The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Sebuah novel sejarah yang berjudul "Ketika Semesta Mempertemukan Kita" untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Novel ini saya persembahkan untuk laki-laki terbaik yang saya kenal hingga kini.

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by jessyanasthasya, 2022-11-19 05:00:37

Ketika Semesta Mempertemukan Kita

Sebuah novel sejarah yang berjudul "Ketika Semesta Mempertemukan Kita" untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Novel ini saya persembahkan untuk laki-laki terbaik yang saya kenal hingga kini.

Untuk Ibu, Ayah, Kakak, dan Adik,
Terima kasih sudah selalu percaya dengan mimpi-mimpiku.
Terima kasih kuucapkan kepadamu karena telah bersedia meluangkan
waktunya membaca kisah ini. Semoga dengan kisah ini, kau juga akan
memiliki kisah indah versimu sendiri. Biarlah semesta yang memberi
ketika waktunya sudah tepat.
Teruntukmu,
Kata demi kata yang kian berkembang menjadi kalimat sudah menjadi
buku yang siap untuk kaubaca. Jika kautanya mengapa aku tidak
pernah memberi tahu kepadamu tentang alasan aku menulis
tentangmu, jawabannya sederhana. Karena kau terlalu disayangkan
untuk dilupakan. Terima kasih telah mengukir aksara indah ini selama
tujuh tahun. Kuberharap kita selalu bisa menuliskan kisah yang lebih
indah lagi.

Penulis

Semua hal pasti membuai kenangan
Kepada rindu yang selalu menyanggah untuk meminta pertemuan

Semesta juga selalu punya cara untuk waktu yang terus berjalan
Teruntuk pertemuan yang tidak kita paksakan

Penantian

Di waktu istirahat kedua, aku berdiri di hadapannya. Kami saling
memandang tanpa suara. Menatap matanya yang bersemangat dan alis
yang tebal adalah hal yang tidak kusangka selama ini.

“Aku nyaman kalau ada kamu,” ucapnya memecahkan lamunanku.
“Emang kenapa?” tanyaku dengan heran.
“Iya enggak papa. Rasanya beda aja gitu kalau dekat sama kamu, beda
sama teman-teman yang lain.”
“Oh… begitu ya. Emang bedanya gimana tuh?”
“Iya gitu. Enggak tahu mau jelasin kayak gimana lagi.”
Kami kembali terdiam dan berdiri bersebelahan. Memandanginya yang
terdiam dan terlihat memikirkan sesuatu, entah tugas, organisasi, atau apa?
Yang jelas dia terlihat sedang memikirkan sesuatu. Setelah 20 menit berlalu,
bel sekolah berbunyi untuk melanjutkan pelajaran. Kami berpamitan karena
berbeda kelas.
“Ya sudah, Lawana, terima kasih ya!” kata Davendra padaku sambil
menyentuh bahuku.
“Iya, terima kasih juga Davendra,” balasku dengan cepat.
Setelah Davendra menyentuh bahuku, rasanya aku ingin terbang bebas.
Melayang bebas tanpa batas. Aku langsung tersenyum dengan sendirinya
dan arghh… andai dia tahu perasaanku saat ini.
“Lawana ini kenapa ya? Tiba-tiba hatinya berseri-seri seperti ini?” kata
Putri padaku sambil terheran-heran.
“Nggak papa kok hehehe…,” jawabku dengan kalem agar tidak salah
tingkah.
Sepanjang hari aku terus memikirkan kejadian tadi, sambil memikirkan
apa yang terjadi dengan diriku. Saat aku pertama menatap matanya dengan
serius, cara berbicara yang halus, dan perkataan yang tidak seperti biasanya
malah membuat diriku semakin salah tingkah kalau diingat-ingat lagi.
Pagi ini, mentari bersinar cerah dan burung berkicau nan merdu.
Kuucapkan selamat pagi kepada Tuhan dan bersyukur atas nikmat hari ini
yang bisa kuterima.
“Ma, aku berangkat ke sekolah dulu ya!” ucapku pada mama.
“Iya, hati-hati. Baik-baik di sekolah, selamat bersenang-senang dengan
Davens ya,” tutur mama kepadaku sambil mengedipkan satu mata seolah-
olah itu adalah hal yang paling keren di dunia ini.
“Iya, Ma…”
Davens. Itu adalah nama keren yang diucapkan mama ketika menyebut
nama Davendra. Ya walau terdengar sedikit lebih menarik, tapi aku masih
biasa saja ketika mendengar namanya. Lama-kelamaan panggilan Davens
lebih menarik di telingaku ketimbang sebutan “Kulkas Seribu Pintu
Berjalan”. Aku juga tidak mengerti mengapa sekarang dia menjadi pusat

semestaku? Akan tetapi, hatiku masih belum sepenuhnya yakin karena dia
juga belum memberi kepastian.

“Halo Lawana!” kata Davendra ketika kami masuk ke pintu gerbang
sekolah.

“Hei! Halo juga!” ucapku dengan semangat.
“Kamu sudah ulangan fisika?”
“Sudah, hari Senin yang lalu.”
“Eh, gimana tuh soalnya? Spill sedikit dong.”
“Nanti ada empat soal, rumusnya sama persis yang ada di catatan. Ya
intinya hafalin aja rumusnya.”
“Huh! Kenapa sih fisika itu banyak rumus? Kalau enggak rumus ya
banyak gaya.”
“Soalnya kalau enggak banyak gaya nanti jadi mati gaya.”
“Ish… apa sih?”
“Lho, bener kan? Biar engga monoton makanya banyak variasinya.
Hahaha…”
“Hah?!”
“Ah! Pagi-pagi diajak ngobrol juga sudah enggak nyambung. Kurang air
putih ya?”
“Nggak ah…”
Hari Rabu ini aku disambut dengannya yang tidak bersemangat ke
sekolah karena ulangan fisika. Mata pelajaran yang katanya banyak tidak
disukai namun dicintai oleh orang yang tepat, seperti kata pepatah kita
akan dicintai oleh orang yang tepat. Hari ini juga ada pelajaran Fisika di kelas,
aku tetap berusaha untuk bisa memahami materinya walau materinya
“selalu ngelunjak” kalau kata Ratna.
Ting!
Aku melihat notifikasi handphone-ku yang berbunyi dan langsung
memikirkan kira-kira apa yang akan terjadi pada waktu istirahat kedua nanti.

“Masih pagi jangan melamun!” kata Nayla sedikit membentak.
“Aku enggak melamun kok,” jawabku dengan santai.
“Enggak melamun? Tadi kelihatan banget kepikiran. Memangnya ada
masalah apa? Davendrakah? Gimana hubunganmu sama dia?”
“Iya masih gitu-gitu aja.” Jawabku dengan datar.
“Haduh… punya teman gini amat. Nggak pernah ada perkembangan.”
“Hah?! Perkembangan? Maksudnya gimana?”
“Ya pacaran gitu. Masa tujuh tahun kenal nggak ada perasaan? Yakin?”
“Ya kalau dari aku yakin-yakin aja, aku enggak ada perasaan sama dia.
Enggak tahu kalau dari dia.”
“Lawana… Lawana… enggak habis pikir aku sama kamu,” ucap Nayla
sambil menggelengkan kepala dan mengakhiri pembicaraan.
Waktu berlalu dengan cepat, sampailah pada waktu istirahat kedua.
Kring!
Aku langsung mengambil tas makan dan bergegas keluar kelas. Tampak
dia yang sudah lebih dulu keluar kelas dan bersandar pada dinding kelas.
Sama seperti kemarin, kembali dia menatap mataku sambil bercerita
tentang ulangan Fisika tadi. Aku diam mendengarkan ceritanya sambil
melirik ke kanan dan ke kiri, lalu melihat matanya yang masih terus menatap
mataku. Sejujurnya aku sangat canggung dan bingung harus melakukan apa.
Mengapa dia terus menatapku seperti itu? ucapku dalam hati.
“Aku tadi sudah ulangan Fisika. Soalnya ada empat nomor, benar
katamu semua rumusnya pakai yang ada di catatan. Tapi tadi aku malah
lupa mendadak karena terlalu takut. Awalnya aku hanya menulis diketahui
dan ditanya saja, jawabannya enggak tahu harus ditulis gimana. Aku takut
remedi, Lawana. Kalau remedi ya sudah, terima nasib saja,” tuturnya
dengan nada kecewa.
“Daven, kalau kamu hari ini belum bisa ngerjain ulangan, it’s okay.
Artinya kamu harus lebih berjuang lagi buat bisa memahami materinya. Aku
juga sama kok, aku remedi Fisika juga. Masih ada kesempatan buat
memperbaiki di remedi besok. Tapi juga perlu diingat, enggak setiap kali
ulangan malah remedi. Jangan gitu, itu namanya malah nyusahin diri sendiri
harus kerja dua kali,” jelasku padanya sambil meyakinkan.
“Hmm… oke deh…” Ucapnya sambil menarik nafas seolah-olah
meyakinkan dirinya untuk bisa menghadapi situasi ini. “Kamu mau makan
kan? Jajan ke kantin, nggak?”
“Kalau aku nggak sih. Kalau kamu?”
“Aku mau jajan di kantin. Mau ke kantin bareng?” sambil
menganggukkan kepalanya.
“Oke.”
Untuk pertama kalinya kami pergi ke kantin berdua saja. Banyak
sepasang mata yang melihat kami dan aku bersikap cuek seakan tidak
terjadi apa-apa.

“Daven, jujur, aku malu banget. Hahahaha… dilihat sama orang banyak
nih,” kataku berbisik sambil tertawa malu.

“Udah… tidak apa… santai aja, santai…” Dia menoleh ke arahku
sambil menaikkan satu alisnya.

“Idih… alisnya pakai naik satu segala…”
“Enggak papa dong. Biar cool…”
“Hmm… si paling cool boy.”
Setelah selesai, kami kembali ke atas dan duduk bersebelahan untuk
makan. Aku menikmati waktu bersamanya dengan bertukar cerita dan
tertawa bersama. Seandainya aku bisa memohon kepada semesta untuk
bisa menghentikan waktu ini, pasti akan kulakukan. Perasaan ternyaman
diantara kami yang tidak ingin terpisahkan oleh siapa pun. Aku
memperhatikan setiap kali dia berbicara denganku pasti tatapan matanya
berubah, terlihat berbeda ketika zaman SMP dulu. Kini tatapannya semakin
mendalam, kupandangi dirinya yang kalau diperhatikan ternyata berwajah
manis dan selalu tertawa melihat kumisnya. Aku selalu teringat ketika SD
tubuhku jauh lebih tinggi dari dia namun sekarang malah kebalikannya.
Kring!
Bel sekolah kembali berbunyi dan kami harus menerima realita
kehidupan lagi untuk melanjutkan pelajaran. Aku berdiri dan kepalaku tiba-
tiba berputar, tetapi berusaha untuk tetap baik-baik saja.
“Kamu kenapa? Sakitkah?” ucapnya sambil memegang tanganku dan
terlihat khawatir.
“Enggak kok, Daven,” jawabku berusaha meyakinkannya.
“Serius kamu? Kalau sakit jawabnya enggak-enggak terus kamu ah!”
“Iya, Daven.” Aku menatap matanya berusaha untuk lebih meyakinkan
dia lagi.
“Ya udah, aku antar kamu masuk kelas ya.”
Dia menuntunku masuk ke dalam kelas dan berpamitan denganku. Tak
lupa dia mengatakan kepadaku jangan sampai sakit. Meski kenyataannya
hari ini aku ke sekolah harus menguatkan diri karena sedang kurang enak
badan. Pelajaran pun selesai, aku pulang dan langsung beristirahat.

Aku terbangun karena tiba-tiba aku bermimpi dikejar bola yang sangat
besar dan langsung kaget. Aku menarik nafas dalam-dalam dan membuka
chat dari Davendra. Ternyata dia sangat khawatir dan aku kembali
meyakinkannya aku baik-baik saja. Aku mulai merasakan ada rasa yang
berbeda ketika aku memikirkannya. Mungkinkah ini adalah pertanda dari
semesta?

“Jika rasa ini tidak bisa hilang dan
semakin tumbuh, kuharap kaujuga
mengerti.” Kataku pada awan
supaya dapat menghantarkan
pesan ini kepadamu. Sudahkah itu?

26 Juli 2022

“Sebentar, mau memastikan. Kita ini pacaran atau sahabatan aja?”
Aku terdiam seribu bahasa. Tak pernah kusangka hari ini adalah
penantian setelah sekian lama. Aku tidak mengharapkan, tidak meminta,
dan tidak menyangka. Ternyata selama ini dia ada perasaan sama aku,
pikirku. Terungkap sudah mengapa Nayla mengatakan hal itu kemarin.
Benar perkataan mama, aku tidak pernah bisa peka mengenai perasaan laki-
laki. Kalimat yang diucapkan juga tidak romantis, melainkan singkat, padat,
jelas. Mau jadi pacarku tidak? misalnya. Hal seperti itu sepertinya mustahil
keluar dari mulutnya yang menjelma sebagai “Kulkas Seribu Pintu Berjalan”
ini.
“Aku manut kamu, Dav,” ucapku lirih karena masih belum yakin.
“Iya aku juga manut kamu,” balasnya cepat.
Di sinilah kami mengeluarkan pendapat kami masing-masing dari kata
manut selama kurang lebih lima menit.
“Kalau kamu mau serius pacaran, aku bakal jaga jarak sama semua
perempuan di kelasku. Biar fokusnya ke kamu aja. Tapi kalau kamu masih
mau fokus ke pelajaran juga enggak masalah,” katanya mengawali
pembicaraan setelah puas mengeluarkan pendapatnya.
Aku masih terdiam, berusaha tidak salah tingkah. Walau ingin
secepatnya mengatakan iya, namun aku masih mau membuatnya grogi.
Sangat terlihat jelas bahwa dia sangat gugup.
“Iya nggak papa dong, masalah belajar kan kewajiban.”
“Oke, sekarang kita pacaran ya…”
Aku tersenyum malu dihadapannya dan berusaha meyakinkan diri
bahwa semua ini benar-benar nyata. Hari ini aku berterima kasih kepada
semesta karena telah mempertemukan seorang laki-laki yang sangat hebat.
Laki-laki yang tangguh terhadap idealismenya sendiri tentang apa yang dia
inginkan, maka harus dia dapatkan, seperti saat ini, misalnya. Dia yang
bertanya, dia juga yang menjawab. Seseorang yang sangat pendiam namun
selalu bekerja keras untuk mencapai targetnya.
Hatiku berbunga-bunga hari ini. Kegiatan pembelajaran yang
membosankan akhirnya menjadi berubah karena hatiku tidak seperti
biasanya. Aku merangkai tulisan di buku menceritakan tentangnya.
Teruntukmu,
Kata demi kata kutuliskan kala matahari sedang bersinar cerah
Seperti hatiku yang kian gembira
Aku ingin menceritakan sejarah
Sejarah tentang ribuan cerita kita
Masih ingatkah ketika kita pertama bersua?
Apakah menurutmu itu indah?

Katamu, kita harus selalu bersama
Kataku, biarlah semesta yang menentukan
Karena baiknya kita menjalani tanpa paksaan
Biarlah Tuhan yang merencanakan,
Kemudian kita yang menjalankan
Pada akhirnya kita bertemu lagi
Walau kita pernah asing dalam sekejap
Ku pikir ini akan selesai
Namun ternyata kita masih sempat bercakap-cakap
Satu hal yang harus kau tahu,
Aku bangga bisa mengenalmu
Aku bahagia bisa menjadi orang terpenting dalam hidupmu
Aku bercerita kepada dewi malam tentangmu
Semoga kisah kita ‘kan abadi
Semoga…
24 Agustus 2022

Kala Itu

Siang ini kami duduk bersama menceritakan laporan tugas Biologi yang
harus ditulis tangan sampai kami bosan dengan yang namanya membaca
jurnal. Walau tujuan utamanya membaca jurnal adalah untuk meningkatkan
kemampuan berliterasi, tetapi kami masih belum bisa menikmati yang
namanya membaca jurnal. Aku mendengarkan dia berbicara sambil
memandanginya lagi dan lagi. Tampak mata panda yang semakin jelas di
area bawah matanya yang menandakan semakin sering lembur
mengerjakan tugas. Tiba-tiba aku tertawa sendiri saat ditengah
pembicaraan kami.

“Kamu kenapa sih tiba-tiba ketawa?” ucap Daven yang terlihat masih
kesal tapi juga bingung.

Aku masih tertawa dan semakin menjadi-jadi ketika melihatnya semakin
bingung. “Hahahaha… enggak papa sih. Cuma ingat aja kita pertama kali
kenal waktu SD. Kita yang awalnya berantem, tiba-tiba jadi sahabatan, terus
bisa kayak gini tuh sebuah kesempatan yang enggak pernah bisa terpikirkan
olehku.”

“Ah… sudahlah… masa lalu nggak usah dibahas lagi. Aku sudah banyak
lupa memori ketika SD,” katanya dengan nada datar karena dia memang
anti membahas kenangan masa lalu.

Aku puas tertawa dan kembali bertatapan mata, “Jadi, kamu lupa?”
Dia terdiam memikirkan jawaban apa yang tepat untuk menjawab
pertanyaan ini. Aku tahu, mungkin dia pikir aku akan marah jika mengatakan
iya. Padahal sebenarnya aku hanya bercanda.
“Ya… ya gimana ya? Aku masih ingat tapi lupa-lupa ingat…,” jawabnya
dengan suara pelan dan bingung harus berkata apa lagi.
Aku tertawa lagi melihat kelakuannya yang semakin salah tingkah.
“Nah, gimana kalau aku cerita lagi?”
“Enggak, enggak usah. Makasih buat tawarannya.” Dia melihatku
tertawa dengan wajah klisenya yang menyebalkan itu dan kembali terdiam.
Kala itu, aku teringat saat pertama kali aku berkenalan dengannya.
Ketika itu, aku teringat dengan sikapnya yang ingin memamerkan bahwa
dirinya adalah laki-laki paling berani pada masanya. Waktu itulah yang
menjadi awal kisah ini tertulis. Tatkala aku duduk di kelas lima SD, kali
pertama aku melihatnya yang memecahkan lamunanku di istirahat kedua.
Badannya kecil, agak kurus, berambut lurus, berkacamata, dan pendiam.
Dia berjalan ke arahku dan kami berdiri berpapasan.
“Jangan sok kenal sama aku ya!” teriaknya kepadaku.
Aku terdiam. “Hah?! Maksudnya apaan?”
Dia langsung pergi meninggalkanku tanpa aku mengerti maksud
perkataannya. Sebuah kesan pertama yang menyebalkan ketika aku
mengenal dirinya. Akan tetapi, semenjak itulah kami saling bertemu walau

hanya sebatas lirikan mata yang menyebalkan dan laki-laki tercuek yang
pernah aku kenal. Kenapa sih harus selalu bertemu? Lebih baik tidak pernah
melihatnya, gumamku dalam hati.

Mungkin semenjak itulah semesta sudah merencanakan dan
menciptakan banyak kisah untuk kami. Masih banyak juga hal-hal yang asing
bagi kami, yang jelas aku hanya mengerti bahwa dia adalah seseorang yang
keras kepala dan sumber masalah bagi hubungan ini.

“Namamu sebenarnya siapa sih?” dia bertanya kepadaku ketika kami
kembali bertemu.

“Cih! Di seragamku kan jelas tertulis namaku. Emang enggak bisa baca?”
jawabku dengan kesal.

“Ya kan cuma tanya! Lagian galak banget jadi perempuan.” Katanya
dengan nada yang semakin meninggi.

“Lagian kenapa sih? Ribet banget jadi orang. Nggak ada angin, nggak
ada hujan tiba-tiba kemarin bilang jangan sok kenal sama aku ya! Ngeselin
tahu nggak?” jawabku yang semakin ketus.

“Lah… siapa juga yang bilang gitu? Diajak kenalan aja sombongnya
setengah mati…”

“Ck! Bisa diam enggak? Lagian kenalan sama orang malah ngasih first
impression yang ngeselin.” Aku langsung pergi meninggalkannnya yang
langsung tertawa melihatku terbawa emosi.

Dua hari pertama yang sangat mengesalkan bagiku ketika kami saling
mengenal. Dia yang awalnya pendiam masih tetap saja pendiam. Aku yang
dikenal galak memang masih galak hingga kini. Kami memang memiliki
kesamaan, jual mahal, misalnya. Perasaan tidak mau memulai memang
sudah melekat dalam diri kami sampai saling emosi.

Pada bulan Maret 2016 entah apa yang terlintas di pikirannya, kami bisa
berbicara dengan baik-baik saja.

“Kenalin, namaku Davendra. Kamu mau dipanggil siapa?” ucap Daven
mengawali pembicaraan sambil mengajak bersalaman.

Aku menerima jabat tangannya, “Panggil aja Lawana.”
“Oh. Jadi itu namamu. Kamu sahabatan sama Kanita? Soalnya aku
sering banget lihat kamu jalan bareng sama dia.”
“Iya, aku sama Kanita teman dekat.” Jawabku dengan nada datar.
Berkat Kanita, aku bisa bertemu dengan seseorang yang menjelma
seperti “Kulkas Berjalan” dan “Kepala Batu” ini. Awalnya Kanita hanya
menceritakan bahwa dia bernama Davendra dan bisa dekat karena orang
tua mereka saling mengenal. Kanita berkata bahwa temannya itu memang
pendiam, tidak suka diajak bicara, dan memang suka membuat masalah.
Jadi, menjauhinya adalah solusi yang tepat.
Berbeda denganku yang setiap hari hampir bertemu dan masih dengan
perilaku yang seperti itu-itu saja. Mulai dari menjegal kakiku sambil tertawa
bahagia, menginjak kakiku tanpa rasa berdosa, membuatku terkejut dengan

mengentakkan kaki, dan masih banyak lagi. Jika ditanya apakah aku kesal?
Tentu saja jawabannya adalah iya. Akan tetapi aku berusaha menerima
semua keadaan ini.

Hari-hari berjalan begitu saja dengan sejuta drama setiap harinya. Tak
terasa sudah setahun berlalu, pada saat kelas enam SD kami bisa tersadar
untuk berbaikan. Aku sudah lelah menghadapi sikapnya yang semakin
kekanak-kanakan setiap harinya.

“Udahan yuk berantemnya, kita baikan ya? Jadi sahabat aja lebih enak,”
tuturku mengawali pembicaraan di istirahat pertama.

“Iya, enggak masalah. Kita sahabatan aja, enggak perlu pacaran. Just
best friend, nggak lebih,” katanya dengan cepat. “Aku masih belum mau
pacaran, masih enak kumpul-kumpul bareng teman.”

Ini adalah komitmen awal kami untuk menjadi sahabat. Murni
hubungan sahabat tanpa melibatkan perasaan. Meski banyak dari teman
kami yang sudah memiliki pacar di kelas enam SD, bisa dibilang itu hanya
cinta anak monyet atau bahkan cinta cucu monyet bagiku. Di pandanganku,
semua teman itu sama saja, baik laki-laki atau perempuan.

Davendra adalah sahabat laki-laki kedua yang aku kenal. Setelah aku
kehilangan sahabat laki-laki pertama karena ada kesalahpahaman, bisa saja
dia adalah jawaban dari permintaanku kepada arunika di setiap pagiku.
Karena luka yang paling perih adalah luka yang disebabkan oleh seseorang
yang berjanji selalu bersama namun kini harus ku lepas karena terpaksa.
Namun aku berharap pasti akan ada seseorang yang datang dan tidak akan
pergi sampai selamanya.

Semakin aku mengenalnya, baru kusadari perkataan Kanita tidak
sepenuhnya benar. Dia memang pendiam dan tidak terlalu suka berbicara,
namun tidak untuk seseorang yang suka membuat masalah. Sejujurnya, dia
memiliki kepribadian yang baik dan sabar. Aku merasa bersyukur bisa
dipertemukan dengan seseorang yang sebaik dia. Akan aku jaga hubungan
ini supaya tetap awet, janjiku dalam hati.

“Pagi, sampaikan kepada dirinya
Aku berharap kepadanya untuk jadi sahabat.”

“Pagi, harapan baru untuk memulai kehidupan
Jika ada seorang sahabat yang aku tunggu, ialah kamu.”

“Pagi, harapanku sudah terkabul
Terima kasih sahabat.”

14 Maret 2016

Pagi ini aku malas berangkat ke sekolah karena harus berpindah kelas
mengikuti peringkat pararel. Aku mulai kesal dengan diriku yang mencoba
belajar sebaik mungkin tetapi tetap saja tidak ada peningkatan nilai. Aku
tidak suka berada di kelas bintang karena banyak sekali teman-teman yang
tidak aku kenal dan berisik sekali.

“Lho, kamu di sini, Lawana?” tanya Davendra mengawali pembicaraan
di pagi hari.

Aku yang tertidur karena menyenderkan kepala di tembok kelas
langsung terbangun. “Eh, Davendra. Kok kamu di sini juga? Aku pikir kamu
di kelas bintang sebelah.”

“Iya nih, agak sedih juga harus masuk kelas ini. Berarti kita harus belajar
lebih serius lagi, Lawana.”

“Ck! Belajar juga sudah serius tetap aja hasilnya masih kurang dari
target. Jadi pesimis…”

“Enggak boleh gitu dong, Lawana. Itu artinya kamu belum sepenuhnya
menguasai konsep materi. Masih perlu perjuangan lagi.”

“Ya kalau belajar Matematika emang beda teori lagi sih.”
“Waduh… kalau Matematika memang beda lagi. Hahaha…”
“Nah kan…”
“Aku duduk di sampingmu boleh? Aku enggak kenal siapa-siapa kecuali
kamu di sini.”
“Boleh lah, duduk aja.”
“Masih pagi gini, ada jam tambahan, nanti pelajarannya habis Biologi
ada Matematika. Mendingan di rumah tidur.” Davendra malah
mengeluarkan uneg-uneg, padahal baru saja menyemangatiku.
“Lah, tadi bukannya bilang harus berjuang lagi? Kenapa sekarang malah
bilang kayak gitu?” tanyaku yang semakin membuatku heran.
“Ya nggak papa. Soalnya pagi ini mendung juga, enak buat tidur pakai
selimut.” Sambil mengilustrasikan dengan menggunakan lengan sebagai
bantalnya di atas meja.
“Idih…”
“Sudahlah... kalau mau tidur ya tidur lagi aja. Masih ada waktu 15 menit
sebelum tambahan pelajaran.”
Bel sekolah berbunyi dan kami menikmati kegiatan belajar di kelas.
Waktu begitu cepat berlalu, sampailah pada istirahat kedua.
“Lawana, aku mau jajan ke kantin dulu ya!” katanya sembari
mengambil dompet di dalam tas.
“Iya,” jawabku singkat.
Dia lebih dulu keluar dari kelas, sedangkan aku menyusul. Kemudian
datanglah Kanita yang juga mengajakku ke kantin.
“Eh… Ada Davendra. Jajan apa kamu?” sapa Kanita kepada Davendra.
“Hai, Kanita! Ini aku jajan mie ayam. Aku lapar, butuh asupan,”
jawabnya dengan tertawa.

Aku dan Kanita kembali ke kelas bersama, tiba-tiba Davendra menyusul
di belakang.

“Kamu kenapa, Dav? Nggak bareng sama temanmu yang lain?” tanyaku
penasaran.

“Nggak papa. Yang lain pada lupa sama aku, soalnya sudah beda kelas,”
jawabnya dengan ketus.

“Ya sudah, yang sabar ya…”
“Iya…” Dia menjawab seperti anak kecil seolah mood-nya sudah
membaik.
Aku berpamitan dengan Kanita dan masuk kelas bersama dengan
Davendra. Dia mengucapkan segala keluh kesahnya mengenai temannya
yang tidak mau bersamanya karena sudah beda kelas.
“Emangnya aku segininya banget ya kalau di kelas bintang aku paling
rendah diantara mereka?” tanyanya kepadaku.
“Nggak juga, ah! Yang namanya teman harusnya nggak malu kalau
punya teman yang kelebihannya bukan di pelajaran, melainkan di bidang
yang lain. Kan bisa saling melengkapi,” jawabku untuk meyakinkan.
“Apakah aku seburuk itu di hadapanmu?”
“Menurutku tidak juga.”
“Apakah aku tidak setia kawan?”
“Aku rasa tidak! Walau pada awalnya kau memang mengesalkan.”
“Ish… mengesalkan apanya?”
“Ya gitulah…”
Pelajaran pun dilanjutkan dengan kelas yang berisik karena semua anak
di kelas merasa tidak terima program “kelas bintang” ini. Ada anak yang
terus memporak-porandakan perkataan wali kelasnya yang mengatakan
bahwa tidak ada anak bodoh, melainkan hanya anak malas. Namun
kenyataannya setiap guru yang masuk ke kelas selalu memberikan pesan
seolah kami adalah anak-anak yang tidak memiliki semangat juang.
Aku sempat merasa malu karena tidak seperti teman-teman untuk bisa
mendapatkan nilai yang bagus. Setiap hari aku berusaha bisa menerima diri
apa adanya, namun realita yang harus kujalani selalu bertolak belakang
dengan harapanku. Di waktu inilah aku menganggap bahwa diriku memang
tidak pantas seperti teman-teman yang lain. Aku ingin bahagia dengan
sederhana. Lagi dan lagi, harapan itu terus pupus.
Aku selalu mengingat satu prinsip bahwa sebuah kegagalan adalah cara
untuk bisa memperbaiki diri. Tantangan yang ada di depan mata adalah
untuk dihadapi, bukan untuk dihindari. Ku coba memahami arti dari semua
ini. Sialnya perasaan menyerah selalu menghantuiku. Perkataan ngapain
berjuang lagi sih kalau endingnya masih aja gagal? Apa harus menunggu
saatnya baru nanti menyesal? Karena perasaan adil memang sebercanda itu,
selalu saja muncul di benakku hingga pada akhirnya aku merasa menyesal
dengan diriku yang payah ini.

Lelah itu adalah hal yang wajar,
Yang tidak disarankan adalah terus mengejar
Seharusnya kau tahu,
Bahwa perasaan lelah tidak hanya pada dirimu

April 2016

Kita Masih Bersama

Tiga bulan berlalu, aku sudah melanjutkan pendidikan di tingkat SMP
dan ternyata masih bersama Davendra. Aku tak menyangka kami bisa
bersama lagi untuk tiga tahun ke depan, namun kelas kami berbeda. Tak
apa, aku senang bisa memiliki kesempatan ini.

Hari-hari berjalan begitu saja, masih dengan sikapnya yang pendiam dan
jarang berbicara, bahkan ketika awal masuk sekolah dia berbeda dengan
waktu SD dulu. Kini malah semakin pendiam dan frekuensi kami untuk
bertemu juga semakin jarang, sebatas menyapa saja. Aku ingin fokus
dengan belajarku, tidak lebih. Mengenai masalah pertemanan dan pacaran,
aku tidak terlalu memikirkan. Ada saatnya datang, maka akan ada saatnya
pula untuk pergi. Tidak perlu dibuat sulit.

Bulan November adalah bulan yang penuh kebagagiaan karena
merupakan hari ulang tahunku. Di salah satu hari yang membahagiakan ini,
aku mengajak bertemu dengannya. Ternyata dia tidak ingat dengan hari
ulang tahunku. Tak masalah.

“Daven, hari ini aku ulang tahun. Ini ada rice bowl buat kamu,” kataku.
“Loh?? Kamu ulang tahun hari ini? Maaf aku lupa hehehe. Selamat ulang
tahun, Lawana. Doaku yang terbaik selalu menyertaimu,” jawabnya.
“Iya, Daven. Terima kasih untuk doanya.”
Waktu demi waktu terus berjalan. Tak terasa liburan kenaikan kelas
sudah datang. Aku diajak oleh kakak untuk mendaki gunung Lawu.
Sampailah waktu itu tiba, hari dimana aku bisa menemukan jawaban dari
setiap pertanyaan yang muncul dalam benakku. Aku senang bisa mengenal
salah satu dari teman mendaki gunung kali ini.
Namanya adalah Dana. Saat pertama kali berkenalan dengannya, aku
kagum dengan kharisma yang dia miliki. Kami mendaki gunung bersama-
sama sebanyak sepuluh orang, canda dan tawa menyelimuti kebersamaan
kami. Pukul tujuh pagi kami mulai berjalan menyusuri jalan setapak. Banyak
sekali anak tangga yang harus dilewati karena memang ini jalannya.
Sesampainya di pos satu, kami pun berbincang.
“Kamu gimana sekolahnya?” tanya Dana mengawali pembicaraan.
“Ya… lancar-lancar aja selama ini. Kalau kamu?” tanyaku balik.
“Sama aja. Masih tetap klise juga.”
“Oh… aku pikir masih ada sesuatu yang lebih menarik dalam dirimu.”
“Nggak juga, ada beberapa beberapa situasi yang memang spesial buat
aku, tapi yang lainnya tetap biasa aja.”
“Apa tuh misalnya?”
“Naik gunung.”
Aku jadi semakin cerewet, “Kenapa?”

“Soalnya saat aku naik gunung, membuatku paham arti buat hidup.
Enggak ada yang namanya hidup itu semua lancar dan sesuai rencana kita.
Yang ada, hidup itu adalah memahami apa yang diberi oleh Tuhan.”

Aku terdiam, memahami perkataannya barusan sambil melihat banyak
pohon-pohon di depanku. Aku semakin kagum dengan Dana.

“Lalu, bagaimana kalau semesta selalu memberikan perasaan kecewa
pada dirimu?”

“Maka aku akan tetap menerima dan menjalaninya sampai semua usai.
Bagaimana denganmu, Lawana?”

“Aku juga akan menerima, walau perih sekali pun. Sekuat apa pun aku
ingin melepas, pada akhirnya aku juga harus menerimanya.”

Dana memalingkan pandangannya, “Tapi, kamu juga berhak bahagia.”
Aku terdiam sejenak dan menghela napas, “Bukan hanya aku, melainkan
semua orang. Termasuk kamu juga.”
Kami kembali terdiam, berusaha untuk melupakan semua luka yang
pernah ada. Badanku sedikit kedinginan dan sudah waktunya melanjutkan
perjalanan.
“Ayo, kita akhiri cerita itu sekarang,” ucapnya sambil nenawarkan
telapak tangan untuk membantuku berdiri.
Aku menerima bantuan itu, “Terima kasih.”
Perjalanan dilanjutkan dengan medan yang semakin berat. Ratusan anak
tangga yang harus dilewati juga kian tidak ramah. Keringat bercucuran dan
kaki yang rasanya semakin lama semakin lelah. Setiap melewati 10 anak
tangga aku berhenti dan menghela napas sambil menyemangati diri. Aku
menyesal karena malas berolah raga dan ternyata mendaki gunung
memang seberat ini.
Langkah demi langkah kulewati. Dana yang dengan sabar menjaga dari
belakang juga terus menyemangatiku. Ketika sampai di pos 2, kami kembali
beristirahat. Ada warung yang menyediakan gorengan dan teh panas lalu
aku memesan itu.
“Kamu pesan teh hangat?” tanyaku pada Dana.
“Iya, aku mau pesan teh juga. Lumayan tambah energi dikit,” jawabnya
sambil mengambil potongan semangka.
“Oke.” Aku memesan teh dan kami duduk bersebelahan di tempat yang
teduh.
“Hmm… semangkanya enak banget. Kamu enggak ambil semangka?”
katanya padaku.
“Nggak. Aku makan pisang goreng saja,” jawabku.
“Panas-panas gini, jalan nanjak terus enaknya makan manis lah...”
“Iya…”
Teh hangat pun datang, pertama kali aku merasakan teh dengan aroma
yang berbeda. Rasanya unik dan manisnya pas. Kunikmati seteguk teh yang
menyegarkan ini.

“Sekecil apa pun langkahnya,
Semesta akan menghargai setiap upaya.”

Juni 2018

Pendakian pun dilanjutkan, tak terasa sudah pukul tiga sore. Dingin
mulai menyelimuti ragaku dan tanjakan semakin terjal. Perlahan-lahan
memanjati satu anak tangga yang luar biasa ini, pertama kurasakan dahi
bisa menyentuh lutut dengan posisi berdiri. Sampai kapankah ini akan
selesai? Gerutuku dalam hati.

Senja mulai menampakkan dirinya yang terselimuti oleh awan. Aku
berhenti sejenak, menatap betapa indahnya senja yang menari dengan
bahagianya. Warna jingga kemerahan terpancar di cakrawala. Ragaku tak
ingin beranjak kenyamanan ini. Davendra, suatu saat kau harus melihat
betapa cantiknya senja di lautan awan, kataku dalam hati.

“Kamu kenapa Lawana? Kok senyum sendiri,” tanya Dana.
“Nggak papa. Ternyata senja di gunung memang lebih indah daripada di
pantai,” jawabku sambil menatapnya.
Dana tersenyum kecil, “Ya memang. Senja adalah puncak kebahagiaan
dari semua kelelahan. Meski hanya sesaat, aku akan selalu merindukannya.”
Setelah sekian lama aku mendambakan kehadiran senja yang indah, aku
mulai mendambakannya yang membuat jantungku berdegup kencang. Aku
menyukainya sejak pertama kali berkenalan. Hatiku berbunga-bunga ketika
mendaki gunung bersamanya. Kini, aku menyukai senja di gunung
karenanya.
Kami melanjutkan perjalanan sebentar dan memutuskan untuk
mendirikan tenda karena sudah tidak kuat lagi. Darinya aku bisa memahami
memasang tenda dengan mudah, padahal aku sudah diajari oleh Kakak
tetap saja tidak bisa paham. Lalu kami memasak mie instan dan teh hangat.
Tanganku gemetar memegangi sendok untuk makan mie instan. Perlahan
kunikmati makan malam bersama dan beristirahat.
Keesokan paginya aku bangun disambut dengan fajar yang sangat indah.
Ku tatap sang mentari yang siap menularkan semangatnya kepadaku.
Tubuhku terasa terselimuti oleh hangatnya nayanika saat ini. Sungguh, ku
tak ingin meninggalkan waktu ini.
“Halo, Lawana! Selamat pagi,” salam Dana sambil menepuk bahuku dari
belakang.
“Hei! Halo juga Dana. Keren banget ya matahari terbitnya! Mau aku foto
buat kenang-kenangan dulu,” jawabku dengan antusias.
“Iya. Mau aku fotoin juga? Sini handphone kamu.”
“Oke.”
Aku berfoto dengan latar belakang samudra awan. Hasil jepretan Dana
memang tidak mengecewakan. Lalu aku berfoto dengan kakak dan juga
adikku. Sungguh momen langka kami bertiga bisa berfoto bersama.
Setelah merasa cukup berfoto, kami merapikan tenda dan melanjutkan
perjalanan. Kami berjalan selama lima jam dan sampailah di warung yang
sangat legendaris di Gunung Lawu yaitu warung makan Mbok Yem. Sarapan
sederhana nasi dengan lauk pecal dan telur goreng beserta teh hangat.

Sesudah kami merasa cukup untuk makan lalu bersiap lagi untuk menuju
puncak sejati, yaitu Hargo Dumilah. Aku berhenti sejenak, mendangakkan
kepalaku melihat yang medannya hampir 90 derajat dan penuh dengan
batu-batu besar.

“Ayo, Lawana. Kamu pasti bisa,” kata Dana kepadaku.
Aku hanya terdiam dan langsung menoleh kepadanya, “Ini yakin
jalannya kayak gini?”
“Iyalah. Kan ini sudah mau sampai puncak.”
“Oke… mari kita jalani dulu saja.”
Perlahan-lahan kulewati jalan yang menanjak ini. Kalau aku merasa tidak
bisa melangkah, Dana selalu memberikan telapak tangannya kepadaku. Dia
berjalan di depanku sambil kuikuti langkahnya. Setiap 15 menit sekali aku
berhenti dan menarik napas sedalam mungkin untuk meyakinkan diri
bahwa aku bisa. Setelah belok ke kanan, sungguh aku semakin takjub lagi.
Bagaimana ada batu sebesar ini untuk bisa dilewati? pikirku. Semua tangga
yang kulewati belum ada apa-apanya daripada batu besar ini.
Penantian pun tiba, kupandangi tugu Hargo Dumilah yang merupakan
puncak sejati gunung Lawu dengan ketinggian 3265 meter di atas
permukaan laut. Aku terharu bisa menapakkan kaki di ketinggian ini dengan
pemandangan samudra awan. Siang ini rasanya panas sekali, namun masih
ada angin kencang.
“Selamat ya sudah sampai ke puncak Lawu,” kata Dana.
“Iya terima kasih. Jadi gini rasanya naik gunung bisa sampai ke puncak?”
kataku.
“Iya. Kalau pertama kali pasti bakal mau lagi, walau selama perjalanan
selalu bergumam kapok naik gunung.”
Sial, kenapa perkataan Dana benar, gumamku dalam hati. “Yakin?”
“Mari kita buktikan kalau tidak percaya.”
Aku berfoto sampai puas dan melihat ke sekeliling, ada tower yang
merupakan basecamp alias titik awal pendakian. Berjalan sejauh ini selama
semalam memang hal yang tidak aku duga, diiringi oleh canda tawa dan
sejuta ceritanya di setiap pos pendakian. Kali pertama ku lihat keindahan
bunga edelweis yang selama ini hanya bisa kunyanyikan dengan penuh
perasaan bahagia.
Satu jam berlalu, kami kembali turun menuju warung makan Mbok Yem
lagi dan bersiap-siap pulang. Langkah demi langkah kujalani dengan
perlahan, berharap panas terik segera hilang dan sampai di basecamp lagi.
Aku harus bisa meyakinkan diri untuk melewati jalan berliku dan tebing-
tebing yang berada di dekat jurang. Selama delapan jam aku berjalan, aku
mengerti ternyata hidup memang keras. Tidak ada yang namanya menjalani
hidup dengan santai, pentingnya kebersamaan dalam sebuah relasi, serta
berartinya ucapan maaf, tolong, dan terima kasih.



Dua hari berlalu, kakiku masih belum sepenuhnya pulih dan aku
menceritakan semua peristiwa naik gunung kepada Davendra lewat sosial
media. Namun pembicaraan berlangsung lancar dan dia juga bercerita
liburan di rumah sepupunya. Aku senang bisa bertemu sahabat yang mau
mendengarkan ceritaku dan ingin sekali bertemu secepatnya.

Hari Rabu pun tiba, hari pertama aku masuk sekolah di kelas 8 SMP.
Sebenarnya kakiku masih sakit kalau berdiri terlalu lama, apalagi ada
upacara memulai tahun pelajaran baru. Masih ada bekas lebam yang belum
hilang bahkan sejak seminggu yang lalu. Aku dan Davendra bertemu lagi.

“Halo Lawana! Gimana kabarnya? Sudah membaik?” ucap Davendra
mengawali pembicaraan setelah selesai upacara.

“Hei Davendra! Lama tidak bertemu! Iya aku udah baikan kok, masih
sedikit nyeri tapi aman,” jawabku antusias.

“Ya ampun…”
“Hehehehe…”
Setelah tiga minggu tidak berjumpa, akhirnya aku bisa melihatnya masih
baik-baik saja. Seorang Davendra yang ku kenal seperti sebelumnya dan kini
tingginya sudah hampir sama denganku. Kami berjalan ke kelas bersama
tapi dia berjalan di belakangku. Aku berjalan perlahan dan masih menahan
sakit.
“Tumben naik tangga lama, biasanya lari,” celetuknya padaku sambil
tertawa kecil.
“Ini kan ramai, antre dong…ya kali mendahului yang lain,” jawabku
singkat.
“Begitu… enggak karena kakinya sakit?” ucapnya dilanjutkan dengan
tertawa puas.
“Ih… ya udah sana duluan, gih!” Aku berkata dengan nada kesal.
“Enggak papa, kamu di depanku aja.” Seketika langsung berhenti
tertawa.
“Makasih ya.”
“Iya.”
Hari-hari berlalu dengan klise. Hubunganku dengannya tidak ada
perkembangan. Kami fokus kepada kesibukan masing-masing dan sebatas
menyapa saja ketika berpapasan saat istirahat.

“Apakah kamu tahu arti tentang sahabat?”

Awal dari sahabat itu sama dengan membuat membuat piza.
Jika kita membuat piza pasti rasanya jauh lebih nikmat daripada kita
makan piza yang kita beli.
Mengapa? Karena kita tahu cara membuatnya. Sama seperti sahabat.
Sahabat itu awalnya butuh sesuatu yang penting untuk berjuang
dengan pengorbanan saling mengalah.

14 Agustus 2018

Rindu yang Sporadis

Hari ini aku bosan dengan yang namanya hidup. Semakin hari semakin
klise untukku. Sudah tiga bulan aku tidak bertemu dengan Dana. Terkadang
aku rindu dengannya, tetapi tidak selalu juga. Kembali aku buka foto-foto
yang masih tersimpan rapi di handphone, kutatapi dengan sungguh-
sungguh sambil tersenyum kecil. Ternyata seperti ini menahan rindu
mendaki gunung, ucapku dalam hati.

Masih tersimpan rapi di lubuk hatiku bahwa aku masih ingin bertemu
dengannya sekali saja. Aku masih mengagumi tatapan, humor, dan
senyumannya.

“Jangan mengeluh, nikmati saja perjalanan panjang ini. Nanti kamu juga
tahu maknanya di balik semua ini,” kata Dana sambil mengatur napasnya
yang terengah-engah.

“Tapi apakah ini tidak terlalu kejam, Dana?” tanyaku.
“Mungkin untuk dirimu iya, tapi tidak untukku. Nanti juga kamu tahu
sendiri.”
Napasku semakin terengah, “Yang penting tidak sekarang.”
Sial, aku masih mengingat memori itu. Bagaimana caraku supaya bisa
melepaskan semua perasaan ini? Kuncinya adalah ikhlaskan! kataku dalam
hati.
Seminggu telah berlalu, saatnya study tour. Pertama kalinya aku
berkunjung ke Pulau Dewata Bali. Aku menikmati setiap destinasi wisata
yang kudatangi. Di Pantai Kuta aku dan Davendra berbincang.
“Aku kangen sama desiran angin dan deburan ombak di pantai,” ucapku
mengawali pembicaraan.
“Iya, aku juga sama,” katanya singkat.
Kami berdiri bersebelahan, saling menatap sebentar, dan kembali
melihat senja yang mulai menenggelamkan dirinya perlahan.
“Semoga di lain waktu, kita bisa kayak gini lagi,” tuturnya setelah diam
beberapa saat sambil menoleh ke arahku.
Aku menoleh dan tersenyum, “Kalau semesta memberi kesempatan,
pasti kita bisa kembali ke tempat ini lagi.”
Davendra terus menatapku dalam diam, tetapi sejujurnya aku sangat
malu. Aku terus melihat horizon yang indah dan tak ingin beranjak dari sini.
Aku ingin bersama Davendra sebagai seorang sahabat yang selalu
menceritakan keluh kesah kami. Aku merasa nyaman saat berada di
dekatnya. Aku bangga bisa mengenal seseorang yang selalu bersamaku,
baik suka mau pun duka. Dia pernah berkata bahwa dia akan selalu
bersamaku. Langit sudah gelap dan tiba saatnya kembali ke bus. Kami
berpamitan dan saling mengucapkan terima kasih. Semenjak dari Pantai
Kuta, entah mengapa ada rasa yang berbeda di hatiku. Namun, aku terus
menghiraukannya.

Hari-hari berjalan begitu saja semenjak dari Bali. Tidak ada perubahan
yang signifikan diantara kami. Bulan Desember tiba dan saatnya liburan
akhir semester. Aku senang bisa mendaki bersama Dana lagi. Kali ini aku
dan dia mendaki Gunung Andong.

“Halo Dana!” sapaku sambil berjabat tangan pada Dana.
“Hei! Halo juga! Akhirnya masih bisa naik gunung bareng ya,” katanya.
“Iya.”
“Yuk masuk ke tempat registrasi dulu, istirahat sebentar baru nanti
mulai pendakian.”
“Oke.”
Setelah sekian lama, perasaan rindu yang tak bisa dibendung sudah
teratasi. Aku bisa bertemu lagi dengan seseorang yang paling memotivasiku
untuk tetap bangkit di situasi apa pun. Aku senang bisa dipertemukan lagi
untuk mendaki gunung bersama.
Kala itu aku memang kurang sehat dan dia dengan sabarnya berjalan
dibelakangku untuk memastikan aku tetap baik-baik saja. Masih dengan
sikap yang sama dan kesabarannya, kusuka itu. Setelah cukup lama
bercengkarama, waktu memutuskan agar kami berpisah lagi kembali ke
runitias seperti semula. Hingga kini kami tidak pernah berjumpa lagi.
Di suatu malam, dingin menyelimuti ragaku yang sedang memikirkannya.
Bagaimana kabarmu? Apakah kamu masih sama seperti yang dulu?
Mengapa harus ada jarak diantara kami? Karena jarak bisa dihitung dengan
angka pasti, sedangkan rindu tidak. Ketika bilur sudah membias, kamu yang
kujadikan sebagai pusat semestaku. Dan lagi, aku benci dengan perpisahan
ini. Bisakah kuminta kepada waktu supaya kamu tidak pergi? kataku dalam
lamunanku sambil menatap langit-langit kamar.
Hari-hari kujalani dengan seadanya. Ada perasaan rindu yang
menggebu-gebu, tetapi juga tidak selalu. Rindu yang tak menentu
membuatku tersiksa dengan keadaan ini. Jika memang semesta sudah tidak
merestui kami untuk berjumpa, maka hilangkan saja perasaan ini. Mencoba
untuk melupakan semua tentangnya. Semua sesal dalam hati karena cinta
yang tidak terukur dalamnya masih tersimpan bahkan saat dia pergi.
Tidak ada gunanya memaksakan perasaan, rindu, dan temu. Hati
dengan luka menganga masih saja bertanya alasan dari semua ini.
Jawabannya masih sama; karena ketidakpastian ini harus segera dipastikan.
Mungkin sudah waktunya perjalanan kami usai. Langkahmu tidak perlu lagi
menyusulku. Rela tidak rela, aku harus rela. Kami pernah bersama, bahagia,
dan punya cerita. Biarlah dia mengejar apa yang disebut bahagianya.
Sudah setahun aku berjuang untuk meninggalkan semua rasa perih
karenanya. Kini aku sudah berhasil menyembuhkan luka yang ada di hatiku.
Darimu aku belajar tidak ada yang abadi, sekalipun bahagia dan duka.
Semoga kelak dia bisa bertemu dengan tempat hatinya berlabuh. Terima
kasih. Aku pergi.

Puisiku masih berkelana
Mulai dari sekarang sampai kapan pun jua
Setelah sekian lama tidak bersua
Kita menemukan siapa kita yang sebenarnya

10 Januari 2019

Hari Rabu ini aku pergi ke sekolah dengan perasaan gembira karena
tidak ada pelajaran. Davendra menghampiriku dan berbincang singkat.

“Tumben hari ini keliatan senang sekali. Ada apa?” ujar Davendra.
“Enggak papa, perasaan aku selama ini juga gini-gini aja, deh,” kataku.
“Enggak… kamu kelihatan beda.”
“Yakin?”
“Iya… senang karena enggak ada pelajaran?”
“Oh iya kali ya! Hahahaha.” Kami tertawa bersama.
“Benar juga kan?” kata Davendra.
Sesudah itu, Davendra pergi bersama dengan teman-temannya dan
kami sibuk dengan dunianya masing-masing. Aku bersama teman sekelas
lebih memilih berdiam diri di dalam kelas dan memutar lagu menggunakan
speaker kelas.
Lalu mataku merasa malu
Semakin dalam ia malu kali ini
Tatkala harus berpapasan di tengah pelariannya
Di malam hari
Menuju pagi
Sedikit cemas
Banyak rindunya
“Untuk Perempuan yang Sedang Dalam Pelukan” dari Payung Teduh
menghangatkan suasana kelas di tengah hiruk-pikuk lingkungan sekolah.
Aku bernyanyi dengan santai sambil merebahkan tubuhku di lantai dan
mendengarkan temanku yang mengeluarkan keluh kesahnya menjelang
ulangan tengah semester kedua.
Hari Senin pun tiba saatnya aku memasrahkan diri mengikuti ujian
tengah semester. Aku belum siap menghadapi ini, tetapi mau tidak mau,
harus mau. Setiap malam aku berusaha belajar sebaik mungkin dan
menuangkan hasil belajarku ke dalam lembar jawab ulangan. Hari demi hari
kulewati walau pun berat.
Ketika hari Sabtu sore, aku mendapatkan surat edaran dari sekolah yang
isinya akan dilaksanakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) selama dua minggu
untuk mengurangi persebaran virus covid-19. Aku kaget karena tiba-tiba
harus melakukan pembelajaran secara online dan harus mengerjakan semua
tugas yang diberikan oleh Bapak/Ibu guru dengan cepat. Mataku menjadi
cepat lelah karena terus menatap laptop dan handphone. Haruskah aku
menjalani ini selama lebih dari dua minggu? Menurutku tidak, lihat dulu
situasinya, pikirku.
Yang paling mengesalkan selama PJJ di waktu SMP adalah setiap kali
pembelajaran Bahasa Inggris yang tidak pernah santai secara materi dan
penugasannya. Setelah selesai diadakan virtual meet, aku harus segera

menyelesaikan tugas membuat teks diskusi Bahasa Inggris selama 20 menit.
Sungguh mengesalkan bukan? Sangat mengesalkan. Aku bertanya kepada
Davendra apakah sudah selesai, ternyata dia juga masih bingung dengan
materi ini. Menurutnya PJJ adalah hal yang membuatnya tersiksa dengan
banyaknya tugas tanpa henti. Setelah selesai PJJ, kami saling telepon
sebentar.

“Halo,” ucap Davendra mengawali pembicaran.
“Halo,” ucapku yang hampir bersamaan.
“Tadi tuh Bu Eni jelasin tentang listrik dinamis, tapi aku nggak tau ini
harus ngerjain soalnya gimana? Kamu bisa bantuin aku?”
“Bisa. Oke, listrik dinamis ya. Kamu masih nggak paham sama rumus
yang mana?”
“Sebenarnya ya semuanya. Gimana kalau kamu jelasin yang kuat arus
listrik?”
“Iya, nggak papa. Untuk rumus kuat arus listrik itu muatan listriknya
dibagi sama waktu. Yang soal nomor satu dan dua pakai rumus itu. Dicoba
dulu, jangan lupa satuannya ditulis juga. Nanti kalau sudah selesai bilang ya.”
“Siap…”
Davendra langsung bergeming untuk mengerjakan soal tersebut.
“Jadi untuk yang nomor satu hasilnya 0,005 Ampere ya? Yang nomor
dua hasilnya 3 Ampere, benar?” ucapnya setelah tiga menit terdiam.
“Sip… sudah benar hasilnya,” jawabku.
“Oh gitu caranya. Syukurlah. Kalau yang rumus beda potensial itu
berarti energi listriknya dibagi sama muatan listrik. Gitu kan?”
“Iya… sudah benar…”
“Oke deh. Eh aku mau cerita nih…”
“Tapi kan tugasmu belum selesai, Davendra. Kok malah mau cerita?”
ucapku memotong pembicaraan.
“Nggak papa. Baru materi awal masih gampang latihannya. Lagian udah
jelas-jelas tinggal masukin angkanya ke rumus kan?”
“Iya. Tapi ya yang teliti mengerjakannya.”
“Nah, ya udah. Aku mau cerita kalau aku capek banget sama yang
namanya tugas. Setiap pelajaran ada tugas, mana harus cepat dikerjakan.
Aku bosan…”
“Sabar… jujur, aku sebenarnya juga sama kok. Yuk semangat!”
“Iya… terima kasih. Kamu nggak papa kan kalau aku minta tolong sama
kamu?”
“Ya nggak papa dong. Santai aja, lagian sama teman sendiri.”
“Lawana.”
“Ya? Ada apa, Davendra?”
“Cuma mau bilang terima kasih banyak buat selama ini.”
“Terima kasih? Terima kasih buat apalagi, Dav?”
“Sampai kapan kita seperti ini terus?”

“Ya sampai semuanya selesai. Sabar ya… nggak semua yang kamu
inginkan harus terkabul sekarang. Sekarang situasinya kayak gini. Ya sudah,
mau tidak mau harus bisa menerima.”

Davendra terdiam sejenak, aku tahu dia sedang kecewa pada situasi
saat ini.

“Sabar, Davendra. Kalau pun ini lama, pasti suatu saat bisa kembali
seperti semula,” ucapku meyakinkan.

“Iya, Lawana. Ya sudah aku mau makan dulu. Terima kasih banyak ya…”
“Iya. Sama-sama, Davendra.”
Siang hari yang melelahkan ini membuatku ingin tidur siang tanpa
memikirkan hal apa pun. Aku ingin merebahkan tubuhku dan melepaskan
semua penat dalam kepala. Cuaca yang panas semakin mendukungku untuk
beristirahat.
Beginilah hari-hariku selama PJJ. Semua kegiatan dilakukan monoton.
Setelah dua minggu berlalu, situasinya masih belum membaik. Maka dari itu,
PJJ masih dilanjutkan. Ujian praktik yang harus dilakukan secara online
semakin menambah pikiranku. Lama-kelamaan rasanya aku ingin
mengamuk kepada dunia mengapa harus seperti ini. Terus berada di rumah,
berita yang selalu membahas kenaikan penyebaran virus corona, dan
pikiran yang selalu saja memikirkan hal yang tidak penting.
Ting!
Notifikasi handphone-ku berbunyi.
Davendra masih saja kepikiran mengenai tugas, sedangkan aku lebih
memilih bersantai dengan bermain gitar. Masih berusaha terlihat bahagia
walau pikiran tidak baik-baik saja. Setelah puas, saatnya istirahat.
Sudah sekian lama aku tidak berjumpa dengan Davendra. Lama-lama
aku juga rindu dengannya. Apakah dia juga? Aku tidak tahu pastinya.
Percakapan kami di WhatsApp semakin intens setiap harinya. Kami saling

menceritakan kejadian yang menurut kami lucu dan juga mengesalkan
setiap kali selesai PJJ. Mungkin ini adalah solusi dari rindu yang tak pernah
bisa tuangkan dalam temu? Bisa saja.

Semenjak pertama kali berkenalan dengannya, aku tak pernah bosan
hingga kini. Kurasakan perasaan nyaman saat berada di dekatnya. Aku
mengucapkan terima kasih kepada semesta karena telah memberiku
sahabat laki-laki yang bisa memahamiku dan saling menguatkan di situasi
yang tidak baik-baik saja. Ternyata begini rasanya punya sahabat rasa pacar.
Segala keinginanku selalu dituruti olehnya. Meski demikian, aku tidak bisa
menjadikan dia sandaranku sepenuhnya. Bukan karena belum percaya
sepenuhnya, melainkan kami memiliki kesibukan masing-masing. Jadi, aku
juga tidak mau membebaninya.

Pagi datang lagi disambut dengan burung bekicau nan merdu. Hari yang
berbeda, tetapi dengan perasaan yang sama. Aku rindu padamu, Davendra,
ucapku dalam hati ketika aku memikirkanmu. Sekadar “Lawana, selamat
pagi…” menjadi kalimat ajaib untuk menyemangati hariku ketika membuka
handphone. Lalu kami menjalani hari dengan belajar bersama, bercerita
bersama, dan pembicaraan receh untuk melepaskan semua perasaan yang
ada di dalam hati masing-masing.

Beginilah kisahku dengannya selama satu setengah tahun tidak
berjumpa yang sebatas berbincang lewat sosial media. Kadang kala aku
juga merasa bosan dengannya. Namun aku tetap berpegang teguh pada
janjiku untuk selalu bersamanya. Aku tidak mau menyia-nyiakannya. Tuhan
memberiku seseorang yang luar biasa menghadapiku. Maka, aku harus
bertahan untuknya.

Hari sudah berganti lagi
Kutuliskan aksara yang terbesit tanpa permisi
Malam ini hujan turun lagi
Tapi biarlah malam ini sunyi
Sebab kuingin sendiri
Menuliskan perasaan dalam hati
Mengusir rindu yang tak bisa berenti
Sejauh apa pun kita saat ini
Padamu tak pernah ada kata usai

26 Agustus 2020

Dan Kemudian

Di kelas 12 ini aku senang bisa ke Pulau Bali bersama dengannya lagi.
Namun sebelumnya kami berkunjung ke Taman Safari Prigen. Selama di
tempat ini kami berkeliling bersama. Ketika dia berfoto bersama dengan
teman-teman sekelasnya, aku lebih memilih untuk masuk ke rumah hantu
bersama dengan ketiga temanku. Aku duduk di samping Evan yang sangat
takut. Saking takutnya, ketika kereta berjalan dan mendengar suara aneh-
aneh langsung menggandeng tanganku erat-erat dan memejamkan
matanya. Padahal aku biasa-biasa saja, malah lebih takut sebelum masuk ke
rumah hantu.

Aku bertemu dengan Davendra lagi setelah beberapa saat dan
menceritakan semua kelakuan Evan di rumah hantu yang membuatku
tertawa. Aku mengilustrasikan Evan yang menggandeng tanganku pada
Davendra. Davendra semakin tertawa dan tidak habis pikir dengan Evan.
Hanya boneka yang seolah-olah dibuat mengerikan, padahal kalau dilihat
lebih teliti malah tidak jadi menyeramkan.

Kami mendatangi Pantai Kuta untuk yang kedua kalinya. Tidak pernah
kuduga seorang sahabat yang selama ini sudah memberi kepastian padaku.
Kalau melihatnya selalu kuingat “kebodohan akut” diriku selama ini adalah
tetap bersiteguh dia hanya sahabatku.

“Ayo foto bareng,” ucap Davendra sambil menggandengku.
“Boleh,” jawabku.
“Benar kataku, kan? Kita bisa kayak gini lagi.” Dia menatap mataku
dengan waktu yang lama.
“Kok bisa sih?” tanyaku heran.
“Karena aku sudah berjanji di dalam hati. Suatu saat aku mau menjadi
sandaranmu ketika lelah, aku mau merangkulmu untuk memastikan kamu
baik-baik saja, dan aku mau kamu terus bahagia bersamaku. Apakah kamu
keberatan?”
“Tidak.”
“Jadi, kita sudah nggak sahabatan lagi kan?” tanya Davendra
meyakinkan.
“Ya… di bilang masih juga boleh, sudah tidak juga boleh,” jawabku
dilanjut dengan tertawa.
Dia terdiam sejenak, “Kamu maunya gimana?”
“Iya seperti yang sekarang.”
“Kalau ada apa-apa bilang ya, Lawana. Aku akan selalu ada di
belakangmu.”
“Iya, Davendra… kamu sudah sering banget bilang itu.”
“Mau berjalan ke depan lagi?” dia bertanya untuk kesekian kalinya yang
masih menggenggam erat tanganku.
“Kamu kenapa erat sekali pegang tanganku?”

“Biar kamu nggak terbang ke langit.” Ucapnya dengan nada meledek.
“Lah…”
“Biar kamu nggak jatuh, soalnya kamu kan nggak bisa diam.”
“Ya kalau jatuh tinggal berdiri lagi. Kok dibuat susah…”
“Makanya itu jangan jatuh… aneh…”
Setelah puas menghabiskan waktu bersama, kami berpisah menuju bus
masing-masing dan melanjutkan perjalanan. Tibalah di salah satu destinasi
wisata yang sangat indah.
“Ayo kita foto bareng lagi,” ajaknya padaku. Lagi dan lagi dia langsung
menggandeng tanganku.
“Ya,” jawabku singkat.
Untuk pertama kalinya tanganku digandeng olehnya. Masih dengan
perasaan yang sama, kini aku semakin nyaman berada di dekatnya. Hari
pertama di Pulau Bali hatiku terus berbunga-bunga. Perasaan paling
bahagia menghampiri diriku. Hujan pun datang untuk menemaniku selama
perjalanan.
Perasaan laksana hujan; tak pernah datang dengan maksud yang jahat.
Justru dengan aroma petrikor bisa memberikan ketenangan yang lebih
ingin kita rasakan daripada kesenangan. Karena senang punya rasa, tapi
tenang punya makna.
Hari kedua aku diberi tahu olehnya bahwa dia diterima program
beasiswa di salah satu universitas impiannya. Aku ikut senang
mendengarnya. Semua usaha yang dilakukan bisa berbuah manis.
“Aku diterima beasiswa, tapi jangan disebarkan siapa-siapa ya. Kamu
orang pertama yang kuberi tahu,” ucapnya.
“Iya, aku janji. Selamat ya, Davendra. Aku ikut senang kamu bisa dapat
beasiswa. Perjuanganmu selama ini sudah membuahkan hasil, tetap
menjejak pada tanah dan tetap berjuang kedepannya,” ucapku. Aku
langsung menggoncangkan badannya dan melompat kegirangan. “Yah,
berarti habis ini kita jauh-jauhan, dong?”
“Santai lho…”
Santai, itu katanya. Namun tidak untukku. Aku bangga bisa memiliki
dirinya yang berjuang keras untuk mencapai impiannya, tetapi tidak bisa
membayangkan ketika kami saling berjauhan. Setiap perjuangan harus ada
yang dikorbankan. Kami sudah berkomitmen untuk tetap berjuang demi
mencapai karier kami masing-masing.
“Apa pun itu, aku bangga sama kamu. Aku senang lihat kamu ada
perubahan positif. Tetap menjadi seorang Davendra yang kukenal ya,”
kataku padanya.

“Terima kasih banyak, Lawana. Kalau sudah jalannya, pasti kita akan
kembali bagaimana pun caranya,” ucapnya meyakinkan. Dia terus menatap
mataku.

“Kenapa?” tanyaku singkat.
“Nggak papa,” katanya. “Kamu jangan pergi dari aku ya.”
“Aku nggak bakal pergi dari kamu, kalau butuh sesuatu bilang aja.
Jangan ditahan sendiri, ya?”
“Iya…”
Satu demi satu destinasi wisata telah kukunjungi. Malam pun tiba,
saatnya kembali ke hotel dan beristirahat. Keesokan harinya setelah
berbelanja kami melanjutkan perjalanan pulang. Dalam perjalanan kami
lebih memilih untuk tidur, padahal janjinya kami ngobrol lewat WhatsApp.
Ya beginilah Davendra, mudah lupa.
Semenjak dari Bali hubungan kami semakin erat lagi. Di waktu istirahat
kami sesekali bertemu untuk berbincang dan menghabiskan waktu bersama.
Banyak sekali hal baru yang kudapatkan saat bersamanya. Darinya aku bisa
belajar untuk lebih bisa menerima diri apa adanya, aku bisa mendapatkan
semangat baru dalam hari-hariku, dan menjadi tempat untuk bercerita
tentang semua hal.
Sejak pertama kali aku melihatnya mungkin aku sudah jatuh hati
padanya. Aku saja yang tidak mengerti perasaan nyamanku selama ini dan
semua permintaanku yang selalu dituruti olehnya. Aku tak mampu
mengatakan semua hal yang ingin kukatakan kepadanya, tentang seribu
kata yang pada akhirnya hanya kuucapkan dengan kalimat singkat. Hal yang
paling membahagiakan selama aku ada di dunia ini adalah saat aku bisa
bertemu dengannya. Saat kupandangi bola matanya yang penuh dengan
seribu makna dan suara paraunya di kala sakit.
Aku berjanji tidak akan pernah meninggalkannya, seperti bulan dan
bintang. Kalau pada akhirnya semesta tidak merestui kami untuk bersama,
maka tidak akan pernah ada kata penyesalan dalam diriku. Kami akan
kembali ke sedia kala, sebagai seorang teman yang selalu ada di segala
situasi.
Aku mencintaimu, Davendra. Selalu, kuucapkan di setiap degup
jantungku.

“Sesulit apa pun itu rintangan yang kita
hadapi, jika kita masih memiliki harapan dan
percaya pada harapan itu. Yakinlah, akan ada
cahaya bagi kita untuk melewati gelapnya
rintangan tersebut.”

15 November 2022


Click to View FlipBook Version