The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dan budaya
yang sangat beragam. Keindahan bentang alam dan kekayaan budaya yang ada di
Indonesia merupakan kunci dalam pengembangan pariwisata di Indonesia. Dalam
mengembangkan pariwisata, dalam hal ini perlu mengedepenkan potensi kebudayaan
dan alam setempat dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat, pemerintah pusat,
pemerintah daerah, maupun swasta. Menurut Wulandari, et al (2020), pengembangan
pariwisata pada suatu daerah harus didasarkan pada perencanaan, pengembangan, dan
arah pengelolaan yang jelas agar semua potensi daerah tersebut dapat dikembangkan
secara optimal. Untuk mendapat hasil yang optimal tersebut, perlu didukung kerjasama
dari pihak pemerintah, tokoh adat (budaya), masyarakat, dan swasta.
Kabupaten Lamandau di Provinsi Kalimantan Tengah merupakan salah satu
daerah yang memiliki potensi budaya dan bentang alam sebagai potensi pengembangan
pariwisata. Salah satu Kecamatan di Kabupaten Lamandau yang memiliki nilai
kebudayaan yang masih sangat kaya ialah Kecamatan Delang. Struktur ruang dan
kehidupan suku Dayak Tomun merupakan gambaran hidup dan mati yang berakar pada
kebudayaan dan kepercayaan. Kepercayaan Kaharingan yang ada pada suku Dayak
Tomun menggambarkan apa yang hidup dan mati masih saling terkait satu sama lain
yang pada akhirnya membentuk berbagai tampilan kehidupan, ritual, rumah tinggal,
hingga pola kehidupan bermasyarakat.
Keseluruhan bentuk budaya yang didukung dengan keindahan alam di
Kecamatan Delang merupakan potensi yang harus dikembangkan, khususnya dalam
konsep pengembangan pariwisata daerah. Hal ini perlu menjadi menjadi perhatian para
pengambil kebijakan dalam memetakan dan membangun potensi tersebut, sehingga
dalam pengembangannya potensi kebudayaan dan alam yang ada di Delang dapat
terjaga kelestariannya tanpa harus menghilangkan atau merusak apa yang telah ada.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Sonja.mirzani, 2023-06-20 12:40:25

KAJIAN ANTROPOLOGI SEBAGAI PENUNJANG KEGIATAN PARIWISATA KECAMATAN DELANG KABUPATEN LAMANDAU

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dan budaya
yang sangat beragam. Keindahan bentang alam dan kekayaan budaya yang ada di
Indonesia merupakan kunci dalam pengembangan pariwisata di Indonesia. Dalam
mengembangkan pariwisata, dalam hal ini perlu mengedepenkan potensi kebudayaan
dan alam setempat dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat, pemerintah pusat,
pemerintah daerah, maupun swasta. Menurut Wulandari, et al (2020), pengembangan
pariwisata pada suatu daerah harus didasarkan pada perencanaan, pengembangan, dan
arah pengelolaan yang jelas agar semua potensi daerah tersebut dapat dikembangkan
secara optimal. Untuk mendapat hasil yang optimal tersebut, perlu didukung kerjasama
dari pihak pemerintah, tokoh adat (budaya), masyarakat, dan swasta.
Kabupaten Lamandau di Provinsi Kalimantan Tengah merupakan salah satu
daerah yang memiliki potensi budaya dan bentang alam sebagai potensi pengembangan
pariwisata. Salah satu Kecamatan di Kabupaten Lamandau yang memiliki nilai
kebudayaan yang masih sangat kaya ialah Kecamatan Delang. Struktur ruang dan
kehidupan suku Dayak Tomun merupakan gambaran hidup dan mati yang berakar pada
kebudayaan dan kepercayaan. Kepercayaan Kaharingan yang ada pada suku Dayak
Tomun menggambarkan apa yang hidup dan mati masih saling terkait satu sama lain
yang pada akhirnya membentuk berbagai tampilan kehidupan, ritual, rumah tinggal,
hingga pola kehidupan bermasyarakat.
Keseluruhan bentuk budaya yang didukung dengan keindahan alam di
Kecamatan Delang merupakan potensi yang harus dikembangkan, khususnya dalam
konsep pengembangan pariwisata daerah. Hal ini perlu menjadi menjadi perhatian para
pengambil kebijakan dalam memetakan dan membangun potensi tersebut, sehingga
dalam pengembangannya potensi kebudayaan dan alam yang ada di Delang dapat
terjaga kelestariannya tanpa harus menghilangkan atau merusak apa yang telah ada.

Keywords: Antropologi arsitektur,pariwisata,lamandau

KAJIAN ANTROPOLOGI SEBAGAI PENUNJANG KEGIATAN PARIWISATA KECAMATAN DELANG KABUPATEN LAMANDAU Oleh Bahrul Ulum (2105290001) Fariz Ryadi (2005290018) Sonja Mirzani (2005290021) PROGRAM STUDI MAGISTER ARSITEKTUR PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA JAKARTA 2022


DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................................ 1 1.1.Latar Belakang Masalah .................................................................................................... 1 1.2.Lokasi Penelitian ................................................................................................................. 2 1.3.Rumusan Masalah Penelitian ............................................................................................ 3 1.4.Fokus dan Ruang Lingkup Penelitian .............................................................................. 3 1.5.Tujuan Penelitian ................................................................................................................ 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................ 4 2.1. Konsepsi Antropologi dan Ruang ................................................................................... 5 2.2. Konsepsi Antropologi Pariwisata ................................................................................... 5 2.2.1. Dimensi Sosial Budaya dalam Pariwisata .............................................................. 8 2.2.2. Pariwisata Sebagai Fenomena Pertemuan Kebudayaan ....................................... 9 2.2.3. Akulturasi dan Pertemuan Kebudayaan ................................................................. 9 BAB III METODE PENELITIAN ....................................................................................................... 11 3.1. Deskriptif dan Kualitatif ................................................................................................ 11 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................................................. 13 4.1. Antropologi Masyarakat Kecamatan Delang .............................................................. 13 4.1.1. Lingkup Kepercayaan ............................................................................................. 13 4.1.2. Lingkup Budaya ...................................................................................................... 13 4.1.3. Struktur Masyarakat ................................................................................................. 17 4.1.4. Mata Pencaharian .................................................................................................... 18 4.2. Tipologi Rumah Tradisional ........................................................................................ 20 4.2.1. Pola Permukiman ..................................................................................................... 20 4.2.2. Rumah Adat Dayak Tomun ................................................................................... 23 4.3. Analisa Data ................................................................................................................... 28


4.3.1. Analisis SWOT Dalam Aspek Antropologi .......................................................... 28 4.3.2. Analisa Keterkaitan Aspek Antropologi dengan Kepariwisataan ...................... 30 4.3.3. Pengembangan Pariwisata dalam Aspek Antropologi Kecamatan Delang ...... 34 4.3.3.1. Pengembangan Desa Wisata Kecamatan Delang ............................... 34 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................................. 36 5.1. Kesimpulan ...................................................................................................................... 36 5.2. Saran .................................................................................................................................. 36 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 37


1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dan budaya yang sangat beragam. Keindahan bentang alam dan kekayaan budaya yang ada di Indonesia merupakan kunci dalam pengembangan pariwisata di Indonesia. Dalam mengembangkan pariwisata, dalam hal ini perlu mengedepenkan potensi kebudayaan dan alam setempat dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat, pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun swasta. Menurut Wulandari, et al (2020), pengembangan pariwisata pada suatu daerah harus didasarkan pada perencanaan, pengembangan, dan arah pengelolaan yang jelas agar semua potensi daerah tersebut dapat dikembangkan secara optimal. Untuk mendapat hasil yang optimal tersebut, perlu didukung kerjasama dari pihak pemerintah, tokoh adat (budaya), masyarakat, dan swasta. Kabupaten Lamandau di Provinsi Kalimantan Tengah merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi budaya dan bentang alam sebagai potensi pengembangan pariwisata. Salah satu Kecamatan di Kabupaten Lamandau yang memiliki nilai kebudayaan yang masih sangat kaya ialah Kecamatan Delang. Struktur ruang dan kehidupan suku Dayak Tomun merupakan gambaran hidup dan mati yang berakar pada kebudayaan dan kepercayaan. Kepercayaan Kaharingan yang ada pada suku Dayak Tomun menggambarkan apa yang hidup dan mati masih saling terkait satu sama lain yang pada akhirnya membentuk berbagai tampilan kehidupan, ritual, rumah tinggal, hingga pola kehidupan bermasyarakat. Keseluruhan bentuk budaya yang didukung dengan keindahan alam di Kecamatan Delang merupakan potensi yang harus dikembangkan, khususnya dalam konsep pengembangan pariwisata daerah. Hal ini perlu menjadi menjadi perhatian para pengambil kebijakan dalam memetakan dan membangun potensi tersebut, sehingga dalam pengembangannya potensi kebudayaan dan alam yang ada di Delang dapat terjaga kelestariannya tanpa harus menghilangkan atau merusak apa yang telah ada.


2 1.2 Lokasi Penelitian Lokasi dari penelitian ini ialah Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah. Secara administratif Kecamatan Delang berbatasan langsung dengan wilayah: Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Batangkawa Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sukamara dan Provinsi Kalimantan Barat Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Barat Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Lamandau dan Kabupaten Sukamara Gambar 1.1 Peta Administrasi Kec. Delang Sumber: BPS Kabupaten Lamandau Tahun 2018 Kecamatan Delang memiliki luas wilayah 685 m2 yang terdiri dari 10 Desa dan 1 Kelurahan. Adapun Desa tersebut yakni Desa Riam Penahan, Sepoyu, Riam Tinggi, Landau Kantu, Nyalang, Lopus, Kubung, Sekombulan, Penyombaan, dan Hulu Jojabo, sedangkan Kelurahannya adalah Kudangan.


3 1.3 Rumusan Masalah Penelitian Dengan melihat latar belakang permasalahan diatas, yang menjadi poin utama dalam penelitian ini ialah bagaimana melihat aspek antropologi dapat menjadi bagian dalam menunjang potensi pariwisata yang meliputi kajian dalam pengembangan pariwisata di Kecamatan Delang. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan dari penelitian ini maka perumusan masalah dalam penelitian ini ialah sebagai berikut: 1. Apakah konsep yang dimiliki Amos Rapopot sesuai atau telah diterapkan oleh Kecamatan Delang. 2. Bagaimana tanggapan dan konsep pengembangan yang tepat untuk Kecamatan Delang. 1.4 Fokus dan Ruang Lingkup Penelitian Adapun fokus dalam penelitian ini ialah untuk mendapatkan konsep pengembangan pariwisata dengan melihat pada aspek Antropologi di Kecamatan Delang. Oleh karena nilai kebudayaan dan alam yang sangat potensial di Kecamatan Delang, maka dalam hal ini perlu adanya perancangan dan pengembangan daerah yang dapat menyelaraskan bentuk pembangunan fisik dengan nilai-nilai kebudayaan. Sehingga penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan dalam menentukan kebijakan pengembangan potensi daerah yang mengedepankan nilai-nilai budaya dan dapat menjaga kelestariannya, serta memberi manfaat yang berkelanjutan bagi seluruh pemangku kebijakan. 1.5 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mendapatkan konsep pengembangan pariwisata khususnya dalam melihat aspek Antropologi di Kecamaan Delang. Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, maka dalam penelitian ini perlu dilakukan kajian dalam melihat potensi nilai budaya dalam perspektif Antropologi di Kecamatan Delang, serta menganalisa berdasarkan kelebihan dan kekurangan yang ada sehingga hasil akhir yang diharapkan dapat terwujudnya konsep pengembangan pariwisata di Kecamatan Delang.


4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsepsi Antropologi dan Ruang Hakekat dasar arsitektur terbentuk oleh pengetahuan dan kebutuhan penghuni terhadap ruang, sehingga ruang dalam arsitektur dapat dipahami sebagai suatu teritori yang sangat personal. Menurut Amos Rapoport (1969) dalam buku House Form and Culture dapat ditelaah bahwa terbentuknya ruang arsitektur dan permukiman tradisional yang bervariatif dari setiap daerah maupun negara didasarkan pada akar kebudayaan, kepercayaan, dan kondisi geografis atau alam sehingga dalam hal ini telah dinyatakan bahwa terbentuknya ruang tersebut meliputi beberapa faktor, yakni faktor primer atau primary factor dan faktor sekunder atau modifying factor. Faktor primer atau primary factor meliputi faktor sosial budaya, sedangkan faktor sekunder atau modifying factor meliputi faktor alam atau iklim, faktor bahan atau material, faktor konstuksi teknologi, dan faktor lahan. Dengan mengacu pada pernyataan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi faktor utama dalam terbentuknya suatu ruang arsitektur merupakan faktor sosial dan kebudayaan. Sedangkan faktor alam atau iklim bukanlah faktor utama karena pada kenyataannya terdapat banyak variasi bentuk pada suatu lokasi dengan iklim atau kondisi alam yang sama. Hal tersebut juga berlaku pada faktor bahan atau material dan faktor konstruksi teknologi yang dimana faktor-faktor tersebut tidak mempengaruhi secara langsung bentuk arsitektur. Faktor sosial dan kebudayaan merupakan faktor yang paling utama dalam terbentuknya ruang dalam arsitektur. Faktor sosial budaya dalam hal ini meliputi pertimbangan-pertimbangan yang terkait dengan kepercayaan, keluarga dan struktur masyarakat, organisasi masyarakat, hubungan sosial, dan pandangan hidup. Setiap hal yang meliputi faktor utama tersebut yang pada akhirnya berdampak pada cara setiap individu maupun kelompok dalam berkehidupan yang melahirkan keistimewaan dalam suatu kebudayaan.


5 Secara lebih lanjut dijelaskan bahwa pemilihan lahan dipengaruhi oleh dua hal, yakni defense atau pertahanan dan ekonomi. Dalam hal ini pemilihan lahan terkait dengan unsur fisik, akan tetapi pemilihan lahan yang ideal pada dasarnya ditentukan oleh nilai-nilai yang dianut oleh tiap individu atau kelompok pada suatu masa tertentu. Sehingga pemilihan lahan yang meliputi unsur fisik seperti sungai, gunung, danau, maupun pantai akan berdasar pada pemahaman kebudayaan yang dianut oleh seseorang atau kelompok masyarakat tertentu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam pemilihan lahan merupakan bagian dari kebudayaan dibandingkan unsur fisik. 2.2 Konsepsi Antropologi Pariwisata Menurut Suwantoro (2001), istilah pariwisata terlahir dari Bahasa Sansekerta yang terdiri dari “Pari” yang bermakna penuh, lengkap, berkeliling. Kemudian “Wis (man)” yang berarti ruang rumah, kampong, atau komunitas. Serta “ata” yang berarti pergi terus menerus atau mengembara. Sehingga apabila dirangkai, kata pariwisata dapat diartikan sebagai kegiatan berkeliling pada suatu ruang secara terus menerus dan tidak bermaksud menetap pada suatu tempat yang menjadi tujuan perjalanan. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi pariwisata ialah kegiatan yang berhubungan dengan perjalanan untuk rekreasi, pelancongan, atau turisme. Menurut Robinson dalam Pitana (2005), menjelaskan bahwa pariwisata berkembang karena adanya gerakan manusia dalam mencari sesuatu yang belum diketahuinya, menjelajahi wilayah yang baru, mencari perubahan suasana, atau untuk mendapat perjalanan baru. Adapun menurut Mathieson dan Wall dalam Pitana (2005) menyebutkan bahwa pariwisata mencakup tiga elemen utama, yakni: 1. Dynamic element, yakni perjalanan menuju ke suatu destinasi wisata 2. Static element, yakni singgah pada daerah tujuan 3. Consequential element, yakni dampak atau akibat dari kedua hal diatas khususnya pada masyarakat lokal yang meliputi dampak ekonomi, sosial, budaya, dan ruang fisik dari adanya kegiatan pariwisata


6 Pariwisata pada dasarnya ialah fenomena multi dimensi yang mencakup dimensi ekonomi, politik, lingkungan, sosial budaya, dan lain sebagainya. Dalam memahami fenomena sosial budaya yang berkaitan dengan bidang pariwisata, maka ilmu Antropologi secara khusus memfokuskan perhatian pada isu sosial budaya dalam kepariwisataan (Pujaastawa, 2017). Dimensi sosial budaya yang menjadi fokus dalam kajian Antropologi Pariwisata mencakup sistem sosial dan budaya, dimana sistem sosial sebagai wujud tindakan berpola yang berkaitan dengan kedudukan dan peranan individu dalam konteks pariwisata. Sedangkan sistem budaya mencakup seperangkat ide yang terdiri dari unsur-unsur nilai, norma, hukum, dan aturan yang menjadi pedoman bagi setiap kegiatan pariwisata. Secara lebih lanjut dijelaskan oleh Pujaastawa (2017), bahwa dalam Antropologi Pariwisata terdiri dari dua pendekatan, yakni pendekatan diakronik dan pendekatan sinkronik. 1. Pendekatan Diakronik Dalam hal ini pendekatan diakronik berdasar pada gejala perubahan atau perkembangan sosial budaya sebagai doktrin pokok. Sehingga dapat diartikan bahwa pariwisata diasumsikan sebagai variabel bebas yang dapat memperngaruhi terjadinya perubahan sosial budaya. Pendekatan diakronik ini didasari oleh beberapa indikator, yakni: A. Indikator Waktu Indikator waktu ialah pemahaman dalam perubahan sosial budaya melalui komparasi perbandingan antara sosial budaya sebelum adanya faktor yang mempengaruhi dan setelah adanya faktor yang mempengaruhi. Gambar 2.1 Skema Perubahan Berdasarkan Dimensi Waktu Sumber: Pujaastawa, Diktat Antropologi Pariwisata, Universitas Udayana. 2017 Eksistensi nilai sosial budaya sebelum perkembangan pariwisata Perkembangan Pariwisata (faktor pengaruh) Eksistensi nilai sosial budaya setelah perkembangan Pariwisata


7 B. Indikator Ruang Pada dasarnya pariwisata merupakan fenomena kontak atau perjumpaan antar kebudayaan, dimana dalam hal ini masyarakat setempat (tuan rumah) dihadapkan dengan budaya pariwisata dari wisatawan. Sehingga akan terjadi penyesuaian seperti penggunaan bahasa, norma-norma, fasilitas pendukung, dan unsur budaya luar yang secara tidak langsung akan diserap kedalam kebudayaan setempat (tuan rumah). Ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian dalam proses perubahan tersebut, antara lain: a. Difusi atau persebaran kebudayaan dari luar tidak terjadi secara menyeluruh, melainkan bersifat parsial atau hanya unsur-unsur tertentu saja b. Unsur kebudayaan setempat (tuan rumah) yang didifusikan mengalami penyesuaian dalam hal bentuk, struktur, fungsi, dan makna dalam lingkup kebudayaan. C. Indikator Tingkat Dalam hal ini dapat diartikan bahwa pariwisata dapat menimbulkan proses perubahan pada aspek sosial budaya dari tingkat terendah atau sederhana hingga tingkat yang lebih tinggi dan kompleks. Sebagai contoh yakni terjadinya perubahan tempat penginapan pada masyarakat setempat yang mulanya masih sederhana dan cenderung tradisional berkembang menjadi penginapan yang modern akibat adanya pengaruh dari industri atau kegiatan pariwisata. D. Indikator Ruang, Waktu, dan Tingkat Indikator ini mencakup keseluruhan indikator yang telah dijelaskan diatas, dimana dalam suatu ruang sosial budaya terjadi perubahan atau perkembangan bermula dari pembawaan nilai budaya dari tempat lain menuju ke destinasi wisata yang membawa pengaruh pada tingkatan tertentu dalam kurun waktu tertentu. Secara sederhana dalam hal ini dapat dicontohkan dalam unsur bahasa, dimana bahasa luar lambat laun memperngaruhi bahasa setempat pada tingkatan yang lebih sederhana hingga kompleks pada kurun waktu tertentu.


8 2. Pendekatan Sinkronik Pendekatan ini digunakan dalam memahami pola atau prinsip dasar dari fenomena sosial budaya. Menurut Pujaastawa (2017), pendekatan sinkronik ialah pendekatan fungsional-struktural yang digunakan untuk memahami fungsi dan struktur dari setiap gejala atau fenomena sosial budaya, dimana fenomena tersebut mencakup gejala pada tataran sistem budaya (idea), perilaku (action), dan fisik (material). Dalam memahami terhadap fungsional dari fenomena sosial budaya yakni mengacu pada manfaat dari fenomena sosial budaya yang bersangkutan. Sehingga dalam kajian Antropologi Pariwisata, pendekatan sinkronik secara fungsional dapat digunakan untuk memahami manfaat dari fenomena sosial budaya dalam pengembangan pariwisata. Sedangkan dalam memahami pendekatan sinkronik secara struktural dapat diartikan bahwa fenomena sosial budaya mengacu pada prinsip yang mengatur hubungan antar aspek dalam suatu kesatuan. 2.2.1 Dimensi Sosial Budaya dalam Pariwisata Pariwisata dalam dimensi sosial budaya menitikberatkan perhatian pada perihal yang berkiatan dengan perjalanan wisata, kegiatan yang dilakukan selama di destinasi wisata, dan fasilitas yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Chadwick dalam Pujaastawa (2017) mendefiniskan bahwa kegiatan pariwisata menitikberatkan pada tiga aspek utama, yakni aspek pergerakan manusia, aspek interaksi manusia, dan aspek ekonomi. Sedangkan MacCannell dalam Pujaastawa (2017) memandang bahwa pariwisata tidak hanya kegiatan ekonomi ataupun bisnis semata, melainkan juga upaya dalam revitalisasi sejarah, budaya, dana lam. Sehingga dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa dalam pengembangan pariwisata dalam dimensi sosial budaya merupakan kegiatan pengembangan yang berwawasan budaya untuk memperoleh manfaat ekonomi, pelestarian budaya, serta lingkungan setempat.


9 2.2.2 Pariwisata Sebagai Fenomena Pertemuan Kebudayaan Pariwisata merupakan fenomena terjadinya pertemuan antar budaya yang saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam hal ini kebudayaan lokal cenderung berkedudukan sebagai variabel yang dipengaruhi (dependent variabel), dan kebudayaan asing sebagai variabel yang mempengaruhi (independent variable). Menurut Pujaastawa (2017), proses pertemuan kebudayaan dalam kegiatan pariwisata menimbulkan konsekuensi sebagai berikut: 1. Substitusi, yakni fungsi dalam unsur kebudayaan lokal diambil alih oleh unsur kebudayaan asing dengan perubahan struktural yang minim; 2. Sinkretisme, yakni terbentuknya sistem baru akibat dari pencampuran unsur kebudayaan lokal dengan unsur kebudayaan asing dengan kemungkinan terjadinya perubahan kebudayaan pada tingkatan yang cukup berarti; 3. Adisi, ialah penambahan unsur kebudayaan asing kedalam kebudayaan lokal; 4. Dekulturasi, yakni hilangnya bagian substansial dari kebudayaan lokal; 5. Originalisasi, ialah munculnya unsur kebudayaan baru untuk memenuhi kebutuhan baru akibat dari kondisi yang telah berubah; 6. Revitalisasi, yakni menguatnya daya tahan kebudayaan lokal dari pengaruh kebudayaan asing; 7. Rejeksi atau Penolakan, dalam hal ini terjadinya gerakan atau kegiatan pemberontakan akibat dari tidak dapat diterimanya perubahan kebudayaan akibat pengaruh dari kebudayaan asing pada sebagian besar masyarakat. 2.2.3 Akulturasi dan Pertemuan Kebudayaan Dengan memahami bahwa pariwisata merupakan fenomena pertemuan dua kebudayaan yang pada gilirannya dapat menimbulkan perubahan pada kebudayaan lokal. Perubahan tersebut diawali dengan terserapnya unsur budaya asing sehingga dapat menggeser peran unsur budaya setempat atau lokal. Pergeseran tersebut dalam tingkatan yang lebih jauh juga dapat merangsang terjadinya pergeseran kesakaralan pada budaya setempat. Menurut Pujaaswara


10 (2017) akulturasi dapat diacu sebagai pendekatan dalam memitigasi konsekuensi negatif yang timbul dari pertemuan kebudayaan dalam konteks pariwisata. Menurut Koentjaraningrat dalam Saebeni (2012) akulturasi ialah proses sosial yang timbul dimana sekelompok manusia atau individu dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur kebudayaan asing hingga unsur kebudayaan asing tersebut lambat laun dapat diterima dan diolah tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan penerima atau lokal. Dalam memahami konteks akulturasi tersebut, setidaknya terdapat tiga gejala yang terjadi didalam masyarakat setempat atau lokal. Ketiga gejala tersebut yakni: 1. Adanya kreativitas dari kebudayaan penerima untuk mengolah unsur kebudayaan asing 2. Adanya sifat adaptif dalam membentuk integrase dan penyesuaian terhadap kebudayaan asing 3. Adanya upaya untuk melestarikan dan merevitalisasi kebudayaan sendiri.


11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Deskriptif dan Kualitaif Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan deskriptif dan kualitatif. Menurut Sugiono (2014) metode deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi. Berdasarkan data-data yang diperoleh melalui narasumber dan informasi digital, peneliti mampu menggambarkan sebuah keadaan atau kondisi yang dimiliki Kecamatan Delang untuk dikaji menggunakan teori antropologi. Menurut Moleong (1989), mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasannya dan dalam peristilahannya. Dengan demikian dalam artian tersebut menjelaskan bahwa pada metodologi tersebut menyelidiki suatu bentuk sosial masyarakat dan permasalahan manusia. Penelitian kualitatif dilakukan pada orientasi teoritis, dimana suatu pernyataan sistematis yang berkaitan dengan seperangkat proposisi yang berasal dari data dan diuji kembali secara empiris. Dalam penelitian kualitatif, manusia adalah alat (instrumen). Hal ini dapat diartikan bahwa dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Dengan demikian, didalam penelitian ini pendekatan kualitatif digunakan untuk mendapatkan penjelasan mendalam dalam aspek Antropologi masyarakat Adat Tomun di Kecamatan Delang dengan mengamati potensi dan permasalahan yang ada sebagai bagian dalam pengembangan pariwisata di Kecamatan Delang. Guna mencapai tujuan yang diharapkan, dalam penelitian ini unit amatan yang dilakukan ialah ruang kebudayaan dalam batas administrasi Kecamatan Delanag, Kabupaten


12 Lamandau. Sedangkan unit analisa yang dilakukan ialah memahami konteks kebudayaan di Kecamatan Delang yang pada penelitian ini digunakan sebagai instrument analisa dalam pengembangan pariwisata berdasarkan kebudayaan. Dalam menganalisa data, proses yang dilakukan dengan merinci data untuk menemukan tema dan merumuskannya kedalam hipotesa (ide).


13 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Antropologi Masyarakat Kecamatan Delang 4.1.1. Lingkup Kepercayaan Mayoritas masyarakat di wilayah administrasi Kecamatan Delang adalah Suku Dayak Tomun yang menganut kepercayaan Kaharingan (yang bermakna tumbuh atau hidup). Menurut Dewi (2018) Kaharingan mengajarkan kepada setiap penganutnya untuk menghormati arwah nenek moyang. Kepercayaan ini menganggap bahwa arwah nenek moyang selalu memperhatikan serta melindungi keturunan-keturunan setelahnya yang masih hidup di dunia. Selain itu disebutkan juga bahwa setiap hambaruan (jiwa) orang yang telah meninggal kemudian menempati alam di sekeliling tempat tinggal manusia pada saat ini atau yang disebut dengan liau. Secara lebih lanjut dijelaskan pula bahwa dalam kepercayaan Kaharingan, selain percaya kepada arwah nenek moyang, penganut kepercayaan Kaharingan percaya bahwa setiap benda hidup seperti manusia, binatang, tumbuhan maupun benda mati seperti batu-batuan, kayu besar hingga benda antik lainnya memiliki jiwa atau roh (kekuatan gaib). Dengan demikian dapat ditelaah bahwa dalam kepercayaan Kaharingan ini percaya bahwa alam disekitarnya hidup beriringan bersama makhluk halus/gaib, dan roh-roh yang menempati tiap ruang baik rumah, batu-batu besar, pohon-pohon besar, hutan, air, dan tiap benda yang ada disekitarnya. 4.1.2. Lingkup Budaya Menurut Yulianti (2016), Dayak Tomun, Tomuan, atau Tamuan adalah etnis dayak yang bermukim di sepanjang sungai Lamandau dan sungai-sungai kecil di wilayah Kabupaten Lamandau. Secara harfiah, kata Tomun, Tomuan, atau Tamuan berarti temuan. Berdasarkan informasi lisan yang diterima,


14 dikatakan bahwa suku Dayak Tomun pada mulanya merupakan suku pedalaman yang kemudian baru ditemukan. Menurut Saden (2015), dalam cerita lisan yang disampaikan oleh masyarakat Delang, sekitar 500 tahun yang lalu seorang Datuk dari Kerajaan Pagaruyung bernama Malikur Besar Gelar Patih Sebatang Balai Seruang berlayar ke Kalimantan. Pada pelayaran tersebut, Datuk Malikur Besar kemudian singgah di sebuah daerah yang kemudian mendirikan sebuah kerajaan kecil yang bernama Kudangan. Dalam cerita masyarakat tersebut, makna Kudangan itu sendiri berarti tempat yang disenangi oleh berbagai jenis binatang untuk mandi ataupun membersihkan tubuhnya. Dengan demikian, hal tersebut yang kemudian dapat mendasari bahwa Bahasa Dayak Tomun di Kudangan memiliki dialek, logat, dan intonasi yang memiliki khas Melayu. Pada msayarakat adat Tomun, ada beberapa tradisi kebudayaan yang tetap dan masih berjalan hingga saat ini diantaranya ialah: A. Pernikahan Adat Dalam upacara pernikahan adat di Kabupaten Lamandau, prosesi pernikahan adat terdiri dari tiga tahapan, yakni Totak kotamara, Kobat tongang, dan Baigal (Yonathan, 2021). Sedangkan dalam prosesi pernikahan adat tersebut kerap diiringi oleh musik Bagondang. Gambar 4.1 Bagondang Dalam Pernikahan Adat Dayak Tomun Sumber: https://travel.kompas.com/read/2017/12/02/094000327/melihat-dari-dekatkehidupan-suku-dayak-di-lamandau-kalteng?page=all


15 Tatak kotamara merupakan prosesi yang pertama dilakukan oleh dua orang pemusik, satu memainkan gonak dan satu lagi memainkan tatawak. Biasanya hal tersebut dilakukan di halaman depan rumah utama atau tempat yang dipakai untuk acara pernikahan. Pada bagian awal ini musik begondang berfungsi sebagai pengiring saat dilakukan pemotongan penghalang (menotak kotamara), dan diiringi dengan tarian tarian warisan nenek moyang. Kobat Tongang merupakan prosesi kedua setelah pengantin masuk kedalam ruang utama rumah. Kemudian yang diikuti oleh tradisi adat setempat. Pada prosesi ini, pengantin harus menduduki sebuah gong yang sudah disediakan. Baigal merupakan prosesi pentup pada upacara pernikahan adat yang menggambarkan suka cita dan ungkapan rasa kegembiraan. Selain acara pernikahan adat Dayak Tomun diatas, menurut Tamam, et al (2014) terdapat bentuk upacara pernikahan lainnya yang dilakukan oleh Dayak Tomun di Desa Kudangan. Pada acara pernikahan adat di Desa Kudangan tersebut menampilkan tarian Pagaruyung yang masih identik dengan tarian Pagaruyung dari Sumatera Barat. Hal tersebut didasarkan bahwa di Desa Kudangan, Kecamatan Delang tersebut pernah didiami oleh seorang Datuk dari Kerajaan Pagaruyung bernama Malikur Besar Gelar Patih Sebatang Balai Seruang yang kemudian mendirikan sebuah kerajaan kecil yang bernama Kudangan. B. Tarian Babukung Bagi suku Dayak Tomun Lamandau yang memeluk kepercayaan Kaharingan, Babukung merupakan bentuk ritual adat kematian yang erat kaitannya dengan penggunaan Luha (topeng) dan Tangkump (bambu), sedangkan Bukung itu sendiri merupakan sebutan bagi para penarinya (Kurune, 2019). Ritual adat Babukung bagi suku Dayak Tomun merupakan bentuk tarian untuk menghantar kepergian seseorang yang telah meninggal


16 dunia. Luha (topeng) yang digunakan dalam tarian Babukung merupakan wujud dari penjelmaan roh sehingga digambarkan dengan berbagai macam bentuk dan corak sesuai dengan pengalaman spiritual tiap individu dalam menggambarkan suatu roh atau arwah. Tarian Babukung merupakan salah bagian dalam proses upacara kematian dimana tarian Babukung ini pada mulanya untuk menjemput roh atau arwah nenek moyang yang lebih dahulu meninggal, kemudian arwah atau roh terdahulu tersebut mengantarkan arwah atau roh yang baru meninggal menuju bukit tempat terakhir bersemayam. Pada proses akhir dari tarian Babukung ini, atribut seperti Luha (topeng) tersebut ditinggalkan ditempat persemayaman. Gambar 4.2. Tarian Babukung Sumber: https://kumparan.com/infopbun/tarian-babukung-upacara-adat-kematian-sukudayak-tomun-di-kalteng-1rspCMFo3Rz C. Babantan Laman Babantan Laman merupakan ritual adat untuk mengeluarkan dan mencuci semua benda pusaka yang ada di Desa guna membersihkan Desa dari hal-hal buruk. Kegiatan Babantan Laman dilakukan setiap tanggal 7 bulan Juli setiap tahunnya, hal tersebut didasari oleh kebiasaan oleh para orang tua dan leluhur yang menjadi kebiasaan turun-temurun dalam melaksanakan ritual adat Babantan Laman. Angka tujuh dalam kepercayaan Kaharingan merupakan angka yang sakral.


17 Gambar 4.3. Ritual Adat Babantan Laman Sumber: https://www.kurungbuka.com/menyelami-ritual-adat-babantan-laman/ 4.1.3. Struktur Masyarakat Dengan Mengacu pada buku panduan wisata yang diterbitkan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Lamandau, Suku Dayak Tomun secara kelembagaan terdiri dari: 1. Mantir Adat Mantir Adat biasanya diundang di dalam ritual adat dan juga menyelesaikan permasalahan di Desa. Sesuai fungsinya, Mantir Adat mewakili satu Desa. 2. Demang Demang biasanya mewakili satu Kecamatan. Dalam suatu permasalahan adat ditingkat Mantir belum terselesaikan, maka permasalahan tersebut dibawa ke Demang. 3. Dewan Adat Dayak Merupakan tingkatan paling tinggi dalam kelembagaan suku Dayak secara umum di Pulau Kalimantan. Dewan Adat Dayak adalah suatu lembaga yang baru terbentuk setelah adanya Peraturan Daerah Kalimantan Tengah No. 16 Tahun 2008.


18 Selain kelembagan masyarakat adat tersebut, dalam kehidupan masyarakat Adat Dayak Tomun terdapat bentuk hukum adat yang mengatur hukuman atas pelanggaran adat. Dalam hukum adat Masyarakat Dayak, kebanyakan berupa pemberian ganti kerugian alias denda (Kamuh atau Danda). Maksud pembayaran ganti kerugian adalah mengembalikan keseimbangan ketenangan masyarakat yang dikacaukan oleh kejahatan seperti pembunuhan, mencuri dan sebagainya. Selain menentukan hukuman terhadap pelanggaran adat yang berupa denda secara material, hukum adat juga mengharuskan pelanggar membayar denda berupa upacara, yang dilakukan untuk memulihkan keseimbangan alam dengan jalan memberikan sajian/sesajen untuk mengambil hati para dewa agar tidak marah lagi dan memberikan perasaan malu kepada pelaku pelanggaran hukum adat. 4.1.4. Mata Pencaharian Mata pencaharian masyarakat Adat Dayak Tomun di Kecamatan Delang ialah berladang padi, mencari madu hutan dan panen hasil bumi dari tanaman hutan. Menurut data BPS pada tahun 2018, luasan panen padi ladang lebih besar dibandingkan luasan padi sawah di Kecamatan Delang. Luasan areal pengolahan padi ladang sebesar 4.171 Ha, sedangkan padi sawah hanya sebesar 255 hektar. Menurut Saden (2015), pengelolaan sumber daya alam masyarakat Adat Dayak Tomun ialah perladangan berbasis adat. Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa cara dan tujuan dalam berladang dipengaruhi oleh ketentuan adat. Secara lebih lanjut menurut Saden (2015) terdapat tujuh tahapan dalam berladang berbasis adat bagi masyarakat Dayak Tomun, tahapan tersebut ialah: 1. Manggul; tahapan pertama ini ialah dengan membersihkan sebidang tanah dengan ukuran 3x3 meter yang didalam sebidang tanah tersebut kemudian ditaruh ancak (persembahan) yang terdiri dari makanan seperti daging babi, ayam, makanan tradisional lainnya dan boram (tuak) yang kemudian diiringi dengan doa memohon izin berladang di lahan tersebut.


19 2. Tobas; merupakan kegiatan menebas, memangkas, atau membersihkan lahan secara keseluruhan setelah prosesi Manggul telah dilaksanakan. Pada kegiatan tobas ini, pemberian ancak yang diiringi doa masih dapat dilaksanakan dengan harapan mendapatkan hasil panen yang melimpah di lahan tersebut. 3. Tobangk; dalam kegiatan ini masih bagian dalam pembersihan lahan dengan menebang pohon yang agak besar pada lahan yang akan diolah. Akan tetapi, dalam hal menebang pohon bagi masyarakat Dayak Tomun terdapat ritual yang disebut Bahiangk (menumpahkan tuak). Dalam ritual tersebut disampaikan doa agar pohon yang ditebang tersebut dapat membawa hal baik serta memohon agar pohon yang ditebang tersebut dapat digantikan oleh pohon yang lain. 4. Cucul; merupakan kegiatan membakar hasil pembersihan lahan. Tanaman yang telah dibersihkan dari lahan yang akan diolah selanjutnya dipumpun (ditumpuk) kemudian dibakar. Abu dari hasil pembakaran merupakan unsur hara penting bagi kesuburan tanaman padi di ladang tersebut. Dalam kegiatan Cucul ini harus memperhatikan arah angin, kerjasama antar pemilik lahan lain, serta perlu membuat sekat bakar. Sehingga dalam kegiatan Cucul ini api yang dihasilkan tidak merambat ke wilayah atau area lainnya. 5. Tugal; adalah kegiatan menanam padi secara gotong-royong dengan menggunakan tongkat yang disebut halu. Dalam kegiatan ini juga disampaikan persembahan dan doa agar mendapatkan hasil panen yang melimpah. 6. Menggurut/merumput; merupakan kegiatan membersihkan lahan dari rumput atau tanaman pengganggu lainnya yang dilakukan satu kali sampai nanti tiba waktu panen. 7. Panen; merupakan rangkaian akhir dari kegiatan pertanian dari masyarakat adat Dayak Tomun di Kecamatan Delang.


20 Selain dari hasil ladang pertanian, masyarakat Dayak Tomun di Kecamatan Delang memiliki mata pencaharian dengan memanen hasil hutan yang salah satunya ialah madu hutan. Manjatak merupakan bentuk keterampilan masyarakat Dayak Tomun untuk memanjat sebuah pohon besar guna mencari madu hutan (Saden, 2015). Gambar 4.4 Manjatak Sumber: https://kumparan.com/debu-yandi/manjatak-keterampilan-memanjat-pohon-besarsuku-dayak-tomun/1 Manjatak atau memanjat sebuah pohon besar dilakukan dengan menancapkan pasak kayu ulin atau bosi yang kemudian pasak tersebut diikatkan pada batang kayu atau bambu. Selama melakukan proses Manjatak tersebut, masyarakat memberikan persembahan yang diiringi dengan rayah muar atau nyanyian mencari madu yang bertujuan untuk memohon agar lebah madu tidak mengganggu dan mendapatkan madu hutan yang cukup banyak. 4.2. Tipologi Rumah Tradisional 4.2.1. Pola Permukiman Dengan lingkungan alam yang ada dan pemanfaatan sungai sebagai jalur komunikasi dan transportasi, penduduk lebih suka mendirikan perkampungan mereka di sepanjang tepi sungai. Oleh sebab itu sepanjang aliran


21 sungai dari hulu ke muara banyak ditemukan perkampungan-perkampungan penduduk secara tersebar. Selain perkampungan, rumah-rumah penduduk didirikan berderet memanjang sejajar dengan sungai atau mengikuti jalur sungai karena masyarakat pada umumnya sangat mengandalkan air dari sungai untuk memenuhi kebutuhan sehari hari dan sebagai media transportasi. Gambar 4.5 Pola Permukiman di Desa Kudangan Sumber: Hasil Analisa Untuk menjaga agar tanaman-tanaman yang sedang berbuah tidak diganggu binatang, maka disetiap ladang mereka bangun pondok-pondok untuk para anggota keluarga bermalam terutama bagi yang memiliki ladang jauh dari rumahnya. Meskipun ladang-ladang ini jauh tetap harus dapat dicapai dengan perahu dan dibuat sejajar memanjang anak sungai. Pondok-pondok ini memiliki


22 bentuk dasar seperti rumah Panjang dan letaknya sejajar memanjang tepi sungai. Ladang, biasanya berakhir dengan berbatasan langsung dengan hutan belantara. Pada beberapa kampung tidak jarang ditemui padang Lalang atau belukar ditempat dimana ladang terletak. Hal tersebut ditujukan sang pemilik dalam memerikan waktu kepada tanah untuk kembali subur. Gambar 4.6 Pola Permukiman di Desa Sali Sumber: Hasil Analisa Pola perkampungan di daerah muara berbeda dengan pola perkampungan di hulu, karena mata pencaharian utama penduduk berbeda. Penduduk di daerah muara yang merupakan daerah pasang surut, lebih mengandalkan pendapatan mereka dari hasil kebun kelapa, pisang dan buahbuahan. Pada umumnya tanah persawahan terdapat langsung di belakang


23 kampung, galangan-galangan sawah inilah yang ditanami secara berderet oleh pohon kelapa, pisang dan buah-buahan lainnya. Pola perkampungan lainya adalah perkampungan pada daerah yang terpencil di dataran tinggi. Kampung didirikan di tengah-tengah daratan, jauh dari sungai. Namun pola perumahannya tetap sama, yaitu memanjang sepanjang sisi jalan darat yang membelah kampung tersebut. Demikian pula kebun dan ladang tetap berada di belakang kampung. Pada setiap perkampungan biasanya, dilengkapi tiang-tiang yang menyerupai patung manusia perempuan/laki-laki (sapundu). Sampundu biasanya dilengkapi dengan bangunan kecil tempat menyimpan tulang-tulang orang yang telah meninggal yang telah ditiwahkan. 4.2.2. Rumah Adat Dayak Tomun Pemerintah Kabupaten Lamandau bersama dengan tim ahli cagar budaya kabupaten telah menetapkan Rumah Adat Rumbang Romas, Rumah Adat Rumbang Perak, dan Rumah Adat Ojung Batu sebagai bangunan cagar budaya yang berada di Kelurahan Kudangan, Kecamatan Delang. Menurut data dan informasi dari Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan, Rumah Adat tersebut memiliki kesamaan dengan Rumah Adat Gadang Sumatera Barat yang dimana pada bagian atap berbentuk melengkung. Menurut Demang Kecamatan Delang, kemiripan tersebut dikarenakan budaya di Kudangan pernah memiliki hubungan dengan Kerajaan Pagaruyung dan berdasarkan data tersebut menyebutkan bahwa pemilik Rumah Adat Rumbang Romas saat ini merupakan keturunan terakhir dari Patih Nan Sebatang. Rumah Adat Rumbang Romas, Rumah Adat Rumbang Perak, dan Rumah Adat Ojung Batu merupakan rumah panjang dengan konstruksi rumah panggung dengan tangga dan pintu yang berada di depan dan belakang rumah.


24 Gambar 4.7. Rumah Adat Rumbang Perak, Ojung Batu, dan Delang Sumber: Dokumentasi, 2020 Bahan baku utama Rumah Adat ini menggunakan kayu ulin baik dari tiang, dinding, maupun lantai. Pada ujung atas bagian depan terdapat hiasan menyerupai kepala burung dan ekor pada bagian belakang rumah. Gambar 4.8. Ornamen Atap Rumah Adat Sumber: Dokumentasi


25 Perkampungan orang Dayak terdiri dari 1 s/d 8 buah rumah Panjang. Istilah rumah Panjang pada setiap daerah tidak selalu sama. Demikian pula dalam pola rumah pada setiap kelompok orang Dayak bervariasi, walaupun secara garis besar umumnya sama. Pada perkembangannya rumah Dayak didirikan diatas tiang guna menghindari perampokan dan pembunuhan yang dahulu seringkali dilakukan oleh orang Dayak yang lain, selain itu juga untuk menghindari ancaman binatang buas. Kerangka rumah terbuat dari tiang besar setinggi 2-5 m diatas muka tanah. Pada tiang tersebut dipaku tiang-tiang yang melintang guna memperkuat bilah-bilah papan lantai yang terbuat dari kayu besi. Dinding-dinding rumah disusun dari papan kayu besi dengan rapat, dengan tinggi kurang lebih 2 m.


26


27 Gambar 4.9. Rumah Betang atau Rumah Panjang Sumber: Hasil Analisa Ruangan dalam rumah dibagi oleh dinding yang membujur menjadi 2 bagian yang tidak sama besarnya. Ruangan yang lebih sempit digunakan sebagai serambi, sedangkan yang lebih besar dibagi atas kamar-kamar yang luasnya tergantung pada jumlah anggota keluarga. Masing-masing kamar dihubungkan oleh koridor yang mengarah ke dapur (tambiran). Setiap kamar


28 dilengkapi dengan tempat tidur, serta pintu ke serambi, sedangkan setiap serambi mempunyai pintu keluar kearah sungai atau jalan. Serambi merupakan bagian terpenting dari rumah-rumah orang Dayak. Ditempat inilah para pemuda berbincang-bincang dan tidur. Sedangkan bagian bawah rumah dipergunakan sebagai kendang ternak milik mereka. Untuk mencapai rumah ini digunakan tangga dari kayu utuh yang ditatah sebagai tempat jejak. Tangga ini dapat diangkat dan diturunkan. Di muka rumah panjang biasanya terdapat sebuah lapangan terbuka, yang digunakan oleh setiap penghuni rumah untuk berbincang. Pada rumah adat ini tidak titemukan jendela melainkan lubang kecil berbentuk kotak di dinding kayu depan rumah, namun ruangan tidak terasa panas sebab lantai rumah ini memiliki celah-celah untuk udara bersirkulasi serta kebiasaan mereka membuang bekas sirih di celah pingir lantai. Pada rumah adat ini terdapat loteng dengan ketinggian kurang lebih 2meter, loteng ini dipergunakan untuk menyimpan benda-benda pusaka terutama guci guci yang cukup besar. Pada umumnya guci ini dianggap sebagai alat tukar yang memiliki nilai yang cukup tinggi. Pada kamar mandi terletak di samping rumah dengan atap terbuka, namun pada kamar mandi tidak disediakan jamban, sebab ketika mereka hendak membuang hajat, mereka akan melakukannya di semak-semak belakang rumah dan membilasnya di sungai. Sebab inilah banyak ditemui rumah-rumah yang berjajar mendekati sungai. 4.3. Analisa Data 4.3.1. Analisis SWOT Dalam Aspek Antropologi Dalam penelitian ini, penggunaan analisis SWOT dapat memberikan input mengenai kekuatan, kelemahan, peluang, serta ancaman dalam aspek antropolgi di Kecamatan Delang yang dimana dapat memberikan penilainpenilaian dalam menggali potensi dan strategi pengembangan bagi Kecamatan Delang.


29 SWOT ASPEK ANTROPOLOGI Faktor Eksternal/ Faktor Internal Opportunities 1. Adat istiadat dan kesenian menjadi daya tarik pariwisata 2. Bentang alam (sungai, pegunungan) menjadi potensi wisata Threats 1. Menjaga kelestarian alam dan lingkungan akibat dari industrialisasi (perkebunan sawit) 2. Menjaga kelestarian kebudayaan dari serapan informasi dan teknologi dari luar Strengths 1. Kepercayaan Kaharingan dan adat istiadat masih dominan dan dipercaya oleh masyarakat 2. Kondisi topografi (bentang alam) yang indah dan asri Strategi S-O 1. Bentang alam dan kekayaan budaya dapat dikembangkangkan secara lebih lanjut guna mendorong sektor pariwisata 2. Sektor pariwisata menjadi sasaran prioritas bagi seluruh stakeholder Strategi S-T 1. Pemerintah daerah dan masyarakat adat dapat bekerjasama dalam memberikan batasan-batasan eksploitasi alam 2. Perlu perhatian khusus terhadap serapan informasi dan teknologi terhadap kepada kelestarian budaya Weakness 1. Pengelolaan kebudayaan dan alam yang masih belum maksimal 2. Minimnya input dari pemerintah daerah maupun pusat dalam pengembangan wilayah Strategi W-O 1. Meningkatkan perhatian dan kerjasama antar stakeholder dalam mengembangkan sektor pariwisata berbasis seni budaya dan alam 2. Menjaga eksistensi kepercayaan kaharingan dapat menjadi perhatian khusus Strategi W-T 1. Peningkatan kesadaran dan kemauan masyarakat, serta pemerintah daerah dalam mengelola alam dan budaya 2. Masyarakat dan Pemda memberi perhatian khusus kepada usia muda dalam menjaga kelestarian budaya dan alam Tabel 1. Analisa SWOT Sumber: Hasil Analisa


30 Berdasarkan tabel analisa SWOT diatas, dapat dilihat bahwa dalam faktor internal yang terdiri dari Strength dan Weakness keterkaitan antara aspek antropologi dengan pengembangan sektor pariwisata menjadi strategi utama yang dapat dikembangkang bagi perencanaan pembangunan di Kecamatan Delang. Sedangkan dalam faktor eksternal yang terdiri dari Opportunities dan Threat, dapat disimpulkan bahwa perlu adanya perhatian khusus dari setiap stakeholder baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat dan swasta untuk bersama-sama menjaga kelestarian alam dan budaya di Kecamatan Delang guna mengembangkan arah pembangunan kedalam sektor pariwisata. 4.3.2. Analisa Keterkaitan Aspek Antropologi dengan Kepariwisataan Dengan melihat arah potensi pengembangan berdasarkan analisa SWOT diatas, maka arah pengembangan bagi Kecamatan Delang terdapat pada sektor pariwisata. Pada Strategi S-O (Strength-Opportunites) dan W-O (Weakness-Opportunities), bentuk kebudayaan dan bentang alam yang dimiliki perlu menjadi perhatian utama bagi seluruh stakeholder dalam mengembangkan industri pariwisata di Kecamatan Delang. Akan tetapi pada sisi lain, dalam strategi S-T (Strength-Threats) dan W-T (Weakness-Threats), timbul kekhawatiran terhadap kelestarian alam dan kebudayaan akibat dari industri kelapa sawit, serta serapan informasi dan teknologi pada nilai kebudayaan masyarakat setempat. Oleh karena itu, perlu adanya tindakan mitigasi dalam aspek Antropologi guna meminimalisir dampak negatif yang dapat ditimbulkan. Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa menurut Amos Rapoport faktor primer atau primary factor terbentuknya ruang arsitektur merupakan faktor sosial budaya. Dari pengertian tersebut kemudian dapat dikembangkan dimana pada dasarnya untuk menjaga kelesatarian ruang wilayah baik dalam skala mikro maupun makro bertumpu pada nilai-nilai sosial dan budaya. Nilai-nilai kebudayaan yang kuat pada masyarakat adat Tomun di


31 Kecamatan Delang merupakan poin utama yang perlu diperhatikan oleh seluruh stakeholder (partisipatif) dalam menentukan arah perencanaan pembangunan. Konsepsi antropologi pariwisata merupakan bentuk sebuah perjalanan baru yang akan mempertemukan dua kebudayaan yang cenderung berbeda. Pertemuan kedua kebudayaan tersebut dapat menimbulkan berbagai bentuk konsekuensi tertentu, baik bernilai negatif maupun positif. Mengingat bahwa untuk menjaga kelesatarian ruang wilayah berakar pada nilai-nilai kebudayaan, maka pendekatan akultuarasi dapat dilakukan guna meminimalisir nilai-nilai negatif dari pertemuan kedua budaya tersebut. Akulturasi merupakan gambaran masuknya kebudayaan luar kedalam ruang kebudayaan setempat yang kemudian dapat diolah tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan setempat atau lokal. Oleh karena itu, untuk memahami konteks akulturasi tersebut perlu adanya bentuk kreativitas dan upaya untuk melestarikan kebudayaan setempat atau lokal dalam pengembangan industri pariwisata di Kecamatan Delang. Pariwisata merupakan kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah pusat, maupun daerah. Suatu daerah atau tempat hanya dapat menjadi destinasi tujuan wisata apabila kondisinya sedemikian rupa, sehingga perlu adanya bentuk kreatifitas masyarakat dalam mengembangkan sektor pariwisata tanpa harus meninggalkan nilai-nilai budaya yang sudah ada. Letak wilayah kecamatan Delang berada diujung sebelah barat laut yang berbatasan langsung dengan provinsi Kalimantan Barat. Kecamatan Delang dilalui oleh jalan lintas Provinsi dan dan berdekatan dengan jalur sungai. Pada wilayah ini terdapat fasilitas keagamaan, fasilitas keamanan, serta fasilitas penunjang lainnya yang disediakan untuk menjual cindera mata. Namun pada kenyataannya fasilitas yang disediakan tidak sepenuhnya berjalan dengan baik, sebab letak Kecamatan Delang memiliki jarak yang jauh untuk menuju pusat kota, ditambah dengan penerangan pada wilayah ini masih sangat minim.


32 Kondisi topografi lahan yang lebih didominasi dataran tinggi dengan perbukitan dan dilalui oleh jalur sungai membuat Kecamatan Delang memiliki potensi wisata alam yang cukup banyak di banding Kecamatan lain. Mengingat bahwa keberadaan sungai menjadi bagian dalam kebudayaan masyarakat adat Tomun, maka keberadaan sungai tersebut dapat dikembangkan secara lebih jauh dalam menunjang pengembangan sektor pariwisata dengan tetap menjaga nilai-nilai kesakralan kebudayaan lokal. Potensi wisata alam yang dapat ditemukan di Kecamatan Delang diantaranya ialah air terjun segilipan, Sei Setongah, Desa Wisata Penyombaan, Desa Wisata Riam Tinggi, Bukit Lubang Kilat. Gambar 4.10. Potensi Wisata Alam di Kecamatan Delang Sumber: Google 2022 Selain keindahan alamnya, salah satu modal besar dalam menunjang industri pariwisata di Kecamatan Delang ialah nilai adat istiadat masyarakat setempat. Nilai kesakralan suku Dayak Tomun seperti rumah adat sebagai saksi bisu adanya peradaban dan tradisi upacara adat serta berbagai bentuk kesenian lainnya memaknai potensi nilai kultural yang dimiliki.


33 Gambar 4.11. Potensi Kebudayaan Dalam Sektor Pariwisata Sumber: Dokumentasi Upaya peningkatan sarana dan prasarana guna menunjang aksesibilitas bagi masyarakat dari dalam dan luar wilayah juga perlu dilakukan guna membuka akses bagi wisatawan terutama melalui jalur darat. Sehingga dalam hal ini peningkatan akses menuju Kecamatan Delang dapat menunjang pengembangan sektor pariwisata. Gambar 4.12. Tampak jalur Kabupaten dan Jembatan Kudangan Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2022


34 Dari penjelasan diatas kemudian dapat disimpulkan bahwa seluruh nilai kebudayaan dan bentang alam merupakan daya tarik dan potensi yang perlu dijaga kelestariannya, serta menjadi perhatian khusus bagi para pemangku kebijakan (stakeholder). Nilai-nilai kesakralan budaya yang didukung dengan keindahan alam di Kecamatan Delang perlu ditingkatkan menjadi suatu nilai yang bersifat kreatif sehingga dalam pengembangan sektor pariwisata di Kecamatan Delang tidak harus meninggalkan nilai-nilai kebudayaan masyarakat adat setempat. 4.3.3. Pengembangan Pariwisata dalam Aspek Antropologi Kecamatan Delang Sektor pariwisata penting untuk dilakukan pengembangan secara berkelanjutan, sehingga dengan adanya kegiatan pariwisata yang ada di Kecamatan Delang dapat mendorong masyarakat secara aktif dalam pembangunan untuk mencapai tujuan kesejahtraan yang diharapkan. Dalam hal ini pengembangan wisata di Kecamatan Delang merupakan kegiatan untuk menggali segala potensi pariwisata, meliputi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ketika digabungkan dan dikelola dengan baik akan mendapatkan manfaat bagi keduanya. 4.3.3.1.Pengembangan Desa Wisata Kecamatan Delang Desa wisata adalah desa yang memiliki potensi keunikan dan daya tarik wisata yang memiliki ciri khas, baik berupa karakter fisik lingkungan alam pedesaan maupun kehidupan sosial budaya kemasyarakatan yang dikelola dan dikemas secara menarik dan alami, serta adanya pengembangan fasilitas pendukung wisatanya dalam sebuah tata lingkungan yang harmonis, serta pengelolaan yang baik dan terencana. Sehingga dalam hal ini desa siap untuk menerima dan menggerakan aktivitas ekonomi pariwisata yang dapat meningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat setempat. Melalui konsep


35 desa wisata, diharapkan masyarakat dan melakukan sebuah perubahan. Dalam hal pengembangan desa wisata, diharapkan akan terciptanya suatu masyarakat yang lebih sejahtera dan mandiri. Dalam pengembangan desa wisata, upaya pemberdayaan masyarakat ini harus memperhatikan tiga hal, yakni 1. Menciptakan suasana iklim yang memungkinkan potensi masyarakat yang berkembang, dalam artian menjaga kondisi alam tetap asri dan terjaga. 2. Memperkuat potensi dan daya tarik yang dimiliki dengan strategi perencanaan wisata yang dapat dibentuk dari kerja sama masyarakat dan juga pemerintah setempat. 3. Melestarikan kebudayaan atau tradisi adat istiadat masyarakat setempat.


36 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Amos Rapoport (1969) dalam buku House Form and Culture, menyatakan bahwa terbentuknya ruang ruang arsitektur dan permukiman tradisional yang bervariatif faktor utama atau faktor primernya ialah nilai sosial budaya. Dalam hal ini, aspek Antropologi yang meliputi lingkup kepercayaan, kebudayaan, dan adat istiadat lainnya saling berhubungan dalam pembentukan ruang pada masyarakat adat Tomun di Kecamatan Delang. Tipologi permukiman yang berada di sepanjang aliran sungai dan rumah adat yang ada di Kecamatan Delang merupakan wujud pembentukan ruang yang didasari pada suatu nilai kesakaralan budaya setempat. Dengan melihat keragaman budaya serta keindahan alam yang ada di Kecamatan Delang, pengembangan pariwisata merupakan arah pembangunan yang dapat dilakukan bagi wilayah Kecamatan Delang. Dalam konteks pengembangan pariwisata di Kecamatan Delang, menjaga nilai-nilai kebudayaan dan kelesatarian alam merupakan pooin utama yang harus diperhatikan bagi seluruh pemangku kebijakan. Pertemuan kebudayaan yang berbeda akibat pertemuan antara kebudayaan luar dan kebudayaan setempat dalam industri pariwisata perlu disikapi dengan menambahkan nilai kreativitas dan upaya menjaga kelestarian kebudayaan masyarakat setempat. 5.2 Saran Arah pengembangan pariwisata di Kecamatan Delang merupakan bentuk perencanaan yang bersifat partisipatif, sehingga dalam hal ini perlu dibangunnya kesadaran dan partisipasi yang baik dari masyarakat adat, pemerintah daerah, pemerintah pusat, maupun swasta dalam menentukan arah pembangunan yang mengedepankan nilai luhur dan kesakralan kebudayaan, serta kelestarian alam.


37 DAFTAR PUSTAKA Dewi, Mustika. D. (2018). Agama dan Kebudayaan Kaharingan di Kalimantan Menurut Para Penulis Indonesia (1990-2013). Skripsi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Fahmi, R., Ansori, A., Nugroho, A., Widodo, DS., (2018) Pocket Guide Book ForTour Guides. HPI Kotawaringin Barat & Dinas Pariwisata Kabupaten Lamandau Kurune, Astika. (2019). Luha Bukung. Tugas Akhir. Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Yogyakarta. Moleong, L. (1989). Metodologi penelitian kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Pitana, I. G. (2005). Sosiologi Pariwisata. Penerbit Andi, Yogyakarta. Pujaastawa, Ida, B. (2017). Diktat Antropologi Pariwisata. Universitas Udayana, Badung. Rapoport, Amos. (1969). House Form and Culture. University of Wisconsin, Milwaukee. Saden, Yulius. (2015). Kearifan Lokal Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Adat Tomun. Penerbit: Perkumpulan Save Our Borneo. Palangkaraya. Saebeni, B. A. (2012). Pengantar Antropologi. Pustaka Setia, Bandung. Suwantoro, Gamal. (2001). Dasar-dasar Pariwisata. Penerbit Andi, Yogyakarta. Tamam, Fathul. F., Zulaichah, Siti. Andanawarih, Syeda. (2014). Klaim Suku Dayak Tomun Terhadap Asal Usul Mereka di Kabupaten Lamandau Kalimantan Tengah. Kepel Press: Kalimantan Tengah. Wulandari, S. Rifal. Ahmadin. Rahman, A. Badollahi, M, Z. (2020). Pariwisata, Masyarakat dan Kebudayaan: Studi Antropologi Pariwisata Pantai Marina di Pajukukang Bantaeng, Sulawesi Selatan. Journal of Tourism Vol. 2 No.1, hal. 10. Universitas Negeri Makassar, Makassar. Yonathan, Elroy. (2021). Bagondang Dalam Upacara Pernikahan Adat Di Desa Bakonsu, Kecamatan Lamandau, Kabuoaten Lamandau Kalimantan Tengah. Tugas Akhir. Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Yogyakarta. Yulianti, Andi. (2016). Variasi Dialektikal Bahasa Tomuan (Dialectical Variation of Tomuan Language). Jurnal Mabasan, Vol. 10 No.2, hal. 45. Balai Bahasa Sulawesi Selatan, Makassar.


Click to View FlipBook Version