MAKALAH EKSPRESI NILAI ESTETIS Dosen Pengampu: Dr. Ramalis Hakim., M.Pd Dikerjakan oleh : Renal Pernanda (21020078) DEPARTEMEN SENI RUPA FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI PADANG 2023
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga mampu berhasil menyelesaikan makalah ini sebagai suatu tugas untuk Mata Kuliah Estetika. Makalah ini bertemakan “EKSPRESI NILAI ESTETIS”. Makalah ini berisikan tentang Ekspesi yang berada di dalam estetika terdiri dari Order,Chaos,Sublim dan Desepsi. kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami ucapkankan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin. Padang, 16 Mei 2023 Penulis
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .......................................................................................................... KATA PENGANTAR ....................................................................................................... DAFTAR ISI ...................................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN................................................................................................... 1.1 Latar belakang……………………………………………………………………. 1.2 Rumusan masalah………………………………………………………………… 1.3 Tujuan penelitian ………………………………………………………………… BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 2.1 Ekspresi Nilai Estetis….…………………………………………………………. 2.1.1 Order…………………………………………………………………….. 2.1.2 Chaos…………………….……………………………………………… 2.1.3 Sublim…………………………………………………………………… 2.1.4 Desepsi………………………………………………………………….. BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………….. 3.2 Saran ……………………………………………………………………………... DAFTAR ISI ......................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Secara etimologis kata nilai estetika pada dasarnya tersusun atas dua suku kata. Dimana esetika berasal dari kata Yunani yaitu aistetika dan aesthesis. Aistetika sendiri artinya adalah hal-hal yang bisa diserap oleh panca indra, sedangkan aesthesis yaitu penyerapan panca indra atau sense perception.Sedangkan pengertian nilai estetika adalah penilaian utama yang akan diberikan pada karya seni, namun bukan hanya terletak pada keindahannya saja melainkan ada banyak aspek di dalamnya. Selain itu estetika adalah hal yang tidak akan pernah usai dan bisa digali setiap saat. Nilai estetika adalah sumber rasa keindahan yang di dalamnya terdapat cinta kasih maupun kasih sayang karena adanya kecintaan yang dirasakan oleh manusia. Sehingga dengan hal ini tidak heran apabila manusia ingin kembali menikmati segala hal yang menjadi kecintaannya.Rasa cinta ini tidak hanya tertuju pada keindahan, akan tetapi juga pada kebenaran dalam hal ilmu pengetahuan dan rasa kebaikan atau moral. Nilai estetis dapat dilihat dari dua sudut pandang ekspresi dan posisi. Sudut pandang ekspresi mencermati bagaimana cara nilai estetis terwujud atau terekspresikan dalam suatu objek. Ekspresi nilai estetis dapat berbetuk order, chaos, sublim, atau desepsi. Order merupakan ketertataan ia dapat berupa kanon, harmoni, mimesis, dan masterly. Sebaliknya, chaos adalah ketidaktertataan; ini mencakup kreativitas, disharmoni, distorsi, dan antioriginalitas. Di sisi lain, sublim berurusan dengan hal-hal yang menakjubkan sekaligus mencekam. Sementara itu, desepsi terkait dengan muslihat tertentu. Adapun sudut pandang posisi menelisik hubungan atau posisi nilai estetis dengan nilai-nilai lain. Hubungan itu dapat bersifat independen maupun dependen. 1.2 Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang yang dirumuskan di atas , maka rumusan masalah pada makalah ini adalah : 1. Jelaskan pengertian Ekspresi nilai dalam estetika? 2. Jelaskan mengenai Order,Chaos,Sublim,Desepsi ? 1.3 Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari makalah ini sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui ekspresi nilai dalam estetika 2. Untuk mengetahui nilai order,chaos,sublime,desepsi
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Ekspresi Nilai Estetis Nilai estetis dapat dilihat dari dua sudut pandang ekspresi dan posisi. Sudut pandang ekspresi mencermati bagaimana cara nilai estetis terwujud atau terekspresikan dalam suatu objek. Ekspresi nilai estetis dapat berbetuk order, chaos, sublim, atau desepsi. Order merupakan ketertataan ia dapat berupa kanon, harmoni, mimesis, dan masterly. Sebaliknya, chaos adalah ketidaktertataan; ini mencakup kreativitas, disharmoni, distorsi, dan antioriginalitas. Di sisi lain, sublim berurusan dengan hal-hal yang menakjubkan sekaligus mencekam. Sementara itu, desepsi terkait dengan muslihat tertentu. Adapun sudut pandang posisi menelisik hubungan atau posisi nilai estetis dengan nilai-nilai lain. Hubungan itu dapat bersifat independen maupun dependen. Bab ini khusus membahas ekspresi nilai estetis, yaitu perwujudan nilai estetis dalam suatu objek, bagaimana nilai-nilai tersebut “mengekspresikan dirinya menjadi properti-properti yang ada pada objek untuk dikenali subjek. Ekspresi nilai estetis, terutama untuk konteks penciptaan karya seni, dapat pula dipahami sebagai strategi seniman untuk mendapatkan perhatian spektator. Strategi itu dapat dilakukan dengan empat cara: order, chaos, sublim,Desepsi. Order berupa ketertataan, chaos merupakan bentuk perlawanan.terhadap order, sublim terkait dengan bentuk bentuk menakjubkan yang seakan-akan siap mencengkeram spektator, sedangkan desepsi berurusan dengan intrik kebentukan. Pada satu objek estetis dimungkinkan terkandung lebih dari satu jenis ekspresi nilai estetis tadi. Meskipun tidak sepenuhnya sama, order dan chaos mirip dengan istilah Nietzsche: Apollonian dan Dionysian.
2.1.1 Order Order adalah keteraturan. Sebagai nilai estetis, order berarti suatu ketertataan yang diterapkan pada objek untuk menarik perhatian spektator. Dalam bahasa sehari-hari, order identik dengan keindahan. Nilai estetis yang terkendali ini berlandaskan pada kanon, dan propertinya terwujud dalam harmoni maupun mimesis, adapun presentasinya melalui masterly. 1) Kanon Kanon atau pakem merupakan pedoman baku yang digunakan untuk menilai objek estetis. Dari perspektif seniman, kanon adalah kaidah-kaidah yang digunakan untuk penciptaan karya seni. Seringkali kanon dianggap sebagai barometer penting dalam berkarya atau dalam menikmati karya seni. Kanon (canon) berasal dari bahasa Yunani, kanon, yang berarti ‘aturan. Kata ini, sebelum abad ke-12, diserap ke bahasa Inggris melalu bahasa Latin.” Dalam bahasa Jawa, istilah khusus untuk kanon ialah pakem. Kata ini awalnya merujuk pada kitab pedoman cerita wayang. Menurut R.S. Probohardjono dalam Pakem Wajang Purwa, pakem berpatokan pada kisah Mahabarata, Pustakaraja, maupun Ramayana.’ Secara luas, Umar Kayam dalam Kelir Tanpa Batas mendefinisikan pakem sebagai seperangkat aturan tersurat maupun tersirat, lisan maupun tertulis, mengenai satu atau beberapa unsur seni pertunjukan dari gaya tertentu yang berbeda dengan gaya lain. 2) Harmoni Harmoni dalam seni rupa, sebagaimana tercermin di materi desain elementer, diartikan lebih sederhana. Harmoni adalah suatu kombinasi beberapa unit yang memiliki kemiripan. Kemiripan ini tidak berarti keteraturan pengulangan yang ketat tetapi mengesankan keteraturan. Suatu komposisi disebut harmonis ketika tiap unsur visualnya tidak jauh berbeda atau merupakan interval yang berdekatan. Contoh sederhananya adalah komposisi warna hijau dari hijau paling tua hingga hijau paling muda.Kemiripan sebagai syarat harmoni hampir selalu berhasil mendatangkan keindahan. Strategi ini diterapkan pada kebanyakan ornamen. Motif-motif tertentu pada ornamen akan diulang di seluruh bagian. Batik parang rusak (gb. 11.12), misalnya, motif maupun warnanya selalu diulang di seluruh bidang. Bahkan, kemiripan yang diterapkan sehari-hari, seperti seragam, juga dapat menimbulkan persepsi keindahan harmonis. Tentara yang identik dengan senjata dan kengerian perang pun ketika berbaris tampak indah (gb. 11.13).
Harmoni bukan berarti tanpa dinamika. Kemiripan tanpa dinamika akan mengakibatkan kedataran (flat) yang dapat berakhir pada gagal indah. Dinamika adalah perbedaan elemen dalam komposisi. Dinamika bukanlah lawan dari harmoni, karena dalam harmoni juga terdapat perbedaan unsur kendati penekanan harmoni ada pada kemiripan. Dinamika adalah bagian dari harmoni dalam arti perbedaan unsur tersebut perlu disusun hingga mencapai kesatuan, tiap elemennya tidak tercerai-berai. Unsur yang lebih banyak memiliki kemiripan tentu lebih mudah disatukan, tetapi dinamikanya akan berkurang; sebaliknya, unsur yang banyak memiliki perbedaan akan tempak lebih dinamis, tetapi lebih susah untuk disatukan. Lukisan hitam putih, misalnya, lebih mudah mencapai kesatuan atau harmonisasi warna, tetapi nilai dinamisnya lebih sulit dicapai. Sebaliknya, lukisan berwarna akan lebih mudah terlihat dinamis, tetapi kesatuannya lebih sukar dihadirkan. Harmoni diartikan secara luas, yaitu kesatuan elemen- elemen bentuk dalam suatu komposisi, sebagaimana organisasi elemen visual secara konvensional. Desain, dalam arti organisasi elemen-elemen visual, perlu memperhatikan kesatuan (unity), keseimbangan (balance), maupun ritme. Dalam problem visual, kesatuan terkait dengan pengelolaan unsur visual dominan dan subordinasi; keseimbangan merupakan penyelesaian semua kekuatan dalam satu struktur agar mendapat perimbangan; ritme adalah pengulangan unsur-unsur secara teratur. 3) Mimesis Mimesis adalah peniruan terhadap sesuatu. Pada umumnya, manusia menyukai sesuatu yang mirip sesuatu yang lain. Sesuatu yang mirip tersebut terbuat dari bahan yang berbeda dengan apa yang menjadi acuannya sehingga spektator mengetahui bahwa sesuatu itu memang tiruan.
Contoh Kendati sekedar” kaleng Coca-Cola yang terbungkus plastik, karena sangat mirip, seperti lukisan hiperrealisme Pedro Campos (gh. 11.15), karya itu mampu menyita perhatian spektator, spektator mengetahui bahwa lukisan kaleng Coca-Cola bukanlah kaleng Coca-Cola itu sendiri dan juga bukan foto kaleng Coca-Cola. Mimesis dalam pengertian umum, yaitu karya Seni yang berusaha meniru bentuk sesuatu.Untuk Raden Saleh, pelukis pertama Nusantara yang belajar ke Eropa, cerita semacam itu berkembang. Ketika pelukis pribumi ini belajar ke Belanda, banyak pelukis Eropa meremehkannya. Pelukis Belanda yang mampu melukis bunga dengan sangat mimesis hingga seekor kupukupu tertipu berujar, "Mana mungkin pelukis Inlander mampu melakukannya!" Setelah peristiwa itu, berhari-hari Raden Saleh absen ke tempat magang. Temannya yang mulai khawatir berkata. "Jangan-jangan Raden Saleh malu, putus asa, lalu bunuh diri... Mereka memutuskan untuk menengoknya di kontrakan. Rumah itu sepi, mereka semakin curiga dan mendobrak pintu.Semua terperangah, kaget melihat Raden Saleh bunuh diri, menggantung di palang pintu! Ketika orang-orang bule itu panik, seseorang keluar dan berkata, “Lukisan Inlander tidak saja mampu menipu binatang... tetapi juga manusia!” 4) Masterly Masterly adalah nilai estetis yang tercermin pada suatu objek yang merepresentasikan penguasaan atau ketrampilan seorang kreator. Ukiran yang mengandung nilai masterly berarti ukiran tersebut mencerminkan kemahiran pengukirnya, ketrampilan sang pengukir, misalnya, tampak pada pola keseluruhan yang dihadirkan, jejak tatahan yang lancar, atau pengulangan bentuk ornamen dengan intensitas yang sama. Ini seperti perkataan Sokrates yang dicatat Plato dalam Hippias Major, “Jika pot dibuat oleh seorang pengrajin yang piawai maka akan menjadi halus, bundar, dan terbakar dengan sempurna, demikian pula pegangannya mampu menopang hampir enam liter air. Jika ada orang bertanya bagaimanakah pot tersebut maka kita akan menjawabnya sebagai bentuk keindahan.
Kata masterly dipilih untuk membedakan dengan istilah a skill atau skills. Keberadaan skills atau ketrampilan keterampilan lebih ditekankan pada kreator, sedangkan masterly ada pada karya seni. Kerapkali nilai masterly yang mencerminkan ketrampilan (skill) seniman hanya dapat dilihat oleh orang-orang yang juga terlatih atau oleh pengamat yang telah banyak mengamati objek sejenis. Masterly ada pada objek estetis yang berupa karya seni. Jejak ketrampilan itu, pada kasuskasus tertentu, biasanya juga disebut bernilai artistik. Namun demikian, sifat artistik kerap disematkan pada efek visual yang terjadi secara spontan, seperti pada lukisan. Terkadang pelukis pemula pun dapat memunculkan efek seperti itu tanpa ia menyadarinya. Dalam perluasannya, kata artistik juga disematkan pada objek natural, seperti tekstur batu. 2.1.2 Chaos Berbeda dengan order, chaos justru melawan order untuk menarik perhatian espektator, untuk memicu kemenarikan. Chaos menarik karena memantik kejutan yang berada diluar pemikiran spektator. Karen Armstrong dalam The Greats Transformation menceritakan, bahwa istilah chaos telah digunakan dalam visi suram kisah-kisah kelahiran pada dewa Yunani. Sementara itu, Gilles Deleuze dan Felix Guattary dlm What is Philisophy menggambarkan order sebagai "payung" dan chaos adalah upaya menerobos payung tersebut. Akan tetapi aksi menerobos akan berhadapan dengan para penjaga order. 1) Kreativitas Berkebalikan dengan kanon yang keberhasilannya ditentukan pada seberapa banyak dapat sesuai aturan, kreativitas justru berusaha menyelisihi aturan yang telah mapan; bertindak beda dari pakem. Kreativitas diperlukan untuk mengatasi familiaritas yang telah berlebih dan membosankan. Dalam pemahaman paling umum, kreativitas adalah pencarian hal baru. Namun demikian, antara kanon dan kreativitas kerap kali jalin- menjalin; terdapat kemungkinan bahwa ketika mengugemi pakem akan terselip kreativitas, dan dalam kreativitas tetap bersentuhan dengan pakem. Dalam proses penciptaan karya seni, seniman akan berada dalam ketegangan antara kanon dan kreativitas. Kreativitas merupakan kata benda yang diserap dari bahasa Inggris creativity. Kata ini dibentuk dari kata kerja create yang berarti ‘menciptakan sesuatu, dan kata sifatnya adalah creative. Istilah tersebut berasal dari bahasa Latin creat yang merupakan bentuk lampau dari creare, ‘membawa ke depan. Kreativitas sudah banyak didefinisikan, berikut ini di antaranya. Baron menyatakan, “Kreativitas adalah kemampuan untuk menghasilkan atau menciptakan sesuatu yang baru.”
Menurut Amabile, “Kreativitas .kreativitas mengandung dua konsep penting, yaitu penciptaan dan kebaruan.Tanpa penciptaan tidak akan terwujud hal yang dapat dinilai sebagai bentuk kreatif. Penciptaan dapat berbentuk apapun, dari sesuatu yang berupa benda, kegiatan, maupun bahasa. Akan tetapi penciptaan saja tidak cukup, karena tanpa kebaruan penciptaan tidak akan menjadi sebentuk kreativitas. Tentu saja tingkat kreativitas berbeda-beda. Seorang seniman yang dapat menghasilkan bentuk baru hingga menjadi mazhab yang diikuti banyak orang dapat dinilai sebagai wujud kreatif dalam lingkup luas. Sementara itu, balita yang baru saja dapat membuat lingkaran juga menunjukkan tindak kreatif, meskipun sekedar kreativitas untuk diri sendiri.Semangat pencarian hal baru dalam geliat sejarah seni rupa modern, secara sederhana, dapat digambarkan sebagai berikut. Di akhir abad ke-18, seniman Neoklasikisme masih dipengaruhi parameter seni klasik. Mereka berkarya dengan perhitungan rasional untuk menentukan bentuk maupun komposisi. Contohnya adalah lukisan The Death of Socrates buatan Jacques Louis David tahun 1787 (gb. 11.21). Selanjutnya di awal abad ke- 19, cara kerja seperti itu ditentang para seniman Romantikisme. Mereka mengajukan pendekatan baru, yaitu berkarya berdasarkan perasaan, bukan rasio.Salah satu karyanya adalah La Mort de Géricault ciptaan Ary Scheffer tahun 1824 (gb. 11.22). Di sisi lain. terdapat Vincent van Gogh yang goresannya meluap-luap mewakili gejolak jiwa, misalnya, tergambar di lukisan Starry Night tahun 1889 (gb. 11.27). Sosok ini merangsang kelahiran Ekspresionisme yang mengandalkan kebebasan distorsi bentuk dan warna untuk menunjukkan emosi.Di antaranya adalah karya Ernst Ludwig Kirchner tahun 1913 yang berjudul Street Berlin (gb. 11.28). Pada gilirannya, kaum Surealis menghadirkan mimpi pada karya-karyanya. Apparition of Face and Fruit Dish on a Beach karya Salvador Dali tahun 1938 adalah salah satu contohnya (gb. 11.29). Gegap-gempita pencarian hal-hal baru pada seni modern tersebut menunjukkan bahwa novelty menjadi jantungnya. Elizabeth Prettejohn merumuskan, norma seni klasik hingga Neo-klasikisme adalah kontrol (control), kesempurnaan (perfection), dan tradisi (tradition); sedangkan kaidah seni modern ialah kebebasan (freedom), spontanitas (spontaniety), dan orisinalitas (originality).
Kreativitas pada kehidupan modern tidak hanya dimiliki dunai seni. Kreativitas, antara lain, juga dihubungkan dengan masalah ekonomi, yaitu ekonomi yang ditandai dengan perubahan nilai untuk inovasi produksi komoditas baru. Bahkan, dalam taraf yang berbeda, semua orang memerlukan kreativitas. Secara berlebihan Charlotte Buhler menyatakan, “Konsep tentang manusia yang paling sentral adalah kreativitas?”?! Kreativitas, untuk seniman maupun semua orang, bagaimanapun tidak dapat berupa hal yang benar-benar baru. Karya manusia akan selalu terkait dengan hal-hal yang telah ada sebelumnya, baik hal-hal itu bersifat natural atau kultural. Terhadap hal-hal lama yang digunakan untuk mendukung kreativitas, manusia dapat memodifikasi atau menolaknya. Singkat kata, manusia tidak dapat mencipta dari ketiadaan. Lukisan, sekreatif apapun, akan berasal dari atom-atom yang telah ada. Musik, seunik apapun, berasal dari energi yang ada di gerakan atom. Sastra, sebaru apapun, tidak terlepas dari bahasa yang telah ada sejak manusia tercipta. 2) Disharmoni Berlawanan dengan harmoni yang menggunakan keselarasan untuk menghadirkan keindahan, disharmoni memanfaatkan ketidakselarasan, ketidaksenadaan, carut-marut, kotor, ganjil, atau bahkan kejelekan. Tentu saja disharmoni tidak diniatkan untuk memuja keindahan, tetapi lebih sebagai strategi untuk memprovokasi perhatian spektator. Dalam musik, jika tonalitas mayor-minor yang juga disebut tonalitas harmoni mati-matian menganyam keselarasan nada, maka musik atonal mengobrak-abrik tatanan musikal. Komposisi The Book of the Hanging Gardens buatan Arnold Schoenberg antara tahun 1908
hingga 1909 adalah contoh yang sering disebut-sebut. Para perupa dalam gerakan Dada juga kerap menggunakan strategi disharmoni untuk menghenyak para spektator yang telah akrab dengan harmoni. Si cantik Monalisa pun diberi sesuatu yang tidak selaras dengan kejelekan artistik (artistic unglines), dan penciptaan artistik atas kejelekan (the artistic portrayal of ugliness).” Pertama, objek yang memiliki kejelekan dalam diri berarti objek itu secara inheren mengandung nilai negatif, yaitu kejelekan. Objek yang berbau busuk dan bentuknya menjijikkan, seperti tinja atau daging basi yang telah mengeluarkan belatung, merupakan contohnya. Kedua, kejelekan formal dipahami sebagai ketiadaan keseimbangan antar bagian pada keseluruhan, ini juga berarti bahwa ketiadaan suatu bagian dari suatu objek yang semestinya bagian itu ada. Misalnya adalah orang ompong. Ketiga, kejelekan artistik adalah karya seni yang tidak memenuhi standar-standar artistik. Dalam hal ini standar artistik diartikan sebagai ketrampilan (skill) seniman dalam menciptakan karya seni. Contoh pada umumnya adalah lukisan yang dibuat oleh “pemula”. Keempat, penciptaan artistik atas kejelekan berarti karya seni yang memenuhi kaidah artistik namun digunakan untuk mengangkat tema kejelekan, baik tentang kejelekan dalam dirinya sendiri maupun kejelekan formal. Contohnya adalah karya F. Sigit Santoso Ini Bukan Seni (gb. 11.33) yang berupa kloset penuh tinja. Standar artistik pada karya ini tampak pada ketrampilan teknik cetak, akan tetapi objek yang dicetak adalah kejelekan dalam diri: tahi.
Jika kerapian adalah keluarga harmoni, maka ketidakrapian menjadi komplotan disharmoni. Bertolak belakang dengan kerapian interior kamar hotel (gb. 11.14), Tracey Emin menghadirkan kamar tidur acak-acakan disharmonis, The Bed (gb. 11.34). Akan tetapi, perupa anggota Young British Artists (YBAS) itu mendapat £150,000 setelah karya itu ditaksir kolektor kontroversial Charles Saatchi. 3) Deformasi Berkebalikan dengan mimesis yang berusaha menyamai tampilan objek acuan setepat mungkin, deformasi justru mengubah tampilan itu dengan berbagai cara. Secara harfiah deformasi (deformation) berarti ‘perubahan bentuk’; istilah ini tersusun dari kata de yang berarti ‘perubahan’ atau ‘pembokaran’ dan form yang berarti ‘bentuk. Perubahan bentuk ini dapat memancing emosi estetis spektator.Tingkat perubahan bentuk antar karya seni berbeda-beda, tranformasi adalah peralihan dari satu bentuk ke bentuk lain. Dua bentuk yang berbeda itu disatukan. Dengan demikian, titik pertemuannya akan menampakkan perubahan bentuk secara gradual. Ini seperti perubahan bentuk kulit sapi menjadi bentuk kain pada lukisan Ivan Sagito The Essence of Cow in the Macro and Microcosmos (gb. 11.40). Idealisasi adalah upaya perubahan bentuk untuk menciptakan keadaan yang dianggap paling sempurna. Perubahan pada idealisasi tidak seekstrim jenis perubahan lainnya. Bahkan deformasi idealisasi terkadang tidak tampak sebagai deformasi, tetapi mengesankan mimesis. Hugh Honour dan John Fleming mencatat, idealisasi, selain naturalisme, merupakan cara kerja seniman Yunani Kuno. Awal abad ke-4, Sokrates berkata pada pelukis Parrhasius, "Saat melukis, karena tidak mudah untuk mendapatkan model yang tanpa cacat, kamu mesti menggabungkan ciri- ciri terbaik dari beberapa model, dengan demikian figur lukisan itu dapat menghadirkan seluruh tampilan kecantikan." Selanjutnya pada abad ke-5 SM pelukis Zeuxis menggunakan lima gadis berbeda untuk melukis Helen. Karya patung di awal peradaban Yunani Kuno, Tenea Apollo, oleh Albert E. Elsen dalam Purposes of Art, juga dipandang sebagai idealisasi seorang atlet. Cara kerja idealisasi seniman Yunani itu, seperti digambarkan oleh E. H. Gombrich, mirip fotografer yang mengedit noktah pada wajah. Para pengguna android yang menginstall "camera 360" biasa menggunakan idealisasi untuk mengedit wajah (gb. 11.41).
4) Antiorisinalitas Dalam seni modern, khususnya pada seni murni, orisinalitas menjadi nilai utama. Karya seni adalah pengejawantahan senimannya. Dengan demikian, nilai masterly, atau jejak ketrampilan seniman, tidak dapat dilepaskan. Sebaliknya, perupa postmodern menolak hal itu. Untuk menggaet perhatian spektator mereka justru menolak orisinalitas dan tidak peduli dengan masterly pribadi. Tindakan John Baldessari menunjukkan hal itu. Perupa Conceptual Art itu pada tahun 1969 hingga 1970 meminta empat belas pelukis pesanan (sunday painter) untuk melukis foto yang ia ajukan. Bentuk yang dilukis juga bukan murni darinya, tetapi fotografi yang dibuat bersama temannya, yaitu berupa tangan menunjuk hal-hal yang mereka anggap menarik ketika berjalan-jalan di sepanjang kota. Pada tiap lukisan Baldessari menuliskan nama pembuatnya: "Lukisan oleh Nancy Conger", "Lukisan oleh Dante Guido", "Lukisan oleh Patrick Nidorf", "Lukisan oleh Pat Perdue", dan seterusnya. Kemudian, satu set karya tersebut diberi judul The Commisioned Painting (gb. 11.46; 11.47; 11.48). Lewat karya itu, perupa asal California ini tengah mempertanyakan siapakah seniman pembuat karya itu: apakah dirinya, para sunday painter, atau temannya yang memotret?"
2.1.3 Sublim Berbeda dengan order yang membangkitkan pengalaman keindahan pada spektator, juga berbeda dengan chaos yang mencoba menarik perhatian spektator dgn keunikan tertentu, sublim menimbulkan rasa kagum, tercengang, dan sekaligus tercekam pd diri spektator ketika menghadapi objek. Sublim, yang di gagas Edmund Burke pada abad ke18, merupakan tentang pengalaman astonishment, yaitu gerakan jiwa yang tertahan, dan dengan sedikit unsur rasa mencekam atau horor. Jika objek sekaligus menyimpan bentuk yg harmonis, atau mengandung dinamika warna maupun cahaya yg memukau, maka selain ketercekaman ia juga akan merasakan keindahan. Misal, malam hari manusia sendirian di tanah lapang, saat ia menyaksikan bintang bintang yang bertebaran di langit cerah, ia merasakan keindahan sekaligus tercekam dgn keluasan letaknya. Bentuk super besar yg mampu membangkitkan pengalaman sublim di manfaatkan untuk pembuatan seni. 2.1.4 Desepsi Tidak seperti sublim yang membangkitkan keagungan, tidak sama dengan chaos yang memicu keanehan, dan tidak sepadan dengan order yang membuat nyaman dengan ketertataan, desepsi (deception) memakai trik - semacam muslihat untuk mencuri perhatian spektator. Kreator yang menggunakan nilai estetis desepsi akan menggunakan cara-cara tertentu yang mengagetkan atau tidak terduga oleh spektator. Dalam seni rupa, desepsi identik dengan optical art, ilusi optis (optical illusion), citra ganda (double-image), atau
figur ambigu (ambiguous figure). Ketika menghadapi karya desepsi, khususnya ilusi optis, Al Seckel dalam Master of Deception menyatakan, "Seseorang merasa senang diperdaya dalam keadaan yang tidak terduga. Komentar seperti ini mirip dengan tanggapan René Descartes ketika melihat lukisan double-image Guiseppe Arcimboldo. Filsuf abad ke-17 itu, dalam Passions of the Soul, menulis, "Hal itu membuat kita kagum dan terheran-heran." Karya Arcimboldo paling terkenal adalah Vertumnus (gb. 11.61). Lukisan tahun 1590 itu berobjek sayur-sayuran dan buah-buahan, namun secara keseluruhan merepresentasikan Kaisar Romawi Rudolf II yang digambarkan sebagai Dewa Vertumnus. Perspektif, yang dimulai sejak Renaissance dan kini bukan hal aneh, adalah bagian dari desepsi. Ketika dibuat secara ekstrim, perspektif menunjukkan kekuatannya untuk mengelabuhi mata manusia, dalam bahasa Perancis disebut trompe l'oeil. Andrea Pozzo menunjukkan hal itu di kubah Gereja Saint Ignazio Roma yang dibuat tahun 1691 hingga 1694 (gb. 11.62). Ketika dilihat dari titik yang tepat, antara dinding dan langit-langit sepanjang 17 meter itu sulit untuk ditemukan batasnya. Titik tertentu yang disyaratkan untuk mempersepsi suatu bentuk secara tepat mencapai elaborasi maksimal pada karya anamorphosis. Kata ini berasal dari bahasa Yunani ana yang berarti 'kembali' dan morphe yang bermakna bentuk. Anamorphosis akan tepat jika dilihat dari sudut yang tepat, karena perspektif atau proyeksinya sengaja didistorsi. Kurt Wenner adalah perupa yang memiliki kepiawaian itu. Dengan bersenjata kapur, ia mampu mengelabuhi spektator yang ada di jalanan. Salah satu karyanya adalah Incident at Waterloo di Stasiun Waterloo London. Ketika dilihat dari arah yang tepat (gb. 11.63), semua bentuk akan tampak proporsional. Sofa yang digunakan untuk berbaring seorang wanita pun terlihat benar-benar sebagai sofa. Sebaliknya, ketika dilihat dari arah yang tidak tepat (gb. 11.64), sofa dan bentuk-bentuk lain tampak panjang-panjang tidak proporsional.
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Nilai estetika adalah sumber rasa keindahan yang di dalamnya terdapat cinta kasih maupun kasih sayang karena adanya kecintaan yang dirasakan oleh manusia. Sehingga dengan hal ini tidak heran apabila manusia ingin kembali menikmati segala hal yang menjadi kecintaannya.Rasa cinta ini tidak hanya tertuju pada keindahan, akan tetapi juga pada kebenaran dalam hal ilmu pengetahuan dan rasa kebaikan atau moral. Nilai estetis dapat dilihat dari dua sudut pandang ekspresi dan posisi. Sudut pandang ekspresi mencermati bagaimana cara nilai estetis terwujud atau terekspresikan dalam suatu objek. Ekspresi nilai estetis dapat berbetuk order, chaos, sublim, atau desepsi. Order merupakan ketertataan ia dapat berupa kanon, harmoni, mimesis, dan masterly. Sebaliknya, chaos adalah ketidaktertataan; ini mencakup kreativitas, disharmoni, distorsi, dan antioriginalitas. Di sisi lain, sublim berurusan dengan hal-hal yang menakjubkan sekaligus mencekam. Sementara itu, desepsi terkait dengan muslihat tertentu. Adapun sudut pandang posisi menelisik hubungan atau posisi nilai estetis dengan nilai-nilai lain. Hubungan itu dapat bersifat independen maupun dependen. 3.2 Saran Tentunya kami sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah diatas masih banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Adapun nantinya kami akan segera melakukan perbaikan susunan makalah itu dengan menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan kritik yang bisa membangun dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA https://books.google.co.id/books?id=reFwEAAAQBAJ&pg= PA217&lpg=PA217&dq=ekspresi+nilai+estetis:++order++c haos+sublim+desepsi&source=bl&ots=KVg3q0qAwS&sig= ACfU3U2lcjiwvU6yq4tCFQLN3_0qmLqcVg&hl=id&sa=X &ved=2ahUKEwj3gMisvqbAhVI9zgGHWWzAHU4FBDoAXoECAIQAg#v=onepage& q=ekspresi%20nilai%20estetis%3A%20%20order%20%20ch aos%20sublim%20desepsi&f=false