. Wusss, kami meluncur mulus masuk ke badan sungai. Dan… kami tidak tenggelam! Dia malah bermanuver beberapa kali di tengah sungai yang sudah mengeras ini, sebelum mengerem dan tertawa terbahak. ”Tenang, Lif, tadi pagi saya sudah periksa ketebalan es yang menutupi permukaan sungai. Sudah aman untuk main motoneige,” katanya tersenyum. Hari ini Mado dan Ferdinand sepakat mengajak kami berkeliling Saint-Raymond dengan menunggang dua motoneige punya mereka. ”Bagi kami orang Quebec, ini bukan sekadar kendaraan, tapi adalah hobi. Begitu ada badai salju seperti sekarang, maka motoneige yang bisa berjalan ke mana saja, tanpa harus ada aspal. Selama ada salju di tanah, maka motoneige bisa meluncur,” jelas Mado. 68Snow mobile atau kereta salju bermotor


377 ”Kita ke mana?” tanyaku. ”Nikmati saja, nanti kalian akan tahu,” kata Mado tersenyum. Aku dan Franc makin penasaran. Ferdinand melambai menyuruh aku naik di bangku penumpangnya, sedangkan Franc berboncengan dengan Mado. Awalnya kami meluncur pelan di daerah perumahan. Konvoi motoneige kami semakin menderu kencang begitu keluar kota. Kami mulai menembus rimba pinus yang tumbuh makin lama makin rapat sehingga harus lincah mengelok agar tidak tersangkut di pokok-pokok pohon besar. Ranting-ranting pinus yang rendah dan diberati oleh onggokan salju sekali-sekali menerpa baju dan helmku dengan cepat, menghamburkan serbuk putih yang dingin ke udara. Lepas dari rimba, di depan kami tampak terhampar padang luas putih menyilaukan seolah tak bertepi. Di ujung horizon tampak Pegunungan Laurentides yang bersusun seperti tembok-tembok tinggi bercat putih. Kontras sekali dengan langit yang bersih dari awan dan berwarna biru terang. Mataku yang sudah disongkok kacamata hitam rasanya masih harus mengernyit. Ferdinand menghentikan motoneige dan menghadapkan mukanya ke arahku. ”Coba kamu tebak, jika tidak ada salju, apa tempat kita berdiri saat ini?” dia bertanya, embun putih bergolak-golak keluar dari kerongkongannya. ”Padang rumput?” jawabku melihat lapangnya lahan putih di depanku. ”Bukan. Kita saat ini berdiri di tengah Danau Lac Sept-Iles. Danau Tujuh Pulau. Danau yang sudah mengeras permukaan-


378 nya karena musim dingin,” katanya. ”Oke, sekarang giliran kamu menyetir,” katanya. Dengan bersemangat aku langsung meloncat ke kursi depan. Aku genggam setang dan aku mainkan gas, kendaraan ini menggerung dan bergetar. Dengan ragu-ragu, aku sebut bismillah, dan aku pacu motoneige ini melintasi padang putih ini. Permukaan danau yang dilapisi es ini berderak-derak sedikit, tapi kendaraanku bisa terus melaju mulus. Setelah puas dengan lintasan lurus dan datar, aku belokkan kendaraan ini dan kembali masuk meliuk-liuk di hutan, antara pokok pinus. Ferdinand tertawa-tawa melihat aku mulai berani. ”Oke, sekarang coba jalan ke arah orang-orang itu,” kata Ferdinand mengarahkan telunjuk ke titik-titik hitam di tengah padang putih ini. Semakin mendekat ke titik hitam itu semakin jelas kalau titik itu adalah beberapa orang yang sedang duduk di kursi plastik, sambil menyeruput segelas air panas yang mengepul. Apa yang mereka lakukan di tengah danau beku ini? Ferdinand menyuruhku mematikan mesin dan parkir. Dia lalu membuka kamus kecil bahasa Inggrisnya dan mulai mengeja pelan-pelan, ”I-ce fish-ing. ”Inilah salah satu cara kami melewatkan musim dingin. Ice fishing, seni memancing ikan di air danau yang beku,” kata Ferdinand sambil mengambil sebuah tongkat yang bermata bor dan menancapkannya di permukaan es. Lalu dia memutar ujung tongkat itu sampai mata bor masuk jauh ke lapisan es yang tebal. Tidak berapa lama kemudian dia berhasil membuat lubang kecil yang menembus sampai ke air danau di


379 bawah permukaan es tempat kami berdiri. Di tengah lubang berukuran sejengkal ini tampak permukaan air danau yang biru dan masih belum beku. ”Nah, sekarang saatnya kita memasang umpan dan menunggu rezeki kita hari ini,” kata Ferdinand sambil duduk di kursi lipat yang dibawanya dari rumah. Tidak seperti di kampungku di Maninjau, yang menggunakan cacing tanah, umpan di ujung pancing Ferdinand adalah ikan kecil buatan. Betapa bodohnya ikan di Kanada karena ditipu oleh umpan dari plastik. Aku yakin ikan di Danau Maninjau lebih pintar. ”Sambil menunggu ikan, nih chocolat chaud69 supaya kalian tidak kedinginan,” seru Mado. Dia mengulurkan cangkir yang mengepul-ngepulkan asap dan kursi lipat. Setiap hirupan minuman ini adalah kehangatan luar biasa yang terasa mengalir sampai jauh ke dalam perut. Melihat semua serba putih dan dingin, aku hampir tidak percaya kalau kami sedang memancing. Memancing? Tiba-tiba ingatanku malah melayang ke Pondok Madani, Kiai Rais memberi petuah tentang ”memancing” kepada kami para murid yang akan lulus dari Pondok Madani. ”Ingat, anak-anakku yang aku cintai, kami tidak memberi ikan kepada kalian, tapi kami memberi pancing, kalian sendirilah nanti yang akan mencari ikan dengan pancing ini. Pancing ini adalah semua ilmu, semua pengalaman, semua bahasa, semua disiplin, semua air dan udara yang kalian hirup selama di sini. Selamat berjuang, anak-anak. Selamat memancing yang baik-baik.” 69Cokelat panas


380 Trout dan Belut Olala...!” Mado berteriak kaget campur senang, tali pancingnya menegang dan pelampungnya tiba-tiba tenggelam. Tergesa-gesa dia menahan joran yang melengkung dan memutar kumparan tali pancing. Tidak lama kemudian, air di lubang kecil bergolak, lalu sebuah kepala ikan bertotol hitam muncul dan disusul badannya yang panjang gemuk. Ferdinand dengan sigap menyauk tangkapan pertama kami hari ini. ”Ini ikan trout70. Wah hari yang baik. Biasanya Ferdinand yang dapat duluan,” kata Mado bertepuk-tepuk tangan. ”Nanti kita akan masak langsung biar kalian tahu daging ikan terbaik itu adalah pada musim dingin seperti ini. Dagingnya hangat, kenyal, dan tidak ada rasa lumpur, beda dengan ikan yang kita tangkap selama musim panas.” Akhirnya setelah duduk tiga jam, masing-masing kami mendapatkan ikan dengan ukuran yang lebih kecil dari tangkapan Mado pertama. 70Jenis ikan air tawar yang banyak ditemukan di daerah beriklim dingin seperti Amerika Utara.


381 Resep trout Mado sungguh membikin penasaran. Ikan belum diangkat dari oven, tapi hidungku sudah kembang-kempis membaui aromanya. Tidak lama kemudian Mado berteriak, ”À table.”71 Bagai anak kelaparan, kami bertiga segera berebut duduk di sekeliling meja makan. Badan ikan yang padat dan berminyak ditaburi berbagai daun rempah itu benar-benar membuat air liurku menitik. Belum lagi Mado mengucapkan ”bon appétit”72, kami sudah menyantap hidangan hangat ini ditemani brokoli dan kentang tumbuk halus. Dengan mulut masih penuh makanan, aku mengacungkan jempol ke arah Mado. Irisan lemon kuning dan taburan lada merah menambah kesegaran daging ikan ini. ”Très delicieux. Sungguh sedap,” kataku di antara kunyahan. ”Tentunya, ini memang resep turun-temurun keluarga saya,” kata Mado sambil menambahkan sebongkah daging trout lagi ke piringku. Sambil makan kami sibuk membahas berbagai pengalaman memancing yang pernah kami lakukan. Mado dan Ferdinand bercerita bahwa mereka sejak muda memang hobi memancing. ”Pengalaman kami yang paling berkesan, pernah mendapat ikan bass sepanjang ini,” kata Mado merentangkan tangannya lebar-lebar. ”Kalau saya malah pernah bisa menangkap ikan salmon tanpa pancing. Ketika itu kami rombongan pramuka 71Ungkapan Prancis untuk menyatakan hidangan sudah siap untuk dimakan. 72Selamat makan.


382 menemukan sebuah sungai yang setengah mengering dan ada beberapa ikan di sana.” Aku tidak mau kalah. ”Saya dulu suka memancing belut sawah dengan pancing buatan sendiri. Caranya mirip ice fishing.” ”Wow, belut? Mirip ular, kan?” teriak Mado dengan wajah bergidik. ”Apa persamaannya dengan ice fishing?” tanya Ferdinand penasaran. Aku mulai bercerita. Punggung Franc aku tepuk setiap aku butuh terjemahan yang pas dalam bahasa Prancis. ”Ketika masih SD, saya dan anak-anak kampung di pinggiran Danau Maninjau dulu suka memancing belut. Kalau di sini lokasi memancing adalah danau beku, di sana tempat memancing belut adalah hamparan sawah yang masih belum kering airnya. Memancing belut adalah seni menemukan lubang sarang belut dekat pematang sawah. ”Alat pancingnya kami bikin sendiri. Jadi bukan yang seperti ini,” kataku sambil menunjuk joran pancing kami yang masih tersampir dekat pintu. ”Caranya saya membakar sebuah jarum jahit besar yang biasa dipakai menjahit kasur. Setelah jarum ini membara, saya bengkokkan dengan palu atau tang. Jadilah mata pancing. Tali senarnya juga karya sendiri dengan bahan dasar tali rafia.” Aku memeragakan cara membuat tali senar di meja. ”Tali ini kami pilin-pilin di atas paha sampai mengeras. Supaya tidak menyakiti kulit paha, biasanya paha kami lumasi dengan beberapa semprotan air ludah.”


383 ”Apa, ludah?” tanya Mado dengan ekspresi muka yang berubah. Aku mengangguk tanpa ragu. Sebagai penggemar memancing, para pendengarku semakin tertarik. ”Lubang belut biasanya berisi air dan dekat dengan batas air. Ada saja teman yang salah memilih lubang, ternyata itu sarang ketam sawah, atau yang gawat adalah sarang ular sawah.” ”Mon Dieu. Ya Tuhan...,” kata Mado sambil menutup mulut dengan kedua tangannya. ”Sarang belut umumnya kecil saja, sebesar jempol atau telunjuk. Begitu lubang kami temukan, cacing tanah kami cantolkan di mata pancing. Sebelum dimasukkan ke lubang, mata pancing kami ludahi ... cuh... cuh... cuh....” ”Kenapa meludah lagi?” tanya Mado mengernyitkan kening. Aku juga bingung kenapa. Aku jawab asal saja, ”Biar cacing terasa lebih enak bagi belut. Pancing saya masukkan ke lubang sambil diputar-putar. Pada saat yang sama, jari telunjuk kita jentik-jentikkan ke air sawah. Dan mulut harus seperti ini...” Aku mempertontonkan mulut dan lidah yang mengeluarkan bunyi suara berdecak, ck… ck.... Tiga orang Kanada ini saling lirik sambil tersenyum bingung. Mungkin heran dengan teknik pancing belutku. ”Nah yang mendebarkan adalah masa belut akan menyerang. Kami tahu kapan umpan akan disambar karena selalu ada tanda-tandanya sebelumnya…”


Click to View FlipBook Version