1Peta Jalan Indonesia
6 Menuju Bebas
Deforestasi Tahun 2
Penegakan hukum 2020
dan penyelesaian 6 Langkah Rencana Aksi
sengketa alternatif Indonesia Menuju
strategis Bebas Deforestasi
penyempurnaan Tahun 2020
5 Evaluasi 3tata kelola hutan
perizinan
terintegrasi alam dan lahan
gambut Memantau jalannya
implementasi dari
4 Rencana Aksi
Mempercepat
Indonesia Menuju
Bebas Deforestasi
Tahun 2020
terbitnya Kebijakan
Satu Peta
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global
6 Tahun Perjalanan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam
dan Lahan Gambut Indonesia
Sebuah Evaluasi atas Pelaksanaan Instruksi Presiden Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru
dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
isu kunci Berkurangnya tutupan hutan dan kebakaran
INPRES No. 10 Tahun 2011 menetapkan hutan dan lahan gambut masih terjadi dalam
wilayah penundaan pemberian izin baru.
penundaan pemberian izin baru untuk Kebijakan penundaan pemberian izin baru ini
penyempurnaan tata kelola hutan alam primer juga tidak memberikan ruang penyelesaian
dan lahan gambut sebagai salah satu tindakan konflik lahan antara masyarakat adat, lokal
pemenuhan kesepakatan dalam LoI (Letter of dengan pemerintah dan perusahaan, sebab
Intent) antara Pemerintah Indonesia dan perlindungan, pengukuhan dan penguatan atas
Kerajaan Norwegia. hak dan ruang kelola mereka belum sepenuhnya
Terdapat kelemahan-kelemahan INPRES No. 10 dijalankan.
Tahun 2011 dan INPRES-INPRES perpanjangannya
(INPRES No. 6 Tahun 2013 dan INPRES No. 8 Luas cakupan wilayah penundaan pemberian izin
Tahun 2015) antara lain: tidak terlibatnya baru secara keseluruhan berkurang dari pertama
kementerian penting lainnya seperti kali kebijakan penundaan pemberian izin baru
Kementerian Pertanian dan Kementerian ESDM; tersebut dikeluarkan. Dari PIPIB 1 sampai dengan
memasukkan hutan lindung dan konservasi yang PIPPIB Revisi XI terjadi pengurangan luasan
sudah dilindungi undang-undang dan wilayah penundaan pemberian izin baru seluas
mengesampingkan hutan sekunder sebagai kurang lebih 2.701.938 hektare.
wilayah penundaan pemberian izin baru; dan
membuat berbagai pengecualian yang Kebijakan penundaan pemberian izin baru
melemahkan tujuan penundaan pemberian izin merupakan langkah penting untuk memenuhi
baru, misalnya pengecualian untuk proyek vital komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi
pembangunan. gas rumah kaca. Kebijakan ini harus dilanjutkan
Pada praktiknya, meskipun kebijakan penundaan untuk mendorong perbaikan tata kelola hutan
pemberian izin baru sudah diterapkan selama 6 dan lahan gambut. Akan tetapi, kebijakan
tahun, kebijakan tersebut belum bisa tersebut belum diikuti langkah-langkah konkret
sepenuhnya mengatasi permasalahan terkait dalam perbaikan tata kelola hutan dan lahan
tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. gambut yang melampaui Business as Usual.
Hal ini menunjukan bahwa pemerintah tidak
memiliki arah yang jelas pada isu perlindungan Enam langkah strategis penyempurnaan tata
hutan dan lahan gambut. kelola hutan alam dan lahan gambut:
Izin alih fungsi hutan untuk perusahaan 1. Menyusun Peta Jalan Indonesia Menuju
perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman Bebas Deforestasi Tahun 2020 dengan
industri, dan pertambangan, serta proyek- landasan hukum yang lebih kuat (PERPRES);
proyek nasional lainnya, masih terus diterbitkan, 2. Membuat Rencana Aksi Indonesia Menuju
yang mengakibatkan berlanjutnya tekanan dan Bebas Deforestasi Tahun 2020;
kerusakan pada hutan dan dan lahan gambut 3. Memantau jalannya implementasi dari
serta meluasnya konflik. Rencana Aksi Indonesia Menuju Bebas
Deforestasi Tahun 2020;
4. Mempercepat terbitnya Kebijakan Satu Peta;
5. Evaluasi perizinan terintegrasi; dan
6. M e l a k u k a n p e n e g a k a n h u k u m d a n
penyelesaian sengketa alternatif.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global
LATAR BELAKANG nya, termasuk penundaan selama dua tahun bagi
Dalam upayanya mengurangi gangguan terhadap pemberian izin baru untuk konversi kawasan hutan
hutan yang berdampak pada meningkatnya emisi alam dan lahan gambut untuk penggunaan lainnya.
gas rumah kaca, pemerintah Indonesia Hampir setahun setelah penandatanganan LoI
berkomitmen untuk melakukan pengurangan emisi tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
gas rumah kaca Indonesia sebesar 26% dari BAU pada 20 Mei 2011 menerbitkan INPRES No. 10 Tahun
(Business as Usual) pada tahun 2020 dengan sumber 2011 Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan
daya keuangan dalam negeri1 (atau sebesar 41% Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan
dengan bantuan internasional). Komitmen ini Lahan Gambut. INPRES tersebut kemudian
pertama kali diumumkan di Pittsburgh dalam diperpanjang dengan INPRES No. 6 Tahun 2013 dan
sebuah pertemuan negara-negara yang tergabung INPRES No. 8 Tahun 2015.
dalam G20, pada September 2009. Komitmen INPRES No. 10 Tahun 2011 ini menetapkan
tersebut ditegaskan kembali dalam pidato penundaan pemberian izin baru dan
kenegaraan di acara Pertemuan Puncak Perubahan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan
Iklim di Copenhagen, Desember 2009.2 Dalam pidato lahan gambut yang akan memenuhi salah satu
kenegaraan tersebut, Presiden Susilo Bambang tindakan kesepakatan dalam LoI.4 Masa penundaan
Yudhoyono menegaskan untuk tetap selama dua tahun sejak tanggal diundangkannya
mempertahankan hutan dari kegiatan penebangan setiap INPRES tersebut merupakan kesempatan
"Keep the trees up than chop them down… the only bagi pemerintah untuk melakukan upaya
dogma is human survival”. Sebagai negara yang pembenahan tata kelola maupun tata kuasa hutan
hampir 80% emisinya bersumber dari deforestasi yang lebih baik melalui pelembagaan proses
dan perubahan peruntukan lahan hutan (Land Use, koordinasi dan pengumpulan data dan
Land Use Change and Forestry/LULUCF), komitmen kemungkinan juga peraturan-peraturan baru yang
ini merupakan awal dari sebuah langkah maju dalam diperlukan.
memperbaiki tata kelola hutan dan ekosistem Pada praktiknya, meskipun kebijakan penundaan
gambut. pemberian izin tersebut sudah diterapkan selama 6
Komitmen penurunan emisi Indonesia tersebut tahun, izin alih fungsi hutan untuk perusahaan
mendapat sambutan baik, tidak hanya dari negara- perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri,
negara anggota G20 dan dunia internasional, dan pertambangan, serta proyek-proyek nasional
bahkan juga dari negara donor terutama Norwegia, MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan
untuk membantu terwujudnya penurunan emisi. Pembangunan Ekonomi Indonesia) lainnya, masih
Menindaklanjuti hal tersebut, pada tanggal 26 Mei terus diterbitkan, yang mengakibatkan berlanjutnya
2010, Pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan tekanan dan kerusakan pada hutan dan lahan
Norwegia menandatangani Surat Pernyataan gambut serta meluasnya konflik.5 Hal ini diperparah
Kehendak (Letter of Intent/LoI) tentang REDD+.3 dengan keluarnya Peraturan Menteri Lingkungan
Berdasarkan LoI ini, Indonesia sepakat untuk Hidup dan Kehutanan No. 4 Tahun 2016 Tentang
melakukan beberapa tindakan, antara lain: Pembatasan Luasan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
menyusun Strategi Nasional tentang REDD+; Hutan Kayu (IUPHHK) dalam Hutan Alam, IUPHHK
menetapkan badan khusus untuk menerapkan Hutan Tanaman Industri pada Hutan Produksi, yang
strategi REDD+, termasuk sistem pemantauan, mencabut Peraturan Menteri Kehutanan No. 8
pelaporan dan pembuktian (Monitoring, Reporting Tahun 2014 Tentang Pembatasan Luasan Izin Usaha
and Verification/MRV) atas pengurangan emisi dan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam
instrumen keuangan untuk penyaluran dana; dan Hutan Alam, IUPHHK Hutan Tanaman Industri atau
mengembangkan dan menerapkan instrumen IUPHHK Restorasi Ekosistem pada Hutan Produksi.
kebijakan serta kemampuan untuk melaksanakan-
6 Tahun Perjalanan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam
dan Lahan Gambut Indonesia
Sebuah Evaluasi atas Pelaksanaan Instruksi Presiden Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru
dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
Kotak 1. Kelonggaran pada Pembatasan kepemimpinan Presiden Joko Widodo, justru
Luasan Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu ƨ Ǧ
PERMENHUT No. 8 Tahun 2014, Pasal 5 praktik sustainable management dalam pengelolaan
menyatakan bahwa IUPHHK-HA, IUPHHK-RE, sawit, dan industri-industri berbasis lahan lainnya
atau IUPHHK-HTI dapat diberikan paling luas saat ini. Lebih lanjut Menteri Siti Nurbaya
50.000 hektar (atau paling luas 100.000 hektar menerangkan, bahkan saat ini Presiden Joko
untuk Propinsi Papua dan Papua Barat) yang Widodo memberikan perhatian khusus terhadap
diperuntukkan paling banyak 2 izin untuk satu hak-hak masyarakat adat, antara lain yang diberikan
perusahaan atau untuk 1 induk perusahaan. dalam bentuk penetapan hutan adat, begitu pula
Luasan IUPHHK ini justru ditambah oleh terhadap tata kelola gambut dan pengelolaan
PERMENLHK No. 4 Tahun 2016, Pasal 5 yang lansekap (landscape management) secara
menentukan per izin IUPHHK-HA dapat keseluruhan.6
diberikan paling luas 100.000 hektare (atau per
izin paling luas 200.000 hektare untuk Propinsi 1. Kelemahan INPRES tentang
Papua dan Papua Barat) dan per izin IUPHHK-HTI Penundaan Pemberian Izin
dapat diberikan paling luas 75.000 hektare, Baru Dan Penyempurnaan
dimana setiap perusahaan dapat diberikan Tata Kelola Hutan Alam
paling banyak 2 izin untuk masing-masing jenis Primer Dan Lahan Gambut
usaha.
MENGAPA INPRES?
Ketidakmampuan kebijakan penundaan pemberian Secara kronologis, peraturan tentang moratorium
izin tersebut dalam memperbaiki pengelolaan hutan hutan pada awalnya diusulkan sebagai PERPRES,
yang lestari dan melindungi hak-hak masyarakat, hanya saja dalam perjalanannya usulan tersebut
diduga menjadi salah satu dorongan bagi Parlemen berubah menjadi INPRES. Dibandingkan dengan
Uni Eropa di Strasbourg untuk mengesahkan Report PERPRES, INPRES memiliki kelemahan antara lain
on Palm Oil and Deforestation of Rainforests pada terkait konsekuensi hukum atas ketidaktaatan dan
tanggal 4 April 2017 yang antara lain secara khusus kekuatan mengikatnya INPRES. INPRES merupakan
menyatakan bahwa persoalan sawit di Indonesia seperangkat perintah presiden kepada kementerian
adalah persoalan besar yang dikaitkan dengan isu dan lembaga pemerintahan lain yang terkait.
korupsi, pekerja anak, pelanggaran Hak Azasi INPRES No. 10 Tahun 2011 memberi perintah kepada
Manusia/HAM, penghilangan hak masyarakat adat tiga menteri (Kehutanan, Dalam Negeri dan
dan lain-lain. Dinyatakan juga perlunya alih investasi Lingkungan Hidup) dan kepala lima lembaga (Unit
dari sawit ke sunflower oil dan rapeseed oil, serta Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan
perlunya kritisi terhadap perbankan, yang dianggap Pengendalian Pembangunan, Badan Pertanahan
ikut mendukung pengembangan sawit. Nasional, Badan Koordinasi Penataan Ruang
Mosi terkait Report on Palm Oil and Deforestation of Nasional, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan
Rainforests ini bersifat non-binding dan akan Nasional dan lembaga yang dibentuk untuk
diserahkan kepada Dewan Uni Eropa dan Presiden mengelola REDD+), serta para gubernur dan bupati.
Uni Eropa untuk menindaklanjutinya. Selanjutnya, Sebagai dokumen non-legislatif, INPRES tidak
studi sawit akan dirilis pada pertengahan tahun ini memiliki konsekuensi hukum jika tidak dilaksanakan
dan Komisi Uni Eropa akan mengadakan konferensi oleh pihak-pihak yang menerima instruksi, terlebih
terkait sawit. Menanggapi mosi tersebut, Menteri bagi para kepala daerah, mengingat para gubernur
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya dan bupati sebagai kepala daerah dipilih langsung
menyatakan bahwa tuduhan tersebut adalah keji, oleh masyarakat.
menyinggung kedaulatan Indonesia dan tidak
relevan untuk saat ini. Menurut Menteri Siti
Nurbaya, Pemerintah Indonesia dalam
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global
TIDAK MENCANTUMKAN KEMENTERIAN ini menimbulkan berbagai implikasi terhadap
PERTANIAN DAN KEMENTERIAN ESDM kebijakan, pelaksanaan serta keberhasilan
Dua kementerian penting yang sangat terkait perlindungan kelestarian hutan dan mitigasi
dengan deforestasi dan emisi berbasis lahan tidak perubahan iklim, antara lain:
disebutkan dalam INPRES, yaitu: Kementerian 1) Istilah 'hutan alam primer' belum pernah
Pertanian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral. Ekspansi perkebunan dan tambang yang digunakan dalam kebijakan kehutanan di
menggerogoti kawasan hutan seharusnya menjadi Indonesia. Dalam Undang-undang hanya dikenal
alasan untuk memasukan 2 kementerian tersebut istilah dan definisi hutan dan kawasan hutan
sebagai pihak yang mendapat instruksi ini. Kedua berdasarkan fungsi ekologis dan berdasarkan
lembaga ini tidak dimasukkan dalam INPRES, pada fungsi/status administratifnya. Jika 'hutan
mungkin karena terkait dengan peran mereka dalam alam primer' secara legal tidak dikenal, maka
program ketahanan pangan dan energi nasional. dikhawatirkan penegakan hukumnya akan
Padahal pembatasan penerapan penundaan kabur;
pemberian izin baru pada kegiatan di sektor-sektor 2) Penggunaan istilah 'hutan alam primer'
ini dapat melemahkan kemampuan pemerintah mempengaruhi ruang lingkup penundaan
untuk memenuhi tujuan INPRES itu sendiri, serta pemberian izin karena tidak memasukkan hutan
komitmen presiden untuk menekan laju deforestasi alam sekunder atau hutan bekas tebangan, yang
dan menurunkan emisi gas rumah kaca. mungkin sebagian akan lebih baik jika dikelola
sebagai hutan dibandingkan apabila dikonversi
MENGAPA HANYA HUTAN ALAM PRIMER? atau untuk penggunaan lainnya. Sangat
INPRES ini berlaku bagi hutan alam primer dan lahan disayangkan bahwa hutan sekunder yang
gambut. Kementerian Kehutanan (sekarang disebut luasnya mencakup lebih dari separuh luas
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) kawasan hutan di Indonesia tidak dimasukkan ke
menggunakan istilah 'hutan primer', sebagaimana dalam penundaan pemberian izin baru, padahal
definisi oleh FAO untuk tujuan pelaporan. 'Hutan hutan sekunder memiliki cadangan karbon lebih
primer' menurut definisi oleh FAO tersebut adalah tinggi10 dan juga memiliki keanekaragaman hayati
hutan yang terdiri dari pepohonan jenis asli yang yang lebih tinggi dibandingkan perkebunan
tumbuh secara alami, tidak terdapat tanda-tanda kelapa sawit atau hutan tanaman penghasil
yang jelas tentang adanya kegiatan manusia dan serat.11 Tahun 2009, Indonesia memiliki 45,2 juta
proses ekologis, dan tidak terganggu secara nyata.7 hektare hutan primer, 41,4 juta hektare hutan
Laporan Indonesia kepada FAO menafsirkan istilah sekunder di lahan hutan negara dan 5,3 juta
ini bagi hutan-hutan yang dicirikan oleh tiadanya hektare kawasan hutan di luar lahan hutan
jalan pembalakan pada citra pengindraan jauh, negara, yang umumnya dianggap sebagai hutan
tanpa memperhatikan apakah hutan tersebut sekunder.12 Dengan demikian, kegagalan untuk
memiliki izin.8 Menurut Kementerian Kehutanan, memasukkan hutan sekunder dan hutan yang
untuk alasan praktis, 'hutan alam primer' tidak berada di bawah pengawasan Kementerian
dimaksudkan untuk menyiratkan bahwa di wilayah Lingkungan Hidup dan Kehutanan ke dalam
tersebut belum pernah ada izin yang diterbitkan penundaan pemberian izin ini merupakan
(Hadi Daryanto, Sekretaris Jenderal Kementerian hilangnya peluang untuk melindungi, paling
Kehutanan, komunikasi pribadi 2011).9 sedikit untuk sementara, hutan seluas 46,7 juta
Penggunaan istilah 'hutan alam primer' – dan bukan hektare yang masih kaya karbon dan
'hutan alam', sebagaimana digunakan dalam LoI – keanekaragaman hayati.
dalam teks INPRES penundaan pemberian izin baru
6 Tahun Perjalanan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam
dan Lahan Gambut Indonesia
Sebuah Evaluasi atas Pelaksanaan Instruksi Presiden Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru
dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
Namun INPRES Penundaan Pemberian Izin Baru dan Gambar 2. Dinamika Luas Hutan Alam Primer pada PIPPIB Revisi II-XI
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan
Lahan Gambut ini memberikan perlindungan lebih Keterangan: Gambar 2 luasan hutan alam primer yang dimasukkan ke dalam PIPPIB dari
terhadap lahan gambut jika dibandingkan Peraturan PIPPIB Revisi II sampai dengan PIPPIB Revisi XI.
Menteri Pertanian (No. 14/Permentan/
FL.110/2/2009). Peraturan Menteri Pertanian (No. II sampai dengan Revisi XI di seluruh Indonesia
14/Permentan/ FL.110/2/2009) hanya melindungi hampir sekitar 80% luasan PIPPIB adalah kawasan
lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 (tiga) hutan lindung dan KSPA. Sebagai contoh dalam
meter dari konversi menjadi perkebunan kelapa PIPPIB Revisi XI, dari PIPPIB seluas 66.442.135
sawit, sedangkan teks tentang lahan gambut dalam hektare, seluas 51.661.934 hektare adalah kawasan
INPRES ini menyiratkan bahwa penundaan hutan lindung dan KSPA.14 Kawasan konservasi
pemberian izin mencakup seluruh lahan gambut dilindungi oleh UU No. 41 Tahun 1999 Tentang
tanpa membedakan jenis, kedalaman, letak, wilayah Kehutanan dan peraturan pemerintah terkait.
administrasi dan tingkat kerusakannya. Tetapi PP
No. 57 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas PP No. 71 Gambar 3. Dinamika Luas Lahan Gambut pada PIPPIB Revisi II-XI
tahun 2014 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Ekosistem Gambut justru memperlemah INPRES Keterangan: Gambar 3 luasan lahan gambut yang dimasukkan ke dalam PIPPIB mulai
tersebut dengan memungkinkan adanya fungsi dari PIPPIB Revisi II sampai dengan PIPPIB Revisi XI.
budidaya ekosistem gambut pada gambut dengan
ketebalan kurang dari 3 (tiga) meter.13 Gambar 4. Kawasan Hutan Penyumbang Luasan Terbesar dalam PIPPIB Revisi I-XI
PERLINDUNGAN TAMBAHAN YANG MINIM
TERHADAP HUTAN LINDUNG DAN HUTAN Keterangan: Gambar 4 sebaran luasan PIPPIB di luar hutan alam primer dan lahan
KONSERVASI YANG TELAH DILINDUNGI OLEH gambut.
UNDANG-UNDANG
Tidak terdapat hal yang baru dari substansi INPRES Hal ini berarti kawasan ini secara hukum sudah
No.10 Tahun 2011, karena hutan alam primer dan dilindungi, sehingga jika hukum ditegakkan,
lahan gambut dalam PIPPIB (Peta Indikatif penundaan pemberian izin baru hanya memberikan
Penundaan Pemberian Izin Baru) secara faktual
sangat kecil. Sebagian besar areal dalam PIPPIB
justru berada di wilayah yang tidak terancam
penerbitan izin baru seperti di hutan lindung dan
kawasan konservasi (termasuk Kawasan Suaka
Alam dan Pelestarian Alam/KSPA). Dari PIPPIB Revisi
Gambar 1. Dinamika Luas Kawasan Hutan (Hutan Lindung dan KSPA) pada PIPPIB Revisi II-XI
Keterangan: Gambar 1 luasan kawasan lindung yang dimasukkan dalam PIPPIB dari
PIPPIB Revisi II sampai dengan PIPPIB Revisi XI.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global
perlindungan tambahan dan tidak akan mendapat surat teguran untuk segera melakukan
menyelesaikan penyerobotan hutan di kawasan tata batas sejak 1999 tetapi hingga kini masih tetap
konservasi. Sebagai contoh, sampai dengan tahun beroperasi, tanpa ada langkah hukum berarti.16
2007, penyerobotan hutan di kawasan konservasi ini Kedua, INPRES No. 10 Tahun 2011 dan INPRES-
terjadi dengan laju rerata 200.000 hektare/tahun.15 INPRES perpanjangannya (INPRES No. 6 Tahun 2013
Penyerobotan hutan hanya dapat diselesaikan dan INPRES No. 8 Tahun 2015) ini mengecualikan
dengan penegakan hukum yang ada dan tidak lahan yang dibutuhkan untuk proyek vital
mungkin bagi INPRES penundaan pemberian izin pembangunan nasional (panas bumi, minyak dan
baru yang memang tanpa sanksi bagi pelanggar gas alam, listrik, padi dan tebu). Pengecualian ini
akan menyelesaikan masalah ini secara efektif. nampaknya terkait dengan INPRES No. 5 Tahun 2011
Tentang Pengamanan Produksi Beras Nasional
MEMBUAT PENGECUALIAN YANG BERPOTENSI dalam Menghadapi Kondisi Iklim Ekstrim yang
MENIMBULKAN MASALAH BARU DAN disahkan sebelum INPRES No. 10 Tahun 2011 oleh
MELEMAHKAN TUJUAN PENUNDAAN Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan
PEMBERIAN IZIN BARU memerintahkan: 1) Menteri Pertanian untuk
Pasal 2 INPRES 10 Tahun 2011 dan INPRES-INPRES memperluas luas wilayah produksi pangan; 2)
perpanjangannya (INPRES No.6 Tahun 2013 dan Menteri Kehutanan untuk mengizinkan
INPRES No. 8 Tahun 2015) memuat 4 pengecualian penggunaan lahan hutan bagi tujuan produksi
bagi berlakunya penundaan pemberian izin, di mana pangan; dan 3) Menteri Pekerjaan Umum untuk
3 dari 4 pengecualian tersebut berpotensi membangun prasarana guna mendukung produksi
menimbulkan masalah baru dan melemahkan tujuan dan pengangkutan beras. Pengecualian lahan yang
penundaan pemberian izin baru. dibutuhkan untuk padi dan tebu dengan anggapan
Pertama, INPRES ini mengecualikan hutan yang padi dan tebu termasuk obyek vital nasional adalah
telah memperoleh 'izin prinsip' dari Menteri tidak tepat. Pengamanan Obyek Vital Nasional
Lingkungan Hidup dan Kehutanan dari penundaan diatur dalam KEPPRES No. 63 Tahun 2004. Pasal 1,
pemberian izin baru. Tidak jelas izin prinsip yang Ayat 1 KEPPRES No. 63 Tahun 2004 tersebut
mana saja, jumlahnya, luasnya, lokasinya dan pada menyebutkan bahwa Obyek Vital Nasional adalah
tahap mana yang termasuk dalam pengecualian ini, kawasan/lokasi, bangunan/instalasi dan/atau usaha
karena tidak ada informasi resmi yang bisa diakses yang menyangkut hajat hidup orang banyak,
publik mengenai hal tersebut. Izin prinsip tidak kepentingan negara dan/atau, sumber pendapatan
seharusnya dikecualikan, karena statusnya "belum negara yang bersifat strategis. Sedangkan Pasal 2
menjadi izin". Pengecualian hutan yang telah menyatakan bahwa Obyek Vital Nasional yang
memperoleh izin prinsip dari penundaan pemberian bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam
izin baru tersebut justru bertentangan dengan Pasal 1 angka 1 harus memenuhi salah satu, sebagian
upaya perbaikan tata kelola hutan yang atau seluruh ciri-ciri sebagai berikut: 1)
dimandatkan INPRES tersebut. Meskipun belum ada menghasilkan kebutuhan pokok sehari-hari; 2)
data resmi, namun data yang sempat beredar dari ancaman dan gangguan terhadapnya
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengakibatkan bencana terhadap kemanusiaan
yang menyebutkan bahwa izin prinsip untuk dan pembangunan; 3) ancaman dan gangguan
perkebunan per Desember 2010 adalah sebesar terhadapnya mengakibatkan kekacauan
4.579.977 hektare. Sebagian di antaranya transportasi dan komunikasi secara nasional;
bermasalah, bahkan ada yang tata batasnya belum dan/atau 4) ancaman dan gangguan terhadapnya
selesai sejak 1994 tetapi sudah ditanami ribuan mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan
hektar. Ada pemegang izin prinsip yang sudah pemerintahan negara. Obyek Vital Nasional
6 Tahun Perjalanan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam
dan Lahan Gambut Indonesia
Sebuah Evaluasi atas Pelaksanaan Instruksi Presiden Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru
dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan Informasi mengenai luasan, lokasi dan perusahaan
Pasal 2, menurut Pasal 3 ditetapkan dengan seharusnya dibuka kepada publik, sehingga jelas
Keputusan Menteri dan/atau Kepala Lembaga berapa besar pasal pengecualian ini mengurangi
Pemerintah Non Departemen terkait. Beberapa obyek penundaan pemberian izin baru.
Keputusan Menteri menetapkan Obyek Vital Tiga pengecualian tersebut berpotensi
Nasional, antara lain Keputusan Menteri menimbulkan masalah baru dan melemahkan tujuan
Perindustrian No. 620 Tahun 2012 Tentang Obyek penundaan pemberian izin baru. Sebaliknya,
Vital Nasional di Sektor Industri; dan Keputusan pengecualian ke-empat – untuk rehabilitasi
Menteri ESDM No. 3407 Tahun 2012 Tentang ekosistem – nampaknya berpeluang cukup baik
Penetapan Obyek Vital Nasional di Sektor ESDM. untuk meningkatkan cadangan karbon melalui
Sampai saat ini belum dikeluarkan Keputusan penghutanan/reboisasi. Izin Restorasi Ekosistem
Menteri tentang Penetapan Obyek Vital Nasional di (RE) akan memberikan hak kepada pemegang HPH-
Sektor Pertanian dan Perkebunan. Di Papua, lebih RE atas lahan hutan selama 65 tahun dengan
dari 1 juta hektare hutan dan lahan gambut kemungkinan perpanjangan 35 tahun. Akan tetapi,
dikecualikan dari penundaan pemberian izin ini dimasukkannya Restorasi Ekosistem (RE) dalam
karena dialokasikan untuk dikonversi menjadi diktum pengecualian tidak akan berdampak secara
sawah dan kebun tebu sebagai bagian dari MIFEE nyata dalam mewujudkan tujuan penundaan
(Merauke Integrated Food and Energy pemberian izin baru, mengingat secara logis Izin
Estate/Lumbung Pangan dan Energi Terpadu Restorasi Ekosistem memang tidak mungkin
Merauke). Bahkan pada saat yang hampir dilakukan di wilayah hutan alam primer ataupun
bersamaan dengan dikeluarkannya INPRES No. 10 lahan gambut yang masih baik. Restorasi Ekosistem
Tahun 2011, tanggal 20 Mei tahun 2011, Presiden seharusnya bertujuan memperbaiki wilayah hutan
Susilo Bambang Yudhoyono juga mengeluarkan yang terdegradasi dan bukan di hutan alam primer.
Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2011 tentang
Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk 2. P e n y e m p u r n a a n I N P R E S
Penambangan Bawah Tanah. Sebagaimana tentang Penundaan
diketahui, PERPRES tersebut adalah jawaban atas Pemberian Izin Baru Dan
pertanyaan para perusahaan tambang yang berniat Penyempurnaan Tata Kelola
untuk membuka tambang di hutan lindung. Hutan Alam Primer Dan
Ketiga, INPRES 10 Tahun 2011 dan INPRES-INPRES Lahan Gambut
perpanjangannya (INPRES No.6 Tahun 2013 dan
INPRES No. 8 Tahun 2015) tidak melarang Dalam rangka penyempurnaan tata kelola hutan dan
perpanjangan masa izin HPH untuk eksploitasi hutan lahan gambut yang tengah berlangsung sebagai
dan/atau penggunaan kawasan hutan selama izin upaya penyelamatan hutan Indonesia, pemerintah
usaha tersebut masih berlaku, tanpa memperpanjang INPRES No.10 Tahun 2011 yang
memperhatikan kinerja pemegang izin dalam berakhir pada tanggal 20 Mei 2013 dengan
kaitannya dengan ketentuan yang berlaku, menerbitkan INPRES No. 6 Tahun 2013 pada tanggal
termasuk integritasnya terhadap masalah sosial dan 13 Mei 2013. Setelah masa berlaku INPRES No. 6
lingkungan. Hal ini memunculkan pertanyaan Tahun 2013 berakhir, pemerintah meneruskan
mengenai seberapa luas hutan alam primer dan penundaan pemberian izin baru tersebut dengan
lahan gambut yang berada di kawasan hutan atau menerbitkan INPRES No. 8 Tahun 2015 pada tanggal
Areal Penggunaan Lain/APL yang sudah dibebani 13 Mei 2015. Dalam hal substansi, tidak terdapat
izin dan sudah berjalan (membutuhkan perbedaan antara ketiga INPRES tersebut.
perpanjangan dalam kurun dua tahun mendatang). Persamaan ketiga INPRES tersebut terdapat pada:
1) Pokok penundaan yaitu penundaan pemberian
izin baru hutan alam primer dan lahan gambut
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global
yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, Persamaan substansi ketiga INPRES tersebut
hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki arah
produksi biasa/tetap, hutan produksi yang dapat yang jelas pada isu perlindungan hutan dan gambut
dikonversi) dan area penggunaan lain serta perbaikan tata kelola kehutanan, padahal
sebagaimana tercantum dalam Peta Indikatif INPRES perpanjangan penundaan pemberian izin
Penundaan Pemberian Izin Baru/PIPPIB yang baru seharusnya dilandaskan pada hasil evaluasi
menjadi Lampiran Instruksi Presiden; pelaksanaan INPRES sebelumnya dan mengacu
2) Pengecualian penundaan bagi permohonan yang kepada situasi kekinian sektor kehutanan dan
telah mendapat persetujuan prinsip, pelaksanaan lingkungan hidup. Selain itu, sebelum monitoring
pembangunan nasional yang bersifat vital, dilakukan seharusnya ada rencana kerja terukur
perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau terhadap pelaksanaan penundaan pemberian izin
penggunaan kawasan hutan yang telah ada baru dengan periode waktu pelaksanaan dan sasaran
sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku yang jelas. Ketiadaan rencana kerja dari masing
dan Restorasi Ekosistem; masing instansi yang ditunjuk adalah sebuah
3) Hal-hal yang diinstruksikan untuk dilakukan; kegagalan awal yang disengaja, karena rencana
4) Penetapan Peta Indikatif Penundaan Pemberian –monitoring– evaluasi adalah hal mendasar dalam
Izin Baru/ PIPPIB; sebuah pengelolaan kegiatan/implementasi
5) Masa berlakunya INPRES selama 2 tahun; kebijakan.
6) Pertanggungjawaban pelaksanaan INPRES; dan Perbedaan ketiga INPRES tersebut hanya terdapat
7) Monitoring pelaksanaan INPRES. pada beberapa pihak yang diberi instruksi dan
lampiran peta indikatif penundaan pemberian izin
baru/PIPPIB. Pihak yang diinstruksikan dalam INPRES
No. 10 Tahun 2011 adalah Menteri Kehutanan, Menteri
Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Kepala
Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan
Pengendalian Pembangunan, Kepala Badan
Pertanahan Nasional, Ketua Badan Koordinasi
Tabel 1. Perbedaan INPRES No. 10 Tahun 2011, INPRES No. 6 Tahun 2013, dan INPRES No. 8 Tahun 2015
Perihal INPRES No.10 Tahun 2011 INPRES No.6 INPRES No. 8 Tahun 2015
Tahun 2013
Pihak yang - Menteri Kehutanan Instruksi yang sebelumnya ditujukan
Instruksi yang kepada Menteri Kehutanan dan
di beri - Menteri Dalam Negeri sebelumnya Menteri Lingkungan Hidup,
instruksi - Menteri Lingkungan Hidup ditujukan kepada kemudian ditujukan kepada Menteri
- Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Ketua Badan Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Pengawasan dan Pengendalian Koordinasi Survey
Pembangunan dan Pemetaan Instruksi monitoring pelaksanaan
Nasional ditujukan INPRES yang sebelumnya ditujukan
- Kepala Badan Pertanahan Nasional kepada Kepala kepada Kepala Unit Kerja Presiden
- Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Badan Informasi Bidang Pengawasan dan
Geospasial Pengendalian Pembangunan
Nasional dan/atau Ketua Satuan Tugas
- Ketua Badan Koordinasi Survey dan Persiapan Pembentukan
Kelembagaan REDD+ atau Ketua
Pemetaan Nasional Lembaga yang dibentuk untuk
- Ketua Satuan Tugas Persiapan melaksanakan tugas khusus di
bidang REDD+ ditujukan kepada
Pembentukan Kelembagaan REDD+ atau Sekretaris Kabinet.
Ketua lembaga yang dibentuk untuk
melaksanakan tugas khusus di bidang
REDD+
- Para Gubernur
Ͳ WĂƌĂ ƵƉĂƟͬ t ĂůŝŬŽƚĂ͘
6 Tahun Perjalanan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam
dan Lahan Gambut Indonesia
Sebuah Evaluasi atas Pelaksanaan Instruksi Presiden Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru
dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
Penataan Ruang Nasional, Ketua Badan Koordinasi penundaan pemberian izin baru melalui penerbitan
Survey dan Pemetaan Nasional, Ketua Satuan Tugas INPRES-INPRES perpanjangan tersebut tidak akan
Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+ atau banyak membantu presiden dalam mencapai target
Ketua lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan perbaikan tata kelola hutan dan lahan gambut serta
tugas khusus di bidang REDD+, para gubernur, dan penurunan emisi, apabila hal itu dilakukan tanpa
para bupati/walikota. Dalam INPRES No. 6 Tahun 2013 penguatan substansi dan pelaksanaannya.
Instruksi yang sebelumnya ditujukan kepada Ketua
Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional Gambar 5. Siaran Pers KLHK mengenai komitmen pemerintah untuk penguatan
ditujukan kepada Kepala Badan Informasi pelaksanaan INPRES No.8 Tahun 2015
Geospasial. Sedangkan dalam INPRES No. 8 Tahun
2015, instruksi yang sebelumnya ditujukan kepada 3. Peta Indikatif Penundaan
Menteri Kehutanan dan Menteri Lingkungan Hidup, Pemberian Izin Baru (PIPPIB)
kemudian ditujukan kepada Menteri Lingkungan dan Perubahan Luasan
Hidup dan Kehutanan. Selanjutnya, instruksi Tutupan Hutan
monitoring pelaksanaan INPRES kepada Kepala Unit
Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Sebagai tindak lanjut dari INPRES No. 10 Tahun 2011,
Pengendalian Pembangunan dan/atau Ketua Satuan Menteri Kehutanan mengeluarkan SK. 323/Menhut-
Tugas Persiapan Pembentukan Kelembagaan REDD+ II/2011 tentang Penetapan Peta Indikatif Penundaan
atau Ketua Lembaga yang dibentuk untuk Izin Baru (PIPIB 1) Pemanfaatan Hutan, Penggunaan
melaksanakan tugas khusus di bidang REDD+ yang Kawasan Hutan dan Perubahan Peruntukan Kawasan
diatur oleh INPRES No. 6 Tahun 2013, oleh INPRES Hutan dan Areal Penggunaan Lain pada tanggal 20
No. 8 Tahun 2015 ditujukan kepada Sekretaris Juni 2011 dengan luas wilayah penundaan pemberian
Kabinet. izin baru 69.144.073 hektare. Sesuai INPRES No. 10
Saat perpanjangan penundaan pemberian izin baru Tahun 2011, Diktum Ketiga Poin 1 d dan 1e, Menteri
melalui penerbitan INPRES No. 8 Tahun 2015, Menteri Kehutanan diberi instruksi untuk melakukan revisi
KLHK Siti Nurbaya dalam Siaran Pers Nomor: terhadap PIPIB pada kawasan hutan setiap 6 (enam)
S.313/PHM-1/2015 pada tanggal 13 Mei bulan sekali dan menetapkan PIPIB hutan alam
2015menyatakan bahwa pemerintah akan primer dan lahan gambut pada kawasan hutan yang
memastikan adanya penguatan dalam pelaksanaan telah direvisi. Revisi tersebut dilakukan melalui
Inpres tersebut. Dinyatakan juga bahwa untuk pembahasan Tim Teknis Gabungan Pembuatan Peta
pembahasan perubahan penguatan akan dilakukan
dengan penyesuaian dalam proses perpanjangan
yang saat ini sudah bisa mulai dilakukan oleh lintas
kementerian secara mendetail bersama elemen
pengusulnya. Usul penguatan yang datang dari
WALHI, Kemitraan, Sawit Watch, WRI, dan lain-lain
sangat dihargai dan akan dirangkum oleh
Kementerian LHK untuk ditindaklanjuti (lihat gambar
5).17 Namun sampai saat ini belum ada skema yang
jelas dalam pelibatan unsur-unsur masyarakat sipil
sebagai elemen pengusul penguatan. Belum jelas
juga apa strategi penguatan tersebut, kapan dan
bagaimana itu akan terjadi, padahal komitmen
pemerintah untuk melakukan perpanjangan
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global
Tabel 2. Perubahan Total Luasan Penundaan Pemberian Izin Baru
No PIPPIB No. SK Tanggal Luas Pengurangan (-)
Moratorium /Penambahan (+)
1 PIPIB 1 SK.323/Menhut-II/2011 20 Juni 2011
(ha) Data BPN belum
2 PIPPIB (Revisi I) SK.7416/Menhut-VII/IPSDH/2011 22 November 2011 masuk
16 Mei 2012 69.144.073
3 PIPPIB (Revisi II) SK.2771/Menhut-VII/IPSDH/2012 19 November 2012 -3.769.821
16 Mei 2013 65.374.252 -92.360
4 PIPPIB (Revisi III) SK.6315/Menhut- VII/IPSDH/2012 13 November 2013 65.281.892
13 Mei 2014 64.796.237 +485.655
5 PIPPIB (Revisi IV) SK.2796/Menhut-VII/IPSDH/2013 13 November 2014 64.677.030 +119.208
27 Mei 2015 64.701.287 +24.257
6 PIPPIB (Revisi V) SK.6018/Menhut-VII/IPSDH/2013 20 November 2015 64.125.478 -575.809
64.088.984
7 PIPPIB (Revisi VI) SK.3706/Menhut-VII/IPSDH/2014 20 Mei 2016 65.015.014 -36.494
65.086.113 +926.030
8 PIPPIB (Revisi VII) SK.6982/Menhut-VII/IPSDH/2014 21 November 2016 +71.099
65.277.819
9 PIPPIB (Revisi VIII) SK. 2312/Menhut-VII/IPSDH/2015 +191.706
66.442.135
10 PIPPIB (Revisi IX SK. 5385/MenLHK-PKTL/IPSDH/2015 +1.164.316
11 PIPPIB (Revisi X) SK. 2300/MenLHK-PKTL/IPSDH/
PLA.1/5/2016
12 PIPPIB (Revisi XI) SK.6347/MenLHK-
PKTL/IPSDH/PLA.1/11/2016
Indikatif Penundaan Izin Baru yang beranggotakan Untuk mencapai perbaikan tata kelola hutan alam
Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, primer dan lahan gambut, seharusnya luasan
Badan Pertanahan Nasional, Badan Informasi wilayah yang dilindungi melalui penundaan
Geospasial, dan UKP-PPP serta masukan dari para pemberian izin baru bertambah dari waktu ke
pihak terkait lainnya. Revisi PIPIB tersebut waktu, tetapi perubahan luasan PIPPIB dari Revisi I
dikeluarkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri sampai dengan Revisi XI di seluruh Indonesia
Kehutanan. Revisi dari PIPIB I, selanjutnya disebut tersebut memperlihatkan bahwa sejak kebijakan
sebagai Penetapan Peta Indikatif Penundaan penundaan pemberian izin baru diberlakukan
Pemberian Izin Baru (PIPPIB) Pemanfaatan Hutan, sampai dengan saat ini, luasan wilayah penundaan
Penggunaan Kawasan Hutan dan Perubahan pemberian izin baru justru menurun. Dari PIPIB 1
Peruntukan Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan sampai dengan PIPPIB revisi XI terjadi pengurangan
Lain. Perubahan total luasan penundaan pemberian luasan wilayah penundaan pemberian izin baru
izin baru dari PIPIB 1 sampai dengan PIPPIB (Revisi kurang lebih seluas 2.701.938 hektare.
XI), pada Tabel 2.18
Gambar 6. Perbandingan Penambahan dan Pengurangan Luas PIPPIBdi 10 Provinsi Gambar 7. Kubah Gambut yang Dikeluarkan dari PIPPIB (Hektare)
dengan Perubahan Terbesar dari PIPPIB Revisi I-XI (Hektare)
Keterangan: Gambar 6 pengurangan luasan PIPPIB terbesar berada di Provinsi Keterangan: Gambar 7 perbandingan total luasan kubah gambut dan bukan kubah
Kalimantan Tengah di wilayah ekosistem gambut. Sementara penambahan gambut yang dikeluarkan dari PIPPIB di Provinsi Kalimantan Tengah.
luasan PIPPIB terbesar berada di Provinsi Papua di wilayah hutan alam
primer.
6 Tahun Perjalanan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam
dan Lahan Gambut Indonesia
Sebuah Evaluasi atas Pelaksanaan Instruksi Presiden Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru
dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
Gambar 8. Dinamika Luas PIPPIB Revisi I-XI dari Konsesi HPH 499.149 hektare dikeluarkan dari PIPPIB (lihat
gambar 6).21 Di Provinsi Papua, dari PIPPIB Revisi I
Keterangan: Gambar 8 terdapat penambahan luasan PIPPIB dari konsesi HPH seluas sampai dengan Revisi XI, penambahan luasan PIPPIB
1.116.910 hektare pada PIPPIB Revisi X ke Revisi XI, yang tidak diketahui yang paling besar adalah dalam PIPPIB Revisi X ke XI
alasannya. yaitu seluas 1.116.906,927 hektare.22
PIPPIB Revisi I sampai dengan Revisi XI, antara lain
Seharusnya provinsi yang wilayahnya mempunyai diambil dari wilayah Konsesi HPH, HTI dan
tutupan hutan primer dan gambut yang luas, Perkebunan sawit. Di antara PIPPIB Revisi I sampai
dilindungi dari pemberian izin baru, mengingat dengan Revisi XI, setelah dihitung antara
kerentanan ekosistem tersebut dan perannya dalam penambahan dan pengurangan luas PIPPIB dari
penyerapan karbon. Akan tetapi, sampai dengan Konsesi HPH, maka Konsesi HPH yang dimasukkan
PIPPIB Revisi XI, di antara semua provinsi di dalam PIPPIB yang terluas adalah di PIPPIB Revisi X-
Indonesia, Provinsi Kalimantan Tengah adalah XI, yaitu seluas 1.116.906,93 hektare (lihat gambar
provinsi dengan pengurangan luas PIPPIB terbesar. 8).23 Di antara PIPPIB Revisi I sampai dengan Revisi
Di Provinsi Kalimantan Tengah tercatat seluas XI, setelah dihitung antara penambahan dan
602.815,492 hektare dikeluarkan dari PIPPIB, pengurangan luas PIPPIB dari Konsesi HTI, maka
sementara hanya seluas 152.352,8247 hektare yang Konsesi HTI dalam PIPPIB yang dikeluarkan dari
ditambahkan ke dalam PIPPIB (lihat gambar 6).19 PIPPIB yang terluas adalah di PIPPIB Revisi III-IV
Bahkan di antara wilayah yang dikeluarkan dari seluas 51.901,28 hektare (lihat gambar 9). Apabila
PIPPIB tersebut adalah lahan gambut, di mana 35 % dibandingkan antara yang dimasukkan dan
atau seluas 212.241 hektare adalah kubah gambut; dikeluarkan dari PIPPIB, maka pengurangan wilayah
sedangkan 65% atau seluas 390.354 hektare bukan PIPPIB dari Konsesi HTI adalah 79% dibandingkan
kubah gambut (lihat gambar 7).20 Hal itu dengan konsesi HTI yang ditambahkan dalam PIPPIB
menunjukkan besarnya tekanan ekspansi sebesar 21%.24 Di antara PIPPIB Revisi I sampai
pemanfaatan lahan atas wilayah tersebut. dengan Revisi X, setelah dihitung antara
Sebaliknya, apabila dijumlahkan antara penambahan dan pengurangan luas PIPPIB dari
penambahan dan pengurangan luas dalam PIPPIB Konsesi Perkebunan Sawit, maka Konsesi
Revisi I sampai dengan PIPPIB Revisi XI, maka di Perkebunan Sawit dalam PIPPIB yang dikeluarkan
antara semua provinsi di Indonesia, Provinsi Papua dari PIPPIB yang terluas adalah di PIPPIB Revisi VII-
adalah provinsi dengan penambahan luas PIPPIB VIII seluas 74.903,53 hektare (lihat gambar 10).
terbesar. Di Provinsi Papua tercatat seluas 2.637.389 Apabila dibandingkan antara yang dimasukkan dan
hektare dimasukkan dalam PIPPIB, dan sekitar dikeluarkan dari PIPPIB, maka pengurangan wilayah
PIPPIB dari Konsesi Perkebunan Sawit adalah 47%
Gambar 9. Dinamika Total Penambahan dan Pengurangan Luas PIPPIB Revisi I-XI dari Konsesi HTI dibandingkan dengan konsesi HTI yang
Gambar 10. Dinamika Total Penambahan dan Pengurangan Luas PIPPIB
Revisi I-XI dari Konsesi Perkebunan Sawit
Keterangan: Gambar 9 pengurangan luasan PIPPIB terbesar dari konsesi HTI terjadi Keterangan: Gambar 10 penambahan luasan PIPPIB terbesar dari konsesi perkebunan
pada PIPPIB Revisi III ke Revisi IV seluas 51.900 hektare. sawit terjadi pada PIPPIB Revisi VI-VII seluas 119.300 hektare. Sementara
pengurangan luasan terbesar terjadi pada PIPPIB Revisi VIII-X seluas
74.900 hektare.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global
ditambahkan dalam PIPPIB sebesar 53%.25 KETERBUKAAN PETA HUTAN
Mekanisme penambahan dan pengurangan areal Salah satu cara untuk menjaga lingkungan dan hutan
konsesi ke dalam PIPPIB adalah penting untuk Indonesia dari perusakan alam dan pembalakan
ditetapkan (i.e. melalui proses peninjauan kembali) hutan adalah adanya transparansi dan keterbukaan
dan dibuka kepada publik, guna mencegah proses informasi publik tentang pengelolaan hutan dan
penetapan hanya mengacu pada diktum sumber daya alam lainnya. Sehingga, masyarakat
pengecualian penundaan pemberian izin baru. bisa turut berpartisipasi menjaga hutan dan
Sehingga langkah penting lainnya seperti mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
penegakan hukum dapat dilakukan. Apalagi, Indonesia merupakan satu dari delapan
negara pendiri The Open Government Partnership
MEKANISME MASUKAN PUBLIK TERKAIT pada 2011, dan bahkan sempat memimpin gerakan
REVISI PIPPIB ini pada tahun 2013.
Masukan publik terkait PIPPIB dapat dilakukan Fondasi pemerintahan terbuka juga sudah
dalam proses penyusunan Baseline dan Analisa dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun
Perubahan Hutan Primer dan Lahan Gambut, di 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, tetapi
mana masyarakat dapat memberikan masukan transparansi dan keterbukaan informasi publik
perihal wilayah/kawasan yang dapat diberi tentang pengelolaan hutan dan sumber daya alam
penundaan pemberian izin baru sebelum adanya lainnya masih belum menjadi kenyataan. Padahal,
pembuktian peta acuan awal PIPPIB. Misalnya di tujuan kebijakan penundaan pemberian izin baru
dalam Proses PIPPIB Revisi X, berdasarkan hasil akan sulit diterapkan karena tidak adanya
Rekapitulasi masukan masyarakat, setidaknya transparansi peta. Selama izin konsesi, area hutan
terdapat 26 lokasi yang perlu dimasukkan di dalam yang dilindungi, dan wilayah kelola masyarakat
area penundaan pemberian izin baru, yang terdiri masih dirahasiakan dan tumpang-tindih, maka akan
dari survey gambut di 7 lokasi, survey Hutan Primer sulit bagi pemerintah untuk menerapkan kebijakan
di 8 Lokasi, dan HGU serta Penguasaan Lahan di 11 penundaan pemberian izin baru ini, dan juga
Lokasi.26 Meskipun dalam SK PIPPIB disebutkan menerapkan Kebijakan Satu Peta.27
perlunya masukan masyarakat dalam revisi PIPPIB, Setiap revisi dari PIPPIB seharusnya juga dipublikasi
revisi-revisi PIPPIB masih dilakukan secara sepihak dengan data-data yang bisa dibuktikan, misalnya,
oleh Kementerian Kehutanan atau Kementerian siapa yang mengajukan perubahan data, kapan, dan
LHK. Hasil-hasil pemantauan dan evaluasi yang atas dasar apa. Hal ini untuk mencegah terjadinya
dilakukan oleh unsur masyarakat sipil (CSO) di penyimpangan dari tujuan INPRES ini. Sebagai
berbagai wilayah tidak selalu mendapatkan contoh, dalam PIPIB 1 (selanjutnya disebut PIPPIB),
tanggapan dari Pemerintah atau Kementerian/ lahan gambut di daerah Tripa, Provinsi Aceh,
Lembaga (K/L) terkait. Selain itu, masyarakat masih tercatat sebagai wilayah penundaan pemberian izin
sulit memperoleh data PIPPIB dengan mengakses baru karena merupakan wilayah yang dilindungi.
dan mengunduh dari website Kementerian Namun, pada revisi berikutnya, area tersebut hilang
Lingkungan Hidup dan Kehutanan dari PIPPIB. Akhirnya, masyarakat sipil mengajukan
www.webgis.dephut.go.id, dengan format yang gugatan hukum terhadap PT Kalista Alam,
dibutuhkan. Demikian juga pada tataran Pemerintah perusahaan kelapa sawit selaku pemegang hak
Daerah, tidak dilakukan koordinasi yang melibatkan konsesi di area tersebut, serta Gubernur Aceh untuk
para pihak termasuk masyarakat untuk melakukan mencabut izin konsesi yang dikeluarkannya.28
pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan
INPRES ini.
6 Tahun Perjalanan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam
dan Lahan Gambut Indonesia
Sebuah Evaluasi atas Pelaksanaan Instruksi Presiden Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru
dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
Tidak transparannya peta hutan juga akan PIPPIB.29
menimbulkan kebingungan bagi masyarakat adat Pada bulan Oktober 2016, Majelis Komisioner Komisi
dan lokal yang tempat tinggal dan wilayah Informasi Pusat (KIP) mengabulkan gugatan
penghidupannya kerap terancam akibat operasi Greenpeace Indonesia atas permohonan peta dan
perusahaan besar. Pada Juli 2015, Kementerian data geospasial kehutanan dari Kementerian
Lingkungan Hidup dan kehutanan/KLHK telah Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam format
berjanji menyerahkan 12,7 juta hektare hutan sosial shapefile. Komisi Informasi Pusat (KIP) memutuskan
untuk dikelola masyarakat di sekitar kawasan hutan. bahwa sebagai tergugat, Kementerian Lingkungan
Kasus serupa berkaitan dengan reforma agraria Hidup dan Kehutanan (KLHK) wajib memberikan
yang mentargetkan 9 juta hektare dan 4,1 juta dan membuka data peta tutupan lahan hutan dan
hektare yang berasal dari pelepasan kawasan hutan. peta perizinan konsesi kelapa sawit, hak
Hal ini tidak bisa diimplementasikan dengan baik pengusahaan hutan, hutan tanaman industri, serta
apabila peta untuk menentukan wilayah tersebut pinjam-pakai kawasan hutan untuk pertambangan
tidak dibuka bagi publik. Disediakannya peta untuk dalam format shapefile kepada publik. Namun KLHK
publik juga akan memperkuat peran masyarakat menyatakan pemerintah tidak menerima keputusan
adat dan lokal serta seluruh lapisan masyarakat KIP karena Undang-Undang Informasi Geospasial
untuk berpartisipasi dalam upaya penyelamatan mengharuskan informasi geospasial disahkan
hutan dan wilayah kelolanya sekaligus memonitor sebelum diumumkan dan shapefile tidak memiliki
hot spot dan mencegah kebakaran hutan. cara untuk memuat digital signature. KLHK
mengajukan banding, meskipun Majelis Komisioner
Gambar 11. Penambahan Luas di PIPPIB Revisi IV KIP sudah menolak dalil ini karena informasi
dari KSA/KSAL (Ribu Hektare) tersebut sudah disahkan saat diumumkan dalam
format lain. Permohonan banding KLHK ini bertolak
Keterangan: Gambar 11 luasan Kawasan Suaka Alam Laut di Pulau Papua dan Sulawesi belakang dengan komitmen Presiden Joko Widodo
yang dimasukkan dalam PIPPIB Revisi IV. dalam Nawa Cita, yang dibacakan saat pelantikan
Jokowi sebagai Presiden, yang menegaskan bahwa
Transparansi peta hutan juga akan meminimalkan pemerintahannya berniat membangun tata kelola
tingkat kesalahan dalam menentukan pemerintahan yang bersih, demokratis, dan dapat
peruntukannya. Misalnya, Kawasan Suaka Alam dipercaya. Tidak dibukanya akses peta untuk publik
Laut/KSAL seharusnya tidak dimasukkan dalam akan melemahkan janji Presiden Joko Widodo
PIPPIB, akan tetapi pada PIPPIB Revisi IV, KSAL di bahwa Indonesia berpartisipasi dalam upaya global
pulau Papua seluas 339.179 hektare dan KSAL di menanggulangi perubahan iklim. Tahun 2015 dalam
Pulau Sulawesi seluas 114.831 hektare juga acara COP21 di Paris, Presiden menyampaikan
dimasukkan dalam PIPPIB (Lihat Gambar 11). Hal ini komitmennya di hadapan para pemimpin dunia
menunjukkan bahwa seharusnya metode atau untuk menerapkan Kebijakan Satu Peta sebagai
alasan perubahan PIPPIB dipublikasikan untuk upaya Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca
meminimalkan tingkat kesalahan dalam pembuatan (GRK) sebesar 29% pada 2030. Penerapan Kebijakan
Satu Peta ini perlu disertai dengan transparansi
peta. Awal November lalu, Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya telah mengulangi
janji ini dalam COP22, yang berlangsung di
Marrakesh, Maroko. Dunia internasional akan
melihat bagaimana Pemerintah Republik Indonesia
menindaklanjuti janjinya dalam menurunkan emisi
karbon dan membenahi pengelolaan hutan.30
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global
4. Evaluasi Perizinan Sebagai hidup dan kehutanan yang salah satu tugas
Tindak Lanjut INPRES pentingnya adalah melakukan inventarisasi
Penundaan Pemberian Izin perizinan kehutanan dalam lingkup kementerian
Baru lingkungan hidup dan kehutanan, menyangkut
perizinan penggunaan kawasan hutan dan
Kebijakan penundaan pemberian izin baru pada pelepasan kawasan hutan, pemanfaatan hutan dan
kawasan hutan adalah layak untuk diapresiasi, tetapi pemungutan hasil hutan, perlindungan hutan dan
langkah penyempurnaan tata kelola hutan dan konservasi sumber daya alam hayati serta perizinan
lahan gambut membutuhkan tindak lanjut di lingkungan hidup. Namun sangat disayangkan
lapangan, antara lain berupa evaluasi perizinan baik publik tidak mengetahui dan tidak dapat
yang sedang dimohonkan, izin-izin prinsip, maupun mengetahui perkembangan dari tim tersebut. Alih-
izin-izin yang sudah dikeluarkan. Evaluasi perizinan alih Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan
ini penting untuk memastikan dijalankannya Hidup dan Kehutanan mengatakan evaluasi
prosedur ketaatan dan kepatuhan perusahan di terhadap data-data sawit dan batubara sedang
lapangan, termasuk didalamnya ketaatan dalam berjalan. Kebijakan ini, katanya, bukan menghambat
menggarap lahan sesuai dengan ketentuan luas ƨ
areal dan izin yang diberikan. Pada INPRES yang belum berfungsi. Sedangkan menurut San Afri
penundaan pemberian izin baru, Menteri Awang, Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan, dalam
Lingkungan Hidup dan Kehutanan diperintahkan kaitan pembuatan kebijakan penundaan pemberian
melanjutkan penundaan penerbitan izin baru serta izin baru, sampai dengan bulan Juni 2016, KLHK
melanjutkan penyempurnaan kebijakan tata kelola sedang melakukan tahap-tahap evaluasi terhadap
bagi izin pinjam pakai dan izin usaha pemanfaatan izin-izin sawit yang meliputi tahapan:
hasil hutan kayu pada hutan alam. Menteri 1) Evaluasi permohonan awal untuk kebun sawit;
Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga diberi tugas 2) Evaluasi izin pinsip;
merevisi Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin 3) Menjalankan kewajiban tata batas;
Baru pada kawasan hutan setiap 6 bulan dan 4) Evaluasi izin-izin yang sudah dikeluarkan.
menetapkan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Untuk evaluasi tahap pertama, terdapat sekitar 61
Izin Baru hutan primer dan lahan gambut pada permohonan perusahaan kebun sawit seluas
kawasan hutan yang direvisi. Pemerintah juga perlu 948.000 hektare yang tidak akan dilanjutkan.
mencegah pengeluaran izin, seperti pelepasan Evaluasi terhadap izin-izin prinsip juga sedang
kawasan hutan dan alih fungsi dengan modus berjalan, yang sementara ditemukan hampir
mengubah kawasan hutan lewat review tata ruang 200.000 hektare. Setelah evaluasi izin prinsip
wilayah. Sehingga perlu dilakukan audit terhadap selesai, dilanjutkan dengan evaluasi izin proses tata
izin pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. batas, yang kemudian dilanjutkan dengan evaluasi
izin yang sudah keluar terutama bagi izin yang sudah
Pada 29 Mei 2015 Menteri Lingkungan Hidup dan keluar tetapi belum dibuka menjadi kebun (land
Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan No. SK. banking).31
155/MenLHK-II/2015 tentang Tim Evaluasi dan
Pengendalian Perizinan Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, yang bertujuan membentuk tim
evaluasi dan pengendalian perizinan lingkungan
6 Tahun Perjalanan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam
dan Lahan Gambut Indonesia
Sebuah Evaluasi atas Pelaksanaan Instruksi Presiden Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru
dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
5. Menyandingkan Platform pemberian izin baru seharusnya hutan alam,
Bersama CSOs dengan INPRES kesatuan bentang alam hutan, dan lahan
Penundaan Pemberian Izin gambut. Sedangkan INPRES No. 10 Tahun 2011
Baru hanya berlaku bagi hutan alam primer dan lahan
gambut;
Menyambut momentum Letter of Intent (LoI) 3) 'Platform Bersama untuk Penyelamatan Hutan
tentang REDD+ dari Pemerintah Republik Indonesia dan Iklim Global' menghendaki penundaan
dan Kerajaan Norwegia pada tanggal 26 Mei 2010 pemberian izin tidak terbatas hanya pada izin
agar kebijakan penundaan pemberian izin baru baru, tetapi juga meliputi peninjauan ulang atas
tepat sasaran dalam hal melindungi hutan izin-izin yang sudah dikeluarkan dan penghentian
Indonesia, Koalisi Masyarakat Sipil untuk penebangan dengan menggunakan izin lama.
Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global Sedangkan INPRES No. 10 Tahun 2011
pada Oktober 2010 mengeluarkan 'Platform mengecualikan hutan yang telah memperoleh
Bersama untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim 'izin prinsip' dari Menteri Kehutanan dari
Global '. Platform bersama tersebut memberikan penundaan pemberian izin baru dan tidak
rekomendasi bagi pemerintah Indonesia dan negara melarang perpanjangan masa izin HPH selama
donor untuk efektifnya penundaan pemberian izin izin masih berlaku.
baru. Secara garis besar platform bersama tersebut Apabila dibandingkan antara langkah implementasi
berisi: definisi; tujuan; obyek utama; dan prinsip- penundaan pemberian izin yang diusulkan 'Platform
prinsip penundaan pemberian izin baru; serta Bersama untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim
kriteria, indikator keberhasilan; dan langkah Global 'dengan realisasinya, maka bisa dijelaskan
implementasi penundaan pemberian izin baru. sebagai berikut.
Langkah implementasi penundaan pemberian izin
Apabila dibandingkan dengan INPRES No. 10 Tahun yang diajukan dalam platform bersama tersebut
2011, terdapat beberapa hal dalam 'Platform antara lain:
Bersama untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim 1. Penghentian penerbitan izin baru melalui:
Global' tersebut yang belum terpenuhi dalam a. Diterbitkannya landasan hukum (Peraturan
INPRES No. 10 Tahun 2011, yaitu antara lain:
Presiden) bagi pelaksanaan moratorium.
1) 'Platform Bersama untuk Penyelamatan Hutan Realisasinya adalah Presiden mengeluarkan
dan Iklim Global' menghendaki bahwa Instruksi Presiden tentang Penundaan
penundaan pemberian izin baru tidak dibatasi Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata
waktu melainkan ditentukan oleh pemenuhan Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
prasyarat dasar yang diukur melalui kriteria dan yang diterbitkan pada tahun 2011 (INPRES No.
indikator pengelolaan hutan berkelanjutan, 10 Tahun 2011) yang kemudian diperpanjang
termasuk di dalamnya pemenuhan safeguards pada tahun 2013 (INPRES No. 6 Tahun 2013)
lingkungan dan sosial karena penundaan dan diperpanjang lagi pada tahun 2015
pemberian izin baru bukanlah tujuan akhir (INPRES No. 8 Tahun 2015).
melainkan sebuah proses yang harus dilalui Landasan hukum untuk penundaan
untuk mencapai pengurangan laju deforestasi. pemberian izin baru hanya berlaku sepanjang
Sedangkan INPRES No. 10 Tahun 2011 masa pemberlakuannya (sampai dengan saat
menentukan pembatasan waktu 2 (dua) tahun ini adalah 6 tahun), namun tidak memiliki
untuk penundaan pemberian izin baru, kekuatan hukum yang signifikan. Banyak
rekomendasi, dan pemberian izin lokasi; Kementerian/Lembaga (K/L) yang tercakup di
dalam INPRES tidak memberikan kontribusi
2) Menurut 'Platform Bersama untuk Penyelamatan
Hutan dan Iklim Global' obyek utama penundaan
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global
nyata dalam pelaksanaannya. Misalnya, revisi menghentikan izin HPH, IPK dan seterusnya
peta indikatif yang diinstruksikan kepada yang bermasalah sekaligus dilakukan upaya
Kementerian Lingkungan Hidup dan penegakan hukum.
Kehutanan malah menjadi ajang untuk terus Realisasinya adalah pemerintah
mengurangi cakupan dari perlindungan melaksanakan rintisan evaluasi perizinan
penundaan pemberian izin itu sendiri. (perkebunan dan pertambangan) untuk
b. Penghentian pemberian izin baru atau beberapa kabupaten di Indonesia.
perpanjangan izin-izin baru untuk Hak Evaluasi perizinan yang dilakukan pemerintah
Pengusahaan Hutan/HPH, Izin Pemanfaatan memang patut diapresisasi, meskipun dari
Kayu/IPK, izin perkebunan sawit dan izin segi transparansinya masih dipertanyakan,
pertambangan di atasnya. tetapi hal ini tidak berimplikasi langsung
Realisasinya adalah INPRES penundaan terhadap proses penegakan hukum.
pemberian izin baru menjadi dasar untuk d. Mengeluarkan kebijakan yang akan mengatur
penundaan pemberian izin baru dengan tentang penggunaan kayu-kayu sitaan hasil
pengecualian penundaan bagi permohonan dari praktik penebangan liar agar dapat
yang telah mendapat persetujuan prinsip, langsung dikelola oleh pemerintah untuk
pelaksanaan pembangunan Nasional yang pemenuhan kebutuhan masyarakat dan
bersifat vital, perpanjangan izin pemanfaatan kebijakan impor bagi industri olah kayu.
hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan Realisasinya adalah belum ada tindakan yang
yang telah ada sepanjang izin di bidang dapat diketahui publik.
usahanya masih berlaku dan Restorasi e. M e n y u s u n s t r a t e g i j a n g k a p a n j a n g
Ekosistem. pemenuhan kebutuhan kayu dalam negeri.
Pengecualian di dalam INPRES (kecuali Realisasinya adalah belum ada tindakan yang
mengenai Restorasi Ekosistem) menjadi dapat diketahui publik.
ancaman yang sangat besar dan memberikan 2. Pen yelamatan h utan-hutan y ang pali ng
ruang untuk terjadinya kompromi dengan terancam melalui:
korporasi dengan alasan pembangunan. a. Dilakukannya inventarisasi dan penilaian
Sebagai contoh, pengecualian pada butir ke-2 kawasan hutan berdasarkan nilai penting
memberikan jalan yang luas bagi pelaksanaan ekologis (termasuk nilai konservasi,
proyek-proyek MP3EI (Masterplan keanekaragaman hayati dan cadangan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan karbon).
Ekonomi Indonesia) yang jelas bertentangan Realisasinya adalah pemerintah melakukan
dengan semangat perlindungan terhadap kajian terkait dengan potensi
hutan dan lahan gambut. Demikian juga keanekaragaman hayati dan stok karbon (di
dengan butir ke-3, pengecualian terhadap bawah maupun di atas permukaan tanah).
perpanjangan izin tidak diikuti dengan Kajian yang dilakukan berhenti pada konteks
ketentuan untuk melakukan evaluasi atas kajian dan belum diarahkan untuk menjadi
pelaksanaan izin pada periode sebelumnya, awal dari penyusunan kebijakan inventarisasi
baik dari aspek lingkungan hidup maupun kawasan hutan yang jelas.
aspek hak.
c. Dilakukannya evaluasi terhadap berbagai
perizinan yang penilaiannya dilaksanakan
secara independen oleh pihak ketiga. Hasil
evaluasi kemudian digunakan untuk
6 Tahun Perjalanan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam
dan Lahan Gambut Indonesia
Sebuah Evaluasi atas Pelaksanaan Instruksi Presiden Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru
dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
b. Dibangunnya sistem pangkalan data yang restorasi berbasis masyarakat adat/ lokal.
akurat dan bisa diakses mengenai potensi Realisasinya adalah adanya kajian sosio
hutan sebagai dasar pengemban dan rujukan kultural, jasa lingkungan serta kajian sosial
MRV. ekonomi masyarakat.
Realisasinya adalah pemerintah Di tengah berbagai kajian tersebut, konflik
mengembangkan strategi dan implementasi antara taman nasional dan masyarakat masih
MRV nasional, protokol monitoring terus terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa
deforestasi, protokol portal data MRV, dan belum ada tindakan konkret sebagai tindak
berbagai sistem MRV lainnya. lanjut dari kajian tersebut. Tidak diakuinya hak
Upaya MRV selama ini masih terbatas pada masyarakat adat dan lokal di wilayah
pengembangan sistem, namun belum ada konservasi seringkali menghambat proses
sistem MRV hutan yang mudah diakses publik, konservasi. Sementara itu, meskipun dalam
di mana publik dapat berpartisipasi di dalam berbagai kasus Taman Nasional secara de
proses MRV yang dilakukan pemerintah. facto mengakui sistem pengelolaan
masyarakat, pemerintah belum
c. Dilakukannya pemetaan ulang kawasan mengeluarkan sebuah kebijakan nasional
hutan, zonasi ulang (klasifikasi ulang fungsi untuk mengakui, dan melindungi sistem
dan status hutan), dan penatabatasan serta pengelolaan hutan lestari masyarakat
padu serasi dengan Rencana Tata Ruang adat/lokal yang berada di dalam wilayah
Wilayah dengan tekanan pada perlindungan konservasi sesuai dengan konsepsi agraria
ekosistem (hutan dan gambut) serta wilayah dan tata guna lahan masyarakat yang
hidup masyarakat. didasarkan pada kearifan lokal.
Realisasinya adalah pemerintah e. Dikembangkannya safeguards bidang
mengembangkan kajian lahan terdegradasi, lingkungan dan sosial.
potensi keanekaragaman hayati, dan Realisasinya adalah pemerintah menyusun
pengembangan desain rehabilitasi. Kajian PRISAI (Prinsip dan Indikator Safeguards
yang dilakukan tidak segera ditindaklanjuti REDD+ Indonesia) beserta perangkat
dengan sebuah kebijakan yang nyata untuk kelembagaannya.
melakukan inventarisasi hutan pada skala Koalisi mengakui, perangkat Safeguards yang
nasional, padahal kajian ini sudah dibangun dapat dikatakan komprehensif.
mengindikasikan diperlukannya sebuah Namun, perangkat ini hanya menjadi sebuah
inventarisasi hutan yang jelas. dokumen kebijakan yang tidak memiliki
Realisasi lainnya adalah pemerintah kekuatan hukum apapun.
mempercepat proses pengukuhan kawasan f. Dibangunnya sistem monitoring, pelaporan,
hutan. Percepatan proses pengukuhan dan pembuktian (Monitoring, Reporting, and
kawasan hutan justru menuai kontroversi Verification/MRV) yang akuntabel termasuk
karena KLHK bersikeras menetapkan wilayah- mengukur pemenuhan safeguards.
wilayah yang tata batasnya masih bermasalah Untuk MRV safeguards, Pemerintah
menjadi kawasan hutan. Hal ini mengancam membangun kerangka sistem SIS (Safeguards
hak-hak masyarakat adat dan lokal yang Information System). SIS dikembangkan oleh
tinggal di dalamnya. Kementerian Kehutanan sedangkan PRISAI
dikembangkan oleh Satgas REDD+. Namun,
d. Dibangunnya strategi konservasi nasional keduanya memiliki pemahaman yang sama
yang mengedepankan inisiatif konservasi dan sekali berbeda dan belum menjadi satu
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global
kesatuan sistem yang utuh. Hingga saat ini, lambat.
belum dapat diketahui apa hasil akhir dari b. Dibangunnya mekanisme pengaduan dan
PRISAI dan SIS. Selain itu, belum terlihat ada
mekanisme pembuktian pemenuhan penyelesaian sengketa serta menunjuk badan
safeguards dalam sistem yang telah dibangun yang kredibel sebagai pelaksana dan
(hanya pengawasan dan pelaporan). penanggungjawab.
g. Dikembangkannya syarat (kriteria dan Realisasinya adalah pemerintah
indikator) dan ketentuan untuk skema 'tukar mengembangkan skenario penyelesaian
lahan' dan skema 'penyesuaian struktural' konflik atas lahan masyarakat di dalam dan
untuk menyelamatkan kawasan hutan dan sekitar hutan dengan mengoptimalkan
rawa gambut (bernilai ekologis penting) yang kebijakan yang ada melalui mekanisme
sudah dibebani hak pengusahaan/ izin pengukuhan kawasan hutan. Pemerintah pun
industri. telah menempatkan satu direktorat tersendiri
Realisasinya adalah adanya pengembangan di bawah Direktorat Jenderal Perhutanan
kajian lahan terdegradasi yang di dalamnya Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK untuk
mencakup beberapa hal terkait dengan menangani konflik tenurial di kawasan hutan,
skema tukar lahan. yakni Direktorat Penanganan Konflik Tenurial
Kajian lahan terdegradasi masih menjadi dan Hutan Adat (PKTHA).
kerangka kajian belaka yang tidak dijadikan Namun, skenario ini belum mampu membuat
landasan kebijakan perlindungan terhadap KLHK sebagai leading sector untuk
ekosistem bernilai ekologis penting. mengikutinya.
3. Penyelesaian konflik sosial dan pertanahan c. Diperkuatnya kebijakan yang mendukung
melalui: pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan
a. Pengakuan dan perlindungan hak-hak reforma agraria.
masyarakat (adat dan lokal) khususnya yang Realisasinya adalah pemerintah membuat
berhubungan dengan sumber daya alam, beberapa kegiatan yang terkait dengan
kehidupan, dan wilayah hidup (adat) yang livelihood dan juga mendorong proses
diterjemahkan dalam kebijakan tersendiri. implementasi Putusan MK.
Realisasinya adalah adanya pengembangan Program yang disusun belum berhasil
rancangan sistem identifikasi dan informasi mengamankan dan menjamin hak dan ruang
terkait klaim atas tanah masyarakat adat/lokal kelola masyarakat adat/lokal. Belum ada
yang terintegrasi. perubahan kebijakan yang mempermudah
Sistem identifikasi (yang tertuang di dalam pengakuan dan penetapan hutan yang
laporan satgas REDD+) belum mampu dikelola masyarakat adat/lokal. Proses
memberikan pengakuan yang jelas terhadap pengakuan dan penetapan hutan adat masih
hak tenurial masyarakat adat/lokal atas hutan tersendat dan terhalang oleh ketiadaan
karena masih sebatas pada proses identifikasi aturan implementatif untuk
dan belum tertuang dalam bentuk kebijakan mengoperasionalkan Putusan MK.
pengakuan yang tegas, bahkan setelah d. Peli batan mas yar akat d an org anis asi
keluarnya Putusan MK No. 35 Tahun 2012 masyarakat sipil dalam perencanaan,
Tentang Pengujian UU No. 41 Tahun 1999 pelaksanaan, dan evaluasi LoI dan penundaan
Tentang Kehutanan, pengakuan dan pemberian izin baru.
perlindungan masyarakat adat masih teramat
6 Tahun Perjalanan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam
dan Lahan Gambut Indonesia
Sebuah Evaluasi atas Pelaksanaan Instruksi Presiden Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru
dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
Realisasinya adalah masih minimnya ruang lahan gambut yang dimasukkan dalam wilayah
yang diberikan pemerintah bagi aktivis dan PIPPIB kepada beberapa perusahaan.33
masyarakat untuk mengekspresikan diri dan
pendapatnya melalui berbagai sarana yang Kotak 2. Kasus Pelanggaran PIPPIB di
ada karena mekanisme yang ada tidak mudah Provinsi Papua
dan tidak efektif untuk dijalankan oleh
masyarakat, terutama kelompok perempuan. Di Provinsi Papua pada tahun 2016 ditemukan
Pemda juga tidak terlibat secara aktif dalam bahwa, pejabat Bupati Mamberamo Raya,
proses ini. Provinsi Papua, menerbitkan tiga izin lokasi
kepada perusahaan dan berada dikawasan
6. P e r b a i k a n T a t a K e l o l a hutan alam primer dan lahan gambut yang
Hutan dan Lahan Gambut termasuk dalam wilayah PIPPIB, yakni izin lokasi
Setelah 6 Tahun Penundaan kepada: (1) PT. Sinar Abadi Wijaya, seluas
Pemberian Izin Baru 28.079 hektare; (2) PT. Sinar Persada Mulia,
seluas 25.951 hektare. Kedua perusahaan ini
Kebijakan penundaan pemberian izin baru sudah mempunyai usaha perkebunan kelapa sawit.
dijalankan selama hampir 6 tahun, tetapi kebijakan Keseluruhan areal usaha 2 perusahaan tersebut
tersebut belum mampu menyelesaikan berbagai berada pada eks areal konsesi perusahaan
permasalahan kehutanan Indonesia sebagaimana pembalakan kayu PT. Mamberamo Alas Mandiri
pemaparan berikut; di Distrik Benuki, Kabupaten Mamberamo Raya,
yang telah dicabut izinnya dan sebagian besar
KETAATAN TERHADAP KEBIJAKAN areal konsesi ini ditetapkan sebagai
PENUNDAAN PEMBERIAN IZIN BARU obyekpenundaan pemberian izin baru; dan (3)
Dalam Diktum ketiga Instruksi Presiden (INPRES No. PT. Waropen Lestari, seluas 41.096 hektare,
10 Tahun 2011, INPRES No. 6 Tahun 2013, dan INPRES yang dipergunakan untuk usaha perkebunan
No. 8 Tahun 2015) terdapat instruksi presiden tebu. Selain itu, di Merauke, pemerintah
kepada para gubernur untuk melakukan penundaan menerbitkan izin lokasi dan hak guna usaha
penerbitan rekomendasi dan izin lokasi baru pada kepada perusahaan PT. Indo Sawah Lestari
kawasan hutan dan lahan gambut serta areal untuk usaha pertanian padi sawah yang diduga
penggunaan lain berdasarkan Peta Indikatif berada pada areal lahan gambut di Wapeko,
Penundaan Pemberian Izin Baru. Dalam INPRES- Distrik Kurik (Lembar Peta 3407, Revisi PIPIB XI).
INPRES tersebut juga terdapat instruksi kepada para Di Nabire, juga ditemukan areal gambut pada
bupati/walikota untuk melakukan penundaan lokasi perusahaan perkebunan kelapa sawit PT.
penerbitan rekomendasi dan izin lokasi baru pada Nabire Baru dan pada areal pemukiman
kawasan hutan dan lahan gambut serta areal masyarakat di Distrik Yaro.
penggunaan lain berdasarkan Peta Indikatif
Penundaan Pemberian Izin Baru.32 Tetapi pada Kasus lain di Provinsi Aceh, Kawasan Ekosistem
kenyataannya, di berbagai daerah masih terdapat Leuser (KEL) menghadapi potensi ancaman
pelanggaran dari ketentuan diktum tersebut. kerusakan serius karena Rencana Tata Ruang
Sebagai contoh, pada tahun 2016, pejabat Bupati Wilayah (RTRW) Pemerintah Provinsi Aceh tahun
Mamberamo Raya, Provinsi Papua, menerbitkan 2013–2033 tidak mengakomodir Ruang dan Wilayah
tiga izin lokasi pada kawasan hutan alam primer dan KEL, sehingga sebagian besar KEL akan terbuka
untuk Konsesi Usaha Budidaya. Hal ini tidak sejalan
dengan kebijakan pemerintah pusat melalui UU No.
11 Tahun 2006 yang mengamanatkan perlindungan,
pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi
kawasan dan pemanfaatan secara lestari. Melalui
Keputusan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 650-441
Tahun 2014 tentang Evaluasi Rancangan Qanun
Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Tahun 2014-2034
tanggal 14 Febuari 2014, Menteri Dalam Negeri telah
melakukan evaluasi dan meminta Pemerintah Aceh
menambahkan satu poin lagi yaitu Kawasan
Ekosistem Leuser sebagai Kawasan Strategis
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global
Nasional, namun hasil evaluasi Menteri Dalam area penundaan pemberian izin baru. Seharusnya
Negeri itu tidak diakomodasi oleh Gubernur dan area hutan alam seluas itu masuk ke dalam Peta
DPRD Aceh. Kemudian selain tidak mengakomodasi Indikatif Penundaan Izin Baru.36 Kepulauan Aru juga
rekomendasi Menteri Dalam Negeri, Rencana Tata terancam oleh pengalihan kawasan hutan menjadi
Ruang Wilayah (RTRW) Pemerintah Provinsi Aceh non-kawasan hutan untuk pembangunan
tersebut juga tidak meliputi ruang kelola perkebunan tebu yang dikecualikan dalam INPRES
masyarakat adat, yang merupakan hak komunal penundaan pemberian izin baru. Meskipun rencana
atau hak masyarakat mukim Aceh. Hal ini merugikan tersebut dinyatakan batal oleh Menteri Kehutanan,
masyarakat karena terdapat banyak konflik antara ancaman belum hilang karena saat ini ada rencana
masyarakat dengan swasta yang diberikan HGU di pembukaan perkebunan sawit oleh PT. Nusa Ina.
wilayah kelola mukim. Gerakan Rakyat Aceh Luasan wilayah konsesi di Kepulauan Aru
Menggugat (GeRAM) telah membawa perkara ini ke digambarkan dalam Tabel 3 berikut.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 21
Januari 2016 silam. Gugatan GeRAM memiliki dasar Tabel 3. Luasan Wilayah Konsesi di Kepulauan Aru
hukum yang kuat berdasarkan PP No. 26 Tahun 2008 (Hektare)
tentang Tata Ruang Nasional dan juga PERPRES No.
33 Tahun 1998 tentang Kawasan Leuser, tetapi pada No Perusahaan Moratorium Moratorium Bukan Bukan Total
tanggal 29 November 2016 Pengadilan Negeri (berhutan) (bukan Moratorium Moratorium
Jakarta Pusat telah mengeluarkan putusan menolak hutan) (berhutan) (bukan hutan) 12.849,49
gugatan Gerakan Masyarakat Aceh Menggugat 8.384,06
(GeRAM) terhadap Menteri Dalam Negeri, 1 PT. Aneka Bio Pulau Aru 120,76 0,72 12.451,33 276,69
Gubernur, dan DPR Aceh yang tidak memasukkan 1.083,83 11.057,63
Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dalam Rencana 2 PT. Anugrah Alam Dobo 1.657,98 36,92 5.605,33 1.052,99 12.962,74
Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRW) Aceh. Kawasan 12.162,42
Ekosistem Leuser (KEL) merupakan Hutan Hujan 3 PT. Anugrah Timur Indonesia 195,62 9.809,02 384,11 19.424,83
Tropis Sumatera yang ditetapkan menjadi Situs 253.,60 12.194,57
Warisan Dunia oleh UNESCO pada 2004. Namun, 4 PT. Aru Alam Perkasa 7.979,35 19,09 4.580,19 13.464,16 17.851,15
Sejak tahun 2011, kawasan itu sudah masuk dalam 3.048,29 19.349,40
The List of World Heritage in Danger. UNESCO akan 5 PT. Berkah Alam Aru 7.198,32 4.710,51 5.697,30 15.462,68
mengevaluasi pada tahun 2017 apakah ada usaha 8.920,72 18.602,70
yang cukup baik dari Pemerintah Indonesia dalam 6 PT. Berkah Dobo Perkasa 229,03 5.731,63 2.236,06 19.535,75
menanggulangi kerusakan yang terjadi.34 Berbagai 1.214,85 19.863,02
kasus tersebut menunjukkan bahwa pengabaian 7 PT. Berkah Rajab Indonesia 798,91 8,73 8.338,65 10.610,60 ϮϬ͘ ϭϲϭ͕ ϱϮ
kebijakan penundaan pemberian izin baru oleh 1.537,66 19.601,14
pemerintah daerah terjadi karena tidak adanya 8 PT. Bina Makmur Lestari 43,30 12.110,55 ϭϲ ͘ ϭϯϭ͕ ϲϱ 14.218,46
konsekuensi hukum atas ketidaktaatan pada 7.987,82 11.618,40
ketentuan penundaan pemberian izin baru tersebut. 9 PT. Cahaya Malindo Abadi 236,11 10.192,57 1.117,03 ϭϴ͘ ϬϮϳ ͕ ϳ ϵ
Tidak hanya di pulau besar utama, ekspansi ekonomi 232,48 19.685.,19
yang mengabaikan keberlanjutan lingkungan juga 10 PT. Cakra Makmur Sentosa 644,77 12.581,85 Ϯ͘ Ϭϲϰ͕ ϱϵ ϭϯ ͘ ϬϮϰ͕ ϭϰ
terjadi di Kepulauan Aru yang terdiri dari gugusan 1.005,25 13.078,08
pulau-pulau kecil,35 padahal ekosistem hutan 11 PT. Cipta Makmur Alami 758,29 16.629,56 ϭ͘ ϯ ϳ ϭ͕ ϴϱ 12.636,54
Kepulauan Aru wajib dilindungi dan dipertahankan. 1.095,23 20.380,91
Analisis FWI berdasarkan interpretasi citra landsat 12 PT. Dobo Alam Makmur 17,77 8.907,37 2.805,07 ϭϴ͘ ϮϬϵ͕ ϯϵ
tahun 2013 menemukan 660.000 hektare atau 83% 2.555,52 20.601,28
daratan di Kepulauan Aru berupa hutan alam, di 13 PT. Hijau Raya Abaditama 4.825,46 13.499,89 ϭ͘ Ϯϲϲ͕ ϯ ϰ 10.361,90
mana 478.000 hektare hutan alam berada di luar 4.061,11 21.109,02
14 Wd͘ /ŶƟ ' ůŽďĂůWĞƌŬĂƐĂ ϯ͕ ϭϴ ϰ͘ ϬϮϲ͕ ϲ ϵ 320,33 19.617,25
213,23
15 PT. Intra Jaya Kencana 42,15 0,06 11.571,12
16 PT. Kreasindo Lahan Hijau 10,48 1,63 13.089,31
17 PT. Majutama Alam 9.040,70 75,80 2.269,42
Nusantara
18 Wd͘ D ƵůƟ ƌƵ WĞƌŬĂƐĂ Ϯ͘ ϴϱϯ͕ ϵϴ ϭϯ ͘ ϭϬϵ͕ ϮϮ
19 PT. Pandawa Usaha 3,82 0,12 18.676,00
Nusantara
20 Wd͘ WůĂƟŶĚŽ ƌƵ D ĂŬŵƵƌ ϰϰ͕ ϱϬ ϭϭ͘ ϲϬϳ ͕ ϳ ϵ
21 PT. Prakarsa Indonesia Timur 934,02 11.048,83
22 PT. Pratama Maju Lestari 5.102,87 607,46 4.121,15
23 PT. Rahmad Indonesia Subur 4.410,05 137,50 13.277,84
24 Wd͘ ^ĂŚĂďĂƚ ƌƵ ^ĞũĂƟ ϲ͘ ϰϲϯ͕ ϳ ϵ Ϭ͕ ϲ ϳ ϭϬ͘ ϰϳ ϴ͕ ϱϵ
25 PT. Sari Indah Cemerlang 1.385,67 15.154,50
26 PT. Sentra Aru Gemilang 1.718,68 21,98 8.300,91
27 PT. Subur Makmur Abadi 69,19 20.826,61
28 PT. Usaha Berkah Sejahtera 9.898,57 9.718,68
Total 66.687,32 910,66 292.425,12 92.008,36 452.031,46
29 Diluar Konsesi Tebu 121.967,93 4.798,76 185.634,25 67.561,87 379.962,81
Grand Total 188.655,25 5.709,42 478.059,38 159.570,23 831.994,27
6 Tahun Perjalanan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam
dan Lahan Gambut Indonesia
Sebuah Evaluasi atas Pelaksanaan Instruksi Presiden Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru
dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
Sementara itu, di Provinsi Papua Barat, pada tahun KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DI
2013 Pemerintah Daerah Papua Barat mengusulkan WILAYAH PIPPIB
revisi RTRWP dengan perubahan fungsi kawasan Tujuan dari kebijakan penundaan pemberian izin
hutan seluas 1.032.759 hektare, sedangkan baru ini adalah untuk menghentikan sementara
perubahan peruntukan kawasan hutan seluas waktu pembukaan hutan alam dan gambut.
979.452 hektare, sebuah angka fantastis yang akan Sayangnya, sejak dinyatakan berlaku, kebijakan ini
memperparah laju kerusakan hutan di Indonesia. Di masih jauh dari harapan. Selain sebagian sebaran
Provinsi Sulawesi Tengah yang merupakan provinsi titik api berada di wilayah konsesi (baik perkebunan
percontohan UN-REDD, izin-izin perkebunan dan sawit, hutan tanaman industri, maupun tambang),
pertambangan juga terus dikeluarkan oleh bupati titik api juga berada di wilayah PIPPIB, seperti
tanpa mengindahkan penundaan pemberian izin ditemukan antara lain di Kalimantan Tengah dan
baru. Bahkan selama pelaksanaan penundaan Kalimantan Barat.38 Berdasarkan hasil temuan
pemberian izin baru di Kalimantan Tengah, yang Greenpeace, kebijakan penundaan pemberian izin
merupakan provinsi perintis REDD+, masih baru tersebut ternyata belum efektif dalam
ditemukan 12 izin baru yang dikeluarkan oleh mencegah dan mengurangi kebakaran hutan.
pemerintah di wilayah PIPPIB, bahkan terindikasi Analisa Greenpeace menunjukkan bahwa pada
lebih banyak lagi karena lemahnya kontrol dan Februari 2014, lebih dari 30% titik-titik api terjadi pada
transparansi dalam penerbitan perizinan. wilayah PIPPIB. Dari seluruh titik api pada wilayah
Pelanggaran nyata juga dilakukan oleh Bupati PIPPIB, 80% di antaranya terjadi pada lahan
Kotawaringin Barat yang memberikan izin kepada gambut.39 Menurut data Titik Api Aktif NASA pada
PT. ASMR di wilayah lahan gambut dan Taman platform Global Forest Watch Fires, setengah dari
Nasional Tanjung Puting yang masuk dalam PIPPIB peringatan titik api di Provinsi Riau terjadi di
setelah INPRES diterbitkan. kawasan-kawasan yang dilindungi atau wilayah
Sejak dikeluarkannya kebijakan penundaan PIPPIB. Sekitar 38 persen dari peringatan titik api
pemberian izin baru, terhitung izin pertambangan di Riau terdapat pada lokasi lahan gambut (di
kawasan hutan justru bertambah dari 279 pada 2011 antaranya berada diwilayah PIPPIB Revisi V) yang
dengan luas sekitar 900.000 hektare menjadi 443 kaya akan stok karbon dan dapat melepaskan gas
izin di tahun 2014 dengan luas sekitar 1,3 juta rumah kaca ke dalam atmosfer yang semakin
hektare. Beberapa kasus tersebut menunjukkan memicu perubahan iklim global. 40
bahwa dalam praktiknya, instruksi presiden dalam
INPRES tersebut masih diabaikan dan tidak dipatuhi Gambar 12. Perbandingan Jumlah Sebaran Titik Api Nasional dengan Titik Api dalam PIPPIB
oleh pejabat daerah. Demikian pula, Kementerian dengan Tingkat Kepercayaan di atas 50% Periode 2011-2016
LHK dan Kementerian Dalam Negeri belum
sepenuhnya dapat mengawasi pejabat daerah. Keterangan: Gambar 12 tren sebaran titik api di wilayah PIPPIB.
Penundaan pemberian izin baru tampaknya masih
tunduk pada kepentingan bisnis skala besar. Dengan akurasi di atas 75%, sebaran titik api nasional
Pemerintah pusat dan daerah juga masih berusaha yang paling tinggi adalah sebaran titik api di tahun
memuluskan konversi hutan melalui mekanisme 2015 yang berjumlah 69.044. Dari 69.044 sebaran
revisi RTRW yang mengandung alih fungsi dan titik api nasional tersebut, sejumlah 21.552 sebaran
peruntukkan kawasan untuk mengejar target MP3EI titik api (sekitar 31%) terdapat di wilayah PIPPIB.
(Masterplan Percepatan dan Perluasan Rata-rata sebaran titik api di wilayah PIPPIB dari
Pembangunan Ekonomi Indonesia).37 tahun 2011 sampai dengan 2016 adalah sekitar 28,5%
dari sebaran titik api nasional (Lihat Gambar 12). Hal
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global
ini menunjukkan pahwa kebijakan penundaan dan peruntukkan kawasan hutan di berbagai daerah
pemberian izin baru belum bisa mencegah dan untuk memuluskan mega proyek telah mengancam
mengurangi kebakaran hutan dan lahan di wilayah hak-hak masyarakat adat dan lokal dengan
PIPPIB.41 memanfaatkan pasal pengecualian dalam
Kebakaran di wilayah PIPPIB ini bisa terjadi akibat penundaan pemberian izin baru untuk kepentingan
merembetnya api dari wilayah di luar PIPPIB ke proyek-proyek perkebunan skala besar. Sebagai
wilayah PIPPIB dan/atau adanya titik api di wilayah contoh dalam kasus MIFEE (Merauke Integrated
PIPPIB akibat lemahnya sistem pengawasan yang Food and Energy Estate) di Kabupaten Merauke, di
dilakukan oleh pemerintah, padahal sebagian besar mana hutan alam, hutan rawa dan savana tempat
wilayah PIPPIB adalah hutan lindung. Lemahnya hidup orang Marind dialihfungsikan untuk
sistem pengawasan tersebut, pada akhirnya pembangunan industri pertanian dan perkebunan
menjadi open akses bagi pihak yang tidak skala besar dengan luas mencapai 1.553.492 hektare
bertanggung jawab untuk membuka dan atas nama ketahanan pangan dan energi.
mengekspansi wilayah tersebut.42 Sehingga,
temuan titik api di wilayah PIPPIB tersebut bisa Gambar 13. Wilayah Kelola Rakyat dalam PIPPIB
menarik kita pada kesimpulan bahwa kebakaran di
wilayah PIPPIB tersebut bisa menjadi modus agar Keterangan: Gambar 13 luasan wilayah kelola rakyat yang berada di dalam wilayah
kawasan tersebut ditetapkan sebagai lahan kritis PIPPIB gambut, PIPPIB kawasan hutan, dan PIPPIB hutan primer.
yang kemudian bisa diberikan sebagai lokasi
konsesi. Apalagi, INPRES No. 8 Tahun 2015 masih Dari aspek penyelesaian konflik kehutanan,
sangat permisif, dengan dibukanya ruang revisi peta kebijakan penundaan pemberian izin baru ini juga
indikatif penundaan pemberian izin baru per enam tidak memberi ruang penyelesaian konflik lahan
bulan.43 antara masyarakat adat, lokal dengan pemerintah
dan perusahaan, sebab, tidak ada perlindungan,
PERLINDUNGAN TERHADAP HAK-HAK pengukuhan dan penguatan atas hak dan ruang
MASYARAKAT ADAT/LOKAL DAN MITIGASI kelola mereka. Pemerintah juga masih cenderung
KONFLIK KEHUTANAN lambat merespon kepentingan masyarakat adat
Pada PIPPIB RevisiI-XI, wilayah kelola rakyat dan lokal yang hak-haknya dilanggar. Konflik
sebagian besar berada pada kawasan hutan lindung, kehutanan tidak akan bisa dikurangi selama
yaitu seluas kurang lebih 1.123.352 hektare, jika terdapat ketimpangan tata kuasa hutan, di mana
dibandingkan wilayah kelola rakyat di lahan gambut saat ini penguasaan masyarakat masih kurang dari
seluas kurang lebih 54.642 hektare dan wilayah 2%, sementara pemilik izin besar menguasai lebih
kelola rakyat di hutan primer seluas kurang lebih dari 98%. Oleh karena itu diperlukan peninjauan
76.198 hektare (Lihat Gambar 13).44 Sehingga skema kembali izin konsesi yang tumpang tindih dengan
perhutanan sosial menjadi alternatif untuk ruang kelola masyarakat dan juga pengesahan UU
menjamin penghidupan masyarakat, Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat
mengoptimalkan perlindungan hutan dan Adat sebagai UU payung untuk melindungi hak-hak
meminimalkan konflik. Wilayah kelola rakyat masyarakat adat dan menetapkan hutan adat
misalnya dalam skema Perhutanan Sosial sebagai langkah awal untuk memulihkan hak-hak
seharusnya tidak dimasukkan ke dalam wilayah
PIPPIB, karena hal ini akan mengganggu izin kelola
yang masih berlaku dan yang akan diajukan,
sehingga akan menghambat tercapainya target
Perhutanan Sosial. Selain itu, masifnya alih fungsi
6 Tahun Perjalanan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam
dan Lahan Gambut Indonesia
Sebuah Evaluasi atas Pelaksanaan Instruksi Presiden Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru
dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
masyarakat adat atas hutan. Percepatan konversi hutan alam menjadi hutan tanaman
pengukuhan kawasan hutan juga harus industri, yang tetap diangap oleh Kementerian
dimanfaatkan sebagai momentum penyelesaian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam klasifikasi
konflik dan pemulihan hak-hak masyarakat adat dan wilayah “hutan”.47 Dari PIPPIB Revisi I sampai
lokal.Kementerian Lingkungan Hidup dan dengan Revisi XI, luas tutupan hutan dalam PIPPIB
Kehutanan yang bersikeras menetapkan kawasan mengalami laju pengurangan tutupan hutan seluas
hutan seluas 60% yang masih bermasalah justru kurang lebih 831.053 hektare (Lihat Gambar 14).48
memicu konflik dan mengancam hak-hak
masyarakat adat dan lokal.45 Gambar 14. Luas Tutupan Hutan dalam PIPPIB Revisi I-XI (Hektare)
MITIGASI LAJU DEFORESTASI Keterangan: Gambar 14 tren pengurangan luas tutupan hutan dalam PIPPIB pada
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan periode 2011-2015.
kebijakan penundaan pemberian izin baru pada Mei
2011, tetapi penelitian yang dipimpin oleh Belinda A. Hal tersebut menunjukkan bahwa INPRES
Margono dari University of Maryland menunjukkan penundaan pemberian izin baru belum dapat
bahwa kehilangan tutupan hutan primer di memberikan perubahan menyeluruh dalam
Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia, perlindungan kawasan hutan. Bahkan diperkirakan
bahkan melampaui Brasil. Berdasarkan studi pada 2023 Indonesia akan kehilangan banyak hutan
tersebut, pada tahun 2012 tercatat Indonesia justru yang dimiliki dan pada tahun 2020 akibat deforestasi
kehilangan kurang lebih 840.000 hektare hutan. Hal dan akan mengakibatkan gas emisi sebanyak 41%.
ini lebih besar dibanding dengan Brasil yang Terlebih setelah kemudian pemerintah
kehilangan kurang lebih 460.000 hektare hutan. mengeluarkan PP No 104 Tahun 2015 tentang Tata
Total kehilangan tutupan hutan primer di Indonesia Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan
(meliputi wilayah hutan berkerapatan tinggi dan Hutan, yang membuat deforestasi hutan semakin
hutan yang terdegradasi) terutama di Sumatera, meningkat.49
Kalimantan dan Papua, di mana konversi akibat 7. Potensi Dampak Kebijakan
hutan tanaman industri dan perkebunan sawit yang
berkembang marak selama 20 tahun terakhir, Penundaan Pemberian Izin
adalah mencapai kurang lebih 6.024.000 hektare.46 Baru yang Buruk
Dampak dari perusakan hutan ini tidak hanya Lahan gambut berperan penting dalam menyimpan
meningkatkan emisi gas rumah kaca Indonesia, karbon dan menyediakan jasa lingkungan lain,
tetapi juga menyebabkan satwa seperti harimau termasuk konservasi air dan keanekaragaman
Sumatera menuju ke ambang kepunahan. hayati. Lahan gambut Indonesia yang tersebar di
Hasil penelitian yang dirilis ini sangat bertolak Sumatera, Kalimantan dan Papua seluas sekitar 20,2
belakang dengan angka yang dirilis pada awal tahun juta hektare, diperkirakan menyimpan lebih dari 30
ini oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan miliarton karbon50 (Kementerian Kehutanan, 2008),
Kehutanan Indonesia, yang mengklaim bahwa
deforestasi tahunan telah jauh menurun sejak
2005/2006. Angka tersebut dapat terjadi karena
perbedaan perhitungan metodologis. Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang
mengabaikan estimasi deforestasi di lahan di luar
wilayah kawasan hutan dan tidak memasukkan
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global
sehingga melindungi lahan gambut merupakan Laju deforestasi di lahan gambut berhutan selama
upaya nyata dalam hal pengurangan emisi dan 2000-2005 adalah sekitar 100.000 hektare per
manfaat lingkungan lainnya. Di antara lahan gambut tahun. Sebagian besar gambut dalam yang telah
yang tidak berhutan seluas 9,5 juta hektare, hanya gundul dan rusak terletak di Provinsi Riau.52 Kajian
sekitar 6,2 juta hektare gambut yang tercakup dalam terbaru menunjukkan bahwa laju deforestasi di
wilayah PIPPIB. Sementara di antara hutan bekas hutan gambut di Asia Tenggara kepulauan
tebangan di lahan gambut yang seluas 5,4 juta (terutama Indonesia) selama 2000-2010 sebesar
hektare, hanya sekitar 3,9 juta hektare yang 2,2% per tahun, jauh lebih tinggi dari laju deforestasi
tercakup dalam wilayah PIPPIB.51 Padahal lahan tahunan di hutan hujan dataran rendah sebesar
gambut yang sebagian besar terdapat di Provinsi 1,2%.53 Laju kerusakan yang tinggi pada lahan gambut
Riau dan Kalimantan Tengah tersebut menghadapi adalah akibat konversi yang berlanjut dengan
resiko terdegradasi lebih lanjut. drainase, kebakaran, pemadatan dan oksidasi
gambut. Pengeringan lahan gambut tersebut dapat
Gambar 15. Luas Wilayah Konsesi di Provinsi Riau Dibandingkan menyebabkan kubah gambut runtuh dan emisi gas
dengan Luas Provinsi (Hektare) rumah kaca meningkat. Di daerah pesisir, runtuhnya
gambut telah menyebabkan intrusi air laut sehingga
Keterangan: Gambar 15 di Provinsi Riau 47% dari 8,9 juta hektare luas daratan telah memaksa petani pindah dari lahan pertanian
dibebani izin. mereka.54 Di antara luas wilayah Provinsi Riau, 47%
atau sekitar 4.202.023 hektare merupakan wilayah
Gambar 16. Perbandingan Luas Kubah Gambut Riau dengan izin konsesi (Lihat Gambar 15). Di antara
yang Berada di dalam Wilayah Konsesi Luas kubah gambut di provinsi Riau, 36% atau sekitar
dan di luar Konsesi (Hektare) 1.247.585 hektare berada dalam wilayah konsesi
(Lihat Gambar 16). Di antara luas wilayah di Provinsi
Riau yang dikeluarkan dari PIPPIB, sebesar 51% atau
seluas kurang lebih 250.890 hektar adalah
merupakan kubah gambut (Lihat Gambar 17).55 Di
Provinsi Kalimantan Tengah, dari PIPPIB Revisi I
sampai dengan PIPPIB revisi XI, di antara wilayah
yang dikeluarkan dari PIPPIB seluas 602.815,492
hektare tersebut, 35 % atau seluas 212.241 hektare
adalah kubah gambut; sedangkan 65% atau seluas
390.354 hektare bukan kubah gambut.56
Gambar 17. Perbandingan Luas Wilayah di dalam dan di luar
Kubah Gambut yang Dikeluarkan dari PIPPIB
(Satuan Hektare)
Keterangan: Gambar 16 di Provinsi Riau 1,2 juta hektare kubah gambut telah Keterangan: Gambar 17 di Provinsi Riau kubah gambut seluas 250 ribu hektare
dibebani izin. telah dikeluarkan dari wilayah PIPPIB.
6 Tahun Perjalanan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam
dan Lahan Gambut Indonesia
Sebuah Evaluasi atas Pelaksanaan Instruksi Presiden Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru
dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
Dampak langsung akibat kesalahan pengelolaan semakin parah. Jika semua itu dihitung maka banyak
lahan gambut ini menimbulkan tantangan baru kerugian yang ditimbulkan akibat deforestasi yang
dalam hal penghidupan masyarakat yang berlanjut.
melampaui persoalan perubahan iklim. Emisi CO2
dari konversi lahan gambut menjadi perkebunan 8. Kesimpulan
kelapa sawit mencapai sekitar 60 ton/ha/th.57 Namun Penundaan pemberian izin baru di hutan alam
lahan gambut akan terus mengeluarkan emisi gas primer dan kawasan lahan gambut, seperti diatur
rumah kaca meskipun kegiatan konversi telah dalam INPRES No. 10 Tahun 2011 dan INPRES-INPRES
berhenti. Mengingat pentingnya perlindungan perpanjangannya tersebut (INPRES No. 6 Tahun
untuk lahan gambut tersebut dari ancaman 2013 dan INPRES No. 8 Tahun 2015) merupakan
kerusakannya, maka pelaksanaan penundaan langkah penting dalam memenuhi komitmen
pemberian izin baru dan revisi PIPPIB semestinya Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
mengutamakan perlindungan terhadap hutan Langkah penundaan pemberian izin baru ini harus
gambut dan lahan gambut bekas tebangan yang dilanjutkan untuk mendorong perbaikan tata kelola
berada dalam kewenangan KLHK, dengan perhatian hutan dan lahan gambut. Namun demikian, INPRES
khusus terhadap dua provinsi ini. Selain itu, jika No. 10 Tahun 2011 dan INPRES-INPRES
kebijakan penundaan pemberian izin baru yang perpanjangannya tersebut ( INPRES No. 6 Tahun
cenderung ”Business as Usual” diterapkan, maka 2013 dan INPRES No. 8 Tahun 2015) belum
potensi kerugian penerimaan negara yang lebih menunjukkan upaya mendorong perbaikan tata
besar akan tetap terjadi. kelola di sektor kehutanan yang melampaui Business
Temuan Kementerian Kehutanan, Badan Pemeriksa as Usual. Kenyataan bahwa penundaan pemberian
Keuangan (BPK) maupun Komisi Pemberantasan izin baru tidak mencakup hutan sekunder dan areal
Korupsi (KPK), terhadap jumlah kerugian negara bekas tebangan menunjukkan hilangnya
yang ditimbulkan akibat praktik konversi hutan kesempatan untuk melindungi, paling sedikit untuk
adalah melebihi dari jumlah dana yang disepakati sementara, 46,7 juta hektare hutan lainnya yang
Indonesia-Norwegia sebesar 1 miliar USD (± Rp. 9.3 masih kaya akan karbon dan keanekaragaman
triliun). Terlebih lagi INPRES mengenai penundaan hayati.
pemberian izin baru juga tidak secara lengkap Pengecualian dalam penundaan pemberian izin baru
melibatkan Kementerian Pertanian untuk sektor ini terhadap kegiatan-kegiatan yang berkaitan
perkebunan dan Kementerian Energi dan Sumber dengan ketahanan pangan dan energi, juga
Daya Mineral untuk sektor pertambangan, sehingga berpotensi menimbulkan celah yang dapat
hal ini semakin memperlemah kebijakan penundaan melemahkan penangguhan izin baru. INPRES ini
pemberian izin baru. Semua kerugian yang juga tidak menyentuh persoalan hak masyarakat
digambarkan di atas belum lagi menghitung yang secara tegas telah tertulis menjadi komitmen
kerugian dalam konteks fungsi lingkungan yang Pemerintah Indonesia dalam Joint Concept Note
hilang akibat praktik deforestasi atas wilayah- (JCN) dengan Pemerintah Norwegia dan bahkan
wilayah yang tidak dilindungi oleh kebijakan pernah disampaikan dalam pernyataan publik
penundaan pemberian izin baru. Fungsi tata air, Pemerintah Indonesia dalam perundingan
keanekaragaman hayati termasuk hilangnya internasional, antara lain COP 16 di Cancun. Selain itu
habitat dan semakin terancamnya satwa dilindungi, kebijakan penundaan pemberian izin baru dalam
kehilangan penyimpan karbon plus emisi yang bentuk INPRES, dalam pelaksanaannya masih tetap
ditimbulkan, hilangnya sumber penghidupan sekitar menghadapi tantangan karena INPRES memang
60 juta orang yang hidup di sekitar hutan dan juga tidak menetapkan sanksi. Selain itu, untuk
potensi bencana alam akibat deforestasi yang mendukung keberhasilan kebijakan penundaan
pemberian izin baru, perlu adanya keterbukaan
informasi publik dalam setiap revisi dari PIPPIB.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global
Dalam hal ini, revisi PIPPIB seharusnya juga Langkah strategis tersebut haruslah termaktub
dipublikasi dengan data-data yang bisa dibuktikan dalam suatu produk hukum baru, yang melanjutkan
kebenarannya, misalnya, siapa yang mengajukan komitmen perlindungan hutan dan ekosistem
perubahan data, kapan, dan atas dasar apa. gambut dengan basis hukum yang lebih kuat
Secara keseluruhan INPRES No.10 Tahun 2011 dan (Peraturan Presiden). Oleh karena itu, Koalisi
INPRES-INPRES perpanjangannya ini belum Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan
berdampak secara signifikan bagi perlindungan Indonesia dan Iklim Global mendesak Presiden
hutan, perlindungan hak-hak masyarakat adat/lokal, Republik Indonesia untuk:
mitigasi bencana kebakaran hutan dan lahan, 1. Menyusun Peta Jalan Indonesia Menuju Bebas
mitigasi konflik dan komitmen penurunan emisi
Indonesia. Penundaan pemberian izin baru Deforestasi Tahun 2020.
semestinya tidak dipandang sebagai hasil akhir dari Sebagai langkah awal, perlu disusun sebuah Peta
perwujudan komitmen Presiden untuk mencapai Jalan Indonesia Menuju Bebas Deforestasi Tahun
sasaran pengurangan emisi. Seharusnya penundaan 2020 yang akan mengintegrasikan seluruh upaya
pemberian izin baru adalah alat untuk menciptakan perbaikan tata kelola hutan dan gambut
keadaan yang memungkinkan perbaikan tata kelola (Penundaan pemberian izin baru; Peninjauan
hutan dan lahan gambut, yang diperlukan untuk kembali izin; Restorasi gambut; Reforma Agraria;
menunjang strategi pembangunan rendah karbon, Perhutanan Sosial; Kebijakan Satu Peta;
menjaga kelestarian hutan dan melindungi hak-hak Moratorium sawit dan pertambangan; dan
masyarakat adat/lokal dalam mengelola sumber Pengakuan dan perlindungan hak Masyarakat
daya alam secara lestari. Penundaan pemberian izin Adat) dalam sebuah rencana aksi yang terukur,
baru seharusnya dapat membuka jalan bagi dan dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga
keberhasilan pembaruan kebijakan jauh melampaui antar berbagai upaya tersebut saling mendukung
masa berlakunya yang hanya dua tahun. dalam mewujudkan pelestarian hutan dan
ekosistem gambut yang akan menjadi penopang
9. Langkah Strategis Menuju ekonomi Indonesia yang berkelanjutan.
Perbaikan Tata Kelola
Hutan dan Lahan Gambut 2. Membuat Rencana Aksi Indonesia Menuju Bebas
Deforestasi Tahun 2020
Melihat perjalanan 6 tahun kebijakan penundaan Kebijakan tentang Peta Jalan Indonesia Menuju
pemberian izin baru yang dijalankan selama ini, Bebas Deforestasi Tahun 2020 yang diusulkan,
terdapat pertanyaan mendasar tentang bagaimana selayaknya dilengkapi dengan sebuah rencana
dengan masa depan kebijakan tersebut. Sebagai aksi yang terukur, dan mencakup rentang waktu
sebuah kebijakan ”jeda” (berhenti sementara), pembenahan (Pendek, Menengah, dan Panjang)
kebijakan ini diharapkan dapat memberikan waktu dan rentang geografis (Nasional dan Daerah),
yang cukup untuk melakukan pembenahan tata termasuk tindakan apa saja yang akan dilakukan
kelola di sektor kehutanan dan lahan gambut. oleh masing-masing K/L dalam periode tersebut.
Sehingga kebijakan ini harus ada titik di mana Kejelasan rentang waktu ini menjadi sangat
pembenahan tercapai dan roda pengelolaan hutan penting, sehingga dapat diisi dengan aksi konkret
dapat kembali bergulir dengan lebih baik. Untuk dan kolaboratif antar berbagai pemangku
mencapai titik tersebut, pemerintah perlu kepentingan.
mengambil tindakan strategis yang inklusif untuk
mempercepat penyelamatan hutan dan ekosistem
gambut Indonesia.
6 Tahun Perjalanan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam
dan Lahan Gambut Indonesia
Sebuah Evaluasi atas Pelaksanaan Instruksi Presiden Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru
dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
3. Memantau jalannya implementasi dari Rencana Nasional/Daerah ini adalah kemampuannya
Aksi Indonesia Menuju Bebas Deforestasi Tahun untuk dapat menjembatani kolaborasi kinerja
2020 lintas sektor dan mengawasi pelaksanaan
Memantau jalannya implementasi dari rencana kebijakan terkait. Selain itu, lembaga tersebut
aksi ini, diperlukan sebuah lembaga yang menjadi akan bertanggung jawab secara langsung
penanggung jawab utama di tingkat Nasional kepada Presiden Republik Indonesia. Sehingga
dan Daerah. Sehingga Presiden sebagai pimpinan setiap peluang maupun tantangan yang ditemui
tertinggi dapat mengetahui secara jelas apa saja dan terkait dengan kolaborasi kerja lintas sektor
yang menjadi tantangannya dalam dapat segera diambil keputusannya. Dengan
implementasi, untuk selanjutnya mengambil keberadaan lembaga ini, Rencana Aksi Indonesia
tindakan apabila diperlukan. Menuju Bebas Deforestasi Tahun 2020 dapat
berjalan sesuai dengan rentang waktu yang telah
Kotak 3. Tantangan Kelembagaan yang ditentukan. Kelembagaan pada tingkat Nasional
Bussiness as Usual dan Daerah juga harus memiliki pola koordinasi
dan komunikasi yang jelas.
Salah satu tantangan utama dalam konteks
kelembagaan ini adalah pola kerja lama yang 4. Mempercepat terbitnya Kebijakan Satu Peta
tidak responsif dan cenderung menunggu.Ini Untuk mendukung operasional Peta Jalan
yang menjadi salah satu latar belakang Indonesia Menuju Bebas Deforestasi Tahun 2020,
bermunculan lembaga quasi eksekutif yang rencana aksi, dan kelembagaan, diperlukan
seringkali mengundang pro-kontra. Presiden sebuah peta yang mengintegrasikan seluruh isu
Jokowi telah memiliki sikap yang sangat jelas tematik yang berkaitan dengan pengelolaan
untuk merampingkan struktur kenegaraan dan Sumber Daya Alam di Indonesia. Kebijakan ini
tidak menginginkan adanya lembaga baru. dikenal dengan ”Kebijakan Satu Peta”, di mana
Pada satu sisi, ini merupakan sikap yang patut Presiden telah memandatkan Percepatan
diapresiasi, namun pada sisi lain terdapat Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Tingkat
tantangan yang perlu untuk di perhatikan Ketelitian Peta Skala 1:50.000 yang dituangkan
khususnya dari sisi reformasi birokrasi. dalam Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2016.
Rendahnya kinerja birokrasi telah menjadi Dengan adanya satu peta, analisa dan
rahasia umum, di mana butuh pucuk pimpinan pengambilan keputusan dapat dilakukan dengan
yang berintegritas untuk dapat secara cepat lebih komprehensif, sehingga perlu dijaga aspek
merubah paradigma birokrasi tersebut. transparansi dan akuntabilitasnya. Selain itu,
“Revolusi Mental”, menjadi sebutan untuk peta ini juga harus dapat diakses oleh publik,
merubah paradigma birokrasi dari cara lama sesuai dengan format yang dibutuhkan tanpa
menuju cara yang lebih progresif. Namun untuk terkecuali.
melakukannya diperlukan champion dari
birokrasi yang mampu untuk melakukannya, 5. Evaluasi perizinan terintegrasi
dan dalam konteks penundaan pemberian izin Evaluasi perizinan sudah menjadi salah satu
baru ini akan sangat menentukan kelembagaan agenda prioritas dari Pemerintahan Jokowi,
yang akan memantau jalannya rencana aksi namun perlu dipertimbangkan untuk memiliki
penundaan pemberian izin baru. sebuah evaluasi perizinan yang sifatnya
terintegrasi dengan melibatkan berbagai sektor,
Kelembagaan sebagai penanggung jawab di misalnya perizinan perkebunan juga melibatkan
tingkat Nasional dan Daerah tidak diartikan sektor kehutanan dan sebaliknya. Hal ini
membentuk sebuah lembaga baru. Presiden bisa dimaksudkan juga untuk menyelesaikan
menunjuk lembaga yang telah ada dan memiliki
tugas dan fungsi dalam konteks pengawasan
pelaksanaan Rencana Aksi Menuju Indonesia
Bebas Deforestasi Tahun 2020 (misal:
BAPPENAS/BAPPEDA), karena yang diperlukan
dari penanggung jawab di tingkat
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global
perizinan yang tumpang tindih. Kewenangan kepada para pihak. Upaya penyaringan ini pada
penerbitan perizinan memang tergantung pada akhirnya akan berujung kepada proses hukum
satu sektor, namun implikasi atas perizinan yang perlu untuk diambil oleh pemerintah.
tersebut akan berdampak pada sektor lainnya. Ini
yang kemudian perlu untuk di integrasikan dalam 6. Melakukan penegakan hukum dan penyelesaian
proses evaluasi perizinan. sengketa alternatif
Seluruh Kementerian/Lembaga (K/L) yang terkait Setelah upaya penyaringan melalui proses kaji
industri berbasis lahan perlu melakukan evaluasi ulang dilaksanakan, maka tindakan selanjutnya
terhadap perizinan yang menyeluruh secara adalah memaksimalkan upaya penegakan
bersama-sama dan kolaboratif. Kerja ini perlu hukum terhadap izin-izin yang bermasalah dan
untuk dipantau secara seksama oleh tidak terbatas pada sanksi administrasi saja. Perlu
penanggung jawab di tingkat Nasional maupun dibuka juga peluang untuk melakukan
di tingkat Daerah. Sehingga setiap hambatan penyelesaian sengketa alternatif untuk kasus-
maupun capaian yang diperoleh dapat langsung kasus di mana terjadi sebuah kesalahan
dikomunikasikan kepada presiden. Proses administratif dari pemerintah. Selain itu
evaluasi perizinan ini pada dasarnya merupakan penegakan hukum dengan menggunakan Multi
sebuah upaya penyaringan terhadap izin-izin Door Approach, patut dipertimbangkan.
yang bermasalah dengan izin-izin yang sah dan
untuk memberikan jalan keluar berkeadilan Fitzherbert, E.M. 2008 Biofuel plantations on forested lands: double
jeopardy for biodiversity and climate. Conservation Biology 23:
1 http://forestclimatecenter.org/files/2009-09-25% 348–358.
20Intervention%20by%20President%20SBY%20 12 Kementerian Kehutanan 2009. Forest designation map. Kementerian
on%20Climate%20Change%20at%20the%20 G-20%20Leaders%20 Kehutanan, Jakarta, Indonesia.
Summit.pdf. 13 PP No. 57 Tahun 2016 Pasal 9.
14 Perbandingan luasan kawasan lindung, hutan alam primer dan lahan
2 http://www.presidensby.info/index.php/eng/ gambut dalam PIPPIB bisa dilihat pada gambar 1,2,3 dan 4.
pidato/2009/12/17/1274.html dan http://www. youtube. 15 Kementerian Kehutanan 2008. Consolidation report. Reducing
com/watch?v=DFAN7Uvbt14. emissions from deforestation and forest degradation in Indonesia.
Kementerian Kehutanan, Jakarta, Indonesia.
3 http://www.norway.or.id/PageFiles/404362/ 16 Briefing Paper. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan
Letter_of_Intent_Norway_Indonesia_26_May _2010.pdf. Indonesia dan Iklim Global. Membaca INPRES No. 10 Tahun 2011
tentang Penundaan Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan
4 http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/17176/ INPRES0102011.pdf. alam Primer dan Lahan Gambut.
5 Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim 17 h ttp : //w w w .m en l hk. go . i d/ sia ra n- 5 -p re sid en -p e rp an ja ng -
moratorium.html.
Global,Briefing Paper: Evaluasi Tiga Tahun Kebijakan Moratorium dan 18 Presentasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam
PerlindunganEkosistem Gambut Indonesia (Tugas Utama Pemimpin Launching Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru Revisi X.
Indonesia Baru), 2014. Jakarta, 26 Mei 2016.
6 Biro Humas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), 19 Lihat lampiran peta 17: Provinsi Kalimantan Tengah adalah Provinsi
Jakarta-Jumát, 7 April 2017. dengan Pengurangan Luas PIPPIB Terbesar.
7 Food and Agriculture Organization (FAO) 2010a. Global forest 20 Lihat lampiran peta 14: Kondisi Kubah Gambut Provinsi Jambi
resources assessment. Laporan utama. FAO Forest Paper No. 163. dalamPIPPIB.
FAO, Roma. 21 Lihat lampiran peta 3: 10 Provinsi dengan Dinamika Perubahan Luas
8 Food and Agriculture Organization (FAO) 2010b. Global forest PIPPIB terbesar.
resources, country report: Indonesia. FAO, Roma.
9 Murdiayarso, Daniel.; Dewi, Sonya.; Lawrence, Deborah.; Seymour,
Frances., 2011. Moratorium Hutan Indonesia Batu loncatan Untuk
Memperbaikai Tata kelola Hutan Indonesia. Working Paper 77, Bogor:
CIFOR.
10 Murdiyarso, D., van Noordwijk, M., Wasrin, U.R., Tomich, T.P. dan
Gillison, A. 2002. Environmental benefits and sustainable land-use in
Jambi transect, Sumatra, Indonesia. Journal of Vegetation Science 13:
429–438.
11 Danielsen, F., Beukema, H., Burgess, N.D., Parish, F., Brühl, C., Donald,
P.F., Murdiyarso, D., Phalan, B., Reijnders, L., Struebig, M. dan
6 Tahun Perjalanan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam
dan Lahan Gambut Indonesia
Sebuah Evaluasi atas Pelaksanaan Instruksi Presiden Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru
dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
22 Lihat lampiran peta 16: Penambahan Luas dalam PIPPIB Revisi XI di 41 Lihat lampiran peta 7: Peta Sebaran Titik Api dalam Wilayah PIPPIB
Provinsi Papua. Periode 2011-2016.
23 Lihat lampiran peta 9: Peta Dinamika Perubahan Luas Konsesi HPH 42 Beritasatu.com, Loc Cit.,
dalam PIPPIB Revisi I-XI.
43 Harian Kompas, Loc Cit.,
24 Lihat lampiran peta 10: Peta Dinamika Perubahan Luas Konsesi HTI
dalam PIPPIB Revisi I-XI. 44 Lihat lampiran peta 13: Peta Wilayah Kelola Rakyat dalam PIPPIB
Revisi XI.
25 Lihat lampiran peta 11: Dinamika Perubahan Luas Konsesi Perkebunan
Sawit dalam PIPPIB Revisi I-XI. 45 http://www.redd-indonesia.org/index.php/pers/ 1199-siaran-pers-
dalam-rangka-3-tahun-moratorium-hutan.
26 Data diolah berdasarkan hasil presentasi Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan dalam Launching Peta Indikatif Penundaan 46 Margono, B.A.,Potapov, P.V., Turubanova, S., Stolle.F., dan Hansen,
Pemberian Izin BaruRevisi X. Jakarta, 26 Mei 2016. M.C.Primary Forest Cover Loss in Indonesia Over 2000-2012. Nature
Climate Change. Supplementary Information. Macmillan Publishers
27 https://www.tempo.co/read/kolom/2016/12/14/ 2439/keterbukaan- Limited. 2014.
peta-hutan.
47 http://www.mongabay.co.id/2013/11/15/temuan -peta-hutan-google-
28 http://www.beritasatu.com/politik/38759-walhi-revisi-peta- laju-deforestasi-meningkat-di-indonesia/.
moratorium-hutan-harus-tranparan.html.
48 Lihat lampiran peta 8: Peta Tutupan Hutan dalam Wilayah PIPPIB
29 Lihat lampiran peta 5: Kasus Penambahan Kawasan Suaka Alam Laut Periode 2011-2015.
30 https://www.tempo.co/read/kolom/2016/12/14/ 2439/keterbukaan- 49 http://www.antikorupsi.org/id/content/ moratorium-hutan-gagal-
peta-hutan. tekan-deforestasi-di-kalteng.
31 http://www.mongabay.co.id/2016/06/02/ kebijakan-moratorium- 50 Kementerian Kehutanan 2008 Consolidation report. Reducing
sawit-dan-tambang-target-keluar-juni-bagaimana-proses-evaluasi- emissions from deforestation and forest degradation in Indonesia.
perizinan/. Kementerian Kehutanan, Jakarta, Indonesia.
32 INPRES No. 10 Tahun 2011 Diktum 3 poin 7 dan 8; INPRES No. 6 Tahun 51 Lawrence, D. 2011 Indonesia's forest moratorium: analyzing the
2013 Diktum 3 poin 7 dan 8, dan INPRES No. 8 Tahun 2015 Diktum 3 numbers. http://blog. cifor.org/3272/indonesia%E2%80%99s-
poin 5 dan 6. forestmoratorium%E2%80%94analyzing-the-numbers.
33 Kontradiksi Kebijakan Moratorium: Tumpang Tindih dan Meluasnya 52 Kementerian Kehutanan 2008 Consolidation report. Reducing
Deforestasi. Y.L. Franky.Yayasan Pusaka. April 2017. emissions from deforestation and forest degradation in Indonesia.
Kementerian Kehutanan, Jakarta, Indonesia.
34 http://www.mongabay.co.id/2016/12/06/ leuser-tidak-masuk-dalam-
rtrw-aceh-apakah-sarat-kepentingan-berbagai-pihak/; http://www. 53 Miettinen, J, Shi, C.H. dan Liew, S.C. 2011 Deforestation rates in insular
aktual.com/rtrw-eksploitatif-hutan-aceh-terancam-rusak/. Southeast Asia between 2000 and 2010. Global Change Biology 17:
2261–2270.
35 https://www.ekuatorial.com/id/2014/05/ indonesian-luas-hutan-
moratorium-terus-menyusut/#!/story=post-7468&loc=- 54 Joshi, L., Janudianto, van Noordwijk, M. dan Pradhan, U.P. 2010
1.6477220517969224,119.43237304687499,4. Investment in carbon stocks in the eastern buffer zone of Lamandau
River Wildlife Reserve, Central Kalimantan province, Indonesia: a REDD+
36 http ://f wi. o r. id /wp -co nten t/up l oa ds/2 01 5/0 5/ P KH I -20 09 - feasibility study. Laporan proyek. World Agroforestry Centre, Bogor,
2013_update__sz.pdf. Indonesia. http://www.worldagroforestry.org
/sea/publication?do=view_pub_detail&pub_no=RP0268-11 (10
37 http://www.redd-indonesia.org/index.php/pers/ 1199-siaran-pers- October 2011).
dalam-rangka-3-tahun-moratorium-hutan.
55 Lihat lampiran peta 15: Ancaman Terhadap Kubah Gambut oleh
38 Harian Kompas edisi 7 September 2015"Asap dan Moratorium", hal 6. Konsesi di Provinsi Riau.
39 Lihat beritasatu.com. 56 Lihat lampiran peta 14: Kondisi Kubah Gambut Provinsi Jambi dalam
PIPPIB.
40 NASA FIRMS FAQ Morton, D., R. DeFries, J. T. Randerson, L. Giglio, W.
Schroeder, dan G. van der Werf. 2008. Agricultural intensification 57 Murdiyarso, D., Hergoualc'h, K. dan Verchot, L.V. 2010 Opportunities
increases deforestation fire activity in Amazonia. Global Change Biology for reducing greenhouse gas emissions in tropical peatlands.
14:2262-2276. Proceedings of the National Academy of Sciences USA
107:19655–19660.
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global
Madani - Kaoem Telapak - FWI - Epistema Institute - JKPP - Pusaka - WRI Indonesia - Greenpeace
Indonesia - JPIK - Sawit Watch - Kemitraan - Aksi! for Gender - Walhi Kalteng - Paradisea - YCMM - HuMA -
DebtWatch - Yayasan Merah Putih - WARSI - Silva Papua - YALI Papua - PTPPMA Papua - KpSHK - Lemang
Nusa Kalimantan Barat - ELSAM - Solidaritas Perempuan - ICEL
Tim Penulis: Teguh Surya, Yustina A. Murdiningrum, Anggalia Putri, Nirarta Samadhi, Luluk Uliyah, Cindy Julianti
Tim Analisa Spatial: Abu Meredian, Farid Wajdi, Rahmat Sulaiman, Wira Handieto
Penata Letak: Andi Sandhi
Dinamika Luas Lahan Gambut pada PIPPIB Revisi II-XI Dinamika Luas Hutan Alam Primer pada PIPPIB Revisi II-XI Dinamika Luas Kawasan Hutan (Hutan Lindung dan KSPA) pada PIPPIB Revisi II-XI
Total Penambahan dan Pengurangan Luas PIPPIB Dinamika Total Penambahan dan Pengurangan Dinamika Total Penambahan dan Pengurangan Dinamika Total Penambahan dan Pengurangan Luas PIPPIB
Per Jenis Obyek Moratorium dari PIPPIB Revisi I-XI Luas PIPPIB pada Lahan Gambut dari PIPPIB Revisi I-XI Luas PIPPIB pada Kawasan Hutan dari PIPPIB Revisi I-XI pada Hutan Alam Primer dari PIPPIB Revisi I-VIII dan Revisi X-XI
Perbandingan Penambahan dan Pengurangan Luas PIPPIB Total Penambahan dan Pengurangan Luas PIPPIB
di 10 Provinsi dengan Perubahan Terbesar dari PIPPIB Revisi I-XI (Hektare) Per Jenis Obyek Moratorium dari PIPPIB Revisi I-XI
Kawasan Hutan Penyumbang Luasan Terbesar dalam PIPPIB Revisi I-XI Luas PIPPIB Berdasarkan Fungsi Kawasan dalam PIPPIB Revisi I-XI (Hektare) Dinamika Luas Kawasan Hutan dalam PIPPIB Revisi II-XI
Penambahan Luas di PIPPIB Revisi IV Dinamika Luas Kawasan Hutan dalam PIPPIB Revisi II-XI
dari KSA/KSAL (Ribu Hektare)
Luas Lahan Gambut yang Dimasukkan ke dalam PIPPIB Revisi I-XI Luas Lahan Gambut yang Dikeluarkan dari PIPPIB Revisi I-XI Dinamika Total Penambahan dan Pengurangan Luas PIPPIB
pada Lahan Gambut (Wetland International 2002) dari PIPPIB Revisi I-XI
Sebaran Titik Api dalam PIPPIB Berdasarkan Tingkat Akurasi Data Periode 2011-2016
Perbandingan Jumlah Sebaran Titik Api Nasional dengan Titik Api Sebaran Titik Api dalam PIPPIB Berdasarkan Tingkat Akurasi Data Periode 2011-2016 Perbandingan Jumlah Titik Api dalam Wilayah PIPPIB
dalam PIPPIB dengan Tingkat Kepercayaan Diatas 50% Periode 2011-2016 dengan Titik Api Nasional Periode 2011-2016
Luas Tutupan Hutan dalam PIPPIB Revisi I-XI (Hektare) Laju Pengurangan Hutan dalam Wilayah PIPPIB Revisi I-XI (Hektare)
Dinamika Luas PIPPIB Revisi I-XI dari Konsesi HPH Dinamika Penambahan dan Pengurangan Wilayah Konsesi HPH dalam PIPPIB Revisi I-XI
Dinamika Total Penambahan dan Pengurangan Luas PIPPIB Revisi I-XI dari Konsesi HTI Perbandingan Konsesi HTI yang Dimasukkan
dan Dikeluarkan dari Peta PIPPIB Revisi I-XI (Hektare)
Dinamika Total Penambahan dan Pengurangan Luas PIPPIB Perbandingan Konsesi Perkebunan Sawit yang Dimasukkan
Revisi I_XI dari Konsesi Perkebunan Sawit dan Dikeluarkan dari Peta PIPPIB Revisi I-XI
Dinamika Total Penambahan dan Pengurangan Luas Tambang Batubara Perbandingan Konsesi Tambang di Sumatera dan Kalimantan
dalam PIPPIB Revisi I-XI (Hektare) yang Dimasukan dan Dikeluarkan dari PIPPIB (Hektare)
Luas Wilayah Konsesi dalam Kubah Gambut (Hektare)
Penambahan dan Pengurangan Luas PIPPIB di Provinsi Riau Luas Wilayah Konsesi di Provinsi Riau Perbandingan Luas Kubah Gambut Riau Perbandingan Luas Wilayah di dalam
Dibandingkan dengan Luas Provinsi (Hektare) yang Berada di dalam Wilayah Konsesi dan di luar Kubah Gambut
dan di luar Konsesi (Hektare) yang Dikeluarkan dari PIPPIB (Satuan Hektare)
Dinamika Penambahan Luas PIPPIB Revisi I-XI dari Konsesi HPH Penambahan Luas PIPPIB Revisi X-XI
Penambahan dan Pengurangan Luas PIPPIB Kubah Gambut yang Dikeluarkan dari PIPPIB Tren Jumlah Titik Api Kebakaran Lahan dan Hutan
di Provinsi Kalimantan Tengah (Hektare) (Hektare) dalam Areal PIPPIB di Provinsi Kalimantan Tengah
- Pertemuan G20 di Pittsburgh Antara Indonesia - INPRES No. 10 Tahun 2011
September 2009 dan Norwegia - INPRES No. 6 Tahun 2013
- INPRES No. 8 Tahun 2015
- Pertemuan Puncak Perubahan
Iklim di Copenhagen,
Desember 2009
6 Tahun Penundaan Hutan seluas 5x Pulau Bali (2,7 juta hektare) raib
Pemberian Izin Baru
Izin alih fungsi hutan masih terus dilakukan
Kendala Kehilangan tutupan hutan seluas 831 ribu
Penyempurnaan Tata
hektare di wilayah PIPPIB
Kelola Hutan Alam Dari tahun 2011-2015, rata-rata 28,5% titik api
dan Lahan Gambut
nasional berada di wilayah PIPPIB
Ancaman terhadap hak-hak masyarakat adat/lokal
atas wilayah kelola rakyat masih terjadi
Penundaan pemberian izin baru berupa INPRES yang
tidak memiliki konsekuensi hukum jika
tidak dilaksanakan
Tidak dilibatkannya Kementerian Pertanian dan
Kementerian ESDM dalam INPRES
Tidak melindungi seluruh hutan alam dan lahan
gambut yang tersisa seluas 46.7 juta hektare
Diberlakukannya berbagai pengecualian yang
melemahkan tujuan penundaan pemberian izin baru
Belum adanya keterbukaan informasi
publik tentang pengelolaan hutan dan SDA lain
Perbedaan tafsir mengenai kategori lahan
gambut antara pemda dan unit pelaksana teknis
KLHK