Media Dan Kritik Sosial
Penulis
Husein Al Fataah
Editor
Husein Al Fataah
Cover
Husein Al Fataah
Dosen Pembimbing
Abu Amar Bustomi, M.Si
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2021
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................................................... 3
KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... 4
MEDIA DAN MASYARAKAT ...................................................................................................... 5
A. Pengertian Media................................................................................................................. 5
B. Pengertian Masyarakat........................................................................................................ 5
C. Media dan Masyarakat ........................................................................................................ 6
D. Posisi Media Dalam Masyarkat........................................................................................... 7
MEDIA DAN KONTROL SOSIAL.............................................................................................. 10
A. Karakteristik Media .......................................................................................................... 10
B. Pengertian Kontrol Sosial.................................................................................................. 10
C. Jenis Jenis Cara Pengendalian Sosial................................................................................ 11
D. Cara Melakukan Kontrol Sosial........................................................................................ 12
E. Media Sebagai Kontrol Sosial............................................................................................ 13
MEDIA DAN RUANG PUBLIK................................................................................................... 15
A. Pengertian Ruang Publik................................................................................................... 15
B. Hubungan Media dan Ruang Publik................................................................................. 16
FAKTA DAN OPINI ..................................................................................................................... 18
A. Pengertian Fakta................................................................................................................ 18
B. Pengertian Opini ................................................................................................................ 18
C. Perbedaan Fakta dan Opini............................................................................................... 19
D. Contoh Kalimat Fakta ....................................................................................................... 19
E. Contoh Kalimat Opini ....................................................................................................... 20
PERS: DEFINISI, SEJARAH, ASAS KODE ETIK, TEORI, SISTEM, KEBEBASAN DAN
KONFLIK...................................................................................................................................... 21
A. Definisi Pers ....................................................................................................................... 21
B. Sejarah Pers ....................................................................................................................... 22
C. Asas Kode Etik................................................................................................................... 27
D. Teori Pers ............................................................................................................................ 28
E. Sistem Pers.......................................................................................................................... 30
F. Kebebasan dan Konflik........................................................................................................ 31
MEDIA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI DAN POLITIK ...................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................... 38
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis mohonkan kepada Tuhan yang maha Esa Allah
SWT karena hanya atas rahmat dan karunia-nya sehingga “minibook” ini dapat selesai,
Minibook ini adalah suatu ringkasan materi yang ada pada mata kuliah Media dan Kritik Sosial
Program Ilmu Komunikasi Semester 5 Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya yang
berdasar pada tugas-tugas yang telah penulis kerjakan sebelumnya. Karya ini dibuat agar dapat
menjadi media yang membantu pembaca memahami tentang media & kritik sosial yang
bersumber pada mata kuliah penulis. Terima kasih kepada bapak Amar Bustomi, M.Si, sebagai
dosen pengampu mata kuliah ini. Akhir kata untuk penyempurnaan buku ini, maka kritik dan
saran dari pembaca sangatlah berguna untuk penulis kedepannya. Semoga buku ini dapat
bermanfaat.
MEDIA DAN MASYARAKAT
A. Pengertian Media
Pengertian media secara istilah dapat kita simak beberapa pendapat para ahli
diantaranya; Wilbur Schram berpendapat bahwa media adalah “Information carying
technologies that can be used for instruction……. The media instruction, consequently are
extensions of the teacher”. Menurutnya media adalah teknologi pembawa pesan yang
dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Jadi media adalah perluasan dari guru1.
Pengertian yang dikemukakannya tidak jauh beda dengan pengertian yang
dikemukakan oleh Asociation of Education Comunication Technology (AECT), yang
mana media diartikan dengan segala bentuk dan saluran yang dapat dipergunakan untuk
proses penyalur pesan. Dari kedua pendapat tersebut dapat dipahami bahwa media adalah
berkaitan dengan perantara yang berfungsi menyalurkan pesan dan informasi dari sumber
yang akan diterima oleh si penerima pesan2.
Media massa merupakan sarana menyebarkan informasi kepada masyarakat,
menurut Bungin (2006:72) media massa diartikan sebagai media komunikasi dan
informasi yang melakukan penyebaran informasi secara masal dan dapat diakses oleh
masyarakat banyak, ditinjau dari segi makna, media massa merupakan alat atau sarana
untuk menyebarluaskan isi berita, opini, komentar, hiburan, dan lain sebagainya3.
Menurut Cangara, media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk
menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak, sedangkan pengertian media
massa sendiri alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada
khalayak dengan menggunakan alat-alat komunikasi seperti surat kabar, film, radio dan
televisi (Canggara, 2010:123,126)4.
B. Pengertian Masyarakat
Definisi Masyarakat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti
“sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yg mereka
anggap sama” sedangkan menurut Paul B Horton dan C. Hunt masyarakat merupakan
kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup
1 Oleh Nunu Mahnun, “(Kajian terhadap Langkah-langkah Pemilihan Media dan Implementasinya dalam
Pembelajaran)” 37, no. 1 (2012): 9.
2 Ibid.
3 Dedi Kusuma Habibie, “Dwi Fungsi Media Massa,” Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi 7, no. 2 (December 28,
2018): 79–86.
4 Ibid.
lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan
sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut. Masyarakat
(yang diterjemahkan dari istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk
sebuah sistem semi tertutup atau sebaliknya, dimana kebanyakan interaksi adalah antara
individu-individu yang terdapat dalam kelompok tersebut5.
Kata "masyarakat" berakar dari bahasa Arab, musyarakah. Arti yang lebih luasnya,
sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas.
Masyarakat adalah sebuah kelompok atau komunitas yang interdependen atau individu
yang saling bergantung antara yang satu dengan lainnya. Pada umumnya sebutan
masyarakat dipakai untuk mengacu sekelompok individu yang hidup bersama dalam satu
komunitas yang teratur6.
Syaikh Taqyuddin An-Nabhani seorang pakar sosiologi menjabarkan tentang
definisi masyarakat, "sekelompok manusia bisa disebut sebagai suatu masyarakat apabila
mempunyai pemikiran, perasaan, serta sistem atau aturan yang sama". Dengan kesamaan
itu, manusia lalu berhubungan saling berinteraksi antara sesama mereka berdasarkan
kepentingan bersama. Masyarakat sering dikelompokkan berdasarkan cara utamanya
dalam mencari penghasilan atau kebutuhan hidup. Beberapa ahli ilmu sosial
mengelompokkan masyarakat sebagai: masyarakat pastoral nomadis, masyarakat
pemburu, masyarakat bercocoktanam, dan masyarakat agrikultural intensif disebut juga
sebagai masyarakat peradaban7.
C. Media dan Masyarakat
Media audio visual terutama televisi tidak bisa dilepaskan dari denyut nadi
kehidupan masyarakat karena efeknya yang banyak mempengaruhi perilaku pemirsa.
Kalau ada pertanyaan seberapa jauh pengaruh media terhadap perilaku? Maka jawabannya
akan sulit, meski ada beberapa penelitian yang telah mencoba menggali hubungan antara
tayangan media dengan perilaku masyarakat, tidak semua mampu mengungkap dengan
5 Suwari Akhmaddhian & Anthon Fathanudien, “Partisipasi Masyarakat Dalam Mewujudkan Kuningan Sebagai
Kabupaten Konservasi (Studi Di Kabupaten Kuningan),” UNIFIKASI : Jurnal Ilmu Hukum 2, no. 1 (March 6, 2015),
accessed December 29, 2021, https://journal.uniku.ac.id/index.php/unifikasi/article/view/26.
6 Ibid.
7 Ibid.
gamblang hubungan tersebut akan tetapi yang pasti program-program tersebut
mempengaruhi perilaku manusia8.
Media mencerminkan keadaan suatu masyarakat, artinya bahwa realitas yang ada
dalam masyarakat kemudian dikonstruksi kembali ke dalam media dengan cara yang
berbeda sesuai dengan kapasitas, struktur kelembagaan dan ideologi media. Semua elemen
tersebut berpadu dan membentuk gambaran tayangan yang hadir ke hadapan publik.
Tidaklah mengherankan jika satu event/kejadian yang sama seperti bencana alam,
kecelakaan dan kegiatan seremoni bisa dihadirkan secara berbeda. Ini disebabkan karena
media mengambilnya dari sudut (angle) yang berbeda dan dipersepsikan secara berbeda
pula. Bagaimanapun warna sebuah berita setidaknya ditentukan oleh wartawan di
lapangan, redaktur, kebijakan redaksional, visi dan ideologi media. Elemen tersebut
merupakan bagian tak terpisahkan dari proses produksi pesan baik pada media cetak
maupun elektronik9.
Perkembangan teknologi telah menempatkan komunikasi di garis depan dari
sebuah perubahan sosial. Dalam konteks ini perubahan dan dinamika dalam suatu
masyarakat dipengaruhi oleh proses komunikasi lintas wilayah dan budaya. Komunikasi
mempengaruhi pola perilaku, gaya hidup, cara pandang, dan tatanan sosial masyarakat.
Seiring globalisasi, dinamika kehidupan manusia modern melingkupi pergerakan manusia,
barang atau gagasan di antara negara dan akselerasi wilayah. Ada empat dimensi pokok
globalisasi yang saat ini dapat kita jadikan acuan menggali hubungan ekonomi dan kapital;
media, informasi dan teknologi komunikasi, imigrasi dalam skala besar, produksi
kebudayaan dan konsumerisme10.
D. Posisi Media Dalam Masyarkat
Posisi media menjadi penting seiring dengan hadirnya banyak media di tengah
masyarakat. Kehadiran media tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat baik
di daerah perkotaan maupun pedesaan. Kondisi dari setiap media dewasa ini, terutama
setelah hadirnya media sosial sangat memperluas cakupan komunikasi manusia. Untuk
lebih jelasnya tentang posisi media, berikut penjelasannya.
8 Hamdani Thaha, “MEDIA MASSA DAN MASYARAKAT,” AL TAJDID 1, no. 1 (2009), accessed December 29,
2021, https://ejournal.iainpalopo.ac.id/index.php/tajdid/article/view/570.
9 Ibid.
10 Ibid.
Media Cetak, Koran, sekian tahun lalu keberadaan koran dianggap segera
berakhir. Jika dapat bertahan setelah adanya televisi, koran dinilai tidak akan banyak
berpengaruh lagi. Pandangan ini memiliki alasan, karena banyak koran di kota-kota
besar terpaksa gulung tikar. Namun sejak 1970-an, koran terbukti mampu bertahan,
meskipun prosesnya memang tidak mudah.
Sekalipun sebagian koran terbesar gagal bertahan, koran-koran yang mampu
menyajikan pelayanan baru, khususnya di daerah pinggir kota berhasil menyelamatkan
diri. Majalah, sama halnya dengan koran, majalah juga harus berusaha keras menyesuaikan
diri dengan kondisi-kondisi baru. Majalah yang mampu bertahan umumnya adalah yang
bersifat khusus, misalnya majalah khusus wisata, olahraga, hobi perahu layar,
penggemar acara televisi atau berita-berita ilmiah..
Kedua, Media Siran. Radio semakin terdesak oleh televisi, namun masih memiliki
banyak penggemar. Kecendrungannya adalah jangkauan siaran radio semakin sempit
sehingga yang paling mampu bertahan adalah radio-radio yang hanya melayani suatu
wilayah kecil saja. Tantangannya tidak kalah dari yang dihadapi oleh koran dan
majalah, namun radio terbantu oleh penemuan transistor yang membuatnya jauh lebih
ringkas.
Media siaran juga terdiri dari televisi. Televisi merupakan media baru setelah
hadirnya radio. Masyarakat lebih menikmati acara yang disiarkan oleh televisi
dibandingkan media lainnya sebab dengan televisi, masyarakat dapat melihat dan
mendengar perstiwa yang disampaikan. Berdasarkan dua jenis media massa tersebut
setiap media memiliki sejarah dan karakteristik yang berbeda sehingga baik media
cetak ataupun siaran sangat dibutuhkan sebagai sarana komunikasi massa.
Perkembangan media massa tentu saja mengalami pasang surut, namun para pengelola
media tidak tinggal diam ketika media yang dikelola mengalami penurunan peminat,
karena semakin berkembanganya suatu teknologi dan kemampuan manusia dalam
menciptakan inovasi untuk berkomunikasi, kini selain media cetak dan media siaran,
produk media massa pun berkembang pada media online.
Sejak awal khalayak media adalah masyarakat luas secara keseluruhan, bukan
hanya kalangan tertentu. Pengelola media di Indonesia hingga kini masih terus
mengembangkan kemampuannya dalam upaya menghadapi dunia baru dan
menyediakan program-program unggulan yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, serta dapat bersaing satu sama lain11.
11 Husnul Khatimah, “POSISI DAN PERAN MEDIA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT,” TASÂMUH 16, no. 1
(December 1, 2018): 119–138.
MEDIA DAN KONTROL SOSIAL
A. Karakteristik Media
Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber
ke penerima dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis seperti surat kabar, film,
radio dan televisi. Adapun karakteristik media massa menurut Hafied Cangara (1998: 134-
135) adalah12:
1. Bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media terdiri dari banyak
orang, yakni mulai dari pengumpulan, pengelolaan sampai pada penyajian
informasi.
2. Bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang memungkinkan
terjadinya dialog antara pengirim dan penerima. Kalau toh terjadi reaksi atau
umpan balik, biasanya memerlukan waktu dan tertunda.
3. Meluas dan serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu dan jarak,
karena ia memiliki kecepatan bergerak secara luas dan simultan, dimana
informasi yang disampaikan diterima oleh banyak orang pada saat yang sama.
4. Memakai peralatan teknis atau mekanis, seperti radio, televisi, film dan
semacamnya.
5. Bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan dimana
saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin, dan suku bangsa. Jadi, media massa
adalah industri dan teknologi komunikasi yang mencakup surat kabar,
majalah, radio, televisi dan film. Istilah ‘massa’ mengacu pada kemampuan
teknologi komunikasi untuk mengirimkan pesan melalu ruang dan waktu dan
menjangkau banyak orang.
B. Pengertian Kontrol Sosial
Kontrol sosial adalah merupakan suatu mekanisme untuk mencegah penyimpangan
sosial serta mengajak dan mengarahkan masyarakat untuk berperilaku dan bersikap sesuai
norma dan nilai yang berlaku. Dengan adanya kontrol sosial yang baik diharapkan mampu
meluruskan anggota masyarakat yang berperilaku menyimpang / membangkang. Manusia
dalam kehidupannya akan selalu berinteraksi dengan manusia lainnya. Dalam berinteraksi
tersebut adakalanya timbul masalah, misalnya terjadi salah paham lalu berkelahi. Untuk
menciptakan keseimbangan sosial tersebut diperlukan upaya menghilangkan
12 Thaha, “MEDIA MASSA DAN MASYARAKAT.”
penyimpangan-penyimpangan social. Berikut ini beberapa definisi tentang kontrol sosial
atau pengendalian sosial. Menurut menurut para ahli yaitu13:
1. Roucek (2001: h.19) mengemukakan bahwa Pengendalian Sosial adalah suatu
istilah kolektif yang mengacu pada proses terencana dimana individu
dianjurkan, dibujuk, ataupun dipaksa untuk menyesuaikan diri pada kebiasaan
dan nilai hidup suatu kelompok. Secara umum dapat disimpulkan bahwa upaya
untuk mewujudkan kondisi seimbang didalam masyarakat disebut pengendalian
sosial ( Social Control).
2. Bruce J. Cohen (2002: h.19) Pengendalian sosial adalah cara-cara atau metode
yang digunakan untuk mendorong seseorang agar berperilaku selaras dengan
kehendak kelompok atau masyarakat luas tertentu.
3. Horton (2000: h.13) Pengendalian sosial adalah segenap cara dan proses yang
ditempuh oleh sekelompok orang atau masyarakat, sehingga para anggotanya
dapat bertindak sesuai harapan kelompok atau masyarakat.
4. Peter L. Berger (2003: h.25) Pengendalian sosial adalah berbagai cara yang
digunakan oleh masyarakat untuk menertibkan anggota-anggotanya
membangkang.
5. Soetandyo Wignyo Subroto (2005: h.13) Pengendalian sosial adalah sanksi,
yaitu suatu bentuk penderitaan yang secara sengaja diberikan oleh masyarakat.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengendalian sosial adalah
proses yang digunakan oleh seseorang atau kelompok untuk memengaruhi, mengajak,
bahkan memaksa individu atau masyarakat agar berperilaku sesuai dengan norma dan
nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, sehingga tercipta ketertiban di masyarakat.
C. Jenis Jenis Cara Pengendalian Sosial
Berikut ini adalah cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan sosial
masyarakat menurut Bruce J. Cohen (2002: h.21-26)14:
1. Pengendalian lisan (pengendalian sosial persuasif) Pengendalian lisan diberikan
dengan menggunakan bahasa lisan guna mengajak anggota kelompok sosial
untuk mengikuti peraturan yang berlaku.
13 NIM : 10C202010043 SRI MULIANA, “KONTROL SOSIAL TERHADAP KENAKALAN REMAJA DI KOMPLEK ADB
KECAMATAN MEUREUBO KABUPATEN ACEH BARAT” (skripsi, Universitas Teuku Umar Meulaboh, 2015),
accessed December 29, 2021, http://utu.ac.id/.
14 Ibid.
2. Pengendalian simbolik (pengendalian sosial persuasif) Pengendalian simbolik
merupakan pengendalian yang dilakukan dengan melalui gambar, tulisan, iklan,
dan lain-lain. Contoh : Spanduk, poster, Rambu Lalu Lintas, dll.
3. Pengendalian kekerasan (pengendalian koersif) Pengendalian melalui cara-cara
kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk membuat si pelanggar
jera dan membuatnya tidak berani melakukan kesalahan yang sama. Contoh
seperti main hakim sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang semua
anggota masyarakat bersedia mentaati aturan yang berlaku, hampir bisa
dipastikan kehidupan bermasyarakat akan bisa berlangsung dengan lancar dan
tertib.
Tetapi, berharap semua anggota masyarakat bisa berperilaku selalu taat, tentu
merupakan hal yang mahal. Di dalam kenyataan, tentu tidak semua orang akan selalu
bersedia dan bisa memenuhi ketentuan atau aturan yang berlaku dan bahkan tidak jarang
ada orang-orang tertentu yang sengaja melanggar aturan yang berlaku untuk kepentingan
pribadi atau kelompoknya
D. Cara Melakukan Kontrol Sosial
Menurut Horton (2000: h.33) Pengendalian sosial dapat dilaksanakan dengan
beberapa cara antara lain, melalui15:
1. Sosialisasi Sosialisasi dilakukan agar anggota masyarkat bertingkah laku seperti
yang diharapkan tanpa paksaan. Usaha penanaman pengertian tentang nilai dan
norma kepada anggota masyarakat diberikan melakui jalur formal dan informal
secara rutin.
2. Tekanan Sosial Tekanan sosial perlu dilakukan agar masyarakat sadar dan mau
menyesuaikan diri dengan aturan kelompok. Masyarakat dapat memberi sanksi
kepada orang yang melanggar aturan kelompok tersebut. Pengendalian sosial
pada kelompok primer (kelompok masyarkat kecil yang sifatnya akrab dan
informal seperti keluarga, kelompok bermain) biasanya bersifat informal,
spontan, dan tidak direncanakan, biasanya berupa ejekan, menertawakan,
pergunjingan (gosip) dan pengasingan. Pengendalian sosial yang diberikan
kepada kelompok sekunder (kelompok masyarkat yang lebih besar yang tidak
bersifat pribadi (impersonal) dan mempunyai tujuan yang khusus seperti serikat
15 Ibid.
buruh, perkumpulan seniman, dan perkumpulan wartawan ) lebih bersifat
formal. Alat pengendalian sosial berupa peraturan resmi dan tata cara yang
standar, kenaikan pangkat, pemberian gelar, imbalan dan hadiah dan sanksi
serta hukuman formal.
3. Kekuatan dan kekuasaan dalam bentuk peraturan hukum dan hukuman formal
Kekuatan dan kekuasaan akan dilakukan jika cara sosialisasi dan tekanan sosial
gagal. Keadaan itu terpaksa dipergunakan pada setiap masyarakat untuk
mengarahkan tingkah laku dalam menyesuaikan diri dengan nilai dan norma
sosial.
E. Media Sebagai Kontrol Sosial
Pasca era reformasi, muncul revolusi informasi sebagai akibat euforia jurnalisme
seiring lahirnya regulasi di bidang kebebasan pers sebagaimana adanya Undang-undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun di sisi lain, akibat perkembangan masyarakat
dan kian pesatnya kemajuan teknologi telah menimbulkan persoalan hukum karena
sebagian regulasi media belum ada pengaturannya, padahal hukum mengatur untuk
menyelesaikan persoalan yang mengemuka.
Adanya teknologi informasi ketika internet menjadi medium baru pada bulan
Januari 1998, karena saat Matt Drudge mempublikasikan bahwa Newsweek telah
menyembunyikan berita kasus Presiden Bill Clinton dengan Monica Lewinsky di Gedung
Putih sehingga pamor internet sebagai sumber berita meningkat. Secara umum, media
massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.
Hal ini seperti dirumuskan dalam Pasal 3 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang No. 40 Tahun
1999 tentang Pers, yaitu Fungsi Pers Nasional adalah sebagai media informasi, pendidikan,
hiburan dan kontrol sosial, serta dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
Fungsi kontrol sosial dari pers tersebut selanjutnya dijelaskan dalam Penjelasan
Umum Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang antara lain dinyatakan,
pers yang mana juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula untuk mencegah
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun akan
penyelewengan dan penyimpangan lainnya. Berdasarkan perumusan fungsi pers atau media
massa dalam UndangUndang Pers di atas dapat diketahui bahwa fungsi dari pers atau media
massa adalah sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.
Pemanfaatan media massa dalam penanggulangan tindak pidana korupsi contohnya, fungsi
media massa di sini terutama sebagai media informasi dan kontrol sosial16.
Penulis dapat mengemukakan bahwa dalam pemanfaatan media massa baik cetak
maupun elektronik, kaitannya untuk penanggulangan tindak pidana, salah satu contohnya
tindak pidana korupsi, antara lain berupa17:
1. Informasi atau berita-berita aktual dari berbagai isu yang berkaitan dengan
praktik-praktik korupsi.
2. Pengungkapan dan peliputan kasus-kasus korupsi dan modus operandi dari
praktik-praktik korupsi.
3. Mengangkat berbagai berita korupsi di berbagai level pemerintahan dan
lembaga penegak hukum secara objektif.
4. Pemberitaan penanganan akan tindak pidana korupsi oleh penegak hukum sejak
penyidikan, penuntutan, pengadilan dan pemasyarakatan.
Fungsi kontrol sosial media massa terkait dengan penanggulangan tindak pidana
korupsi disini antara lain dapat berupa pemantauan terhadap pengungkapan kasus-kasus
korupsi yang ditangani oleh penegak hukum yang dimulai sejak penyidikan, penuntutan,
pengadilan dan pemasyarakatan.
16 Ariesta Wibisono Anditya, “Penanaman Nilai-Nilai Pancasila Melalui Kontrol Sosial Oleh Media Massa Untuk
Menekan Kejahatan Di Indonesia,” Nurani Hukum 3, no. 1 (September 2, 2020): 30–45.
17 Ibid.
MEDIA DAN RUANG PUBLIK
A. Pengertian Ruang Publik
Menurut Habermas ruang publik adalah ruang di mana warganegara bisa
berunding mengenai hubungan bersama mereka. Sehingga ruang publik merupakan
sebuah arena institusi untuk berinteraksi pada hal-hal yang berbeda. Arena ini secara
konseptual berbeda dengan negara, yaitu tempat untuk melakukan produksi dan
sirkulasi diskursus yang bisa secara prinsip kebhinekaan di era New Mediahoaks
sebagai ancamanPemerintah sebagai pelaksana masyarakat teknologi sebagai sarana
hukum sebagai penjaga demokrasi Sebagai ruang merupakan hal yang sangat penting
bagi negara (Wilkins, 2000).
Selain itu, ruang publik secara konseptual juga berbeda dengan ekonomi ,
yaitu bukan sebagai tempat untuk hubungan pasar seperti penjualan dan pembelian,
tetapi merupakan tempat untuk hubungan-hubungan yang berbeda-beda dan menjadi
tempat untuk melakukan perdebatan dan permusyawaratan. Menurut Habermas, dalam
ruang publik "private persons"bergabung untuk mendiskusikan hal-hal yang menjadi
perhatian publik atau kepentingan bersama (Kadarsih, 2008).
Ruang publik ini ditujukan sebagai mediasi antara masyarakat dan negara. Di sini
ruang publik dikonotasikan sebagai tempat untuk diskusi mengenai hal-hal rasional
yang tak terbatas mengenai hal-hal yang bersifat umum. Hasil dari diskusi
merupakan opini publik yang menjadi konsensus mengenai kebaikan bersama.
Singkatnya, public sphereberarti sebuah ruang yang menjadi mediasi antara masyarakat
dimana publik mengatur dan mengorganisirnya sendiri sebagai pemilik opini
publik(Supraja, 2018).
Dalam praktiknya pada ruang publik harusnya terjadi sebuah rasionalitas
komunikasi, rasionalitas tersebut yang akan menjadi dasar terciptanya konsensus
publik. Sehingga konsensus tersebut memunculkan demokrasi deliberatif.
Demokrasi yang berdasarkanpada prinsip rasionalitas dan menghargai pendapat
orang lain (Hardiman, 2004).Penelitian sejenis mengenai ruang publik telah dilakukan
dari berbagai perpektif. Di antaranya seperti penelitian berjudul; DEMOKRASI
DALAM RUANG PUBLIK: Sebuah Pemikiran Ulang untuk Media Massa di
Indonesia.Penelitian ini menggunakan pendekatan studi pustaka, dan memiliki asumsi
bahwa media massa telah gagal menjalankan perannya sebagai ruang dalam menciptakan
demokrasi deliberatif (Kadarsih, 2008). Kepentingan pasar dan target rating
membuat media melupakan prinsip-prinsip utama dalam perannya sebagai ruang
publik.Selain itu penelitian mengenai bagaimana cara kerja ruang publik juga telah
dilakukan.
Penelitian berjudul Gerakan Sosial Baru di Ruang Publik Virtual pada Kasus
Satinah memiliki hasil yang menarik. Bahwasanya ruang virtual telah mampu menjadi
ruang publik bagi masyarakat untuk mempertahankan diri serta melakukan perlawanan
melalui aktivitas kolektif warga yang digerakkan oleh aktor-aktor tertentu. Gerakan
tersebut dalam platform media sosial yang beragam mulai dari Twitter, Facebook,
hingga YouTube18.
B. Hubungan Media dan Ruang Publik
Ruang publik ini ditujukan sebagai mediasi antara masyarakat dan negara. Di sini
ruang publik dikonotasikan sebagai tempat untuk diskusi mengenai hal-hal rasional
yang tak terbatas mengenai hal-hal yang bersifat umum. Hasil dari diskusi
merupakan opini publik yang menjadi konsensus mengenai kebaikan bersama.
Singkatnya, public sphereberarti sebuah ruang yang menjadi mediasi antara
masyarakat dimana publik mengatur dan mengorganisirnya sendiri sebagai pemilik opini
publik(Supraja, 2018). Dalam praktiknya pada ruang publik harusnya terjadi sebuah
rasionalitas komunikasi, rasionalitas tersebut yang akan menjadi dasar terciptanya
konsensus publik. Sehingga konsensus tersebut memunculkan demokrasi deliberatif.
Demokrasi yang berdasarkanpada prinsip rasionalitas dan menghargai pendapat
orang lain (Hardiman, 2004).Penelitian sejenis mengenai ruang publik telah dilakukan
dari berbagai perpektif.
Di antaranya seperti penelitian berjudul; DEMOKRASI DALAM RUANG
PUBLIK: Sebuah Pemikiran Ulang untuk Media Massa di Indonesia.Penelitian ini
menggunakan pendekatan studi pustaka, dan memiliki asumsi bahwa media massa telah
gagal menjalankan perannya sebagai ruang dalam menciptakan demokrasi deliberatif
(Kadarsih, 2008). Kepentingan pasar dan target rating membuat media melupakan
prinsip-prinsip utama dalam perannya sebagai ruang publik.Selain itu penelitian
mengenai bagaimana cara kerja ruang publik juga telah dilakukan. Penelitian
berjudul Gerakan Sosial Baru di Ruang Publik Virtualpada Kasus Satinah memiliki
18 Prihatin Dwihantoro, Moch Imron Rosyidi, and Aftina Nurul Husna, “MENAKAR NEW MEDIA SEBAGAI RUANG
PUBLIK DALAM KONTEKS KEBHINEKAAN DI MAGELANG,” PAWITRA KOMUNIKA : Jurnal Komunikasi dan Sosial
Humaniora 1, no. 2 (December 31, 2020): 156–165.
hasil yang menarik. Bahwasanya ruang virtual telah mampu menjadi ruang publik bagi
masyarakat untuk mempertahankan diri serta melakukan perlawanan melalui aktivitas
kolektif warga yang digerakkan oleh aktor-aktor tertentu. Gerakan tersebut dalam
platform media sosial yang beragam mulai dariTwitter, Facebook, hingga
YouTube. Didalam ruang tersebut publik melakukan kampanye dalam mendukung Satinah
atas kasus hukumnya (Sari & Siahainenia, 2015)19.
19 Ibid.
FAKTA DAN OPINI
A. Pengertian Fakta
Fakta adalah hal atau keadaan peristiwa yang merupakan kenyataan sesuatu yang
benar-benar terjadi. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) (Depdiknas,
2008:386). Dalam bahasa Indonesia, fakta adalah pernyataan yang tak terbantahkan
kebenarannya. Pernyataan itu berupa kalimat yang ditulis berdasarkan kenyataan,
peristiwa, atau keadaan yang benar-benar terjadi secara objektif. Objektif berarti dapat
ditangkap oleh indra dan mengandung kepastian20. Fakta adalah hal (peristiwa atau
keadaan) yang merupakan kenyataan atau sesuatu yang benar ada atau terjadi21.
B. Pengertian Opini
Opini Publik Menurut Arifin (2010:5) opini publik terdiri dari kata yakni opini dan
publik.Opini berasal dari opinion di bahasa Inggris yang mempunyai pendapat. Kata
publik dalam bahasa Inggris adalah public yang apabila dibahasakan ke bahasa Indonesia
memiliki beberapa pengertian. Jika dirangkaikan dengan yakni publik opinion maka kata
tersebut berarti pendapat umum atau opini publik22.
Tulisan opini menuntut perhatian pada hubungan logis. Hal ini menunjukkan
bahwa susunan tulisan seperti itu sedikit lebih rumit dari pada bentuk-bentuk lain yang
diperbincangkan. Opini adalah pandangan atas suatu peristiwa, pikiran atau pandangan
yang terjadi dalam kehidupan masyrakat (Dalman, 2013: 61). Opini adalah pernyataan
atau pemikiran yang berisi pendapat. Opini juga merupakan hasil anggapan, pemikiran,
atau perkiraan orang, baik secara individu maupun kelompok. Namun, opini bukan sesuatu
yang mangada-ada atau khayal. Sumber opini adalah fakta, hasil pemikiran itu sangat
dipengaruhi unsur pribadi yang sangat subjektif23.
20 Sulami Sibua and Fariana Iskandar, “KEMAMPUAN MENGIDENTIFIKASI FAKTA DAN OPINI DALAM TEKS
SURAT KABAR MELALUI KEGIATAN MEMBACA INTENSIF SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 4 KOTA TERNATE,”
EDUKASI 14, no. 1 (November 3, 2016), accessed November 23, 2021,
http://ejournal.unkhair.ac.id/index.php/edu/article/view/179.
21 N. F. N. Sakila, “PEMBELAJARAN MEMBEDAKAN FAKTA DAN OPINI IKLAN SURAT KABAR BAGI SISWA SMP,”
Mlangun: Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesastraan 15, no. 2 (November 9, 2019): 191–210.
22 Ilham Albar Pane et al., “Peran Netizen Dalam Membentuk Opini Publik (Studi Kasus Pada Siswa SMKN 4
Bekasi)” (n.d.): 7.
23 Sibua and Iskandar, “KEMAMPUAN MENGIDENTIFIKASI FAKTA DAN OPINI DALAM TEKS SURAT KABAR
MELALUI KEGIATAN MEMBACA INTENSIF SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 4 KOTA TERNATE.”
C. Perbedaan Fakta dan Opini
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Depdiknas, (2008:386) fakta adalah
hal atau keadaan peristiwa yang merupakan kenyataan sesuatu yang benar-benar terjadi,
sedangkan opini adalah pendapat, pikiran, peristiwa. Di samping itu, (Hassanuddin, 2003)
dalam Ensiklopedi Sastra Indonesia juga mengatakan fakta adalah peristiwa yang benar-
benar ada yang harus diterima sebagai kenyataan karena semuanya itu benar-benar
dijumpai dalam kehidupan nyata. Sedangkan opini merupakan pendapat seseorang.24
Perbedaan antara Fakta dan Opini menurut Darmawati (2010, hlm.81) adalah Fakta
suatu hal atau kejadian yang merupakan sebuah kenyataan atau sesuatu yang benar-benar
terjadi. Fakta memiliki bentuk yang jelas seperti foto, gambar, tabel, statistic, peristiwa
dan grafik. Sedangkan opini merupakan suatu pemikiran, anggapan, argument, perkiraan,
buah pikiran dan memiliki bentuk berupa kritik, saran, nasihan, dan harapan25.
Fakta adalah hal atau peristiwa yang benar –benar ada atau terjadi dan bisa
dibuktikan kebenarannya. Informasi juga dapat disebut dengan fakta apabila
informasi itu merupakan peristiwa yang berupa kenyataan yang benar –benar ada
dan terjadi.Opini merupakan suatu pemikiran, perkiraan, atau tanggapan tentang
sesuatu hal. Opini adalah pendapat seseorang tentang suatu yang belum tentu
kebenarannya. Informasi disebut opini karena informasi tersebut masih berupa
pendapat, pikiran, tanggapan, pandangan, dan pendirian seseorang. Opini merupakan
persatuan(sintesis) pendapat –pendapat yang sedikit banyak orang baik setuju
maupun tidak setuju26.
D. Contoh Kalimat Fakta
1. Sudah dua kali terjadi kenaikan harga beras selama era pemerintahan Joko Widodo-
Jusuf Kala. Yang pertama terjadi pada tahun 2015 dan awal 2018. Kedua peristiwa
tersebut diatasi dengan cara operasi pasar dengan beras impor.
2. Terhitung sejak dibentuk pada 2004, sudah ribuan kasus korupsi diungkap KPK.
Hingga Mei 2008, ada 1.047 kasus korupsi yang diselidiki.
24 Rina Sartika, Emidar Emidar, and Ermawati Arief, “Kemampuan Membedakan Kalimat Fakta Dan Opini
Melalui Kegiatan Membaca Intensif Siswa Kelas X SMK-SMAK Padang,” Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia 1, no. 2 (2013): 201–208.
25 Sakila, “PEMBELAJARAN MEMBEDAKAN FAKTA DAN OPINI IKLAN SURAT KABAR BAGI SISWA SMP.”
26 Desni Yuliet, “Implementasi Metode Tanya Jawab Dalam Meningkatkan Kemampuan Membedakan Antara
Fakta Dan Opini Dalam Teks Iklan,” Jurnal Daya Saing 3, no. 3 (October 15, 2017): 295–301.
3. Sebelumya, pembangunan jalur Bandar Tinggi-Kuala Tanjung sempat terhenti pada
2016 dikarenakan kendala teknis lapangan. Namun, setelah masalah teknis
terselesaikan, pembangunan kembali dilanjutkan27.
E. Contoh Kalimat Opini
1. Disisi lain, Mendag menilai beras impor diperlukan untuk berjaga-jaga andai
produksi petani didalam negeri tahun ini meleset dari target.
2. Pakar hukum dari UIN Syarif Hidayahtullah, mengatakan banyak pelaku
rasuah yang terjerat KPK dengan melibatkan keluarga pejabat.
3. Buwas menganggap beras impor tidak diperlukan karena stok beras didalam
negeri mencukupi28.
27 Ammi Setyawati, “PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN
DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2018” (n.d.): 14.
28 Ibid.
PERS: DEFINISI, SEJARAH, ASAS KODE ETIK, TEORI,
SISTEM, KEBEBASAN DAN KONFLIK
A. Definisi Pers
Pers adalah institusi sosial, sebagai lembaga kemasyarakatan – pers merupakan
subsistem kemasyarakatan tempat ia berada bersama dengan subsistem lainnya.
Dengan demikian maka pers tidaklah hidup secara mandiri, tetapi dipengaruhi oleh
lembaga kemasyarakatan lain29.
Pers sendiri dalam undang-undang pers didefinisikan sebagai, Pers adalah lembaga
sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi
baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun
dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala
jenis saluran yang tersedia30.
Melalui definisi pers diatas, bisa dikatakan berbagai jenis pers yang hidup di
Indonesia saat ini semuanya dilindungi oleh Undang-undang Pers. Terminologi “media
cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia” menjadi semacam penanda
bahwa yang dilindungi oleh Undang-undang Pers tidak hanya pers dalam bentuk cetak
semata, namun juga pers untuk media penyiaran dalam hal ini televisi dan radio, serta pers
dalam media online. Berpijak dari hal ini, kita bisa mengelaborasi pula bahwa kebebasan
pers yang menjadi spirit dari undang-undang ini juga berlaku untuk ketiga platform media.
Undang-undang Pers secara lugas menyatakan bahwa kebebasan pers adalah bagian dari
hak asasi manusia yang harus dijamin. Hal ini bisa dilihat dalam pasal demi pasal di dalam
Undang-undang Pers yang secara tersirat maupun tersurat menguraikan mengenai hal
tersebut. Pertama, hal ini termaktub dalam pasal 2 yang menyatakan “kemerdekaan pers
adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi,
keadilan, dan supremasi hukum.”31.
Pers umumnya tunduk pada sistem pers yang berlaku dimana sistem itu hidup,
sementara sistem pers itu sendiri tunduk pada sistem politik pemer- intahan yang ada.
Bersama dengan lembaga kema- syarakatan lainnya, pers berada dalam keterikatan
29 Inge Hutagalung, “Dinamika Sistem Pers Di Indonesia,” Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi 2, no. 2 (July 1,
2013): 156–163.
30 Mufti Nurlatifah, “POSISI UNDANG-UNDANG PERS INDONESIA DALAM EKOSISTEM MEDIA DIGITAL,” Profetik:
Jurnal Komunikasi 11, no. 1 (April 29, 2018): 71–85.
31 Ibid.
organisasi yang bernama negara, oleh karenanya pers dipengaruhi bahkan ditentukan oleh
falsafah dansistem politik negara dimana pers itu berada. Singkatkata, perkembangan dan
pertumbuhan pers tidaklah dapat dipisahkan dari perkembangan dan pertumbu- han sistem
politik dimana pers itu berada, dan meru- pakan subsistem sistem politik yang ada32.
B. Sejarah Pers
Pers di Indonesia mulai berkembang jauh hari sebelum negara Indonesia
diproklamasikan. Pers telah dipergunakan oleh para pendiri bangsa sebagai alat
perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan. Sejak pertengahan abad ke 18, orang-orang
Belanda mulai memperkenalkan penerbitan surat kabar di Indonesia. Penguasa kolonial
mengekang pertumbuhan pers (sistem pers otoriter), meskipun penerbitnya terdiri dari
orang-orang Belanda sendiri. Tetapi surat kabar yang tumbuh pada akhir abad ke 19 hingga
awal abad berikutnya, juga merupakan sarana pendidikan dan latihan bagi orang-orang
Indonesia yang memperoleh pekerjaan di dalamnya (Said, 1988).
Surat kabar pertama di Indonesia adalah Bata- viase Nouvelles (Agustus 1744-Juni
1746), disusul kemudian Bataviasche Courant (1817), Bataviasche Advertentieblad (1827).
Pada tahun 1855 di Sura- karta terbit surat kabar pertama dalam bahasa Jawa, bernama
Bromartani. Surat kabar berbahasa Melayu yang pertama adalah Soerat Kabar Bahasa
Melajoe, terbit di Surabaya pada tahun 1956. kemudian lahir surat kabar Soerat Chabar
Betawie (1958), Selompret Melajoe (Semarang, 1860), Bintang Timoer (Suraba- ya, 1862),
Djoeroe Martani (Surakarta 1864), dan Bi- ang Lala (Jakarta, 1867). Perkembangan pers di
masa penjajahan sejak pertengahan abad ke 19 ternyata telah dapat menggugah
cendekiawan Indonesia untuk menyerap budaya pers dan memanfaatkan media ce- tak
sebagai sarana membangkitkan dan menggerak- kan kesadaran bangsa (Surjomihardjo,
2002:25-31). Dalam proses selanjutnya, terjadilah pembauran antara pengasuh pers dan
masyarakat yang mulai ter- organisasi dalam klub-klub studi, lembaga-lembaga sosial,
badan-badan kebudayaan, bahkan gerakan- gerakan politik. Wartawan menjadi tokoh
pergerakan, atau sebaliknya tokoh pergerakan menerbitkan pers. Sejak lahirnya Budi
Utomo pada bulan mei 1908, pers merupakan sarana komunikasi yang utama untuk
menumbuhkan kesadaran nasional dan meluaskan ke- bangkitan bangsa Indonesia. Pada
gilirannya proses tersebut mengukuhkan gerakan mencapai kemerdekaan. Lahirlah surat-
su- rat kabar dan majalah seperti Benih Merdeka, Sora Ra’jat Merdika, Fikiran Ra’jat,
32 Hutagalung, “Dinamika Sistem Pers Di Indonesia.”
Daulat Ra’jat, Soeara Oemoem, dan sebagainya, serta organisasi Persatoean Djoernalis
Indonesia (1933) adalah tanda-tanda me- ningkatnya perjuangan kemerdekaan di
lingkungan wartawan dan pers nasional sebagai bagian dari per- juangan nasional secara
keseluruhan (Smith, 1983:74, Surjomihardjo, 2002: 76-102). 2.2.
Masa Kemerdekaan Antara awal kemerdekaan dan sepanjang masa Demokrasi
Terpimpin, hingga menjelang Orde Baru tahun 1966, kehidupan politik, terutama dunia
kepar- taian, sangat berpengaruh terhadap perkembangan pers nasional. Pola pertentangan
antara kelompok pemerintah dan kelompok oposisi dalam dunia kepar- taian juga
ditumbuhkan dalam dunia pers, sehingga timbul di satu pihak pers pendukung pemerintah
(te- patnya prokabinet) dan di lain pihak pers oposisi . Konfigurasi sikap dan kedudukan
pers berubah seiring dengan terjadinya perubahan konfigurasi poli- tik kepartaian dan
pemerintahan. Bahkan sebagian pers memilih pola pers bebas seperti di negara lib- eral,
dengan kadar kebebasan dan persepsi tanggung jawab yang banyak ditentukan oleh
wartawan secara individualis. Muncul nama seperti Rosihan Anwar, Mochtar Lubis, B.M
Diah, yang ikut berjuang den- gan pena dan tulisan untuk ’membakar’ semangat juang
bangsa Indonesia dalam meraih dan mengisi kemerdekaan. Buat Mochtar Lubis dan
kawan2 saat itu, berjuang bukan hanya mengangkat senjata atau- pun aktif dalam
kepartaian, namun memberikan wawasan, pencerahan, informasi mengenai Indone- sia
Merdeka adalah juga bagian dari perjuangan ke- merdekaan bangsa. Kondisi pers nasional
ini berlaku dalam masa perjuangan mempertahan kemerdekaan antara tahun 1945-1949,
dan dalam masa pemerin- tahan parlementer antara tahun 1950-1959. Ekses dari kondisi
ini adalah penodaan terhadap kebebasan pers (Hamad, 2004:62-63). Meskipun sistem
parlementer telah terkubur, sejak keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang
memberlakukan kembali UUD 1945, pola perten- tangan partai masih bertahan. Pada masa
Demokrasi Terpimpin tersebut, wartawan Indonesia umumnya, dan Persatuan Wartawan
Indonesia (didirikan pada tanggal 9 Pebruari 1946) khususnya, tetap berpegang teguh pada
dasar negara Pancasila dan UUD 1945 (Surjomihardjo, 2002:181-183). 2.3.
Masa Orde Baru Orde Baru bangkit sebagai puncak kemenangan atas rezim
Demokrasi Terpimpin yang pada hakikat- nya telah dimulai sejak tahun 1964 tatkala
kekuatan Pancasila, termasuk pers, mengadakan perlawanan terbuka terhadap ofensif
golongan PKI melalui jalur Manipolisasi dan Nasakomisasi. Kehancuran G30S/ PKI
merupakan awal ’pembenahan’ kehidupan nasio- nal, pembinaan di bidang pers dilakukan
secara siste- matis dan terarah. Pada masa ini produk perundangan pertama ten- tang pers
adalah UU no 11 tahun 1966. Pengembangan pers nasional lebih lanjut diwujudkan dengan
men- gundangkan UU no 21 tahun 1982 sebagai penyem- purnaan UU no 11/1966.
Penciptaan lembaga Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) mencerminkan usaha nyata
ke arah pelaksanaan kebebasan pers yang dikendalikan oleh pemerintah atau kebebasan
pers yang bertanggung jawab pada pemerintah, suatu bentuk pengadopsian terhadap teori
pers otoriter (Ha- mad, 2004:63). Pada era Soeharto, pers dinyatakan sebagai sa- lah satu
media pendukung keberhasilan pembangunan. Bentuk dan isi pers Indonesia perlu
mencerminkan bentuk dan isi pembangunan. Kepentingan pers nasio- nal perlu
mencerminkan kepentingan pembangunan nasional. Hingga timbul istilah : pers
pembangunan. Dari kenyataan ini terlihat bahwa pers Indonesia ti- dak mempunyai
kebebasan karena pers harus men- dukung program pemerintah Orde Baru. Pers sang- at
tidak diharapkan memuat pemberitaan yang dapat ditafsirkan bertentangan dengan
program pemerintah Orde baru. Tanggung jawab pers bukan pada masy- arakat melainkan
pada penguasa Orde Baru. Lebih lanjut, pers tidak hanya dijadikan seba- gai saluran
propaganda untuk mempertahankan he- gemoni kekuasaan dan kepentingan status quo.
Pers juga berfungsi sebagai alat represi. Salah satu contoh kasus adalah yang
dialami oleh Partai Rakyat Demo- kratik, pada sekitar peristiwa penyerbuan kantor DPP
PDI tanggal 27 Juli 1996, dimana pihak pemerintah/ militer menggunakan momentum
tersebut untuk me- mukul gerakan pro-demokrasi. Terkait peristiwa ini, hampir semua
media massa harus memuat berita dan statemen petinggi militer untuk meneror kesadaran
para aktivis dan simpatisan PRD – melalui isu makar, isu komunis, dan lainnya.
Pemberitaan tersebut mem- punyai efek yang bisa jadi lebih buruk dibandingkan
pengejaran, penangkapan, dan pemenjaraan. Akibat- nya, sebagian anggota PRD menjadi
patah semangat, ketakutan, trauma, tertekan, dan lainnya – para kelu- arga melarang anak-
anaknya untuk terus aktif, dan para kerabat menjadi takut berhubungan. Teror media
mempunyai akibat lebih luas karena penyebarannya yang begitu masif, dan bisa berakibat
buruk karena langsung menghantam kesadaran (Budiman Sudjat- miko dalam Pers Dalam
Revolusi Mei, 2000:250).
Implikasi intervensi kepentingan pemerintah juga berakibat buruk pada
independensi media. Saat itu, tidak ada satupun pers yang mempunyai sikap independen
dan kritis terhadap pemerintah, karena dengan berbagai cara pemerintah selalu berupaya
mengontrol pers secara represif. Pemerintah tidak hanya mempraktekkan ’budaya telepon’
untuk men- teror kebebasan, tetapi juga melakukan pembreide- lan penerbitan,
pemberhentian pasokan kertas koran hingga menghilangkan nyawa wartawan - merupakan
konsekwensi yang harus ditanggung manakala pers menulis pemberitaan yang mengkritik
ataupun ber- tentangan dengan kebijakan pemerintahan. Pembre- idelan dianggap sangat
riskan dan berbahaya oleh pihak pengelola pers mengingat investasi industri media
memiliki tingkat kapitalisasi modal yang besar (Hamad, 2004:64). Selama Orde Baru
disamping media pemerin- tah, TVRI dan RRI, semua media yang ada diupay- akan agar
tidak hanya menjadi ‘patner’ pemerintah dalam pembangunan, tetapi juga sebagai
instrumen hegemoni. Pers oleh penguasa diposisikan sebagai apparatus persuasif atau
ideological state appara- tus untuk kepentingan pemeliharaan dan reproduksi struktur
politik otoritarian yang telah dibangun. In- strumen ini diharapkan mampu membuat setiap
war- ga negara menempatkan diri dalam horizon pemikiran rezim Orde Baru. (Hidayat,
2000:149). Tidak adanya kebebasan berpendapat dan ke- bebesan pers membuat media di
Indonesia pada rezim Orde Baru tidak pernah berhasil mengangkat dirinya sebagai pilar
keempat demokrasi. Satu hal lainnya adalah struktur organisasi media itu sendiri – sebagai
corong bagi kepentingan pemilik modal dan kelom- pok usahanya – mau tidak mau
membuat media harus tunduk kepada aturan main di dalam perusahaan yang kerap
mencerminkan ketergantungan antara pemi- liknya dan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru menganggap pers yang bebas akan dapat mengganggu
stabilitas negara, ke- amanan dan kepentingan umum, sehingga laju kebe- basannya harus
dikontrol dengan ketat. Maka lahirlah perlakuan represif negara terhadap pers sepanjang
sejarah Orde Baru. Media tidak mungkin bisa men- gatakan sesuatu sesuai dengan
kenyataan yang terjadi. Media harus mengutip keterangan resmi pemerintah dalam
mengangkat suatu peliputan yang sangat poli- tis, atau sama sekali tidak mengangkatnya.
Pencabu- tan SIUPP dan “budaya telepon” oleh pejabat mem- buat media ciut nyali
dan akhirnya percaya bahwa iklim keterbukaan seperti yang dijanjikan Soeharto melalui
pidato kenegaraan Agustus 1990 hanya seke- dar jargon pemerintah. Sungguh ironis,
ditengah cengkraman kuat rezim Soeharto dalam gerak pers di Indonesia, tanpa dis- adari
– Soeharto telah menanam benih yang dituainya bulan Mei 1998, dengan melakukan
pencabutan izin terbit (SIUPP) tiga terbitan yaitu TEMPO, EDITOR dan DETIK pada
tahun 1994. Tanpa diprediksi se- belumnya, dengan membungkamkan tiga terbitan legal
tersebut, muncullah terbitan bawah tanah yang kapasitasnya untuk mengkritik pemerintah
jauh lebih besar daripada terbitan ‘jalur tengah’ yang dihilan- gkan. Juga dengan
membreidel ketiga terbitan yang disegani ini, telah menciptakan solidaritas kalangan
menengah, buruh, intelektual, serta kaum pemodal yang kesemuanya bersatu padu, dan
pada akhirnya menolak kelangsungan pemerintahan Orde Baru. 2.4.
Era Reformasi Pada tahun 1998, lahir gerakan reformasi ter- hadap rezim Orde
Baru. Keberhasilan gerakan ini, melahirkan peraturan perundangan-perundangan sebagai
pengganti peraturan perundangan yang me- nyimpang dari nilai-nilai Pancasila, UU no 40
tahun 1999 merupakan salah satu contoh. Sejak sistem poli- tik Indonesia mengundangkan
UU no 40 tahun 1999, secara normatif, pers Indonesia telah menganut teori pers
tanggungjawab sosial (kebebasan pers yang bertanggung jawab pada
masyarakat/kepentingan umum). Berbeda dengan UU no 11 tahun 1966 jun- cto UU no 21
tahun 1982 yang memberi kewenangan pada pemerintah untuk mengontrol sistem pers, UU
no 40 tahun 1999 memberi kewenangan kontrol ke- pada masyarakat. Penanda itu terletak
antara lain pada pasal 15 dan 17 UU no 40 tahun 1999 (Hamad, 2004:66). UU Pokok Pers
no 40/1999 sebenarnya telah memberi landasan yang kuat bagi perwujudan kemer- dekaan
pers di Indonesia. Pembatasan jumlah Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), praktek
yang lazim di era Soeharto, praktis sudah tidak ada lagi. Jika dihubungkan dengan teori
media normatif maka keadaan pers Indonesia dimasa era reformasi saat ini adalah
gambaran dari a liberal-pluralis or marked model, dimana isu-isu yang diliput oleh pers
semakin beragam.
Banyak bermunculan penerbitan baru baik dalam bentuk tabloid, majalah, surat
kabar. Dari po- litik, ekonomi sampai yang berbau pornografi. Kua- litas penerbitannyapun
beragam, dari yang bermutu lumayan hingga yang berkualitas ’sampah’. Peningkatan
kuantitas media belum disertai dengan perbaikan kualitas jurnalismenya. Banyak media
yang hanya menjual gosip alias desas desus dengan warna pemberitaan yang kental
keberpihakan atau penyudutan kepada suatu golongan/partai ter- tentu maupun individu.
Pemberitaan sering dilakukan tanpa didukung fakta yang kuat, selain hanya potong- an-
potongan komentar yang tidak seimbang dari hasil wawancara yang kurang mendalam. Jika
kenyataan ini dikaitkan dengan model teori normatif jelas bahwa rasa tanggung jawab
sosial me- dia belumlah nampak. Karena disadari atau tidak, jur- nalisme media yang buruk
kualitas pemberitaannya dapat menjadi sumber penyebab dari penyakit/ma- salah sosial
yang di hadapi oleh masyarakat, seperti peningkatan masalah kriminal, kekerasaan,
penyim- pangan sexual (homoseksual, paedophilia, pelacu- ran), tumbuhnya sikap
individualistik, terbentuknya virtual society, dan lainnya. Tampaknya media di Indonesia
masih terbius dengan eforia kebebasannya, dan lebih memilih ke- pentingan komersial
yang cenderung mengutama- kan keuntungan, dimana aspek kriminalitas, gosip, dan seks
lebih mengandung nilai pasar dibandingkan menjalankan tanggung jawab sosial dalam
penyam- paian informasi dan pencerahan publik sebagai kon- sekuensi hubungan media
dengan masyarakat, walau- pun iklim regulasi sudah membaik dan kondusif. Tak kurang
Yin pun mengulas dalam artikelnya Beyond The Four Theories Of The Press: A New Mo-
del For The Asian & The World Press (2008), bahwa sistem pers di Indonesia pada era
reformasi termasuk sistem pers bebas dan tidak bertanggung jawab, yai- tu bahwa sistem
pers di Indonesia benar-benar telah begitu bebas, sehingga gagal untuk mengedepankan
prinsip-prinsip dasar jurnalistik, dan tidak punya pe- ran positif dalam masyarakat. Banyak
media yang melanggar prinsip dasar jurnalistik, yaitu dalam me- nyampaikan kebenaran.
Sistem pers didikte oleh ke- kuatan pasar, isinya cenderung sensasional, kurang
penghargaan pada etika, banyak kekerasan dan por- nografi, berita bohong dan provokatif,
pembunuhan karakter, wartawan amplop, maupun iklan yang me- nyesatkan. Pers kerap
dipakai sebagai kepentingan politik pribadi ataupun kelompok tertentu. Hal ini sebagai
dampak pemusatan kepemilikan media pada segelintir orang33.
C. Asas Kode Etik
Kode Etik Jurnalistik yang lahir pada 14 Maret 2006, oleh
gabungan organisasi pers dan ditetapkan sebagai Kode Etik Jurnalistik baru yang berlaku
secara nasional melalui keputusan Dewan Pers No 03/ SK-DP/ III/2006 tanggal 24 Maret
2006, misalnya, sedikitnya mengandung empat asas, yaitu:
1. Asas Demokratis
Demokratis berarti berita harus disiarkan secara berimbang dan
independen, selain itu, Pers wajib melayani hak jawab dan hak koreksi, dan pers
harus mengutamakan kepentingan public. Asas demokratis ini juga tercermin
dari pasal 11 yang mengharuskan, Wartawan Indonesia melayani hak jawab
dan hak koreksi secara proposional. Sebab, dengan adanya hak jawab dan hak
koreksi ini, pers tidak boleh menzalimi pihak manapun. Semua pihak yang
terlibat harus diberikan kesempatan untuk menyatakan pandangan dan
pendapatnya, tentu secara proposional.
2. Asas Profesionalitas
Secara sederhana, pengertian asas ini adalah wartawan Indonesia harus
menguasai profesinya, baik dari segi teknis maupun filosofinya. Misalnya Pers
harus membuat, menyiarkan, dan menghasilkan berita yang akurat dan
33 Ibid.
factual. Dengan demikian, wartawan indonesia terampil secara teknis, bersikap
sesuai norma yang berlaku, dan paham terhadap nilai-nilai filosofi profesinya.
Hal lain yang ditekankan kepada wartawan dan pers dalam asas ini adalah harus
menunjukkan identitas kepada narasumber, dilarang melakukan plagiat, tidak
mencampurkan fakta dan opini, menguji informasi yang didapat, menghargai
ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record, serta pers
harus segera mencabut, meralat dan memperbaiki berita yang tidak akurat
dengan permohonan maaf.
3. Asas Moralitas
Sebagai sebuah lembaga, media massa atau pers dapat memberikan
dampak sosial yang sangat luas terhadap tata nilai, kehidupan, dan penghidupan
masyarakat luas yang mengandalkan kepercayaan. Kode Etik Jurnalistik
menyadari pentingnya sebuah moral dalam menjalankan kegiatan profesi
wartawan. Untuk itu, wartawan yang tidak dilandasi oleh moralitas tinggi,
secara langsung sudah melanggar asas Kode Etik Jurnalistik. Hal-hal yang
berkaitan dengan asas moralitas antara lain Wartawan tidak menerima
suap, Wartawan tidak menyalahgunakan profesi, tidak merendahkan orang
miskin dan orang cacat (Jiwa maupun fisik), tidak menulis dan menyiarkan
berita berdasarkan diskriminasi SARA dan gender, tidak menyebut identitas
korban kesusilaan, tidak menyebut identitas korban dan pelaku kejahatan anak-
anak, dan segera meminta maaf terhadap pembuatan dan penyiaran berita yang
tidak akurat atau keliru.
4. Asas Supremasi Hukum
Dalam hal ini, wartawan bukanlah profesi yang kebal dari hukum yang
berlaku. Untuk itu, wartawan dituntut untuk patuh dan tunduk kepada hukum
yang berlaku. Dalam memberitakan sesuatu wartawan juga diwajibkan
menghormati asas praduga tak bersalah34.
D. Teori Pers
Sistem pers dunia telah dipetakan sebagai hasil kajian Fred S. Siebert, Theodore
Peterson dan Wilbur Schramm dalam buku Empat Teori Pers (1986), yang
mengkategorikan teori-teori pers di dunia dalam empat teori pers, yaitu: teori pers otoriter,
34 Sukardi. Wina Armada. 2007. Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers. Jakarta: Dewan Pers.
teori pers bebas, teori pers bertanggungjawab sosial dan teori pers komunis Soviet. Tesis
”Empat Teori Pers” mengasumsikan bahwa pers selalu mengambil bentuk dan warna
struktur-struktur sosial politik di mana pers itu beroperasi. Untuk melihat perbedaan dan
perspektif di mana pers berfungsi, harus dilihat asumsi-asumsi dasar yang dimiliki
masyarakat itu mengenai: hakikat manusia, hakikat masyarakat dan negara, hubungan
antara manusia dan negara, hakikat pengetahuan dan kebenaran. Pada akhirnya, perbedaan
antara sistem pers merupakan perbedaan filsafat yang mendasarinya. 38 Teori pers otoriter,
diakui sebagai teori pers paling tua, berasal dari abad ke-16, berasal dari falsafah
kenegaraan yang membela kekuasaan absolut.
Penetapan tentang “hal-hal yang benar” dipercayakan hanya kepada segelintir
“orang bijaksana” yang mampu memimpin. Jadi, pada dasarnya, pendekatan dilakukan dari
atas ke bawah. Pers harus mendukung kebijakan pemerintah dan mengabdi kepada negara.
Para penerbit diawasi melalui paten-paten, izin-izin terbit dan sensor. Konsep ini
menetapkan pola asli bagi sebagian besar sistem-sistem pers nasional dunia, dan masih
bertahan sampai sekarang. Sebagian besar dunia selama beberapa periode telah menerima
prinsip-prinsip dasar otoritarianisme sebagai pedoman tindakan–tindakan sosial, dan telah
dipakai dalam pengawasan, pengaturan dan penggunaan media komunikasi massa.
Walaupun teori otoriter telah dibuang di banyak negara demokratis, tetapi praktik-praktik
otoritarian cenderung mempengaruhi proses demokrasi. Bahkan, praktek otoritarian hampir
memaksa pemerintah libertarian mengambil langkah-langkah balasan beberapa aspek tidak
dapat dibedakan dengan cara-cara otoritarian. Teori pers libertarian atau teori pers bebas
merupakan teori pers kedua. Teori ini mencapai puncaknya pada abad ke 19, manusia
dipandang sebagai makhluk rasional yang dapat membedakan antara yang benar dan tidak
benar.
Pers harus menjadi mitra dalam upaya pencarian kebenaran. Kemudian berkembang
pandangan dalam teori ini, pers perlu mengawasi pemerintah. Dari sini atribut pers sebagai
”the fourth estate” setelah kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif menjadi umum
diterima dalam teori pers libertarian. Oleh karenanya, pers harus bebas dari pengaruh dan
kendali pemerintah. Dalam upaya mencari kebenaran, semua gagasan harus memiliki
kesempatan yang sama untuk dikembangkan, sehingga yang benar dan dapat dipercaya
akan bertahan, sedangkan yang sebaliknya akan lenyap. Teori ini paling banyak memberi
landasan kebebasan yang tak terbatas kepada pers.
Disini pers bebas paling banyak memberi informasi, hiburan dan tirasnya naik,
namun pers bebas juga paling sedikit berbuat kebajikan menurut ukuran umum dan sedikit
mengadakan kontrol terhadap pemerintah (Hikmat Kusumaningrat, 2006). Dalam
perusahaan pers yang menganut teori pers bebas, sebagian besar aturan yang ada hanyalah
untuk menciptakan keuntungan berupa materi bagi pemilik modal. Pers jenis ini cenderung
kurang sekali tertarik pada soal-soal bagi kepentingan masyarakat. Dua teori lainnya, social
responsibility theory (teori pers bertanggungjawab sosial) dan Soviet communist theory
(teori pers komunis Soviet) dipandang sebagai modifikasi yang diturunkan dari kedua teori
sebelumnya.
Teori pers bertanggung jawab sosial dijabarkan berdasarkan asumsi bahwa prinsip-
prinsip teori pers libertarian terlalu menyederhanakan persoalan. Dalam pers bebas, para
pemilik dan para operator pers yang terutama menentukan fakta-fakta apa saja yang boleh
disiarkan kepada publik (fungsi gatekeeper) dan dalam versi apa (fungsi framing berita).
Teori pers libertarian tidak berhasil memahami masalah-masalah proses kebebasan internal
dan proses konsentrasi pers. Teori pers bertanggungjawab sosial yang ingin mengatasi
kontradiksi antara kebebasan media massa dan tanggungjawab sosial. Rumusan ini dimuat
dalam laporan Commission on the Freedom, 1949, dengan ketua Robert Hutchins35.
E. Sistem Pers
Secara teoritis sistem pers yang dianut di Indonesia adalah sistem pers Tanggung
Jawab Sosial. Pemikiran dasar teori ini sebagai berikut (Peterson, 1986:83), bahwa
kebebasan, mengandung di dalamnya suatu tanggungjawab yang sepadan; dan pers, yang
telah menikmati kedudukan terhormat dalam pemerintahan Amerika Serikat, harus
bertanggungjawab kepada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi penting
komunikasi massa dalam masyarakat modern. Asal saja pers tahu tanggung-jawabnya dan
menjadikan itu landasan operasional mereka.
Di Indonesia, landasan konstitusi yang dipakai adalah pasal 28 UUD 1945 yang
berbunyi Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Dengan mengacu pada pasal
tersebut, secara nyata kebebasan pers mendapat jaminan yang cukup kuat untuk
melaksanakan fungsinya, yaitu (1) melayani sistem politik dengan menyediakan ruang
diskusi bagi masyarakat untuk berdebat terutama dalam masalah kebijakan publik, (2)
menjadi anjing penjaga dan hak-hak perorangan warga negara (control sosial), dan (3)
35 Djoko Waluyo, “MAKNA JURNALISME DALAM ERA DIGITAL : SUATU PELUANG DAN TRANSFORMASI,”
Diakom : Jurnal Media dan Komunikasi 1, no. 1 (October 22, 2018): 33–42.
membiaya finansial secara mandiri (Peterson, 1986:84). Kontrol sosial yang dimaksud
bahwa pers memposisikan sebagai kakuatan keempat (four estate) untuk mengontrol
lembaga-lembaga politik lain yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif dalam menjalankan
fungsinya. Jika ada penyelewengan yang dilakukan oleh ke tiga lembaga tersebut maka
pers akan mengontrol lewat pemberitaan dan pada akhirnya publik akan tahu dan ikut
berpartisipasi dalam proses keputusan suatu kebijakan lewat diskusi di media.
Selanjutnya secara operasional pers harus dapat menghidupi diri sendiri tanpa
meminta bantuan kepada pemerintah. Ini diperlukan untuk menghindari tekanan-tekanan
dari pihak pemerintah untuk melaksanakan tugas tersebut pers Indonesia mempunyai
Undang-Undang (UU) yang dijadikan landasan operasionalnya yaitu UU tentang pers.
Hingga sekarang, sudah tiga kali UU tentang pers mengalami revisi, yaitu UU No. 11
Tahun 1966. Kemudian direvisi dengan UU No. 21. Tahun 1982, dan terakhir direvisi
dengan munculnya UU. No. 40 Tahun 1999. Disamping itu ada beberapa keputusan menteri
dan peraturan pemerintah. Dalam UU pers (UU. No. 11/1966 maupun UU. No. 21/1982)
disebutkan secara jelas fungsi pers di Indonesia.
Diantaranya, disebutkan dalam pasal 2 ayat 2 point c, bahwa tugas pers
memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas dasar kebebasan pers yang
bertanggungjawab. Pasal-pasal lainnya juga mengatur aturan pers dalam berinteraksi
dengan pihak lain, misalnya tentang penggunaan hak jawab bagi pihak yang dirugikan,
tidak dikenal istilah bredel dan mekanisme yang dilakukan jika pers melakukan
pelanggaran36.
F. Kebebasan dan Konflik
Suatu sistem pers diciptakan justru untuk menentukan bagaimana sebaiknya pers
tersebut dapat melaksanakan kebebasan dan tanggung jawabnya. Di Indonesia, sistem
kebebasan pers itu sendiri adalah merupakan bagian dari suatu sistem yang lebih besar,
ialah sistem kemerdekaan untuk “mengeluarkan pikiran lisan dan tulisan”, sebagaimana
tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945. Di negara barat disebut “freedom of expression”
Kebebasan berpendapat sangat dihargai di alam demokrasi, karena kebebasan berpendapat
ini merupakan hak setiap warga negara. Setiap warganegara dijamin hak-haknya untuk
menyuarakan aspirasi dan gagasannya melalui berbagai macam saluran publik, seperti
36 Abd Rasid, “POLA INTERAKSI PERS, PEMERINTAH DAN MASYARAKAT DALAM MEMBENTUK SISTEM PERS
PANCASILA:Suatu Analisis Retrospektif,” Sosiohumaniora 13, no. 2 (July 20, 2011): 189.
media massa, buku, karya seni, maupun melalui wakil-wakil rakyat yang duduk di
parlemen. Penindasan terhadap kebebasan berpendapat akan menyebabkan negara
menjadi represif dan tidak dapat dikontrol, sehingga negara akan sangat mudah melakukan
pelanggaran hak asasi manusia. Akibatnya demokrasi akan mati. Selain mengatur
kebebasan untuk berpendapat dalam pasal yang sama juga diatur tentang kebebasan untuk
membentuk organisasi. Dan pasal tersebut merupakan akar dari lahirnya sistem kebebasan
pers.
Kebebasan pers yang diharapkan pada saat itu (orla dan orba) pers bersama
pemerintah bekerjasama untuk kebaikan bersama masyarakat dan kekuasaan yang
diberikan kepada Negara tidak merugikan masyarakat. meskipun pada kenyataannya
sistem pers pada masa orde lama dan orde baru Indonesia menganut sistem pers otoriterian
dimana pers berada dibawah kontrol Negara seutuhnya dan menjadi corong pemerintah
yang berkuasa dan pers yang melakukan kontrol sosial dengan mengkritisi kebijakan
pemerintah akan dibredel dan SIUPP nya akan dibekukan. Sistem kebebasan pers memiliki
ciri-ciri diantara lain sebagai berikut:
a. Pers bebas untuk mencari, menulis, mencetak dan menyebar luaskan berita melalui
media yang bersangkutan.
b. Memperjuangkan kebenaran dan keadilan, menjadi pers yang bertanggung jawab.
c. Pers mempunyai hak kontrol, kritik, koreksi yang bersifat konstruktif.
Simorangkir mengemukakan beberapa ciri kebebasan pers adalah sebagai berikut:
a. Pers yang bebas dan bertanggung jawab.
b. Pers yang sehat.
c. Pers sebagai penyebar informasi yang obyektif.
d. Pers melakukan kontrol sosial dan kontruktif.
e. Pers sebagai penyalur aspirasi rakyat dan meluaskan komunikasi dan pastisipasi
masyarakat.
f. Terdapat interaksi positif antara pers, pemerintah dan masyarakat.
Kebebasan pers berhubungan dengan situasi politik, di Indonesia pers memperoleh
kebebasan setelah tumbangnya rezim orde baru Mei 1998 dengan ditandai dengan
penetapan UU Pers nomor 40 tahun 1999 serta UU Penyiaran nomor 32 tahun 2002, dan
terbebasnya media dari SIUPP sebagai surat sakti yang menjadi momok pada masa orde
baru. Gerakan reformasi telah membawa angin segar bagi pers yang sebelumnya selalu
berada dalam kungkungan sistem otoriter.
Memasuki era reformasi menjanjikan perubahan ke arah yang lebih baik terutama
bidang politik dan bidang ekonomi. Dibidang politik dijanjikan adanya demokratisasi,
keterbukaan, kebebasan, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan politik.
Di bidang ekonomi yakni peningkatan dan kesejahteraan masyararakat. Di Negara
demokrasi, rakyat memiliki hak untuk mengetahui segala hal mengenai dirinya dan
kejadia-kejadian di sekitarnya (the right to know) yang juga berarti hak untuk memperoleh
informasi yang lengkap dan cermat (the right to information). Sedangkan sarana untuk
mendapatkan informasi itu adalah kebebasan pers. Pers berfungsi untuk merealisasikan
kebebasan pers dengan memenuhi hak rakyat untuk mengetahui dan mengakses informasi.
Kebebasan pers sama halnya dengan kemerdekaan pers seperti yang ditetapkan
dalam UU Pers nomor 40 tahun 1999 pasal 2 “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud
kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi
hukum,” demikian juga dalam pasal 4. “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi
warga Negara.
Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau
pelarangan penyiaran. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak
mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Dalam
mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak
Tolak.” (UU Pers, Pasal 4, sub 1-4) Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa
kebebasan pers tidak lahir dengan sendirinya melainkan hasil dari perubahan sistem politik
dan sistem sosial yang terjadi dalam suatu Negara37.
37 Rahmi Rahmi, “KEBEBASAN PERS DAN DEMOKRASI DI INDONESIA,” Jurnal Komunikasi dan Kebudayaan 6,
no. 1 (April 5, 2019): 78–85.
MEDIA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI DAN POLITIK
Menurut Doyle (2002) perkembangan media massa yang liberal dan global
mencerminkan dominannya dunia struktur politik dan ekonomi, dan pemilik modal. Dalam era
globalisasi maklumat yang melanda negara-negara di dunia termasuk Indonesia muncul
kecenderungan organisasi media komunikasi yang lebih mementingkan aspek komersial.
Ketidak adilan media massa sebagai medium suara rakyat mendapat kecaman daripada
berbagai kelompok masyarakat. Pendekatan ekonomi politik pada dasarnya mengaitkan aspek
ekonomi (seperti kepemilikan dan pengendalian media), keterkaitan kepemimpinan dan faktor-
faktor lain yang menyatukan industri media dengan industri lainnya, serta dengan elit politik,
ekonomi dan sosial. Atau dalam bahasa El1iot, studi ekonomi politik media melihat bahwa isi
dan makud yang terkandung dalam dalam pesan-pesan media ditentukan oleh dasar ekonomi
dari organisasi media yang menghasilkannya. Organisasi media komersial harus memahami
kebutuhan para pengiklan dan harus menghasilkan produk yang sanggup meraih pemirsa
terbanyak (Sudibyo, A, 2000)38.
Teori ekonomi politik media fokus pada media massa dan budaya massa, dimana
keduanya dikaitkan dengan berbagai permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Teori ini
mengindentifikasi berbagai kendala atau hambatan yang dilakukan para praktisi media yang
membatasi kemampuan mereka untuk menantang kekuasaaan yang sedang mapan. Dimana
penguasa membatasi produksi konten yang dilakukan pekerja media, sehingga konten media
yang diproduksi tersebut kian memperkuat status quo. Sehingga menghambat berbagai upaya
untuk menghasilkan perubahan sosial yang konstruktif. Upaya penghambatan para pemilik
pemodal, bertolak belakang dengan teoritikus ekonomi politik ini, yang justru aktif bekerja
demi perubahan sosial.
Menurut Barant (2010:263), para teoritikus ekonomi politik menitikberatkan pada
bagaimana proses produksi konten dan distribusi dikendalikan. Kekuatan utama teori ini
terletak pada kemampuannya dalam menyodorkan gagasan yang dapat dibuktikan secara
empiris, yakni gagasan yang menyangkut kondisi pasar. Salah satu kelemahan aliran ekonomi
politik ialah unsur-unsur yang berada dalam kontrol publik tidak begitu mudah dijelaskan
dalam pengertian mekanisme kerja pasar bebas. Walaupun aliran memusatkan perhatian pada
media sebagai proses ekonomi yang menghasilkan komoditi (isi), namun aliran ini kemudian
38 Jamhur Poti, “EKONOMI POLITIK, MEDIA DAN RUANG PUBLIK,” SEMIOTIKA: Jurnal Komunikasi 13, no. 2
(January 29, 2020), accessed December 29, 2021,
https://journal.ubm.ac.id/index.php/semiotika/article/view/1945.
melahirkan ragam aliran baru yang menarik, yakni ragam aliran yang menyebutkan bahwa
media sebenarnya menciptakan khalayak dalam pengertian media mengarahkan perhatian
khalayak ke pemasang iklan dan membentuk perilaku publik media sampai pada batas-batas
tertentu.
Ekonomi politik adalah pendekatan kritik sosial yang berfokus pada hubungan antara
struktur ekonomi dan dinamika industri media dan konten ideologis media.
(McQuail,2011:105). Melihat hal ini maka institusi media merupakan sebagai bagian dari
sistem ekonomi dengan hubungan erat kepada sistem politik. Hal ini mengakibatkan
berkurangnya sumber media yang independen, konsentrasi pada khalayak yang lebih luas,
menghindari risiko, dan mengurangi penanaman modal pada tugas media yang kurang
menguntungkan. Pada sisi lainnya, media juga akan mengabaikan kepentingan khalayak
potensial yang kecil dan miskin, karena dinilai tidak menguntungkan. Kemudian pemberitaan
terhadap kelompok masyarakat minoritas, cenderung tidak seimbang. Barant (2011:250)
menyebutnya teori ekonomi politik media fokus pada penggunaan elite sosial atas kekuatan
ekonomi untuk mengeksploitasi institusi media (Sucahya.M, 2013) Chomsky seperti dikutip
oleh David Cogswell (2006) menyatakan bahawa media massa adalah sistem pasaran yang
terpimpin, didorong oleh keinginan mencari keuntungan.
Hal ini menandakan bahawa media massa tidak lagi netral. Pada era demokratik dan
liberal seperti sekarang media massa penyiaran tidak lagi dipandang sebagai kekuatan civil
society yang harus dijamin kebebasannya, disebaliknya dilihat sebagai kekuatan kapitalis,
bahkan politik elit tertentu. Kekuatan media massa itu berupaya mengkooptasi, bahkan
menghegemoni negara sehingga masyarakat. Hal inilah yang perlu dicermati secara kritis oleh
para penggiat demokratik, termasuk para wartawan. Jangan sampai kekuatan demokratik
dibelenggu atas nama kebebasan media massa untuk kepentingan politik para kapitalis
penguasa media massa. Dalam masalah pendemokrasian sistem media massa, keterbukaan
akses juga ditentukan oleh hubungan kuasa. Penggunaan kuasa dalam media massa pula
bergantung pada faktor fasilitas ekonomi maupun politik. Dalam era globalisasi maklumat
yang melanda negara-negara dunia, muncul kecenderungan bahwa organisasi media massa
lebih mementingkan aspek komersial, kepentingan politik dan pemilik modal (Giddens.A.
1993.Peter Golding & Graham Murdock (2000). Keadaan ini dapat menjadi sebagai
penghalang pendemokrasian sistem media massa. Dalam pendekatan ekonomi politik,
kepemilikan media (media ownership) mempunyai arti penting untuk melihat peran, ideologi,
konten media, dan efek yang ditimbulkan media kepada masyarakat. Karena itu pertanyaan-
pertanyaan mengenai “apakah perbedaan pemilik media akan juga berarti adanya perbedaan
pada konten media?” atau “apakah perbedaan pemilik media dapat memberikan implikasi yang
berbeda pula kepada masyarakat selaku audience media?” menjadi sangat relevan.
Menurut Giddens, sebagaimana dikutip Werner A. Meier, para pemilik media
merupakan pihak yang kuat yang belum dapat “ditundukkan” dalam demokrasi. Golding dan
Murdock melihat adanya hubungan erat antara pemilik media dengan kontrol media sebagai
sebuah hubungan tidak langsung. Bahkan pemilik media, menurut Meier, dapat memainkan
peranan yang signifikan dalam melakukan legitimasi terhadap ketidaksetaraan pendapatan
(wealth), kekuasaan (power) dan privilege.
Kepemilikan media yang bersifat kapitalistik akan dapat dijumpai jika berada pada satu
negara yang menganut sistem demokrasi, dimana campur tangan pemerintah sangat sedikit
dalam mengatur media dan pasar memegang kendali dalam semangat kapitalisme. Para
peneliti, baik liberal maupun Marxis, sama-sama sepakat bahwa analisis kepemilikan media
berhubungan erat pada kapitalisme. Kepemilikan media juga menjadi sebuah term yang selalu
dihubungkan dengan konglomerasi dan monopoli media. Dewasa ini kecenderungan industri
media sebagai alat kapitalisme menjadi semakin nyata.
Bentuknya menjadi semakin menggurita, menjangkau ke mana-mana, cenderung ingin
memonopoli dan bahkan melintasi batas negara. Tetapi kontrol pemilikannya justru makin
terkonsentrasi hanya pada beberapa orang saja. Dalam menjelaskan fenomena tersebut Peter
Gollding dan Graham Murdoch mengatakan “Media as a political and economic vehicle, tend
to be controlled by conglomerates and media barons who are becoming fewer in number but
through acquisition, controlled the larger part of the world’s mass media and mass
communication” (2000: 71).
Menurut Feintuck, regulasi penyiaraan mengatur tiga hal yakni struktur, tingkah laku,
dan isi. Regulasi struktur (structural regulation) berisi pola-pola kepemilikan media oleh pasar,
regulasi tingkah laku (behavioural regulation) dimaksudkan untuk mengatur tata-laksana
penggunaan properti dalam kaitannya dengan kompetitor, dan regulasi isi (content regulation)
yang menjadi batasan material siaran yang boleh dan tidak untuk disiarkan. Mengatur atau
membatasi pemusatan kepimilikan media massa, khususnya penyiaran yang menggunakan
ranah publik (public domain) perlu dilakukan untuk menjamin adanya keragaman kepemilikan
(diversity of ownership), keragaman isi (diversity of ownership), dan kebergaman pendapat di
media (diversity of voice). Menurut Giddens, sebagaimana dikutip Werner A. Meier, para
pemilik media merupakan pihak yang kuat yang belum dapat “ditundukkan” dalam demokrasi.
Golding dan Murdock melihat adanya hubungan erat antara pemilik media dengan kontrol
media sebagai sebuah hubungan yang tidak langsung. Perspektif ekonomi politik adalah proses
produksi berita tidak ubahnya seperti relasi ekonomi yang ditempatkan sebagai alat-alat atau
komponen yang menghasilkan keuntungan dan peningkatan modal bagi media massa. Asumsi
sederhananya adalah bahwa isi media lebih diatur oleh kekuatan-kekuatan ekonomi media39.
39 Ibid.
DAFTAR PUSTAKA
Anditya, Ariesta Wibisono. “Penanaman Nilai-Nilai Pancasila Melalui Kontrol
Sosial Oleh Media Massa Untuk Menekan Kejahatan Di Indonesia.”
Nurani Hukum 3, no. 1 (September 2, 2020): 30–45.
Dwihantoro, Prihatin, Moch Imron Rosyidi, and Aftina Nurul Husna.
“MENAKAR NEW MEDIA SEBAGAI RUANG PUBLIK DALAM
KONTEKS KEBHINEKAAN DI MAGELANG.” PAWITRA
KOMUNIKA : Jurnal Komunikasi dan Sosial Humaniora 1, no. 2
(December 31, 2020): 156–165.
Fathanudien, Suwari Akhmaddhian & Anthon. “Partisipasi Masyarakat Dalam
Mewujudkan Kuningan Sebagai Kabupaten Konservasi (Studi Di
Kabupaten Kuningan).” UNIFIKASI : Jurnal Ilmu Hukum 2, no. 1 (March
6, 2015). Accessed December 29, 2021.
https://journal.uniku.ac.id/index.php/unifikasi/article/view/26.
Habibie, Dedi Kusuma. “Dwi Fungsi Media Massa.” Interaksi: Jurnal Ilmu
Komunikasi 7, no. 2 (December 28, 2018): 79–86.
Hutagalung, Inge. “Dinamika Sistem Pers Di Indonesia.” Interaksi: Jurnal Ilmu
Komunikasi 2, no. 2 (July 1, 2013): 156–163.
Khatimah, Husnul. “POSISI DAN PERAN MEDIA DALAM KEHIDUPAN
MASYARAKAT.” TASÂMUH 16, no. 1 (December 1, 2018): 119–138.
Mahnun, Oleh Nunu. “(Kajian terhadap Langkah-langkah Pemilihan Media dan
Implementasinya dalam Pembelajaran)” 37, no. 1 (2012): 9.
Nurlatifah, Mufti. “POSISI UNDANG-UNDANG PERS INDONESIA
DALAM EKOSISTEM MEDIA DIGITAL.” Profetik: Jurnal
Komunikasi 11, no. 1 (April 29, 2018): 71–85.
Pane, Ilham Albar, Romi Syahril, Achmad Maulizal, and Ade Chitra
Permatasari. “Peran Netizen Dalam Membentuk Opini Publik (Studi
Kasus Pada Siswa SMKN 4 Bekasi)” (n.d.): 7.
Poti, Jamhur. “EKONOMI POLITIK, MEDIA DAN RUANG PUBLIK.”
SEMIOTIKA: Jurnal Komunikasi 13, no. 2 (January 29, 2020). Accessed
December 29, 2021.
https://journal.ubm.ac.id/index.php/semiotika/article/view/1945.
Rahmi, Rahmi. “KEBEBASAN PERS DAN DEMOKRASI DI INDONESIA.”
Jurnal Komunikasi dan Kebudayaan 6, no. 1 (April 5, 2019): 78–85.
Rasid, Abd. “POLA INTERAKSI PERS, PEMERINTAH DAN
MASYARAKAT DALAM MEMBENTUK SISTEM PERS
PANCASILA:Suatu Analisis Retrospektif.” Sosiohumaniora 13, no. 2
(July 20, 2011): 189.
Sakila, N. F. N. “PEMBELAJARAN MEMBEDAKAN FAKTA DAN OPINI
IKLAN SURAT KABAR BAGI SISWA SMP.” Mlangun: Jurnal Ilmiah
Kebahasaan dan Kesastraan 15, no. 2 (November 9, 2019): 191–210.
Sartika, Rina, Emidar Emidar, and Ermawati Arief. “Kemampuan Membedakan
Kalimat Fakta Dan Opini Melalui Kegiatan Membaca Intensif Siswa
Kelas X SMK-SMAK Padang.” Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia 1, no. 2 (2013): 201–208.
Setyawati, Ammi. “PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018” (n.d.): 14.
Sibua, Sulami, and Fariana Iskandar. “KEMAMPUAN MENGIDENTIFIKASI
FAKTA DAN OPINI DALAM TEKS SURAT KABAR MELALUI
KEGIATAN MEMBACA INTENSIF SISWA KELAS VIII SMP
NEGERI 4 KOTA TERNATE.” EDUKASI 14, no. 1 (November 3,
2016). Accessed November 23, 2021.
http://ejournal.unkhair.ac.id/index.php/edu/article/view/179.
SRI MULIANA, NIM : 10C202010043. “KONTROL SOSIAL TERHADAP
KENAKALAN REMAJA DI KOMPLEK ADB KECAMATAN
MEUREUBO KABUPATEN ACEH BARAT.” Skripsi, Universitas
Teuku Umar Meulaboh, 2015. Accessed December 29, 2021.
http://utu.ac.id/.
Sukardi, W. A. (2007). Keutamaan di Balik Kontroversi undang-undang pers.
Dewan Pers.
Thaha, Hamdani. “MEDIA MASSA DAN MASYARAKAT.” AL TAJDID 1,
no. 1 (2009). Accessed December 29, 2021.
https://ejournal.iainpalopo.ac.id/index.php/tajdid/article/view/570.
Waluyo, Djoko. “MAKNA JURNALISME DALAM ERA DIGITAL : SUATU
PELUANG DAN TRANSFORMASI.” Diakom : Jurnal Media dan
Komunikasi 1, no. 1 (October 22, 2018): 33–42.
Yuliet, Desni. “Implementasi Metode Tanya Jawab Dalam Meningkatkan
Kemampuan Membedakan Antara Fakta Dan Opini Dalam Teks Iklan.”
Jurnal Daya Saing 3, no. 3 (October 15, 2017): 295–301.