The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by POSIN BAKERY & CAFE, 2023-10-11 05:14:50

Materi Bedah Buku

Materi Bedah Buku

1 SEKSUALITAS: dari Tubuh ke Wacana*] Donny Danardono**) Setio Boedi―seorang Ketua Majelis Jemaat Gereja GKMI Gloria Patri―menerbitkan sebuah buku yang berjudul Seks, Pernikahan & Gereja (Yayasan Kitas, 2023). Buku yang tak membuat kening berkerut ini berisi 40 tulisan reflektif tentang bentuk-bentuk hubungan seks yang dianggap tak patut oleh gereja Kristen dan bagaimana gereja bisa mengatasinya. Hubungan seks yang tak patut adalah yang dilakukan sebelum menikah dan perselingkuhan. Ia menilai mereka yang berhubungan seks sebelum menikah sebagai yang tak mengakui kesakralan hubungan seks: … secara psikologis bisa jadi kedua (atau salah satu) anak manusia yang menikah tersebut tak lagi memandang bahwa pernikahan itu sakral. Relasi seksual yang seharusnya menjadi hubungan paling intim (penyatuan tubuh dan jiwa) dalam pernikahan, ternyata telah dituai sebelum musimnya.1 Ia menganggap penyebab perselingkuhan adalah kekuasaan. Alasannya menurut Setio Boedi―dengan mengutip pendapat seorang teman perempuannya―adalah: “… orang-orang yang mempunyai kemampuan berlebih, entah itu kecerdasan, kekuasaan, kekayaan, sebagai hiburan untuk variasi hidupnya ya seks dan selingkuh”.2 Menurutnya pada mulanya kebanyakan peselingkuh adalah suami. Tapi menurutnya lagi: “… belakangan juga kian banyak sang istri”.3 Para peselingkuh itu, menurutnya, bukan umat biasa, tapi juga Majelis Jemaat Gereja,4 rohaniwan dan rohaniwati. Rohaniwan dan rohaniwati yang juga konselor bisa menyelingkuhi umatnya yang meminta nasihat tentang masalah rumahtangganya.5 Bahkan menurut Setio Boedi ada seorang rohaniwati yang, dengan mengatasnamakan Tuhan, meminta sepasang suami-istri yang adalah umatnya untuk bercerai. Setelah itu rohaniwati itu menceraikan suaminya dan menikahi pria itu.6 Sedangkan penyebab perceraian, menurutnya, adalah karena kebanyakan suami dan istri menganggap pernikahan sebagai tempat untuk berbahagia. Celakanya, menurut Setio Boedi, mereka hanya mengidentikkan kebahagiaan dengan kesehatan, *] disampaikan di bedah buku & diskusi “Seks, Pernikahan & Gereja” di Posin: Bakery & Café, Jl. Menteri Supeno No.6, Semarang; Rabu, 11 Oktober 2023. **) Donny Danardono adalah pengajar filsafat di Program Studi Ilmu Hukum dan Program Magister Lingkungan dan Perkotaan, Universitas Katolik Soegijapranata. 1 Setio Boedi, 2023, Seks, Pernikahan & Gereja, Jakarta, Yayasan Kitas, hal. 19. 2 Ibid., hal. 56. 3 Ibid., hal. 40. 4 Ibid., hal. 44. 5 Ibid., hal. 57; lihat juga hal. 61. 6 Ibid.


2 kekayaan dan kebebasan dari sengketa. Dengan demikian mereka tak menganggap pernikahan itu sakral: Gairah untuk mendapat kebahagian inilah yang mengalahkan cinta dan komitmen mula-mula di antara mereka. Pernikahan yang semula diciptakan sebagai lembaga sakral mulia, oleh zaman yang menua ini digeser maknanya, “Jikalau kalian nggak bahagia dalam berkeluarga, kalian bisa keluar dari ikatan pernikahan itu dan carilah kebahagiaan di luar sana. Sudah banyak orang yang melakukannya. Kalian berhak bahagia!7 Setio Boedipun mengisahkan pedihnya hati seorang istri saat harus memaafkan suaminya: Setelah beberapa tahun, melalui proses sangat panjang dan berat. Penuh dengan ketegangan dan air mata. Suamiku pulang lagi. Aku mengampuni dia. Dan memang harus mengampuninya. Tapi dalam pelaksanaan tak semudah membalikkan telapak tangan. Kadang aku merasa jijik dengan suamiku. Apalagi ketika ML. Pikiranku memerintahkan mengampuni, tapi memarnya hatiku tak bisa dibohongi. Kulayani dia, tapi wajahku, kututupi bantal.8 Menghadapi masalah-masalah seksualitas umat itu, menurut Setio Boedi, tugas gereja adalah menggembalakan mereka: “… gereja didirikan bukan menjadi penghukum, tapi pemulih”.9 Namun Setio Boedi menyarankan agar dalam janji pernikahan ditambahkan sepotong kalimat tentang “perzinahan (perselingkuhan)” agar sejak hari pertama menikah mempelai disadarkan pada bahaya “perzinahan (perselingkuhan)” itu: Pernikahan sejatinya adalah sebuah perjanjian. Perjanjian yang lahir dari sebuah kesepakatan para pihak, yang dilakukan dengan sadar untuk dipatuhi bersama. Itu sebabnya dalam kesempatan ini, kepada gereja-gereja yang menyetujui adanya perceraian (jikalau …), mohonlah kiranya Janji Mempelai di altar gereja perlu dilakukan penambahan kalimat yang memperjelas. (…) “Saya berjanji untuk memaafkan dan mengampunimu apabila terjadi perselisihan di antara kita, seperti yang diteladankan oleh Tuhan Yesus Kristus”. Penambahan kalimat tersebut bisa diletakkan paling akhir, misalnya: “Kecuali bila terjadi perzinahan”.10 Walau Setio Boedi menganggap perselingkuhan sebagai yang tak terampuni, tapi ia kerap menuliskan kisah-kisah perselingkuhan itu secara menggugah imajinasi. Misalnya: 7 Ibid., hal 217. 8 Ibid., hal. 53. 9 Ibid., hal. 20. 10 Ibid., hal. 228.


3 Hubungan gelap tanpa sepengetahuan pasangan sah, membangkitkan semangat, dan sensasi. Mereka masing-masing ingat masih punya suami dan istri yang sah. Tapi bukankah kerap kali hasrat mengalahkan akal sehat? Bermula dari kenalan di depan wastafel resto, akhirnya berlanjut sampai ke ranjang.11 Contoh lainnya adalah cara Setio Boedi mengajarkan cara bercinta di malam pertama kepada para peserta pendidikan pra nikah: Karena baru pertama kali buat mereka. Itu sebabnya, secara pribadi kusampaikan bahwa kenalilah kelaminmu dan kelamin pasanganmu. Dan di hadapan mereka berdua juga kunyatakan, supaya MP (malam pertama) bisa lebih mudah dan indah, lalukanlah dengan posisi doggy style. Secara terbuka kujelaskan kepada mereka, ada tiga lubang di daerah sensitif perempuan di sana, dan yang di posisi tengahlah yang menjadi tujuan Mr. P.12 Friederich Engels: Asal-Usul Hak Milik Pribadi, Keluarga dan Negara Uraian di atas menunjukkan, bahwa agama Kristen (termasuk Yahudi, Katolik dan Islam) menganggap pernikahan adalah sakral. Maka hubungan seks hanya akan sakral jika terjadi di dalam pernikahan; bukan sebelumnya atau dalam perselingkuhan. Begitulah bagaimana agama membatasi cara pelampiasan dorongan seksual yang menurut Setio Boedi merupakan: “…gerak hormonal yang berkelindan dan dengan naluri, seks melahirkan berbagai aneka emosi. Enak, senang, puas, pengin mengulang lagi dan seterusnya”.13 Namun lembaga pernikahan sebenarnya tak setua usia manusia. Friederich Engels (1820-1895) di buku The Origin of Family, Private Property and the State―yang ia tulis dengan berdasarkan data antropologi Lewis L.H. Morgan di buku Ancient Society― menyatakan, bahwa pada mulanya manusia hidup dalam kelompok-kelompok yang nomaden. Engels menyebut era nomaden ini sebagai era “masyarakat liar”. Di era ini semua perempuan berhubungan seksual dengan semua pria. Tugas pria adalah berburu dan mencari lahan berburu yang baru. Tugas perempuan adalah membereskan urusan domestik. Pria menjadi pemburu bukan karena mereka kuat secara fisik, tapi karena secara sosial nilai mereka lebih rendah daripada perempuan. Berburu adalah pekerjaan berbahaya. Seorang pemburu bisa mati karena diterkam binatang buas atau terbunuh saat berkelahi melawan kelompok lain demi mempertahankan atau merebut lahan berburu. Sebaliknya nilai sosial perempuan lebih tinggi, karena ada rahim di tubuhnya yang merupakan tempat persemaian manusia-manusia baru. Jadi saat musim berburu, sebuah kelompok bisa cukup meninggalkan satu atau dua pria di kelompok itu untuk menghamili para perempuan di kelompok itu. Tapi, menurut Engels, pada suatu saat pria menemukan cara hidup yang lebih mudah tanpa berburu dan nomaden, yaitu menetap di sebuah lahan untuk bertani, 11 Ibid., hal. 60. 12 Ibid., hal. 91. 13 Ibid., hal. 11.


4 beternak dan tinggal. Maka para pria itu membagi-bagi lahan di antara mereka sendiri. Lalu mereka memikirkan cara agar lahan, alat pertanian, alat peternakan dan ternakternak itu tak jatuh ke kelompok lain. Begitulah, menurut Engels, mereka menemukan lembaga perkawinan. Para pria itu lalu memaksa setiap perempuan untuk hanya menikah dengan satu pria agar mereka dapat memastikan anak-anak yang dilahirkan oleh perempuan itu sebagai ahli warisnya. Itu sebabnya, sejak saat itu, pria tak dilarang beristri lebih dari satu, tapi perempuan dilarang bersuami lebih dari satu. Itu juga sebabnya kebanyakan hukum waris menganggap hak waris pria lebih besar daripada hak waris perempuan. Di Jawa hak waris pria adalah sepikul dan wanita hanya segendhong. Pada tahap berikutnya, menurut Engels, muncul agama, negara, hukum dan kebudayaan yang memperadabkan masyarakat. Lembaga-lembaga ini juga mengesahkan pernikahan dengan menganggapnya sebagai sakral atau semacamnya. Jadi, menurut Engels, tujuan manusia membentuk lembaga pernikahan dan mensakralkannya adalah untuk menjaga sistem sosial (feodalisme dan kapitalisme) yang memungkinkan pewarisan harta itu. Sejak itu seksualitas―yang pada mulanya hanya merupakan kebutuhan biologis dan keberlanjutan manusia―berubah menjadi wacana tentang kesucian. Michel Foucault: Seksualitas – dari Tubuh ke Wacana Masyarakat modern berhasil membatasi hasrat-hasrat libido di tubuh dengan menerapkan berbagai aturan agama dan negara terhadapnya, yaitu dalam pernikahan. Tapi apakah lembaga-lembaga ini bisa mengurangi dan meredam kegiatan seksual manusia? Michel Focault (1926-1984), seorang filsuf postmodern Prancis, cenderung mengatakan “tidak”. Menurutnya kegiatan libidinal manusia tak berkurang, malah cenderung bertambah. Karena seksualitas bukan lagi sekedar urusan libido tubuh. Ia telah berubah menjadi wacana agama, negara, medis, dan psikologis tentang seksualitas. Maka pengetahuan manusia tentang seksualitas pun bertambah; begitu pula dengan dorongan untuk melampiaskannya, baik secara sah, terbuka atau sembunyi-sembunyi. Foucault membahas pemikirannya itu di jilid pertama dari 4 buku The History of Sexuality. Jilid pertama itu berjudul The Will to Knowledge (1976) dan telah diindonesiakan secara bagus oleh Rahayu S. Hidayat dengan judul Seks & Kekuasaan: Sejarah Seksualitas (Gramedia, 2000). Foucault membuka buku itu dengan membahas bagaimana ratu Victoria I (1819- 1901) dari Inggris yang angkuh dan puritan itu mengendalikan seksualitas warganya dan hal ini, menurut Foucault, menular sampai ke negara-negara lain di Eropa daratan. Ratu Victoria mengembalikan seksualitas pada tujuan utamanya, yaitu keberlangsungan umat manusia. Ini adalah purifikasi (pemurnian) seksualitas. Maka ia mengendalikan, membungkam dan menolak perilaku seksual yang bebas di abad 17. Baginya hubungan seksual hanya santun dan sah jika dalam pernikahan:


5 Namun, keterbukaan yang bak siang hari itu segera disusul oleh senja, sampai tiba malam-malam monoton kaum borjuasi Victorian. Sejak itulah seksualitas dipingit rapi. Dirumahtanggakan. Seksualitas menjadi jumud. Suami-istri menyitanya dan membenamkan seluruhnya dalam fungsi reproduksi yang hakiki. Orang tidak berapi berkata apa pun mengenai seks. Pasangan, yang sah dan pemberi keturunan, menentukan segalanya. Pasangan muncul sebagai model, mengutamakan norma, memegang kebenaran, mempunyai hak untuk berbicara dengan tetap memelihara kerahasiaan. Di masyarakat, sebagaimana di setiap rumahtangga, satu-satunya tempat yang dihalalkan bagi seksualitas―bahkan yang dikhususkan untuk itu dan amat subur―adalah kamar orangtua.14 Tapi, tulis Foucault, pemerintah (dan agama) tak bisa sepenuhnya mengendalikan seksualitas manusia. Mereka membentuk ruang-ruang pelacuran dan rumah sakit jiwa bagi dorongan seks yang tak terkendalikan itu; dorongan-dorongan seks yang menyimpang itu: Kendati begitu kemunafikan terpaksa menerima beberapa kompromi. Jika berbagai seksualitas yang menyimpang itu memang tak terelakkan, biarlah gaduhnya terjadi di tempat lain: misalnya di tempat penyimpangan itu dapat diterima, kalaupun bukan di sektor produktif, paling tidak di sektor yang membawa untung. Rumah pelacuran dan rumah sakit jiwa adalah tempat yang mentolerir seksualitas menyimpang: pelacur, langganan dan mucikari, psikiater dan pasien perempuan yang histeris itu (…) tampaknya secara sembunyi-sembunyi telah mengalihkan kenikmatan itu, dari alam serba diam ke alam serba duit. (…) Di situ sajalah seks liar memiliki bentuk-bentuknya yang nyata namun dalam lingkungan yang sangat tertutup, dan boleh memiliki tipe-tipe wacana rahasia, terbatas, baku. Sementara itu, di tempat lain puritanisme modern mungkin telah memberlakukan trisabdanya: pantangan, ketiadaan, dan kebungkaman.15 Pemurnian seksualitas itu, menurut Foucault, menambah atau menciptakan profesionalitas baru pada profesi yang ada. Konsili (sidang para wali gereja untuk membuat keputusan tentang hal-hal yang doktrinal atau yang praktis) di Trente (1543- 1563) mendorong Gereja Katolik untuk menerbitkan buku panduan pengakuan dosa terkait dengan seksualitas secara lebih santun. Sebelum itu para pengaku dosa wajib menceritakan cara berhubungan seks yang dianggap sebagai dosa, yaitu yang tak langsung terkait dengan prokreasi (pembuahan): Misalnya evolusi pastoral Katolik dan sakramen pengakuan dosa setelah Konsili Trente. Pertanyaan-pertanyaan gamblang yang terdapat dalam buku panduan untuk pengakuan dosa pada Abad Pertengahan, dan juga, sebagian yang masih berlaku pada abad ke-17 ditutup-tutupi sedikit demi sedikit. Rincian seks yang masih dianggap perlu (…) untuk pengakuan dosa yang lengkap, justru dihindari: posisi pasangan, sikap yang diambil, berbagai gerak, sentuhan, saat klimaks―urutan sangat 14 Michel Foucault, 2000, Seks & Kekuasaan: Sejarah Seksualitas, Jakarta, Gramedia, hal. 1-2. 15 Ibid., hal. 3.


6 rinci dari sanggama yang sebenarnya. Kesantunan semakin tegas dianjurkan. Adapun dosa-dosa melanggar kesucian diungkapkan dengan sangat hati-hati.16 Walau demikian, catat Foucault: “Bahasa bisa saja dikendalikan, tetapi pengakuan dosa, apalagi pengakuan tentang berahi, terus-menerus bertambah dan meluas”.17 Jadi sejak itu muncul semacam “takut seks” (sex phobia), tapi dorongan untuk menuntaskanya tak bisa dibendung. Muncullah psikoanalisa sebagai sebuah sistem pengetahuan ilmiah dan profesi baru yang berbayar untuk menterapi para pasien yang histeris, karena tak kuat lagi menyimpan dorongan seksualitasnya di alam bawah sadar: Mungkin berkat jasa (Sigmund) Freud. Namun, lihat, betapa ragu-ragu dan berhatihati; lihat, bagaimana ilmu digunakan oleh pengikut Freud untuk mengurangi akibatnya, betapa orang berusaha agar hal-hal yang menyangkut seks tetap terkungkung, tanpa luapan tak terkendali, dan di dalam wilayah yang palin aman dan rahasia: di antara dipan psikiater dan wacana. Bukankah psikoanalisa juga adegan bisik-bisik di pembaringan yang mendatangkan untung?18 Begitulah bagi Foucault membebaskan atau mengatur bentuk-bentuk hubungan seks adalah praktek kekuasaan. Kekuasaan―sebagai wujud dari strategi dan taktik untuk mempengaruhi orang lain―bagi Foucault tak bisa dimiliki oleh subyek (penguasa) atau lembaga tertentu (negara). Menurutnya kekuasaan ada di mana-mana, bahkan ada pada mereka yang tertindas: “Kekuasaan ada di mana-mana; bukan karena mencakupi segalanya, namun karena datang dari mana-mana”.19 Itu sebabnya begitu kekuasaan agama dan negara merepresi libido tubuh, maka represi itu berubah menjadi wacana yang akan menghasilkan wacana-wacana lain berupa dogma-dogma agama tentang seksualitas, hukum negara tentang perkawinan, buku pedoman pengakuan dosa dan praktek pengakuan dosa, psikoanalisa yang menterapi histeria pasien, dan lokalisasi pelacuran untuk menampung seksualitas yang liar. Itu sebabnya, walau selama ini Gereja Katolik menentang homoseksualitas dan cenderung menganggapnya sebagai kelainan, pada tanggal 25 September 2023 yang lalu Paus Fransiskus menerbitkan surat yang menyatakan, bahwa Gereja Katolik boleh memberkati (bukan sakramen) pernikahan pasangan homoseksual.20 Dan buku Setio Boedi ini adalah salah satu wacana tentang hasrat libidinal yang direpresi demi kesakralan itu. Semoga banyak yang akan membaca buku ini. 16 Ibid., hal. 19. 17 Ibid. 18 Ibid., hal. 3-4. 19 Ibid., hal. 114. 20 “Paus Buka Peluang Pasangan Sesama Jenis Bisa Diberkati Gereja”, CNN.com, 6 Oktober 2023; https://www.cnnindonesia.com/internasional/20231006140806-134-1007994/paus-buka-peluangpasangan-sesama-jenis-bisa-diberkati-gereja; diunduh pada 11 Oktotber 2023.


Click to View FlipBook Version