The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Perpustakaan SMA Negeri 1 Mojo, 2019-03-07 02:12:13

Sthepenie Meyer - Breaking Dawn 04

Sthepenie Meyer - Breaking Dawn 04

Undang-undang Republik lndonesia Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta
Pasal 2:

1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak
Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul
secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pem-
batasan menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana:
Pasal 72:

2. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan
perbuatan sebagaimana dsmaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49
Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing
paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp
1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).

3. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,

atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran
hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Sekedear Berbagi Ilmu
&

Buku

Attention!!!
Please respect the author’s

copyright
and purchase a legal copy of

this book

AnesUlarNaga.
BlogSpot.
COM

ECLIPSE
by Stephenie Meyer
Copyright © 2007 by Stephenie Meyer
This edition published by arrangement with
Little, Brown and Company, New York,

New York, USA
All rights reserved.

GERHANA
Alih bahasa: Monica Dwi Chresnayani

Editor: Rosi L. Simamora
GM 312 08.039

ilustrasi cover oleh Dianing Ratri
Hak cipta terjemahan lndonesia:

PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Barat 33-37. Jakarta 10270

Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

anggota IKAPI
Jakarta. September 2008

Cetakan kedua: Oktober 2008
Cetakan ketiga: November 2008
Cetakan keempat: Desember 2008
Cetakan kelima: Desember 2008

688 hlm; 20 cm

ISBN-IO: 979 - 22 - 4052 - 7
ISBN-13: 978 - 979 - 22 - 4052 - 8

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan

1

Untuk suamiku, Pancho, atas kesabaran,
cinta, persahabatan, humor,

dan kerelaanmu makan di luar.
Dan juga untuk anak-anakku, Cabe, Seth, dan Eli,
karena telah memberiku kesempatan merasakan cinta
yang begitu besar hingga siapa pun rela mati demi

mendapatkannya.

2

Ucapan Terima Kasih

Keliru besar bila aku tidak mengucapkan terima kasih
pada banyak orang yang telah membantuku melewati proses
panjang lahirnya novel ini.

Kedua orangtuaku yang selama ini menjadi kekuatanku;
entah bagaimana orang bisa melakukannya tanpa nasihat bijak
ayah dan penghiburan ibu di kala sedih.

Suami dan anak-anak lelakiku yang luar biasa tabah
dalam menjalani proses lama yang menyiksa ini-orang lain
mungkin sudah membawaku ke rumah sakit jiwa sejak lama.
Terima kasih karena mempertahankan aku, guys.

Elizabeth-ku-Elizabeth Eulberg, Publicist luar biasa-yang
berhasil mempertahankan kewarasanku dalam segala situasi.
Sedikit sekali orang yang beruntung bisa bekerja sama dengan
sobat kental mereka, dan aku selamanya bersyukur atas
kehangatan cewek-cewek Midwesrern penggila keju.

Jodi Reamer yang terus membimbing karierku dengan
genius dan cerdas. Sungguh menenangkan mengetahui aku
diurus dengan baik.

Aku bersyukur naskahku berada di tangan yang tepat.
Terima kasihku untuk Rebecca Davis yang sangat memahami
kisah dalam imajinasiku dan membantuku mencari jalan
terbaik untuk mengekspresikannya.

Terima kasih kepada Megan Tingley, pertama unruk
keyakinanmu yang gigih atas karyaku, dan kedua karena telah
memoles karya itu sedemikian rupa hingga berkilau.

Semua pihak di Little, Brown and Company Books for
Young Readers yang telah menangani karyaku dengan begitu
luar biasa. Jelas sekali ini hasil kerja keras yang berlandaskan
kasih sayang bagi kalian semua, dan aku menghargainya lebih.

3

dari yang kalian ketahui. Terima kasih kepada Chris Murphy,
Shawn Foster, Andrew Smith, Stephanie Voros, Gail Doobinin,
Tina Mclntyre, Ames O'Neill, dan banyak lagi yang telah
membuat serial Twilight ini sukses.

Sungguh beruntung aku menemukan Lori Jolfs, yang
entah bagaimana bisa menjadi pembaca tercepat sekaligus
yang paling teliti. Aku senang sekali mempunyai teman dan
sekutu yang cerdas, berbakat, dan sabar mendengarkan
keluhan-keluhanku.

Lori Jofrs lagi, juga Laura Cristiano, Michaela Child,
dan Ted Jafrs, yang telah menciptakan dan menjalankan
binrang palmg terang dalam jagat raya maya Twilighr,
Twilight Lexicon. Aku benar-benar menghargai semua kerja
keras kalian menyediakan tempat yang menyenangkan bagI
para penggemarku untuk berkumpul, Terima kasih untuk
teman-teman mrernasionalku di Crepusculo-es.com untuk
situs yang begitu menakjubkan hingga mampu
menjembatani jurang bahasa.

Salamku juga untuk Brittany Gardener atas hasil
karyanya yang luar biasa di situs Twilight and New Moon by
Stephenie Meyer MySpace Group. situs penggemar yang
saking besarnya membuatku kewalahan bila harus
menanganinya sendirian;

Brittany, kau membuatku takjub.

Kane dan Audrey, Belia Penombra benar-benar indah,
Heather, Nexus-mu keren.

Aku tak bisa menyebutkan semua situs dan para
pembuatnya di sini, tapi terima kasih banyak untuk kalian
semua.

Terima kasih sedalam nya untuk para pembaca seriaku,
Laura Cristiano, Michelle Vieira, Bridget Crevisron, dan
Kimberlee Peterson,atas masukan yang sangat berharga
serta antusiasme yang menyemangati.

4

Setiap penulis membutuhkan toko buku independen
untuk dijadikan sahabat; aku sangat bersyukur untuk para
pendukung di kampung halamanku di Changing Hands
Bookstore di Tempe, Arizona, dan terutama untuk Faich
Hochhalrer, yang memiliki selera tinggi dal.am literatur.

Aku berutang budi pada kalian, dewa-dewa rock Muse,
atas. lagi-lagi, album kalian yang penuh inspirasi.

Aku juga sangat berterima kasih pada band-band lain
dalam playlist-ku yang membanruku mengatasi kebuntuan
saat menulis, dan untuk penemuan baruku, Ok Go, Gomez,
Placebo, Blue October, dan Jack's Mannequin.

Dan yang paling utama, terima kasih setinggi-tingginya
untuk semua penggemarku.

Aku yakin sekali para penggemarku adalah penggemar
paling menarik, intelek, penuh semangat. dan berdedikasi di
seluruh dunia.

Kalau saja aku bisa memeluk dan memberi kalian
masing-masing Porsche 911 Turbo.

5

DAFTAR ISI

UCAPAN TERIMA KASIH .................................................................................... 3
DAFTAR ISI........................................................................................................ 6
PENDAHULUAN................................................................................................. 9
1. ULTIMATUM ................................................................................................10
2. MENGHINDAR..............................................................................................42
3. MOTIF..........................................................................................................73
4. ALAM...........................................................................................................99
5. IMPRINT ....................................................................................................120
6. SWISS ........................................................................................................138
7. AKHIR YANG MENYEDIHKAN ......................................................................160
8. AMARAH....................................................................................................180
9. TARGET......................................................................................................204
10. BAU .........................................................................................................221
11. LEGENDA..................................................................................................246
12. WAKTU ....................................................................................................274
13. VAMPIR BARU..........................................................................................294
14. DEKLA RASI ..............................................................................................316
15. TARUHAN.................................................................................................334
16. HARI YANG PENTING ................................................................................353
17. SEKUTU....................................................................................................373
18. INSTRUKSI................................................................................................392
19. EGOIS.......................................................................................................420
20. KOMPROMI..............................................................................................445
21. JEJAK-JEJAK ..............................................................................................473

6

22. API DAN ES...............................................................................................501
23. MONSTER ................................................................................................520
24. KEPUTUSAN KILAT....................................................................................546
25. CERMIN....................................................................................................569
26. ETIKA .......................................................................................................595
27. KEBUTUHAN.............................................................................................620
EPILOG – PILIHAN...........................................................................................636
SELESAI..........................................................................................................644

7

FlRE and ICE
Some say the world will end in fire

some say in ice.
From what I've tasted of desire
I hold with those who Javor fire.

But if it had to perish twice,
I think I know enough of hate
To say that Jor destruction ice

Is also great
And would suffice.

Robert Frost

8

PENDAHULUAN

SEMUA usaha kami untuk berdalih sia-sia belaka.
Dengan hari dingin dicekam ketakutan, kulihat ia bersiap-siap
membelaku. Konsentrasinya yang intens tak menunjukkan sedikit
pun keraguan, meskipun ia kalah jumlah. Aku tahu kami tak bisa
mengharapkan bantuan saat ini, keluarganya sedang berjuang
mati-matian mempertahankan nyawa mereka, seperti yang ia lakukan
untuk kami.
Apakah aku akan mengetahui hasil pertempuran lainnya.
Mengetahui siapa yang menang dan siapa yang kalah. Masih
hidupkah aku sehingga bisa mengetahuinya?
Peluangnya tidak begitu menggembirakan.
Mata hitam, liar dengan nafsu menggelora untuk membunuhku,
mencari-cari peluang ketika pelindungku lengah. Momen saat aku
pasti bakal mati.
Nun jauh di sana, di dalam hutan yang dingin, seekor serigala
melolong.

9

1. ULTIMATUM

Bella...

Aku tidak mengerti kenapa kau repot-repot menitipkan pesan pada
Charlie untuk disampaikan ke Billy, seperti anak SD saja. Kalau aku memang
mau bicara denganmu aku kan tinggal menerima

Kau sendiri kan yang sudah menetapkan pilihan. Kau tidak bisa
memilih dua-duanya kalau

Bagian mana dari "musuh bebuyutan" yang terlalu rumit bagimu
untuk...

Begini, aku tau sikapku ini menyebalkan, tapi tidak ada jalan lain.

Kita tidak bisa berteman kalau kau tetap bergaul dengan segerombolan..

Keadaan akan lebih susah kalau aku terlalu sering memikirkanmu, jadi
jangan menulis surat lagi

Yeah, aku juga kangen padamu. Sangat. Tapi tidak mengubah keadaan.
Maaf.

Jacob

AKU meraba kertas itu, merasakan lekukan-lekukan tempat
Jacob menekankan bolpoinnya begitu kuat sampai kertasnya nyaris
robek, Aku bisa membayangkan ia menuliskannya menggoreskan
kalimat-kalimat bernada marah itu dengan tulisan tangannya yang
kasar, mencoret kalimat demi kalimat ketika kata-kata yang tertulis
ternyata salah, mungkin bahkan mematahkan bolpoinnya dengan
tangannya yang kelewat besar itu: tidak heran kertasnya berlepotan
tinta begini. Aku bisa membayangkan perasaan frustrasi membuat
alis hitamnya bertaut dan keningnya berkerut. Seandainya ada di
sana, aku pasti sudah tertawa terbahak-bahak. Jangan sampai kau
kena perdarahan otak, Jacob, aku akan berkara begitu padanya.
Keluarkan saja semua unek-unekmu.

10

Tapi sekarang aku sama sekali tak ingin tertawa, saat membaca
kembali kata-kata yang sudah kuhafal luar kepala itu, Jawabannya
terhadap pesan mengiba-iba yang kukirimkan kutitipkan lewat
Charlie untuk disampaikan kepada Billy dan lalu pada Jacob, seperti
anak SD, seperti katanya dalam surat – tidaklah mengejutkan. Aku
sudah tahu inti surat ini sebelum membukanya. Yang mengejutkan
adalah betapa besarnya setiap kata yang dicoret itu melukai hariku
seakan-akan setiap hurufnya tajam-tajam. Lebih lagi, di balik setiap
permulaan kalimat yang bernada marah tersimpan perasaan sakit
hati; kepedihan Jacob mengoyak-ngoyak hariku lebih dalam daripada
kepedihanku sendiri.

Saat memikirkan ini hidungku mencium bau yang tidak salah
lagi bau gosong yang menyeruak dari arah dapur. Di rumah lain,
fakta ada orang lain selain aku yang memasak mungkin tidak akan
menyebabkan kepanikan.

Aku menjejalkan kertas lecek itu kembali ke saku belakang
celana dan berlari, dan dalam sekejap sudah sampai di lantai bawah.

Stoples berisi saus spageti yang dimasukkan Charlie ke
microwave baru berputar sekali waktu aku menyentakkan pintunya
hingga terbuka dan mengeluarkan stoples itu.

"Lho, apa salahku?" tuntut Charlie.

"Buka dulu tutupnya, Dad. Logam tidak bisa dimasukkan ke
microwave.”

Sambil bicara, dengan cekatan aku membuka tutup stoples,
menuangkan setengah isinya ke mangkuk, kemudian memasukkan
mangkuk itu ke microwave dan stoples ke kulkas; kuprogram lagi
waktunya dan kutekan tombol start.

Charlie memerhatikan kesibukanku dengan bibir mengerucut.
"Apa aku memasak spagetinya dengan benar?"

Aku melongok ke panci di atas kompor – sumber bau yang
membuatku panik tadi. "Perlu diaduk.” kataku kalem,

11

Aku meraih sendok dan berusaha melepaskan gumpalan spageti
lengket yang menempel di dasar panci.

Charlie mendesah.

”Ada apa ini?" tanyaku.

Charlie bersedekap dan memandang ke luar jendela belakang,
ke hujan yang turun deras. “Aku tidak mengerti maksudmu.”
gerutunya.

Aku keheranan. Charlie memasak? Dan kenapa sikapnya masam
begitu? Edward kan belum datang; biasanya ayahku menyimpan
sikap itu khusus untuk pacarku, sebisa mungkin berusaha
menunjukkan sikap, "kau tidak diterima” dalam setiap kata dan
tindak-tanduknya. Usaha Charlie itu sebenarnya tidak perlu –
Edward tahu persis apa yang dipikirkan ayahku tanpa ia perlu
repot-repot menunjukkannya.

Sambil mengaduk aku memikirkan istilah "pacar" dengan
perasaan tegang dan tidak suka. Itu bukan istilah yang tepat, sama
sekali tidak tepat. Aku membutuhkan istilah lain yang lebih ekspresif
untuk menggambarkan komitmen abadi ... Tapi istilah takdir
kedengarannya konyol bila digunakan dalam percakapan sehari-hari.

Edward punya istilah lain, dan istilah itulah yang menjadi
sumber ketegangan yang kurasakan. Memikirkannya saja sudah
membuatku kalang kabut.

Tunangan. Ugh. Aku bergidik membayangkannya.

"Memangnya ada apa? Kenapa tiba-tiba Dad masak sendiri?"
tanyaku. Gumpalan pasta timbul-tenggelam di air mendidih waktu
kutusuk-tusuk. "Atau mencoba masak sendiri, mungkin lebih tepat
begitu."

Charlie mengangkat bahu. "Tak ada hukum yang mengatakan
aku tak boleh masak di rumahku sendiri."

"Soal itu memang Dad yang paling tahu.” sahutku, tersenyum

12

sambil melirik lencana yang tersemat di jaket kulitnya.

"Ha. Lucu juga.” Charlie melepas jaketnya seolah-olah lirikanku
tadi mengingatkannya bahwa ia masih mengenakan jaket, lalu
menggantungnya di gantungan khusus untuk perlengkapan kerjanya.
Sabuk pistolnya sudah tergantung di tempat – sudah
berminggu-minggu, Charlie tidak merasa perlu memakainya lagi.
Tidak ada lagi kasus orang-orang hilang yang mengganggu
ketenteraman kota kecil Forks, Washington, tidak ada lagi yang
mengaku melihat serigala-serigala raksasa misterius di hutan yang
selalu berhujan ....

Kutusuk-tusuk spageti itu sambil berdiam diri, menduga dalam
hati, cepat atau lambat Charlie pasti akan mulai mengeluarkan
unek-uneknya. Ayahku bukan tipe orang yang banyak bicara, dan
usahanya memasak makan malam sendiri mengisyaratkan pasti ada
sesuatu yang mengganggu pikirannya.

Mataku lagi-lagi melirik jam dinding – sesuatu yang kulakukan
beberapa menit sekali. Kurang dari setengah jam lagi sekarang.

Sore hari merupakan bagian terberat dalam hari-hariku. Sejak
mantan sahabatku (dan werewolf), Jacob Black, membocorkan rahasia
bahwa selama ini aku diam-diam naik sepeda motor – pengkhianatan
yang sengaja dilakukannya supaya aku dihukum sehingga tak bisa
menghabiskan waktu dengan pacarku (dan vampir), Edward Cullen –
Edward hanya diizinkan menemuiku dari jam tujuh sampai setengah
sepuluh malam, selalu di rumah dan di bawah pengawasan ayahku
yang memandang garang.

Ini bentuk hukuman baru yang sedikit lebih berat daripada
hukuman sebelumnya yang kudapat gara-gara menghilang selama
tiga hari tanpa penjelasan dan satu kejadian ketika aku terjun bebas
dari puncak tebing.

Tentu saja aku masih bisa bertemu Edward di sekolah, karena
tak ada yang bisa dilakukan Charlie untuk mencegahnya. Dan
Edward juga melewatkan hampir setiap malam di kamarku, tapi

13

tentu saja tanpa sepengetahuan Charlie. Kemampuan Edward
memanjat dengan mudah dan tanpa suara ke jendela kamarku. di
lantai dua sama bergunanya dengan kemampuannya membaca
pikiran Charlie.

Walaupun aku hanya tidak bertemu Edward pada sore hari, itu
sudah cukup membuatku gelisah, dan waktu rasanya selalu berjalan
sangat lambat. Meski begitu aku menjalani hukumanku tanpa
mengeluh karena – pertama – aku tahu aku memang pantas
mendapatkannya, dan – kedua – karena aku tak tega menyakiti hati
ayahku dengan pindah sekarang, di saat perpisahan yang jauh lebih
permanen sudah menanti, tak bisa dilihat Charlie, tapi begitu dekat di
pelupuk mataku.

Ayahku duduk di meja sambil menggeram dan membuka
lipatan koran yang lembab; beberapa detik kemudian ia. sudah
mendecak-decakkan lidah dengan sikap tidak suka.

"Entah kenapa kau masih membaca koran, Dad, kalau itu hanya
.. membuatmu kesal.”

Charlie mengabaikanku, lalu mengomeli koran di tangannya.
"Inilah sebabnya orang senang tinggal di kota kecil! Konyol."

"Memang apa salahnya kalau di kota besar?”

"Seattle terancam menjadi kota yang angka pembunuhannya
paling tinggi di negara ini. Lima kasus pembunuhan dalam dua
minggu terakhir. Terbayang tidak, hidup seperti itu?"

"Kurasa kasus pembunuhan di Phoenix malah lebih tinggi lagi,
Dad. Aku pernah hidup seperti itu.” Dan aku baru terancam menjadi
korban pembunuhan setelah pindah ke kota kecilnya yang aman ini.
Faktanya, sekarang pun aku masih jadi target pembunuhan beberapa
pihak .... Sendok bergoyang di tanganku, membuat airnya bergetar.

"Well, dibayar berapa pun aku tidak akan mau.” tukas Charlie.

Aku menyerah, tak mampu lagi menyelamatkan makan malam,
dan memutuskan menghidangkannya saja; aku terpaksa

14

menggunakan pisau steak untuk memotong seporsi spageti untuk
Charlie dan untukku sendiri, sementara Charlie memerhatikan
dengan ekspresi malu. Charlie melapisi spageti bagiannya dengan
saus dan langsung menyendoknya. Aku menutupi gumpalan pasta
bagianku sebaik mungkin dengan saus dan ikut makan tanpa sedikit
pun merasa antusias. Sejenak kami makan sambil berdiam diri,
Charlie masih menyimak berita di koran, jadi kuambil lagi Wuthering
Heights-ku yang tadi kubaca saat sarapan, berusaha menenggelamkan
diri dalam kisah peralihan abad di Inggris sambil menunggu Charlie
bicara.

Aku baru sampai ke bagian ketika Heathcliff kembali waktu
Charlie berdeham-deham dan melempar korannya ke lantai.

"Kau benar.” kara Charlie. “Aku memang punya alasan
melakukan ini.” Ia melambaikan garpu ke hidangan lengket di
hadapannya. "Aku ingin bicara denganmu."

Kusingkirkan bukuku; jilidnya sudah lepas hingga buku itu
langsung terkulai lemas di meja. "Dad kan bisa langsung mengajakku
bicara saja."

Charlie mengangguk, alisnya bertaut, "Yeah. Iain kali akan
kuingat. Kupikir dengan memasakkan makan malam bisa
meluluhkan hatimu."

Aku tertawa. "Memang berhasil – kemampuan Dad memasak
membuatku lembek seperti marshmallow. Dad mau membicarakan
apa?"

"Well, ini soal Jacob.”

Aku merasa wajahku mengeras. "Memangnya kenapa ?”
tanyaku dengan bibir kaku.

"Tenang, Bells. Aku tahu kau masih kesal padanya karena
mengadukan ulahmu padaku, tapi tindakannya itu benar. Itu
namanya bertanggung jawab."

"Tanggung jawab apa.” sergahku sengit, memutar bola mata.

15

"Yang benar saja. Memangnya ada apa dengan Jacob?"

Pertanyaan itu kuulang lagi dalam benakku, sama sekali bukan
pertanyaan sepele. Memangnya ada apa dengan Jacob? Aku harus
bagaimana lagi menghadapi dia? Mantan sahabatku yang sekarang ..
apa Musuhku? Aku meringis.

Wajah Charlie mendadak kecut. "Jangan marah padanya, oke?"

"Marah?"

"Well, ini tentang Edward juga.”

Mataku menyipit.

Suara Charlie semakin serak. ”Aku mengizinkannya datang ke
sini, kan ?”

"Ya, memang.” aku mengakui. "Tapi hanya sebentar. Tentu saja,
sesekali Dad mungkin bisa mengizinkan aku keluar rumah sebentar.”
Aku melanjutkan – hanya bercanda; soalnya aku tahu aku tidak boleh
keluar rumah sampai akhir tahun ajaran. "Belakangan ini kan aku
sudah bersikap baik.”

"Well, sebenarnya itu juga tujuanku mengajakmu bicara.”

Kemudian wajah Charlie mendadak merekah membentuk
senyuman lebar; sesaat ia tampak seolah-olah dua puluh tahun lebih
muda.

Aku melihat secercah kemungkinan dalam seringaian lebar itu,
tapi aku tidak mau keburu senang. "Aku bingung, Dad. Kita sedang
membicarakan Jacob, Edward, atau aku yang dihukum tidak boleh
keluar rumah?"

Seringaian lebar itu muncul lagi. "Bisa dibilang tigatiganya."

"Lantas, bagaimana ketiganya bisa saling berhubungan?"
tanyaku, hati-hati,

"Oke.” Charlie mendesah, mengangkat tangan seperti menyerah.
"Kupikir, mungkin kau pantas mendapat pembebasan bersyarat

16

karena telah berkelakuan baik. Sebagai remaja, kau luar biasa karena
menjalani hukuman tanpa mengeluh."

Suara dan alisku serta-merta terangkat. "Sungguh? Aku bebas?"

Bagaimana bisa Padahal aku yakin akan dikurung di rumah
sampai benar-benar pindah dari sini. Apalagi Edward tidak
menangkap sinyal-sinyal keraguan dalam pikiran Charlie ...

Charlie mengacungkan telunjuknya. "Dengan satu syarat."
Antusiasmeku langsung lenyap.

"Fantastis.” erangku.

"Bella, lebih tepat bila ini dibilang permintaan, bukan tuntutan,
oke? Kau bebas. Tapi harapanku, kau akan menggunakan kebebasan
itu .. secara bijaksana."

"Maksudnya?”

Lagi-lagi Charlie mendesah. "Aku tahu kau sudah cukup puas
menghabiskan seluruh waktumu dengan Edward ..”

"Aku juga berteman dengan Alice.” selaku. Saudara perempuan
Edward itu bebas datang ke rumahku kapan saja, tanpa batasan; dia
bisa datang dan pergi semaunya, Charlie tidak bisa berbuat apa-apa
kalau berhadapan dengan Alice.

"Memang benar.” kata Charlie. "Tapi kau punya temanteman
lain selain anggota keluarga Cullen, Bella. Atau dulu kau begitu.”

Kami berpandang-pandangan lama sekali.

"Kapan terakhir kau ngobrol dengan Angela Weber?" tantang
Charlie.

"Hari Jumat waktu makan siang.” jawabku langsung.

Sebelum kepulangan Edward, teman-teman sekolahku sudah
terbagi dalam dua kelompok. Aku menyebutnya kelompok baik vs
kelompok jahat. Atau kelompok kami dan mereka. Yang masuk
kelompok baik adalah Angela dan pacarnya, Ben Cheney, serta Mike

17

Newton; mereka dengan murah hati memaafkan kelakuanku yang
berubah sinting waktu Edward pergi. Iauren Mallory adalah sumber
kejahatan di kelompok mereka, dan hampir semua temanku yang
lain, termasuk teman pertamaku di Forks, Jessica Stanley, yang
sepertinya tetap menjalankan agenda anti Bella.

Dengan kembalinya Edward, garis pemisah di antara kedua
kubu semakin terlihat jelas.

Kembalinya Edward membuat Mike agak menjauhiku, tapi
Angela tetap setia padaku, sementara Ben ikut saja dengannya. Meski
ada sikap segan alami yang dirasakan sebagian besar manusia
terhadap keluarga Cullen, namun dengan tenangnya Angela duduk
di sebelah Alice setiap hari saat jam makan siang. Tapi setelah
beberapa minggu, Angela bahkan terlihat nyaman di sana. Sulit untuk
tidak terpesona pada keluarga Cullen – asalkan mereka diberi
kesempatan untuk bersikap memesona.

"Di luar sekolah?” tanya Charlie, menggugah perhatianku lagi.

"Aku tidak pernah bertemu siapa-siapa di luar sekolah, Dad.
Aku dihukum, ingat? Dan Angela juga punya pacar. Dia selalu
bersama Ben. Kalau aku benar-benar bebas.” aku menambahkan
dengan sikap skeptis, "mungkin kami bisa kencan ganda.”

"Oke, Tapi...” Charlie ragu,ragu sejenak, "Kau dan Jake dulu kan
akrab sekali, tapi sekarang ”

Aku langsung memotong perkataannya. "Bisa langsung ke
pokok masalah, Dad? Apa persyaratan Dad – sebenarnya?"

"Menurutku, tidak seharusnya kau melupakan semua temanmu
hanya karena kau sudah punya pacar, Bella.” kata Charlie tegas. "Itu
tidak baik, dan kurasa hidupmu akan lebih seimbang kalau kau juga
berhubungan dengan orang-orang lain. Yang terjadi bulan September
waktu itu...”

Aku terkesiap.

"Well.” sergah Charlie dengan, sikap defensif. "Kalau kau punya

18

kehidupan lain di luar Edward Cullen, mungkin kejadiannya tidak
akan seperti waktu itu."

"Jadinya akan persis seperti waktu itu."

"Mungkin, tapi mungkin juga tidak.”

"Intinya?" aku mengingatkan Charlie.

"Gunakan kebebasan barumu untuk menemui temantemanmu
yang lain juga. Bersikaplah seimbang."

Aku mengangguk lambat-lambat. "Keseimbangan memang
perlu. Apa aku juga diwajibkan memenuhi kuota waktu tertentu?”

Charlie mengernyitkan wajah, tapi menggeleng. "Tidak usah
yang rumit-rumit, Yang penting jangan lupakan teman-temanmu ....”

Itu dilema yang sedang kuhadapi. Teman-temanku.
Orang-orang yang demi keselamatan mereka sendiri, takkan bisa
kutemui lagi setelah lulus nanti.

Jadi apa yang sebaiknya kulakukan? Menghabiskan waktu
bersama mereka selagi bisa? Atau memulai perpisahan sejak sekarang
secara berangsur-angsur? Gentar juga aku membayangkan pilihan
kedua.

“...terutama Jacob.” imbuh Charlie sebelum aku sempat
berpikir lebih jauh lagi.

Itu dilema yang lebih besar lagi. Butuh beberapa saat sebelum
menemukan kata-kata yang tepat. "Jacob mungkin akan ... sulit.”

"Keluarga Black sudah seperti keluarga kira sendiri, Bella.” kata
Charlie, nadanya kembali tegas dan kebapakan. "Dan selama ini Jacob
sudah menjadi teman yang sangat, sangat baik bagimu.”

"Aku tahu itu."

"Memangnya kau tidak kangen sama sekali padanya?” tanya
Charlie, frustrasi.

Tenggorokanku mendadak bagai tersumbat; aku harus menelan

19

dua kali sebelum menjawab. "Ya, aku kangen padanya.” aku
mengakui, tetap menunduk. "Aku kangen sekali padanya.”

"Jadi, apa sulitnya?"

Aku tak bisa menjelaskan alasannya. Tak seharusnya
orang-orang normal – manusia biasa seperti aku dan Charlie

– mengetahui tentang dunia rahasia yang penuh mitos dan
monster yang diam-diam ada di sekitar kami. Aku kenal benar dunia
itu – dan akibatnya aku terlibat masalah yang tidak kecil. Aku tak
ingin Charlie terlibat dalam masalah yang sama.

"Dengan Jacob ada sedikit... konflik.” kataku lambatlambat.
"Konflik soal persahabatan itu sendiri, maksudku. Persahabatan
tampaknya tidak cukup bagi Jake.” Aku menyodorkan alasan
berdasarkan detail-detail yang meskipun benar tapi tidak signifikan,
nyaris tidak krusial dibandingkan fakta bahwa kawanan werewolf.
Jacob sangat membenci keluarga vampir Edward – dan dengan
demikian membenciku juga, karena aku benar-benar ingin bergabung
dengan keluarga itu. Itu bukan masalah yang bisa dibereskan hanya
dengan mengirim pesan, apalagi Jacob tidak mau menerima
teleponku. Tapi rencanaku untuk bertemu langsung si werewolf
ternyata tidak disetujui para vampir.

“Apa Edward tidak bisa bersaing secara sehat?" suara Charlie
terdengar sarkasris sekarang,

Kulayangkan pandangan sengit padanya. "Tidak ada persaingan
kok."

"Kau melukai perasaan Jake, menghindarinya seperti ini, Dia
lebih suka menjadi teman daripada tidak menjadi apaapa."

Oh, jadi sekarang aku yang menghindari dia?

"Aku sangat yakin Jake tidak mau, menjadi teman sama sekali.”
Kata-kata itu membakar mulutku. "Omong-omong, dari mana Dad
mendapat pikiran seperti itu?"

20

Sekarang Charlie tampak malu. "Yah, dari omong~omong
dengan Billy hari ini tadi...”

"Dad dan Billy bergosip seperti perempuan tua.” keluhku,
menusukkan garpu dengan ganas ke gumpalan spagetiku.

"Billy khawatir memikirkan Jacob.” kata Charlie. "Jake sedang
mengalami masa sulit sekarang.... Dia depresi.”

Aku meringis, namun tetap mengarahkan mataku ke piring.

"Dan dulu kau selalu terlihat sangar bahagia sehabis bertemu
Jake.” Charlie mengembuskan napas.

"Aku bahagia sekarang.” geramku garang dari sela-sela gigi.
Kontrasnya pernyataanku dengan nada suaraku memecah
ketegangan. Tawa Charlie meledak dan aku ikutikutan tertawa.

"Oke, oke.” aku setuju. "Seimbang.”

"Dan Jacob.” desak Charlie.

"Akan kucoba.”

"Bagus. Temukan keseimbangan itu, Bella. Dan, oh, ya, kau
dapat surat.” kara Charlie, berlagak lupa. "Kutaruh di dekat kompor."

Aku bergeming, pikiranku kusut memikirkan Jacob.
Paling-paling kiriman brosur promosi dan semacamnya; kemarin aku
baru mendapat kiriman paket dari ibuku, jadi tidak ada kiriman lain
yang kutunggu.

Charlie mendorong kursinya menjauhi meja, lalu berdiri dan
meregangkan otot-ototnya. Ia membawa piringnya ke bak cuci, tapi
sebelum menyalakan keran untuk membilasnya, berhenti sebentar
untuk melemparkan amplop tebal itu ke arahku. Amplop itu
meluncur melintasi meja makan dan membentur sikuku.

"Eh, trims.” gumamku, bingung melihat sikap Charlie yang
begitu gigih ingin agar aku segera membuka surat ini. Baru kemudian
kulihat alamat pengirimnya – University of Alaska Southeast. "Cepat
juga. Padahal kupikir batas waktunya sudah lewat."

21

Charlie terkekeh.

Aku membalik amplop lalu mendongak dan menatap Charlie
dengan garang. "Kok sudah dibuka?"

"Aku penasaran.”

"Aku syok, Sherrif. Itu kejahatan serius."

"Oh, baca sajalah."

Kukeluarkan surat itu dari amplop beserta jadwal kuliah yang
terlipat.

"Selamat.” kara Charlie sebelum aku sempat membaca isinya.
"Surat penerimaanmu yang pertama.”

"Trims, Dad.”

"Kira harus membicarakan masalah uang kuliah. Aku punya
sedikit tabungan...”

"Hei, hei, tidak usah, Aku tidak mau menyentuh uang
pensiunmu, Dad. Aku kan sudah punya dana kuliah.” Yang masih
tersisa dari dana kuliah – dan jumlah awalnya memang tidak
seberapa.

Kening Charlie berkerut. "Beberapa universitas menetapkan
uang masuk yang lumayan mahal, Bells. Aku ingin membantu. Kau
tidak perlu pergi jauh-jauh ke Alaska hanya karena di sana biayanya
lebih murah.”

Bukan karena lebih murah, sama sekali bukan. Tapi karena
jaraknya sangat jauh, dan karena Juneau memiliki jumlah hari
mendung rata-rata 321 hari dalam setahun. Yang pertama adalah
persyaratanku, yang kedua persyaratan Edward.

"Uangku cukup kok. lagi pula banyak bantuan keuangan yang
tersedia. Jadi mudah saja mendapat pinjaman.” Mudah-mudahan
gertakanku mempan. Soalnya aku belum benar-benar mencari tahu
mengenai hal itu.

22

"Jadi...” Charlie memulai, tapi kemudian mengerucutkan bibir
dan membuang muka.

“Jadi apa?”

"Tidak apa-apa. Aku hanya...” Keningnya berkerut. "Aku hanya
ingin tahu ... apa rencana Edward untuk tahun depan?"

"Oh.”

"Well?"

Tiga ketukan cepat di pintu menyelamatkanku. Charlie memutar
bola matanya dan aku melompat berdiri.

"Tunggu sebentar!" seruku sementara Charlie menggumamkan
sesuatu yang kedengarannya seperti, "Pergi sana". Aku tidak
menggubrisnya dan berlari membukakan pintu bagi Edward.

Kurenggut pintu hingga terbuka – dengan sangat bersemangat –
dan kulihat ia berdiri di sana, mukjizat pribadiku.

Waktu tidak membuatku kebal terhadap kesempurnaan
wajahnya, dan aku yakin tidak akan pernah menganggap sepele
aspek apa pun yang ada dalam dirinya. Mataku menyusuri garis-garis
wajahnya yang putih: rahang perseginya yang kokoh, lekuk bibir
penuhnya yang lembut – bibir itu sekarang menekuk membentuk
senyuman, garis hidungnya yang lurus, tulang pipinya yang tajam
mencuat, dahinya yang mulus seperti marmer-agak tersembunyi di
balik rambut tembaga yang gelap akibat hujan ....

Aku sengaja menyisakan matanya untuk kulihat terakhir, tahu
saat aku menatapnya nanti, besar kemungkinan pikiranku akan
melantur sejenak. Mata itu lebar, hangat seperti emas cair, dan
dibingkai bulu mata hitam tebal. Menatap matanya selalu
membuatku merasa luar biasa – seolah-olah tulangku berubah jadi
spons. Kepalaku juga sedikit ringan, tapi bisa jadi itu karena aku lupa
menarik napas. lagi.

Cowok mana pun di dunia ini pasti rela menukar jiwa mereka

23

untuk mendapatkan wajah setampan itu. Tentu saja, bisa jadi
memang itulah harga yang harus dibayar: jiwa manusia.

Tidak. Aku tidak memercayai hal itu. Bahkan memikirkannya
saja sudah membuatku merasa bersalah, dan merasa senang – seperti
yang sering kali kurasakan – karena akulah satu-satunya manusia
yang pikirannya tak bisa dibaca Edward.

Kuraih tangannya, dan mendesah ketika jari-jarinya yang dingin
menggenggam tanganku. Sentuhannya membawa kelegaan yang
sangat aneh – seolah-olah tadi aku merasa kesakitan dan perasaan
sakit itu mendadak lenyap.

"Hai,” Aku tersenyum kecil mendengar sapaanku yang
antiklimaks.

Edward mengangkat tangan kami yang saling bertaut dan
membelai pipiku dengan punggung tangannya. "Bagaimana soremu?"

"Lamban.”

"Begitu juga aku.”

Edward menarik pergelangan tanganku ke wajahnya, tangan
kami masih bertaut. Matanya terpejam sementara hidungnya
menjalari kulit tanganku, dan ia, tersenyum lembut tanpa membuka
mata. Menikmati hidangan tapi menolak anggurnya, begitu Edward
pernah mengistilahkan.

Aku tahu bau darahku – jauh lebih manis baginya dibandingkan
darah manusia lain, benar-benar seperti anggur disandingkan dengan
air bagi pencandu alkohol – membuatnya tersiksa dahaga luar biasa.
Tapi sepertinya ia tidak menjauhinya lagi sesering dulu. Samar-samar
aku hanya bisa membayangkan betapa luar biasa usaha Edward
menahan diri di balik tindakan yang sederhana ini.

Lalu aku mendengar langkah-langkah Charlie mendekat,
mengentak-entak seolah ingin menunjukkan perasaan tidak sukanya
pada tamu kami. Mata Edward langsung terbuka dan ia membiarkan
tangan kami jatuh, tapi tetap saling bertaut.

24

"Selamat malam, Charlie,” Edward selalu bersikap sangat sopan,
walaupun Charlie tak pantas mendapat perlakuan sebaik itu.

Charlie menjawab dengan geraman, lalu berdiri di sana sambil
bersedekap. Belakangan ia benar-benar ekstrem menjalankan peran
sebagai orangtua yang mengawasi gerak-gerik anaknya.

"Aku membawa beberapa formulir pendaftaran lagi,” kara
Edward sambil mengacungkan amplop manila yang tampak
menggembung. Di kelingkingnya melingkar sebaris prangko.

Aku mengerang. Memangnya masih ada kampus yang
membuka pendaftaran dan ia belum memaksaku mendaftar ke sana?
Dan bagaimana ia bisa menemukan kampuskampus yang masih
membuka pendaftaran? Padahal sekarang sudah sangat terlambat.

Edward tersenyum seolah-olah bisa membaca pikiranku, pasti
karena ekspresiku menyiratkan keheranan. “Ada beberapa kampus
yang masih membuka pendaftaran. Beberapa lagi bersedia memberi
pengecualian.”

Aku hanya bisa membayangkan motivasi di balik pengecualian
semacam itu. Serta jumlah uang yang terlibat.

Edward tertawa melihat ekspresiku.

"Bagaimana, setuju?” tanyanya, menyeretku ke meja dapur.

Charlie mendengus dan menguntit di belakang, walaupun tentu
saja ia tak bisa memprotes aktivitas malam ini. Setiap hari ia
merongrongku untuk segera mengambil keputusan hendak kuliah di
mana.

Aku cepat-cepat membereskan meja sementara Edward
menyiapkan setumpuk formulir yang kelihatannya menyeramkan.
Ketika aku memindahkan Wuthering Heights ke konter dapur, Edward
mengangkat sebelah alis. Aku tahu apa yang ia pikirkan, tapi Charlie
sudah menyela sebelum Edward bisa berkomentar.

"Omong-omong soal pendaftaran kuliah, Edward,” kata Charlie,

25

nadanya bahkan terdengar lebih masam lagi – selama ini ia berusaha
menghindar bicara langsung kepada Edward, dan saat harus
melakukannya, hal itu semakin memperburuk suasana hatinya yang
memang sudah jelek. "Bella dan aku baru saja membicarakan masalah
tahun depan. Kau sudah memutuskan mau kuliah di mana?"

Edward menengadah dan tersenyum kepada Charlie, nadanya
bersahabat, "Belum. Aku sudah diterima di beberapa universitas, tapi
aku masih menimbangnimbang...”

"Kau sudah diterima di mana saja?” desak Charlie.

"Syracuse... Harvard... Dartmouth... dan hari ini aku mendapat
kepastian diterima di University of Alaska Southeast.”

Edward agak memiringkan wajahnya supaya bisa mengedipkan
mata padaku. Aku menahan tawa.

"Harvard? Dartmouth?" gumam Charlie, tak mampu
menyembunyikan kekagumannya. "Well, itu sangat... hebat sekali.
Yeah, tapi University of Alaska... kau tentu tak mungkin
mempertimbangkan untuk kuliah di sana kalau bisa kuliah di
kampus-kampus Ivy League, kan? Maksudku, ayahmu pasti ingin
kau kuliah di sana...”

"Carlisle selalu setuju apa pun pilihanku,” kata Edward pada
Charlie kalem.

"Hmph.”

"Tahu tidak, Edward?" seruku ceria, sok lugu.

"Apa, Bella?”

Aku menuding amplop tebal di konter, "Aku juga baru mendapat
kepastian diterima di University of Alaska.”

"Selamat!" Edward nyengir. "Kebetulan sekali.”

Mata Charlie menyipit sementara ia bergantian memelototi
kami. "Terserahlah,” gerutunya sejurus kemudian, “Aku mau nonton
pertandingan dulu, Bella. Setengah sepuluh.”

26

Itu pesan yang selalu ia lontarkan sebelum meninggalkan aku
bersama Edward.

"Eh, Dad? Masih ingat kan pembicaraan kita tadi mengenai
kebebasanku .. .?"

Charlie mendesah. "Benar, Oke, sepuluh tiga puluh. Kau masih
punya jam malam pada malam sekolah.”

"Bella sudah tidak dihukum lagi?” tanya Edward. Walaupun
aku tahu ia tidak benar-benar terkejut, namun aku tak bisa
mendeteksi nada pura-pura dalam suaranya yang mendadak girang.

"Dengan syarat tertentu,” koreksi Charlie dengan gigi terkatup
rapat. "Apa hubungannya denganmu?”

Aku mengerutkan kening pada ayahku, tapi ia tidak melihat.

"Senang saja mengetahuinya,” kata Edward. "Alice sudah tak
sabar ingin ditemani shopping, dan aku yakin Bella pasti sudah
kepingin sekali melihat lampu-lampu kota.” Edward tersenyum
padaku.

Tapi Charlie meraung, "Tidak!" dan wajahnya berubah ungu.

"Dad! Memangnya kenapa?”

Charlie berusaha keras menggerakkan rahangnya yang terkatup
rapat. "Aku tidak mau kau pergi ke Seattle sekarang-sekarang ini.”

"Hah?”

“Aku kan sudah cerita tentang berita di koran itu – ada geng
yang membunuh banyak orang di Seattle, jadi aku tidak mau kau
pergi ke sana, oke?"

Kuputar bola mataku, "Dad, lebih besar kemungkinan aku
disambar petir daripada jadi korban pembunuhan massal di Seattle-"

"Tidak, tenanglah, Charlie,” sela Edward, memotong
perkataanku. "Maksudku bukan ke Seattle. Yang kumaksud
sebenarnya Portland. Aku tidak akan mengajak Bella ke Seattle. Tentu

27

saja tidak.”

Kutatap Edward dengan sikap tidak percaya, tapi ia mengambil
koran Charlie dan langsung membaca berita di halaman depan
dengan tekun.

Ia pasti berusaha mengambil hati ayahku. Tak mungkin
nyawaku terancam segerombolan manusia paling berbahaya
sekalipun saat aku bersama Alice atau Edward. Pikiran itu
benar-benar menggelikan.

Upayanya berhasil, Charlie menatap Edward sedetik, kemudian
mengangkat bahu. "Baiklah.” Ia menghambur ke ruang tamu, agak
terburu-buru sekarang – mungkin karena tak ingin ketinggalan awal
pertandingan.

Aku menunggu sampai TV menyala, supaya Charlie tak bisa
mendengar suaraku.

"Apa...” aku mulai bertanya.

"Tunggu sebentar,” tukas Edward tanpa mengangkat wajah dari
koran. Matanya tetap tertuju ke koran sementara tangannya
menyorongkan formulir pendaftaran pertama ke seberang meja.
"Kurasa kau bisa mendaur ulang esaiesaimu untuk yang satu ini.
Pertanyaan-pertanyaannya sama.”

Charlie pasti masih mendengar. Aku mendesah dan mulai
mengisi informasi yang itu-itu lagi: nama, alamat, nomor jaminan
sosial... Beberapa menit kemudian aku mendongak, tapi Edward
sekarang malah tercenung memandang jendela. Ketika menunduk
lagi menghadapi kertas, untuk pertama kali aku melihat nama
universitasnya.

Aku mendengus dan menyingkirkan kertas-kertas itu.

"Bella?"

"Yang benar saja, Edward. Dartmouth?"

Edward memungut formulir yang kusingkirkan itu dan

28

meletakkannya kembali pelan-pelan di hadapanku. "Kupikir kau pasti
akan menyukai New Hampshire,” katanya. “Ada kuliah malam yang
cukup lengkap untukku, dan di dekatnya ada hutan yang cukup
dekat untuk hiking. Banyak hewan liarnya.”

Ia menyunggingkan senyum miring yang ia tahu pasti bakal
meluluhkan hatiku.

Aku menarik napas dalam-dalam melalui hidung.

"Kau bisa mengembalikan uangku, kalau itu membuatmu
senang,” janji Edward. "Kalau mau, aku juga bisa mengenakan
bunga.”

"Aku pasti tak bisa masuk tanpa sogokan dalam jumlah besar.
Atau itu bagian dari pinjamanmu? Gedung perpustakaan baru
bernama Cullen? Ugh. Kenapa kira mesti mendiskusikan hal ini lagi?”

"Bisa tolong isi saja formulirnya, Bella. Tidak ada salahnya kan
mendaftar."

Daguku mengeras. "Tahukah kau? Kupikir sebaiknya tidak usah
saja.”

Tanganku terulur hendak meraih kertas-kertas itu, berniat
meremasnya untuk kemudian kulempar ke keranjang sampah, tapi
kertas-kertas itu sudah lenyap. Kupandangi meja yang kosong itu
sesaat, kemudian Edward. Kelihatannya ia tadi tidak bergerak sama
sekali, tapi formulirnya sekarang mungkin sudah tersimpan rapi
dalam jaketnya.

"Apa-apaan kau?" runtutku,

"Aku bisa membuat tanda tanganmu lebih baik daripada kau
sendiri. Kau juga sudah membuat esainya.”

"Kau benar-benar keterlaluan,” Aku berbisik, berjagajaga siapa
tahu Charlie tidak benar-benar asyik nonton pertandingan. "Aku toh
tidak perlu mendaftar ke tempat lain. Aku sudah diterima di Alaska.
Uangku nyaris cukup untuk menutup biaya kuliah semester pertama.

29

Itu kan alibi yang bagus sekali. Tidak perlu membuang-buang uang,
tak peduli uang siapa itu.”

Ekspresi sedih membuat wajah Edward tegang. "Bella...”

"Sudahlah. Aku setuju bahwa aku perlu melakukan semua ini
demi Charlie, tapi kita sama-sama tahu kondisiku tidak
memungkinkan untuk kuliah musim gugur nanti. Tidak mungkin
bagiku berdekatan dengan manusia.”

Pengetahuanku mengenai tahun-tahun pertama sebagai vampir
baru masih belum jelas. Edward tak pernah menjelaskan secara
mendetail – itu bukan topik favoritnya – tapi aku tahu itu pasti berat.
Pengendalian diri ternyata hanya bisa didapat dengan latihan . Tak
mungkin aku mengikuti kuliah kecuali kuliah jarak jauh.

"Kupikir waktunya masih belum diputuskan,” Edward
mengingatkan dengan lembut. "Kau bisa menikmati satudua semester
masa kuliah. Ada banyak pengalaman manusia yang belum pernah
kaurasakan.”

"Sesudahnya kan bisa.”

"Sesudahnya berarti bukan lagi pengalaman manusia. Tidak ada
kesempatan kedua, Bella.”

Aku mendesah, "Kau harus bijaksana menentukan waktunya,
Edward. Terlalu berbahaya untuk bermainmain.”

"Belum ada bahaya apa-apa,” ia berkeras.

Kupeloroti dia. Belum ada bahaya? Oh, tentu saja. Yang ada
hanya vampir sadis yang berusaha membalaskan dendam kematian
pasangannya dengan membunuhku, lebih disukai bila menggunakan
metode yang lamban dan menyiksa. Siapa yang mengkhawatirkan
Victoria? Dan, oh ya, keluarga Volturi – keluarga vampir bangsawan
dengan segerombolan kecil prajurit vampir – yang ngotot
menginginkan jantungku berhenti berdetak, bagaimanapun caranya,
secepatnya, karena manusia tak seharusnya tahu mereka ada. Yang
benar saja. Tidak ada alasan sama sekali untuk panik?

30

Meskipun Alice terus memantau keadaan – Edward
mengandalkan visi Alice yang luar biasa akurat rentang masa depan
untuk memberi kami peringatan dini – sungguh gila untuk
mengambil risiko.

Lagi pula aku sudah memenangkan argumen ini. Tanggal
transformasiku untuk sementara ditetapkan tak lama setelah lulus
SMA, yang berarti tinggal beberapa minggu lagi.

Perutku mendadak mulas saat menyadari betapa sedikit waktu
yang tersisa. Tentu saja perubahan ini perlu – dan ini kunci menuju
hal-hal yang kuinginkan lebih dari segalanya di dunia ini digabung
menjadi satu – tapi aku sangat prihatin memikirkan Charlie yang
duduk di ruangan lain, menikmati pertandingan di TV; seperti
malam-malam lain. Juga ibuku, Renee, nun jauh di Florida yang cerah,
yang masih memohon-mohon agar aku mau melewatkan musim
panas di pantai bersama dia dan suami barunya. Dan Jacob, yang,
tidak seperti kedua orangtuaku, tahu apa yang sesungguhnya terjadi
bila nanti aku menghilang dengan alasan pergi kuliah di kota lain
yang sangat jauh. Bahkan seandainya orangtuaku tidak curiga untuk
waktu yang lama, bahkan seandainya aku bisa menunda kepulangan
dengan alasan biaya perjalanan yang mahal atau kesibukan belajar
atau karena sakit. Jacob tahu hal sebenarnya.

Sejenak, kesedihan karena Jacob bakal menganggapku
menjijikkan mengalahkan kesedihanku yang lain.

"Bella,” gumam Edward, wajahnya menekuk saat membaca
kesedihan di wajahku. "Tidak perlu buru-buru. Aku takkan
membiarkan siapa pun menyakitimu. Ambil waktu sebanyak yang
kaubutuhkan.”

"Aku ingin cepat-cepat,” bisikku, tersenyum lemah, mencoba
bergurau. “Aku juga kepingin jadi monster.”

Rahang Edward terkatup rapat; ia berbicara dari sela-sela
giginya. "Kau tidak mengerti yang kaukatakan.” Dengan kasar ia
melempar koran lembap itu ke meja di antara kami. Jarinya menuding

31

kasar judul berita di halaman depan:

ANGKA KEMATIAN MENINGKAT POLISI

MENGKHAWATIRKAN AKTIVITAS GENG

"Memang apa hubungannya?”

"Monster bukanlah lelucon, Bella.”

Kutatap judul berita itu lagi, kemudian beralih ke ekspresi
wajahnya yang keras. "Jadi ... jadi ini perbuatan vampir? bisikku.

Edward tersenyum sinis. Suaranya rendah dan dingin. "Kau
akan terkejut, Bella, kalau tahu betapa seringnya kaumku menjadi
penyebab berbagai peristiwa mengerikan di surat kabar manusiamu.
Mudah saja mengenalinya, kalau kau tahu apa yang dicari. Informasi
yang ada di sini mengindikasikan ada vampir yang baru lahir
berkeliaran di Seattle. Haus darah, liar, tak terkendali. Sama seperti
kami semua dulu.”

Aku menunduk memandangi koran itu lagi, menghindari
matanya.

"Sudah beberapa minggu ini kami terus memonitor situasi.
Semua tanda-tandanya ada – hilang tanpa jejak, selalu pada malam
hari, mayat-mayat yang dibuang begitu saja, tak adanya bukti lain...
Ya, jelas seorang vampir yang masih sangat baru. Dan sepertinya
tidak ada yang bertanggung jawab terhadap si neo-phyte... Edward
menghela napas dalam-dalam. "Well, itu bukan persoalan kami. Kami
bahkan tidak akan memerhatikan situasi ini seandainya kejadiannya
di tempat lain yang jauh dari sini. Seperti sudah kukatakan tadi, ini
terjadi setiap saat. Keberadaan monster pasti akan menimbulkan
konsekuensi mengerikan.”

Aku berusaha untuk tidak melihat nama-nama yang tercantum
di koran, tapi nama-nama itu tampak mencolok dibandingkan
tulisan-tulisan lain, seolah-olah dicetak tebal. Lima orang yang
hidupnya berakhir, yang keluargakeluarganya sedang berduka. Sulit
menganggapnya sebagai pembunuhan biasa, setelah membaca

32

nama-nama para korban. Maureen Gardiner, Geoffrey Campbell,
Grace Razi, Michelle O'Connell, Ronald Albrook. Orang-orang yang
mempunyai orangtua, anak, teman, hewan peliharaan, pekerjaan,
harapan, cita-cita, kenangan, dan masa depan ....

"Aku tidak akan jadi seperti itu,” bisikku, setengahnya ditujukan
pada diri sendiri. "Kau tidak akan jadi seperti itu. Kita akan tinggal di
Antartika.”

Edward mendengus, memecahkan ketegangan. "Penguin. Bagus
sekali.”

Aku tertawa lemah. dan menyingkirkan koran dari meja supaya
tidak lagi melihat nama-nama para korban, benda itu membentur
lantai linoleum dengan suara berdebum. Tentu saja Edward
mempertimbangkan kemungkinan berburu. Ia dan keluarganya yang
"vegetarian" – semua berkomitmen melindungi nyawa manusia –
lebih menyukai rasa predator-predator besar untuk memenuhi
kebutuhan mereka. "Alaska, kalau begitu, seperti yang sudah
direncanakan. Hanya saja di tempat lain yang lebih terpencil lagi
dibandingkan Juneau – yang banyak beruang grizzly-nya.”

"Itu lebih baik lagi.” ujar Edward. "Di sana juga ada beruang
kutub. Ganas sekali. Dan serigala di sana juga besar-besar."

Mulutku ternganga lebar dan napasku terkesiap dengan suara
keras.

"Ada apa?" tanya Edward. Sebelum aku sempat pulih dari raut
bingung di wajah Edward lenyap dan sekujur tubuhnya seolah
mengeras. "Oh, Lupakan serigala kalau begitu, bila kau tidak bisa
menerimanya.” Nadanya kaku, formal, bahunya tegang.

"Dia dulu sahabatku, Edward,” gumamku. Sakit rasanya
mengatakan "dulu". "Tentu saja aku tidak terima.”

"Maafkan kesembronoanku,” katanya, masih dengan sikap
sangat formal. "Seharusnya aku tidak menyarankan itu.”

"Sudahlah, lupakan saja.” Kupandangi kedua tanganku yang

33

mengepal di meja.

Kami terdiam beberapa saat, kemudian jari Edward yang dingin
menyentuh bagian bawah daguku, menengadahkan wajahku.
Ekspresinya jauh lebih lembut sekarang.

"Maaf. Sungguh.”

“Aku tahu. Aku tahu itu tidak sama, Seharusnya aku tidak
bereaksi seperti itu . Hanya saja... well, aku memikirkan Jacob sebelum
kau datang tadi.” Aku raguragu. Mata Edward yang cokelat
kekuningan berubah agak gelap setiap kali aku menyebut nama Jacob.
Melihat itu nada suaraku berubah memohon. "Kata Charlie, Jake
sedang mengalami masa-masa sulit. Dia sedih sekarang, dan ... itu
salahku.”

"Kau tidak melakukan kesalahan apa-apa, Bella.”

Aku menghela napas dalam-dalam. 'Aku perlu
memperbaikinya, Edward. Aku berutang budi padanya. lagi pula, itu
salah satu syarat yang diajukan Charlie.”

Wajah Edward berubah sementara aku bicara, kembali
mengeras, seperti patung.

"Kau tahu kau tak boleh berada di sekitar werewolf tanpa
perlindungan, Bella. Dan, kami akan dianggap .melanggar
kesepakatan bila memasuki tanah mereka. Memangnya kau mau
terjadi perang?”

"Tentu saja tidak!"

"Kalau begitu, tak ada gunanya membicarakan masalah ini lebih
jauh lagi.” Edward menjatuhkan tangannya dan berpaling, mencari
topik lain untuk dibicarakan. Matanya terpaku pada sesuatu di
belakangku, dan ia tersenyum, meski matanya tetap waswas.

“Aku senang Charlie memutuskan mengizinkanmu keluar –
sungguh menyedihkan, kau benar-benar harus pergi ke toko buku.
Aku tak percaya kau membaca Wuthering Heights lagi. Memangnya

34

kau belum hafal luar kepala sekarang?”

"Tidak semua orang mempunyai ingatan fotografis,” tukasku
pendek.

"Ingatan fotografis atau bukan, aku tidak mengerti kenapa kau
menyukai buku itu. Karakter-karakternya adalah orang-orang
menyebalkan yang saling menghancurkan hidup yang lain. Entah
bagaimana ceritanya sampai Heathcliff dan Cathy disejajarkan
dengan pasangan-pasangan seperti Romeo dan Juliet atau Elizabeth
Bennet dan Mr. Darcy. Itu bukan kisah cinta, tapi kisah benci.”

"Ternyata kau benar-benar tak suka novel-novel klasik,”
balasku.

"Mungkin karena aku tidak terkesan dengan yang antikantik.”
Edward tersenyum, puas karena berhasil mengalihkan pikiranku.
"Jujur saja, kenapa kau sampai membacanya berulang kali?" Kini
matanya hidup oleh rasa tertarik yang nyata, berusaha – lagi-lagi –
menguraikan belitan pikiranku yang kusut. Ia mengulurkan tangan
ke seberang meja untuk merengkuh wajahku. "Apa yang membuatmu
tertarik?"

Keingintahuannya yang tulus membuatku tak berdaya.
"Entahlah,” jawabku, dengan panik berusaha memfokuskan pikiran
sementara tatapannya tanpa sengaja mengacau-balaukan pikiranku.
"Mungkin karena ada unsur yang tidak bisa dihindari di dalamnya.
Betapa tak ada satu hal pun bisa memisahkan mereka – tidak
keegoisan Cathy, atau kekejaman Heathcliff, atau bahkan kematian,
pada akhirnya...”

Wajah Edward tampak merenung saat mempertimbangkan
kata-kataku. "Aku tetap berpendapat ceritanya bisa lebih bagus
seandainya salah seorang saja di antara mereka memiliki kelebihan.”

"Menurutku justru itulah intinya,” sergahku tidak setuju.

"Cinta mereka adalah satu,satunya kelebihan yang mereka
miliki.”

35

"Kuharap kau lebih punya akal sehat – tidak jatuh cinta pada
orang yang begitu ... kejam.”

"Sekarang sudah agak terlambat bagiku untuk khawatir kepada
siapa aku jatuh cinta,” tukasku. "Tapi walau tanpa peringatan
sekalipun, sepertinya aku baik-baik saja.”

Edward tertawa tenang. “Aku senang kau berpendapat begitu.”

"Well, mudah-mudahan kau cukup pintar untuk tidak
dekat-dekat dengan orang yang begitu egois. Catherine-lah yang
menjadi sumber segala masalah, bukan Heathcliff.”

"Aku akan waspada,” janjinya.

Aku mendesah. Edward benar-benar pandai mengalihkan
pikiran.

Kuletakkan tanganku di atas tangannya yang memegang
wajahku. “Aku harus menemui Jacob.”

Mata Edward terpejam. "Tidak.”

"Tidak berbahaya sama sekali,” kataku, memohonmohon lagi.
"Dulu aku sering menghabiskan waktu seharian di La Push bersama
mereka semua, dan tidak pernah terjadi apa-apa.” Tapi aku terpeleset;
suaraku bergetar saat mengucapkan kalimat terakhir, karena saat itu
aku sadar itu bohong. Tidak benar tidak pernah terjadi apaapa.
Sepotong kenangan berkelebat dalam ingatanku – seekor serigala
abu-abu besar merunduk, siap menerkam, menyeringai memamerkan
gigi-giginya yang menyerupai belati padaku – dan telapak tanganku
berkeringat saat terkenang lagi kepanikanku waktu itu.

Edward mendengar detak jantungku yang mendadak cepat dan
mengangguk, seolah-olah aku mengakui kebohonganku dengan
suara lantang. "Werewolf tidak stabil. Kadang-kadang orang-orang di
dekat mereka terluka. Bahkan terkadang ada yang sampai
meninggal.”

Aku ingin membantah, tapi bayangan lain membuatku urung

36

menyanggah. Dalam benakku aku melihat wajah Emily Young yang
tadinya cantik, tapi sekarang hancur akibat tiga bekas luka berwarna
gelap yang melintang dari sudut mata kanan hingga ke sisi kiri mulur,
membuat wajahnya seperti merengut miring selama-lamanya.

Edward menunggu, ekspresinya muram namun penuh
kemenangan, sampai aku bisa menemukan suaraku lagi.

"Kau tidak kenal mereka,” bisikku.

"Aku kenal mereka lebih baik daripada yang kaukira, Bella. Aku
ada di sini saat peristiwa itu terakhir kali terjadi.”

"Terakhir kali?"

"Kami mulai bersinggungan dengan para werewolf kirakira tujuh
puluh tahun yang lalu... Waktu itu kami baru mulai menetap di
Hoquiam. Itu sebelum Alice dan Jasper bergabung. Jumlah kami lebih
banyak daripada mereka, tapi itu tidak akan menghentikan pecahnya
pertempuran seandainya bukan karena Carlisle. Dia berhasil
meyakinkan Ephraim Black bahwa hidup berdampingan itu
mungkin, dan akhirnya kami melakukan gencatan senjata.”

Nama kakek buyut Jacob membuatku kaget.

"Kami menyangka keturunan werewolf berhenti di Ephraim,”
gumam Edward; kedengarannya dia seperti berbicara pada diri
sendiri sekarang. "Bahwa penyimpangan genetik yang
mengakibatkan transmutasi itu sudah hilang...” Edward berhenti
bicara dan memandangiku dengan tatapan menuduh. "Kesialanmu
tampaknya semakin hari semakin menjadi-jadi. Sadarkah kau bahwa
kecenderunganmu menarik segala sesuatu yang mematikan ternyata
cukup kuat untuk memulihkan segerombolan anjing mutan dari
ancaman kepunahan. Kalau saja kita bisa membotolkan kesialanmu,
kita akan memiliki senjata pemusnah massal di tangan kita.”

Kuabaikan ejekan itu, perhatianku tergugah oleh asumsi yang
dilontarkan Edward – apakah dia serius? "Tapi bukan aku yang
memunculkan mereka. Masa kau tidak tahu?"

37

"Tahu apa?”

"Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kesialanku.
Werewolf muncul lagi karena vampir juga muncul kembali.”

Edward menatapku, tubuhnya tak bergerak karena kaget.

"Kata Jacob, keberadaan keluargamu di sini menggerakkan
semuanya. Kukira kau sudah tahu...”

Matanya menyipit. "Jadi, begitukah menurut mereka?"

"Edward, lihat saja fakta-faktanya. Tujuh puluh tahun lalu,
kalian datang ke sini, dan para werewolf muncul. Sekarang kalian
kembali, dan para werewolf itu muncul lagi. Apakah menurutmu itu
hanya kebetulan?”

Edward mengerjapkan mata dan tatapannya melunak.

"Carlisle pasti tertarik pada teori itu.”

"Teori,” dengusku.

Edward terdiam sesaat, memandang ke luar jendela, ke hujan
yang menderas: dalam bayanganku ia sedang memikirkan fakta
bahwa kehadiran keluarganya mengubah penduduk lokal menjadi
anjing-anjing raksasa.

"Menarik, tapi tidak terlalu relevan,” gumamnya setelah
beberapa saat, "Situasinya tetap sama.”

Aku bisa menerjemahkan maksudnya dengan cukup mudah:
tetap tidak boleh berteman dengan werewolf.

Aku tahu aku harus bersabar menghadapi Edward. Bukan
karena ia tidak bisa diajak bicara dengan pikiran jernih, tapi karena ia
tidak mengerti. Ia tidak tahu betapa besar utang budiku pada Jacob
Black – lebih dari hidupku, dan mungkin kewarasanku juga.

Aku tidak suka membicarakan masa-masa sulit itu dengan siapa
pun, terutama Edward. Kepergiannya waktu itu dimaksudkan untuk
menyelamatkanku, berusaha menyelamatkan jiwaku. Aku tidak

38

menganggapnya bertanggung jawab atas semua hal tolol yang
kulakukan selama ia tidak ada, atau kepedihan yang kuderita.

Tapi Edward merasa dirinya bertanggung jawab.

Jadi aku harus bisa menjelaskan maksudku dengan sangat
hati-hati.

Aku berdiri dan berjalan mengitari meja. Edward
membentangkan kedua lengannya menyambutku dan aku duduk di
pangkuannya, meringkuk dalam pelukannya yang sedingin batu.
Kupandangi tangannya sementara aku bicara.

"Kumohon, dengarkan aku sebentar. Ini jauh lebih penting
daripada sekadar keinginan bertemu teman lama. Jacob sedang
menderita," Suaraku bergetar mengucapkan kata itu. "Aku tidak bisa
tidak berusaha menolongnya – aku tidak bisa meninggalkannya
begitu saja sekarang, saat dia membutuhkan aku. Hanya karena dia
tidak selalu menjadi manusia. Well, dia mendampingiku saat aku
sendirian... sedang dalam kondisi yang tidak layak disebut sebagai
manusia. Kau tidak tahu bagaimana keadaannya waktu itu ... Aku
ragu. Lengan Edward yang memelukku mengejang kaku, tinjunya
mengepal, otot-ototnya menyembul. "Seandainya Jacob tidak
membantuku, entah apa yang akan kautemukan waktu kau kembali.
Aku berutang banyak padanya, Edward.”

Aku mendongak, menatap wajahnya waswas. Kedua mata
Edward terpejam, dagunya tegang.

“Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri karena
meninggalkanmu,” bisiknya. "Tidak seandainya aku hidup sampai
seratus ribu tahun sekalipun.”

Kuletakkan tanganku di wajahnya yang dingin dan menunggu
sampai Edward mendesah dan membuka mata.

"Kau hanya ingin melakukan yang benar. Dan itu pasti berhasil
bila ditujukan pada orang lain yang tidak sesinting aku. lagi pula, kau
ada di sini sekarang. Itu yang terpenting.”

39

"Seandainya aku tak pernah pergi, kau tidak akan merasa perlu
mempertaruhkan hidupmu untuk menghibur anjing.”

Aku tersentak. Aku sudah terbiasa dengan Jacob dan semua caci
makinya yang merendahkan – pengisap darah, lintah, parasit... Entah
mengapa kedengarannya lebih kasar dalam suara Edward yang
selembut beledu.

"Aku tidak tahu bagaimana mengungkapkannya dengan benar,”
kata Edward, nadanya muram, "Ini akan terdengar keji, kurasa. Tapi
dulu aku pernah nyaris kehilanganmu. Aku tahu bagaimana rasanya
mengira itu telah terjadi... Aku tidak akan menolerir hal berbahaya
apa pun lagi.”

"Kau harus memercayai aku dalam hal ini. Aku tidak akan
kenapa-kenapa.”

Wajah Edward kembali sedih. "Please, Bella,” bisiknya.

Kutatap mata emasnya yang mendadak membara itu.

"Please, apa?"

"Please, demi aku. Please, berusahalah agar kau tetap aman. Aku
akan melakukan apa saja yang kubisa, tapi aku akan sangat senang
kalau mendapat sedikit bantuan darimu.”

"Akan kuusahakan,” gumamku.

"Tak tahukah kau betapa pentingnya kau bagiku? Kau tak punya
bayangan sama sekali berapa aku sangat mencintaimu?" Edward
menarikku lebih erat ke dadanya yang keras, menyurukkan kepalaku
di bawah dagunya.

Kutempelkan bibirku ke lehernya yang sedingin salju. “Aku
tahu betapa aku sangat mencintaimu,” jawabku.

"Kau membandingkan sebatang pohon kecil dengan seluruh isi
hutan.”

Kuputar bola mataku, tapi Edward tak bisa melihat, "Mustahil.”

40

Edward mengecup ubun-ubunku dan mendesah.
"Tidak ada werewolf.”
"Aku tak bisa menerimanya. Aku harus menemui Jacob.”
"Kalau begitu aku harus menghentikanmu.”
Nadanya begitu yakin bahwa itu takkan jadi masalah. Aku yakin
ia benar,
"Kita lihat saja nanti,” aku tetap menantang. "Dia tetap
temanku.”
Aku bisa merasakan surat Jacob di sakuku, seakan-akan benda
itu mendadak beratnya jadi dua puluh kilo. Katakatanya kembali
terngiang dalam benakku, dan sepertinya ia sependapat dengan
Edward – ini sesuatu yang tidak akan pernah terjadi di alam nyata.
Itu tidak mengubah keadaan. Maaf.

41

2. MENGHINDAR

AKU merasa sangat ringan saat berjalan dari kelas Bahasa
Spanyol menuju kafetaria, dan itu bukan hanya karena aku
menggandeng tangan orang paling sempurna di seantero planet ini,
meskipun jelas itu sebagian penyebabnya.

Mungkin karena tahu aku sudah selesai menjalani hukuman dan
sekarang aku kembali bebas.

Atau mungkin sama sekali tak ada hubungannya denganku.
Mungkin karena atmosfer kebebasan terasa begitu kuat di seantero
sekolah. Tahun ajaran sebentar lagi berakhir, dan terutama bagi
murid-murid kelas tiga, kegairahan sangar kuat terasa.

Kebebasan sudah begitu dekat hingga rasanya bisa disentuh,
bisa dirasakan. Tanda-tandanya bertebaran di mana-mana.
Poster-poster berjejalan di dinding kafetaria, dan tong-tong sampah
terlihat seperti mengenakan rok warna-warni berkat tempelan brosur
yang menutupi permukaannya: pemberitahuan untuk membeli buku
tahunan, cincin angkatan, serta pengumuman: batas waktu
pemesanan toga, topi, dan selempang; serta berbagai iklan yang
dicetak di kertas berwarna neon meriah – murid-murid kelas dua
berkampanye untuk jabatan ketua angkatan; iklan prom tahun ini
yang dibuat menyerupai rangkaian mawar. Pesta dansa tahunan itu
akan diselenggarakan akhir pekan mendatang, tapi aku sudah
membuat Edward berjanji untuk tidak mengharapkanku
menghadirinya. Toh aku sudah pernah merasakan pengalaman
manusia yang satu itu.

Tidak, pasti bukan kebebasan pribadi yang membuatku merasa
ringan hari ini. Akhir tahun ajaran tidak memberiku kegembiraan
seperti yang tampaknya dirasakan muridmurid lain. Sebenarnya, aku
justru gugup hingga nyaris mual setiap kali memikirkannya. Aku

42

berusaha tidak memikirkannya.

Tapi memang sulit menghindari topik yang hadir di mana-mana
seperti kelulusan.

"Sudah mengirim pemberitahuan, belum?” tanya Angela begitu
Edward dan aku duduk di meja kami. Rambut cokelat terangnya yang
biasanya selalu tergerai halus diikat ke belakang membentuk ekor
kuda serampangan, dan ada, sedikit sorot panik terpancar di
matanya.

Alice dan Ben juga sudah duduk di sana, mengapit Angela. Ben
asyik membaca komik, kacamatanya melorot di hidungnya yang tirus.
Alice mengamati dengan saksama busanaku yang terdiri atas paduan
membosankan jins dan T-shirt, caranya memandang membuatku
jengah. Mungkin ia berniat memermak penampilanku lagi. Aku
mendesah. Sikap cuekku terhadap penampilan bagaikan duri dalam
daging bagi Alice. Seandainya kuizinkan, ia pasti dengan senang hati
akan mendandaniku setiap hari – bahkan mungkin beberapa kali
sehari – seakan-akan aku boneka kertas tiga dimensi yang ukurannya
sebesar manusia,

"Belum,” kataku, menjawab pertanyaan Angela. "Tak ada
gunanya juga. Renee sudah tahu kapan aku lulus. Siapa lagi yang
perlu kuberitahu?" .

"Kau sendiri bagaimana, Alice?"

Alice tersenyum. "Sudah beres semuanya.”

"Beruntung benar kau,” Angela mendesah. "Ibuku punya
banyak sekali sepupu dan dia berharap aku mengirim pemberitahuan
ke mereka semua, dengan tulisan tangan, lagi. Bisa-bisa tanganku
kapalan. Aku tak bisa menundanundanya lagi. Ngeri rasanya
membayangkan diriku melakukannya.”

"Aku bisa membantumu,” aku menawarkan diri. "Kalau kau
tidak keberatan dengan tulisan tanganku yang jelek.”

43

Charlie pasti senang. Dari sudut mata kulihat Edward
tersenyum. Ia pasti juga senang – aku memenuhi syarat yang diajukan
Charlie tanpa melibatkan werewolf.

Angela terlihat lega. "Baik sekali kau. Aku akan datang ke
rumahmu kapan saja kau mau.”

"Sebenarnya, aku lebih suka akulah yang pergi ke rumahmu,
kalau kau tidak keberatan – aku sudah muak dengan rumahku.
Charlie mencabut hukumanku semalam.” Aku tersenyum lebar saat
menyampaikan kabar baik itu.

"Benarkah?” tanya Angela, kilat kegembiraan terpancar dari
mata cokelatnya yang selalu tenang. "Katamu waktu itu, kau bakal
dihukum seumur hidup.”

"Aku juga sama kagetnya denganmu. Tadinya aku yakin paling
tidak aku harus selesai SMA dulu baru Charlie membebaskanmu.”

"Well, baguslah kalau begitu, Bella! Kira harus pergi untuk
merayakannya.”

"Kau tidak tahu betapa indah kedengarannya usulanmu itu.”

"Kita mau melakukan apa?" tanya Alice sambil merenung,
wajahnya berseri-seri memikirkan berbagai kemungkinan. Ide-ide
Alice biasanya agak terlalu berlebihan bagiku, dan aku bisa melihat
hal itu di matanya sekarang – kecenderungan melakukan sesuatu
secara berlebihan.

“Apa pun yang kaupikirkan, Alice, rasa-rasanya aku tidak
sebebas itu."

"Bebas ya bebas, kan?” desak Alice.

"Aku yakin masih ada batasan yang harus kutaati – dalam
batas-batas wilayah Amerika Serikat, misalnya.”

Angela dan Ben tertawa, tapi Alice meringis, tampaknya
benar-benar kecewa.

"Jadi kita mau ke mana nanti malam?" tanyanya gigih.

44

"Tidak ke mana-mana. Begini, bagaimana kalau kita tunggu
dulu beberapa hari, untuk memastikan ayahku tidak bercanda. lagi
pula, ini kan malam sekolah.”

"Kita rayakan akhir minggu ini kalau begitu.” Mustahil bisa
mengekang antusiasme Alice.

"Tentu,” sahutku, berharap membuatnya puas. Aku tahu aku
takkan melakukan sesuatu yang terlalu berlebihan; lebih aman
pelan-pelan saja menghadapi Charlie. Memberinya kesempatan
melihat bahwa aku bisa dipercaya dan matang dulu sebelum minta
izin melakukan apa-apa.

Angela dan Alice mulai asyik mengobrolkan berbagai pilihan;
Ben ikut nimbrung, menyingkirkan komiknya. Perhatianku teralih.
Kaget juga aku menyadari topik mengenai kebebasanku mendadak
tak terasa memuaskan lagi seperti beberapa saat yang lalu. Sementara
mereka masih asyik membicarakan hal-hal yang bisa dilakukan di
Port Angeles atau mungkin Hoquiam, aku mulai merasa tidak puas.

Tidak butuh waktu lama untuk menentukan dari mana
kegelisahanku ini berasal.

Sejak mengucapkan selamat berpisah dengan Jacob Black di
hutan dekat rumahku, aku dihantui bayangan menyedihkan yang
terus-menerus mengusik pikiranku. Bayangan itu muncul dalam
interval teratur, seperti alarm menjengkelkan yang diatur untuk
berbunyi setiap setengah jam sekali, memenuhi kepalaku dengan
bayangan wajah Jacob yang mengernyit pedih. Itu kenangan
terakhirku tentang dia.

Saat visi yang mengganggu itu muncul lagi, aku tahu benar
kenapa aku merasa tidak puas dengan kebebasanku. Karena
kebebasan itu belum sempurna.

Tentu, aku bebas ke mana pun aku mau – kecuali ke La Push;
bebas melakukan apa pun yang kuinginkan – kecuali bertemu Jacob.
Aku cemberut memandangi meja. Seharusnya ada jalan tengah yang

45

memuaskan semua pihak.

"Alice? Alice!"

Suara Angela menyentakkanku dari lamunan. Ia
melambai-lambaikan tangan di depan wajah Alice yang menerawang
kosong. Aku mengenali ekspresi Alice itu – ekspresi yang otomatis
mengirimkan sengatan panik ke sekujur tubuhku. Tatapannya yang
kosong menandakan ia melihat sesuatu yang sangat berbeda dari
pemandangan normal berupa aula tempat makan siang seperti yang
ada di sekitar kami ini, tapi sesuatu itu sama nyatanya dengan segala
sesuatu di sekeliling kami. Akan ada sesuatu, sesuatu akan terjadi
sebentar lagi. Kurasakan darah menyusut dari wajahku.

Lalu Edward tertawa, nadanya sangat natural dan rileks.

Angela dan Ben berpaling padanya, tapi mataku tetap tertuju
kepada Alice. Tiba-tiba Alice terlonjak, seperti ada yang menendang
kakinya di bawah meja.

"Memangnya sekarang sudah waktunya tidur siang, Alice?"
goda Edward.

Alice kembali menjadi dirinya. "Maaf kurasa aku melamun
tadi.”

"Lebih enak melamun daripada menghadapi dua jam pelajaran
lagi,” sergah Ben.

Alice kembali mengobrol dengan semangat lebih berapiapi
dibandingkan sebelumnya – agak terlalu berlebihan. Sekali aku
sempat melihatnya bersitatap dengan Edward, hanya sedetik,
kemudian ia berpaling lagi kepada Angela sebelum ada yang sempat
memerhatikan. Edward lebih banyak diam, tangannya memainkan
seberkas rambutku.

Dengan gelisah aku menunggu kesempatan untuk bisa bertanya
kepada Edward tentang penglihatan yang didapat Alice tadi, tapi
siang berlalu dengan cepat tanpa satu menit pun kesempatan untuk
berduaan.

46

Bagiku itu aneh, hampir seperti disengaja. Sehabis makan siang
Edward sengaja berjalan lambat-lambat mengiringi langkah Ben,
mengobrol tentang tugas yang aku tahu sudah selesai ia kerjakan. Ialu
selalu ada orang lain di antara pergantian kelas, padahal biasanya
kami punya waktu berduaan selama beberapa menit. Ketika bel
terakhir berbunyi, Edward tahu-tahu mengajak Mike Newton
mengobrol, berjalan bersamanya menuju lapangan parkir. Aku
membuntuti di belakang, membiarkan Edward menarikku.

Aku mendengarkan, bingung, sementara Mike menjawab
pertanyaan-pertanyaan Edward yang diajukan dengan nada
bersahabat. Rupanya mobil Mike sedang bermasalah.

“...padahal aku baru saja mengganti akinya,” Mike berkata.
Matanya bolak-balik memandang Edward waswas. Tercengang, sama
seperti aku.

"Mungkin kabel-kabelnya?” duga Edward.

"Mungkin. Aku tidak tahu apa-apa soal mesin mobil,” Mike
mengakui. "Aku harus memperbaikinya, tapi aku tak sanggup
membawanya ke bengkel Dowling's.”

Aku membuka mulut untuk menyarankan supaya mobilnya
dibawa ke mekanikku, tapi kemudian mengurungkannya. Mekanikku
sedang sibuk belakangan ini

– sibuk berkeliaran sebagai serigala raksasa.

"Aku lumayan mengerti mesin mobil – aku bisa memeriksanya,
kalau kau mau,” Edward menawarkan diri. "Biar kuantar Alice dan
Bella pulang dulu.”

Mike dan aku sama-sama memandang Edward dengan mulut
ternganga keheranan,

"Eh... trims,” gumam Mike, begitu pulih dari kagetnya. "Tapi
aku harus bekerja. Mungkin lain kali.”

"Tentu.”

47


Click to View FlipBook Version