Bertahan Untuk Hidup
Dimas Misbachul Ichsan
Klamono, Irian Barat. 17 Mei 1962.
“Muis, berapa orang yang sudah berkumpul di sini?”
“Dihitung dengan anda dan saya, semuanya 15 orang,
Komandan!”
“Keparat!!!” Letnan Manuhua membanting ranselnya
ke tanah. Ia menatap ke langit, masih hitam. Berarti pagi
belum datang.
“Sekarang gimana, Ndan?,” Angkow menghampiri
sang letnan serta membopong Yatno.
Tangan kiri Yatno terkilir akibat menjatuhkan diri dari
tingginya pohon pinus di tanah Irian ini. Yang lainnya
bersama-sama memindahkan mayat-mayat prajurit yang
tersebar lalu dikumpulkan di satu tempat. Mereka semua
tewas karena jatuh dari ketinggian pohon pinus disana,
yaitu 50 meter. Padahal mereka sudah dibekali tali masing-
masing 30 meter.
“Kita istirahat dulu disini, sambil atur strategi.”
Manuhua duduk di samping ranselnya, lalu mengambil
botol minumnya.
Prajurit-prajuritnya mendekati, lalu duduk melingkar.
50 prajurit yang terjun dari Hercules, hanya mereka yang
bertahan. Mereka adalah salah satu Pasukan Gerak Tjepat
Angkatan Udara Republik Indonesia yang tergabung dalam
misi Operasi Serigala. Misi utama mereka adalah infiltrasi
ke daerah pertahanan Belanda di Irian Barat, lalu
melakukan sabotase untuk melemahkan kekuatan Belanda
disana. Tetapi dengan keadaan prajurit serta jumlah mereka
sekarang, misi tersebut tampak mustahil.
“Baik, kita bagi dua tim. Tim satu akan melakukan misi
sabotase, sisanya stand by di sini, tunggu perintah dari
saya.” Letnan tersebut berdiri dan mengambil ranselnya.
“Kopral Muis, kau jadi tangan kanan saya. Sutarmono,
Angkow, Hamid, Kusaeri, Yatno, Bun, Sugik, dan Umar,
kalian jadi pengawal.”
Tiba-tiba suara pesawat datang memecah langit di atas
mereka. Suara pesawat tersebut sangat menggelegar di
telinga mereka pertanda benda tersebut terbang rendah.
“Merunduk!!!”
Serentak mereka semua tiarap. Sepertinya Belanda
telah mengetahui keberadaan mereka.
“Itu pesawat Belanda,” bisik Si Angkow.
“Baik, kita berangkat sekarang,” perintah Letnan
Manuhua. Tim satu langsung bergerak menuju arah Timur.
“Komandan! Sepertinya akan malam. Dimana kita akan
beristirahat hari ini?” Yatno mengusap peluh di keningnya.
Berhari-hari mereka berjalan dan hingga kini tak pernah
sampai ke tujuan.
“Hhhh, jangan sampai kita tidur di rawa-rawa lagi.
Hampir saja darahku habis dimakan lintah,” keluh Angkow
setengah berbisik. Hamid tersenyum sambil meraba-raba
senapannya.
“Kow, tak usah banyak cakap! Aku sikut hidungmu,
baru tahu rasa kau!” Gelak para prajurit memecah
kesunyian belantara Irian.
Sutarmono yang sejak tadi memandu arah pasukan itu
terkejut dan langsung memberhentikan langkahnya.
Sontak Sang Letnan dan seluruh prajurit kaget dan berhenti
mendadak.
“Diam!” perintah Sutarmono. Letnan Manuhua melihat
ke arah pandangan Sutarmono dan menyadari bahwa ada
gerbang berbentuk gapura kecil disana. Sepertinya ada
sebuah desa.
“Buka mata kalian lebar-lebar. Kita akan masuk ke
sana. Ingat! Mereka warga sipil. Jangan sampai kalian
membunuh mereka.” Perintah letnan tersebut dibalas
dengan anggukan para prajuritnya.
Pasukan kecil itu masuk ke desa tersebut. Desa tersebut
berisi sebuah gereja dan beberapa rumah penduduk. Desa
itu tampak sepi. Mungkin karena hari sudah malam.
Pasukan itu sampai di pinggir desa dan menemukan sebuah
gubuk yang cukup untuk menampung mereka.
“Kita istirahat disini,” perintah Letnan Manuhua.
Mereka menaruh ransel-ranselnya dan mengambil
perbekalan makanan masing-masing.
“Komandan, ini makanan terakhir kita. Sekarang
bagaimana?” kata Muis sambil memakan sisa makanannya
kemarin.
Letnan itu menatap Muis, lalu melayangkan
pandangannya ke desa tersebut. “Besok kita akan minta
sedikit makanan ke warga desa, atau kita membeli
makanan dari mereka dengan uang Gulden kita.” Prajurit-
prajurit itu mengangguk.
“Apapun caranya, kita harus bertahan. Demi wilayah
ini bisa bergabung dengan Indonesia.”
Matahari belum terbit, namun mereka mulai bersiap
melanjutkan perjalanan. Lalu, seorang penduduk desa
mendatangi mereka. Manuhua menghampiri penduduk
tersebut. Letnan itu tampak bercakap-cakap dengan bahasa
yang tidak diketahui oleh pasukannya sendiri. Penduduk
desa itu sangat ramah, dan tampak menawarkan sesuatu.
Manuhua menghampiri prajuritnya yang masih menunggu
di gubuk bersama penduduk tersebut.
“Kita akan pindah tempat. Kata penduduk ini ada
tempat yang lebih aman.”
Mereka diarahkan ke sebuah gubuk di sisi lain desa
tersebut lalu disuguhi beberapa sisir pisang dan sagu.
Penduduk desa tadi meninggalkan mereka. Sutarmono
curiga dengan gelagat penduduk desa tadi. Ia berpikir,
penduduk itu terlalu baik terhadapnya. Lantas ia
mendengar suara gemerincing. Lewat celah dinding, dia
melihat beberapa serdadu Belanda mendekat. Benar saja.
Ini jebakan.
“Keluar dari sini!!!” Sutarmono melompat ke luar dari
tempat itu dan meraih senapan G3-nya. Teman-temannya
kaget, namun respon mereka terlalu lambat.
Dddrrr dddrr dddrrr drrr!!! Pasukan Belanda
memberondong gubuk itu dengan ratusan peluru. Peluru-
peluru itu ibarat air yang disemprotkan deras dari selang.
“Aaaaaaaa!!!” Muis berteriak kesakitan. Yanto telah
tewas, peluru bersarang di kepalanya.
Sutarmono berhasil menyelamatkan diri dan
bersembunyi di lubang sebelah gubuk tersebut. Ada dua
tentara Belanda memberondong gubuk dengan Machine
Gun. Dibidiknya dua Belanda itu.
Dor! Dor! Kepala mereka ditembus peluru 7,62 mm
dari G3 miliknya. Sutarmono melihat seorang Belanda
lainnya di dekatnya. Rentetan peluru ditembakkan. Tentara
itu tewas. Kemudian Sutarmono merayap mengambil
Machine Gun itu, lantas kembali ke lubang. Ia
menembakkan senjatanya ke arah sekompi pasukan
Belanda yang berjalan menuju gubuk itu. Pasukan tersebut
kocar-kacir, kebingungan mencari asal tembakan itu.
“Mati kau, bajingan!!! Pulanglah!!!”
Pelurunya hampir habis. Ia menghentikan tembakan.
Sutarmono masuk ke gubuk dan melihat komandannya
sekarat. Kepala letnan tersebut disandarkan ke kaki
Sutarmono. Sutarmono melihat seluruh rekannya telah
tewas. Tiba-tiba bajunya ditarik Manuhua.
“Pergilah!!! Temui yang lainnya! Jangan mati!!!”
Sutarmono goyah, berat hati ia meninggalkannya. Ia
meninggalkan tempat itu.
“Merdeka!!!” teriakan Manuhua disusul dengan
ratusan tembakan lagi yang mengarah ke gubuk itu.
Sutarmono masuk ke hutan, melihat dari kejauhan ketika
serdadu Belanda masuk ke gubuk itu. Ia mendengar derap
kaki sekumpulan orang. Jangan-jangan Belanda. Ia tiarap
lalu menutupi tubuhnya dengan tanah dan daun-daunan.
Ternyata memang pasukan Belanda yang berjalan tepat di
sampingnya. Ia tak ketahuan. Setelah dirasa aman,
Sutarmono bangkit.
“Memperingati 54 Tahun Infiltrasi Pasukan Gerak Tjepat (PGT) AURI ke Irian Barat”
Cerpen Karangan: Dimas Misbachul Ichsan
Facebook: Dimas Misbachul Ichsan
Cerpen Bertahan Untuk Hidup merupakan cerita pendek karangan Dimas Misbachul Ichsan, kamu dapat
mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.
Kategori: Cerpen Perjuangan, Cerpen Sejarah, Cerpen Thriller (Aksi)
Lolos moderasi pada: 24 September 2016