The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by naqsyagens, 2022-05-13 00:57:47

RESUME MODUL 6 KB 2_merged

RESUME MODUL 6 KB 2_merged

KEGIATAN BELAJAR 1

AL-QUR’AN DAN METODE
MEMAHAMINYA

A. Capaian Pembelajaran

Menganalisis konsep tafsir dan takwil dalam kajian ilmu tafsir
Menganalisis konsep dan ciri-ciri ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat
mutasyabihat

B. Sub Capaian Pembelajaran

Mahasiswa mampu menyimpulkan konsep tafsir secara istilahi
Mahasiswa mampu menganalisis konsep takwil
Mahasiswa mampu mengkarakteristikkan ayat-ayat muhkamat
Mahasiswa mampu mengkarakteristikkan ayat-ayat
mutasyabihat

C. Pokok-Pokok Materi Al-Qur’an dan ayat-ayat muhkamat dan
mutasyabihat

Konsep tafsir, takwil dan terjemah

5

URAIAN MATERI
1. Al-Qur’an
1. Pengertian
Secara harfiah, Al-Qur’an berarti bacaan yang sempurna. Jumlah kosakata
yang terdapat di dalamnya sebanyak 77.439 (tujuh puluh tujuh ribu empat
ratus tiga puluh sembilan) kata yang tersusun dari 323.015 (tiga ratus dua
puluh tiga ribu lima belas) huruf. Uniknya, seluruh kosakatanya memiliki
jumlah yang seimbang antara sinonim dan antonimnya. Di antaranya kata
akhirat terulang sejumlah 115 kali sebanyak kata dunya; kata hayat seimbang
dengan kata mawt yang disebutkan sebanyak 145 kali; kata malaikat berjumlah
sama dengan penyebutan kata syaithan sebanyak 88 kali; dan kata thuma’ninah
(ketenangan) terulang dalam jumlah yang sama dengan kata dhiyq (kecemasan)
sebanyak 13 kali (Shihab, 2007:4).
Adapun secara istilah, Al-Qur’an adalah firman Allah yang bersifat
mukjizat yang diturunkan kepada nabi dan rasul terakhir melalui perantara
malaikat Jibril, ditulis dalam berbagai mushaf, disampaikan kepada kita secara
mutawatir, bernilai ibadah bagi pembacanya dan diawali dengan surat al-
Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas (al-Shabuni, 2003: 8). Definisi ini
adalah definisi yang juga disampaikan mayoritas ulama, karena dianggap
komprehensif dan mengandung seluruh unsur yang dapat menjelaskan Al-
Qur’an.
Dalam fungsinya sebagai hudan li al-muttaqin (petunjuk bagi orang-orang
yang bertakwa), Al-Qur’an memuat panduan dan ketentuan yang berimplikasi
bagi tercapainya kebaikan dan kemaslahatan umat manusia. Hanya saja,
panduan dan ketentuan yang disampaikan di dalam Al-Qur’an ada yang
berupa pernyataan samar dan multitafsir dan adapula yang jelas dan
monotafsir. Dibutuhkan pemahaman mendalam berdasarkan piranti keilmuan
ulumul qur’an yang memadai untuk membedakan keduanya dan menemukan
gagasan dan ketentuannya secara tepat. Dua bentuk pernyataan ini dalam

6

terminologi ‘Ulum al-Qur’an disebut dengan ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat
mutasyabihat.

2. Karakteristik Ayat-ayat Al-Quran

a. Ayat-ayat Muhkamat

Kata muhkam sebagai bentuk tunggal dari muhkamat, secara

etimologi berasal dari akar kata hakama-hukum yang berarti menetapkan,

memutuskan atau memisahkan. Kemudian diformulasikan ke dalam wazan

af’ala menjadi ahkama-ihkam yang berarti pasti, menata, menguasai,

menutup, dan menjadikan bijaksana. Al-Muhkam secara bahasa artinya

sesuatu yang pasti, ditata rapi, dikuasai, tertutup, dan bijak. Secara bahasa

ayat muhkamat adalah ayat yang memiliki makna yang terukur, tertutup

dari kemungkinan makna lain, menegaskan dengan kuat satu ketentuan

yang pasti.

Menurut Manna’ Al-Qaththan, secara terminologi muhkam adalah

ayat yang mudah diketahui maksudnya, mengandung satu makna dan

dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain (Al-

Qaththan, 1995: 207). Jadi, ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang

mengandung makna yang kokoh, jelas dan mono tafsir. Pengertian

muhkam ini menjadi sifat Al-Qur’an yang disebutkan dalam surat Hud

ayat 1: ‫ا ٓل ٰرِٰۚ تكٌٰٰاح كۡ تِ تَ كٰۡاٰتٰح ُٰح َدُّٰحِ ت لّ تَ كٰۡ تِ كٰۡلدُح كٰۡ تۡ تِ كۡ َّٰ تَِت كۡ ٰر‬
Artinya:

“Alif Lam Ra. (Inilah) Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi kemudian

dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi Tuhan yang Maha

Bijaksana dan Maha Tahu.”

b. Ayat-ayat Mutasyabihat
Secara harfiah, mutasyabih yang merupakan bentuk tunggal dari

mutasyabihat berasal dari kata syabaha yang berarti serupa. Syubhah -
bentuk nomina dari syabaha- adalah keadaan tentang satu dari dua hal

7

yang tidak dapat dibedakan dari lainnya karena ada keserupaan di antara
keduanya secara konkret atau abstrak. Dari akar kata syabaha terbentuk
kata tasyabaha-tasyabuh yang berarti mirip, tidak pasti, samar, dan
tercampur-aduk.

Menurut Zarkasy ayat mutasayabih adalah ayat yang secara lahiriah
teksnya sama namun memiliki perbedaan makna. Adapun menurut para
mutakalimin ayat mutasyabih adalah ayat yang tidak bisa dipahami secara
tekstual dan harus ditakwilkan untuk medapatkan maknanya yang benar.

Makna ini sejalan dengan sifat kedua Al-Qur’an yaitu kitaaban
mutasyaabihan sebagaimana disebut dalam surat az-Zumar ayat 23:

ٰٰۡۡ‫ّتٰدلتلر هَبدتشاحآٰحه تنكَحءّٰٰ دٰؕزُٰٰحت تلَدَّٰٰ تاتَِٰكتك تَۡۡكٰۡ تسُّٰحۡ تٰۡ كٰضاحكُتَلَح كتتلحٰۡتُُّحكلٰلهُحَ اكحَّٰتثٰتُِٰتتتََكاُٰحَٰحًِ كتلاٰۡبحُِّٰ حهتٰت ِكَّك تشٰۡاتاٰبتل تًُهااىُٰٰٰ دتِِثِتككانتتر تٰىّٰلٰلهََتٰاتكٰٰۡؕتشِتِتل ُّرتَٰٰتِ كُۡح حُتٰ حَُحٰكّلۡلهَُحاتٰٰالدتٰ كتِهكٰتُ تۡكٰٰتٰ كبتٰۡ تشٰ ك تِۡ ك ت‬

Artinya:
“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang
serupa (ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang
yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka
ketika mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan Kitab itu Dia memberi
petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa dibiarkan sesat oleh
Allah, maka tidak seorang pun yang dapat memberi petunjuk.”

Dengan demikian, ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang
maknanya tidak atau belum jelas dan untuk memastikannya tidak
ditemukan dalil yang kuat. Dari itu, para ulama menyebut ayat-ayat
mutasyabihat secara ringkas dengan ungkapan hanya Allah yang
mengetahui maknanya secara pasti. Terkait dengan ayat-ayat
mutasyabihat, para mufasir dengan piranti keilmuan yang mumpuni
dimungkinkan untuk berbeda pemahaman seputar ayat tersebut, namun
dengan tetap berlapang dada menerima kemungkinan penafsiran yang
lain.

8

Tentang keberadaan ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat, Al-
Qur’an sendiri menyampaikan dalam surat Ali ‘Imran (QS 3:7):

ٰٰٰ‫بتتحَِحُ تاٰتت ْٰبِۡتٰتشحكٰااغت تبٌّلدال تتٰهِتءاتِٰيَتْأْۡتٰٰٰۖتأتَ ْنٰٰتعتتَُتْۡزأتت تُدِٰۗتلٰاٰ تٰٰترَا تبللدتعتِتۡتَتِاا ْٰٰٰٰۡۗتٰتتَۡت ََِْٰتٰٰ تتُِاَحّْالٰٰيتَِتٰتٰٰأتِْداُح تَِحَ دكٰتَۡتحبربت حٰٰتهإتٰ تََِإْتدَّّْۡدلّٰلٰح تأحٰزّْٰٰلآَل دلحٰتَغاحاُٰٰٰۡۗتٰاتۡتتَْْٰدٰالتِتلْلحِِحتِدراْۡاح تتِتۡتسبٰ تَٰ حاۡتِاٰۡت تَتٰٰۡ تشتُحُا تبدۡي تٰٰاٰأحْلتُِّمتِْۡ َْٰ تاَحّْلٰٰاتِٰتْبٰتۡحٰتاۡتغلحا تب تۡءٰٰتتۡاَْلٰأحتآفْٰتتَِ تۡۡدحتةار‬

Artinya:
“Dialah yang menurunkan al-Kitab (Al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya
ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur’an dan yang lain
(ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya berpaling dari
kebenaran, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihaat untuk
menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya
itu dari Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya)
melainkan orang-orang yang berakal.”

Kemudian, berkenaan dengan kategorisasi ayat-ayat muhkamat dan
ayat-ayat mutasyabihat, para ulama berbeda pendapat dalam
menentukannya. Bisa jadi satu ayat dikategorikan sebagai ayat muhkamat
oleh sebagian ulama, sementara mutasyabihat oleh ulama lain, seperti ayat
tentang Jannah dan Nar, mayoritas menggolongkannya ke dalam ayat
muhkamat, sementara bagi sebagian kelompok lainnya ditegorikan sebagai
ayat mutasyabihat karena narasi tentang surga dan neraka adalah bentuk
metafora.

Perbedaan pandangan tersebut tentu didasari atas perbedaan
tentang konsep muhkamat dan mutasyabihat. Al-Zamakhsyari menggariskan
kriteria ayat-ayat yang tergolong muhkamat adalah ayat-ayat yang
berhubungan erat dengan hakikat (realitas); sedangkan mutasyabihat adalah
ayat-ayat yang membutuhkan penelitian (tahqiqat).

9

Secara lebih spesifik, al-Raghib al-Ashfahani membuat kriteria bagi
ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang tidak diketahui hakikat
maknanya, seperti ayat seputar kiamat; dan ayat-ayat yang hanya bisa
diketahui maknanya dengan bantuan ayat muhkamat, hadis sahih atau
disiplin ilmu lain, seperti ayat yang lafalnya terlihat aneh dan hukum-
hukumnya tertutup. Sementara ayat-ayat muhkamat menurutnya adalah
ayat-ayat yang tidak termasuk ke dalam kategori mutasyabihat.

Meskipun al-Qur’an mengandung ayat-ayat yang multitafsir dan
beragam makna, umat Islam meyakini bahwa spectrum makna yang luas
tersebut masih dalam koridor kebenaran Al-Qur’an yang bersifat absolut
atau mutlak. Kemutlakan kebenaran Al-Qur’an ada pada tataran ontologis,
namun kebenaran tersebut menjadi relatif ketika dipahami oleh manusia
dengan segala keterbatasannya. Dari itu, perlu diketahui bahwa dalam
memahami kandungan Al-Qur’an dapat menggunakan beberapa cara,
yaitu tafsir, takwil, dan terjemah. Walaupun terjemah bukan merupakan
metode memahami Al-Qur’an karena hanya sebatas pengalihbahasaan,
tetapi terjemah dianggap sebagai salah satu upaya untuk mengantarkan
pemahaman dasar dari Al-Qur’an bagi orang awam.

2. Tafsir
1. Pengertian
Menurut bahasa kata tafsir diambil dari kata fassara-tafsir yang berarti
menjelaskan. Pengertian tafsir menurut bahasa juga bermakna al-idhah
(menjelaskan), al-bayan (menerangkan) dan al-kasyf (menyingkapkan).
Sedangkan secara terminologi terdapat beberapa pendapat, salah satunya
menurut Shubhi al-Shalih yang mendefinisikan tafsir sebagai berikut:

ٰۡ‫تع َْ َّٰٰح ِْ تر حفٰبت تٰ تُ ْه َحِّٰ تكٰا تبٰاللهتٰالَ تۡ دز تلٰ تعَ تىٰنتِتۡتل تٰ حِ تح دَُٰصَىٰاللهٰعَۡ َٰسَ َّٰ تَبت تۡا ت‬
ٰ‫تِِتانتۡ تٰ تَا ْسٰت ْۡ تراجتٰأ ْۡ تِا تِ تٰ تَ تۡ تِ تَ ت‬

Artinya:
“Sebuah ilmu yang digunakan untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada

10

Nabi Muhammad Saw, menerangkan makna-maknanya, serta menggali hukum-hukum
dan hikmah-hikmahnya.”

Definisi lain tentang tafsir dikemukakan oleh ‘Ali al-Shabuni bahwa tafsir
adalah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an dari segi pengertiannya
terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Pendapat senada
disampaikan oleh al-Kilabi bahwa tafsir adalah menjelaskan Al-Qur’an,
menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki dengan
nasnya atau dengan isyaratnya atau tujuannya. Demikian juga menurut Syekh
al-Jazairi, tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafaz yang sukar
dipahami oleh pembaca dengan mengemukakan lafaz sinonimnya atau makna
yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan salah satu makna
semantic (dilalah) lafaz tersebut.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, menafsirkan Al-Qur’an berarti
upaya mengungkap maksud dari Al-Qur’an baik ayat per ayat, surat per surat
maupun tema per tema yang dapat digali dari susunan bahasanya dan lafaz-
lafaz yang digunakannya serta seluk beluk yang berhubungan dengannya.
Seluk beluk yang dimaksud adalah terkait dengan ‘Ulum al-Quran, yang
meliputi asbab al-nuzul, makiyah dan madaniyah, ilmu qiraat, nasikh wa mansukh,
dan seterusnya.

2. Komponen Pendukung Tafsir
Sebagaimana telah disebutkan bahwa menafsirkan Al-Qur’an merupakan

aktivitas besar dan tidak sederhana. Seseorang yang hendak menafsirkan Al-
Qur’an harus memenuhi kompetensi standar di antaranya ilmu bahasa Arab,
sejarah, ilmu hadis, dan sebagainya terutama ilmu Al-Qur’an. Di antara bagian
dari Ilmu Al-Qur’an yang sangat signifikan dalam penafsiran Al-Qur’an adalah
Asbab al-Nuzul. Asbab al-nuzul yang merupakan latar belakang turunnya ayat
menjadi salah satu komponen yang sangat penting dalam memahami pesan Al-
Qur’an. Al-Syathibi menegaskan bahwa seseorang tidak diperkenankan

11

memahami Al-Qur’an hanya dari sisi teksnya saja tanpa memperhatikan
konteks ketika ayat turun. Namun demikian, perlu diketahui bahwa tidak
seluruh ayat Al-Qur’an memiliki riwayat asbab al-nuzul.

Selain Asbab al-Nuzul, pemahaman makiyah dan madaniyah juga patut
dikuasai dalam memahami Al-Qur’an. Makiyah dapat dipahami sebagai ayat-
ayat yang turun sebelum hijrah. Sementara Madaniyah adalah ayat-ayat yang
turun setelah hijrah. Ayat-ayat makiyah terkumpul dalam 86 surat, sementara
madaniyah terdiri dari 38 surat. Terdapat beberapa manfaat penguasaan atas
makiyah dan madaniyah dalam memahami ayat Al-Qur’an, yakni: a) Dapat
membantu mempermudah dalam menjelaskan ayat Al-Qur’an, dikarenakan
makiyah dan madaniyah terkait dengan situasi dan kondisi masyarakat saat itu
ketika ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan. b) Melalui gaya bahasa yang berbeda
pada ayat makiyah dan madaniyah akan membatu dalam memahami ayat Al-
Qur’an, sekaligus memberikan indikasi perbedaan karakteristik masyarakat. c)
Dengan memahami makiyah dan madaniyah akan lebih mudah mengkaitkan
dengan aspek sejarah hidup Nabi Muhammad Saw, dan konteks historis ketika
ayat tersebut diturunkan. Melalui pemahaman tentang konteks historis dapat
diketahui benang merah antara seluk-beluk peristiwa, situasi-kondisi yang
dialami Nabi dan masyarakat Arab dan dunia kala itu, dengan dinamika
peristiwa dan situasi-kondisi yang kita hadapi saat ini.

Selanjutnya, hal yang penting dikuasai dalam menafsirkan Al-Qur’an
adalah ilmu qiraa’at. Ilmu Qiraat adalah salah satu cabang ilmu-ilmu al-Qur’an
(uluum al-Qur’an) yang mengkaji tentang berbagai model dan teknik membaca
al-Qur’an dan berbagai implikasinya dalam pemaknaan. Perbedaan qiraah
sesungguhnya telah ada pada masa Rasulullah, karena menyikapi keragamaan
dialek audiens al-Qur’an kala itu, di samping keragaman kemampuan nalar
sahabat yang membuat Rasul membacakannya dengan teknik beragam sesuai
dengan kapasitas mereka. Pada masa Rasul perbedaan bacaan belum
menimbulkan problematika besar karena beliau sebagai rujukan masih hidup
dan mudah dikonfirmasi. Namun pasca wafatnya Rasulullah, perbedaan

12

bacaan al-Qur’an hamper saja menjadi sumber konflik antar umat Islam.
Hadis sahih riwayat al-Bukhari dan Muslim sebagaimana dikutip ‘Ali al-

Shabuni menceritakan bahwa suatu ketika di masa hidup Rasulullah saw,
Umar bin Khattab salat dan menjadi makmum dari Hisyam bin Hakim. Sang
Imam saat itu membaca Surat al-Furqan dengan bacaan qira’ah yang tidak sama
dengan bacaan Umar yang diajarkan Rasulullah Saw. Sehingga, hampir saja
Umar menyeretnya ketika dia sedang shalat. Namun, Umar berusaha bersabar
menunggunya hingga selesai salam. Setelah Hisyam selesai shalat, Umar
menarik selendangnya seraya berkata padanya, siapa yang membacakan surat
al-Furqan kepadamu dengan bacaan seperti itu, kata Umar. Dia menjawab:
Rasulullah Saw yang membacakan kepadaku seperti itu. Bohong kamu, kata
Umar. Sungguh Rasulullah Saw membacakan padaku tidak seperti apa yang
kamu baca. Kemudian Umar membawanya untuk menghadap Rasul. Setelah
keduanya diperintah membaca surat al-Furqan, kemudian Rasulullah Saw
membenarkan bacaan keduanya, sambil bersabda: “Seperti itulah bacaan Al-
Qur’an diturunkan.” Kemudian Rasulpun mengatakan, “sesungguhnya Al-Qur’an
diturunkan dalam tujuh huruf (qiraah), maka bacalah dengan yang memudahkan
bagimu” (Al-Shabuni, 2003: 210). Riwayat ini jelas menggambarkan bahwa Al-
Qur’an dapat dibaca dengan berbagai cara sesuai riwayat qiraat yang sahih atau
dibenarkan. Namun, apakah itu semata hanya berbeda dalam hal cara
pembacaannya tanpa berpengaruh terhadap pemaknaan? Berikut akan
dijelaskan dengan disertai contohnya.

3. Contoh Penafsiran
Qiraah sebenarnya tidak hanya berkutat dalam perbedaan bacaan Al-

Qur’an dari segi dialek saja. Namun terdapat juga perbedaan-perbedaan qiraah
yang mempengaruhi terhadap perbedaan makna lafaz, sehingga menjadi
penting memahaminya bagi seorang mufassir. Di antara manfaat memahami
perbedaan qiraah yang mempengaruhi terhadap makna adalah dapat
mengetahui adanya dua hukum yang berbeda.

13

Misalnya pada surat Al-Baqarah: 222. ٰۡ‫تََتّلَٰت ْۡ تربحۡ حُ دٰۡ تٰۡدىٰٰت ْط حه ْر ت‬
Artinya:

“Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.”

Fakhruddin al-Razi menyebutkan dalam tafsirnya Mafatih al-Ghayb atau

dikenal dengan al-Tafsir al-Kabir bahwa para imam qiraat berbeda pendapat

tentang cara membaca ۡ‫ ٰطهر‬pada ayat ini. Berada di barisan pertama adalah

Imam Ibn Katsir, Nafi’, Abu ‘Amr, Ibn ‘Amir, Ya’qub al-Hadhrami dan Abu
Bakar dari ‘Ashim yang membacanya dengan bunyi ۡ‫( َٰت ْط حه ْر‬yathhurna). Cara

pertama ini adalah yang lazim kita gunakan. Sementara berada di barisan

kedua adalah Imam Hamzah, al-Kisa’i dan Hafsh Ibn ‘Ashim yang membaca

dengan memberikan tasydid pada huruf tha’ sehingga berbunyi ۡ‫َٰ دط ده ْر‬

(yaththahharna).

Dua cara yang berbeda ini memberikan pengaruh yang cukup berarti
terhadap pemaknaannya. Kata ۡ‫ َٰت ْط حه ْر‬dengan cara baca pertama berarti wanita
haid boleh didekati apabila berhenti haidnya. Sedangkan bacaan ۡ‫َٰ دط ده ْر‬

dengan cara kedua menunjukkan makna bahwa wanita haid baru boleh

didekati setelah mereka bersuci atau mandi (al-Razi, 1981: 72). Dari dua qiraah

ini dapat dipahami bahwa wanita haid boleh didekati setelah berhenti haidnya

dan telah mandi.

Demikian juga dalam memahami qiraat yang memiliki dua wajah seperti

pada surat al-Maidah ayat 6 dalam kaitannya dengan wudhu:

ٰ‫ٱُت ْلٱ تِ ْغ ِْ تِتس َْۡح تۡۡ۟اٰٰۚ حَ حُۡ تُ حِ َّْٰ تَأت ْٰ تُٰت حِ َّْٰ تإلتىٰٱ ْل تَ تراُت تقٰ تَٱ ِْ تس ححۡ ۟اٰبت حر حءَ تس حِ َّْٰ تَأت ْر حُ تَ حِ َّْٰ تإ تلى‬

Artinya:

“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepalamu

dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
Kata َّ ِ‫( َ تَأت ْر حُ تَ ح‬wa arjulakum) dibaca fathah lam-nya oleh mayoritas qiroah

Hijaz dan ‘Iraq yang lazim kita baca saat ini. Sementara sebagian qiraah Hijaz
dan ‘Iraq lainnya membaca dengan meng-kasrah lam َّ ِ‫( َ تَأت ْر حُ تَ ح‬wa arjulikum).

14

Perbedaan dua qiraah ini berdampak terhadap hukum. Qiraah pertama dengan
nashab karena ‘athaf terhadap wujuh dan aydiy yang berarti bahwa kaki termasuk
bagian wudu yang harus dibasuh. Sedangkan qiraah kedua dengan khafadh
karena ‘athaf terhadap ru’us yang berarti kaki cukup diusap seperti rambut (Al-
Thabari, 2001: 188-200).

Dari dua qiraah ini dapat dipahami bahwa salah satu rukun wudu adalah
membasuh kaki. Tetapi membasuh kaki dapat diubah dengan mengusapnya
bagi orang yang memakai khuffah (semacam sepatu pada zaman dahulu) bagi
orang yang berperjalanan.

Pengetahuan seperti ini tidak mungkin diketahui oleh seseorang yang tidak
mengenal tentang ilmu qiraah. Karena itu, pengetahuan ilmu qiraat dan ilmu-
ilmu lain dari Ulum al-Quran selain ilmu Bahasa Arab dan yang lainnya menjadi
kemampuan dasar bagi seorang mufassir dalam menjelaskan ayat-ayat Al-
Qur’an agar di dalam penafsirannya dapat terhindar dari kemungkinan terjadi
kesalahan.

3. Takwil
1. Pengertian
Ta’wil yang kemudian diserap ke dalam Bahasa Indonesia menjadi takwil
menurut bahasa berasal dari kata awwala-yuawwilu-ta’wil yang memiliki makna
al-ruju’ atau al-’aud yang berarti kembali. Al-Qur’an menggunakan kata ini
sebanyak 16 kali dalam tujuh surat dan 15 ayat (Izzan, 2009: 243). Kata takwil
biasa digunakan dalam menjelaskan maksud dari sebuah peristiwa atau kisah.
Misalnya, pada kisah Nabi Yusuf as ayat 100 saat menjelaskan peristiwa
tunduknya keluarga dan saudara-saudaranya kepada Yusuf dinyatakan
dengan kalimat “hadza ta’wilu ru’yaya min qabl qad ja’ala rabbi haqqan” (Ini adalah
takwil mimpiku sebelumnya, sungguh Tuhan telah menjadikan mimpiku menjadi
kenyataan). Demikian juga pada surat al-Kahfi ayat 78 tentang kisah seorang
hamba Allah yang diberi ilmu dari sisi-Nya mengatakan kepada Nabi Musa as
dengan kalimat “sa’unabbi’uka bita’wili malam tastathi’ alayhi sabran” (Aku akan

15

menjelaskan takwil sesuatu yang engkau tidak dapat bersikap sabar terhadapnya).
Memperhatikan penggunaan kata takwil di dalam Al-Qur’an, maka

secara terminologi al-Jurjani dalam kitab al Ta’rifatnya memberikan definisi
takwil sebagai berikut:

ٰ‫تٰرتصا ْهرٰ حِحفتٰۡاا تُلًَۡداْفٰبتظاٰل تِتعٰاْٰۡ تبتِٰ َِْۡتاالهحُّٰساۡدلةظا تُ ترٰإل تىٰ تِ ًِْۡىٰٰت ْحٰت تََح حٰإِتاِٰكا تٰۡال حَحٰت تَ حلٰالت تِي‬

Artinya:
Mengalihkan lafaz dari maknanya yang eksplisit kepada makna implisit yang
dikandung olehnya selama makna yang dimaksud tersebut dipandang sesuai dengan
Al-Qur’an dan al-sunnah (Al-Jurjani, 2004: 46).

Berdasarkan definisi di atas, takwil berarti mengungkap makna yang
tidak tampak pada zahir lafaz Al-Qur’an. Lantas, apakah setiap orang berhak
menerka-nerka makna di balik setiap ayat Al-Qur’an? Kemudian jika takwil
juga mengungkap makna, apa bedanya dengan tafsir? Berikut penjelasannya.

2. Ketentuan Takwil
Takwil berbeda dengan tafsir sekalipun keduanya menjelaskan maksud

dari sebuah pernyataan dalam Al-Qur’an. Tafsir pada praktiknya menjelaskan
makna ekspilisit tekstual dan terikat dengan pemahaman bahasa sementara
takwil mengungkap makna secara implisit dinamis, dan terikat dengan konteks
yang beragam. Perbedaan tersebut dapat dilihat dalam memahami kalimat
َۡۡ‫( ٰۡرج الحي ِۡ ال‬mengeluarkan kehidupan dari yang mati). Penggalan ayat 19 dari
surat al-Rum bisa dipahami dalam makna mengeluarkan seekor ayam yang
menetas dari telur. Makna tersebut adalah tafsir. Tetapi, jika dipahami dengan
takwil, maka bisa bermakna mengeluarkan seorang Mukmin dari kekafiran
atau mengeluarkan yang pandai dari kebodohan (Al-Jurjani, 2004: 46).

Dari contoh di atas terlihat jelas bahwa pada hakikatnya takwil
dilakukan dalam rangka memahami ayat yang berarti juga melakukan kegiatan
tafsir. Maka, takwil pada fungsinya sebagai tafsir yang dapat memudahkan
dalam mencerna dan mengamalkan ajaran Al-Qur’an sesuai dengan

16

perkembangan zaman sekarang dan akan datang. Dengan kata lain, takwil
adalah metode tafsir yang diperluas dengan upaya untuk
mengkontekstualisasikan pemahaman tersebut dengan dinamika kehidupan
umat manusia. Tafsir dan ta’wil, keduanya adalah metode penting yang perlu
dilakukan dalam memahami makna Al-Qur’an.

Takwil lazim dilakukan terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Namun,
apakah seluruh ayat-ayat mutasyabihat boleh atau harus ditakwil? Terkait ini
Quraish Shihab menunjukkan bahwa QS. Ali Imran (3) ayat 7 yang telah
disampaikan sebelumnya menimbulkan perbedaan pemahaman tentang boleh
tidaknya takwil atas ayat-ayat mutasyabihat (Shihab, 1995: 91). Sebagian
pendapat menyatakan bahwa semua ayat mutasyabihat bisa ditakwil
seluruhnya, tetapi sebagian lagi berpendapat bahwa sebagian saja yang boleh
ditakwil, itupun bila memenuhi persyaratan takwil termasuk siapa saja yang
berhak melakukannya. Oleh karena takwil merupakan pekerjaan yang sulit,
maka diperlukan syarat keahlian tertentu, antara lain pengetahuan mendalam
tentang ilmu-ilmu keislaman termasuk kaidah bahasa Arab karena takwil tidak
berdasar ra’yu (pendapat/akal) saja.

Selanjutnya, terkait perbedaan cakupan antara tafsir dan takwil, Al-
Raghib al-Ashfahani dalam kitab Mufradat Alfadzi al-Qur’an mengemukakan
bahwa tafsir lebih umum daripada takwil (Al-Ashfahani, 2009: 636). Tafsir lebih
banyak digunakan dalam kata dan kosakatanya. Sedang takwil banyak
digunakan dalam makna dan susunan kalimatnya. Takwil lebih banyak
digunakan dalam Al-Qur’an, sedang tafsir tidak saja digunakan dalam Al-
Qur’an tetapi juga dalam kitab-kitab lainnya (Shihab, 1995: 91).

Penakwilan terhadap ayat Al-Qur’an dilakukan secara ketat
berdasarkan kaidah dan dasar-dasar keilmuan. Jika kita menyetujui bahwa
semua ayat-ayat mutasyabihat boleh ditakwil, maka ayat-ayat yang ditakwil
tidak hanya teks-teks ayat yang pernah ditakwilkan oleh ahli tafsir terdahulu,
melainkan dapat berkembang selama makna yang digagas tidak keluar dari
akar kata redaksi bahasa ayat itu.

17

3. Contoh Takwil

Agar memudahkan pemahaman, berikut disampaikan di antara contoh

takwil yang dilakukan para ulama terhadap ayat Al-Qur’an. Pertama, surah al-

Fil (QS. 105:3) sebagai berikut:

Artinya: ‫دَات كر تس تلٰ تعَت كۡ ته كَّٰ تط كۡ ًراٰاتبتا تب كۡ تٰل‬

“Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong.”

Muhammad ‘Abduh dalam tafsir Juz Amma-nya memahami kata “‫”طۡرا‬

di atas yang berarti burung yang terambil dari kata thara–yathiru (terbang)

dengan sejenis virus atau bakteri yang beterbangan. Hal ini sah karena tidak

keluar dari makna dasar kata tersebut.

Contoh kedua penerapan takwil terhadap ayat mutasyabihat lainnya

dilakukan M. Quraish Shihab dalam menafsirkan kata “‫ ”ِكرسي‬pada Q.S. Al-

Baqarah ayat 255 berikut: ‫تَ تس تعِٰ حك كر تسُّۡ حٰال دسَۡ تتٰ تَا كَّلت كر تٰض‬
Artinya:

“Kursi-Nya meliputi langit dan bumi.”

Ia menakwilkan kalimat kursi Allah meliputi langit dan bumi

sebagaimana Al-Thabathaba’i dalam Tafsir Al-Mizan dengan kedudukan

Ilahiyah untuk mengendalikan semua makhluk-Nya. Luasnya kursi Allah

memiliki makna ketakterhinggaan kekuasaan-Nya. Karena itu makna kursi

pada ayat tersebut adalah kedudukan ketuhanan yang mengendalikan langit

dan bumi beserta isinya. Juga mengisyaratkan bahwa semua benda itu

terkontrol dengan baik. Demikian juga makna keluasan yang dimaksud bahwa

pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu di langit dan bumi.

Namun berbeda dengan ayat yang berbicara tentang zat Allah yang

tercantum pada surat al-Nur ‫( الله نۡر السَۡات َاَّلرض‬Allah adalah cahaya langit dan

bumi). Dimaknai demikian dengan tujuan agar zat Allah itu bisa diketahui.

Pemahaman seperti ini merupakan takwil yang terlarang, karena tidak sesuai

dengan ayat: ‫لۡس ِكَثَ شۡئ‬... (tidak ada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya)

18

(QS. Asy-Syura [42]: 11).
Takwil yang hanya berdasarkan akal saja tanpa mempertimbangkan

aspek kebahasaan hukumnya terlarang, karena memungkinkan maksud yang
digagas keluar dari makna dasarnya. Takwil yang diakui adalah yang bertolak
dari pemahaman teks, pemahaman konteks historis, dan pemahaman realitas
kekinian. Namun demikian, tidak bisa setiap mufasir mengklaim bahwa tafsir
atau takwilnya yang benar, karena menyadari relativitas pemahaman mereka
selalu menutup tafsir mereka dengan ungkapan wallahu a’lam bi muradi bih
(Allah lebih tahu maksudnya).
4. Terjemah
1. Pengertian

Terjemah bukan termasuk metode memahami Al-Qur’an seperti halnya
tafsir dan takwil, ia hanya bentuk pengalihbahasaan. Secara etimologi, terjemah
diambil dari bahasa Arab dari kata tarjamah. Bahasa Arab sendiri menyerap
kata tersebut dari bahasa Armenia yaitu turjuman (Didawi, 1992: 37). Kata
turjuman sebentuk dengan kata tarjaman dan tarjuman yang berarti mengalihkan
tuturan dari satu bahasa ke bahasa lain (Manzhur: 66). Terjemah menurut
bahasa juga berarti salinan dari satu bahasa ke bahasa lain, atau mengganti,
menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke bahasa lain. Selain itu,
berarti pula memindahkan lafal dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain.

Adapun secara terminologi, terjemah didefinisikan sebagai berikut:

ٰ‫الٰت ِْ تِۡ حرٰ تع ْٰۡ تِ ِْۡ تىِٰ تك تَلمٰ تُىٰلح تغةٰ تب تَِلمٰا تَرٰ تِ ْٰۡلحغتةٰاح َْ تر ٰ تِ تعٰال تُۡتا تءٰبت تج تَۡعت‬
‫تِِتا تنۡ تٰ تَ تِۡا تص تُه‬

Artinya:
“Mengungkapkan makna tuturan suatu bahasa di dalam bahasa lain dengan memenuhi
seluruh makna dan maksud tuturan tersebut.”

Al-Shabuni mendefinisikan terjemah Al-Qur’an adalah memindahkan
bahasa Al-Qur’an ke bahasa lain yang bukan bahasa Arab kemudian mencetak
terjemah ini ke beberapa naskah agar dapat dibaca orang yang tidak mengerti
bahasa Arab. Dengan upaya ini diharapkan umat Islam yang bukan orang Arab

19

dapat memahami pesan dasar dari kitab Allah SWT.

2. Jenis Terjemah
Penerjemahan dibagi menjadi dua, yaitu terjemah harfiyyah dan terjemah

tafsiriyyah. Terjemah harfiyyah atau kerap juga disebut terjemah lafziyyah, yaitu
mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke dalam lafaz-lafaz yang serupa dari
bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai
dengan susunan dan tertib bahasa pertama. Muhammad Husayn al-Dzahabi
membedakan terjemah harfiyyah ke dalam dua metode, yakni terjemah harfiah
bi al-mitsil dan terjemah harfiyyah bi ghayr al-mitsil. Metode pertama adalah
terjemahan yang dilakukan apa adanya yang terikat oleh susunan dan struktur
bahasa asal yang diterjemahkan. Sementara metode kedua merupakan
terjemahan yang lebih longgar keterikatannya dengan susunan dan struktur
bahasa asa yang diterjemahkan (Izzan, 2009: 253).

Adapun terjemah tafsiriyyah atau terjemah ma’nawiyyah, yaitu
menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan
tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya. Dalam
bahasa sederhana, terjemah ini dikenal dengan istilah terjemah bebas.
Sementara terjemah harfiyyah disebut dengan terjemah leterlek.

Membaca terjemah sebuah ayat Al-Qur’an dapat membantu pembaca
untuk memahami ayat tersebut. Namun demikian, membaca terjemah saja
tanpa memahami seluk beluk bahasa Al-Qur’an seringkali menjadikan
pemahaman terhadap ayat tersebut kurang sempurna, atau bahkan
dikhawatirkan terjadi kesalahpahaman. Bahkan ada ungkapan beberapa tokoh
bahasa yang menegaskan bahwa dalam terjemahan selalu ada simplifiksi dan
distorsi makna. Terkait pembacaan Al-Qur’an, simplifikasi dan distorsi
terjemahan secara umum dapat disebabkan beberapa hal, di antaranya:

a. Tidak semua kata dalam suatu bahasa dapat diterjemahkan secara tepat
atau utuh ke dalam bahasa lain, termasuk Al-Qur’an. Ini dikarenakan
setiap bahasa memiliki batas-batas makna masing-masing. Contoh kata;

20

anta dan anti (mudzakkar dan muannats) dengan terjemah kamu, anda
atau engkau tidak dapat mewakili secara utuh makna dari teks.
Demikian juga misalnya kata insanun dan basyarun tidak dapat secara
utuh diwakili oleh terjemah kata manusia.
b. Keterbatasan seorang penerjemah dalam melakukan pilihan kata yang
tepat dan dalam penguasaan struktur bahasa yang digunakan.
c. Latar belakang budaya yang berbeda pada setiap bangsa akan
membentuk karakteristik bahasa yang berbeda.
Karena itu, apabila melihat berbagai kelemahan tersebut di atas, maka
dalam penerjemahan Al-Qur’an belum dapat dikatakan mampu mewakili
seluruh maksud ayat-ayatnya. Apalagi bahwa Al-Qur’an itu adalah kalamullah
yang memiliki keagungan dalam bahasa dan kandungannya, maka dapat
dipastikan sebuah terjemahan Al-Qur’an tidak mampu menggambarkan secara
utuh maksud-maksudnya. Namun demikian, bukan berarti terjemah Al-Qur’an
tidak penting, karena dengan adanya terjemah Al-Qur’an dapat membantu
untuk melakukan tadabbur (renungan) atau paling tidak mengetahui pesan
dasar Al-Qur’an khususnya bagi bangsa ‘ajam (non-Arab) yang tidak memiliki
kemampuan bahasa Arab secara baik.
3. Contoh Terjemah
Berikut disajikan contoh terjemah dari surat Al-Isra’ ayat 29 yang berbunyi:

ٰ‫تََتّل َٰت كجِت كل ٰ تُٰت تك ٰ تِ كغَح كۡلتةً ٰ تالى ٰ حعۡح تۡ تَ ٰ تََتّل َٰتكِ حس كط تها ِٰ حك دل ٰاكل تِ كس تط ٰ تُٰت كِۡحُت ٰ تَِح كۡ ًِا‬
‫دِ كح حس كۡ ًرا‬

Artinya:
“Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan
(pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela
dan menyesal.”

Di atas adalah terjemah harfiyyah yang mempertahankan susunan dan
struktur bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Sedang jika diterjemahkan
secara tafsiriyyah ayat tersebut berarti: “janganlah engkau bersikap kikir dan
boros dalam menggunakan harta.”

21

REFLEKSI
Setelah mempelajari materi Al-Qur’an dan Metode Memahaminya yang

mencakup tafsir, takwil dan terjemah, apakah hikmah atau spirit yang dapat
saudara mahasiswa ambil dan terapkan dalam pembelajaran PAI? Setidaknya
melalui pembelajaran ini kita mengetahui bahwa:
“Kebenaran Al-Qur’an bersifat mutlak, sementara kebenaran tafsir, takwil dan
terjemah bersifat relatif karena berdasarkan pikiran manusia. Jika demikian,
maka begitupun dengan Pendidikan Agama Islam harus mengajarkan
keterbukaan pada beragam perbedaan pemahaman. Pendidikan Agama Islam
harus dapat menyajikan doktrin dan dogma yang bersifat teologis dengan
menggunakan pendekatan antroposentris, sehingga doktrin tersebut dapat
disikapi secara dinamis dalam ruang sejarah manusia. Seperti halnya al-Qur’an
yang dibaca sebagai insiprasi peradaban, maka PAI harus dapat menginspirasi
siswa untuk membangun peradaban yang damai, maju, bermartabat, dan
sejahtera”.

CONTOH SOAL
Setelah menganalisis uraian materi, apakah saudara sudah menguasai

capaian pembelajaran pada kegiatan belajar ini? Agar dapat mengukur
penguasaan saudara, dapat mengisi soal yang berkaitan dengan kegiatan
belajar ini. Berikut sajian contoh soal pada modul ini sebagai bahan latihan
saudara dalam menganalisis pertanyaan dan jawaban, serta sebagai contoh
pembuatan soal tes formatif yang akan dibuat oleh dosen pengampu.
Perhatikan pernyataan-pernyataan berkenaan dengan karakter Al-Qur’an
berikut:
1) Firman Allah SWT
2) Mukjizat
3) Diturunkan kepada Nabi Muhammad
4) Diturunkan di Madinah
5) Dimulai dari surat al-‘Alaq dan ditutup dengan surat al-Nas

22

6) Melalui perantara malaikat Jibril
7) Bernilai ibadah hanya bagi yang mampu memahaminya
8) Ditransmisikan kepada kita secara mutawatir
Yang dapat merepresentasikan definisi Al-Qur’an ditunjukkan nomor …..
A. 1-2-3-4-5
B. 1-3-4-6-7
C. 1-2-3-6-8
D. 1-2-4-5-7
E. 1-3-5-6-8
Jawaban: C

TINDAK LANJUT BELAJAR
Untuk meningkatkan kemampuan analisis, Saudara dapat melakukan

beberapa aktivitas tindak lanjut dari kegiatan belajar ini, di antaranya
sebagai berikut:

1. Simaklah sumber belajar dalam bentuk video/artikel pada LMS
Program PPG. Kemudian lakukan analisis berdasarka konten!

2. Kaitkan konten video/artikel dengan nilai-nilai moderasi dalam proses
pembelajarannya di sekolah/madrasah!

3. Ikuti tes akhir modul dan cermati hasil tesnya. Bila hasil tes akhir
modul di bawah standar minimum ketuntasan (70), maka Saudara
melakukan pembelajaran remedial dengan memperhatikan petunjuk
dalam LMS program PPG.

4. Aktifitas tindak lanjut lebih detail, silahkan mengikuti tagihan tugas
yang ada di LMS.

23

GLOSARIUM

’Ajam : Orang yang bukan bangsa Arab

Madaniyah : Ayat yang turun setelah hijrah

Makiyah : Ayat yang turun sebelum hijrah

Muhkam : Ayat yang jelas dan mudah dipahami maknanya

Mutasyabih : Ayat yang maknanya tidak atau belum jelas dan untuk

memastikannya tidak ditemukan dalil yang kuat

Mutawatir : Ayat atau hadis yang disampaikan secara turun temurun oleh

sekurang-kurangnya sepuluh orang di setiap tingkatan

generasinya dan sangat kecil terjadi kebohongan

Nas : Teks Al-Qur’an atau hadis yang dipakai sebagai alasan atau

dasar untuk memutuskan suatu masalah

24

DAFTAR PUSTAKA
Abadi, Abu al-Thayyib Muhammad Syams al-Haqq. `Awn al-Ma`bud Syarh Sunan Abu

Dawud, ed. Khalid `Abd al-Fattah Syibl. Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah,
1998.
Abduh, Muhammad. al-Manar. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Al-Ashfahani, al-Raghib. Mufradat Alfazh al-Qur’an. Damaskus: Dar al-Qalam, 2009.
Al-Baqi, Muhammad Fuad ‘Abd. al - Mu’jam al - Mufahras li Alfazh al-Qur’an. Kairo:
Dar al-Hadits, 1986.
Al-Jurjani, ‘Ali Ibn Muhammad. Mu’jam al-Ta’rifat. Kairo: Dar al-Fadhilah, 2004.
Al-Qattan, Manna’. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an. Kairo: Maktabah Wahbah, 1995.
Al-Razi, Fakhruddin. Mafatih al-Ghayb. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Al-Shabuni, ‘Ali. Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an. Tehran: Dar Ihsan, 2003.
Al-Thabari, Ibn Jarir. Tafsir al-Thabari. Kairo: Dar Hijr, 2001.
Didawi, Muhammad. Ilmu al-Tarjamah bainan Nazhariyah wa al Tathbiq. Tunis: Darul
Maarif li ath Thabaah wa al Nasyr, 1992.
Izzan, Ahmad. Ulumul Quran: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas Al-Qur’an.
Bandung: Tafakur, 2009.
Manzhur, Ibn. Lisan al-‘Arab. Beirut: Dar Shadir, 1300 H.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al Quran. Bandung: Mizan, 1995.
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al Quran, Jilid 2. Jakarta: Lentera Hati, 2011.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran. Bandung: Mizan, 2007.
Zaid, Nashr Hamid Abu. Menalar Firman Tuhan; Wacana Majas dalam Al-Qur‟an
Menurut Mutazilah, terj. Abdurrahman dan Hamka Hasan. Bandung: Mizan,
2003.

25


Click to View FlipBook Version