MAKALAH MANAJEMEN KEUANGAN
(Mekanisme Keuangan Berbasis Bagi Hasil, Jual Beli Sewa
Menyewa Titipan, Utang dan Pengembangan Istrumen
Keuangan)
Dosen Pengampu :
Ismawati, S.E., M.Si
Disusun Oleh:
KELOMPOK 2
1. Suci Indah Sari (90500119039)
2. Ikram (90500119036)
3. Sri Wahyuni (90500119037)
4. Hasrawati A (90500119038)
KELAS B
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Manajemen
Keuangan Syariah yang berjudul “Mekanisme Keuangan Berbasis Bagi Hasil,
Jual Beli Sewa Menyewa Titipan, Utang dan Pengembangan Istrumen
Keuangan”.
Untuk itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih
kepada Ibu Ismawati, S.E., M.Si selaku dosen yang telah memberikan bimbingan
sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari sepenuhnya masih banyak kekurangan baik itu
pengetahuan, pengalaman maupun kemampuan. Oleh karena itu, kami
mengharapkan saran maupun kritik membangun yang bertujuan agar hasil
makalah ini dapat diterima dan bermanfaat bagi semua khalayak.
Akhir kata kami berharap, semoga makalah ini berguna dan bermanfaat
bagi pembaca. Semoga Allah SWT akan senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah
serta taufik-Nya kepada kita semua. Aamiin.
Gowa, 02 juni 2021
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR......................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................1
C. Tujuan.................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................2
A. Mekanisme Keuangan Berbasis Bagi Hasil, Jual Beli, Sewa Menyewa,
Titipan, Utang....................................................................................2
B. Pengembangan Istrumen Keuangan Syariah.....................................16
BAB III PENUTUP..........................................................................................28
A. Kesimpulan.....................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................29
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem keuangan merupakan tatanan perekonomian dalam suatu negara
yangberperan dan melakukan aktivitas dalam berbagai jasa keuangan
yangdiselenggarakan oleh lembaga keuangan. Tugas utama sistem keuangan
adalahmengalihkan dana yang tersedia dari penabung kepada pengguna
dana,kemudiandigunakan membeli barang dan jasa-jasa di samping untuk
investasi,sehinggaperekonomian dapat tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu,
sistem keuangan memiliki peran sangat urgen dalam perekonomian dan kehidupan
Sistem keuangan syariah merupakan subsistem dari sistem ekonomi syariah.
Ekonomi syariah merupakan bagian dari sistem ekonomi Islam secara keseluruhan.
Dengan demikian, sistem keuangan syariah merupakan cerminan dari nilai-nilai
Islam atau syariah dalam bidang ekonomi (Sjahdeini, 2014)
Lembaga keuangan syariah sebagai bagian dari sistem ekonomi syariah, dalam
menjalankan bisnis dan usahanya juga tidak terlepas dari jaringan Syariah. Oleh
karena itu, Lembaga keuangan syariah tidak akan mungkin membiayai usaha-usaha
yang di dalamnya terkandung hal-hal yang diharamkan, proyek yang
menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat luas. Dalam menjalankan bisnis
dan usahanya lembaga keuangan syariah harus sepenuhnya sesuai dengan Prinsip
Syariah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Mekanisme Keuangan Berbasis Bagi Hasil, Jual Beli, Sewa Menyewa,
Titipan, Utang?
2. Bagaimana Pengembangan Istrumen Keuangan Syariah?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui Mekanisme Keuangan Berbasis Bagi Hasil, Jual Beli, Sewa Menyewa,
Titipan, Utang
2. Mengetahui Pengembangan Istrumen Keuangan Syariah
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mekanisme Keuangan Berbasis Bagi Hasil, Jual Beli, Sewa Menyewa, Titipan, Utang
1. Mekanisme Keuangan Berbasis Bagi Hasil
Pengertian Bagi Hasil
Bagi hasil adalah akad kerja sama antara bank sebagai pemilik modal
dengan nasabah sebagai pengelolah modal untuk memperoleh keuntungan dan
membagi keuntungan yang diperoleh berdasarkan nisbah yang disepakati.
Pembiayaan dengan sistem bagi hasil ada dua macam yaitu berdasarkan prinsip
mudharabah dan prinsip musyarakah.1
Bagi hasil menurut terminologi asing (bahasa Inggris) dikenal dengan profit
sharing. Profit dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Secara definisi profit
sharing diartikan "distribusi beberapa bagian dari laba pada pegawai dari suatu
Perusahaan".2
Sistem bagi hasil adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian
hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian hasil usaha
ini dapat terjadi antara bank dengan penyimpan dana, maupun antara bank dengan
nasabah penerima dana. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah
Mudharabah dan Musyarakah. Lebih jauh prinsip mudharabah dapat digunakan
sebagai dasar baik untuk produk pendanaan (tabungan dan deposito) maupun
pembiayaan, sementara Musyarakah lebih banyak untuk pembiayaan.3
Mekanisme Bagi Hasil
1. Profit sharing
Profit sharing berarti kesepakatan untuk membagikan keuntungan dari suatu
usaha. Keuntungan yang berasal dari pendapatan yang sudah dikurangi dengan
ongkos produksi atau operasional sehingga hasil yang didapatkan merupakan
keuntungan bersih.
2. Gross profit sharing
1 Vol, J. (2021). Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan. 7(1). https://doi.org/10.5281/zenodo.4486304
2 Muhammad, Teknik Perhitungan Bagihal.asil di Bank Syariah. ( Yogyakarta, UII Press, 2001)
3 Muhammad Syafi‟I Antonio, Bank Syariah Teori dan Praktek ( Jakarta, Gema Insani., 2001). H.91
2
Sedikit berbeda dengan profit sharing, gross profit sharing juga merupakan
kesepakatan bagi hasil. Hanya saja, pembagian keuntungan hasil usaha dihitung
berdasarkan pendapatan yang dikurangi harga pokok penjualan. Laba tersebut
belum dikurangi dengan pajak, biaya administrasi, serta biaya pemasaran lainnya.
Hal tersebut bisa pula disebut dengan pembagian laba kotor.
3. Revenue sharing
Berbeda dengan dua poin sebelumnya. Revenue sharing adalah pendapatan yang
belum dikurangi dengan biaya operasional dan komisi dalam sistem perbankan.
Hal ini dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana. Dalam sistem syariah,
pola ini dapat digunakan untuk keperluan distribusi hasil usaha lembaga keuangan
syariah. Dalam perbankan syariah, mekanisme yang digunakan kebanyakan
menganut prinsip profit sharing atau pembagian laba bersih antara kreditur dan
juga debitur. Sementara itu, dalam sistem kesepakatan usaha, mekanismenya bisa
ditentukan berdasarkan skema bagi hasil yang dipilih sesuai dengan akad atau
perjanjian di awal.
Sistem bagi hasil ini dalam prakteknya ada dua yaitu:
a. Bagi hasil berdasarkan prinsip mudharabah
Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, dimana
pihak pertama sebagai pemilik modal dan pihak kedua sebagai pengelolah
modal, sedang keuntungan dibagi kedua belah pihak sesuai dengan nisbah
yang telah disepakati (Antonio, 2001).4 Menyoroti adanya kesejajaran antara
pemilik modal dan pemilik tenaga untuk digabungkan melakukan usaha,
karena itu mudharabah dapat menyelesaikan pertentangan antara tenaga kerja
dan majikan.
Hal-hal pokok yang terdapat dalam mudharabah yaitu: adanya pemilik modal
(bank), adanya orang yang punya kapabiliti untuk usaha dan butuh modal,
adanya kerjasama atau kesepakatan untuk usaha mencari keuntungan,keuntungan
dibagi para pihak sesuai perjanjian, pemilik dana (bank) menanggung
kerugian yang tidak disebabkan oleh pengelolah asalkan modal pokok tidak
berkurang.
4 Antonio, Muhammad Syafi’I. (2001). Bank Syariah: dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani
Press
3
Mudharabah dibagi menjadi dua jenis yaitu mudharabah mutlaqah dan
mudharabah muqayyadah. Perbedaan antara keduanya bahwa mudharabah
mutlaqah yaitu kerja sama antara shahibul maal dan mudharib tidak dibatasi
oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.5 Sedangkan mudharabah
muqayyadah dibatasi dengan jenis usaha, waktu dan tempat usaha.
Prinsip mudharabah terdapat adanya penggabungan antara pengalaman
keuangan dengan pengalaman bisnis. Dalam sistem ini bank memberikan
modal dana dan nasabah menyediakan kapabiliti usaha. Selanjutnya laba dibagi
menurut suatu rasio yang disepakati. Dalam hal kerugian, banklah yang
memikulnya dan nasabah hanya kehilangan nilai kerjanya selama modal pokok
tidak berkurang. Bila modal pokok berkurang maka nasabah harus
mengembalikannya seperti semula dan nasabah disebut sebagai orang yang
mempunyai hutang terhadap bank selama belum dibayar(Anshori, 2008).6
Pembiayaan mudharabahbila dijalankan dengan manajemen yang baik dan
keterbukaan dapat bermanfaat menghilangkan kesenjangan antara majikan dan
karyawan.
b. Bagi hasil berdasarkan prinsip musyarakah
Musyarakahdari kata syirkah disebut juga syarikah yang artinya akad
kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan porsi
kontribusi dana atau kesepakatan bersama. Rivai dan Arviyan (2001)7
mengartikan musyarakah adalah partnership. Musyarakah dapat diartikan
penyertaan atau equity participationartinya akad kerjasama usaha patungan
antara dua pihak atau lebih pemilik modal untuk membiayai suatu jenis usaha
dimana pendapatan keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah yang telah
disepakati (Rahmat, 2015).8
5 Ibid
6 Anshori, Abdul Ghofur. (2008). Kapita Selekta Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta:
UII Press
7 Rivai, Veithzal dan Arviyan Arifin. (2001). Islamic Banking: Sebuah Teori, Konsep, dan
Aplikasi, Jakarta: Bumi Akasara
8 Rahmat, Iliyas, (Jurnal Penelitian, Vol. 9, No. 1, Februari 2015) Konsep Pembiayaan Dalam
Perbankan Syari’ah
4
2. Mekanisme Keuangan Berbasis Jual Beli
Pengertian Jual Beli
Jual beli adalah proses pemindahan hak milik/barang atau harta kepada pihak lain
dengan menggunakan uang sebagai alat tukarnya. Menurut etimologi, jual beli adalah
pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Kata lain dari jual beli adalah al-ba’i,
asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah. Rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan-
ketentuan dalam jual beli yang harus dipenuhi agar jual belinya sah menurut syara’
(hukum islam). Rukun Jual Beli:Dua pihak membuat akad penjual dan pembeli;
Objek akad (barang dan harga) dan Ijab qabul (perjanjian/persetujuan).
Mekanisme Jual Beli
1. Murabahah
Perkataan murābaḥah berasal dari kata kerja bahasa Arab rābaḥa, yurābiḥu,
murābaḥatan. Kata kerja asalnya adalah dari fiʻil thulāthi iaitu rabaḥa. Dalam
kamus Lisān al-‘Arabī, perkataan al-ribḥu, al-rabaḥu dan al-rabbaḥu membawa
maksud yang sama yaitu pertambahan atau pertumbuhan dalam perniagaan.9
Murabahah adalah akad jual beli atas barang tertentu, dimana penjual
menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan, termasuk harga
pembelian barang kepada pembeli, kemudian ia mensyaratkan atasnya
laba/keuntungan dalam jumlah tertentu.
Dalam kegiatan perbankan teknisnya : bank membeli barang yang dipesan
oleh nasabahnya dan menjualnya kepada nasabah tersebut. Harga jual bank adalah
harga beli dari pemasok ditambah keuntungan yang disepakati. Bank harus
memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah serta biaya yang
diperlukan. Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai atau cicilan.
Murabahah adalah akad jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah
dengan margin keuntungan yang disepakati. Berdasarkan akad jual-beli tersebut
bank membeli barang yang dipesan oleh dan menjualnya kepada nasabah. Harga
jual bank adlah harga beli dari supplier ditambah keuntungan yang disepakati.
Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut
biaya yang diperlukan. Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau
tanpa pesanan. Dalam murabahah berdasarkan pesanan, bank melakukan
9 Ibn Manẓūr, Abū al-Faḍl Jamāl al-Dīn Muḥammad Ibn Mukarram. (1954). Lisān al-‘Arab. Jil. 4
Kaherah: al-Dār al-Miṣriyyah li al-Ta’līf wa al-Tarjamah.
5
pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah. Murabahah berdasarkan
pesanan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat nasabah untuk membeli
barang yang dipesannya. Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai
atau cicilan.10
2. Salam
Salam adalah penjualan suatu barang yang disebutkan sifat-sifatnya sebagai
persyaratan jual beli dan barang tersebut masih dalam tanggungan penjual, di
mana syarat-syarat tersebut diantaranya adalah mendahulukan pembayaran pada
waktu di akad disepakati.11
Secara etimologi, salam artinya salaf (pendahuluan). Secara terminologi (ta’rif)
muamalah salam adalah: penjualan suatu barang yang disebutkan sifat-sifatnya
sebagai persyaratan jual beli dan barang tersebut masih dalam tanggungan
penjual, di mana syarat-syarat tersebut diantaranya adalah mendahulukan
pembayaran pada waktu di akad majlis (akad disepakati).
Salam adalah akad jual beli barang pesanan (muslam fiih) dengan pengiriman
barang di kemudian hari oleh penjual (muslam illaihi) dan pelunasannya
dilakukan oleh pembeli pada saat akad disepakati sesuai dengan syarat-syarat
tertentu (PAPSI, 2013).
Syarat-syarat salam:
a. Uangnya dibayar di tempat akad
b. Barangnya menjadi utang bagi penjual
c. Barangnya dapat diberikan sesuai dengan waktu yang dijanjikan
d. Diketahui dan ditentukan sifat-sifat dan macam barangnya dengan jelas
e. Disebutkan tempat menerimanya
Dalam kegiatan perbankan bank dapat bertindak sebagai pembeli dan atau
penjual dalam suatu transaksi salam. Jika bank bertindak sebagai penjual
kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang pesanan dengan
cara salam maka hal ini disebut salam paralel. Salam paralel adalah suatu
transaksi dimna bank melakukan dua akad salam dalam waktu yang sama. Dalam
akad salam pertama bank melakukan pembelian suatu barang kepada pihak
penyedia barang dengan pembayaran di muka dan pada akad salam kedua bank
10 Auliah Nur. 16 Maret 2018. “Mekanisme Keuangan Berbasis Jual Beli”. Di akses 03 Juni 2021.
http://nuraulia05.blogspot.com/2018/03/mekanisme-keuangan-berbasis-jual-beli.html
11 Andini Yuyun Tri. 04 April 2018. “Manajemen Keuangan Syariah”. Diakses 03 Juni 2021.
http://yuyuntriandhini.blogspot.com/2018/04/manajemen-keuangan-syariah-6.html
6
menjual lagi kepada pihak lain dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati
bersama. Pelaksanaan kewajiban bank selaku penjual dalam akad salam kedua
tidak tergantung pada akad salam yang pertama.
Salam adalah akad jual beli suatu barang (komoditi) di mana harganya dibayar
dengan segera (pada saat akad disepakati), sedang barangnya akan diserahkan
kemudian dalam jangka waktu yang disepakati. Salam pararel adalah suatu
transaksi dimana bank melakukan dua akad salam dalam waktu yang sama. Dalam
akad salam pertama bank (selaku muslim) melakukan pembelian suatu barang
kepada pihak penyedia barang (muslim ilaihi) dengan pembayaran dimuka dan
pada akad salam kedua bank (selaku muslim ilaihi) menjual lagi kepada pighak
lain (muslim) dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati bersama.12
3. Istishna
Istishna merupakan akad kontrak jual belibarang antara dua pihak
berdasarkan pesanandari pihak lain, dan barang pesanan akan dipro-duksi sesuai
dengan spesifikasi yang telah dise-pakati dan menjualnya dengan harga dan
carapembayaran yang disetujui terlebih dahulu.13 Akad istishna lebih tepat
digunakan untukmembangun proyek, dan termasuk dalam jenispembiayaan
investasi. Mekanisme pembiayaanistishna dapat dilakukan dengan tiga cara,
yaitu pembayaran di muka, pembayaran saat penyerah-an barang, dan
pembayaran ditangguhkan.14
Istishna’ berarti minta dibuatkan. Secara terminologi mauamalah (ta’rif)
berarti akad jual beli dimana Shanni’ (produsen) ditugaskan untuk membuat suatu
barang (pesanan) oleh Mustashni (pemesan).
Menurut Jumhur Ulama, istishna’ sama dengan salam yaitu dari segi obyek
pesanannya yaitu harus dibuat atau dipesan terlebih dahulu dengan ciri-ciri
khusus. Perbedaannya hanya pada sistem pembayarannya, salam pembayarannya
dialkukan sebelum barang diterima dan istishna bisa di awal, di tengah, atau di
akhir pesanan.
12 Hidayati Nur. 04 April 2018. “Manajemen Keuangan Syariah”. Di akses 03 Juni 2021.
http://nurhidayati97.blogspot.com/2018/04/mekanisme-keuangan-berbasis-jual-beli.html
13 smail. 2013. Perbankan Syariah. Jakarta: PernadaMedia Grup. H.146
14 Sari, D. W., & Anshori, M. Y. (2018). Pengaruh Pembiayaan Murabahah, Istishna, Mudharabah,
Dan Musyarakah Terhadap Profitabilitas (Studi Pada Bank Syariah Di Indonesia Periode Maret 2015
– Agustus 2016). Accounting and Management Journal, 1(1), 1–8.
https://doi.org/10.33086/amj.v1i1.68
7
Istishna adalah jual beli dalam bentuk pembuatan barang tertentu dengan
kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati atara pesanan (pembeli,
mustashni) dan penjual (pembuat, shani). Jika pembelian dalam akad istishna
tidak mewajibkan bank untuk membuat sendiri barang pesanan, maka untuk
memenuhi kewajiaban pada akad pertama, bank dapat mengadakan akad istishna
kedua dengan pihak ketiga (subkontraktor). Akad istishna kedua ini disebut
istishna paralel. Akad istishna dapat dihentikan jika kedua belah pihak telah
memenuhi kewajibannya.
3. Mekanisme Keuangan Berbasis Sewa Menyewa
Sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain
selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak
tersebut terakhir itu.
Dalam transaksi sewa-menyewa dalam perbankan konvensional tidak
adaperalihan hak milik, artinya jika masa sewa berakhir maka barang obyek
sewadikembalikan pada pemilik sewa sehingga pada umumnya tidak
membutuhkan jasasuatu lembaga pembiayaan. Akan tetapi lain halnya dalam
praktek perbankan Syariah karena dikenal pembiayaan berdasarkan akad sewa-
menyewa yang disebut ijarah.15
Pembiayaan Ijarah
Al-Ijarah berasal dari kataal-ajruyang berartial’iwadhuatau berarti
ganti.Dalam Bahasa Arab, al-ijarahdiartikan sebagai suatu jenis akad untuk
mengambil manfaat dengan jalan penggantian sejumlah uang.16 Al-Ijarah juga disebut
akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu
melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang
itu sendiri. Maksud “manfaat” adalah berguna, yaitu barang yang mempunyai banyak
manfaat dan selama mengunakannya barang tersebut tidak mengalami perubahan atau
musnah. Manfaat yang diambil tidak berbentuk zatnya melainkan sifatnya dan dibayar
sewa, misalnya rumah yang dikontrakkan/sewa mobil disewa untuk perjalanan.17
Ada dua jenis ijarah dalam hukum Islam :
15 Tehuayo, R. (2018). Sewa Menyewa (Ijarah) Dalam Sistem Perbankan Syariah. Tahkim, 14(1).
https://doi.org/10.33477/thk.v14i1.576
16 Sayyid Sabiq,Fiqih SunnahJilid 13, terj. Kamaludin A. dan Marzuki (Bandung: PT al Ma’arif,2007),
h. 15
17 Muhammad, Manajemen Keuangan Syariah analisi fiqh dan keuangan, (Yogyakarta : UPP STIM
YKPN, 2014), Ed.1, Cet.1, hal.309
8
a. Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa
seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa. Pihak yang
mempekerjakan disebut musta’jir, pihak pekerja disebut ajir, upah yang dibayar
disebut ujrah.
b. Ijarah yang berhubungan dengan sewa asset atau properti, yaitu memindahkan hak
untuk memakai dari asset atau properti tertentu kepada orang lain dengan imbalan
biaya sewa.18
Landasan Syariah
Ijarah merupakan salah satu bentuk muamalah dalam memenuhi kebutuhan
hidup manusia, seperti sewa-menyewa, atau kontrak. Ulama fiqih membolehkan
adanya akad ijarah muntahiyyah bittamlik.
“Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena
Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita)
ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".(QS. Al Qasas :26)
Ahmad, abu daud, an Nasai meriwayatkan dari saad bin waqqash r.a. berkata :
“dahulu kami menyewa tanah dengan (jalan membayar dari) tanaman yang tumbuh.
Lalu rasulullah melarang kami cara itu dan memerintahkan kami membayarnya
dengan uang emas atau perak”.
Rukun Al-Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, rukunal-ijarahitu hanya satu, yaitu ijab (ungkapan
menyewakan) dan qabul (persetujuan terhadap sewa menyewa). Akan tetapi, jumhur
ulama mengatakan bahwa rukunal-ijarah itu ada empat, yaitu: (a) orang yang berakad,
(b) sewa/imbalan, (c) manfaat, dan (d) shighat (ijab dan qabul). Ulama Hanafiyah
menyatakan bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan, dan manfaat, termasuk
syarat-syarat al-ijarah, bukan rukunnya.19 Hal itu menunjukkan bahwa jika salah satu
dari beberapa rukun sewa-menyewa (al-ijarah) tersebut tidak terpenuhi, maka akad
sewa-menyewanya di kategorikan tidak sah. Sebab ketentuan dalam rukun sewa-
menyewa di atas bersifat kumulatif (gabungan) dan bukan alternatif.
Rukun dari akad Ijarah yang harus dipenuhi dalam transaksi yaitu:20
18 Ascarya, Akad Dan Produk Bank Syariah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008, hlm .99
19 Nasrun Harun,Fiqh Muamalah, (Cet. II; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), h. 231
20 Al Hafizh bin Hajar Al’Asoalani, Tarjamah Bulughul Maram, Semarang : Wicaksana, 2010. h.101
9
a. Pelaku akad, yaitu musta’jir (penyewa) adalah pihak yang menyewa asset, dan
mu’jir/mua’jir (pemilik) adalah pihak pemilik yang menyewakan asset.
b. Objek akad, yaitu ma’jur (asset yang disewakan), dan ujroh (harga sewa)
c. Shiqhat, yaitu ijab dan qabul
Implementasi ijarah
Tujuan
1) Memberikan pasilitas nasabah yang membutuhkan manfaat atas barang atau jasa
dengan pembayaran tangguh.
2) Obyek sewa yaitu : properti, alat transportasi, alat-alat berat, mylti jasa
(pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan kepariwisataan dan lain-lain).
3) Spesifikasi obyek sewa yaitu : jumlah, ukuran dan jenis obyek sewa harus
diketahui jelas serta tercantum dalam akad. Obyek sewa dapat berupa barang yang
telah dimiliki bank atau barang yang diperoleh dengan menyewa dari pihak lain untuk
kepentingan nasabah.
4) Pemilik sewa yaitu : bank wajib menyediakan barang sewa menjamin pemenuhan
kualitas dan kuantitas barang sewa serta ketepatan waktu penyediaan barang sesuai
kesepakatan.
5) Penyewa (nasabah) yaitu: nasabah dilarang menyewakan kembali barang yang
disewakannya, nasabah wajib menjaga keutuhan barang sewa, nasabah tidak
bertanggung jawab atas kerusakan barang sewa yang terjadi bukan karena bukan
pelanggaran perjanjian atau kelalaian nasabah.
6) Sewa (ujrah) yaitu: nasabah membayar sewa sesuai dengan kesepakatan, besarnya
sewa harus disepakati diawal dan dinyatakan dalam bentuk presentase, besarnya sewa
dapat ditinjau sesuai dengan kesepakatan, apabila periode nasabah kurang dari satu
tahun, maka sewa diakui sebagai pendapatan bank setiap pembayaran sewa.
Ketentuan Ijarah Muntahia Bittamlik
Akad ijarah muntahia boleh dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad ijarah (fatwa DSN nomor:
09/DSN-MUI/IV/2000 berlaku pula dalam akad al-ijarah al-muntahia bi al-tamlik.
2. Perjanjian untuk melakukan akad ijarah muntahia bittamlik harus disepakati
ketika akad ijarah di tandatangani.
3. Hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad.
Ketentuan tentang Ijarah muntahia bittamlik
10
1. Pihak yang melakukan ijarah muntahi bittamlik harus melaksanakan akad ijarah
terlebih dahulu, akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian,
hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai.
2. Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad ijarah adalah wa’d
dan hukumnya tidak mengikat. Apabila janjian itu ingin dilaksanakan maka harus ada
akad pembinahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai.
4. Mekanisme Keuangan Berbasis Titipan
Titipan adalah simpanan pada bank (perorangan atau badan hukum, dalam
mata uang rupiah) yang penarikannya dapat dilakukan sewaktu-waktu dengan
menggunakan media slip penarikan atau pemindah bukuan lainnya.
Al Wadiah adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu
maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penyimpan
menghendakinya. Barang titipan dalam fiqih dikenal dengan sebutan wadi’ah,
menurut bahasa, wadi’ah ialah sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya
supaya dijaga (Ma Wudi’a ‘Inda Ghair Malikihi Layahfadzuhu), berarti bahwa
wadi’ah ialah memberikan, makna yang kedua wadi’ah dari segi bahasa adalah
menerima, seperti seseorang berkata: “awda’tubu” artinya aku menerima harta
tersebut darinya (Qabiltu minhu dzalika al-Mal Liyakuna Wadi’ah ‘Indi), secara
bahasa wadi’ah memiliki 2 makna, yakni memberikan harta untuk dijaga dan pada
penerimaannya.21
Dapat diketahui bahwa wadi’ah merupakan titipan murni dari satu pihak ke
pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan
kapan saja si penitip menghendaki. Selain itu, menurut Bank Indonesia, wadi’ah
adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan
pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan,
serta keutuhan barang/uang.
Dilihat dari segi akadnya ada beberapa bentuk wadi`ah yaitu : Pertama,
wadiah yad amanah adalah akad penitipan barang/uang dimana penerima titipan tidak
diperkenankan menggunakan barang/uang yang dititipkan dan tidak bertanggung
21 Fauzi, Ahmad. 29 September 2017. “Makalah : Manajemen Keuangan Syariah Mekanisme
Keuangan Syariah , Berbasis Titipan (Wadiah). Di akses 03 Juni 2021.
http://kerjabukanpadabidang.blogspot.com/2017/09/makalah-manajemen-keuangan-syariah.html
11
jawab atas kerusakan atau kehilangan barang/uang titipan yang bukan di akibatkan
perbuatan atau kelalaian penerima titipan. Kedua, wadiah yad dhamanah adalah akad
penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik
barang/uang dapat memanfaatkan barang/uang dan harus bertanggung jawab atas
kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan.
Dalam penerapannya, produk bank Syariah dengan akad wadiah menerapkan
prinsip wadiah yad amanah dan wadiah yad dhamanah. Terkait dengan kedua produk
tersebut, dalam pelaksanaannya perbankkan Syariah lebih menerapkan prinsip wadiah
yad dhamanah. Padahal, akad wadiah yad dhamanah secara nama tidak ditemukan
dalam literatur fikih klasik dan apabila dibedah prinsip ini ditemukan dua akad yang
sifatnya bertentangan namun dipaksakan.
Adanya unsur dua akad dalam prinsip wadiah yad dhamanah, karena di dalam
praktiknya baik produk Giro Wadiah ataupun Tabungan Wadiah, bank meminta pihak
penitip (nasabah) memberikan kewenangan kepada pihak bank untuk mengelola
titipan/asetnya, dan bank memiliki hak penuh atas hasil yang diperoleh dari
pemanfaatan titipan nasabah, yang dengan kata lain bank tidak dikenai
tanggungjawab (kewajiban) membagi hasilnya.
Padahal, secara asal di dalam prinsip wadiah, pemanfaatan suatu titipan dalam
bentuk apapun hukumnya terlarang, karena apabila telah ada unsur penggunaan oleh
pihak yang dititipi maka akadnya pun berubah. Di dalam fikih, yang demikian
dikatakan sebagai prinsip pinjam-meminjam (qard). Melalui sekilas gambaran seputar
prinsip wadiah yad dhamanah yang di dalamnya terkandung unsur wadiah dan qard,
namun lebih layak berlandaskan qard.
Wadiah pada prinsipnya adalah membantu pihak penitip, dan pihak yang
dititipi posisisnya sebagai pihak penolong. Karena itulah, sifat dari wadiah adalah
amanah. Dalam kitab I’anatut Thalibin karya Ad Dimyathy dijelaskan bahwa
wadhi’ah adalah: “Suatu akad yang betujuan menjaga suatu harta.”
Dalam menjalankan praktek wadiah, dana nasabah yang dititipkan di bank
syariah mendapat jaminan aman, dan perbankan syari’ah wajib menanggung segala
resiko yang tejadi pada dana nasabah. Selanjutnya bukan hanya menjamin, namun
lebih jauh lagi, perbankan syari’ah memberi keuntungan yang kemudian disebut
dengan ‘bagi hasil’.
Jika kita bandingkan antara menitipkan di perbankan syariah dan menabung di
bank konvensional, menabung di perbankan konvensional, paling sedikit kita
12
mendapatkan dua ‘keuntungan': Pertama, dana aman dan kedua, bunga tabungan yang
didapatkan setiap bulan. Sedangkan besaran bunga yang and didapatkan setiap bulan,
sesuai dengan suku bunga yang ditetapkan bank. Dengan memahami dua konsep
transaksi ini, secara sederhana kita bisa menangkap adanya kemiripan antara konsep
wadiah bank syariah dengan tabungan konvensional, jika mengacu bahwa menitipkan
uang harus mendapat kelebihan.
Rukun Wadiah
Menurut Hanafiah : Rukun wadi’ah menurutnya hanya satu, yaitu adanya
pernyataan kehendak (sighat:ijab (ungkapan kehendak menitipkan barang dari
pemiliknya) dan qabul (ungkapan kesiapan menerima titipan tersebut oleh pihak yang
dititipi).Namun menurut Jumhur ulama Fiqh: Rukun wadi’ah ada tiga: (1) ada
pelaku akad (ٌ( ;)انعاقذا2) barang titipan; dan (3) pernyataan kehendak (sighat ijab
dan qabul) baik dilakukan secara lafad atau hanya tindakan.22
Syarat Wadiah
a. Syarat wadi’ah menurut Hanafiah adalah pihak pelaku akad disyaratkan harus
orang yang berakal, sehingga sekalipun anak kecil namun sudah dianggap
telah berakal dan mendapat izin dari walinya, akad wadi’ahnya dianggap sah.
b. Jumhur mensyaratkan dalam wadi’ah agar pihak pelaku akad telah balig,
berakal dan cerdas, karena akad wadi’ah mengandung banyak resiko, sehingga
sekalipun berakal dan telah balig namun tidak cerdas menurut Jumhur akad
wadi’ahnya tidak dianggap sah.23
Hukum menerima wadi’ah atau barang titipan itu ada 4 (empat), yaitu :
1. Sunnah, yaitu bagi orang yang percaya pada dirinya bahwa dia sanggup
memelihara dan menjaganya, menerimanya bila disertai niat yang tulus ikhlas
kepada Allah. Dianjurkan menerima wadii’ah, karena ada pahala yang besar di
sana
2. Wajib, yaitu apabila sudah tidak ada lagi orang yang bisa dipercaya, kecuali
hanya dia satu-satunya
3. Haram, apabila dia tidak kuasa atau tidak sanggup menjaganya sebagaimana
mestinya, karena seolah-olah dia membiarkan pintu kerusakan atau hilangnya
barang titipan
22 Widayatsari, A. (2013). Akad Wadiah dan Mudharabah dalam Penghimpunan Dana Pihak Ketiga
Bank Syariah. Economic: Jurnal Ekonomi Dan Hukum Islam, Vol. 4, No. 1 2014, 3(1), 1–21.
23 Ibid. H.6
13
4. Makruh, menitipkan kepada orang yang dapat menjaganya tetapi ia tidak
percaya pada dirinya, bahkan dikhawatirkan kemudian hari dia akan berkhianat
terhadap barang titipan itu.
5. Mekanisme Keuangan Berbasis Utang dan Kebaikan
Qardh menurut bahasa adalah الإقراض- قرضyang artinya pinjaman-
peminjaman.24, atau Qiradhberarti Al Qith‟u(cabang) atau potongan ialah harta
yang diberikan seseorang pemberi qiradhkepada orang yang diqiradhkan untuk
kemudian dia memberikannya setelah mampu25, pengalihan hak milik harta atas
harta26 jadi al-Qardhadalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih
atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan
imbalan. Dalam literature fiqhi klasik, qardh dikategorikan dalam aqd
tathawwuiatau akad saling membantu dan bukan transaksi komersial.27
Secara syar‟i,menurut Hanafi, adalah harta yang memiliki kesepadanan
yang anda berikan untuk anda tagih kembali, atau dengan kata lain: suatu
transaksi yang dimaksud untuk memberikan harta yang memiliki kesepadanan
kepada orang lain untuk dikembalikan yang sepadan dengan itu.28
Dalam akad Qardh, pemberi pinjaman tidak boleh mensyaratkan keuntungan
dalam pinjaman dan Ia boleh menerima lebih jika peminjam memberikannya dalam
jumlah yang lebih. Dalam pandangan peminjam, Ia boleh melakukan pinjaman dan
sunnah mengembalikannya dalam jumlah yang lebih untuk mengikuti sunnah nabi.
Sebagaimana yang dihadistkan oleh nabi Muhammad saw “sebaik-sebaik manusia
yang berutang adalah orang yang mengembalikan hutang dengan jumlah yang
lebih.”29
Rukun dan Syarat Qard (Titipan)
Rukun harus ada dalam setiap akad untuk terjadinya akad,30 karena rukun
adalah sesuatu yang menjadi tegaknya dan adanya sesuatu, dan rukun
bersifat internal (dakhiliy)dari sesuatu yang ditegakkanya.31
24 Ahmad Warsun Munawwir, Kamus Al-Munawwir: Arab-Indonesia(Surabaya: Pustaka Progressif,
2002), h. 1191
25 Sayid Sabiq, Fikih Sunnah(Kuala Lumpur; Victori A, 1990), h. 129
26 Wahbah Zulhili, Al-Fiqhu Al Islam wa Adillatuhu. terj.(Jakarta; PT. BMI, 1999)h. 1/11
27 Muhammad Syafi‟I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik. (Jakarta; Gema Insani Press,
2001), h.131
28 Wahbah Zulhili, Al-Fiqhu Al Islam wa Adillatuhu., h. 2/11
29 Fatihin, M. K. (2018). Makalah Fiqh Muamalah “ Konsep Dasar Dan Implementasi Qardh.
30 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih
Muamalat(Jakarta; PT. Grafindo Persada, 2007), h.96
31 Ghufron A. Mas‟adi, Fiqhi Muamalah Kontekstual(Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2002), h. 78
14
Rukun Qardh ada empat yakni32;
a.Muqridh; orang yang mempunyai barang-barang untuk diutangkan
b.Mustaridh; orang yang mempunyai utang
c.Muqtaradh; obyek yang berutangd.Sighat akad; ijab Kabul
Yang disyaratkan harus orang yang cakap untuk melakukan tindakan
hukum dan barang yang dihutangkan disyaratkan berbentuk barang yang dapat
diukur/diketahui jumlah maupun nilainya. Disyaratkannya hal ini agar pada
waktu pembayaran tidak menyulitkan, sebab harus sama jumlah/ nilainya dengan
jumlah/ nilai barang yang diterima.33
Pembayaran Hutang34
a. Pembayaran utang dengan barang yang tidak sama jenisnya Dalam sebuah riwayat
dikatakan bahwa Umar mengatakan boleh. Beliau berkata tentang seorang laki-
laki yang meminjam dinar kepada orang lain, apa boleh dia menerima pembayaran
dengan dirham? Umar ra. Berkata: “Jika dirham itu sama harga/nilainya dengan
dinar yang dipinjam, maka bayarlah.”
b. Syarat adanya manfaat yang harus diterima oleh orang yang menghutangi
Tidak boleh memberikan syarat, keharusan adanya harta atau manfaat yang lain
yang harus diterima oleh orang yang memberi hutang dari orang yang
berhutang, karena itu adalah riba dan tidak halal dalam Islam
c. Sebaik-baik pembayaran Jika orang yang menghutangi tidak memberikan
syarat adanya tambahan atau manfaat, lantas orang yang hutang memberikan
sesuatukepadanya, maka boleh dia mengambilnya. Karena ini termasuk
sebaik-baik pembayaran Diriwayatkan dari Ibnu Sirin bahwa Ubay bin Ka‟ab
meminjam kepada Umar ra. Sepuluh ribu. Lalu ia memberikan buah-buahan
yang paling bagus di Madinah kepada Umar ra., tapi dikembalikan oleh Umar
ra., kemudian Ubay menyakinkannya: “tidak ada larangan pemberian saya ini”.
Akhirnya Umar mau menerima buah-buahan pemberian Ubay tersebut.
Satu-satunya akad berbentuk pinjaman yang diterapkan dalam perbankan
syariah adalah Qardhdan turunanya Qardhul Hasan. Karena bunga dilarang dalam
Islam, maka pinjaman Qardhmaupun Qardhul Hasanmerupakan pinjaman tanpa
32 Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, h.142-143
33 Chairumah Pasaribu & Suhrawadi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam(Jakarta; Sinar Grafika,
1996), h. 137
34 Muhammad Rawwas Qal‟ahji, Ensiklopedi Fiqhi Umar bin Khathab ra (Jakarta; PT Raja Grafindo
Persada, 1999), h. 59, bandingkan dengan Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-
Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Kaffah (Surabaya; Pustaka Yassir, 2009). h. 920
15
bunga. Lebih khusus lagi, pinjaman Qardhul Hasanmerupakan pinjaman kebajikan
yang tidak bersifat komersial.35 Sehingga disebut akad Ta‟awuniy(akad saling tolong
menolong).
Berdasarkan fatwa DSN, maka yang menjadi pertimbangan DSN menetapkan
al-Qard al-Hasan sebagai sebuah sistem perekonomian yang sah menurut
syari‟ah adalah:36
a.Lembaga Keuangan Syari‟ah (LKS) disamping sebagai lembaga komersial,
harus dapat berperan sebagai lembaga sosial yang dapat meningkatkan
perekonomian secara maksimal
b.Sebagai salah satu sarana peningkatan perekonomian yang dapat dilakukan oleh
LKS adalah penyaluran dana melalui prinsip al-Qard, yakni suatu akad
pinjaman kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib
mengembalikan dana yang diterimanya kepada LKS pada waktu yang telah
disepakati oleh LKS dengan nasabah.
c.Akad tersebut sesuai dengan syari‟ah Islam, DSN memandang perlu
mendapatkan fatwa tentang akad al-qarduntuk dijadikan pedoman oleh LKS.
B. Pengembangan Instrumen Keuangan
1. Kontrak Keuangan Syariah
Aktivitas ekonomi dalam sistem ekonomi manapun dapat dilihat sebagai
kontrak (akad) antara pelaku-pelaku ekonomi. Instrumen keuangan juga merupakan
akad, di mana syarat dan kondisinya akan menentukan risiko dan profil keuntungan
instrumen tersebut. Konsep, isi dan aplikasi seluruh struktur inti Hukum Ilahi dalam
Islam bersifat kontraktual. Sebuah kontrak dianggap legal dan berkekuatan hukum
oleh syari’ah jika pasal kontrak tersebut bebas dari semua yang dilarang atau
diharamkan.37
Sistem ekonomi Islam memiliki serangkaian kontrak inti, yang berfungsi
sebagai landasan bagi pendesainan instrumen keuangan yang lebih rumit dan
kompleks. Tidak ada klasifikasi kontrak baku dalam sistem hukum Islam, akan tetapi
dari sudut pandangan bisnis dan komersial, seseorang dapat mengelompokkan
35 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah(Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h.46
36 Brifecase Books Edukasi Profesional Syari‟ah, Fatwa-Fatwa Ekonomi Syari‟ah
Kontemporer(Jakarta: Renaisan, 2005), h. 55
37 Muhammad, Manajemen Keuangan Syari’ah: Analisis Fiqh & Keuangan, (Yogyakarta: UUP STIM
YKPN, 2014), hal. 229.
16
kontrak tertentu sesuai dengan fungsi dan tujuannya dalam ekonomi dan sistem
keuangan. Kontrak yang berhubungan dengan transaksi komersial dan bisnis dapat
diklasifikasikan ke dalam empat kategori besar yaitu :38
1. Kontrak Transaksional
Kontrak transaksional berhubungan dengan sektor transaksi ekonomi riil yang
memfasilitasi pertukaran, penjualan, dan perdagangan komoditas dan jasa. Inti
kontrak transaksional didasarkan pada aktivitas perdagangan atau pertukaran.
Pertukaran dapat berbasis on the spot atau berjangka (deffered) dan dapat berupa
pertukaran komoditas dengan komoditas, jual beli barang dengan harga tertentu, atau
jual beli dengan utang. Berbagai kontrak ini menciptakan aset, yang bisa menjadi
basis peluang pendanaan dan investasi. Karena itu pertukaran ini membentuk inti
sistem ekonomi dan keuangan yang lebih luas.
Islam sangat menganjurkan berdagang dan memberikan prioritas kepada aktivitas
perdagangan dibandingkan bentuk bisnis lain. Perdagangan yang dimaksud bukan
hanya memperdagangkan aset fisik tetapi juga memperdagangkan hak untuk
menggunakan aset fisik. Karena itu kontrak dasarnya adalah kontrak pertukaran,
penjualan aset atau penjualan hak untuk menggunakan aset. Kontrak pertukaran dan
penjualan menimbulkan pengalihan kepemilikan, sedangkan kontrak penggunaan
aset hanya mengalihkan hak untuk menggunakan barang dari satu pihak ke pihak
lain.39
2. Kontrak Pembiayaan
Kontrak pembiayaan (financing contract) menawarkan jalan untuk menciptakan dan
memperluas kredit, memfasilitasi pembiayaan kontrak transaksional, dan
memberikan saluran untuk pembentukan kapital dan mobilisasi sumber daya antara
investor dan pengusaha. Ciri utama kontrak pembiayaan adalah tidak adanya kontrak
utang. Kontrak pembiayaan dimaksudkan untuk pendanaan kontrak transaksional
dalam bentuk trade finance (pembiayaan perdagangan) atau asset-backed securities
(sekuritas berbasis aset), atau menyediakan modal melalui equity partnership
(kemitraan dalam modal) yang dapat diwujudkan dalam beberapa bentuk seperti
kemitraan, penyetaraan kepemilikan atau kemitraan lainnya.
Jika dilihat dari perspektif risiko relatifnya, pada salah satu ujung kontinum risiko
sistem tersebut menawarkan sekuritas dengan aset risiko rendah, dan pada ujung
38 Ibid, hal. 229-231.
39 Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam: Teori dan Praktik, (Jakarta: Kencana,
2008), hal. 103.
17
kontinum satunya ia akan mempromosikan pembiayaan ekuitas berisiko, seperti
modal ventura dan ekuitas privat. Di antara kedua ujung kontinum ini, ada sekuritas
yang berasal dari kontrak ijarah dan istishna yang dikaitkan dengan aset riil yang
dapat memuaskan kebutuhan investor yang mencari jatuh tempo pendek dan
menengah.40
3. Kontrak Intermediasi
Kontrak intermediasi adalah kontrak yang memfasilitasi pelaksanaan kontrak
transaksional dan finansial yang efisien dan transparan. Kontrak ini memberikan
kepada agen ekonomi seperangkat alat untuk melaksanakan intermediasi keuangan
sekaligus menawarkan jasa profesional (fee based) untuk aktifitas ekonomi. Kontrak
intermediassi mencakup mudharabah (kontrak dengan perwalian), musyarakah
(penyertaan modal), kafalah (penjaminan), amanah (kepercayaan), takaful (asuransi),
wakalah (agensi), jo’ala (jasa profesional).
Dalam kontrak mudharabah, agen ekonomi dengan modal (pemilik modal) dapat
menjalin kemitraan dengan agen akonomi lain yang memiliki keterampilan dengan
perjanjian bagi hasil. Walaupun kerugian ditanggung pemilik modal, mudharib dapat
bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan tidak pantas atau
pengacuhan pada pihaknya.
Kontrak mudharabah dan musyarakah merupakan hal penting dalam penciptaan
kredit dan modal, namun kontrak lain seperti wakalah, jo’ala, dan rahn memainkan
peran penting dalam memberikan jasa ekonomi penting yang bisa ditawarkan oleh
intermediator finansial konvensional.41
4. Kontrak Kesejahteraan Sosial
Kontrak kesejahteraan sosial ialah kontrak antara individu dan masyarakat untuk
memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi mereka yang kurang mampu.
Walaupun fasilitas kontrak kesejahteraan adalah di luar cakupan intermediasi, namun
intermediasi dapat menawarkan layanan masyarakat dengan menginstusionalisasikan
kontrak kesejahteraan sosial.
40 Ibid, hal. 111.
41 Ibid, hal. 129.
18
B. Instrumen Keuangan Syari’ah Primer
Berdasarkan teori akad sebagaimana dijelaskan, dapat diformulasikan kontrak-
kontrak keuangan yang kemudian dikenal dengan instrumen keuangan.42
1. Mudharabah
Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara shahibul maal (pemilik
dana) dan mudharib (pengelola) dengan nisbah bagi hasil menurut kesepakatan di
muka. Jika usaha mengalami kerugian, maka seluruh kerugian ditanggung oleh
pemilik dana, kecuali ditemukan adanya kelalaian atau kesalahan oleh pengelola
dana. Seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan dana.
Mudharabah terdiri dari dua jenis, yaitu Mudharabah Muthlaqah (investasi tidak
terikat) dan Mudharabah Muqayyah (investasi terikat). Mudharabah Muthlaqaah
adalah mudharabah di mana pemilik dana memberikan kebebasan kepada pengelola
dana dalam mengelola investasinya. Mudharabah Muqayyah adalah mudharabah di
mana pemilik dana memberikan batasan kepada pengelola dana mengenai tempat,
cara, dan obyek investasi.43
2. Musyarakah
Musyarakah adalah akad kerjasama di antara para pemilik modal yang
mencampurkan modalnya untuk tujuan mencari keuntungan. Dalam musyarakah,
mitra dan bank sama-sama menyediakan modal untuk membiayai suatu usah tertentu,
baik yang sudah berjalan maupun yang baru. Selanjutnya mitra dapat mengembalikan
modal tersebut berikut bagi hasil yang telah disepakati secara bertahap atau sekaligus
kepada bank.
Pembiayaan Musyarakah dapat diberikan dalam bentuk kas, setara kas, atau aktiva
non kas, termasuk aktiva tidak berwujud, seperti lisensi dan hak paten. Laba
musyarakah dibagi di antara para mitra dan bank secara proporsional sesuai dengan
modal yang disetorkan (baik kas maupun aktiva lainnya) atau sesuai dengan nisbah
yang disepakati oleh semua mitra. Sedangkan rugi dibebankan secara proporsional
sesuai dengan modal yang disetorkan (baik berupa kas maupun aktiva lainnya).
Musyarakah dapat bersifat musyarakah permanen maupun menurun. Dalam
musyawarah permanen, bagi modal setiap mitra ditentukan sesuai akad dan
jumlahnya tetap hingga akhir masa akad. Sedangkan musyarakah menurun, bagian
42 Muhammad, Op. Cit, hal. 231.
43
19
modal bank akan menurun dan pada akhir masa akad mitra akan menjadi pemilik
usaha tersebut.
3. Murabahah
Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan
dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual maupun pembeli. Murabahah
dapat dilakukan berdasarkan pesanan maupun tanpa pesanan. Dalam murabahah
berdasarkan pesanan, bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari
nasabah.
Murabahah berdasarkan pesanannya dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat
nasabah untuk membeli barang yang dipesannya. Dalam murabahah pesanan
mengikat pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya. Apabila aktiva murabahah
yang telah dibeli bank (sebagai penjual) dalam murabahah pesanan mengikat
mengalami penurunan nilai sebelum diserahkan kepada pembeli maka penurunan
nilai tersebut menjadi beban penjual (bank) dan penjual akan mengurangi nilai akad.
Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai maupun cicilan. Selain
itu, dalam murabahah juga diperkenankan adanya perbedaan dalam harga barang
untuk cara pembayarannya yang berbeda.
Bank dapat memberikan potongan apabila nasabah:
a. Mempercepat pembayaran cicilan atau,
b. Melunasi piutang murabahah sebelum jatuh tempo.
Harga yang disepakati dalam murabahah adalah harga jual sedangkan harga
beli harus diberitahukan. Jika bank mendapatkan potongan dari pemasok, maka
potongan itu merupakan hak nasabah. Apabila potongan tersebut terjadi setelah akad,
maka pembagian potongan tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian yang dibuat
dalam akad.
Bank dapat meminta nasabah untuk menyiapkan agunan atas piutang
murabahah, antara lain dalam bentuk barang yang telah dibeli dari bank. Bank dapat
meminta urban kepada nasabah sebagai uang muka pembelian pada saat akad
apabila kedua belah pihak bersepakat.
Apabila nasabah tidak dapat memenuhi piutang murabahah sesuai dengan
yang diperjanjikan, bank berhak mengenakan denda kecuali jika dapat dibuktikan
bahwa nasabah tidak mampu melunasi. Denda diterapkan bagi nasabah yang mampu
yang menunda pembayaran. Denda tersebut didasarkan pada pendekatan ta’zir yaitu
20
untuk membuat nasabah lebih disiplin terhadap kewajibannya. Besarnya denda sesuai
yang diperjanjikan dalam akad dan dana yang berasal dari denda diperuntukan
sebagai dana sosial (qardhul hasan).
4. Salam dan Salam Paralel
Salam adalah akad jual beli muslam fiih (barang pesanan) dengan
penangguhan pengiriman oleh muslam alaihi (penjual) dan pelunasannya dilakukan
segera oleh pembelian sebelum barang pesanan tersebut diterima sesuai dengan
syarat-syarat tertentu.
Rukun salam adalah sebagai berikut :44
a. Ada si penjual dan si pembeli
b. Ada barang dan uang
c. Ada sighat (lafaz akad)
Adapun syarat-syarat salam meliputi :
a. Uangnya hendaklah dibayar di tempat akad.
b. Barangnya menjadi utang bagi si penjual.
c. Barangnya dapat diberikan sesuai dengan waku yang dijanjikan.
d. Barang tersebut hendaklah jelas ukurannya, baik takaran, timbangan ataupun
bilangannya.
e. Disebutkan tempat menerimanya.
Bank dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi
salam. Jika bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain
untuk menyediakan barang pesanan dengan cara salam maka hal ini disebut salam
paralel. Salam paralel dapat dilakukan dengan syarat:
a. Akad kedua antara bank dan pemasok terpisah dari akad pertama antara bank
dan pembeli akhir.
b. Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.
5. Istishna dan Istishna Paralel
Istishna adalah akad jual beli antara al-mustashni (pembeli) dan as-shani
(produsen yang juga bertindak sebagai penjual). Berdasarkan akad tersebut, pembeli
menugasi produsen untuk menyediakan al-mashnu (barang pesanan) sesuai
spesifikasi yang disyaratkan pembeli dan menjualnya dengan harga yang sudah
44 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012) hal. 295.
21
disepakati. Cara pembayaran dapat dilakukan dengan pembayaran di muka, cicilan,
atau ditangguhkan sampai jangka waktu tertentu.
Bank dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu transaksi istishna’.
Jika bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan kepada pihak lain (sub-
kontraktor) untuk menyediakan barang pesanan dengan cara istishna’ maka hal ini
disebut istishna paralel. Istishna paralel dapat dilakukan dengan syarat:
a. Akad kedua antara bank dan sub-kontraktor terpisah dari akad pertama dari
bank dan pembeli akhir.
b. Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.
6. Ijarah dan Ijarah Muntahiyah Bittamlik
Kata ijarah diderivasi dari bentuk fi’il: ajara - ya’juru - ajran”. Ajran semakna
dengan kata al-awadh yang mempunyai arti ganti atau upah, dan dapat juga berarti
sewa.45 Dengan kata lain ijarah adalah akad sewa menyewa antara pemilik ma’jur
(obyek sewa) dan musta’jir (penyewa) untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa
dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa yang disewakannya.
Ijarah muntahiyah bittamlik adalah akad sewa menyewa antara pemilik obyek sewa
dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa yang disewakannya
dengan opsi perpindahan hak milik obyek sewa pada saat tertentu sesuai dengan akad
sewa.
7. Wadiah
Wadiah adalah titipan nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat
apabila nasabah yang bersangkutan menghendaki, bank bertanggung jawab atas
pengembalian titipan.
Wadiah dibagi atas wadiah yad-mudhamanah dan wadiah yad-amanah.
Wadiah yad-mudhamanah adalah titipan yang selama belum dikembalikan kepada
penitip dapat dimanfaatkan oleh penerima titipan. Apabila dari hasil pemanfaatan
tersebut diperoleh keuntungan maka seluruhnya menjadi hak penerima penitipan.
Sedangkan dalam prinsip wadiah yad-amanah, penerima titipan tidak boleh
memanfaatkan barang titipan tersebut samai diambil kembali oleh penitip.
8. Qardh dan Qardh Hasan
45 Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Teras, 2011), hal. 77
22
Pinjaman qardh adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara peminjam
dan pihak yang meminjamkan kewajiban peminjam melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu. Qardh hasan adalah pinjaman tanpa jaminan yang
memungkinkan peminjam untuk menggunakan dana tersebut selama jangka waktu
tertentu dan mengembalikan dalam jumlah yang sama pada akhir periode yang
disepakati.
9. Sharf
Sharf adalah transaksi jual beli dengan komoditi berupa alat pembayaran
(nuqud), atau mata uang (suatu valuta dengan valuta lainnya).46 Transaksi valuta
asing pada Bank Syariah (di luar jual beli banknotes) hanya dapat dilakukan dengan
tujuan lindung nilai (hedging) dan dibenarkan untuk tujuan spekulatif. Selisih
penjabaran aktiva dan kewajiban valuta asing dalam rupiah (revaluasi) diakui sebagai
pendapatan atau beban.
10. Wakalah
Wakalah adalah akad pemberian kuasa dari muwakil (pemberi kuasa/
nasabah) kepada wakil (penerima kuasa/ bank) untuk melaksanakan suatu taukil
(tugas) atas nama pemberi kuasa. Akad wakalah tersebut dapat digunakan antara lain
dalam pengiriman transfer, penagihan utang baik melalui kliring maupun inkaso, dan
realisasi L/C.
11. Kafalah
Kafalah adalah kemestian seseorang yang diperbolehkan mengelola hartanya sendiri
untuk menunaikan suatu hak yang diwajibkan kepada seseorang atau kemestian
menghadirkannya ke hadapan hakim (pengadilan). Pengertian kafalah al-khafalah
menurut bahasa berati al-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan za’amah
(tanggungan). Menurut Sayyit Sabiq, yang dimaksud dengan al-khafalah adalah
proses penggabungam tanggungan kafil menjadi beban ashil dalam tuntunan dengan
benda (materi) yang sama, baik utang, barang, maupun pekerjan.47
46 Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqh Muamalah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013), hal. 23
47 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 189.
23
Kafalah adalah akad pemberian pinjaman yang diberikan oleh kafil (penerima
jaminan) dan pinjaman tertanggung jawab atas pemenuhan kembali suatu kewajiban
yang menjadi hak penerima jaminan.
12. Hiwalah
Hiwalah adalah pemindahan pengalihan hak dan kewajiban baik dalam
bentuk pengalihan piutang maupun hutang, dan jasa pemindahan/ pengalihan dana
dari satu orang ke orang lain atau satu pihak ke pihak lain.
C. Instrumen Keuangan Syari’ah Sekunder
Instrumen keuangan syari’ah sekunder banyak diaplikasikan pada lembaga
keuangan dalam bentuk pasar modal. Instrumen keuangan sekunder merupakan
instrumen turunan dari instrumen keuangan primer. Ada berbagai macam instrumen
pasar modal, menurut Obaidullah instrumen penting yang dapat diperdagangkan
sebagai hasil pemikiran menurut hukum Islam, di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Dana Mudharabah (Mudharabah Fund)
Dana Mudharabah merupakan instrumen keuangan bagi investor untuk pembiayaan
bersama proyek besar berdasarkan prinsip bagi hasil. Instrumen ini diperbolehkan
menurut hukum Islam.
2. Saham Biasa Perusahaan (Common Stock)
Saham biasa yang diterbitkan oleh perusahaan yang didirikan untuk kegiatan bisnis
yang sesuai dengan Islam diperbolehkan.
3. Obligasi Muqaradah (Profit Sharing Bond)
Obligasi ini diterbitkan untuk pembiayaan proyek yang menghasilkan uang atau
proyek yang terpisah dari kegiatan umum perusahaan.
4. Obligasi Bagi Hasil (Profit Sharing Bond)
Obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan yang aktivitas bisnisnya sesuai dengan
syariah Islam dan berdasarkan prinsip bagi hasil jenis ini diperbolehkan.
5. Saham Preferen (Preferred Stock)
Saham ini memiliki hak-hak istimewa seperti deviden tetap dan prioritas dalam
likuidasi. Karena ada unsur pendapatan tetap (seperti bunga), maka dilarang menurut
hukum Islam.
2. Pengembangan Instrumen Keuangan Syariah
24
Di samping adanya instrumen-instrumen keuangan utama, maka perkembangan ke
depan perlu pemikiran lebih jauh adanya instrumen-instrumen keuangan lainnya
sebagai bahan kajian dalam hukum Islam, yaitu:48
1. Option
2. Future contract
3. Forward Purchased
4. Interest Rate Cap
5. Forward Rate Agreement
6. Repo Rate (Repurchase Agreement)
Berikut ini adalah beberapa sekuritas yang diperbolehkan atau dengan catatan-catatan
sebagai berikut :49
1. Saham (Ekuitas atau Shares)
Investasi pada saham sudah seharusnya menjadi preferensi bagi para investor
muslim, yaitu untuk menggantikan investasi pada interest yielding bonds atau
sertifikat deposito, walupun jika kemudian dinyatakan oleh fikih klasik bahwa ekuiti
tidak bisa dipersamakan dengan instrumen keuangan Islami, seperti kontrak
mudharabah atau musyarakah. Ekuiti dapat dijual kapan saja pada pasar sekunder
tanpa memerlukan persetujuan dari perusahaan yang mengeluarkan saham.
Sementara mudharabah dan musyarakah ditetapkan berdasarkan persetujuan shahibul
mal (investor) dan perusahaan sebagai mudharib.
2. Pasar Sekunder Islami
Diperbolehkannya jual beli saham sesuai dengan harga pasar, memungkinkan
terjadinya jual beli saham di bursa efek sebagai pasar sekunder. Pasar modal adalah
sarana untuk proses alokasi modal. Selain itu, pasar modal juga berfungsi sebagai
penilai kontinu terhadap nilai sebuah perusahaan. Dalam literatur keuangan, pasar
modal yang efisien harus menyediakan likuiditas dengan biaya transaksi minimum
sebagai syarat terbentuknya efisiensi harga. Harga yang seharusnya mencerminkan
nilai intrinsik suatu perusahaan. Pasar modal yang rasional adalah terjadinya perilaku
rasional dalam harga saham sesuai dengan tingkat deviden dan ekspektasi yang
wajar.
48 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 339.
49
25
3. Margin Trading
Margin trading adalah aktivitas penjualan kredit. Penjualan saham secara margin,
maka para investor diperlukan untuk mempunyai deposit pada broker yang nilainya
merupakan persentase tertentu dari saham yang akan dibeli. Selanjutnya broker
meminjamkan dulu dananya untuk membeli saham yang diminta.
Bentuk kontrak dalam Islam yang dapat disejajarkan dengan margin trading adalah
bai-muajjal atau bai murabahah, yang dibenarkan dalam Islam. Walaupun demikian,
ada catatannya bahwa meskipun kontrak ini diperbolehkan. Yaitu penggunaanya
secara luas tidak dianjurkan, karena khawatir akan membuka kembali pintu bagi
spekulasi atau judi pada jual-beli saham. Disebabkan para spekulan mempunyai
peluang untuk mengembangkan operasinya dengan sekadar margin requirement yang
rendah.
4. Islamic Bonds
Islamic bonds (muqaradah bond) diajukan sebagai alternatif pengganti interest-
bearing bonds. Instrumen keuangan ini sudah mendapatkan pengesahan dari IOC
Academy di Yordan. Islamic bonds dikeluarkan perusahaan dengan tujuan pendanaan
proyek tertentu yang dijalankan perusahaan. Proyek ini sifatnya terpisah dengan
aktivitas umum perusahaan. Keuntungannya didistribusikan secara periodik
berdasarkan persentase tertentu yang telah disepakati. Persentase ini merupakan rasio
pembagian keuntungan, sehingga menggunakan basis profit-loss sharing. Kontrak ini
juga menyediakan pembayaran bond pada saat jatuh temponya.
5. Pasar Sekunder untuk Bonds
Perdagangan obligasi di pasar sekunder mengemuka untuk tujuan likuiditas (as-
suyulah). Hampir semua Islamic bonds dibeli untuk investasi jangka panjang sampai
jatuh tempo. Trading tetap terjadi, namun hanya pada jatuh tempo dengan harga pada
par, sama dengan nominal yang tertera pada shahdah al-dayn (sertifikat obligasi).
Islamic bonds tidak diperbolehkan dalam Islam karena di dalamnya terdapat jual-beli
utang. Hal yang demikian adalah riba. Utang adalah tetap utang, meskipun di
dalamnya ditunjang dengan underlying asset-nya.
6. Derivative dalam Perspektif Syariah
26
Derivatives merupakan salah satu bentuk rekayasa keuangan dalam mendesain
strategi dan solusi inovatif untuk menjamin risiko. Hal yang banyak digunakan di
antaranya adalah forward/future dan options. Forward adalah kontrak untuk membeli
atau menjual suatu aset di masa depan dengan harga yang ditetapkan untuk
disepakati. Sedangkan option adalah hak dan bukan kewajiban untuk membeli atau
menjual underlying asset dengan harga dan waktu penyerahan yang disepakati.
Menurut Vogel dan Hayes (1998) mengklasifikasikan instrumen-instrumen derivatif
sebagai questionable dalam syari’ah Islam. Belum ada konsensus di kalangan ulama
mengenai hal ini. Kebanyakan ulama berpendapat melarang derivatif dengan dasar di
dalamnya ada unsur gharar. Sementara yang lain berpendapat bahwa derivatif justru
dimanfaatkan untuk menangkal gharar sebagai bentuk manajemen risiko.
Ditemukan atau tidak konsensus mengenai instrumen kauangan derivatif ini,
semuanya adalah dirujukan pada kebutuhan manajemen risiko. Yaitu semua itu
dilakukan untuk hedging, yaitu menutup risiko dari fluktuasi harga, dan bukan untuk
spekulasi ataupun arbritase.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan materi dalam makalah ini, maka dapat disimpulkan
bahwa instrumen keuangan merupakan kontrak atau akad, di mana syarat dan
kondisinya akan menentukan risiko dan profil keuntungan instrumen tersebut.
Kontrak yang berhubungan dengan transaksi komersial dan bisnis dapat
27
diklasifikasikan ke dalam empat kategori besar yaitu kontrak transaksional, kontrak
pembiayaan, kontrak intermediasi dan kontrak kesejahteraan sosial.
Berdasarkan teori akad, dapat diformulasikan kontrak-kontrak keuangan yang
kemudian dikenal dengan instrumen keuangan primer yaitu meliputi mudharabah,
musyarakah, murabahah, salam dan salam paralel, istishna dan istishna paralel, ijarah
dan ijarah muntahiyah bittamlik, wadiah, qard dan qardhul hasan, sharf, wakalah,
kafalah, serta hiwalah.
Selain instrumen primer, terdapat pula instumen sekunder dalam keuangan
syari’ah yang banyak diaplikasikan pada lembaga keuangan dalam bentuk pasar
modal. Instrumen keuangan sekunder merupakan instrumen turunan dari instrumen
keuangan primer. Instrumen sekunder meliputi dana mudharabah, saham biasa
perusahaan, obligasi muqaradah, obligasi bagi hasil, dan saham preferen.
Di samping adanya instrumen-instrumen keuangan utama, maka
perkembangan ke depan perlu pemikiran lebih jauh adanya instrumen-instrumen
keuangan lainnya sebagai bahan kajian dalam hukum Islam, yaitu: Option, Future
contract, Forward Purchased, Interest Rate Cap, Forward Rate Agreement, dan Repo
Rate.
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi’I. (2001). Bank Syariah: dari Teori ke Praktik, Jakarta:
Gema Insani Press
Anshori, Abdul Ghofur. (2008). Kapita Selekta Perbankan Syariah di Indonesia,
Yogyakarta: UII Press
28
Auliah Nur. 16 Maret 2018. “Mekanisme Keuangan Berbasis Jual Beli”. Di akses 03 Juni
2021. http://nuraulia05.blogspot.com/2018/03/mekanisme-keuangan-berbasis-jual-
beli.html
Andini Yuyun Tri. 04 April 2018. “Manajemen Keuangan Syariah”. Diakses 03 Juni 2021.
http://yuyuntriandhini.blogspot.com/2018/04/manajemen-keuangan-syariah-6.html
Ascarya, Akad Dan Produk Bank Syariah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008, hlm .99
Al Hafizh bin Hajar Al’Asoalani, Tarjamah Bulughul Maram, Semarang : Wicaksana, 2010
Ahmad Warsun Munawwir, Kamus Al-Munawwir: Arab-Indonesia(Surabaya: Pustaka
Progressif, 2002)
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah(Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2008)
Brifecase Books Edukasi Profesional Syari‟ah, Fatwa-Fatwa Ekonomi Syari‟ah
Kontemporer(Jakarta: Renaisan, 2005)
Chairumah Pasaribu & Suhrawadi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam(Jakarta; Sinar
Grafika, 1996)
Fauzi, Ahmad. 29 September 2017. “Makalah : Manajemen Keuangan Syariah Mekanisme
Keuangan Syariah , Berbasis Titipan (Wadiah). Di akses 03 Juni 2021.
http://kerjabukanpadabidang.blogspot.com/2017/09/makalah-manajemen-keuangan-
syariah.html
Fatihin, M. K. (2018). Makalah Fiqh Muamalah “ Konsep Dasar Dan Implementasi Qardh
Ghufron A. Mas‟adi, Fiqhi Muamalah Kontekstual(Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2002),
Hidayati Nur. 04 April 2018. “Manajemen Keuangan Syariah”. Di akses 03 Juni 2021. http://
nurhidayati97.blogspot.com/2018/04/mekanisme-keuangan-berbasis-jual-beli.html
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010)
Ismail. 2013. Perbankan Syariah. Jakarta: PernadaMedia Grup
Ibn Manẓūr, Abū al-Faḍl Jamāl al-Dīn Muḥammad Ibn Mukarram. (1954). Lisān
al-‘Arab. Jil. 4 Kaherah: al-Dār al-Miṣriyyah li al-Ta’līf wa al-Tarjamah
Muhammad, Teknik Perhitungan Bagihal.asil di Bank Syariah. ( Yogyakarta, UII Press,
2001)
Muhammad Syafi‟I Antonio, Bank Syariah Teori dan Praktek ( Jakarta, Gema Insani., 2001).
Muhammad Syafi‟I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik. (Jakarta; Gema Insani
Press, 2001)
Muhammad Rawwas Qal‟ahji, Ensiklopedi Fiqhi Umar bin Khathab ra (Jakarta; PT Raja
Grafindo Persada, 1999), bandingkan dengan Syaikh Muhammad bin Ibrahim
29
bin Abdullah At-Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Kaffah (Surabaya; Pustaka Yassir,
2009).
Muhammad, Manajemen Keuangan Syari’ah: Analisis Fiqh & Keuangan, (Yogyakarta: UUP
STIM YKPN, 2014).
Muhammad, Manajemen Keuangan Syariah analisi fiqh dan keuangan, (Yogyakarta : UPP
STIM YKPN, 2014), Ed.1, Cet.1
Nasrun Harun,Fiqh Muamalah, (Cet. II; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007)
Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Teras, 2011)
Rivai, Veithzal dan Arviyan Arifin. (2001). Islamic Banking: Sebuah Teori,
Konsep, dan Aplikasi, Jakarta: Bumi Akasara
Rahmat, Iliyas, (Jurnal Penelitian, Vol. 9, No. 1, Februari 2015) Konsep Pembiayaan Dalam
Perbankan Syari’ah
Sari, D. W., & Anshori, M. Y. (2018). Pengaruh Pembiayaan Murabahah, Istishna,
Mudharabah, Dan Musyarakah Terhadap Profitabilitas (Studi Pada Bank Syariah Di
Indonesia Periode Maret 2015 – Agustus 2016). Accounting and Management
Journal, 1(1), 1–8. https://doi.org/10.33086/amj.v1i1.68
Sayyid Sabiq,Fiqih SunnahJilid 13, terj. Kamaludin A. dan Marzuki (Bandung: PT al
Ma’arif,2007)
Sayid Sabiq, Fikih Sunnah(Kuala Lumpur; Victori A, 1990)
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih
Muamalat(Jakarta; PT. Grafindo Persada, 2007)
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012)
Tim Laskar Pelangi, Metodologi Fiqh Muamalah, (Kediri: Lirboyo Press, 2013)
Tehuayo, R. (2018). Sewa Menyewa (Ijarah) Dalam Sistem Perbankan Syariah. Tahkim,
14(1). https://doi.org/10.33477/thk.v14i1.576
Vol, J. (2021). Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan. 7(1).
https://doi.org/10.5281/zenodo.4486304
Widayatsari, A. (2013). Akad Wadiah dan Mudharabah dalam Penghimpunan Dana Pihak
Ketiga Bank Syariah. Economic: Jurnal Ekonomi Dan Hukum Islam, Vol. 4, No. 1
2014, 3(1), 1–21
Wahbah Zulhili, Al-Fiqhu Al Islam wa Adillatuhu. terj.(Jakarta; PT. BMI, 1999)h. 1/11
Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam: Teori dan Praktik, (Jakarta:
Kencana, 2008)
30