Hari Ini Hari Kemerdekaan
Gilang Muhammad
Hari ini aku masih berjalan. Lagi-lagi jalan kaki. Aku
berjalan seorang diri, menuju sebuah kota tempat yang
terkasihku menanti. Ah, aku tahu, masa-masa resesi dunia
seperti ini, harga serba melonjak. Itu kata abangku. Ia kerja
di bank swasta. Kau tahu, bank swasta bukan milik Hindia
Belanda. Kudengar bank tersebut milik seorang Yahudi.
Aku berjalan sudah setengah jam. Demi menghemat
beberapa sen kupikir. Tapi ah, lelah ini aku yakin akan
hilang ketika aku bertemu dengan kekasihku.
Jalanan agak lengang. Tumben sekali. Apakah ada
sesuatu? Aku berjalan semakin cepat dengan sesekali
melihat jam tangan. Aku heran bukan kepalang, hari ini
padahal hari Jum'at. Masih pagi pula, kenapa kota menjadi
begitu sepi begini. Semua orang tak satupun menunjukkan
batang hidungnya. Aneh kupikir. Apakah resesi dunia
sudah menimbulkan efek seperti ini?
Matahari sudah mulai menunjukan kuasanya. Aku
mulai berpeluh. Punggungku sudah gatal rasanya oleh
keringat. Baju yang baru kubeli dari Glodok ini ternyata
tak senyaman yang Koh Samin katakan. Ternyata tak lebih
dari karung goni rasanya baju ini kalau sudah kupakai.
“Berapa baju ini Koh?”
“Mulah..mulah, nih...” tangannya mengacungkan
empat jari ke arah mukaku.
“Dua setengah deh Koh.. mahal banget dah.”
“Nih baju oe beli pengecel di Batam sana. Lu emang
mau buat ape sih?”
“Buat ketemu sama demenan aye Koh”
“Ahhh, oe ada yang lebih mulah, tapi lo jangan tawal-
tawal lagi. Oe udah lugi. Sepuluh olang kayak lo aja nih,
lugi oe punya dagangan.”
“yaudeh, mane Koh?”
Koh Samin masuk gudangnya. Bunyi barang-barang
dipindahkan keluar gudang menghiasi penungguan
terhadap baju ini. Anak-anak Koh Samin dari tadi lari-lari
mengelilingi seorang jongos yang kesakitan akibat ditimpa
sekarung beras oleh mereka. Anak nakal. Debu mulai
beterbangan dari gung Koh Samin. Baju macam apa yang
akan diberikan olehnya?
"Baju apaan nih Koh? Aneh bener, kagak ade
kerahnye, bolong doang aje gini"
"Tuh namanya kaos, lu olang kagak gaul benel. Ni
biasa dipake ama anak muda di Glodok."
Ia benar, sepanjang jalan tadi aku melihat banyak yang
memakai pakaian ini. sebenarnya keadaan ekonomi yang
tidak menentu dari keluargakulah yang mengakibatkan aku
kaget akan semua perubahan ini.
"Berape Koh harganye?"
"Kalena lo udah nungguin dengan sabar, oe kasih dua
setengah. Nolak oe buang ni baju."
Akhirnya, aku beli baju itu. Baju yang terlihat bak sutra
dari luar, namun panas setelahnya. Mencibir pun tak bisa.
Tapi tak apa, demi kekasihku tercinta, biar peluh dan gatal
memenuhi tubuh aku akan tegar. Ah, gerah sekali rasanya,
dan perutku sudah keroncongan.
Segelas kopi panas dan semangkuk soto mengisi
perutku pelan-pelan. Sayup-sayup kudengar alunan
melodi-melodi melayu di radio. Benda besi kecil ini selalu
menarik perhatianku. Suaranya yang gemerisik, suaranya
hilang muncul tenggelam memberikan sensasi tersendiri.
Ayahku pernah membelikan sebuah radio, tapi sayang, ia
meninggal lebih cepat. Takdir Kupikir. Beberapa dokar
melaju cepat menuju arah Manggarai. Tentara Jepang
masih bersiaga seperti biasa di perempatan jalan. Tapi,
kenapa hanya sedikit ya?
Aku melanjutkan perjalanan ke arah Manggarai.
Mungkin aku bisa tahu ada apa di sana, pikirku. Sial,
matahari semakin panas dan bajuku ini semakin lengket
saja. Udara bulan Agustus yang memanas ini membuat
tengkukku terbakar. Kata ibuku, bayi harus ditaruh di
bawah sinar matahari biar tulangnya kuat. Tapi dengan
suhu yang seperti ini, bisa dipastikan bayi sehat tersebut
akan matang seperti telur rebus.
Sampai di Gambir, aku memutuskan menggunakan
kereta ke Bogor. Cuaca yang panas membuatku menyerah.
Dengan uang yang hanya sedikit ini aku putuskan naik
kereta. Pilihannya hanya dua, jalan kaki sampai kepalamu
membesar dan meledak atau naik kereta pengap namun ada
obat yang bernama es cincau. Aku pilih yang kedua.
***
Suasana dalam kereta sangat pengap, berisik dan bau
tak karu-karuan. Beberapa opsir jepang hilir mudik dengan
benda hitam yang belakangan kuketahui namanya HT
(hands talkie), mungkin aku akan lebih tertarik dengan
radio karena tak adanya musik dari dalam benda hitam itu,
hanya suara dengan bahasa Jepang yang cepat. Para
pedagang hilir mudik mencari pelanggan. Tukang tahu,
jajanan gula, sayur, hilir mudik. Tak kujumpai juga tukang
cincau itu. Di hadapanku, seorang pemuda tanggung
menatap tegas ke luar jendela. Parasnya bersih,
kuperkirakan ia seorang yang berpendidikan atau bekerja
di kantor pemerintahan. Kacamatanya agak kusam, sebuah
buku yang ia pegang di tangannya dan peci hitam lusuhnya
ia kenakan di kepalanya yang berambut agak jarang itu.
Guratan wajahnya menyatakan ia bahagia.
“Mau ke Bogor juga?” aku memulai percakapan agar
tidak bosan.
“Ah, iya?” ia tidak sadar ketika kutanya.
“Mau ke Bogor juga ya mas?” kuulangi.
“Iya, mau pulang.”
“Sering seperti ini?”
“Yah, baru kali ini. Kereta api pengap juga ya?”
“Begitulah, saya juga terpaksa naik kereta api ini..”
Pembicaraan dengan orang tersebut terhenti karena
seorang yang dikenalnya datang dan ia asyik mengobrol
dengan pria itu. Mataku kembali mengarah ke luar jendela.
Jakarta begitu membosankan, pikirku. Sejak namanya
berubah dari Batavia menjadi Jakarta, kota ini menjadi
semakin ramai, juga semakin lusuh. Pasca pendudukan
Jepang sangat mempengaruhi keadaan ini. Tak ada lagi
kutemui meneer, mevrouw dan sinyo bebas berkeliaran.
Kudapati hanya seorang Jepang yang pendek, kekar, dan
haus akan wanita dan arak. Menjijikan.
Aku ingat bagaimana tetanggaku yang masih muda.
Sakinah namanya, bunga desa di kampungku. Gadis
tercantik yang bisa membuat dua orang adik kakak saling
tikam dan dua orang sahabat saling benci. Tahun itu kalau
tidak salah tahun 1942, bulannya aku tidak ingat, aku
hanya ingat bulan dalam tanggalan Islam. Sakinah baru
berumur, kalau tidak salah 19 tahun, ia diambil paksa oleh
tentara Jepang. Kata tentara Jepang itu Sakinah ingin
dijadikan pegawai Jepang. Waktu tahu begitu, aku
langsung berdoa agar aku seorang wanita, tapi doa itu aku
urungkan setelah tahu bahwa Sakinah dijadikan budak seks
oleh Jepang.
Pandanganku kembali keluar kereta. Banyak sekali
pria-pria yang disebut jago berkeliaran di luar. Di setiap
stasiun, selalu berteriak dengan ocehan yang tidak jelas.
Entah apa maksdunya. Wajah mereka mengisyaratkan
kesumringahan. Entah ada apa. Aku tak tahu.
***
Bogor, kota ini menjadi tempat istirahat dan riset
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Meneer Bravt sering
menyebut Bogor dengan kata Buitenzorg, sedangkan saya
dengan kata Bogor, tidak berbeda, hanya kualitas lidah
saja. Kota ini masih hutan, banyak kebun dan bersuhu
rendah. Keluar dari kereta yang pengap seperti selesai
mengalami kisah siksaan di neraka dan diangkat ke surga,
persis seperti kata Ustad di kampungku.
“Nanti orang Islam gimane tad pas nti mati?” aku
mulai bertanya.
“Tergantung, pas mati die ngelakuin dosa apa kagak”
“Kalo die ngelakuin dosa, gimane tuh tad?”
“Die masuk neraka dulu, digodok dulu dah tuh
badannye, bi situ dia diangkat diasupin ke surge dah”
“Kalau die kagak ngelakuin dosa?”
“Bayi kali, klo lo pada pasti masuk neraka dulu
nemenin ustad”
Aku tertawa mengenang Ustad Ja’i. Sekarang ustad
tersebut sudah meninggal, tubuhnya ditembus timah panas
Belanda akibat tak bergeming saat rumahnya dianggap
menyebarkan pemberontakan. Semua keluarganya pindah
ke Indramayu. Pak Ustad selalu bilang kalua Indonesia
masih belum merdeka, dia tahu itu dari koran.
Aku perlu berjalan sedikit ke arah Selatan untuk
menemui Siti, calon istriku. Berjalan di Bogor tak pernah
kulihat sesepi ini. banyak orang yang kulihat berpakaian
seperti pemuda yang kutemui di kereta tadi. Aku masih
bingung, ada apa dengan hari ini?
Aku akhirnya sampai di rumah keluarga kekasihku.
Rumahnya kosong, tak ada orang. Aku terus
memperhatikan ke dalam, mungkin ada gerakan atau
apalah itu. Nihil, tak ada siapa-siapa. Aku putus asa.
“Neangan saha, Kang?” seorang ibu-ibu dengan
bahasa daerah bertanya kepadaku.
Aku yang hanya mengerti sedikit menjawab.
“Siti bu, aya teu?”
“Neng Siti angkat jeung bapana.”
“Kamana bu?”
“Ka Jakarta meureun nya, teu terang ibu oge.”
“Aya naon kitu di Jakarta teh bu?”
“Teu terang ibu oge.”
Nihil, ibu ini hanya memberikan kabar bahwa Siti pergi
dengan bapaknya. Entah kemana. Aku putuskan untuk
sholat dulu, aku kelelahan. Aku berjalan sedikit keluar
gang, masuk jalan utama dan ditabrak oleh seseorang yang
berteriak.
“Merdeka!!! Merdeka!!!”
“Merdeka apanya, saya tertabrak begini. Memang
kapan kita merdeka?” aku menggerutu.
“Kamu pasti antek Jepang atau Belanda itu, ya? Kita
sudah merdeka, baru saja Soekarno menyatakannya!”
“Masa bodoh, saya tak peduli” kekesalan karena tidak
berhasil bertemu dan kelelahan terakumulasikan.
“Tolol kamu!” sebuah bogem mentah mendarat ke
wajahku. Disusul pukulan berikutnya, aku ambruk,
berdarah, setelah sekian lama tidak melihat darah.
Mungkin yang pertama di hari kemerdekaan ini.
Depok, November 2010
Sumber : https://www.republika.co.id/berita/mc2zf8/sebuah-cerpen-sejarah