PENGEMBANGAN “BLISWU” UNTUK ANAK TUNANETRA
TEKNOLOGI ASISTIF
Dosen Pembimbing : Reza Febri Abadi, M.Pd
Disusun Oleh :
Asni Puspita 2287190028
Sonya Mutiara Sarah Runtu 2287190029
Salma Hervie Maharrani 2287190031
PENDIDIKAN KHUSUS
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2021
LEMBAR PENGESAHAN
PROPOSAL PENGEMBANGAN BLISWU UNTUK MEMBANTU MOBILITAS ANAK
TUNANETRA
Oleh :
Kelompok 4
Asni Puspita 2287190028
Sonya Mutiara Sarah Runtu 2287190029
Salma Hervie Maharrani 2287190031
Serang, April 2021
Menyetujui
Dosen Pembimbing Ketua Program Studi
Pendidikan Khusus
Reza Febri Abadi, M.Pd Sistriandini Alamsyah Sidik, M.Pd
NIP : 198902072018031002 NIP : 198705142015042002
1
DAFTAR ISI 1
2
LEMBAR PENGESAHAN 3
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 3
4
A. Latar Belakang 5
B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan Penelitian 5
BAB II KAJIAN TEORI 5
A. Kajian Tentang Anak Berkebutuhan Khusus 11
11
1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus 11
2. Jenis Anak Berkebutuhan Khusus 12
3. Dampak Anak Berkebutuhan Khusus 13
B. Kajian tentang Teknologi Asistif 13
1. Pengertian Teknologi Asistif 14
2. Jenis Teknologi Asistif 16
3. Manfaat Teknologi Asistif 17
C. Subjek Penelitian 17
D. Kajian Tentang Mobilitas Tunanetra 17
E. Kerangka Berpikir 17
BAB III PENGEMBANGAN MODEL INOVASI TEKNOLOGI 18
A. Analisis Kebutuhan 18
B. Tujuan Pengembangan 18
C. Rancangan Model Inovasi Yang Akan Dihasilkan 18
D. Indikator Keberhasilan iv
E. Jadwal Pelaksanaan
F. Sumber daya / pihak yang terlibat
G. Rencana Tindak Lanjut
DAFTAR PUSTAKA
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Teknologi asistif merupakan alat yang dirancang atau dimodifikasi secara langsung untuk
mendukung meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penyandang disabilitas yang
berkaitan bersama dengan Activity Daily Living (ADL) terhitung berkaitan bersama dengan
pembelajaran (akademik). Alat ini diperlukan penyandang tunanetra terlebih didalam perihal
mobilitas. Keterbatasan tunanetra dalam melakukan mobilitas mampu membawa dampak yaitu
menarik diri dari kegiatan sosial atau pergaulan masyarakat. Ia mengetahui bahwa bersama
dengan ikutnya dia di dalam kegiatan akan menyusahkan orang lain, sebab orang lain perlu
membantunya. Bahkan yang lebih ekstrim yaitu mungkin seorang tunanetra akan menarik diri
dari pergaulan kemasyarakatan.
Seluruh segi kehidupan dan kebutuhan seorang tunanetra dapat terpengaruh oleh
ketidakmampuan dan terbatasnya tunanetra melakukan mobilitas. Karena itu mobilitas
merupakan kebutuhan yang sangat penting dimiliki oleh peserta didik tunanetra sebagai suatu
keterampilan yang harus menyatu didalam diri tunanetra. Persoalannya saat ini bahwa
keterampilan melaksanakan mobilitas tidak secara otomatis dikuasai tunanetra, tapi melewati
sistem latihan yang sistematis dan kesempatan lakukan gerak serta berubah dilingkungan.
Dengan demikianlah dibutuhkan suatu bisnis berasal dari lingkungan untuk beri tambahan
pelayanan yang mengarah kepada bisnis untuk menghilangkan batas-batas yang mengakibatkan
keterbatasan terhadap tunanetra. Oleh karena itu penulis ingin merancang sebuah alat yang
dinamakan “Bliswu” guna membantu tunanetra dalam orientasi dan mobilitas. Keberfungsian
alat yakni bisa mengantisipasi tunanetra untuk menghindari benda yang dihadapannya dengan
mengeluarkan bunyi pada tongkat serta melindungi tunanetra dari hujan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang masalah, dapat dikemukakan
permasalahan pokok yang menjadi dasar perumusan masalah studi kasus yaitu:
3
1. Bagaimana desain alat “bliswu” yang dirancang guna membantu tunanetra melakukan
orientasi dan mobilitas?
2. Bagaimana cara penggunaan alat “bliswu” yang sudah dirancang pada tunanetra?
3. Bagaimana perkembangan tunanetra dalam orientasi dan mobilitas setelah diberikan alat
“bliswu”?
C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan masalah yang dikemukakan diatas, maka tujuan penelitian adalah untuk
memperoleh hasil gambaran mengenai:
1. Memperoleh desain alat “bliswu” yang dirancang guna membantu tunanetra melakukan
orientasi dan mobilitas.
2. Mengetahui penggunaan alat “bliswu” yang sudah dirancang pada tunanetra.
3. Mengetahui perkembangan tunanetra dalam orientaasi dan mobilitas setelah diberikan alat
“bliswu”.
4
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kajian Tentang Anak Berkebutuhan Khusus
1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus
Menurut Depdiknas (2004: 2), anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang
secara signifikan mengalami kelainan atau penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial,
emosional) dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya dibandingkan dengan
anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Dengan
demikian, meskipun seorang anak mengalami kelainan atau penyimpangan tertentu, tetapi
kelainan atau penyimpangan tersebut tidak signifikan sehingga tidak memerlukan pelayanan
pendidikan khusus, anak tersebut bukan termasuk anak dengan kebutuhan khusus.
Utina (2014),dalam (Riadin, Misyanto, & Usop, 2017) mengemukakan definisi anak
berkebutuhan khusus, yaitu anak yang mengalami gangguan fisik, mental, inteligensi, dan
emosi sehingga membutuhkan pembelajaran secara khusus.
Dari beberapa pengertian di atas, maka yang dimaksud dengan anak berkebutuhan
khusus adalah anak yang mengalami kelainan dengan karakteristik tertentu yang
membedakannya dengan anak pada umumnya dan juga membutuhkan pendidikan khusus
sesuai dengan jenis kelainannya.
2. Jenis Anak Berkebutuhan Khusus
Ada beberapa jenis anak berkebutuhan khusus, yaitu:
a. Tunanetra
Tunanetra adalah individu tidak berfungsi sempurna yang indera
penglihatannya (kedua-duanya)sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan
sehari-hari seperti halnya orang awas. Dikatakan tunanetra bila ketajaman
penglihatannya (visusnya) kurang dari 6/21 (hanya dapat membaca huruf dari jarak 6
meter yang mampu di baca dari jarak 21 meter oleh orang normal).Oleh karena
itu tunanetra dibagi menjadi dua. Pertama buta, jika sama sekali tidak mampu
5
menerima rangsangan dari luar visusnya. Kedua low vision,bila ketajaman
penglihatannya kurang dari 6/2, menurut Somantri (2012: 66 ).
Seorang anak dikatakan mengalami buta fungsional jika mereka mempunyai sisa
penglihatan untuk mengidentifikasi cahaya disekitar. Anak-anak terhadap kategori ini
masih dapat mengidentifikasi motivasi cahaya di lingkungan sekitar. Beberapa dari
mereka masih dapat mengidentifikasi pantulan cahaya dari benda-benda disekitar,
supaya bersama dengan terdapatnya sisa penglihatan ini dapat memudahkan mereka
untuk studi orientasi mobilitas.
Sedangkan anak dikatakan low vision jika mereka masih mempunyai sisa
penglihatan untuk berorientasi bersama dengan lingkungan sekitar. Bahkan, anak-anak
low vision masih dapat mengidentifikasi huruf dan angka bersama dengan kata lain
dapat digunakan untuk membaca kendati memerlukan perlindungan kaca pembesar.
Pada kategori ini, anak yang mengalami low vision masih dapat mengidentifikasi muka
seseorang bersama dengan kekuatan penglihatannya kendati terhadap jarak yang
terlampau dekat.
Secara umum, anak tunanetra perlu belajar dengan pakai tulisan braille, yaitu
dengan menggunakan indera perabanya untuk mengidentifikasi tulisan braille. Selain
membutuhkan tulisan braille untuk bisa belajar, anak- anak dengan ketunanetraan juga
membutuhkan pendekatan yang tidak serupa pada proses belajarnya. Guru perlu
memakai fasilitas pembelajaran yang mirip dengan wujud nyata (tiruan,replika),
sehingga anak tunanetra bisa memfungsikan indera perabanya untuk membantu
mendapatkan informasi didalam kegiatan belajarnya. Namun demikian, anak tunanetra
juga perlu pengalaman nyata untuk memperluas ilmu dan mempermudah proses studi
layaknya halnya anak- anak pada umumnya.
b. Tunarungu
Anak tunarungu merupakan anak yang mempunyai gangguan pada
pendengarannya sehingga tidak dapat mendengar bunyi dengan sempurna atau bahkan
tidak dapat mendengar sama sekali, tetapi dipercayai bahwa tidak ada satupun
manusia yang tidak bisa mendengar sama sekali. Walaupun sangat sedikit, masih ada
sisa-sisa pendengaran yang masih bisa dioptimalkan pada anak tunarungu tersebut.
Berkenaan dengan tunarungu, terutama tentang pengertian tunarungu terdapat
6
beberapa pengertian sesuai dengan pandangan masing-masing.Menurut Andreas
Dwidjosumarto mengemukakan bahwa seseorangyang tidak atau kurang mampu
mendengar suara dikatakan tunarungu.Ketunarunguan dibedakan menjadi dua
kategori, yaitu tuli (deaf) atau kurang dengar (hard of hearing)(Laila, 2013: 10) (dalam
(Nofiaturrahmah, 2018).
Pada dasarnya anak tunarungu tidak mengalami hambatan pada pertumbuhan
intelegensi dan aspek-aspek lain, tak sekedar yang mengenai bersama pendengaran dan
komunikasi. Oleh sebab itu, di dalam aspek pelayanan pendidikan anak tunarungu
punya kapabilitas yang tidak tidak sama bersama anak- anak pada umumnya. Namun
daripada itu, guru butuh metode tertentu di dalam menyampaikan materi pelajaran
kepada anak tunarungu. Guru harus mampu berbicara bersama mimik mulut yang jelas,
supaya walaupun tanpa mendengar anak tunarungu mampu mencerna informasi yang
disampaikan. Lebih daripada itu, guru termasuk harus mampu memakai bahasa sinyal
atau bahasa tubuh untuk membantu proses penyampaian informasi
c. Tunagrahita.
Anak tunagrahita adalah individu yang secara signifikan memiliki intelegensi
dibawah intelegensi normal. Menurut American Asociation on Mental Deficiency
mendefinisikan Tunagrahita sebagai suatu kelainan yang fungsi intelektual umumnya
di bawah rata- rata, yaitu IQ 84 ke bawah. Biasanya anak- anak tunagrahita akan
mengalami kesulitan dalam ≥ Adaptive Behavior atau penyesuaian perilaku. Hal ini
berarti anak tunagrahita tidak dapat mencapai kemandirian yang sesuai dengan
ukuran (standard) kemandirian dan tanggung jawab sosial anak normal yang
lainnya dan juga akan mengalami masalah dalam keterampilan akademik dan
berkomunikasi dengan kelompok usia sebaya. (Yosiani, 2014)
Dalam proses pembelajaran, anak tunagrahita memerlukan pendekatan yang
berbeda dengan dengan anak-anak pada umumnya karena kecepatan proses
penerimaan ilmu anak tunagrahita tentu lebih lambat. Hal berikut tentu hanya berlaku
bagi anak tunagrahita yang sebenarnya tetap memiliki kemampuan untuk menerima
pelajaran, bersama dengan kata lain adalah anak tunagrahita dapat didik. Akan tapi bagi
anak tunagrahita yang dapat latih, maka perlunya mereka mendapat latihan-latihan bina
7
diri untuk dapat menunjang dirinya lebih independent dan tidak bergantung pada orang
lain.
Anak tunagrahita dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkatan intelegensi
dengan dasar intelegensi normal manusia dengan Skala Binet berkisar antara 90-110.
Adapun klasifikasi berdasarkan tingkat intelegensi adalah Ringan (IQ 65- 80), Sedang (IQ
50-65), Berat (IQ 35-50), Sangat bera yang memiliki tingkat berat atau sangat berat,
mereka memiliki karkateristik lebih khusus dimana mereka akan kesulitan untuk
menjalani aktivitas sosial sehari- hari. Anak-anak pada kategori tersebut membutuhkan
bantuan orang lain untuk dapat mengurus dirinya sendiri. (Nisa, Mambela, & Badiah,
2018).
d. Tunadaksa
Pengertian tuna daksa secara etimologis, yaitu seseorang yang mengalami
kesusahan mengoptimalkan fungsi bagian tubuh sebagai akibat berasal dari luka,
penyakit, pertumbuhan yang salah perlakuan dan akibatnya kemampuan untuk
melakukan gerakan-gerakan tubuh spesifik mengalami penurunan. Tunadaksa dapat
didefinisikan sebagai bentuk kelainan atau kecacatan terhadap proses otot, tulang,
persendian dan saraf yang disebabkan oleh penyakit, virus, dan kecelakaan baik
yang berlangsung sebelum lahir, sementara lahir dan sehabis kelahiran. Gangguan
itu memicu problem koordinasi, komunikasi, adaptasi, menggerakkan dan problem
pertumbuhan pribadi.
Dalam proses pembelajaran, anak tunadaksa memerlukan metodemetode
khusus yang disesuaikan dengan kondisi tubuh. Tidak setiap anak tunadaksa dapat
menulis dengan baik dikarenakan kondisi motorik halus yang tidak memungkinkan.
Selain pembelajaran berbasis akademik, anak tunadaksa juga memerlukan
pembelajaran-pembelajaran khusus untuk melatih Soft Skill agar dapat memanfaatkan
sisa kemampuan atau fungsi gerak untuk dapat menghasilkan karya cipta.
Pelayanan-pelayanan tersebut sangat diperlukan anak-anak tunadaksa agar dapat
membantu kualitas hidupnya lebih baik dan mandiri. (Nisa, Mambela, & Badiah, 2018)
e. Tunalaras
8
Anak tunalaras adalah anak yang mengalami hambatan emosi dan tingkah laku
sehingga kurang dapat atau mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri
dengan baik terhadap lingkungannya dan hal ini akan mengganggu situasi
belajarnya. (Somantri. 2006:140)
Anak tunalaras mampu diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: anak tunalaras
dengan tingkah laku yang beresiko tinggi dan anak tunalaras bersama tingkah
laku yang beresiko rendah. Anak tunalaras dengan tingkah laku yang beresiko tinggi
pada lain: hiperaktif, agresif, pembangkang, anak yang menarik diri dari lingkungan.
Sedangkan anak tunalaras bersama tingkah laku yang beresiko rendah pada lain:
autism dan scizofrenia.
Dalam konteks pendidikan khusus di Indonesia menyebut anak tunalaras
mengalami persoalan pada perilaku, sosial, dan emosional. Berdasar pada persoalan
tersebut, anak tunalaras mampu mengalami dampak yang amat besar kecuali tidak
beroleh sarana secara khusus. Anak-anak tunalaras perlu sarana konseling dan
rehabilitasi untuk menerapkan latihan-latihan secara spesifik supaya mampu
berperilaku sesuai bersama norma dan peraturan sosial dalam bermasyarakat.
f. Anak Cerdas dan Bakat Istimewa
Anak berbakat atau anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar
biasa adalah “anak yang memiliki potensi kecerdasan (intelegensi), kreativitas, dan
tanggungjawab terhadap tugas(task commitment) di atas anak-anak seusianya
(anak normal), sehingga untuk mewujudkan potensi nya menjadi prestasi nyata,
memerlukan Pendidikan khusus” (Direktorat Pendidikan Luar Biasa 2004:22.)
Pada umumnya, tumbuh kembang anak dengan kecerdasan dan bakat istimewa
serupa layaknya anak-anak pada umumnya. Namun, lebih ditekankan terhadap
pertumbuhan terhadap segi spesifik di mana mereka mengalami pertumbuhan yang
lebih cepat dibanding anak-anak seusianya. Hal berikut sanggup berlaku terhadap segi
apapun, baik pemahaman mengenai ilmu pengetahuan, kinestetik, seni, dll. Oleh
gara-gara itu, anak dengan kecerdasan dan bakat istimewa memerlukan sarana spesifik
untuk mendukung pesatnya pertumbuhan terhadap aspek-aspek tertentu. Anak dengan
kecerdasan dan bakat istimewa dapat mendapat prestasi lebih banyak dan tingkat
kesuksesan lebih tinggi dibanding anak lain. Namun tentu bisa berakibat fatal jika
9
mereka mengalami kegagalan, hal yang bisa berlangsung adalah menutup diri, stress
tinggi, hingga bersama bunuh diri bisa berlangsung terhadap anak bersama kecerdasan
dan bakat istimewa yang mengalami kegagalan. Oleh gara-gara itu, tidak cuman fasilitas
untuk menopang kecerdasan dan bakat mereka memerlukan fasilitas konseling serta
pendampingan untuk memperkuat sisi sosial emosional mereka.
g. Autis
Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan anak. Gangguan
autis setidaknya ditunjukkan dengan kurangnya kemampuan anak pada kemampuan
interaksi sosial, komunikasi verbal dan non-verbal, dan adanya perilaku berulang.
Penanganan semakin dini akan menghasilkan prognosis yang semakin baik
juga. Anak autis pada umumnya akan mengalami hambatan dalam belajar,
berkaitan dengan kurangnya kemampuan sosial dan pola perilaku yang tidak sama
dengan anak pada umumnya (National Institute of Mental Health, 2008).
Autisme adalah kelainan perkembangan yang secara signifikan berpengaruh
terhadap komunikasi verbal, non verbal serta interaksi sosial, yang berpengaruh
terhadap keberhasilannya dalam belajar. Karakter lain yang menyertai autis
yaitu melakukan kegiatan berulang–ulang dan gerakan stereotype, penolakan
terhadap perubahan lingkungandan memberikan respon yang tidak semestinya
terhadap pengalaman sensori (IDEA dalam Kurniawati & Madechan, 2013).
Penanganan anak autis tidak dapat disamakan satu sama lain. Dua poin penting
untuk penanganan anak autis adalah pada saat sedini mungkin dan program individual
yang sesuai kebutuhan anak. Secara garis besar beberapa penanganan yang dapat
dilakukan yaitu program pendidikan individual, diet, terapi, maupun penggunaan
obat (National Institute of Mental Health, 2008).
h. Anak Kesulitan Belajar
Hallahan dan Kauffman dalam Delphie (2006: 24) mengemukakan bahwa:
Kesulitanbelajarspesifik yang terjadi berkaitan dengan faktorpsikologissehingga
mengganggukelancaran berbahasa,saatberbicara, dan menulis, pada umumnya mereka
tidak mampu menjadi pendengar yang baik, untuk berpikir,untukberbicara,
membacadanmenulis, mengejahuruf,bahkan perhitunganyangbersifat
10
matematika.Kondisi kelainandapatdisebabkan olehperceptual handicaps,braininjury,
minimal brain dysfunction, dyslexia,and developmental`aphasia. (Bagus Sunarya, Irvan,
& Dewi, 2018)
Secara garis besar kesulitan belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua
kelompok, yaitu: kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan
(developmental learning disabilities) dan kesulitan belajar akademik (academic
learning disabilities).
Penyebab ada masalah studi ada dua yakni faktor penyebab internal dan
faktor penyebab eksternal. Faktor penyebab internal yakni berupa faktor
fisiologis dan faktor psikologis. Faktor eksternal yakni faktor orang tua dan faktor
sekolah tidak benar satunya adalah guru. Kegagalan-kegagalan yang dialami siswa
dalam studi tidak selamanya disebabkan oleh kebodohan melainkan kegagalan
kerap disebabkan gara-gara mereka tidak memperoleh layanan bimbingan studi yang
memadai.
3. Dampak Anak Berkebutuhan Khusus
Hambatan yang dialami oleh anak tunanetra mengakibatkan dampak yang
berpengaruh pada aktivitas kehidupan sehari-harinya. Dampak yang timbulkan dapat
dilihat dari beberapa aspek.
Dampak yang terjadi pertama adalah apabila interaksi anak tunanetra dengan
orang lain atau keterlekatan dengan orang lain (human attachment) sedikit atau bahkan
tidak ada akan menimbulkan tidak adanya perasaan keamanan dalam pribadinya dan
akhirnya dengan dunia akan berkurang. Selain itu anak tunanetra dalam lingkup
pertemanan sebayanya yaitu mengalami penolakan social karena mereka dipersepsi
sebagai berbeda dari teman-teman sebanyanya.
Dampak lainnya adalah perilaku stereotipik (stereotypic behavior). Perilaku
stereotipik serin juga disebut dengan mannerism atau blindism adalah Gerakan-gerakan
khas yang menjadi kebiasaan yang sering tidak disadari, seperti menggoyangkan tubuh,
menekan-nekan bola mata, bertepuk-tepuk, dan lainnya yang dilakukan di luar konteks.
Karena tidak berfungsinya alat sensoris dan motoris berdampak pada aktivitas
eksplorasi sehingga ia akan mengalami hambatan dalam melakukan aktivitas yang
11
mendayagunakan alat sensoris dan motorisnya. Hambatan lainnya adalah dalam
melakukan berbagai aktivitas akan menimbulkan reaksi-reaksi emosional akibat
ketidakberdayaannya dan apabila reaksi-reaksi emosional tersebut dibiarkan
menumpuk dan intensitasnya semakin meningkat, maka reaksi emosional yang muncul
justru sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan kepribadiannya. Contoh
emosionalnya adalah berupa rendah diri, minder, mudah tersinggung, kurang percaya
diri, frustasi, menutup diri dan pada kasus-kasus tertentu reaksi emosional dapat
bersifat destruktif yaitu timbulnya perilaku tersebut merupakan sebagai mekanisme
pertahanan diri akibat ketidakberdayaannya mengendalikan kepribadiannya.
B. Kajian tentang Teknologi Asistif
1. Pengertian Teknologi Asistif
Teknologi asistif adalah istilah umum yang mencakup alat bantu, adaptif, dan rehabilitasi
untuk individu dengan disabilitas dan mencakup hampir semua hal yang mungkin digunakan
untuk mengkompensasi kurangnya kemampuan tertentu ‘(Reed dan Bowser, 2005), berkisar
mulai dari perangkat berteknologi rendah seperti kruk atau pegangan khusus untuk pena,
hingga barang yang lebih canggih seperti alat bantu dengar dan kacamata, ke perangkat
berteknologi tinggi seperti komputer dengan perangkat lunak khusus untuk membantu
membaca penderita disleksia (WHO, 2009) dalam (Rosita, Rochyadi, & Sunardi, 2020).
Pendekatan di dalam pemanfaatan teknologi asistif di dalam pendidikan inklusif
berfokus pada pemanfaatan teknologi untuk berlatih, dan untuk mendukung di dalam proses
pembelajaran. Populasi besar siswa ‘berisiko’ muncul memerlukan bantuan, tapi dikarenakan
mereka sering tidak ringan masuk ke di dalam profil diagnostik, mereka sering kurang
mendapat bantuan.
2. Jenis Teknologi Asistif
Jenis produk teknologi asistif ini dapat dikelompokan kedalam dua jenis alat yaitu;
teknologi adaptif yang berkaitan dengan ADL dan teknologi adaptif yang berkaitan
dengan pembelajaran (akademik). Selanjutnya kedua jenis produk ini diuraikan sebagai
berikut:
12
a. Teknologi adaptif yang berkaitan dengan kepentingan aktivitas kehidupan
sehari-hari
Teknologi adaptif ini dikembangkan berdasarkan kompensatoris siswa
penyandanga cacat.. Didasarkan atas kebutuhan siswa dalam berbagai aktivitas
kehidupan seharihari dari mulai berjalan, makan, mandi, kegiatan di kamar
mandi, BAAB/BAAK, dan sebagainya. Alat ini bisa dikembangkan dari alat
teknologi yang sudah ada atau belum ada sama sekali. Produk kajian ini
kemudian diuji cobakan efektivitasnya sehingga betul-betul sesuai dengan
kebutuhan kasus/anak. Beberapa contoh alat/teknologi adaptif ADL hasil
mahasiswa PLB yang ngontrak MK.Teknologi adaptif (2007) adalah; Board Parcice
Walk, Kusi untuk BAB, nampan berlubang, penahan lutut, Non Slip Tray Set,
Egips, Tongkat beroda, papan keseimbangan, Vesti Buler Board, Kursi terapi,
Jemari sensoris, sepatu keseimbangan, tongkat penyeberangan, Standing
Up-Support, dan sebagainya.
b. Teknologi adaptif ini dikembangkan berdasarkan kepentingan aktivitas akademik
Teknologi adaptif ini dikembangkan berdasarkan kebutuhan siswa penyandang
cacat sesuai dengan kompensatoris yang dimilikinya dalam berbagai aktivitas
akademik di sekolah. Beberapa contoh produksi mahasiswa yang mengikuti
perkuliahan teknologi Adaptif (2007) yang berkaitan dengan kegiatan akademik
adalah Box Pen, Reglet Low Vision, Kursi Belajar, Alas Buku, Meja Miring, Sabuk
untuk Menulis, Alat Penyangga Pensil, Meja Kursi Tunadaksa, Papan Meja
Pangku, Kursi Multi Guna, Mejakursi Bina Diri, Lampu Artikulasi, Kursi Disiplin
dan sebagainya.
3. Manfaat Teknologi Asistif
Teknologi asistif mempunyai peran utama didalam memulihkan dan mengkompensasi
defisit kinerja yang dialami oleh peserta didik, menambah kinerja peserta didik; dan
memastikan evaluasi yang efektif sebagai akomodasi sepanjang pengujian, tawarkan solusi yang
lumayan disaat evaluasi yang diperlukan. Oleh dikarenakan itu integrasi teknologi yang efektif
didalam pendidikan mampu menopang didalam menanggulangi rintangan fungsional yang
dialami oleh siswa penyandang disabilitas, menambahkan mereka peluang belajar yang adil dan
bidang yang diratakan untuk menyatakan kebolehan diferensial mereka dengan benar, melalui
13
penyediaan pemberian yang diperlukan dan lingkungan belajar yang sama-sama mampu dibuka
oleh peserta didik.
C. Subjek Penelitian
Kata “Tunanetra” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata “Tuna” yang
artinya rusak atau cacat dan kata “Netra” yang artinya adalah mata atau alat penglihatan, jadi
kata tunanetra adalah rusak penglihatan. Sedangkan orang yang buta adalah orang yang rusak
penglihatannya secara total. Jadi, orang yang Tunanetra belum tentu mengalami kebutaan total
tetapi orang yang buta sudah pasti Tunanetra.
Berdasarkan kacamata pendidikan penggolongan ketunanetraan berdasarkan media apa
yang digunakan untuk membaca dan menulis terbagi atas: 1) Buta Seseorang yang belajar
dengan menggunakan indera perabaan dan pendengaran. 2) Low vision Seseorang yang masih
mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca meskipun dengan tulisan yang
diperbesar (diadaptasi) 3) Limited vision Seseorang yang masih mampu menggunakan
penglihatannya tetapi mengalami gangguan pada situasi tertentu. Smith J. David (2006:241)
(dalam Susanti & Zulvianti, 2018).
Menurut Wahyuno (2013) yang menyebutkan karakteristik penyandang tunanetra salah
satunya adalah ketergantungan yang berlebihan diakibatkan karena penyandang tunanetra
tidak menguasai keterampilan orientasi dan mobilitas sehingga kemampuan bergerak dan
berpindah tempatnya sangat minim sehingga mereka selalu membutuhkan bantuan orang lain
dalam segala aktifitasnya. Sedangkan pada dasarnya keterampilan orientasi dan mobilitas harus
dikuasai oleh penyandang tunanetra
D. Kajian Tentang Mobilitas Tunanetra
Orientasi dan mobilitas adalah sebuah kapabilitas yang dimiliki seseorang tunanetra
untuk berpindah berasal dari suatu area ketempat yang lain secara berdiri sendiri bersama
dengan mengoptimalkan penggunaan panca indera yang masih berguna layaknya indera
pendengaran, perabaan, penciuman untuk mengenal lingkungan disekitarnya. Orientasi adalah
penggunaan indraindra yang masih berguna dalam memilih posisi diri, sedang mobilitas yatu
kapabilitas dan juga kesanggupan seorang tunanetra untuk bergerak atau berpindah area
secara mudah, cepat, tepat dan selamat. Orientasi dan mobilitas terlalu penting untuk
tunanetra, sebab mereka dapat berinteraksi dan berkomunikasi bersama dengan
14
lingkungannya, bersama dengan ada orientasi dan mobilitas bisa memudahkan tunanetra
dalam melaksanakan kegiatan seharihari secara mandiri. Tanpa diajarkannya orientasi dan
mobilitas maka seorang tunanetra dapat berbentuk kaku, tidak percaya diri, hanya diam
tempat, membawa rasa takut yang berlebih layaknya takut terluka, takut jatuh, takut tersesat
dan sebagainya, dan pada kelanjutannya memengaruhi semua faktor perkembangannya
layaknya pertumbuhan emosional, mental, sosial kognisi dan bahasa.
Orientasi dan mobilitas ialah sebuah layanan yang digunakan bagi siswa
tunanetra bersama dengan memanfaatkan atau memaksimalkan indera yang tetap
berguna untuk proses mengetahui lingkungan sehingga sanggup bergerak atau
berpindah area dari suatu area ketempat yang lainnya secara mandiri. Orientasi dan
mobilitas merupakan satu pelajaran yang perlu dipelajari oleh siswa tunanetra
dikarenakan mampu menopang tunanetra didalam berinteraksi sosial bersama dengan
lingkungan sekitar maupun akademik selagi berada di sekolah. Namun, dalam berorientasi dan
bermobilitas pastinya diperlukan suatu alat yang bisa menopang mereka. Alat tersebut
berwujud tongkat putih atau yang dikenal bersama dengan nama tongkat tunanetra. Tongkat
tunanetra aalah tongkat putih bersama dengan warna merah ditengahnya. Warna merah
ditengahnya merupakan simbol bahwa yang manfaatkan tongkat tersebut adalah penyandang
tunanetra. Tongkat ini dibuat spesifik untuk penyandang tunanetra. Tongkat ini terlalu ringan.
Tongkat ini terbuat berasal dari aluminium supaya tidak ringan bengkong dan aman untuk
penyandang tunanetra. Tongkat tunanetra tersedia dua jenis yaitu tongkat lipat dan tongkat
panjang. Tongkat lipat bisa dilipat jadi empat bagian, namun tongkat panjang tidak bisa dilipat.
Panjang tongkat sesuai bersama dengan pengguna.
Mobilitas adalah kemampuan, kesiapan, dan mudahnya bergerak dan berpindah
tempat. Mobilitas juga berarti kemampuan bergerak dan berpindah dalam suatu lingkungan.
Karena mobilitas merupakan gerak dan perpindahan fisik, maka kesiapan fisik sangat
menentukan keterampilan orang tunanetra dalam mobilitas(Djadja Rahardja dan Ahmad
Nawawi, 2010)
Orientasi dan mobilitas merupakan keterampilan yang perlu dimiliki oleh anak
tunanetra. Keterampilan ini ditujukan untuk menopang agar anak dengan kehilangan
penglihatan bisa secara independen mengenal dan menguasai lingkungan dimana ia berada.
Orientasi bermakna terhadap pemakaian indra-indra yang tetap berguna di didalam pilih posisi
diri. Orientasi merujuk terhadap kemampuan seseorang untuk sadar dan sadar kondisi atau
15
posisi dirinya didalam suatu lingkungan dan hubungannya dengan obyek-obyek lain yang
tersedia didalam lingkungan tersebut. Sedangkan mobilitas merupakan kemampuan dan juga
kesanggupan seorang tunanetra untuk bergerak, atau bergeser daerah secara mudah, cepat,
pas dan selamat dengan teknik yang efektif.
Mobilitas adalah kemampuan kesiapan dan mudahnya bergerak atau berpindah.
Terdapat tiga keterbatasan tunanetra, yaitu keterbatasan dalam lingkup keanekaragaman
pengalaman, keterbatasan dalam interaksi dengan lingkungan, dan keterbatasan dalam
berpindah-pindah tempat/mobilitas. Gambar/diagram tidak boleh melebihi 50% dari seluruh isi
artikel dan harus ditempatkan sedekat mungkin dengan teks yang sesuai dengan
penjelasannya. Pastikan bahwa ketika dicetak, ilustrasi/gambar anda jelas dan mudah dibaca.
Orientasi adalah proses penggunaan indera-indera yang masih berfungsi untuk menetapkan
posisi diri dan hubungannya dengan objek-objek yang ada dilingkungannya. Sedangkan
mobilitas adalah kemampuan, kesiapan, dan mudahnya melakukan gerak (Hosni, 1996).
Berikut merupakan komponen khusus untuk menunjang proses orientasi dan mobilitas
tunanetra :
a) Landmark
b) Clue
c) Numbering system
d) Measurement
e) Compass direction
E. Kerangka Berpikir
Berdasarkan hasil litelatur tunanetra merupakan individu yang memiliki hambatan dalam
penglihatan. Tunanetra terbagi menjadi dua yaitu, low vision dan blind vision. Orientasi dan
mobilitas untuk anak tunanetra sangatlah penting , sebab mereka dapat berinteraksi dan
berkomunikasi bersama dengan lingkungannya, bersama dengan ada orientasi dan mobilitas
bisa memudahkan tunanetra dalam melaksanakan kegiatan seharihari secara mandiri. Untuk
memudahkan mereka dalam melakukan orientasi dan mobilitas mereka menggunakan alat
yang dapat membantu mereka, alat tersebut ialah tongkat putih atau bisa juga disebut dengan
tongkat tunanetra.
16
Dalam proposal ini kelompok kami ingin memodifikasi tongkat tunanetra dengan
menambahkan fitur sensor dan juga menambahkan payung pada tongkat tersebut. Fitur sensor
yang terdapat pada tongkat yang akan kami modifikasi berfungsi untuk mendeteksi kubangan
air yang berada dijalan dan payung yang terdapat ditongkat tersebut memudahkan anak
tunanetra untuk memakainya ketika hujan tanpa harus mengambilnya terlebih dahuluditempat
yang ia simpan. Alat tersebut dinamakan “bliswu” oleh kelompok kami.
Oleh karena itu kami berharap teknologi asisitif yang kami buat kali ini bisa membantu
anak tunanetra untuk mampu menghindari jalan yang terdapat kubangan air dan
mempermudah mereka dalam membawa dan menggunakan payung
Gambar 1. Mind mapping kerangka berpikir
BAB III
PENGEMBANGAN MODEL INOVASI TEKNOLOGI
A. Analisis Kebutuhan
Penggalian ide awal alat ini berawal dari melihatnya anak tunanetra yang kesulitan
menggunakan payung saat hujan dan sulitnya anak tunanetra yang sering kali tidak tahu bahwa di
depan mereka terdapat rintangan seperti kubangan air, polisi tidur dan lainnya. Penyandang
tunanetra memiliki kendala tersendiri dalam melakukan mobilitas sehingga dalam kesehariannya
mereka membutuhkan alat bantu yaitu tongkat. Selain sebagai alat bantu diri dalam keseharian,
17
namun tongkat juga telah menjadi sebuah identitas diri penyandang tunanetra dan memudahkan
mereka jika sedang berjalan. Tongkat yang dipakai oleh anak tunanetra memiliki dua jenis yaitu
yang dapat dilipat atau biasanya berbentuk tidak, namun juga ada yang tidak bisa dilihat.
Dengan adanya alat ini diharapkan bisa membantu mereka dalam berkegiatan disaat hujan
maupun tidak dan juga terdapat sensor pada alat tersebut untuk mengetahui adanya rintangan
pada saat mereka berjalan seperti kubangan air sehinggan mereka bisa menghindari jalan itu.
B. Tujuan Pengembangan
Tujuan dikembangkannya alat ini adalah untuk memudahkan pengguna khususnya tunanetra
dalam orientasi dan mobilitas guna mengantisipasi terjadinya benturan dengan objek
dihadapannya dengen mengeluarkan bunyi pada tongkat. Alat ini juga dilengkapi tombol on/off,
jadi ketika sedang tidak memerlukan payung bisa dimatikan.
C. Rancangan Model Inovasi Yang Akan Dihasilkan
D. Indikator Keberhasilan
1. Mempermudah anak tunanetra menggunakan payung
2. Anak Tunanetra mampu menghindari jalan yang terdapat kubangan air
E. Jadwal Pelaksanaan
18
Hari / Tanggal : Rabu, 5 Mei 2021
Tempat : Kota Depok
F. Sumber daya / pihak yang terlibat
Pihak yang terlibat dalam proses pembuatan alat pengembangan inovasi teknologi asistif
disini adalah anak tunanetra, yang berperan sebagai subjek pada pengembangan inovasi
teknologi yang akan dibuat. Kemudian pihak selanjutnya yang terlibat dalam proses pembuatan
alat adalah e-commerce dimana kami akan membeli alat dan bahan yang diperlukan untuk
membuat teknologi asistif tersebut.
G. Rencana Tindak Lanjut
Setelah selesai proses pembuatan alat, kemungkinan akan kami uji coba alat tersebut
kepada anak tunanetra untuk mengetahui berhasil atau tidaknya jika alat tersebut digunakan
pada subjek yang telah kami tentukan
19
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi Pengetesan Bliswu
Pengetesan bliswu dilakukan di Jalan Panca Warga V, Cipinang Besar Selatan, Jatinegara,
Jakarta Timur.
B. Metode role playing untuk pengetesan Bliswu
Pengetesan pengembangan bliswu dilakukan menggunakan metode role playing dimana salah
satu anggota kelompok berinisial A berperan menjadi anak dengan hambatan penglihatan.
Sebagai salah satu metode mengajar, bermain peran memiliki beberapa tujuan dan manfaat
seperti misalnya yang dikemukakan oleh Shaftel dan Shaftel (Wahab, 2009) bahwa metode
bermain peran mempunyai beberapa fungsi utama namun dua fungsi utamanya adalah
“education for citizen” dan ‘group counseling” yang dilakukan oleh guru kelas.
(Uno, 2009) dalam (Bahtiar & Suryarini, 2019) mengemukakan bahwa tujuan dari penggunaan
metode Role Playing antara lain: (1) menggali perasaannya, (2) memperoleh inspirasi dan
pemahaman yang berpengaruh terhadap sikap, nilai dan persepsinya, (3) mengembangkan
keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah dan (4) mendalami mata pelajaran
dengan berbagai macam cara. Berdasarkan konsep-konsep yang dikemukakan di atas paling
tidak tujuan penggunaan metode Role Playing yakni membantu siswa menemukan makna diri
di dunia sosial dan memecahkan masalah dengan bantuan kelompok. Artinya melalui bermain
peran siswa belajar menggunakan konsep peran, menyadari adanya peran-peran berbeda dan
memikirkan perilaku dirinya dan perilaku orang lain. Dalam metode bermain peran ini siswa
ikut serta secara aktif dalam kegiatan pembelajaran.
C. Deskripsi Hasil Pengetesan Bliswu
Saat proses pengetesan bliswu, A berjalan dengan menutup matanya menyusuri jalanan
menggunakan tongkat bliswu. Dari hasil pengetesan dapat diketahui bliswu dapat berfungsi
cukup baik, saat hujan pun payung yang disediakan di tongkat dapat langsung digunakan
tanpa ada kemacetan ataupun halangan lainnya. Sayangnya sensor yang digunakan dalam
tongkat bliswu terdapat delay sehingga saat tongkat bertemu benda yang menghalangi di
depannya sensor akan berbunyi beberapa detik kemudian.
20
D. Visualisasi Hasil Akhir Bliswu
21
22
E. Saran
Kepada peneliti selanjutnya, dapat menggunakan sensor yang lebih baik lagi sehingga
bliswu dapat digunakan dengan lebih nyaman
23
DAFTAR PUSTAKA
Somantri, Sutjihati. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa, Bandung: Refika Aditama.
Kurniawati, F., & Madechan 2013. Pembelajaran Tari Lenggang Alit Untuk Mengurangi Hambatan
Motorik Kasar Anak Autis Di Sdn Banyu Urip V Surabaya. Jurnal Pendidikan Khusus, 2(2).
Http://Journal.Unnes.Ac.Id/Sju/Index.Php
Djadja Rahardja dan Ahmad Nawawi, Konsep DasarOrientasi dan Mobilitas. Bandung: Jurusan
Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. 2010.
National Institute of Mental Health. (2008). Autism Spectrum Disorders Pervasive Developmental
Disorders.Bethesda: National Institute of MentalHealth Science Writing, Press & Dissemination
Branch.
Wahyuno, E. (2013). Orientasi dan Mobilitas. Malang: Universitas Negeri Malang
Hosni, I. 1996. Buku Ajar orientasi dan Mobilitas. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Wahab, A. 1998. Metodologi Pengajaran IPS. Jakarta : Karunia
Bahtiar, R. S., & Suryarini, D. Y. (2019). Metode Role Playing dalam Peningkatkan Keterampilan
Bercerita Pengalaman Jual Beli pada Siswa Sekolah Dasar . Jurnal Ilmiah Sekolah Dasar , 71-78.
Bagus Sunarya, P., Irvan, M., & Dewi, D. P. (2018). KAJIAN PENANGANAN TERHADAP ANAK
BERKEBUTUHAN KHUSUS. ABADIMAS ADI BUANA, 11-19.
Cahyaningrum, R. K. (2012). TINJAUAN PSIKOLOGIS KESIAPAN GURU DALAM MENANGANI PESERTA
DIDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS PADA PROGRAM INKLUSI (STUDI DESKRIPTIF DI SD DAN SMP
SEKOLAH ALAM AR-RIDHO). Educational Psychology Journal, 1-10.
Nisa, K., Mambela, S., & Badiah, L. I. (2018). KARAKTERISTIK DAN KEBUTUHAN ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS. ABADIMAS ADI BUANA, 33-40.
Nofiaturrahmah, F. (2018). PROBLEMATIKA ANAK TUNARUNGUDAN CARA MENGATASINYA. QUALITY,
1-15.
Riadin, A., Misyanto, & Usop, D. S. (2017). KARAKTERISTIK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH
DASAR NEGERI (INKLUSI) DI KOTA PALANGKA RAYA . Anterior Jurnal, 22-27.
4
Rosita, T., Rochyadi, E., & Sunardi. (2020). TEKNOLOGI ASISTIF DALAM PENDIDIKAN INKLUSIF. Journal of
Elementary Education , 301-307.
Susanti, M., & Zulvianti, N. (2018). PELAYANAN PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI TUNANETRA (STUDI KASUS
DI IAIN IMAM BONJOL PADANG) . Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, 39-53.
Tarsidi, D. (2014). Dampak Ketunanetraan terhadap Perkembangan Keterampilan Sosial Anak.
Yosiani, N. (2014). RELASI KARAKTERISTIK ANAK TUNAGRAHITA DENGAN POLA TATA RUANG BELAJAR
DI SEKOLAH LUAR BIASA. E-Journal Graduate Unpar, 111-123.
5